FAKULTAS TEKNIK SIPIL, PERENCANAAN, DAN KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2021 I. PENDAHULUAN 1.1 Satelit Altimetri Teknologi satelit altimetri merupakan salah satu teknologi penginderaan jauh yang digunakan untuk mengamati dinamika topografi permukaan laut yang tereferensi terhadap suatu bidang tertentu. Bidang tertentu tersebut dapat berupa suatu bidang referensi tinggi yang dapat berupa ellipsoid, geoid, atau mean sea surface. Dalam penggunaannya bidang-bidang referensi tersebut menjadi acuan untuk menentukan kedudukan tinggi muka air laut. Satelit Altimetri mulai berkembang sejak 1973, dengan satelit pertama ciptaan NASA, yaitu Skylab. Pada dasarnya, satelit altimetri ini bertujuan untuk memahami lebih dalam sistem iklim global serta peran yang dimainkan lautan (Abidin, 2001). Pada saat ini secara umum sistem satelit altimetri mempunyai tiga obyektif ilmiah jangka panjang, yaitu: Mengamati sirkulasi lautan global, Memantau volume dari lempengan es kutub, dan Mengamati perubahan muka laut rata-rata (MSL) global. Obyek-obyektif di atas dimaksudkan untuk memahami secara lebih mendalam sistem iklim global serta peran yang dimainkan oleh lautan di dalamnya. Dengan kemampuannya untuk mengamati topografi dan dinamika dari permukaan laut secara kontinyu, maka satelit altimetri tidak hanya bermanfaat untuk pemantauan perubahan MSL global, tetapi juga akan bermanfaat untuk beberapa aplikasi geodetik dan oseanografi lainnya seperti penentuan topografi permukaan laut (SST), penentuan topografi permukaan es, penentuan geoid di wilayah lautan, penentuan karakteristik arus dan eddies, penentuan tinggi (signifikan) dan panjang (dominan) gelombang, studi pasang surut di lepas pantai, penentuan kecepatan angin di atas permukaan laut, penentuan batas wilayah laut dan es, studi fenomena El Nino, dan unifikasi datum tinggi antar pulau. 1.2 Prinsip Dasar Satelit Altimetri Prinsip dasar dari satelit altimetri adalah mengukur jarak (R) dari sensor satelit ke permukaan air laut yang telah tereferensi pada suatu bidang referensi tertentu (Fu & Cazenave, 2001). Satelit altimetri merupakan salah satu teknologi yang terus dikembangkan sampai saat ini untuk mengetahui dan mendapatkan data permukaan laut serta fenomenanya. Sistem satelit altimetri terdiri atas tiga komponen utama yaitu radar altimeter, radiometer, dan Positioning System. Radar altimeter digunakan untuk mengamati tinggi satelit di atas permukaan laut dan sistem pelacak yang berfungsi untuk menentukan tinggi satelit diatas elipsoid referensi tertentu dengan teknik penentuan tinggi teliti. Radar altimeter akan mengukur jarak dari satelit ke permukaan target dengan memanfaatkan informasi waktu tempuh, radar altimetri memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Radiometer berfungsi untuk mengukur kondisi atmosfer, sedangkan Positioning System berfungsi untuk menentukan posisi satelit yang presisi pada bidang orbitnya. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh Radar Altimetri akan dipantulkan oleh permukaan air laut, dan kemudian pantulan tersebut diterima oleh satelit altimetri, data waktu tempuh gelombang pantul tersebut dikonversi menjadi data jarak dengan persamaan sebagai berikut: c ∆t R= 2 di mana: R = jarak antara satelit dengan permukaan laut sesaat Δt = perbedaan waktu tempuh saat pemancaran dan saat penerimaan sinyal c = kecepatan rambat sinyal Ilustrasi dari prinsip dasar satelit altimetri dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Prinsip Pengukuran Jarak Satelit Altimetri
