Anda di halaman 1dari 9

KONDISI REGIONAL IKLIM INDONESIA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP GEOMORFOLOGI KARST DI INDONESIA

Revita Natali Kurniawan

K5417062, Program Studi Pendidikan Geografi, FKIP UNS, Surakarta.

ABSTRACT

Indonesian Throughflow (ITF, part of the circulation global water currents that have
an influence on climate conditions in Indonesia. ITF can trigger the emergence of the
El Nino-Southern Oscillation (ENSO) phenomenon. This phenomenon is what makes
regions in Indonesia experience a great rainy or dry season. Rainfall can dissolve
carbon dioxide CO₂ and soil in the karstification process to form karst geomorphology.
Changes in past climate parameters using other parameters contained in the cave
ornament (speleothem). Cave ornaments that are considered good at providing climate
recordings are stalagmites. Stalagmites formed from a series of calcite bedding are a
constant reflection of the climatic conditions when the calcite layer is deposited.
This study uses the ITF-ENSO connection in ITFopen method and also a literature
study to determine the effect of Indonesian cross flow (arlindo) on climate in Indonesia.
Keywords: Arlindo, climate, karstification, speleothem.
ABSTRAK

Arus lintas Indonesia(arlindo) merupakan bagian sirkulasi arus perairan global yang
memiliki pengaruh terhadap kondisi iklim di Indonesia. Arlindo dapat memicu
munculnya fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO). Fenomena ini yang
membuat wilayah di Indonesia mengalami musim hujan atau musim kemarau hebat.
Curah hujan dapat melarutkan karbon dioksida CO₂ dan tanah dalam proses karstifikasi
membentuk geomorfologi karst. Perubahan parameter iklim masa lalu menggunakan
parameter lain yang terdapat di dalam ornamen gua (speleothem). Ornamen gua yang
dianggap baik memberikan rekaman iklim adalah stalagmit. Stalagmit yang terbentuk
dari seri perlapisan kalsit secara menerus merupakan refleksi kondisi iklim pada saat
lapisan kalsit diendapkan.

Penelitian ini menggunakan metode ITF–ENSO connection in ITFopen dan


juga studi pustaka untuk mengetahui pengaruh arus lintas Indonesia (arlindo) terhadap
iklim di Indonesia.

Kata kunci : Arlindo, iklim, karstifikasi, speleothem.

I. PENDAHULUAN

Arus Lintas Indonesia (Arlindo) merupakan suatu sistem sirkulasi laut di


perairan Indonesia dimana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari
Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air
Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki, 1961 dalam Fieux et al., 1996a).
Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara
Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian tropik Lautan Pasifik
Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien
tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan
Hindia (Hasanudin, 1998).
Arlindo mengalirkan massa air Samudra Pasifik memasuki perairan
Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat yang masuk melalui Laut Sulawesi
lalu ke Selat Makassar, Laut Flores, dan ke Laut Banda. Jalur kedua adalah jalur
timur yang melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera lalu ke Laut Banda. Massa
air ini akan keluar menuju Samudra Hindia terutama melalui Laut Timor. Jalur
keluar lainnya melalui Selat Ombai, yaitu selat antara Alor dan Timor, serta melalui
Selat Lombok (Fieux, et al., 1996). Arlindo merupakan bagian sirkulasi arus
perairan global yang memiliki pengaruh terhadap kondisi iklim di Indonesia. Selain
itu, arlindo dapat memicu munculnya feEl Nino Southern Oscillation (ENSO).
Iklim merupakan unsur penting dalam proses karstifikasi. Karstifikasi
hanya dapat berlangsung bila tersedia air hujan sebagai sebagai media pelarut dan
ketersedian karbon dioksida (CO₂) tanah (Dreybroadt, 1981; Sweeting, 1980).
Kabon dioksida tanah inilah yang kemudian menjadikan air hujan menjadi bersifat
asam dan agresif terhadap batuan pembentuk karst (batuan karbonat, batugaram,
gipsum). Unsur iklim yang paling berpengaruh terhadap proses karstifikasi dalam
hal ini adalah temperatur dan presipitasi (Sweeting, 1980; Trudgill, 1985; Miotke,
1994).
Perspektif iklim selalu mewarnai perkembangan penelitian geomorfologi
karst. Penelitian geomorfologi telah mengalami pergeseran tema. Tema-tema
tersebut adalah pelarutan karst berbasis iklim, stalagmit sebagai proxi perubahan
iklim, dan karst sebagai carbon sink.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode ITF–ENSO connection in ITFopen
untuk mengetahui pengaruh arus lintas Indonesia (arlindo) terhadap iklim di
Indonesia maupun iklim global.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode studi pustaka, yaitu
mencari data dan/atau informasi yang berasal dari beberapa jurnal.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Regional Iklim di Indonesia

Pemblokiran arus lintas Indonesia (arlindo) mengubah sirkulasi lautan skala


besar, yang menghadirkan perbedaan antara arlindo terbuka dan arlindo tertutup.
Penyimpangan aliran siklon yang menyelimuti pantai timur Australia dan Samudra
Hindia barat daya menggambarkan penutupan transportasi arlindo, Arus Australia
Timur yang lebih kuat, dan Arus Agulha yang melemah. Perubahan-perubahan ini
telah dilaporkan dalam studi-studi sebelumnya hanya menggunakan laut saja dan
model yang digabungkan. Namun, tanggapan multigyre di Pasifik merupakan
umpan balik yang terkait dengan perubahan tekanan angin (Wajsowicz dan
Schneider (2001)).

Penyimpangan angin barat berkembang di sepanjang garis khatulistiwa


timur, sebagai respons terhadap penyimpangan tekanan tinggi dan rendah yang
terjadi di barat dan timur. Respons tekanan permukaan ini berasal dari perubahan
SST dengan pemanasan di Pasifik timur dan pendinginan di barat (seperti juga
ditemukan oleh Wajsowicz dan Schneider 2001; Song et al. 2007). Penyimpangan
SST pada gilirannya terkait dengan termoklin yang diperdalam di timur dan
termoklin yang meningkat di barat, menyiratkan kemiringan termoklin yang lebih
rata di sepanjang khatulistiwa, konsisten dengan pertukaran angin yang melemah.
Sinyal pemanasan dan pendinginan ekuatorial menjadi lebih jelas ketika
mempertimbangkan suhu rata-rata di atas 300 m. Hal ini karena perubahan suhu
terkait dengan perubahan kedalaman termoklin di mana gradien suhu vertikal besar.
Udara laut panas menunjukkan tanda yang berlawanan dengan SST sehingga
bertindak sebagai respons terhadap SST daripada menggerakkan penyimpangan
SST. Hasil ini secara kualitatif konsisten dengan penelitian sebelumnya
menggunakan GCMs berpasangan (Wajsowicz dan Schneider 2001; Song et al.
2007), dengan respon yang sedikit lebih kuat.

Kecepatan rata-rata vertikal tahunan pada kedalaman 50 m di arlindo


terbuka yang menggambarkan upwelling ekuatorial di Pasifik. Perbedaan rata-rata
kecepatan vertikal (peta warna) dan horizontal (vector) antara arlindo terbuka dan
arlindo tertutup konsisten dengan pertukaran angin yang melemah, upwelling
ekuivalen di Pasifik tengah berkurang. Arus Ekuatorial Selatan arah barat juga
melemah sebagaimana ditandai oleh anomali arus timur. Hal ini memungkinkan
kolam hangat Pasifik barat untuk mengganggu ke timur, rata-rata, sehingga
melemahkan suhu zonal. Penyimpangan angin barat juga bertindak untuk
melemahkan divergensi meridional permukaan laut. Dengan geostropi, perataan
thermocline khatulistiwa melemahkan konvergensi meridional di bawah lapisan
Ekman (tidak ditampilkan). Secara keseluruhan, ada pelepasan anomali yang lemah
dari termoklin khatulistiwa, dengan volume air hangat di arlindo tertutup sekitar
8% lebih kecil dari itu di arlindo terbuka. Perubahan volume ini sangat besar,
mengingat perubahan yang terlibat dalam pengisian ulang ENSO di arlindo terbuka
berada di urutan 3% dari rata-rata klimatologis.

Ini merupakn respons terhadap penutupan arlindo melibatkan hubungan


antara laut dan atmosfer. Perubahan angin yang melemah terkait dengan pemanasan
Pasifik timur disertai dengan termoklin yang lebih datar menggambarkan sirkulasi
Walker yang melemah. Selain itu, ITCZ bergeser ke selatan yang menunjukkan
profil garis lintang dari tekanan angin rata-rata yang dilepaskan secara zona di
arlindo terbuka dan arlindo tertutup rata-rata di atas Samudera Pasifik. Perubahan
yang dijelaskan di atas menggambarkan pergeseran menuju keadaan iklim yang
lebih mirip El Nino.

