Anda di halaman 1dari 7

Resume Jurnal Mata Kuliah Penginderaan Jauh

“Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Ekosistem Lamun

dan Suhu Permukaan Laut”

Dosen : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc.

Disusun oleh :
Suprihatin
(185080101111024)
M01 Semester Ganjil

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
Pemanfaatan Citra Spot-7 untuk Pemetaan Distribusi Lamun
pada Zona Intertidal dan Pendugaan Kedalaman Perairan Pulau Wawonii
(Syamsul Bahri Agus, Tarlan Subarno, Adriani Sunuddin, Nunung Noer Aziizah
dan Amadhan Takwir)

Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang hidup di daerah pasang
surut dan terbenam di lingkungan perairan laut. Lamun memiliki peran penting di
wilayah pesisir, selain memiliki fungsi ekologi sebagai penahan abrasi, lamun juga
menjadi nursery ground dan feeding ground beberapa spesies ikan. Ekosistem
lamun yang berada di lingkungan laut sangat banyak dipengaruhi oleh pasang surut
yang bersifat dinamis, dimana perubahan kondisi dapat terjadi setiap saat.
Perubahan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi penurunan luasan lamun yang
dapat menjadi indikator status lamun secara menyeluruh. Salah satu upaya untuk
menjaga kelestarian lamun adalah dengan melakukan kegiatan monitoring
berdasarkan data spasial. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh mampu
menghasilkan informasi objektif dan berguna untuk monitoring wilayah pesisir laut
yang luas.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana kaitannya kedalaman
dengan sebaran lamun di perairan Pulau Wawonii serta jenis lamun yang tumbuh di
perairan Pulau Wawonii.

Tujuan
Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk memetakan sebaran padang
lamun dan kedalaman perairan dimana lamun tumbuh di Perairan Pulau Wawonii
menggunakan Citra Spot 7.

Metode
Langkah awal dalam melakukan analisis sebaran lamun yaitu dengan
dilakukan pemrosesan awal citra. Preprocessing yang dilakukan meliputi koreksi
radiometrik yang dilakukan dengan metode pergeseran histogram (histogram
adjustment) untuk menghilangkan efek atmosfer. Lalu koreksi geometrik untuk
mentransformasi citra hasil penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai
sifatsifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi. Serta pemotongan citra untuk
memfokuskan ke wilayah kajian. Setelah itu dilakukan koreksi kolom air untuk
menghilangkan pengaruh kolom perairan. Koreksi kolom air akan diterapkan dengan
menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh (Lyzenga, 1978) yaitu DII = In
(Li) – [(ki/kj).ln(Lj) . Kemudian klasifikasi berbasis piksel dan klasifikasi berabsis
objek. Metode yang digunakan pada klasifikasi lamun yaitu berbasis piksel dengan
menggunakan algoritma Maximum Likelihood (MLH). Klasifikasi lamun dilakukan
dengan teknik klasifikasi secara terbimbing mengacu pada data pengamatan
lapangan dengan aturan klasifikasi MLH. Pada klasifikasi sebaran lamun, tutupan
substrat juga dikelompokkan menjadi (lamun, pasir, terumbu karang, rubble,
makroalga), dan selanjutnya hanya difokuskan pada kelas lamun. Selanjutnya
dilakukan pendugaan kedalaman perairan melalui citra satelit SPOT-7 dengan
menggunakan algoritma rasio kanal yang dikembangkan oleh Stumpf et al. (2003).

Hasil dan Pembahasan


Pengamatan dilakukan di tiga lokasi, yaitu Tanjung Batu Desa Langara di sisi
Barat Pulau Wawonii, Desa Lansilowo dan Desa Dimba keduanya di sisi Utara Pulau
Wawonii. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa di daerah Tanjung Batu
terdapat enam jenis lamun, Desa Lansilowo terdapat tujuh jenis lamun, dan Desa
Dimba terdapat lima jenis lamun. Lamun yang ditemukan di lokasi pengamatan
berjumlah sembilan jenis yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Syringodium
isoetifolium, Halophila ovalis, dan Halophila minor. Kedalaman di Desa Tanjung Batu
memiliki rentang 113 – 160 cm dan tipe substratnya adalah pasir, Desa Lansilowo
memiliki rentang kedalaman 58 – 180 cm dan tipe substrat nya adalah pasir rubble
atau pecahan karang mati, dan lokasi berikutnya adalah Desa Dimba dengan
rentang kedalaman 12 – 103 cm dan tipe substratnya adalah pasir. Tipe substrat di
Tanjung Batu dan Dimba merupakan salah satu indikasi bahwa ekosistem lamun
tersebut adalah habitat pakan dugong karena dugong dapat memakan lamun
dengan mudah pada ekosistem lamun dengan substrat pasir lumpur. Hasil klasifikasi
sebaran lamun menggunakan klasifikasi MLH di Pulau Wawonii dilakukan
perhitungan luasan lamun di seluruh pesisir Pulau Wawonii, dan diperoleh luasan
sebasar 1429,63 ha. Hasil model kedalaman kemudian ditumpang susun dengan
sebaran lamun hasil interpretasi citra satelit kemudian diperoleh bahwa lamun yang
tumbuh di perairan Pulau Wawonii umumnya menyebar pada kedalaman kurang
dari 2 m, namun demikian di beberapa lokasi dijumpai lamun yang terdapat pada
kedalaman hingga 6 m. Lamun tumbuh di wilayah pesisir hingga kedalaman 40 m
dengan cahaya matahari yang optimal, sehingga pertumbuhan lamun di Perairan
Pulau Wawonii masih dalam kondisi optimal. Informasi kedalaman perairan,
terutama perairan dangkal dimana lamun tumbuh dan menyebar merupakan salah
satu paramater yang diperlukan dalam mengkaji aspek geomorfologi habitat lamun.

Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat berdasarkan penelitian ini yaitu sebaran lamun
umumnya terdapat pada kedalaman kurang dari 2 m, namun pada beberapa lokasi
dijumpai hingga kedalaman maksimal 6 m. Sehingga hubungan kedalaman dengan
sebaran lamun yaitu informasi kedalaman perairan, terutama perairan dangkal
dimana lamun tumbuh dan menyebar merupakan salah satu paramater yang
diperlukan dalam mengkaji aspek geomorfologi habitat lamun. Adapun sebaran jenis
lamun yang dominan adalah Cymodocea serrulata di Wawonii Tengah, Thalassia
hemprichii di Wawonii Barat, Syringodium isoetifolium di Wawonii Utara, dan
Halodule uninervis di Wawonii Timur Laut.

Referensi :
Agus, S. B., T. Subarno., A. Sunuddin, N. N. Aziizah dan A. Takwir. 2018.
Pemanfaatan citra spot-7 untuk pemetaan distribusi lamun pada zona
intertidal dan pendugaan kedalaman perairan Pulau Wawonii. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis. 10(1): 197-207.
Link : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt/article/view/19119
Pemetaan Suhu Permukaan Laut (SPL) menggunakan Citra Satelit Terra Modis
di Perairan Delta Mahakam (Studi Kasus: Tahun 2013, 2016 dan 2018)
(Radik Khairil Insanu, Dwi Agung Pramono, Hikmahtul Fadhilah)

Latar Belakang
Delta Mahakam adalah salah satu delta popular di dunia yang berada di
wilayah Kalimantan Timur yang memiliki transport sedimen kompleks. Sebagai
kawasan yang kaya akan sumber daya hayati (perikanan) maka sangat diperlukan
suatu parameter untuk mempermudah dalam mencari daerah tangkapan ikan yang
potensial. Salah satu parameter yang dapat digunakan yaitu parameter Suhu
Permukaan Laut (SPL). Sebaran SPL dapat digunakan sebagai salah satu indikator
penting terjadinya upwelling yaitu penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam
ke lapisan permukaan. Pengukuran suhu permukaan laut dapat dilakukan secara
langsung (insitu) dan tidak langsung yaitu melalui teknologi penginderaan jauh
dengan menggunakan satelit. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk
mendeteksi SPL yaitu citra satelit MODIS, dipilih karena memiliki luasan sapuan
mencapai 2330 km dengan resolusi temporal 1 hari, sehingga data yang ada lebih
beragam dan lebih mudah dilakukan pemilihan kawasan yang bebas awan.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana nilai sebaran dinamika
Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Delta Mahakam pada tahun 2013, 2016
dan 2018.

Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui sebaran suhu
permukaan laut di Perairan Delta Mahakam pada tahun 2013, 2016 dan 2018
menggunakan Citra Satelit Terra Modis

Metode
Tahapan penelitian meliputi data masukan yaitu data citra yang digunakan
untuk pengolahan ini adalah data citra satelit Terra MODIS level 1B kanal 20, 31 dan
32 pada Tahun 2013, 2016 dan 2018. Data citra tambahan untuk pengolahan
parameter SPL dibutuhkan data Geolokasi Terra MODIS. Lalu pemotongan citra
untuk lebih memfokuskan pengolahan data sesuai dengan daerah penelitian.
Sebelum dilakukan pemotongan, dilakukan tahap awal pemulihan bentuk image citra
itu sendiri yang disebut georeference. Selanjutnya koreksi geometrik untuk
menghilangkan kesalahan spasial citra yang disebabkan oleh beberapa faktor pada
proses perekaman oleh sensor satelit. Koreksi geometrik dilakukan dengan
penentuan titik GCP menggunakan acuan peta vektor RBI digital yang sudah
diketahui koordinatnya. Kemudian dilakukan pemisahan awan untuk membuang
awan yang mengganggu dalam proses pengolahan citra selanjutnya. Pemisahan
awan digunakan untuk menghilangkan nilai piksel awan menjadi nol untuk
menghindari kesalahan nilai SPL di bawah awan. Selanjutnya pengolahan
parameter SPL untuk menghitung suhu permukaan laut dari data citra TERRA
MODIS menggunakan Algorithm Theoretical Basic Document 25 (ATBD 25)
TERRA/Aqua MODIS pada panjang gelombang 10-12 μm, atau dikenal dengan
algoritma Brown and Minnett (1999). Algoritma tersebut dirumuskan sebagai
berikut : SPL = c1+c2*(T31-273) + c3*(T31-T32)*(T20-273) + c4*(T31-T32)*(1/cos-
1). Setelah didapatkan nilai suhu permukaan lautnya, selanjutnya dibuat kelas-kelas
klasifikasi. Tahap akhir pada penelitian ini akan dihasilkan peta distribusi suhu
permukaan laut delta Mahakam.

Hasil dan Pembahasan


Hasil pengolahan citra satelit Terra Modis Level 1B suhu permukaan laut,
pada tahun 2013, 2016 dan 2018 memiliki perbedaan dari tahun 2013 ke tahun 2016
dan tahun 2016 ke 2018. Bahwa terdapat nilai selisih di tahun 2013 ke 2016 yang
memiliki perbedaan tertinggi di kelas suhu 26⁰ - 38⁰C yaitu mencapai 8186 piksel,
dikarenakan pada liputan tanggal pengambilan citra satelit Terra MODIS 2013 dan
2016 memasuki musim kemarau dari bulan Maret - September sehingga
mengakibatkan perubahan suhu permukaan laut meningkat. Perbedaan suhu
terendah adalah kelas suhu 19⁰C yaitu 19 piksel, dikarenakan kelas suhu
maksimum pada tahun 2013 hanya 26⁰ - 38⁰C, sedangkan kelas suhu maksimum
pada tahun 2016 berkisar 38⁰ - 43⁰ C. Perbedan selisih pada tahun 2016 ke 2018
memiliki perbedaan tertinggi di kelas suhu 24⁰ - 26⁰C yaitu mencapai 12469 piksel,
penyebab meningkatnya kelas suhu tersebut dikarenakan pada liputan tanggal
pengambilan citra satelit tersebut juga memasuki bulan kemarau yaitu tanggal 10
Maret 2016 dan 25 Juli 2018. Kelas suhu terendah terdapat pada kelas suhu 19⁰ C,
pada kelas suhu terendah 2016 ke 2018 tidak terdapat perbedaan selisih
dikarenakan kelas suhu pada tahun 2018 hanya mencapai 26 - 31⁰C. Penyebaran
suhu permukaan laut dari peta tahun 2013 terlihat didominasi dengan klasifikasi
warna merah dengan kisaran suhu 26⁰ - 38⁰ C. Sedangkan pada peta tahun 2016
didominasi dengan klasifikasi warna orange dengan kisaran suhu 24⁰ - 26⁰C. Pada
peta tahun 2018 didominasi dengan klasifikasi warna merah dengan suhu kisaran
26⁰ - 31⁰C.

Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat berdasarkan penelitian yaitu suhu permukaan laut
tahun 2013 ke 2016 memiliki selisih tertinggi di kelas suhu 26⁰ - 38⁰C yang
didominasi dengan klasifikasi warna merah dan selisih terendah adalah kelas suhu
19⁰C. Pada tahun 2016 ke 2018 memiliki selisih tertinggi di kelas suhu 24⁰ - 26⁰C
dan kelas suhu terendah terdapat pada kelas suhu 19⁰C. 2. Penyebaran suhu
permukaan laut pada tahun 2013 didominasi dengan klasifikasi warna merah.
Kemudian di tahun 2016 didominasi dengan klasifikasi warna orange dan pada
tahun 2018 didominasi dengan klasifikasi warna merah.

Referensi :
Insanu, R.K., D. A. Pramono dan H. Fadhilah. 2019. Pemetaan Suhu Permukaan
Laut (SPL) menggunakan citra satelit terra modis di perairan Delta Mahakam
(studi kasus: tahun 2013, 2016 dan 2018). Jurnal Geodesi dan Geomatika.
2(1): 9-15.
Link : https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/elipsoida/article/view/3471/2887

Anda mungkin juga menyukai