(Scharoo, 2002) Satelit altimetri dilengkapi dengan sistem penentuan posisi yang terikat dengan bidang ellipsoid bumi, dengan diketahuinya tinggi satelit di atas bidang ellipsoid, maka ketinggian permukaan laut di atas ellipsoid dapat di hitung. Tinggi muka air laut yang sudah tereferensi dengan bidang ellipsoid dapat disebut dengan Sea Surface Height (SSH). Formula sederhana untuk menghitung SSH adalah sebagai berikut: SSH=H−R di mana: SSH = Tinggi muka air laut pada bidang ellipsoid H = Tinggi satelit di atas bidang ellipsoid R = Jarak satelit dengan permukaan air laut sesaat Jika diketahui undulasi geoid (hg) di daerah tersebut, maka tinggi permukaan laut di atas geoid (hd) atau bisa disebut Sea Surface Topography (SST). Bidang geoid secara praktik dianggap berhimpit dengan MSL atau MSS (Mean Sea Surface) maka dari itu SST juga dapat dikatakan sebagai tinggi permukaan laut di atas MSS. SST dapat ditentukan dengan persamaan berikut: h d=H −R−h g di mana: hd = Tinggi muka air laut di atas geoid (SST) H = Tinggi satelit di atas bidang ellipsoid R = Jarak satelit dengan permukaan air laut sesaat Hg = Undulasi geoid Ilustrasi dari SSH dan SST dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Penentuan SST Topografi muka laut (SST) dapat diklasifikasikan ke dalam dua komponen yaitu: 1. Komponen statik, disebabkan oleh adanya arus laut, efek meteorologis, salinitas, dan temperatur air laut. 2. Komponen dinamik, disebabkan oleh adanya gelombang laut, pasang surut air laut, da variasi tekanan udara.
Gambar 3. Komponen Statik dan Dinamik
Dari dua komponen topografi muka laut tersebut yang ingin diketahui pada umumnya adalah komponen statik dari topografi muka laut. Dengan demikian untuk mendapatkan tinggi muka laut yang hanya memiliki komponen statik, maka komponen dinamik harus dihilangkan dengan cara mengeliminir efek gelombang, pasang surut, dan variasi tekanan udara. Untuk mendapatkan topografi muka laut komponen statik yang terhindar dari kesalahan dan bias maka diterapkan koreksi-koreksi pada hasil pengukurannya. Dengan demikian tinggi permukaan laut di atas geoid (hd) yang efek dinamisnya sudah dihilangkan atau yang bisa disebut dengan Sea Level Anomaly (SLA) dapat ditentukan dengan persamaan (Naeije dkk, 1994). ℎSLA = H - 𝑅 - Σ∆𝑅- ℎd dimana: ℎSLA = tinggi permukaan laut diatas ellipsoid/SSH H = tinggi satelit diatas ellipsoid 𝑅 = jarak observasi antena altimeter satelit dengan permukaan air sementara Σ∆𝑅 = jumlah koreksi jarak dan koreksi efek dinamis hd = Tinggi muka air laut di atas geoid (SST) 1.3 Koreksi-Koreksi Nilai ketinggian permukaan laut yang sudah bisa dianggap benar umumnya sudah melewati proses koreksi yang terdiri dari koreksi jarak dan koreksi efek dinamis (koreksi geofisika yang terdiri dari pasang surut, efek gelombang, dan variasi tekanan udara). Berikut penjelasan mengenai koreksi – koreksi tersebut (Moody et al, 1996). a. Koreksi Troposfer Kering (Dry Tropospheric correction /DTC) Jalur sinyal radar yang melalui atmosfer atmosfer akan terhambat oleh gas – gas (nitrogen, oksigen, dll) yang berada di lapisan troposfer. Keterlambatan sinyal tersebut akan memberikan efek jarak yang lebih panjang, sehingga perlu dikoreksi dengan DTC. Terdapat dua jenis model yang sering digunakan untuk DTC, yakni: European Centre for Medium-Range Forecasts (ECMWF) dan U.S. National Centers for Environmental Prediction (NCEP). Keduanya menyajikan grid reguler pada interval reguler dan tekanan permukaan akan diinterpolasi dari grid ini. b. Koreksi Troposfer Basah (Wet Tropospheric correction /WTC) Refraksi akibat wet troposphere terkait dengan keberadaan uap air di lapisan troposfer, dan kandungan air di dalam awan. Keterlambatan akibat refraksi ini dapat dikoreksi menggunakan WTC. Meskipun lebih kecil dari DTC, koreksi ini lebih rumit kerena tingginya variasi temporal dalam ruang dan waktu yang cepat. WTC dapat dihitung menggunakan on-board microwave radiometer (MWR) pada satelit atau kumpulan pengamatan ground-base seperti ECMWF. Kandungan uap air ini dapat dideteksi secara akurat menggunakan tiga frekuensi microwave yang terdapat dalam satelit seperti TOPEX/Poseidon (TMR) dan Jason (JMR). c. Koreksi Ionosfer (Ionospheric Correction) Pembiasan terhadap gelombang elektromagnetik di lapisan ionosfer bumi berhubungan dengan keberadaan elektron bebas dan ion pada altitude diatas 100 km seperti H+, N+, O+, dan He+. Refraksi pada lapisan ionosfer ini dapat dikoreksi menggunakan model JPL (Jet Propulsion Laboratory) GIM (Global Ionosphere Map), model NIC09 (NOAA Ionosphere Climatology 2009), serta koreksi dual-frequency ionosphere. d. Koreksi Sea State Bias (SSB) SSB merupakan bias dari perhitungan jarak altimeter terhadap gelombang laut. Pembiasan semakin meningkat karena tiga hal, yakni: electromagnetic (EM) bias, skewness bias, dan instrument tracker bias. Koreksi SSB didapatkan menggunakan model BM4 parametric dan model non-parametric sea state. e. Koreksi Pasang-Surut (Tides correction) Koreksi pasang surut terdiri dari Ocean Tide, Loading Tide, Solid Earth Tide, dan Pole Tide. Dari koreksi tersebut, Ocean Tide yang paling mendominasi. f. Koreksi Dinamika Atmosferik (Dynamic Atmospheric correction/DAC) Lautan akan bereaksi terhadap kondisi tekanan udara (inverted barometer) yang besar, laut akan naik ketika tekanan rendah dan turun ketika tekanan tinggi. Model two- dimensional Gravity wave (MOG2D) digunakan sebagai koreksi DAC. Gambar 4. Koreksi Pada Altimetri II. SARAL/ALtiKa 2.1 Overview TOPEX/Poseidon merupakan misi satelit altimetri gabungan antara NASA (Amerika) dengan CNES (Prancis) untuk memetakan topografi permukaan laut yang diluncurkan pada 10 Agustus 1992 dan berakhir pada 18 Januari 2006. Satelit ini membantu merevolusi penyediaan data oseanografi yang sebelumnya sangat tidak mungkin untuk didapatkan (Munk, 2002). Radar altimetri dari TOPEX/Poseidon adalah yang pertama kali menyediakan cakupan global data topografi muka air laut secara kontinyu. Satelit ini memiliki tinggi orbit 1336km di atas bumi periode orbit 112,4 menit, inklinasi 66 o, serta 10 kali repeat cycle, sehingga dapat menghasilkan pengukuran tinggi muka air laut sebesar 95% dari luas lautan tanpa es di bumi ini, dengan resolusi 3,3cm. Misi dari TOPEX/Poseidon adalah untuk menentukan: Mengukur permukaan air laut dengan akurasi yang sangat teliti dibanding satelit altimetri sebelumnya. Memetakan pasut global untuk pertama kalinya. Memonitor efek dari arus laut terhadap perubahan iklim dan memproduksi tampilan global perubahan musiman dari arus laut. Memonitor fitur laut dengan skala besar. Memetakan variasi arus basin-wide. Memetakan perubahan panas yang disimpan di permukaan laut. Menambah pengetahuan tentang medan gravitasi Bumi. Mengamati suhu laut selama periode 10 tahun. 2.2 Sistem 1. Radar Altimeter Satelit TOPEX/Poseidon memiliki 2 altimeter yang terdiri dari: TOPEX: Merupakan radar altimeter ciptaan NASA yang dirancang mengarah ke nadir dan menggunkanan C-Band (5,3GHz) dan Ku-Band (13,6GHz) untuk mengukur jarak satelit ke permukaan air laut. Poseidon: Merupakan radar altimeter ciptaan CNES, radar ini juga mengarah ke nadir dan menggunakan Ku-Band pada frekuensi 13,65GHz. 2. Radiometer Radiometer pada satelit ini menggunakan TOPEX Microwave Radiometer (TMR) yang beroperasi pada frekuensi 18, 21, dan 37 GHz yang berfungsi sebagai koreksi atmosfer. 