Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di antara Benua Asia dan Benua
Australia dengan perairan yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang
memiliki kondisi arus dan suhu permukaan laut yang dipengaruhi oleh variabilitas oseanografi
dan meteorologi yang terdapat di kedua samudera tersebut.
Oleh karena luasnya wilayah perairan Indonesia, maka pemantauan kondisi lautan tidak
mungkin dilakukan secara langsung turun ke lapangan (in situ). Hal ini tidaklah efisien dan
akan sangat memakan biaya serta waktu yang tidak sedikit mengingat luasnya lautan Indonesia.
Diperlukan teknologi yang tepat dalam memantau seluruh wilayah lautan yang luas
dengan cara yang efiektif dan efisien, mencakup seluruh wilayah perairan laut yang sangat luas
dan tersedia tepat waktu sehingga pemanfaatan sumber daya lautan dapat dilakukan secara
optimal. Teknologi yang dapat digunakan untuk pemantauan lautan dengan cepat dan efisien
tidak lain adalah teknologi penginderaan jauh.
Pada saat ini sudah banyak satelit yang dapat digunakan secara gratis untuk pemantauan
kodisi lautan terutama suhu permukaan laut, diantaranya adalah satelit yang dibuat oleh NASA,
yaitu satelit EOS (Earth Observing System), jenis Terra dan Aqua dengan sensor MODIS
(Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dan satelit NOAA (National Oceanic and
Atmosphere Administration) dengan sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution).
Sudah lebih dari dua dekade terakhir ini, pemantauan suhu permukaan laut telah
dilakukan menggunakan sensor satelit dengan pelopornya adalah NOAA/AVHRR. Seiring
berjalannya waktu, telah banyak diluncurkan sensor satelit yang juga dapat digunakan untuk
pemantauan suhu permukaan laut, seperti sensor MODIS. Oleh karena itu, pada praktikum ini
akan di tunjukkan hasil pengukuran suhu permukaan laut menggunakan kedua sensor tersebut

1.2 Tujuan
1. Download Citra suhu permukaan laut
2. Menampilkan Citra Suhu Permukaan Laut level 2
3. Analisa Spasial suhu permukaan laut

1.3 Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengunduh citra suhu permukaan laut
2. Mahasiswa dapat mengoperasikan software SeaDas 7.3.5
3. Mahasiswa mampu melakukan cropping citra
4. Mahasiswa mampu menampilkan suhu permukaan laut
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Suhu Permukaan Laut
Suhu air laut mengalami variasi dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi alam yang
mempengaruhi perairan tersebut. Perubahan tersebut terjadi secara harian, musiman, tahunan
maupun jangka panjang (puluhan tahun). Variasi harian terjadi terutama pada lapisan
permukaan (Karif, 2011).
Pada wilayah yang lebih kecil, suhu permukaan laut secara horizontal dibagi
berdasarkan posisi wilayah terhadap daratan yaitu muara sungai, estuari, dan laut lepas. Pada
daerah estuari, suhu permukaan lebih bervariasi karena volume air di estuari sangat kecil dan
juga masih mendapat pengaruh dari air sungai. Oleh karena itu, air di estuari lebih cepat
panas dan lebih cepat dingin (Mahardika, 2012).
Suhu permukaan laut memiliki kaitan yang erat dengan keadaan lapisan air laut yang
berada di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat digunakan untuk menafsirkan
fenomena-fenomena yang terjadi dilaut seperti front, arus, upwelling, sebaran suhu secara
horizontal dan aktifitas biologi (Pardede, 2001).
Suhu permukaan laut dapat diamati menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Estimasi suhu permukaan laut dengan penginderaan jauh di pengaruhi oleh faktor sensor,
proses kalibrasi, koreksi geometrik, algoritma, dan prosedur pengolahan data. Faktor lain
yang mempengaruhi sebaran suhu permukaan laut adalah angin, arus permukaan
lautpembekuan dan pencairan es di kutub. Kondisi suhu permukaan laut juga di pengaruhi
oleh dinamika massa air laut seperti pola arus permukaan, upwelling, divergensi dan
konvergensi, turbulensi dan sirkulasi global lautan (Purba, 1991).

