Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/309242925

Interaksi El Nino, Monsun, dan Topografi Lokal Terhadap Anomali


Hujan di Pulau Jawa

Article · January 2016

CITATIONS READS
0 1,243

2 authors:

Haries Satyawardhana Erma Yulihastin


Indonesian National Institute of Aeronautics and Space Indonesian National Institute of Aeronautics and Space
13 PUBLICATIONS   16 CITATIONS    27 PUBLICATIONS   26 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

mechanism of air-sea interaction to change of diurnal rainfall over java View project

All content following this page was uploaded by Erma Yulihastin on 19 October 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Haries Satyawardhana, dkk Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal
terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL


TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA

Haries Satyawardhana and Erma Yulihastin


Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Email: hariessatha@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan data curah hujan TRMM
(Tropical Rainfall Measuring Mission) dan angin NNRP
(NCEP/NCAR Reanalysis Project) untuk melakukan satu
diheterogenitas spasial dari variabilitas iklim di Pulau Jawa.
Kajian mengenai anomali curah hujan pada saat El Nino telah
banyak dilakukan, El Nino membawa pengaruh kering di Pulau
Jawa. Namun, dalam penelitian ini kajian El Nino dihubungkan
dengan monsun Australia dan topografi lokal di Pulau Jawa. Hasil
dari penelitian ini adalah adanya anomali positi fcurah hujan di
Pulau Jawa pada saat El Nino terjadi pada bulan DJF (Desember,
Januari, Februari). Hal ini disebabkan adanya anomali angin
monsun selama El Nino. Pengaruh El Nino pada saat musim
peralihan (SON – September, Oktober, November) adalah adanya
penguatan angin monsun tenggara di Pulau Jawa. Sebaliknya
pada saat DJF, terjadi pelemahan angin monsun barat laut yang
menyebabkan kuatnya siklus diurnal baik angin darat-laut
maupun angin lembah-gunung sehingga meningkatkan curah
hujan di daerah pegunungan yang lebih dekat ke pantai selatan
dibandingkan dengan pantai Utara Jawa. Oleh karena itu,
variabilitas siklus diurnal berhubungan dengan ketidak-
simetrisan topografi lokal yang menyebabkan adanya
kecenderungan pola: basah untuk daerah selatan dan kering
untuk daerah utara.

Keywords: curah hujan TRMM, AUSMI, SOI

ABSTRACT
This research using rainfall data from TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) and wind from NNRP (NCEP / NCAR

59
Haries Satyawardhana, dkk

reanalysis Project) to study the spatial heterogeneity of climate


variability in Java. The study of the precipitation anomalies during
El Nino have been carried out, in which the influence of El Nino
actually give a dry condition over Java. However, in this research
study of the El Nino is associated with the Australian monsoon
and the local topography in Java. The result is El Nino give a
positive rainfall anomalies would occur in southern part of Java
during DJF (December, January, and February). This due to the
monsoon winds anomalies during El Nino, at which time the
transitional seasons (SON - September, October, and November)
has been strengthening of the southeast monsoon winds on the
island of Java. In contrast, in DJF the northwest monsoon winds
is weakening, which cause strong diurnal cycle both land-sea
breeze or wind-mountain valleys thus increasing rainfall in
mountainous areas, which are closer to the south coast compared
to the northern coast of Java. Therefore, the variability of the
diurnal cycle associated with non-symmetrical local topography
that causes the tendency of patterns: wet to dry to the south and
the north.

Keywords: TRMM rainfall, AUSMI, SOI

1 PENDAHULUAN

Iklim di Indonesia terutama yang berkaitan dengan variasi


curah hujan dipengaruhi oleh sistem monsun Asia-Australia dan
interaksi laut-atmosfer pada skala luas seperti El Nino Southern
Oscillation (ENSO). Aldrian, et.al., (2007) menyatakan bahwa
monsun dan ENSO lebih banyak menjadi pendorong variasi
musim dan variasi interannual dari hujan dan kejadian ekstrem di
Indonesia.ElNino berpengaruh terhadap penurunan curah hujan
di Benua Maritim Indonesia (BMI), namun tidak berlaku untuk
semua wilayah, antara lain di selatan Jawa Barat (Qian, et.al,
2010). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respons
curah hujan terhadap kejadian El Nino di setiap daerah di BMI,
khususnya di Pulau Jawa. Pengecualian yang terjadi selatan Jawa
tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut,apalagi mengingat
Pulau Jawa merupakan sentra pertanian (Malian, et.al., 2004).

60
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

Fenomena El Nino merupakan salah satu penyebab


terjadinya perubahan intensitas curah hujan di Indonesia di
mana pengaruh kering (basah) yang ditimbulkan oleh El Nino (La
Nina) memegang peranan penting dalam prediksi onset monsun
untuk penentuan kalender tanam di Indonesia. Selain itu, ENSO
juga berpengaruh terhadap lama musim hujan maupun kemarau
di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Boer dan Subiah (2005) yang
mengemukakan bahwa awal musim hujan pada tahun El Nino
dapat mundur sampai 4-6 dasarian dan maju pada tahun La
Nina.
Selain ENSO, fenomena monsun juga mempengaruhi pola
musim hujan dan kemarau di BMI. Monsun merujuk pada siklus
tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer
selama fase kering dan fase basah. Siklus tahunan ini membagi
fase kering dan fase basah menjadi dua periode. Fase kering
dipengaruhi oleh musim dingin yang terjadi di berbagai benua
dengan massa udara di atmosfer yang bersifat dingin dan kering
(Webster, et.al., 1998). Sebaliknya, fase basah dipengaruhi oleh
musim panas dengan udara yang bersifat lembap. Monsun
dibangkitkan oleh perbedaan pemanasan antara lautan dan
daratan disebabkan oleh pergerakan semu matahari, bentuk dan
topografi benua, baik Benua Asia, Eropa, Afrika, Maritim,
Amerika dan Australia (Li dan Yanai, 1996; Hung, et.al., 2004;
Chang, et.al., 2005). Adapun letak strategis geografis BMI yaitu
berada di antara area perlintasan monsun regional yakni monsun
Asia-Australia.
Angin monsun dan daerah curah hujan maksimum
selanjutnya sangat terkait dengan migrasi Inter-Tropical
Convegence Zone (ITCZ) di atas Jawa setiap tahun. Hal ini
mengakibatkan musim hujan selama musim dingin BBU (belahan
bumi utara) dan musim kering selama musim panas BBU, dengan
musim peralihan diantaranya. Apabila terjadi fenomena El Nino,
maka akan terdapat gangguan terhadap ITCZ tersebut, sehingga
terjadi inkonsistensi terhadap curah hujan di Pulau Jawa.
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji variasi curah hujan
terhadap kondisi topografi di Pulau Jawa akibat adanya
pelemahan monsun yang diakibatkan fenomena El Nino.
Pemahaman mengenai interaksi antara monsun dan El Nino ini
penting mengingat fenomena ENSO dan monsun Asia-Australia

61
Haries Satyawardhana, dkk

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi iklim di


Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengkaji pengaruh
topografi terhadap curah hujan dari pelemahan monsun akibat El
Nino.

Gambar 1. Topografi Pulau Jawa, garis putus-putus (107.5° dan


110.5° BT) adala hgaris yang digunakan untuk
analisis cross section yang digunakan di Bab 4.