Pengaruh Iklim Terhadap Geomorfologi Karst Indonesia

Peran iklim dalam perkembangan morfologi karst dianggap dapat mengatur


cepat atau lambatnya proses karsfikasi. Perpektif iklim dalam kajian geomorfologi
merupakan proses pelarutan. Kajian geomorfologi ini mencoba mengkuntitatifikasi
tingkat pelarutan dan proses karstifikasi (Gunn,1981; Dreybroadt, 1985 Williams.
dan Dowling, 1979; Plummer dan Busenbero, 1982). Beberapa model proses
pelarutan dengan menggunakan parameter iklim antara lain dikemukakan oleh
Lang (1977), Engh (1980), dan White (1984) dengan menggunakan presipitasi
sebagai parameter, sedangkan temperatur tidak digunakan sebagai parameter untuk
menghitung tingkat pelarutan. Hal ini disebakan karena presipitasi mempunyai
peran utama dalam proses karstifikasi. Karstifikasi hanya dapat berlangsung bila
tersedia air dari presipitasi sebagai media pelarut. Semakin besar presipitasi,
semakin pesar proses karstifikasi yang terjadi. Temperatur tidak muncul secara
eksplisit dalam formula, karena temperatur mengontrol proses pelarutan secara
tidak langsung, yaitu mengontrol kapasitas CO2 terlarut dan mengontrol aktifitas
organik.

Perpsektif iklim dalam kajian geomorfologi karst selanjutnya (sejak dua


dekade tearkhir) terfokus pada eksplorasi proxy perubahan iklim, yaitu suatu kajian
yang berusaha mengetahui perubahan parameter iklim masa lalu menggunakan
parameter lain yang terdapat di dalam ornamen gua (speleothem). Ornamen gua
yang dianggap baik memberikan rekaman iklim adalah stalagmit. Stalagmit yang
terbentuk dari seri perlapisan kalsit secara menerus merupakan refleksi kondisi
iklim pada saat lapisan kalsit diendapkan. Penelitian (Baker et al., 1993; Shopov et
al., 1994; Genty and Quinif, 1996; Frisia dkk., 2003; Niggermann, dkk., 2003)
menunjukkan bahwa ketebalan lapisan kalsit yang teramati dari potongan stalgmit
merupakan pertumbuhan tahunan yang dapat dijadikan sebagai proxi perubahan
presipitasi. Kenampakan yang paling mencolok dari speleothem adalah laminasi
warna. Walaupun kalsit merupakan material yang tidak berwarna, namun stalagmit
dan flowstone biasanya menampilkan warna dari coklat dan oranye hingga merah
dan coklat tua. Beberapa Warna pada speleothem berasal dari sejumlah bahan
organik yang terbawa dari lapisan tanah di atasnya yang merupakan fungsi dari
iklim (Jones dkk., 2009). Konsentrasi bahan organik yang besar merupakan
indikasi dari musim yang lebih basah. Kondisi iklim yang basah dicirikan oleh
pertumbuhan vegetasi/biomas yang lebih intensif. Kondisi ini menyebabkan
organik tanah lebih besar yang selanjutnya terlarut dan terbawa air menjadi asam
organik dan diendapkan dalam speleothem (Toth, 1998; McGarry dan Baker,
2000). Selain perbedaan warna, perlapisan dalam stalagmit mengandung isotop dan
trace elementt yang juga merupakan fungsi dari kondisi iklim. Variasi dalam
konsentrasi trace elements, komposisi isotop dan persenyawaan material organik
membentuk material kasit yang memberi rekaman detail yang berhubungan dengan
suhu, variasi curah hujan, dan perubahan linkungan pada masa lampau (Fairchild,
2008). Isotop yang sering digunakan dalam rekontroksi perubahan iklim adalah
18O dan 13C. Konsentrasi 18O dalam stalagmit dapat digunakan untuk
merekonstruksi temperatur dan tebal hujan (White, 2004), sedangkan konsentrasi
13C digunakan untuk mengetahui kondisi vegetasi permukaan di permukaan pada
saat stalagmit diendapkan (Hartmann dkk, 2013). Trace element seperti Sr, Mg,
dan Pd disisi lain digunakan untuk merekonstruksi unsur-unsur polutant yang
terjadi di permukaan sekitar gua dimana gua stalagmit diambil.
Tema besar penilitian karst dengan persepektif iklim yang ketiga adalah
proses karstifikasi sebagai mekanisme sekuestrasi karbon dioksida atmosfer (CO2).
Tema penelitian banyak mewarnai publikasi-pubiklasi karst sejak tahun 1990 an.
Tema ini diilhami dengan gagasan bahwa proses karstfikasi adalah proses pelarutan
yang memerlukan karsbon dioksida. Proses karstifikasi diawali oleh larutnya CO2
atmosfer dan tanah oleh air hujan membentuk asam lemah (H2CO3) yang
kemudian berfungsi sebagai agen pelaut. Karbon dioksida merupakan gas atmosfer
yang mudah larus dalam air. Kelarutan gas karbon dioksida 64 kali lebih besar
daripada gas N2. H2CO3 merupakan larutan yang tidak stabil yang mudah terurai
menjadi H+ dan HCO3-. Ion H+ kemudian mensubsitusi Ca yang terikat sebagai
batugamping (CaCO3). Substitusi ini kemudian melepaskan Ca2+ dan CO32− ke
dalam air tanah yang berada di batuan gamping. Di sisi lain CO2, H2CO3, dan H+
berpindah dari larutan ke permukaan batugamping. Dengan demikian satu molekul
CO2 terjerap untuk melarutkan satu molekul CaCO3. Karbon atmosfer yang
tersekuestrasi/terjerap dalam proses karfikasi sebesar 6.08x108 ton/th (Yuan 2002;
Groves dan Meiman, 2001). Estimasi terbaru dari Liu dkk (2010) mendapatkan
bahwa sekuestrasi karbon melalui proses karstifikasi mencapai 0.8242 Pg C/tahun,
setara dengan 29.4% dari jerapan karbon di daratan, atau sekitar 10.4% dari CO2
atmosfer. Besaran tersebut dianggap sebagai salah satu jawaban dari karbon yang
selama ini belum dapat teridentifikasi dalam proses pemodelan siklus karbon
(missing carbon). Fakta-fakta tersebut di atas juga ditemukan Mulatsih dan
Haryono (2011) di Karst Gunungsewu-Indonesia. Dalam penelitian tersebut
dikemukaan bahwa sekitar 30% dari organic karbon yang tersirkulasi dalam
ekosistem karst terjerap ke dalam sistem karst. Secara keseluruhan, Haryono dkk
(2009) menghitung sekuestrasi karbon di Karst Gunung Sewu sebesar 72.804.16
ton C/tahun, dan selanjutnya Haryono (2011) menghitung sekuestrasi karbon untuk
seluruh karst di Indonesia sebesar 3.677.000 ton C/tahun atau setara dengan
13.482.000 ton CO2/tahun.
IV. KESIMPULAN
Arlindo merupakan bagian sirkulasi arus perairan global yang memiliki
pengaruh terhadap kondisi iklim di Indonesia. Arlindo dapat memicu munculnya
fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena ini yang membuat
wilayah di Indonesia mengalami musim hujan atau musim kemarau hebat. Curah
hujan dapat melarutkan karbon dioksida CO₂ dan tanah yang kemudian membentuk
geomorfologi karst. perubahan parameter iklim masa lalu menggunakan parameter
lain yang terdapat di dalam ornamen gua (speleothem). Ornamen gua yang
dianggap baik memberikan rekaman iklim adalah stalagmit. Stalagmit yang
terbentuk dari seri perlapisan kalsit secara menerus merupakan refleksi kondisi
iklim pada saat lapisan kalsit diendapkan. Kenampakan yang paling mencolok dari
speleothem adalah laminasi warna. Walaupun kalsit merupakan material yang tidak
berwarna, namun stalagmit dan flowstone biasanya menampilkan warna dari coklat
dan oranye hingga merah dan coklat tua. Beberapa Warna pada speleothem berasal
dari sejumlah bahan organik yang terbawa dari lapisan tanah di atasnya yang
merupakan fungsi dari iklim. Selain perbedaan warna, perlapisan dalam stalagmit
mengandung isotop dan trace elementt yang juga merupakan fungsi dari kondisi
iklim. Variasi dalam konsentrasi trace elements, komposisi isotop dan
persenyawaan material organik membentuk material kasit yang memberi rekaman
detail yang berhubungan dengan suhu, variasi curah hujan, dan perubahan
lingkungan pada masa lampau.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada Program Studi Pendidikan Geografi UNS yang
mengijinkan penulis dalam melakukan kegiatan penulisan artikel ilmiah ini,
terimakasih pula kepada Dr. Pipit Wijayanti, S.Si, M.Sc selaku dosen mata kuliah
Geografi Regional yang telah memberikan tugas penulisan artikel ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

- Santoso A., Cai, W., England, M.H. & Phipps, S.J. The Role of the Indonesian
Throughflow on ENSO Dynamics in a Coupled Climate Model. Journal of
Climate. Vol 24,585-601 (2011)
- Safitri, M., Cahyarini, S.Y., dan Putri, M.R. Variasi Arus Arlindo dan
Parameter Oseanografi di Laut Timor Sebagai Indikasi Kejadian Enso. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol 4, 369-377 (2012).
- Yuskar, Yuniarti., Harisma., Choanji, Tiggi. Karstifikasi dan Pola Struktur
Kuarter Berdasarkan Pemeraan Lapangan dan Citra SRTM Pada Formasi
Wapulaka, Pasar Wajo, Buton, Sulawesi Tenggara. Journal of Earth Energy
Engineering. Vol 6, No 1.

Anda mungkin juga menyukai