2.2 Citra Satelit AQUAMODIS


MODIS merupakan suatu instrumen berupa sensor multispectral yang terdapat pada
satelit Terra (EOS PM) dan Aqua (EOS AM). Terra mengorbit bumi dari utara ke selatan
melintasi equator di pagi hari. Sementara Aqua melintasi bumi dari selatan ke utara melintasi
equator di sore hari. MODIS memegang peranan penting dalam validasi data, pengembangan
model untuk memprediksi perubahan global secara akurat untuk membantu para pengambil
kebijakan membuat keputusan menyangkut perlindungan lindungan di wilayah mereka
masing-masing (Harsanugraha dan Parwati, 1992).
Terra MODIS dan Aqua MODIS melintasi seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari,
mengumpulkan data 36 kanal, dengan kanal 1-19 berada pada kisaran cahaya tampak dan
kanal 20-36 berada pada kisaran inframerah (NASA, 2009). Data-data tersebut akan
meningkatkan pemahaman kita mengenai dinamika global dan proses-proses yang terjadi
didaratan, dilautan dan interaksi antara bumi dan atmosfer. Spesifikasi dari setiap kanal di
tunjukkan pada Tabel 2. Kanal-kanal ini membuat sensor MODIS mampu mengukur
parameter dari permukaan laut hingga atmosfer. Setiap kanal pada sensor MODIS memiliki
resolusi yang berbeda. Kanal 1-2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 memiliki
resolusi spasial 500 m dan kanal 8-36 memiliki resolusi spasial 1000 m (NASA, 2009).

2.3 Karakteristik Citra AQUAMODIS


Satelit Aqua yang dalam bahasa latin berarti air adalah satelit ilmu pengetahuan
tentang bumi milik NASA. Satelit Aqua mempunyai misi mengumpulkan informasi tentang
siklus air di bumi termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi,
kelembaban tanah, es yang ada di laut, es yang ada di darat, serta salju yang menutupi
daratan. Variabel yang diukur oleh satelit Aqua MODIS antara lain aerosol, tumbuhan yang
menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organic terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan
dan air (Kusuma, 2008).

2.4 Perbedaan AQUAMODIS Level 1, 2, dan 3


Citra MODIS memiliki 3 jenis data citra yaitu Citra MODIS level 1a, 1b, 2, dan 3. Dalam
penelitian ini kita menggunakan Citra MODIS level 1b dan level 2. Level 1 merupakan data
mentah yang akan di proses menggunakan aloritma untuk memisahkan data–data yang terdapat
pada Citra Aqua MODIS. Level 1b adalah data yang telah mempunyai terapannya, hasil dari
kalibrasi sensor pada level 1a. Level 2 merupakan data citra gabungan dari data level 1a dan
1b. Level 2 merupakan data citra Aqua MODIS yang telah terdapat proses algoritmanya, pada
umumnya ahli-ahli oseonografi menggunakan data ini untuk penelitian yang akan dilakukan.
Untuk melihat sebaran klorofil-a kita menggunakan algoritma MOREL 4 karena algoritma ini
merupakan yang paling baik dari beberapa algoritma untuk mencari sebaran klorofil-a.
Sedangkan untuk melihat sebaran suhu permukaan laut kita menggunakan algoritma
ATBD_25. (Febriani et al., 2016)

2.5 Musim di Indonesia


Musim hujan di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain oleh monsoon, El
Nino/Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole, dan Madden-Julian Oscillations
(MJO). Pergantian arah angin monsoon merupakan awal bergantinya awal musim, dari musim
kemarau ke musim hujan atau sebaliknya. Perubahan arah angin monsoon ini dapat dipengaruhi
oleh ada tidaknya fenomena El Nino dan La Nina. El Nino dapat menyebabkan awal musim
hujan tertunda dan musim kemarau menjadi lebih lama. Sedangkan La Nina bisa mempercepat
datangnya awal musim hujan dan memperpanjang durasi musimnya. Ada berbagai macam
kriteria atau metode untuk menentukan awal musim hujan atau awal musim kemarau. Kriteria
awal (onset) musim hujan yang biasa digunakan di Indonesia adalah metode hujan dasarian
yang ditetapkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Marengo dkk.
menggunakan kriteria hujan pentad (5 harian) untuk menentukan awal dan akhir musim hujan
di Brazil. Amekudzi dkk. menggunakan metode kurva kumulatif jumlah hari hujan dan jumlah
curah hujan untuk menentukan awal dan akhir musim hujan di Ghana. Boyard-Micheau dkk.
menggunakan pendekatan berbasis analisis multivariate untuk menentukan awal musim hujan
di Afrika timur (Kenya dan Tanzania). Sedangkan untuk menentukan awal monsoon di Kerala
(bagian paling selatan India), Joseph dkk. menggunakan sebuah metode pentad dari data awan
konvektif tinggi. Di wilayah Sahel (Senegal, Mali, Burkina Faso), Marteau dkk. menggunakan
analisis data harian untuk menentukan awal monsoon. Variasi penentuan awal atau akhir musim
hujan ini disebabkan definisi awal/akhir hujan agak fleksibel. Hal ini biasanya berkaitan dengan
sudut pandang, misalnya seorang klimatologis akan mendefinisikan awal/akhir musim secara
berbeda dibandingkan seorang agronomis ataupun seorang hidrologis. Apalagi wilayah
Indonesia mempunyai pola curah hujan yang sangat bervariasi, ada daerah yang tinggi
intensitas dan frekuensi curah hujannya (misalnya Papua) dan ada yang rendah intensitas dan
frekuensinya seperti pada Nusa Tenggara Timur. (Suaydhi, 2016)

2.6 Analisa Spasial Suhu Permukaan Laut


Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor utama pergerakan siklus musim baik
di daerah tropis maupun subtropis, dimana suhu permukaan laut mempengaruhi kondisi
atmosfer, cuaca, upwelling, dan musiman, bahkan munculnya fenomena El Nino dan La Nina
dapat dipelajari melalui suhu permukaan laut. Peta sebaran SPL juga dapat mengetahui lokasi
upwelling di perairan. Daerah terjadinya upwelling umumnya merupakan perairan yang subur.
Dimana perairan tersebut kaya akan nutrient. Jika diketahui daerah perairan yang subur tersebut
maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui, karena migrasi ikan cenderung ke perairan
yang subur. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-30°C.
Suhu permukaan laut yang tinggi diperairan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem
diperairan laut. (Habibie et al, 2017)
Pengamatan sebaran SPL secara langsung diperairan sulit dilakukan, perairan laut yang
luas dan SPL yang berubah-ubah menjadi kendala dalam pengamatan sebaran SPL secara
langsung. Untuk itu pengamatan sebaran SPL menggunakan citra satelit dinilai tepat karena
dapat merekam SPL diperairan dengan wilayah yang luas dalam waktu yang bersamaan. Peta
sebaran SPL diperairan telah banyak diaplikasikan di bidang perikanan dan pemanfaatan
sumberdaya hayati laut. Fenomena yang terjadi berubah sangat lambat, sehingga untuk kondisi
beberapa hari suhu tersebut dapat dianggap sama. Dengan begitu pengamatan fenomena
oseanografi seperti sebaran SPL sangat efektif dilakukan untuk wilayah yang luas dengan
metode penginderaan jauh menggunakan citra satelit. (Habibie et al, 2017).
III. MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Hari, tanggal : Selasa, 15 September 2019
Waktu : 9.50 – 11.30 WIB
Tempat : Laboratorium Komputasi Ilmu Kelautan Gedung E Lantai 2 Fakultas
Perikanan dan Imu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.2 Materi
1. Download Citra suhu permukaan laut
2. Menampilkan Citra Suhu Permukaan Laut level 2
3. Analisa Spasial suhu permukaan laut

3.3 Metode
3.3.1 Download Citra Suhu Permukaan Laut
1. Buka Aplikasi penjelajah internet kemudian masuk ke website
oceancolor.gsfc.nasa.gov
2. Masuk ke menu > data > data browsers > Level 1 & 2 browsers.

3. Pada tab Mission, tentukan tahun, bulan, dan tanggal yang akan kita download
citranya. Kemudian pada kolom select one more regions, pilih Indonesia kemudian
klik find swaths

4. Download citra sesuai dengan ketentuan dengan klik **** pada peta yang hendak
kita ambil citranya kemudian klik A2012226052500.L2_LAC_OC
5. Karena kita membutuhkan citra suhu permukaan level 2, maka kita klik
A2012226052500.L2_LAC_SST. Klik Ok. Maka citra akan terdownload.
3.3.2 Koreksi Nilai Awan
1. Buka aplikasi SeaDAS 7.5.3

2. Buka citra SST yang sudah kita download tadi dengan cara, pada menu bar, file >
open >cari data citra yang tadi di download>open product.
3. Selanjutnya adalah menampilkan citra suhu permukaan pada SeaDAS, caranya pada
File manager, klik folder Rasters > sst

4. Selanjutnya kita akan mengoreksi citra untuk menghapus nilai awan. Caranya klik
kanan pada sst > math band.
5. Kemudian pada name kita ubah menjadi Rezy_130087, kemudian klik Edit
Expression

6. Pada Expression masukkan “if qual_sst then NaN else 1 * sst” kemudian klik OK >
OK.
7. Setelah itu klik color manager > cpd file >ubah warna menjadi oceancolor_sss.cpd.

8. Selanjutnya pada menu bar klik Raster > Reproject

9. Target File kita ubah menjadi Rezy_130087_Repro, Save as kita hapus tanda
centangnya kemudian run
10. File manager > Rezy_130087_Repro> rasters > Rezy_130087 > Color Manager
> cpd file > oceancolor_sss. Tahapan koreksi awan selesai.

3.3.3 Cropping Citra


1. Pada menu bar, pilih Raster > crop

2. Pada Spatial Subset > Geo Coordinates masukkan nilai – 4.144 pada North
Latitude bound, 107.225 pada West Longitude bound, -11.549 pada South Latitude
bound, dan 117.954 pada East Longitude Bound, > OK. Tahap Cropping Selesai

3. Untuk melihat hasilnya, pada File manager > [3] Rezy_130087_Repro_subset


>Rasters > Rezy_130087. Tahap cropping selesai.
3.3.4 Menampilkan Citra Suhu Permukaan Laut
1. Pada File Manager > [3] Rezy_130087_Repro_subset >Rasters > Rezy_130087

2. Klik File > Export > Geo TIFF

3. Lalu ketik Rezy_130087 dan klik Export Product


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Download Citra Suhu Permukaan Laut

4.1.2 Koreksi Nilai Awan

4.1.3 Cropping Citra


4.1.4 Menampilkan Suhu Permukaan Laut

4.2 Pembahasan
4.2.1 Download Citra Permukaan Laut
SPL dapat diperoleh dengan pengukuran langsung (in situ) atau menggunakan citra
satelit penginderaan jauh. Pada percobaan kali ini citra didapatkan dengan mendownload di
laman oceancolor. Hasil download citra sebelum dalam bentuk file yang dapat diunduh
pengguna berasal dari mekanisme bagaimana citra itu sendiri didapatkan yaitu sensor satelit
penginderan jauh mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh permukaan
laut untuk melihat fenomena sebaran SPL. Radiasi yang dipancarkan berupa radiasi infra
merah jauh (biasa disebut juga sebagai infra merah thermal) dengan panjang gelombang
antara 8 – 15 µm. Radiasi infra merah thermal inilah mempunyai keunggulan dapat
melewati atmosfer tanpa diserap oleh gas dan molekul air yang berada di atmosfer, karena
pada panjang gelombang antara 8 – 14 µm tersebut serapan yang terjadi di atmosfer cukup
rendah. Sehingga, panjang gelombang infra merah thermal paling cocok digunakan dalam
mendapatkan citra suhu permukaan laut. Satelit mengamati seluruh permukaan bumi satu
hingga dua hari melalui beberapa band termal pada satelit tersebut dapat diekstrak nilai suhu
permukaan lautnya.
Pada proses download citra ada hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu ketentuan citra
daerah yang diinginkan, pada laman oceancolor ini diperlukan input waktu berupa tanggal
bulan tahun yang menyatakan adanya musim pada periode tersebut. Merujuk hal ini dapat
diketahui database citra suhu permukaan laut pada laman oceancolor ini dipengaruhi
parameter musim sehingga analisa suhu permukaan laut erat kaitannya dengan musim di
Indonesia. Selain waktu, perairan Indonesia menjadi salah satu pilihan lokasi citra artinya
pengguna dapat men-download data SPL dari berbagai negara. Lokasi citra kemudian masih
terbagi dalam beberapa bagian wilayah antar pulau di Indonesia hal ini menunjukan
cakupan SPL pada citra yang dapat diakses adalah paling besar perairan di suatu pulau
tertentu. Format file hasil download sinkron dengan aplikasi pengolahan data citra yaitu
seadas.
4.2.2 Koreksi Nilai Awan
Data SPL dapat diunduh melalui situs Ocean Coloryang dikelola oleh NASA
(www.oceancolor.gsfc.nasa.gov). Data yang diunduh adalah data level 2 composite data
bulanan dengan resolusi spasial 4 km dengan format Hierarchial Data Format (HDF). Data
level 2 belum mengalami koreksi radiometrik dan atmosferik sehingga telah siap digunakan
sehingga diperlukan koreksi awan. Koreksi ini bertujuan untuk mereduksi distorsi geometrik
dari objek permukaan bumi yang ada pada citra yang diakibatkan kelengkungan permukaan
bumi dan beberapa faktor lain seperti variasi tinggi satelit, ketegakan satelit dan kecepatannya,
sehingga posisi spasial dari suatu area pada citra sesuai dengan posisi sebenarnya di lapangan.
Berdasarkan hasil koreksi dapat dilihat secara visual perubahan warna dan beberapa
bagian tertentu pada citra menjadi berkurang dengan warna yang tersisa merah dan hijau artinya
warna kuning sebelumnya dalah bukan representasi citra yang sebenarnya melainkan ditutupi
awan. Bentuk dan sebaran awan secara memusat pada daerah tertentu ditandai dengan
banyaknya warna putih.
4.2.3 Analisa Suhu Permukaan Laut
Percobaan ini fokus secara musiman agar terlihat fenomena-fenomena yang terjadi di
daerah tangkapan citra. Maka dari itu citra yang diunduh merupakan data bulanan dari Bulan
Agustus tahun 2012 yang mencakup musim Barat. Pemotongan citra (cropping) dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak SeaDas. Data yang telah diunduh dipotong sesuai
dengan wilayah pengamatan penelitian. Nilai rata-rata SPL berdasarkan posisi lintang dan bujur
akan didapatkan dari proses ini dalam fomat ASCII. Data SPL yang telah diperoleh pada tahun
2012 dengan format ASCII termasuk ke dalam Musim Barat. Pada saat musim barat tepatnya
bulan desember, posisi matahari berada pada posisi paling bawah yaitu pada lintang 23,5 LS
hal ini mempengaruhi nilai spl yang cenderung lebih tinggi dibandingkan musim lainnya.
Berdasarkan suatu penelitian Rentang SPL pada lokasi penelitian saat Musim Barat
adalah 24,5-29,71oC dengan rata-rata sebesar 28,02oC. Nilai SPL ini merupakan data rataan
SPL secara musiman selama 1 tahun, yaitu Musim Barat. Fenomena La Nina yang sangat kuat
terjadi pada tahun 2012 sehingga mengakibatkan SPL meningkat dari biasanya. Fenomena El-
nino terjadi walaupun intensitasnya lemah. Samudera Hindia bagian timur dipengaruhi oleh
sistem angin monsun, Arus Lintas Indonesia (ARLINDO), El-Nino, dan Indian Ocean Dipole
Mode (IODM), maka dari itu perairan ini memiliki variabilitas karakter oseanografi yang sangat
tinggi. Pola SPL lebih dipengaruhi oleh perubahan musiman seperti angin muson. Pola sirkulasi
angin permukaan di atas perairan Samudera Hindia Bagian Timur divisualisasikan dengan
vektor berwarna biru (kecepatan minimum) hingga merah (kecepatan maksimum). Pada Musim
Barat secara umum pola sirkulasi angin permukaan bergerak ke arah barat laut dengan
kecepatan rata-rata sebesar 4,4 m/s. SPL pada Musim Barat memiliki nilai yang tinggi karena
pada musim ini Australia dan Laut Koral secara rata-rata menerima bahang surya yang lebih
besar dibandingkan dengan yang diterima Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Oleh sebab
itu, tekanan udara dekat paras bumi di kawasan Australia menjadi lebih rendah dibandingkan
Asia Tenggara. Angin dan arus mendorong massa air hangat Indonesia lebih ke selatan lagi.
Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pada Musim Barat matahari berada pada
bumi bagian selatan sehingga daerah yang berada di selatan mendapatkan pancaran sinar
matahari yang lebih banyak secara terus menerus, maka dari itu SPL pada Musim Barat sangat
tinggi.
Pada musim Barat pusat tekanan udara tinggi berekembang diatas benua Asia, dan di
Pulau Jawa angin ini dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut. Musim Barat umumnya
membawa curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa. Angin muson Barat berhembus pada bulan
Oktober - April, pada saat matahari berada di belahan bumi selatan, dan benua Asia yang mulai
ditinggalkan matahari temperaturnya menjadi rendah dan tekanan udaranya tinggi
(maksimum). Pergerakan angin muson mempengaruhi variasi suhu permukaan laut di Laut
Jawa. Pada musim barat, angin bergerak dari barat menuju menuju timur sehingga membawa
massa air dari laut cina selatan mengisi laut jawa yaitu daerah citra. Variabilitas SPL di Laut
Jawa juga di pengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARLINDO membawa air
hangat dari selat Makassar. Saat bulan Mei dan Agustus, angin yang berhembus ialah angin
musim timur. Angin tersebut mulai berhembus saat musim peralihan 1 dan akan mencapai
puncaknya saat musim timur.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Mendownload citra suhu permukaan laut dapat dilakukan melalui website
Oceancolor.dspc.nasa.gov
2. Citra suhu permukaan laut yang didownload dapat ditampilkan melalui software
SeaDAS sebagai citra sst.
3. Analisa spasial terhadap citra suhu permukaan laut yang ditampilkan, dilakukan dengan
menggunakan software SeaDAS dan dihasilkan citra dengan distribusi suhu permukaan
laut ditandai dengan perbedaan warna pada citra.

5.2 Saran
1. Pada praktikum selajutnya dihimbau agar suasana lebih kondusif.
2. Pada praktikum selanjutnya, praktikan diharap mendengarkan arahan asisten praktikum
lebih seksama.
3. Pada praktikum selanjutnya, praktikan diharap lebih menguasai materi yang akan
dipraktikan.
DAFTAR PUSTAKA

Febriani, Eva Resti., Bangun Muljo Sukojo. 2016. Analisa Perbandingan Penggunaan Citra
Modis Level 1b dan Level 2 dalam Menentukan Prakiraan Daerah Penangkapan
Ikan.JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2.
Habibie, Muhamad Najib, Tri Astuti Nuraini. 2014. Karakteristik dan Tren Perubahan Suhu
Permukaan Laut di Indonesia Periode 1982-2009. Pusat Penelitian dan BMKG.
Harsanugraha, W.K. dan E. Parwati, 1992. Aplikasi Algoritma Multikanal Untuk Estimasi SST
Menggunakan Data NOAA-11/AVHRR. LAPAN. Jakarta.
Karif, I. V.2011. Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Laut Jawa dari Citra Satelit AQUA
MODIS dan TERRA MODIS. Skripsi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Kusuma, A. 2008. Analisa Suhu Permukaan Laut Pada Sensor SatelitNOAA/AVHRR dan EOS
AQUA/TERRA MODIS. Skripsi mahasiswa Departemen Teknik Elektro, Universitas
Indonesia.
Mahardhika, R. M. P.2012. Pemetaan Suhu Permukaan Laut (SPL) di PerairanSelat Madura
dengan Menggunakan Citra Satelit AQUA MODIS di Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), Jakarta. Laporan Praktek Kerja Lapang mahasiswa program studi Ilmu
Kelautan, Universitas Brawijaya Malang.
NASA. 2009. www.modis.gsfc.nasa.gov (diunduh tanggal 23 Oktober 2019, Pukul 20.00).
Pardede, S. T. 2001. Pola Perubahan Suhu Permukaan Laut di Sekitar Perairan LautJawa dan
Laut Flores dari Data Citra NOAA/AVHRR dan Hubungannya dengan Fenomena Bleaching
pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Bali. Skripsi mahasiswa Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Purba, M. 1991. Diktat Kuliah. Interpretasi Data Penginderaan Jarak Jauh II. InstitutPertanian
Bogor. Bogor.
Suaydhi. 2016. Karakterisik Awal dan Panjang Musim di Indonesia. Pusat Sains dan
Teknologi Atmosfer (PSTA) - LAPAN.

Anda mungkin juga menyukai