3. Positioning System Satelit TOPEX/Poseidon memiliki 3 sistem penentuan posisi yang beroperasi sendiri- sendiri yang berfungsi untuk menentukan posisi satelit, berikut ini adalah macam-macamnya: NASA Laser Retroreflector Array (LRA) merupakan sinar laser yang dipantulkan oleh satelit dari pemancar yang berada di Stasiun Laser Ranging. CNES DORIS merupakan sebuah perangkat yang menggunakan teknologi microwave doppler untuk melacak satelit, DORIS terdiri dari receiver yang dipasang di satelit dan juga jaringan global yang terdiri dari 40 sampai 50 Stasiun Transmisi yang berbasis di bumi. GPS, walaupun saat itu masih dalam demonstrasi, tapi receiver GPS ini dapat menentukan posisi dengan sangat teliti secara terus menerus. Satelit TOPEX/Poseidon ini merupakan satelit pertama yang digunakan GPS untuk uji coba penggunaan GPS untuk penentuan posisi secara teliti dari wahana antariksa. III. JASON-1 3.1 Overview Pada tahun 2001, setelah peluncuran TOPEX/Poseidon, NASA dan CNES kemudian meluncurkan satelit altimetri baru Bernama Jason-1 untuk melanjutkan misi oseanografi. TOPEX/Poseidon dan Jason-1 selama 3 tahun melakukan pengukuran secara bersamaan, sehingga mengakibatkan tersedianya dua kali cakupan permukaan laut, sehingga para ilmuan dan peneliti dapat mempeajari fitur yang jauh lebih detil jika dibandingkan hanya diamati satu satelit. Jason-1 memiliki tinggi orbit 1336km, periode orbit 2 jam, inklinasi 66o, dan9,9 hari repeat cycle. Jason-1 dirancang untuk mengukur perubahan iklim dengan pengukuran perubahan muka air laut global tahunan yang memiliki presisi hingga 1mm. Sama seperti TOPEX/Poseidon, Jason-1 menggunakan altimeter untuk mengukur ‘bukit’ dab ‘lembah’ pada permukaan laut, dari pengukuran tersebut, ilmuan dapat menghitung kecepatan dan arah arus laut dan mengamati sirkulasi laut global. Karena Sebagian besar panas dari sinar matahari disimpan di permukaan laut, maka dari itu hasil pengukuran Jason-1 dapat menunjukkan dimana posisi panas tersebut disimpan, bergerak mengikuti arus laut, dan dampaknya bagi iklim. Pada 21 Juni 2013, kontak satelit Jason-1 terputus, beberapa cara untuk menghubungkan kembali komunikasi dengan satelit Jason-1 gagal, dan akhirnya pada 1 Juli 2013 Operator mengirimkan perintah untuk mematikan Jason-1, dan bangkai satelitnya akan tetap ada pada orbit kurang lebih 1000 tahun. 3.2 Sistem Sama seperti TOPEX/Poseidon, Jason-1 juga memiliki 3 komponen sitem utama seperti pada satelit altimetri lainnya, yaitu: 1. Radar Altimeter Berbeda dengan TOPEX/Poseidon, Jason-1 hanya mempunyai 1 radar altimeter, yaitu Poseidon-2 yang merupakan radar altimeter yang mengarah ke nadir, dan dengan menggunakan C-band serta Ku-band untuk mengukur jarak antara sensor di satelit dengan muka air laut. 2. Radiometer Radiometer pada satelit ini menggunakan Jason Microwave Radiometer (JMR) yang mengukur uap air sepanjang jalur yang ditempuh gelombang radar altimeter untuk mengoreksi delay pengukuran. 3. Positioning System Satelit Jason-1 memiliki 3 sistem penentuan posisi yang beroperasi sendiri-sendiri yang berfungsi untuk menentukan posisi satelit, berikut ini adalah macam-macamnya: NASA Laser Retroreflector Array (LRA) merupakan sinar laser yang dipantulkan oleh satelit dari pemancar yang berada di Stasiun Laser Ranging. CNES DORIS merupakan sebuah perangkat yang menggunakan teknologi microwave doppler untuk melacak satelit dan penentuan orbit dengan ketelitian 10cm atau kurang, serta untuk koreksi ionosfer pada pengukuran radar altimeter Poseidon-2, DORIS terdiri dari receiver yang dipasang di satelit dan juga jaringan global yang terdiri dari 40 sampai 50 Stasiun Transmisi yang berbasis di bumi. Black Jack GPS, berbeda dengan TOPEX/Poseidon, pada Jason-1 sudah menggunakan receiver GPS yang jauh lebih presisi karena evaluasi pada saat penerapan di misi TOPEX/Poseidon. IV. Ocean Surface Topography Mission/JASON-2 4.1 Overview Ocean Surface Topography Mission (OSTM) atau bisa disebut Jason-2 merupakan seri satelit ketiga yang diluncurkan pada 20 Juni 2008 oleh NASA/CNES setelah TOPEX/Poseidon dan Jason-1, selain kerjasama antara NASA dengan CNES, pada jason-2 juga menggandeng NOAA dan EUMETSAT. Sama seperti pendahulunya, Jason-2 juga menggunakan altimeter dengan presisi tinggi untuk mengukur jarak antara satelit dengan muka air laut. Observasi variasi tinggi muka air laut yang sangat akurat ini menyediakan informasi muka air laut secara global, kecepatan dan arah arus, serta distribusi panas yang disimpan di laut. Jason-2 memiliki orbit 1336km, inklinasi 66o, periode orbit 112 menit, dan 9,9 hari repeat cycle (NASA, 2008). Pada Jason-2, terdapat beberapa tujuan yang harus diselesaikan, antara lain: Menyambung deret waktu pengukuran topografi muka air laut yang telah dilakukan TOPEX/Poseidon dan Jason-1, untuk menyelesaikan pengamatan selama dua dekade Menyediakan data pengukuran topografi muka air laut global minimal 3 tahun Menjelaskan variabilitas dari sirkulasi laut pada skala waktu decade dari data yang dikombinasikan dengan pendahulunya Meningkatkan rata-rata waktu pengukuran sirkulasi laut Meningkatkan pengukuran perubahan muka air laut global Meningkatkan model pasang surut air laut global Satelit OSTM/Jason-2 dapat bertahan hingga 11 tahun, 3 bulan, dan 18 hari, dimana melebihi perkiraan yang direncanakan yang hanya 3 tahun, dan Jason-2 dimatikan pada 9 Oktober 2019. 4.2 Sistem Sama seperti TOPEX/Poseidon dan juga Jason-1, Jason-2 juga memiliki 3 komponen sitem utama seperti pada satelit altimetri lainnya, yaitu: 1. Radar Altimeter Berbeda dengan TOPEX/Poseidon, Jason-2 hanya mempunyai 1 radar altimeter, yaitu Poseidon-3 yang merupakan radar altimeter yang mengarah ke nadir, dan dengan menggunakan C-band serta Ku-band untuk mengukur jarak antara sensor di satelit dengan muka air laut. 2. Radiometer Radiometer pada satelit ini menggunakan Advanced Microwave Radiometer (AMR) yang mengukur uap air sepanjang jalur yang ditempuh gelombang radar altimeter untuk mengoreksi delay pengukuran dengan frekuensi 18,7, 23,8, and 34 GHz. 3. Positioning System Satelit Jason-2 memiliki 3 sistem penentuan posisi yang beroperasi sendiri-sendiri yang berfungsi untuk menentukan posisi satelit, berikut ini adalah macam-macamnya: NASA Laser Retroreflector Array (LRA) merupakan sinar laser yang dipantulkan oleh satelit dari pemancar yang berada di Stasiun Laser Ranging. CNES DORIS merupakan sebuah perangkat yang menggunakan teknologi microwave doppler untuk melacak satelit dan penentuan orbit dengan ketelitian 10cm atau kurang, serta untuk koreksi ionosfer pada pengukuran radar altimeter Poseidon-3, DORIS terdiri dari receiver yang dipasang di satelit dan juga jaringan global yang terdiri dari 40 sampai 50 Stasiun Transmisi yang berbasis di bumi. GPS, pada Jason-2 sudah menggunakan receiver GPS untuk menentukan posisi satelit dengan cara triangulasi, dengan begitu, posisi satelit Jason-2 ini bisa terus dipantau secara kontinyu. V. JASON-3 5.1 Overview Jason-3 merupakan satelit altimetri yang diciptakan oleh kerja sama antara European Organisation for the Exploitation of Meteorogical Satellites (EUMETSAT), NASA, NOAA, dan CNES yang sudah bekerja sama sejak proyek TOPEX/Poseidon. Satelit ini mempunya misi untuk mensupply data untuk kegiatan penelitian, komersil dan aplikasi praktis pada kenaikan muka air laut, suhu permukaan air laut, sirkulasi suhu air laut, dan perubahan iklim. Sama seperti pendahulunya, Jason-3 juga menggunakan altimeter dengan presisi tinggi untuk mengukur jarak antara satelit dengan muka air laut dengan ketelitian sekitar 3,3cm. Jason-3 memiliki orbit 1331,7km, inklinasi 66o, periode orbit 112,42 menit, dan 9,9 hari repeat cycle (CNES et al, 2018). Pengguna utama data Jason-3 adalah orang-orang yang bergantung pada ramalan cuaca dan kondisi laut untuk tujuan keselamatan navigasi, perdagangan, serta lingkungan. Pengguna tersebut termasuk para ilmuan yang peduli dengan pemanasan global dan hubungannya dengan kondisi laut. NOAA dan EUMETSAT menggunakan data Jason-3 secara umum untuk monitoring angin dan gelombang laut, intensitas badai, arus permukaan laut, prediksi El Nino dan La Nina, kondisi lingkungan seperti menyebarnya alga, serta monitoring muka air danau dan sungai. NASA dan CNES lebih tertarik untuk penggunaan dibidang riset untuk perencanaan mengatasi perubahan iklim. 5.2 Sistem Sama seperti pendahulunya, Jason-3 juga memiliki 3 komponen sitem utama seperti pada satelit altimetri lainnya, yaitu: 1. Radar Altimeter Berbeda dengan TOPEX/Poseidon, Jason-3 hanya mempunyai 1 radar altimeter, yaitu Poseidon-3B yang merupakan radar altimeter yang mengarah ke nadir, dan dengan menggunakan C-band serta Ku-band untuk mengukur jarak antara sensor di satelit dengan muka air laut. 2. Radiometer Radiometer pada satelit ini menggunakan Advanced Microwave Radiometer 2 (AMR-2) yang mengukur uap air sepanjang jalur yang ditempuh gelombang radar altimeter untuk mengoreksi delay pengukuran. 3. Positioning System Satelit Jason-3 memiliki 3 sistem penentuan posisi yang beroperasi sendiri-sendiri yang berfungsi untuk menentukan posisi satelit, berikut ini adalah macam-macamnya: NASA Laser Retroreflector Array (LRA) merupakan sinar laser yang dipantulkan oleh satelit dari pemancar yang berada di Stasiun Laser Ranging. CNES DORIS merupakan sebuah perangkat yang menggunakan teknologi microwave doppler untuk melacak satelit dan penentuan orbit dengan ketelitian 10cm atau kurang, serta untuk koreksi ionosfer pada pengukuran radar altimeter Poseidon-3B, DORIS terdiri dari receiver yang dipasang di satelit dan juga jaringan global yang terdiri dari 40 sampai 50 Stasiun Transmisi yang berbasis di bumi. GPS, pada Jason-3 sudah menggunakan receiver GPS untuk menentukan posisi satelit dengan cara triangulasi, dengan begitu, posisi satelit Jason-2 ini bisa terus dipantau secara kontinyu. DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z. 2001. Geodesi Satelit. Jakarta: PT Pradnya Paramita. CNES, EUMETSAT, NASA, and NOAA. 2018. Jason-3 Products Handbook. Moody, J., et al. 1996. Atmospheric deposition of nutrients to the North Atlantic basin. Biogeochemistry 35: 25-73. Munk, Walter. 2002. The U.S. Commission on Ocean Policy. San Diego: University of California. Naeije, M. C. 1994, Ocean dynamics from the ERS-1 35-day repeat mission. Hamburg: Proceeding of Second ERS-1 Symposium. NASA. 2008. Ocean Surface Topography Mission/ Jason-2 Launch. Washington: NASA PressKit