2 DATA DAN METODOLOGI


2.1 DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
curah hujan bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) 3B43 dan data SOI yang didapatkan dari
http://www.bom.gov.au/. Indeks AUSMI didapatkan dengan
menghitung rata-rata area angin zonal level 850 mb dari area
110°-130°BT, 15°LS-5°LU. Data curah hujan bulanan dari satelit
berbentuk data grid dengan periode 1998-2011, dengan resolusi
spasial 0.25°. Batas Wilayah Indonesia dalam penelitian ini
adalah 5ºLU-11ºLS dan 95º-141ºBT. Data angin berasal
dariNCEP/NCAR Reanalysis Project (NNRP) II yang mempunyai
resolusi spasial 2.5° dan Data Era Interim dengan resolusi spasial
0.25° dan kedua data angin tersebut mempunyai temporal
bulanan.
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GrADS
untuk pengolahan spasial data TRMM dan penghitungan
koefisien korelasi curah hujan dengan AUSMI, sedangkan
perangkat lunak lain digunakan untuk pemrosesan data deret
waktu untuk melihat koefisien korelasi AUSMI dan SOI, serta

62
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

untuk mengeplot cross section dari kedua daerah yang berbeda


topografinya.

2.2 METODOLOGI
Metode penelitian dijelaskan sebagai berikut:
1) Penghitungan indeks untuk monsun Australia menggunakan
data angin zonal NNRP level 850 mb, lalu dilakukan perata-ratan
per musim untuk tiap tahun.
2) Analisis yang pertama dilakukan adalah mengkaji daerah yang
curah hujannya dipengaruhi oleh monsun musim panas
Australia, dengan melakukan korelasi secara spasial antara curah
hujan TRMM dan AUSMI.
3) Setelah itu dilakukan analisis pengaruh ENSO terhadap
monsun yang diwakili oleh SOI dan AUSMI (baik berupa deret
waktu, deviasi maupun koefisien korelasinya). Hal ini penting
untuk menentukan waktu dan tahun-tahun El Nino yang
melemahkan monsun musim panas Australia (ditemukan korelasi
yang tinggi pada bulan DJF).
4) Perata-rataan dilakukan secara klimatologis untuk tahun El
Nino, selanjutnya diamati anomalinya berupa pengurangan atau
penambahan curah hujan serta kecepatan angin monsun.
5) Analisis penampang melintang dilakukan untuk melihat
pengaruh topografi terhadap anomali curah hujan yang terjadi
selama DJF dan SON pada saat El Nino terjadi (garis putus-putus
pada Gambar 1).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Interaksi Monsun Australia-ENSO
Korelasi AUSMI dengan curah hujan untuk di wilayah
Indonesia, mendapatkan daerah yang berkorelasi tinggi adalah di
bagian selatan Indonesia, termasuk Pulau Jawa dan sekitarnya,
baik di daratan maupun perairan. Hal ini menandakan bahwa
Indonesia bagian selatan dipengaruhi oleh monsun Australia
dimana onset monsun Australia berdasarkan penelitian Kajikawa,
et.al., (2009) menggunakan AUSMI terjadi pada bulan Desember-
Februari. Hal ini mempunyai kesamaan dengan Indonesia bagian
selatan yang sebagian besar mempunyai curah hujan maksimum
pada bulan DJF.

63
Haries Satyawardhana, dkk

Gambar 2. Korelasi spasial antara AUSMI dan curah hujan


(TRMM), menggunakan data periode Januari 1998 –
Februari 2011.

Gambar 2 menunjukkan korelasi spasial antara AUSMI


dan curah hujan TRMM dengan periode data Januari 1998 –
Februari 2011. Terlihat bahwa korelasi di Pulau Jawa antara 0.5-
0.6.
Gambar 3 menunjukkan nilai SOI dan AUSMI yang
menandakan adanya pelemahan monsun pada saat El Nino. El
Nino ditandai dengan nilai SOI negatif pada tahun 1998, 02/03,
04/05, 06/07 dan 09/10, secara bersamaan nilai AUSMI pada
bulan DJF pun menurun. Kajikawa, et.al, (2009) menyatakan
bahwa El Nino memberikan efek negatif pada monsun musim
panas Australia (DJF), dimana pada saat El Nino kuat, monsun
musim panas Australia (yang merupakan periode basah di
Australia) melemah. Dengan melemahnya angin monsun maka
Australia mengalami penurunan curah hujan dibandingkan pada
saat normal. Sebaliknya monsun musim panas Australia menguat
apabila terjadi La Nina.
Analisis lebih lanjut digunakan standar deviasi untuk
melihat besarnya penyimpangan yang disebabkan El Nino dan La

64
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

Nina (Gambar 4-a), serta digunakan scatter plot untuk melihat


korelasi antara kedua indeks (Gambar 4-b).
Gambar 4-a menunjukkan bahwa deviasi terbesar pada
AUSMI terjadi pada Bulan Februari. Deviasi yang besar di bulan
DJF ini ditengarai merupakan pengaruh dari ENSO. Fenomena
ENSO yang ditunjukkan oleh SOI, mempunyai korelasi yang besar
pada saat monsun musim panas Australia (4-b), di mana AUSMI
dan SOI mempunyai koefisien korelasi (r) 0.8 (r2=0.675),
sedangkan pada bulan lain deviasi tidak terlalu besar dan nilai
korelasi tidak tinggi (tidak disertakan/digambarkan dalam
makalah ini).
7.0 25.0
AUSMI SOI 20.0
5.0
15.0
3.0 10.0
5.0
1.0
AUSMI

SOI
0.0
DJF 1998

SON 1998

DJF 1999

SON 1999

DJF 2000

SON 2000

DJF 2001

SON 2001

DJF 2002

SON 2002

DJF 2003

SON 2003

DJF 2004

SON 2004

DJF 2005

SON 2005

DJF 2006

SON 2006

DJF 2007

SON 2007

DJF 2008

SON 2008

DJF 2009

SON 2009

DJF 2010

SON 2010
-1.0
-5.0

-3.0 -10.0
-15.0
-5.0
-20.0
-7.0 -25.0
Tahun

Gambar 3. Time series untuk AUSMI dan SOI, untuk tahun El


Nino yang digunakan ditandai oleh lingkaran (DJF),
dan kotak (SON).
a b
6.0

8
5.0
6

4 4.0

R2 = 0.6753
AUSMI

2
3.0
AUSMI

-2 2.0

-4
1.0
-6

-8 0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 -30.0 -20.0 -10.0 0.0 10.0 20.0
Bulan SOI

Gambar 4. a) Rata-rata dan standar deviasi AUSMI selama


periode 1998 – 2011; b) Scatter plot antara kedua
indeks: SOI dan AUSMI pada DJF.

65
Haries Satyawardhana, dkk

3.2 Dampak Interaksi Monsun-ENSO pada Skala Luas


Untuk menganalisis proses yang multi skala, dilakukan
analisis skala luas untuk mengamati pola spasial El Nino dan
Monsun Australia. Skala yang lebih kecil dijelaskan di bagian
selanjutnya. Gambar 4 memperlihatkan komposit antara data
curah hujan TRMM, angin dan divergensi selama SON (5-a) dan
DJF (5-b). Perpindahan curah hujan monsunal di Asia-Australia
disebabkan oleh perbedaan pemanasan yang dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu: adanya pergerakan semu matahari pada
arah utara-selatan, dan perbedaan kontras panas skala besar
(planetary scale) antara daratan-lautan pada arah barat-timur
(benua Eurasia dan Samudera Pasifik), yang keduanya
mempunyai kapasitas panas yang berbeda. Hasilnya adalah
curah hujan maksimum yang bergerak tahunan secara kontinyu
di antara barat laut dan tenggara. Hal ini menyebabkan curah
hujan maksimum terjadi di selatan dan timur dataran tinggi Tibet
pada saat musim panas BBU (JJA), lalu berpindah ke arah
tenggara pada musim gugur BBU (SON), sampai ke Indonesia dan
Australia pada musim dingin BBU (DJF), dan kembali ke arah
barat laut pada saat musim semi BBU (MAM).

a b

Gambar 5. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna),


angin NNRP (m/s; vektor) dan divergensi (interval
5x10-6 s-1; kontur), untuk a) SON dan b) DJF, periode
tahun 1998 – 2011.

