Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323794661

Analisis Fenomena Kekeringan Meteorologis Di Beberapa Daerah Sentra


Produksi Padi Di Jawa Tengah

Article · May 2011

CITATIONS READS

0 474

1 author:

Nur Febrianti
Indonesian National Institute of Aeronautics and Space
39 PUBLICATIONS   33 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

drought resilience View project

All content following this page was uploaded by Nur Febrianti on 16 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011

ANALISIS FENOMENA KEKERINGAN METEOROLOGIS DI BEBERAPA


DAERAH SENTRA PRODUKSI PADI DI JAWA TENGAH

Nur Febrianti

Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer


Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jln. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173
Email: nfebrianti@gmail.com

Abstrak

Komoditas unggulan sektor tanaman pangan khususnya padi sawah, merupakan unggulan pertama
hampir semua kabupaten di Jawa Tengah. Salah satu faktor yang sangat berperan dalam ikut meningkatkan
dan menurunkan jumlah produksi padi adalah kondisi cuaca/iklim yang tidak normal, seperti musim kering
yang berkepanjangan akibat fenomena El-Niño dan Dipole Mode yang diindikasikan dengan terjadinya
kekeringan meteorologis di wilayah sentra produksi padi di Jawa Tengah. Berbasis hasil analisis data curah
hujan yang didapat dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) periode tahun 1998 hingga
2009 menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index), diperoleh hasil bahwa kawasan sentra
produksi padi di Jawa Tengah pada periode tersebut mengalami kondisi ekstrim kering pada 2006 dan 2008.
Khususnya di tahun 2006, dimana 7 dari 11 Kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi sentra produksi beras
mengalami kondisi kering hingga sangat kering, dalam kurun waktu antara 6-12 bulan, dan itu terjadi secara
berturut-turut. Kabupaten Sragen merupakan daerah yang terparah dengan kondisi kering hingga sangat
kering selama satu tahun, kemudian Kabupaten Demak. Satu hal yang menarik disini adalah bahwa MEI ikut
berperan besar dalam menentukan variasi musim kering yang terjadi di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah,
kecuali Cilacap. Dengan terus memantau perkembangan terakhir daripada data MEI dan DMI, maka
kemungkinan terjadi kering panjang di Jawa Tengah di masa mendatang, khususnya di Kabupaten Seragen
dan Demak dapat diprediksi dengan baik.

Kata kunci: TRMM, SPI, MEI, DMI, dan regresi multivariate

PENDAHULUAN

Berdasarkan catatan NASA, 2010 ternyata merupakan tahun terpanas sepanjang 130 tahun
terakhir. NASA mencatat, di tahun ini rata-rata suhu global baik di darat ataupun di laut selama 12
bulan terakhir, mulai Desember 2009 naik mencapai 14,64OC. Dibanding tahun 1951 dan 1980,
periode yang umum digunakan oleh ilmuwan sebagai basis perbandingan, tahun 2010 tercatat lebih
panas hingga 0,65OC. Suhu tahun 2010 juga sedikit diatas tahun terpanas sebelumnya yakni tahun
2005. Ketika itu suhu di seluruh dunia secara rata-rata mencapai 14,53OC.
Karena itu pada tahun 2010 hampir seluruh dunia meneriakan kekeringan. Di Indonesia
hampir seluruh wilayah mengalami hal yang serupa. Bahkan wilayah Jawa Tengah menurut BNPB
(Banan Nasional Penanggulangan Bencana) seluruh kabupaten di Jawa Tengah memiliki resiko
tinggi terhadap kekeringan.
Kekeringan sendiri merupakan keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam
masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul
bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata- rata. Musim
kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Jenis-jenis kekeringan yaitu kekeringan meteorologis, pertanian, dan hidrologi. Kekeringan
meteorologis biasanya didefinisikan berdasarkan tingkat kekeringan (dibandingkan dengan
"normal" atau jumlah rata-rata) dan durasi (lamanya) periode kering. Kekeringan pertanian

F-59
Nur Febrianti/ Analisis Fenomena Kekeringan

menyebabkan kekurangan curah hujan membawa defisit air tanah, air tanah berkurang atau tingkat
reservoir, dan air penyimpanan seperti hidrologi di waduk dan sungai sering digunakan untuk
berbagai keperluan seperti pengendalian banjir, irigasi, rekreasi, navigasi, tenaga air, dan habitat
satwa liar. Kekeringan hidrologi berhubungan dengan efek dari periode presipitasi (termasuk salju)
kekurangan pada permukaan atau air bawah permukaan (yaitu debit sungai, waduk dan tingkat
danau, air tanah).
Kejadian iklim esktrim di Indonesia El Niño- Southern Oscillation (ENSO) pada umumnya
merupakan pengaruh dari fenomena global yang terjadi di kawasan Lautan Pasifik. Bahkan
beberapa penelitian lain menunjukkan fenomena yang terjadi di kawasan lautan India yang mirip
ENSO, dikenal dengan IOD (Indian Ocean Dipole) juga ikut berpengaruh terhadap kejadian
ekstrim di Indonesia.
Wolter et al. (1993) menyatakan pemantau ENSO dengan Multivariate ENSO Index (MEI)
dianggap lebih akurat, karena berdasarkan enam variabel utama di atas Pasifik Tropis. Keenam
variabel tersebut yaitu tekanan permukaan laut, zonal dan komponen angin permukaan meridional,
suhu permukaan laut, suhu permukaan udara, dan fraksi total tutupan awan. Sedangkan IOD
biasanya diukur oleh indeks yang merupakan selisih antara suhu permukaan laut (SST) di barat
(50° BT - 70° BT dan 10° LS - 10° LU) dan timur equator (90° BT - 110° BT dan 10° LS - 0° LS)
samudera Hindia. Indeks tersebut dikenal sebagai Dipole Mode Index (DMI).
Menurut Pramudia (2006) bahwa hasil perandingan data tahun 1991 – 2000 dengan tahun
1961 – 1970 terlihat telah terjadi perubahan musim di beberapa sentra produksi padi di Pulau Jawa.
Dimana dampak dari perubahan sebaran rata-rata curah hujan bulanan selama kurun waktu tersebut
mengakibatkan perubahan musim yang berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.
Hampir seluruh wilayah kabupaten di Jawa Tengah umumnya merupakan daerah produksi padi,
seperti Kabupaten Brebes, Pemalang, Banyumas, Klaten, Cilacap dan lain sebagainya (Gambar 1).
Dengan demikian, apabila kondisi ini terus dibiarkan dan berlaku sama di seluruh daerah sentra
produksi padi, maka dapat dipastikan akan mengganggu ketahanan pangan di Indonesia.

Gambar 1. Peta sentra produksi padi di Jawa Tengah

Saat ini dari set besar model prediksi dinamik dan statistik (Http://iri.columbia.edu, 2011),
peluang terjadinya El Nino hanya 26% pada musim Agustus-Oktober, namun suatu saat kondisi
kemarau berkepanjangan tersebut pasti akan kembali. Maka demi mengantisipasi terjadinya
penurunan produksi padi dikemudian hari, untuk itu penelitian ini bertujuan melihat catatan sejarah
kejadian kekeringan yang pernah terjadi dan mengkaji seberapa besar pengaruh fenomena global
yang terjadi didalamnya.

F-60
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa Tengah yaitu
antara lain Kabupaten Brebes, Pemalang, Demak, Pati, Blora, Grobogan, Sragen, Kebumen,
Banyumas, Klaten, dan Cilacap. Pemilihan daerah studi kasus berdasarkan wilayah terbanyak
penghasil padinya (Gambar 1).

Gambar 2. Lokasi studi penelitian

Data yang dipergunakan merupakan data curah hujan yang didapat dari satelit Tropical
Rainfall Measuring Mission (TRMM) periode tahun 1998 hingga 2009 yang dianalisis spasial dan
kemudian menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index) untuk melihat indeks
kekeringannya. Data indeks ENSO menggunakan data Multivariate ENSO Index (MEI) 1998
hingga 2009 yang diunduh dari http://www.esrl.noaa.gov/. Sedangkan data Dipole Mode Index
(DMI) 1998 hingga 2008 diunduh dari http://www.jamstec.go.jp/.
Dalam perhitungan menggunakan metode SPI ini membutuhkan informasi data curah hujan
yang cukup panjang. Keuntungan dari pendekatan SPI dalam hal ini adalah bahwa dapat digunakan
lebih menguntungkan dari curah hujan dalam analisis spasial untuk kekeringan (Lloyd-Hughes,
2002). Hal ini karena kemungkinan membandingkan stasiun yang berbeda di daerah iklim yang
berbeda (atau iklim sub-daerah) terlepas dari fakta bahwa mereka mungkin memiliki curah hujan
normal yang berbeda. Hal ini karena dalam SPI, curah hujan sudah dinormalisasi dan dibandingkan
dengan curah hujan rata-rata. Oleh karena itu, curah hujan dua wilayah dengan karakteristik curah
hujan yang berbeda dapat dibandingkan dalam hal bagaimana buruk mereka mengalami kekeringan
sejak perbandingan itu dalam hal curah hujan normal McKee et al. (1993).

Jawa Bagian Tengah


3,0 450

2,0 375

1,0 300
TRMM -3
SPI -3

0,0 225
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
-1,0 150

-2,0 75

-3,0 0

SPI TRMM Linear (TRMM) Linear (SPI)

Gambar 3. Hubungan SPI dan curah hujan TRMM di Jawa bagian tengah

F-61
Nur Febrianti/ Analisis Fenomena Kekeringan

Periode waktu yang di gunakan pada penelitian ini adalah SPI 3 bulanan, dimana
merupakan hasil rata-rata dari curah hujan 3 bulan sebelumnya. Hubungan SPI periode 3 bulanan
dengan curah hujan di Jawa bagian tengah memperlihatkan pola yang cukup baik (Gambar 3)
dimana pola yang terbentuk hamper sama di kedua grafik (Febrianti et al., 2010).

PEMBAHASAN
Langkah awal yang kami lakukan adalah menampilkan time series data MEI dan DMI
periode tahun 1998-2009 seperti nampak pada Gambar 4 berikut ini. Dari gambar tersebut jelas
terlihat adanya perubahan fase yang jelas antara data MEI dan DMI. Fase positif menggambarkan
El-Niño dan DMI +, sementara fase negatif menggambarkan La-Nina dan DMI -. Terlihat pula
adanya keterkaitan antara El-Niño dan DMI + saat keduanya muncul dalam waktu yang sama,
seperti tahun 2002-2005 akhir yang menggambarkan bahwa pada saat itu telah terjadi kenaikan
SST di Lautan Pasifik dan juga di Lautan Hindia. Terlihat pula, adanya kenaikan yang sangat tajam
data MEI hingga melebihi batasan normalnya, bahkan mencapai nilai di atas atau di bawah 2.0.

Gambar 4. Hubungan MEI dan DMI


Langkah berikut yang kami lakukan adalah menganalisis data time-series anomaly curah
hujan di beberapa kota di Jawa Tengah seperti nampak pada Gambar 5 berikut. Curah hujan positif
umumnya terkait erat dengan menurunnya data MEI dan DMI, sementara curah hujan negatif
terkait erat dengan naiknya data MEI dan juga DMI. Sekilas nampak adanya deviasi yang besar
hingga di atas atau di bawah 250 mm, seperti menjelang dan setelah tahun 2002.

Gambar 5. Anomali curah hujan di beberapa kota di JAwa Tengah

F-62
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011

Hal yang menarik disini adalah berbasis hasil analisis data curah hujan yang didapat dari
satelite Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) periode tahun 1998 hingga 2009
menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index), diperoleh hasil bahwa kawasan
sentra produksi beras di Jawa Tengah pada periode tersebut mengalami kejadian kondisi ekstrim
kering pada tahun 2006 dan 2008 seperti nampak pada Gambar 6 berikut ini.

Gambar 6. SPI wilayah sentra padi di Jawa Tengah dan curah hujan pada 1998 – 2009.

Berdasarkan Gambar 6 di atas, terlihat bahwa kondisi sangat kering dan paling parah yang
pernah terjadi di Jawa Tengah terjadi di tahun 2006, dimana 7 dari 11 Kabupaten di Jawa Tengah
yang menjadi sentra produksi beras mengalami kondisi kering hingga sangat kering, antara 6
hingga 12 bulan, dan itu terjadi secara berturut-turut. Kabupaten Sragen merupakan daerah yang
terparah dengan kondisi kering hingga sangat kering selama 12 bulan, dimana 3 bulan merupakan
kondisi sangat kering. Sedangkan Kabupaten Demak walaupun hanya mengalami 6 bulan musim
kering hingga sangat kering, namun hanya 4 bulan diantaranya merupakan kondisi sangat kering
berturut-turut seperti nampak pada Gambar 7 berikut.
Yang menarik disini adalah kering panjang di tahun 2006 tersebut ternyata sudah dimulai
sejak bulan Maret hingga November 2006 (sekitar 8 bulan), dan mencapai puncaknya di bulan
Agustus dan September 2006. Sementara nilai paling minimum SPI hampir semuanya menumpuk
di bulan November 2006. Ini mungkin saja terjadi mengingat adanya waktu tenggang (lag-time)
antara data SPI dengan data curah hujan yang ada.

Gambar 7. SPI wilayah Sentra padi di Jawa Tengah dan curah hujan pada 2006

F-63
Nur Febrianti/ Analisis Fenomena Kekeringan

Dengan asumsi bahwa SPI terkait erat dengan perilaku data MEI dan DMI, maka berikut
ini kami tampilkan persamaan regresi ganda yang terjadi antara data anomali curah hujan di
beberapa kota di Jawa Tengah dengan data MEI dan DMI seperti nampak pada Tabel 1 itu berikut
ini. Hasilnya adalah sebagai berikut bahwa hampir semua nilai MEI (termasuk DMI) bernilai
negatif, kecuali kota Cilacap saja yang bernilai positif. Ini mengindikasikan bahwa bahwa MEI dan
DMI memang secara fisis bertolak belakang dengan data anomaly curah hujan. Artinya semakin
tinggi MEI dan DMI, maka curah hujan akan semakin kecil/kering. Sebaliknya, semakin rendah
MEI dan DMI, maka anomali curah hujan yang terjadi akan semakin besar/basah. Koefisien
korelasi terbesar terjadi di kota Brebes, lalu diikuti Cilacap dan seterusnya dari yang paling
maksimum sekitar 13.2 hingga paling minimum sekitar 2.0 di kota Klaten.
.

Tabel 1. Persamaan regresi data iklim global dengan curah hujan Jawa Tengah
Kota Persamaan R square
Brebes Y = -0.05X1 – 0.34X2 + 0.014 13.2
Cilacap Y = 0.02X1 – 0.41X2 - 0.030 12.8
Pemalang Y = -0.13X1 – 0.27X2 + 0.001 12.4
Banyumas Y = -0.02X1 – 0.39X2 + 0.035 12.1
Pati Y = -0.16X1 – 0.16X2 + 0.012 10.9
Blora Y = -0.20X1 – 0.15X2 + 0.021 10.8
Kebumen Y = -0.04X1 – 0.34X2 - 0.037 9.8
Grobogan Y = -0.17X1 – 0.13X2 + 0.003 7.6
Demak Y = -0.15X1 – 0.15X2 – 0.006 7.3
Sragen Y = -0.16X1 – 0.07X2 - 0.013 4.0
Klaten Y = -0.09X1 – 0.07X2 - 0.031 2.0
dimana: Y = anomali curah hujan; X1 = MEI ; X2 = DMI

KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekeringan meteorologis yang terjadi di Jawa
Tengah dalam kurun waktu 1998-2009 (sekitar 11 tahun) terjadi akibat menaiknya data MEI
(Multivariate ENSO Index ) dan DMI (Dipole Mode Index), apalagi jika keduanya bertemu dalam
kurun waktu yang hampir bersamaan (simultan). Kondisi paling parah terjadi di tahun 2006,
dimana 7 dari 11 Kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi sentra produksi beras mengalami
kondisi kering hingga sangat kering, dalam kurun waktu antara 6-12 bulan, dan itu terjadi secara
berturut-turut. Kabupaten Sragen merupakan daerah yang terparah dengan kondisi kering hingga
sangat kering selama satu tahun, kemudian Kabupaten Demak. Satu hal yang menarik disini adalah
bahwa MEI ikut berperan besar dalam menentukan variasi musim kering yang terjadi di beberapa
Kabupaten di Jawa Tengah, kecuali Cilacap. Dengan terus memantau perkembangan terakhir
daripada data MEI dan DMI, maka kemungkinan terjadi kering panjang di Jawa Tengah di masa
mendatang, khususnya di Kabupaten Seragen dan Demak dapat diprediksi dengan baik.

F-64
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air. 2006. Buletin Pengelolaan Lahan Dan Air Edisi
Desember 2006. Jakarta. http://www.pla.deptan.go.id/
Febrianti, N., Adi W., dan Rosida. 2010. Analisis Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap
Indeks Kekeringan di Jawa-Bali dengan Menggunakan Data Satelit. Prosiding Seminar Perubahan
Iklim di Indonesia, Mitigasi dan Trategi Adaptasi dari Tinjauan Multidisiplin. Sekolah Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
Http://iri.columbia.edu/climate/ENSO/currentinfo/SST_table.html. Akses 4 April 2011.
Lloyd-Hughes, B., and Mark A. Saunders. 2002. A Drought Climatology for Europe. Int. J.
Climatol. 22: 1571–1592.
McKee, T.B.; N.J. Doesken; and J. Kleist. 1993. The Relationship Of Drought Frequency
And Duration To Time Scales. Preprints, 8th Conference on Applied Climatology, pp. 179–184.
January 17–22, Anaheim, California.
McKee, T.B.; N.J. Doesken; and J. Kleist. 1993. The relationship of drought frequency and
duration to time scales. Preprints, 8th Conference on Applied Climatology, pp. 179–184. January
17–22, Anaheim, California.
Pramudia, A. 2006. Musim Hujan di Sentra produksi Padi Sudah Berubah. Sinar Tani Edisi
20 – 26 September 2006.
Triyanto, J. 2006. Analisis Produksi Padi di Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Wolter, K., and M.S. Timlin. 1993. Monitoring ENSO in COADS with a seasonally
adjusted principal component index. Proc. of the 17th Climate Diagnostics Workshop, Norman,
OK, NOAA/NMC/CAC, NSSL, Oklahoma Clim. Survey, CIMMS and the School of Meteor., Univ.
of Oklahoma, 52-57.
http://www.esrl.noaa.gov/psd/people/klaus.wolter/MEI/table.htm
http://www.jamstec.go.jp/
Http://geospasial.bnpb.go.id/2010/06/15/peta-indeks-risiko-bencana-kekeringan-provinsi-
jawa-tengah/. Akses 4 April 2011.

F-65
Nur Febrianti/ Analisis Fenomena Kekeringan

F-66

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai