Anda di halaman 1dari 7

TEKNLOGI MENENTUKAN KONDISI El Nino dan La Nina

RADS (Radar Altimetry Database System), dihasilkan oleh Delft Institute for Earth-Oriented Space
Research dan NOAA Laboratory for Satelite Altimetry. Data tersebut berisi hasil pengukuran satelit
altimetri dan model koreksi yang harus digunakan pada data altimetri. Pada penelitian ini data yang
digunakan adalah dari misi Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-2, dan Jason-3 tahun 1993-2018. Data
lain yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan kondisi El Nino dan La Nina adalah nilai
setiap bulan Multivariate ENSO Index diambil dari website
https://www.esrl.noaa.gov/psd/enso/mei/table.html, nilai setiap bulan Oscillation Nino Index dari
website http://origin.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_ monitoring/ensostuff/ONI_v5.php, dan
Southern Oscillation Index dari web site http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/soi. Penelitian
ini fokus pada wilayah perairan Indonesia yang berada pada rentang 13o LU - 20 LS dan 90 BT -
144 BT Pass (lintasan) dari satelit Topex/Poseidon dan Jason Series yang melewati lokasi penelitian
ini sebanyak 44 pass .

Dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menganalisa SLA di
Indonesia terkait fenomena ENSO.

Tahapan awal dalam penelitian ini adalah membaca data (.nc) RADS menggunakan perangkat lunak
Panoply untuk menentukan parameter yang akan digunakan pada pengolahan data.

SLA (Sea level Anomaly) merupakan elevasi permukaan laut di atas geoid / MSS (Mean Sea Surface)
oleh karena itu diperlukan parameter altitude, MSS serta model koreksi yang sesuai dan akurat
untuk pengolahan data altimetri di wilayah Indonesia. Dalam perhitungan SSH (Sea Surface Height)
dan SLA (Sea Level Anomaly) penting dilakukan koreksi karena saat pengambilan data banyak terjadi
gangguan. Koreksi yang diperlukan untuk perhitungan SLA adalah dry tropospheric, wet
tropospheric, ionospher, sea state bias, dynamic atmospheric, dan tides. Karena penelitian ini
menggunakan data multi satelit maka ditambahkan koreksi refrence frame offset (Handoko,
Fernandes, & Lázaro, 2017). Perhitungan SLA diolah menggunakan perangkat lunak MATLAB

Tahap kedua adalah melakukan intercallibrated atau menghilangkan bias antar satelit. Data antar
satelit akan memiliki tandem mission (bertampalan pada waktu yang sama) yaitu cycle awal dan
akhir misi. Pada pertampalan tersebut akan terdapat bias karena masing – masing satelit memiliki
koreksi instrumen dan model sendiri.

1. ) menghitung rata – rata SLA percycle masingmasing satelit dengan dasar latitude.

2. ) menghitung bias antar data tandem atau yang bertampalan dengan hitung perataaan kemudian
dikoreksikan ke data SLA setiap cycle dengan persamaan (3) – (5).

3.)Selanjutnya yaitu dekomposisi data menggunakan perangkat lunak R. Data SLA penelitian ini
merupakan data time series yang memiliki 3 komponen yaitu : seasonal, trend, dan error
(Dokumentov & Hyndman, 2015). Metode yang digunakan untuk dekomposisi adalah LOESS /STL (A
Seasonal-Trend Decomposition Procedure Based on Regression). Hasil yang akan digunakan untuk
pengolahan selanjutnya adalah data trend. Setelah itu melakukan detrend data yaitu menghilangkan
trend dari RAW data time series. Detren bertujuan untuk menghilangkan komponen yang
menimbulkan distorisi pada proses anlisis time series dan membuat data time series menjadi
stasioner.
4.) Melakukan korelasi data detrend SLA dengan indeks ENSO. Indeks ENSO digunakan ada 3 yaitu
MEI (Multivariate ENSO Index), SOI (Southern Oscillation Index), dan ONI (Oscillation Nino Index).
MEI adalah indeks yang ditentukan dengan 6 variabel meteorologi utama yaitu tekanan permukaan
laut, komponen zonal, meridional angin permukaan, suhu permukaan laut, suhu permukaan udara,
dan total cloudiness fraction of the sky (Dahlman, 2016). Pada indeks SOI variabel yang digunakan
adalah perbedaan tekanan udara di Darwin, Australia dan Tahiti (Sarachik & Cane, 2010).Sedangkan
untuk indeks ONI ditentukan dari rata-rata suhu permukaan laut khatulistiwa Pasifik atau Nino 3.4
region yang berada pada 5°LU – 5°LS and 120°BB – 170°BB (Mazzarella, Giuliacci, & Liritzis, 2010).
Korelasi ini nantinya akan digunakan untuk melakukan analisa hubungan antara masing – masing
indeks ENSO MEI, SOI, dan ONI dengan SLA (Sea Level Anomaly) yang ada di perairan Indonesia.

5.) Tahap terakhir adalah gridding data sea level anomaly setiap cycle. Gridding dilakukan dengan
ukuran 3x3 dikarenakan satelit altimetri yang memiliki jarak lintasan pada ekuator sekitar 315 km
(Dumont, Rosmorduc, Carrere, Bronner, & Picot, 2016). Langkah ini dilakukan untuk mengetahui
persebaran secara spasial pengaruh ENSO di perairan Indonesia. Setelah gridding, data
dikonversikan menjadi (.txt). Data kemudian dikoreksi dengan bias, juga dekomposisi, detren dan
dihitung korelasi sea level anomaly setiap titik dengan indeks ENSO. Untuk menampilkan hasil
korelasi secara spasial maka dilakukan plotting dalam perangkat lunak ArcMap

SOURCE :

https://iptek.its.ac.id/index.php/geoid/article/view/3892/3915

http://www.bom.gov.au/climate/enso/outlook/#tabs=Criteria
TEKNOLOGI TERKAIT MUNSOON

Altimeter

Prinsipnya adalah bahwa altimeter memancarkan gelombang radar dan


menganalisis sinyal kembali yang memantul dari permukaan .Tinggi permukaan
adalah perbedaan antara posisi satelit di orbit sehubungan dengan permukaan
referensi yang berubah-ubah (pusat bumi atau perkiraan kasar dari permukaan
bumi: ellipsoid referensi ) dan jangkauan satelit-ke-permukaan (dihitung
dengan mengukur waktu yang dibutuhkan sinyal untuk melakukan perjalanan
pulang pergi). Selain tinggi permukaan, dengan melihat amplitudo dan bentuk
gelombang sinyal balik , kita juga dapat mengukur tinggi gelombang dan
kecepatan angin di atas lautan, dan lebih umum lagi, koefisien hamburan
balik dan kekasaran permukaan untuk sebagian besar permukaan tempat
sinyal dipantulkan. Jika altimeter memancarkan dalam dua frekuensi,
perbandingan antara sinyal, sehubungan dengan frekuensi yang digunakan,
juga dapat menghasilkan hasil yang menarik (tingkat hujan di atas lautan,
deteksi celah di atas lapisan es, dll). 
Untuk mendapatkan pengukuran yang akurat hingga beberapa sentimeter
pada jarak beberapa ratus kilometer, diperlukan pengetahuan yang sangat
tepat tentang posisi orbit satelit. Jadi beberapa sistem lokasi biasanya
dilakukan pada satelit altimetri . Setiap gangguan pada sinyal radar juga perlu
diperhitungkan. Uap air dan elektron di atmosfer, keadaan laut
dan berbagai parameter lainnya dapat mempengaruhi waktu pulang pergi
sinyal, sehingga mendistorsi pengukuran jangkauan . Kita dapat mengoreksi
efek interferensi ini pada sinyal altimeter dengan mengukurnya dengan
instrumen pendukung, atau pada beberapa frekuensi yang berbeda, atau
dengan memodelkannya .
.METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hujan Global Precipitation Climatology Project
(GPCP) rata-rata lima harian (pentad) dalam satuan mm/hari dan data hujan rata-rata bulanan GPCP
dalam satuan mm/hari untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya (250 LU – 360 LS dan 600 BT – 1800
BT). Periode waktu data yang digunakan adalah 1981-2010. Data GPCP diperoleh dari NOAA's
National Centers for Environmental Information (NCEI) dan dapat di unduh dari alamat
https://www.ncei.noaa.gov/. Data GPCP merupakan hasil blending antara pengamatan satelit
dengan data grid hujan (Huffman et al., 1997). Penelitian ini juga menggunakan data reanalisis
harian komponen angin baratan pada level 850 hPa (u850) dalam satuan m/detik yang disediakan
oleh NOAA/OAR/ESRL PSD, Boulder, Colorado, USA, diambil dari website dengan alamat
http://www.cdc.noaa.gov/. Periode waktu yang digunakan untuk data reanalisis angin u850 hPa
adalah 1981-2010. Baik data hujan GPCP

maupun data reanalisis angin u850 hPa tersebut memiliki resolusi ruang 2.50 x 2.50 . Data indeks
monsun yang digunakan adalah WNPMI dan AUSMI. Indeks monsun WNPMI didefinisikan sebagai
perbedaan rata-rata wilayah sirkulasi angin baratan pada level 850- hPa antara wilayah utara
ekuator A (50–150N, 1000–1300E) dan wilayah utara ekuator B (200– 300N, 1100–1400E) (Wang et
al., 2001; Gambar 1). Indeks WNPMI yang dihitung dari perbedaan sirkulasi angin baratan secara
melintang tersebut berhasil menggambarkan dengan sangat baik intensitas angin baratan serta
vortisitas angin level bawah yang berkaitan dengan aktivitas gelombang Rossby sebagai respon
terhadap sumber panas konvektif di laut Filipina (Wang et al., 2001) dimana keduanya adalah
mekanisme utama yang mengatur variabilitas hujan di wilayah tersebut. Indeks ini juga dapat
merepresentasikan keragaman dominan dari variasi antar tahunan monsun pasifik barat bagian
utara (WNPSM). Indeks monsun AUSMI didefinisikan sebagai ratarata wilayah angin zonal pada
wilayah (5°–15 °S, 10°–130°E; Gambar 1). Indeks AUSMI dapat menggambarkan variabilitas sirkulasi
skala besar monsun musim panas Australia dengan sangat baik dalam berbagai skala waktu baik
siklus tahunan, variasi dalam musim, variasi antar tahunan, maupun variasi dekadal (Kajikawa et al.,
2009). Pengujian kehandalan indeks monsun WNPMI dan AUSMI dilakukan terhadap
kemampuannya dalam menggambarkan variabilitas monsun pada multi skala waktu yaitu variasi
antar tahunan, variasi dalam musim dan siklus tahunan. Untuk mengetahui performa kedua indeks
dalam menggambarkan variasi antar tahunan dilakukan dengan analisis korelasi menggunakan
rumus koefisien korelasi Pearson. Nilai koefisien korelasi (𝑟𝑥𝑦) digunakan untuk mengukur kekuatan
hubungan linear antara dua variabel dengan mengkuantifikasi tingkat keterhubungannya
menggunakan parameter kovarian (Wackerly et al., 2008). Selanjutnya nilai kovarian (𝑆𝑥𝑦)
distandarkan dengan membagi nilai kovarian tersebut dengan nilai standar deviasi kedua variabel
(𝑆𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑆𝑦) untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi. 𝑟𝑥𝑦 = 𝑆𝑥𝑦 𝑆𝑥 ∙ 𝑆𝑦 Pada tahap akhir, nilai
koefisien korelasi yang di peroleh diuji untuk mengetahui signifikansi hubungan kedua variabel
menggunakan uji-t. Pada penelitian ini tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 99%. Parameter
yang dikorelasi adalah indeks monsun dengan curah hujan GPCP pada saat belahan Bumi Utara
(BBU) musim dingin atau bertepatan dengan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia yaitu
pada bulan Desember-Februari (DJF) dan pada saat BBU musim panas atau bertepatan dengan
musim
kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia yaitu pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Masih dengan
teknik yang sama, penilaian performa kedua indeks dalam menggambarkan variasi dalam musim
(intraseasonal) dilakukan antara kedua indeks monsun dengan anomali data lima harian (pentad)
curah hujan GPCP. Penggunaan data curah hujan lima harian bertujuan untuk dapat menangkap
semua variasi dalam musim. Sementara itu, untuk melihat performa kedua indeks dalam
menggambarkan siklus tahunan (annual cycle) monsun dilakukan dengan cara menyajikan grafik
secara bersama-sama dengan data rata-rata harian indeks monsun (m/detik; grafik garis) dan data
rata-rata lima harian curah hujan GPCP (grafik batang) dengan satuan hujan dalam harian (mm/hari)
selama kurun waktu 30 tahun (1981-2010). Teknik yang sama juga dilakukan oleh Kajikawa et al.
(2009). Grafik – grafik tersebut memperlihatkan nilai indeks monsun ketika pada waktu yang
bersamaan nilai curah hujan lima harian telah memenuhi syarat awal musim hujan yakni batang
pertama setelah enam batang secara berturutturut bernilai >5 mm/hari dan diikuti oleh 12 batang
yang lain (dikonversi dari definisi awal musim hujan BMKG yaitu awal musim adalah dasarian
pertama setelah tiga dasarian secara berturutturut terpenuhi nilai curah hujannya yaitu 50
mm/dasarian atau 5 mm/hari). Performa indeks juga diuji apakah mampu menggambarkan fitur lain
dengan baik dari siklus tahunan yaitu puncak dan akhir musim hujan. Kompleksitas wilayah
Indonesia berkaitan dengan letak geografis, kondisi topografi yang kompleks serta wilayah
kepulauan telah menghasilkan regionalisasi pengaruh monsun. Wyrtki (1956) adalah orang pertama
yang mencoba meregionalisasi wilayah hujan di Indonesia dan menemukan sembilan subwilayah
hujan dengan karakteristik yang berbeda. Usaha yang sama juga dilakukan Hamada et al. (2002) dan
ditemukan lima wilayah dengan karakteristik pola hujan tahunan yang berbeda. Hasil yang hampir
sama diperoleh oleh Aldrian dan Susanto (2003) namun hanya dikelompokan menjadi tiga sub-
wilayah. Yang lebih baru, Chang (2004) membagi wilayah Indonesia kedalam dua subwilayah yaitu
Indonesia bagian utara ekuator yang merupakan bagian monsun musim panas Asia dan wilayah
Indonesia bagian selatan ekuator yang merupakan bagian monsun musim panas Australia. Dengan
mempertimbangkan tingginya variasi spasial hujan di wilayah Indonesia tersebut, maka analisis
performa indeks monsun WNPMI dan AUSMI dibatasi hanya untuk wilayah Jawa dimana wilayah ini
merupakan wilayah yang memiliki pola monsunal paling kuat di Indonesia yang juga disepakati oleh
semua literatur (Ramage, 1971; Hamada et al., 2002; Aldrian dan Susanto, 2003; Chang et al., 2004;
Zhang et al., 2016). Berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya, terdapat perbedaan pandangan
terkait wilayah monsunal atau bukan. Sebagai contoh, Ramage (1971) berpendapat bahwa wilayah
Indonesia seluruhnya adalah monsunal. Sementara itu, Aldrian dan Susanto (2003) berpendapat
bahwa wilayah Indonesia yang memiliki pola iklim monsunal adalah Jawa dan sebagian wilayah
Indonesia bagian selatan lainya, sedangkan wilayah lainnya adalah ekuatorial dan antimonsunal.
EQUATORIAL ATMOSPHERE RADAR (EAR)

EAR, radar Doppler apertur besar untuk mempelajari atmosfer khatulistiwa, berbasis hasil analisis
data harian tentang angin meridional, zonal, dan vertikal yang dihasilkan oleh EAR yang terletak di
Kototabang, Bukittinggi, Sumatra Barat , Indonesia (0,20°LS, 100,32°BT, 865 di atas permukaan laut).
EAR dirancang untuk memiliki kemampuan berikut:

(1) kemampuan untuk mengukur medan angin troposfer dan stratosfer bawah hingga ketinggian 20
km,

(2) kemampuan untuk mengarahkan pancaran antena secara pulsa-ke-pulsa ke segala arah dalam
30 ° dari zenithsehingga dapat mengamati struktur tiga dimensi rinci dari proses skala kecil di
atmosfer khatulistiwa [misalnya, Worthington et al., 1999],

(3) kemampuan untuk mengukur profil ketinggian suhu dengan menggunakan RASS (radio akustik
sounding system) teknik [misalnya,Marshall et al., 1972; Tsuda et al., 1994],

(4) kemampuan untuk mengamati skala 3-m (yaitu, setengah panjang gelombang radar)
ketidakteraturan bidang selaras (FAI) di daerah ionosfer E dan F [Fejer dan Kelley, 1980; Fukao et al.,
1988, 1991; Yamamoto et al., 1991],

(5) resolusi rentang pulsa tunggal 75 m, dan akurasi yang lebih baik untuk menentukan perpindahan
vertikal struktur atmosfer tipis dengan menggunakan teknik interferometri domain frekuensi (FDI)
[misalnya, Kudeki dan Stitt , 1987] atau teknik pencitraan interferometrik domain frekuensi (FII)
[Palmer et al., 1999; Luce et al., 2001b],

(6) pemulihan sistem yang cukup cepat untuk mendapatkan data yang berguna pada ketinggian
serendah 1,5 km, dan

(7) fasilitas yang dioptimalkan untuk kemudahan pengoperasian dan pemeliharaan karena akan
dipasang di lokasi terpencil di Sumatera Barat, Indonesia.[6] Sistem array bertahap aktif, mirip
dengan radar MU (atmosfer tengah dan atas) di Jepang [Fukao et al., 1985a, 1985b, 1990], dipilih,
berdasarkan kinerja yang ditetapkan dari kemampuan kemudi sinar cepat MUradar.

Dalam jenis sistem pergeseran fasa dan pembagian sinyal dan operasi kombinasi dilakukan pada
level sinyal rendah oleh perangkat elektronik. Kode fase biner, seperti Barker dan kode pelengkap
[misalnya, Schmidt et al., 1979; Woodman, 1980], digunakan untuk teknik kompresi pulsa dimana
rasio signal-to-noise dapat ditingkatkan tanpa mengorbankan resolusi jangkauan. Selain kedua kode
ini, EAR dapat menggunakan kode pelengkap yang optimal untuk mendekode data sampel (kode
Spano) [Spano dan Ghebrebrhan, 1996a, 1996b, 1996c]. Rincian sistem EAR, termasuk beberapa
penemuan baru yang dibuat untuk EAR, dijelaskan di bagian berikut.
Sistem konfigurasi

EAR menggunakan susunan antena kuasi-lingkaran dengan diameter sekitar 110 m, yang terdiri dari
560 antena Yagi tiga elemen. Ini adalah sistem array bertahap aktif dengan masing-masing antena
digerakkan oleh modul penerima pemancar solid-state (modul TR). Dengan konfigurasi sistem ini,
pancaran antena dapat dikemudikan secara elektrik pada basis pulsa-ke-pulsa dengan mengontrol
pemindah fase dalam modul TR. Balok dapat dikemudikan dalam waktu 20 ms, dan hingga 5.000 kali
per detik. Sistem EAR mirip dengan radar MU, dibangun di Shigaraki, Jepang pada tahun 1984 [Fukao
et al., 1985a, 1985b, 1990], tetapi menerapkan beberapa ide dan perangkat baru yang muncul dalam
dekade terakhir. Secara khusus, upaya telah didedikasikan untuk memodulasi berbagai subsistem
dan unit dengan menggunakan perangkat komersial, jika tersedia.

[8] spesifikasi sistem EAR. Frekuensi operasinya adalah 47,0 MHz dan bandwidthnya adalah 4 MHz.
Puncak maksimum dan daya radiasi rata-rata masing-masing adalah 100 kW dan 5 kW (rasio tugas
maksimum adalah 5%). Lebar subpulsa sesingkat 0,5 ms dapat diakomodasi oleh bandwidth 4-MHz
dari sistem untuk memenuhi persyaratan maksimum resolusi jangkauan 75 m. Lebar pancaran
antena setengah daya satu arah nominal adalah 3,4°.

[9] Perangkat keras EAR terutama terdiri dari lima subsistem; susunan antena (ANT), pemancar dan
penerima (TRX), modulator dan demodulator sinyal (SMD), prosesor sinyal (SP), dan komputer host
(HC). Gambar 1 menunjukkan diagram blok skematik sistem EAR.

[10] SMD menghasilkan sinyal RF termodulasi kode, yang dikirim ke TRX untuk amplifikasi ke daya
yang ditentukan dan dipancarkan oleh ANT ke ruang bebas.

[11] Sinyal yang tersebar dari atmosfer diterima kembali oleh ANT, diperkuat oleh TRX, dan dikirim
ke SMD. Dalam SMD sinyal dideteksi dan diubah menjadi sinyal digital, yang selanjutnya dikirim ke
SP untuk pemrosesan domain waktu. Sinyal yang telah diproses kemudian dikirim ke HC untuk
pemrosesan data domain frekuensi guna menghasilkan profil ketinggian kecepatan angin.

[12] Sistem EAR terhubung ke generator tenaga listrik cadangan, yang secara otomatis mulai
memasok daya dalam waktu 1 menit setelah pemadaman listrik komersial. Sampai tenaga listrik
tersedia dari gen-erator, seluruh sistem radar, kecuali modul TR, didukung oleh catu daya tak
terputus (UPS)

Source :

https://agupubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1029/2002RS002767

http://repositori.lapan.go.id/564/1/Buku_Edy%20Hermawan_PSTA_2015.pdf

Anda mungkin juga menyukai