Namun karena panas inersia di lautan lebih besar


dibandingkan daratan, maka terdapat lag (terlambat) panas ± 1 –
2 bulan terhadap pergerakan semu matahari tersebut sehingga

66
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

menyebabkan angin monsun di Indonesia pada saat SON masih


sama arahnya dengan JJA, yaitu dari Australia (tenggara) menuju
Asia (barat laut) (Qian, et.al., 2010). Pada musim peralihan SON
(Gambar 5-a) tampak bahwa angin monsun di Pulau Jawa
mempunyai arah dari tenggara, sedangkan pada DJF (Gambar 5-
b) berlawanan arah dengan SON yaitu angin monsun barat laut.
Sementara itu, curah hujan maksimun sangat berkaitan
dengan ITCZ (Inter-tropical Convergence Zone), dimana area
konvergensi di Indonesia lebih banyak terlihat di periode DJF
dibandingkan SON. Pada saat SON, konvergensi terlihat di utara
dan barat Indonesia, mencakup Laut China Selatan dan barat
Pulau Sumatra dengan konvergensi -3x10-6 s-1 (kontur pada
Gambar 5). Sedangkan konvergensi di Pulau Jawa hanya terlihat
sedikit. Sementara pada DJF, hampir di semua daerah di Pulau
Jawa terjadi konvergensi yang kuat sehingga menyebabkan
sebagian besar daerah mempunyai curah hujan yang tinggi.
Gambar 6 menunjukkan anomali curah hujan dan angin
pada tahun El Nino pada SON dan DJF, dimana pengaruh El Nino
berkurang secara bertahap dari pra-monsun (SON) sampai masuk
ke monsun basah (DJF). El Nino menguatkan angin monsun dari
Australia pada SON, sehingga memberikan pengaruh yang lebih
kering dibandingkan klimatologisnya. Hal ini dapat terlihat pada
gambar 6-a, dimana terdapat anomali negatif dari curah hujan
sehingga di seluruh daerah di Jawa mengalami penurunan curah
hujan pada saat El Nino terjadi. Anomali angin pada Gambar 6,
Gambar 7 (c), (d) dan (e) bukan menunjukkan arah angin, namun
menunjukkan pengurangan vektor angin antara El Nino dan
klimatologis. Pada Gambar 6-a pada SON di tahun El Nino,
anomali arah angin masih terlihat timuran, yang menandakan
bahwa angin monsun pada saat El Nino terjadi lebih kuat
dibandingkan klimatologisnya. Hal ini yang menyebabkan
pengurangan curah hujan SON pada saat El Nino. Sedangkan
pada DJF (Gambar6-b) arah dan kecepatan angin pada saat El
Nino sama dengan klimatologis nya, hanya angin baratan pada
DJF di tahun El Nino melemah jika dibandingkan dengan
klimatologisnya, hal ini menyebabkan pengurangan curah hujan
di Jawa juga terjadi pada saat DJF. Halini sama dengan
penelitian sebelumnya dimana pada saat El Nino terjadi anomali
angin kearah timuran, yang sama arahnya dengan angin monsun

67
Haries Satyawardhana, dkk

pada saat SON, namun berlawanan dengan monsun pada DJF


(Hamada, et.al., 2002). Pada DJF, pelemahan monsun Asia pada
saat El Nino terjadi sehingga mempengaruhi penurunan curah
hujan di selatan Indonesia. Menariknya, anomali curah hujan
yang positif justru terjadi di selatan Jawa Barat pada saat El Nino
dan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Qian, et.al., 2010),
yang akan dibahas di bagian selanjutnya.

a b
) )

Gambar 6. Komposit anomali curah hujan TRMM (mm; warna)


dan angin NNRP (m/s; vektor) pada saat El Nino
untuk a) SON, dan b) DJF. Kotak merah adalah
daerah yang terdapat anomali positif dari pelemahan
monsun akibat El Nino. Tahun El Nino yang
digunakan adalah 98, 02/03, 04/05, 06/07 dan
09/10.

3.3 Respons Interaksi Monsun-El Ninoterhadap Topografi di


Jawa
Gambar 7 memperlihatkan data curah hujan TRMM dan
angin selama SON (a) dan DJF (b), sedangkan komposit pada (c)
dan (d) adalah anomali curah hujan selama El Nino dalam dua
musim yang berbeda. Curah hujan meningkat secara bertahap
dari pra-monsun (SON) sampai masuk ke monsun basah (DJF).
Curah hujan yang tinggi terdapat di daratan jika dibandingkan
dengan lautan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Qian
(2008) bahwa curah hujan terkonsentrasi di pulau (daratan)
dikarenakan adanya konvergensi angin laut ke daratan dan

68
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

konvergensi angin lembah ke pegunungan, sehingga


menyebabkan penguatan proses konvektif. Hal ini menghasilkan
curah hujan yang lebih tinggi pada DJF dibandingkan dengan
bulan-bulan lainnya.
Curah hujan yang tinggi pada saat DJF, terdapat di Jawa
tengah dengan lebih tinggi di sebelah utara dibandingkan selatan.
Ini disebabkan oleh adanya angin monsun dari Asia yang
melewati Laut China Selatan dan dibelokkan Pulau Sumatera dan
sampai di utara Pulau Jawa. Namun pada saat El Nino, anomali
curah hujan positif justru terjadi di bagian selatan Pulau
Jawa.Pada Gambar 7 (e) menunjukkan bahwa pada DJF terlihat
angin baratan di atas Pulau Jawa lebih kuat terjadi pada saaat El
Nino jika dibandingkan dengan klimatologis-nya. Hal ini
ditunjukkan oleh magnitudo yang bernilai positif di semua lokasi
penelitian. Hal ini diakibatkan pelemahan Monsun Asia
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Pelemahan angin monsun pada saat DJF mengakibatkan
pengurangan curah hujan di Pulau Jawa dan sekitarnya, namun
dapat menguatkan siklus diurnal baik angin darat-laut maupun
angin gunung-lembah (Qian, et.al, 2010). Hal ini dijelaskan oleh
penelitian sebelumnya dengan menggunakan simulasi model
RegCM3 yang mempunyai resolusi tinggi dengan menggunakan
input data NNRP. Dimana Qian, et.al., (2010) menunjukkan
bahwa pada pagi hari yaitu pada 01.00 - 13.00 WIB anomali
angin menunjukkan karakter angin darat yang menyebar dari
pulau Jawa menuju lautan di sekitarnya. Selama sore dan malam
13.00-01.00 WIB, anomali angin dan hujan menunjukkan pola
angin laut, memusat dari arah laut utara dan selatan menuju ke
tengah pulau, lebih dominan di pegunungan dekat pantai selatan
Jawa. Anomali siklus diurnal dari angin dan curah hujan
mempunyai fase yang sama dengan klimatologisnya (Hamada,
et.al., 2002). Oleh karena itu siklus diurnal pada DJF di tahun El
Nino menguat, dengan konvergensi yang intensif pada komponen
angin lembah yang menuju ke arah gunung sehingga dapat
meningkatkan curah hujan di atas pegunungan. Hasil pemodelan
menunjukkan bahwa angin monsun yang lebih lemah pada DJF
selama El Nino mengurangi pengaruh dari panas lokal yang
menggerakkan siklus diurnal angin, dan kemudian memperkuat
angin darat-laut, angin lembah-gunung, sehingga membentuk

69
Haries Satyawardhana, dkk

distribusi hujan di atas normal di wilayah pegunungan dalam


skala lokal.

a b
) )

c d
) )

e)

Gambar 7. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna)


dan angin NNRP (m/s; vektor) pada a) SON, dan b)
DJF, serta anomali curah hujan TRMM dan angin
NNRP pada saat El Nino untuk c) SON, d) DJF dan e)
Komposit magnitudo dan vektor selisih angin DJF
(EN-Clim) dari Data Era Interim resolusi 0.25. Kotak
merah adalah daerah yang terdapat anomali positif
dari pelemahan monsun akibat El Nino.

70
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

Analisis lebih lanjut mengenai pengaruh topografi


pegunungan selama kejadian El Nino yang berkaitan dengan pola
anomali positif curah hujan di Jawa, akan dijelaskan pada
Gambar 8. Curah hujan SON pada saat El Nino lebih kecil dari
klimatologinya, ini ditunjukkan oleh anomali curah hujan yang
bernilai negatif dari pantai utara sampai dengan selatan. Hal ini
disebabkan oleh adanya sirkulasi skala besar yaitu kenaikan
massa udara (konvergensi) yang tertekan selama El Nino akibat
perpindahan Sirkulasi Walker. Anomali curah hujan mulai tinggi
di area pegunungan yaitu di lintang 7° LS (Gambar 8-a).
Sedangkan anomali negatif juga terdapat di area perairan sekitar
Pulau Jawa yang konsisten dengan anomali divergensi level
rendah (akibat pergeseran sirkulasi Walker) yang menurunkan
curah hujan di BMI (diindikasikan oleh Gambar 4-a). Penguatan
angin monsun tenggara selama SON pada tahun El Nino
cenderung mengganggu panas lokal dan siklus diurnal angin
sehingga kurang dapat mempengaruhi pengurangan hujan. Selain
itu, penguatan angin monsun tenggara yang melewati gurun di
Australia Utara telah menambah pengaruh kering di wilayah BMI,
khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya.
Pada saat awal musim basah (wet season), di Pulau Jawa
terjadi pembalikan arah angin monsun dari timuran menjadi
baratan (lihat Gambar 5-b dan Gambar 7-b). Dalam hal ini,
terjadi anomali curah hujan positif ( Gambar 6-b dan 7-d) di
selatan sebagian Jawa Barat (daerah pegunungan), namun
anomali negatif terjadi di sebagian utara Jawa (daerah pantai)
yang mengindikasikan kuatnya angin lembah yang memusat di
puncak pegunungan sehingga menghasilkan curah hujan di atas
normal. Jika dibandingkan dengan daerah yang datar (flat),
terdapat pola deret waktu yang sama pada dua musim (SON dan
DJF), di mana anomali curah hujan dari utara sampai selatan
mempunyai nilai negatif. Hal ini berarti bahwa curah hujan pada
saat El Nino selalu di bawah klimatologinya, hanya magnitudo
curah hujan untuk DJF lebih tinggi daripada SON.

71
Haries Satyawardhana, dkk

S-O-N Daerah datar Clim


450
EN
a 400 c EN-Clim
) 350 )
300
250

CH (mm)
200
150
100
50
0
-50

-6
-6 25
-6 25
-6 25
-6 25
-7 25
-7 25
-7 25
-7 25
-7 25
-8 25
-8 25
-8 25
-8 25
-100

.1
.3
.5
.7
.9
.1
.3
.5
.7
.9
.1
.3
.5
.7
25
Lintang

D-J-F Pegunungan Clim d)D-J-F Daerah datar Clim


450 EN EN
450
400 b EN-Clim
400 d EN-Clim
350 ) )
350
300 300
250
CH (mm)

250
CH (mm)

200 200
150 150
100 100
50 50
0 0
-50 -50
-6 -6 -6 -6 -6 -7 -7 -7 -7 -7 -8 -8 -8 -8
-6
-6 25
-6 25
-6 25
-6 25
-7 25
-7 25
-7 25
-7 25
-7 25
-8 25
-8 25
-8 25
-8 25

-100 -100 .1 .3 .5 .7 .9 .1 .3 .5 .7 .9 .1 .3 .5 .7
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
.1
.3
.5
.7
.9
.1
.3
.5
.7
.9
.1
.3
.5
.72
5

Lintang Lintang

Gambar 8. Potongan melintang (cross section) utara-selatan


untuk curah hujan TRMM (mm), dengan kondisi
klimatologi (garis putus-putus), El Nino (solid) dan
El-Nino dikurangi klimatologis (silang) di bujur
107,5° BT dan 110,5° BT dimana penggambaran
pulau ditunjukkan oleh garis tebal di sumbu x.
Curah hujan yang ditunjukkan adalah a) dan c)
untuk bulan SON dan b) dan d) untuk bulan DJF,
sedangkan a) dan b) menggambarkan kondisi
pegunungan dan c) dan d) menggambarkan daerah
yang datar.

72
Interaksi El–Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

4. KESIMPULAN

Pada periode SON selama tahun El Nino, terjadi pergeseran


Sirkulasi Walker menyebabkan penguatan angin monsun
tenggara di Pulau Jawa. Hal ini mengurangi intensitas siklus
diurnal sehingga menyebabkan adanya anomali curah hujan
negatif hampir di seluruh Pulau Jawa. Sedangkan kejadian El
Nino pada saat DJF, hampir di semua daerah terjadi penurunan
curah hujan, namun di daerah selatan Jawa Barat justru
terdapat anomali curah hujan positif. Pelemahan monsun barat
pada DJF akibat El Nino menyebabkanadanya anomali curah
hujan negatif di pantai utara Jawa, namun meningkatkan curah
hujan di pegunungan sebelah selatan Jawa.

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Didi Satiadi selaku
Kepala Bidang Pemodelan Atmosfer yang telah mendukung dan
memberikan masukan konstruktif kepada Penulis demi perbaikan
substansif terhadap makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN
Aldrian E., Gates, L.D. and Widodo, F.H., 2007: Seasonal
variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations
and in the reanalyses: The role of ENSO, Theoretical and
Applied Climatology, 87, 41–59.
Boer, R., and A. R. Subbiah., 2005: Agriculture drought in
Indonesia. Monitoring and Predicting Agricultural Drought:
A Global Study, V. S. Boken, A. P. Cracknell, and R. L.
Heathcote, Eds., Oxford University Press, 330–344.
Chang, C. P., Z. Wang, J. McBride, and C.-H. Liu., 2005: Annual
cycle of Southeast Asia–Maritime Continent Rainfall and
Asymmetric Monsoon Transition. Journal of Climate, 18,
287–301.
Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A.
Winarso, and T. Sribimawati., 2002: Spatial and temporal
variations of the rainy season over Indonesia and their link
to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285–310.

73
Haries Satyawardhana, dkk

Hung, C.-W., X. Liu, and M. Yanai., 2004: Symmetry and


asymmetry of the Asian and Australian summer monsoons.
Journal of Climate, 17, 2413–2426.
Kajikawa, Y., B. Wang, J. Yang., 2009: A Multi-time scale
Australian Monsoon Index. InternationalJournal of
Climatology, DOI: 10.1002/joc.1955.
Li, C., and M. Yanai., 1996: The onset and interannual variability
of the Asian summer monsoon in relation to land–sea
thermal contrast. Journal Climate, 9, 358–375.
Malian, AH. Mardianto S., Ariani M., 2004: Faktor-faktor yang
mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta
Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 22 no 2,
Oktober 2004: 119 – 146.
Qian, J. H., 2008: Why precipitation is mostly concentrated over
islands in the Maritime Continent. Journal of Atmospheric
Science, 65, 1428–1441.
Qian, J. H., A.W. Robertson and V. Moron., 2010: Interactions
among ENSO, the Monsoon, and Diurnal Cycle in Rainfall
Variability over Java, Indonesia. Journal of Atmospheric
Science, 67, 3509-3524.
Webster P. J., V. O. Magaña, T. N. Palmer, J. Shukla, R. A. Tomas,
M. Yanai and T. Yasunari., 1998: Monsoons: processes,
predictability, and the prospects for prediction. Journal of
Geophysical Research 103(C7): 14 451–14 510.

74

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai