Anda di halaman 1dari 15

AKTIVITAS EL NIÑO MODOKI TERHADAP PERILAKU

CURAH HUJAN DI PULAU JAWA, INDONESIA


(Studi Kasus: Kabupaten Indramayu)
Shailla Rustiana1, Rahmat Hidayat1, Eddy Hermawan2

1. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB


2.Bagian pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung

Email: shailla.rustiana@yahoo.com

Abstract
This study aimed to see differences of variability rainfall in Indramayu District, West Java,
about the incidence of El Niño Modoki with El Niño Modoki index (EMI) and El Niño
with sea surface temperature anomaly (SSTA) Niño 3.4 index. Wavelet analysis of EMI
data and SSTA Niño-3.4 in period 1979 to 2013 resulted differences temporal
characteristics and determine the years of El Niño Modoki and El Niño Modoki conditions.
The results further strengthened with spatial analysis used GrADS which displays
composite rainfall distribution in the island of Java as well as the SSTA and anomaly of
850 hPa wind speed in the years of El Niño Modoki and El Niño conditions. The results of
the spatial analysis showed a decrease rainfall in Java Island in the SON season
(September-October to November) by correlation analysis result between rainfall with EMI
and rainfall with Niño3.4 at each observation station in Indramayu, amounting to -0.6 for
October and November. Indramayu rice production also decreased in conditions of strong
El Niño Modoki (1991) and the strong El Niño (1998), thus affecting the public economic
livelihood as farmers.

Keywords: El Niño Modoki, El Niño, GrADS, Rainfall, Productivity of Rice

Abstrak
Studi ini bertujuan melihat perbedaan perilaku curah hujan Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat terhadap kejadian El Niño Modoki dengan El Niño Modoki Indeks (EMI) dan El
Niño dengan indeks anomali suhu permukaan laut (ASPL) Niño 3.4. Analisis Wavelet
terhadap data EMI dan anomali SPL Niño 3.4 periode 1979-2013 menghasilkan perbedaan
karakteristik secara temporal dan menentukan tahun-tahun terjadinya kondisi El Niño
Modoki dan El Niño. Hasil semakin diperkuat dengan analisis spasial menggunakan
software GrADS yang menampilkan komposit sebaran curah hujan CRU di Pulau Jawa
serta anomali SPL dan anomali kecepatan angin 850 hPa pada tahun-tahun kondisi El Niño
Modoki dan El Niño. Hasil analisis spasial menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan
di pulau Jawa pada musim SON (September-Oktober-November) berdasarkan hasil
analisis korelasi antara curah hujan dengan EMI dan curah hujan dengan Niño3.4 pada
setiap stasiun pengamatan di Indramayu, sebesar -0.6 untuk bulan Oktober dan November.
Hasil produksi padi Kabupaten Indramayu juga mengalami penurunan pada tahun kondisi
El Niño Modoki kuat (1991) dan El Niño kuat (1998), sehingga mempengaruhi
perekonomian masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani.

Kata Kunci: El Niño Modoki, El Niño, Curah Hujan, GrADS, Produktivitas Padi

1
1. PENDAHULUAN

Iklim di Indonesia sangat kompleks dan dinamis. Kondisi tidak normal iklim terjadi
karena pengaruh fenomena iklim global. Fenomena iklim global sangat terkait dengan sistem
peredaran umum atmosfer Indonesia. Dua komponen peredaran umum yang mempengaruhi
sistem iklim Indonesia yaitu peredaran timur–barat (zonal) yang disebut sirkulasi Walker dan
peredaran utara–selatan (meridional) yang disebut sebagai sirkulasi Hadley. Keragaman iklim
yang berkaitan dengan dinamika sirkulasi Walker, salah satunya berkaitan dengan adanya
fenomena interaksi lautan-atmosfer yang dikenal dengan istilah El Niño and Southern
Oscillation (ENSO) dengan dua kemungkinan kejadiannya yaitu El Niño yang menyebabkan
kekeringan di Indonesia dan berdampak terhadap penurunan produksi di sektor pertanian.
Siklus El Niño biasanya muncul antara 4-7 tahun sekali, namun dalam beberapa tahun
terakhir muncul lebih awal dan semakin sering terjadi. Menurut Yeh et al. (2009), hal ini
diperkirakan berkaitan dengan perubahan iklim yang terjadi sebagai akibat adanya
pemanasan global. Ashok et al. (2007) telah melakukan kajian terhadap anomali suhu
permukaan laut (ASPL) di Samudera Pasifik tropis yang terjadi pada tahun 2004 terutama
terkait dengan pola penghangatan dan pola interaksinya. Hasil kajian tersebut
memperkenalkan suatu istilah yang menggambarkan pola penghangatan ASPL yang berbeda
dari biasanya, yang dikenal dengan istilah El Niño Modoki.
Kejadian El Niño Modoki ditunjukkan oleh adanya ‘kolam panas’ yang terkonsentrasi
hanya di bagian tengah Samudera Pasifik ekuator, sedangkan di bagian timur dan baratnya
tetap dingin. Fenomena ini dipublikasikan tahun 2004 oleh peneliti Badan Riset Kelautan
Jepang (Japan Agency for Marine–Earth Science and Technology, JAMSTEC) pada berbagai
press release. Dari kajian yang dilakukan peneliti JAMSTEC, wilayah Indonesia belum
banyak diteliti. Pemilihan Kabupaten Indramayu sebagai wilayah kajian karena wilayah ini
sering mendapatkan dampak iklim ekstrem seperti kekeringan dan banjir yang parah,
sehingga dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat yang sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
yang jelas mengenai perbedaan El Niño dengan El Niño Modoki dan kaitan dengan perilaku
curah hujan di pulau Jawa serta mengetahui dampaknya bagi hasil produksi padi.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2
Istilah El Niño telah mengalami perkembangan definisi dari tahun ke tahun. Aktivitas
El Niño sepanjang tahun dapat diukur melaui indeks ASPL setiap bagian wilayah yang
berbeda di sepanjang samudera Pasifik tropis (Trenberth dan Stepaniak 2001). NOAA
menggunakan indeks Niño3.4 (wilayah: 5°N–5°S, 120°W–170°W) untuk menentukan
kejadian El Niño. Wilayah ini disebut oleh para ilmuwan sebagai “equatorial cold tongue”,
kolam dingin yang terbentang di sepanjang ekuator dari pantai selatan Amerika hingga
Samudera Pasifik tengah. Pergerakan rata–rata bulanan SPL di wilayah ini sangat penting
dalam menentukan penyebab utama tidak hanya pada pergeseran pola curah hujan tropis
disana, tapi juga mempengaruhi jet streams dan pola suhu udara serta hujan di dunia.
El Niño Modoki merupakan fenomena couple atmosfer–lautan di kawasan Pasifik
tropis yang berbeda dengan fenomena El Niño. Kondisi El Niño ditandai dengan anomali
penghangatan SPL yang kuat di bagian tengah hingga timur Pasifik ekuator, sedangkan El
Niño Modoki berkaitan dengan anomali penghangatan SPL yang kuat di pasifik tropis bagian
tengah disertai dengan pendinginan di wilayah bagian timur dan baratnya. Oleh karena itu,
fenomena yang termasuk baru ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kajian komunitas peneliti
iklim global dunia (JAMSTEC 2011).
Istilah El Niño Modoki pertama kali diperkenalkan dan dipublikasikan oleh Toshio
Yamagata dalam berbagai press release media informasi Jepang terkait penjelasannya dalam
hal kemungkinan penyebab kondisi iklim musim panas yang tidak normal di Jepang pada
tahun 2004 (seperti dikutip dalam Japan Timespada 24 Juli 2004 dibawah judul “Mock El
Niño: culprit behind heat wave, floods”. Fenomena yang sepintas terlihat seperti El Niño di
Pasifik bagian tengah pada tahun 2004 telah memicu terjadinya gelombang panas dan banjir
di berbagai belahan wilayah Jepang. Yamagata (2004) mengatakan bahwa peningkatan ASPL
di wilayah ini mampu mengaktifkan arus konveksi dan memicu terbentuknya tekanan yang
lebih tinggi di Pasifik tengah. Di Jepang berakibat musim panas yang lebih hangat dari
kondisi musim panas normalnya. Sedangkan untuk dampak di Indonesia, masih belum dikaji
secara mendalam.
Secara matematis, Ashok et al. (2007) mendefinisikan El Niño Modoki melalui suatu
persamaan sebagai berikut:

EMI = [SSTA]Central– (0.5[SSTA]East+ 0.5[SSTA]West)

Keterangan:
3
[SSTA]Central= 165⁰E–140⁰W, 10⁰S–10⁰N
[SSTA]East = 110⁰W–70⁰W, 15⁰S–5⁰N
[SSTA]West= 125⁰E–145⁰E, 10⁰S–20⁰N.

SSTA yang merupakan singkatan dari Sea Surface Temperature Anomalies merupakan
istilah global yang merujuk pada ASPL. Persamaan diatas menghasilkan suatu indeks yang
dikenal sebagai El Niño Modoki Index (EMI). EMI menjadi tolak ukur kejadian El Niño
Modoki. Menurut Ashok et al (2007), ASPL dikategorikan termasuk ke dalam fase El Niño
Modoki kuat ketika indeksnya ≥ 0.7σ, dengan σ adalah standar deviasi musiman, sehingga
berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh 0.50⁰C dan 0.54⁰C sebagai batas EMI untuk
musim panas (boreal summer) dan musim dingin (boreal winter).
Pada kondisi normal, air permukaan laut dan udara yang lebih hangat didorong ke arah
barat oleh angin dominan yang bertiup. Akibatnya terjadi upwelling air laut yang dingin di
sisi timur dan pendangkalan termoklin (lapisan pembatas di bawah permukaan laut). Kondisi
Oseanografi yang berlawanan berlaku di bagian barat. Sehingga di atmosfer, sisi barat lebih
hangat dan lebih basah. Berdasarkan Gambar 1a (kondisi normal), warna kemerahan
menunjukkan kondisi SPL yang lebih hangat, warna kebiruan menunjukkan SPL yang lebih
dingin.

a) b) c)

Gambar 1. Skematik Kondisi (a) Normal, (b) El Niño dan (c) El Niño Modoki.
(Ashok & Yamagata 2009)

Kondisi El Niño Modoki (Gambar 1c) merupakan sejenis kondisi anomali yang
perbedaannya sangat jelas dengan kondisi El Niño (Gambar 1b), di mana SPL yang lebih
hangat terbentuk di Pasifik bagian tengah, sehingga pola khusus konveksi atmosfer yang
terjadi adalah tekanan udara di sisi timur dan barat yang lebih tinggi akibat udaranya yang
lebih dingin membuat angin yang bertiup berasal dari kedua kutub tersebut menuju ke bagian
tengah Pasifik. Angin tersebut mengakibatkan awan-awan konvektif dari sisi barat dan timur
berpusat di bagian tengah, sehingga wilayah Pasifik bagian tengah mengalami anomali yang

4
tidak biasa menjadi lebih basah dan kedua sisi yang mengapitnya akan lebih kering akibat
penarikan awan-awan konvektif itu sendiri.
Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang paling sering dikaji di Indonesia karena
memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi baik secara temporal (waktu) maupun secara
spasial (keruangan). Keadaan ini disebabkan oleh posisi Indonesia yang dilewati oleh garis
khatulistiwa dan keberadaannya diantara dua benua dan dua samudera. Menurut Aldrian &
Susanto 2003, pola curah hujan pulau Jawa termasuk dalam wilayah A, yaitu Monsunal
dengan ciri khususnya adalah puncak curah hujan tertinggi pada bulan Desember-Januari dan
puncak curah hujan terendah pada bulan Agustus. Kabupaten Indramayu terletak di bagian
barat pulau Jawa dan merupakan salah satu daerah penghasil produksi padi terbesar di
Indonesia. Pemilihan wilayah pengamatan Kabupaten Indramayu didasari oleh penelitian
terkait metode pengelompokkan pola hujan di Kabupaten Indramayu berdasarkan awal
musim hujan oleh Haryoko (2002), di mana diambil 5 titik stasiun pengamatan hujan yaitu:
Bondan, Indramayu, Krangkeng, Anjatan, dan Cikedung.

Gambar 2. Hasil pemetaan pos hujan sesuai kelompoknya (Haryoko 2002).

Berdasarkan gambar di atas, diambil 5 titik stasiun pengamatan dari kelompok 1, 2, 4,


5, dan 6. Stasiun pengamatan pada kelompok 3 tidak digunakan karena berdasarkan
penelitian Haryoko (2002) merupakan wilayah yang sepanjang tahun selalu lebih rendah
curah hujannya, sementara wilayah kelompok 1, 2, 4, 5, dan 6 mendapatkan curah hujan yang
cukup tinggi setiap tahunnya dan awal musim hujan pada bulan Oktober-Desember, sehingga
baik untuk dikaji interaksinya dengan kondisi El Niño Modoki.
3. DATA DAN METODE
5
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri atas
data El Niño Modoki Index (EMI) periode waktu 1979–2013. Data EMI diperoleh dari
website JAMSTEC Jepang; data observasi curah hujan rata-rata bulanan (mm/bulan)
beberapa stasiun di Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) periode 1979–2013 yang bersumber
dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan CCROM; Data curah
hujan bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) tahun 1979–2012 yang dapat diperoleh di
website: (http://badc.nerc.ac.uk/browse/badc/cru/data/cru_ts/). Data CRU memiliki resolusi
0,5ᵒ x 0,5ᵒ (Mitchell & Jones 2005); data anomali ERSST niño 3.4 untuk dianalisis
hubungannya terhadap kejadian El Niño Modoki, diperoleh dari
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices; data satelit Extended Reconstructed
Sea Surface Temperature V3B (ERSST), kecepatan angin zonal (Barat-Timur), meridional
(Utara-Selatan) pada ketinggian 850hPa yang diperoleh dari situs resmi NOOA
(http://www.esrl.nooa.gov/psd/data/gridded/); data hasil produksi padi beberapa stasiun
Kabupaten Indramayu yang bersumber dari situs dinas pertanian (http://deptan.go.id/) dan
BPS (http://jabar.bps.go.id/publikasi_BPS/2013/padipalawija/files/search/searchtext.xml).
Data-data tersebut di atas digunakan untuk mengetahui beberapa kondisi unsur meteorologi
di permukaan laut dan atmosfer atasnya saat kondisi El Niño Modoki El Niño serta
dampaknya terhadap hasil produksi padi di Kabupaten Indramayu. Sementara lat yang
digunakan adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office, The Grid
Analysis and Display System (GrADS) versi 2.0 yang dapat diunduh di (http://www.iges.org/)
dan MATLAB.
Merodologi penelitian digambarkan melalui diagram alir di bawah:

6
Gambar 3. Diagram alir pengamatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data time series indeks ASPL Niño 3.4 menunjukkan temporal kejadian El Niño dan
data EMI menunjukkan temporal kejadian El Niño Modoki. Kondisi ASPL pada periode
Januari 1979 hingga Desember 2013 (Gambar 4) menunjukkan ASPL memiliki kondisi
tersendiri. Kejadian El Niño dan El Niño Modoki pada gambar tersebut ditandai dengan nilai
ASPL Niño 3.4 dan EMI berada di atas 0.5⁰C yang disajikan pada Tabel 1. Pola ASPL EMI
hampir semuanya serupa dengan ASPL Niño 3.4, namun nilai ASPL Niño 3.4 lebih tinggi
daripada nilai ASPL EMI sehingga kejadian El Niño Modoki biasanya diikuti dengan
kejadian El Niño. Pada periode El Niño tahun 1982/1983, 1997/1998, dan 2006/2007 tidak
diikuti dengan kejadian El Niño Modoki, begitu juga pada pada periode El Niño Modoki
1990/1991 tidak diikuti dengan kejadian El Niño.

7
Gambar 4. Analisis Time series Anomali Suhu Permukaan Laut (ASPL) pada EMI (bar)
dan indeks Niño 3.4 (line) pada periode Januari 1979 - Desember 2013

Analisis temporal untuk mengetahui waktu terjadinya suatu kejadian juga dapat
diketahui dengan metode Wavelet. Metode Wavelet bertujuan mengetahui periodisitas dan
informasi tentang kapan waktu terjadinya suatu kejadian (Kadarsah 2010), dalam hal ini El
Niño (Gambar 5) dan El Niño Modoki (Gambar 6). Global Wavelet Spectrum (GWS)
menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil analisis Fast Fourier Transform (FFT) atau
Power Spectral Density (PSD). Analisis Global Wavelet Spectrum tersebut merupakan
periodisitas kejadian El Niño (Gambar 5c) dan periodisitas kejadian El Niño Modoki
(Gambar 6c). Garis linier putus - putus merupakan level signifikansi, di mana jika kurva
power melewati garis tersebut berarti analisis signifikan. Power spektral ASPL El Niño
(Gambar 5c) paling kuat berada pada skala 48-64 bulanan yang menjelaskan kejadian El
Niño berulang dalam skala sekitar 4-5 tahunan dengan kurva power melewati garis
signifikansi yang berarti analisis signifikan.
Power spektral EMI (Gambar 6c) paling kuat berada pada skala 120-192 bulanan yang
berarti kejadian El Niño Modoki sering berulang dalam skala waktu sekitar 10-16 tahunan
dengan kurva power melewati garis signifikansi pada periode dekadal (10 tahunan). Skala

8
waktu tersebut tidak sesuai dengan kejadian nyata fenomena El Niño Modoki yang terjadi
sekitar 1-7 tahunan, berbeda dengan pola osilasi Niño 3.4 yang konsisten dengan kejadian
nyatanya.

Gambar 5. Analisis Analisis Wavelet Niño 3.4 periode Januari 1979-Desember 2013

Menurut Weng et al. (2007), ada beberapa nilai EMI yang positif terisolasi pada tahun
1986, sehingga periodisitas yang ditunjukkan relatif tinggi (gambar 6c). Analisis Wavelet
Power Spectrum (Gambar 5b dan 6b) menjelaskan warna dari kekuatan power spektral
kondisi El Niño dan El Niño Modoki (Gambar 5c dan 6c), di mana warna merah
menunjukkan power spektral paling kuat, yaitu mencapai +4 dan +1 bersamaan dengan
periodisitas kejadian. Gambar 5a dan gambar 6a merupakan time series kejadian El Niño dan
El Niño Modoki seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 6. Analisis Analisis Wavelet EMI periode Januari 1979-Desember 2013

Ashok dan Yamagata (2009) sebelumnya telah melakukan kajian terkait perbandingan
antara El Niño dan El Niño Modoki. Hasil kajian tersebut memberikan informasi tahun-tahun
terjadinya fenomena El Niño dan El Niño Modoki kuat sebelum dan setelah tahun 1979.
Pemilihan tahun pengamatan yang akan digunakan selanjutnya untuk analisisis komposit
9
pada penelitian ini berdasarkan penelitian Ashok dan Yamagata (2009) setelah tahun 1979
dengan penambahan periode 2009/2010 berdasarkan analisis pada Gambar 4. Pemilihan
tahun-tahun untuk analisis komposit disajikan dalam Tabel 1.Hasil dari analisis time series
tersebut, diperoleh tahun-tahun kejadian El Niño Modoki kuat dan El Niño kuat dalam tabel 1
di bawah ini:

Tabel 1. Tahun-Tahun kondisi terjadinya Tahun El Niño Modoki Kuat dan El Niño
Fenomena
Tahun Terjadinya Tahun yang diamati
Iklim

1982/1983, 1986/1987,
1987/1988, 1991/1992, 1982/1983, 1987/1988,
El Niño 1994/1995, 1997/1998, 1997/1998, 2006/2007,
2002/2003, 2004/2005, 2009/2010
2006/2007, 2009/2010, 2012

El Niño 1979/1980, 1986/1987,


1986/1987, 1991/1992,
Modoki 1990/1991, 1991/1992,
1994/1995, 2002/2003,
1994/1995, 2002/2003,
2004/2005, 2009/2010
2004/2005, 2009/2010

Curah hujan yang digunakan dalam analisis spasial (komposit) merupakan curah hujan
CRU. Untuk melihat keakuratan curah hujan CRU dalam menganalisis wilayah kajian, maka
perlu dibandingkan polanya dengan curah hujan hasil pengamatan langsung atau observasi
(Gambar 7). Curah hujan (CH) pada 5 wilayah pengamatan di Kabupaten Indramayu baik CH
Observasi (jingga) ataupun CH CRU (ungu) menunjukkan berpola monsunal, terlihat puncak
curah hujan tertinggi pada bulan Desember dan Januari sementara puncak curah hujan
terendah pada bulan Agustus. Puncak curah hujan tertinggi yang paling tinggi mencapai 370
mm/bulan berada pada wilayah Indramayu, sedangkan puncak curah hujan tertinggi yang
paling rendah berada pada wilayah Krangkeng mencapai 250 mm/bulan. Tiga wilayah
lainnya yaitu Bondan, Anjatan dan Cikedung memiliki puncak curah hujan tertinggi 300
mm/bulan. Dengan resolusi yang cukup tinggi dan pola rataan CH yang hampir sama dengan
CH Observasi, maka CH CRU dapat menggambarkan sebaran curah hujan Pulau Jawa,
termasuk di dalamnya Kabupaten Indramayu secara spasial dengan menggunakan perangkat
lunak GrADS.

10
Gambar 7. Rataan curah hujan observasi dan curah hujan satelit CRU 5 wilayah di
Kabupaten Indramayu periode Januari 1979 – Desember 2012

Setelah melihat pola curah hujan 5 stasiun pengamatan di Kabupaten Indramayu


(Gambar 7), perlu dilakukan analisis korelasi untuk mengetahui korelasi antara curah hujan
dengan EMI dan curah hujan dengan ASPL Niño 3.4 (Gambar 8). Grafik korelasi antara CH-
EMI (warna biru) dan CH-Niño 3.4 (warna merah) sebagian besar menunjukkan nilai negatif,
yang berarti ada korelasi yang berbanding terbalik antara CH dengan EMI dan CH dengan
Niño 3.4. Hal tersebut menjelaskan bahwa saat kenaikan EMI ataupun Niño 3.4 yang
merupakan kondisi El Niño Modoki ataupun El Niño, maka curah hujan di 5 stasiun
pengamatan menurun. Besarnya nilai koefisien korelasi (R) hampir sama pada kelima
wilayah pengamatan, namun tertinggi pada kecamatan Indramayu dan Krangkeng yaitu -0,6
pada bulan Oktober. Korelasi positif yang berarti saat kondisi El Niño Modoki ataupun El
Niño meningkatkan curah hujan di 5 stasiun pengamatan, hanya terjadi pada musim hujan
(bulan Januari - Februari) dan musim transisi hujan ke musim kemarau (Maret-April-Mei).

11
Gambar 8. Koefisien korelasi antara EMI dengan curah hujan observasi (biru) dan korelasi
antara Niño 3.4 dengan curah hujan observasi (merah) 5 wilayah pengamatan di
Kabupaten Indramayu

Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa baik pada kondisi El Niño Modoki maupun El
Niño berpengaruh terhadap penurunan curah hujan 5 wilayah pengamatan di kabupaten
indramayu pada musim transisi kemarau ke musim hujan yaitu SON, sehingga analisis
spasial curah hujan Pulau Jawa pada komposit tahun-tahun terjadinya El Niño Modoki dan El
Niño (Tabel 1), ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Komposit anomali Curah Hujan Pulau Jawa CRU (mm/bulan) saat kondisi El
Niño Modoki (kiri) dan El Niño (kanan) pada musim SON.

12
Saat kondisi El Niño Modoki (Gambar 9 kiri), wilayah pulau Jawa mengalami
penurunan curah hujan hingga 150 mm/bulan di bagian tengah hingga barat bawah.
Sementara untuk kabupaten Indramayu sendiri yang berada di sebelah barat atas, penurunan
curah hujan mencapai 50 mm/bulan. Pada kondisi ini perairan Indonesia mengalami
pendinginan ASPL, sedangkan perairan di Samudera pasifik mengalami peningkatan ASPL,
sehingga Indonesia menjadi wilayah bertekanan tinggi dan angin akan membawa uap air
yang berpotensi menjadi awan hujan bergerak menuju perairan yang bertekanan rendah,
dalam hal ini perairan di pasifik tengah (Gambar 10 kiri).

Gambar 10. Komposit anomali suhu permukaan laut (oC) dan anoamli kecepatan angin 850
hPa (U,V; m/s) (vektor) saat kondisi El Niño Modoki (kiri) dan El Niño
(kanan) pada musim SON.

Saat kondisi El Niño (Gambar 9 kanan), wilayah pulau Jawa mengalami penurunan
curah hujan lebih tinggi, terlihat dengan sebaran anomali negatif (warna merah) lebih kuat
dibandingkan saat kondisi El Niño Modoki. Penurunan curah hujan saat kondisi El Niño
tersebut mencapai 250 mm/bulan di bagian tengah hingga barat bawah pulau Jawa, sementara
Kabupaten Indramayu mengalami penurunan curah hujan hingga mencapai 150 mm/bulan.
Pada kondisi ini pula perairan Indonesia mengalami pendinginan ASPL, sedangkan perairan
di Samudera pasifik mengalami peningkatan ASPL. Angin akan membawa uap air berpotensi
menjadi awan hujan bergerak dari wilayah Indonesia yang bertekanan tinggi menuju perairan
yang bertekanan rendah dalam hal ini perairan di pasifik timur hingga tengah (Gambar 10
kiri). Ukuran sebaran data ASPL El Niño Modoki lebih rendah dibandingkan ASPL El Niño,
karena EMI sebagai hasil perhitungan yang mencakup pola penghangatannya di sepanjang
Pasifik tropis.

13
El Niño Modoki El Niño

Gambar 11. Hasil produksi padi kabupaten Indramayu 1986-2013 (Departemen Pertanian
Jawa Barat)

Setelah diketahui tahun-tahun kondisi El Niño Modoki dan El Niño dari analisis
temporal, dan diketahui pula pada kondisi tersebut Pulau Jawa mengalami penurunan curah
hujan melalui analisis spasial, maka analisis terhadap produktivitas padi perlu dilakukan
mengingat kabupaten Indramayu merupakan salah satu wilayah penghasil padi terbesar di
Indonesia dan sebagian masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani. Gambar 9 di atas
menunjukkan produktivitas tanaman padi di kabupaten Indramayu pada tahun 1986-2013.
Terlihat bahwa produktivitas terendah, pada kondisi El Niño Modoki kuat tahun 1991 dan
kondisi El Niño kuat 1998 yaitu sekitar 800.000 ton/ha. Hal tersebut tentu merugikan petani
padi di Kabupaten Indramayu.

5. KESIMPULAN

Pola curah hujan Kabupaten Indramayu saat kondisi El Niño Modoki dan El Niño
tidak mengalami perbedaan yang cukup signifikan, kedua kondisi tersebut mempengaruhi
penurunan curah hujan pada musim SON. Ukuran sebaran data ASPL El Niño Modoki yang
lebih rendah dibandingkan El Niño, karena EMI sebagai hasil perhitungan yang mencakup
pola penghangatannya di sepanjang Pasifik tropis. Korelasi negatif tinggi antara CH-EMI dan
CH-Niño3.4 pada musim transisi ke musim penghujan, yaitu SON. Analisis spasial juga
menunjukkan wilayah Indonesia khususnya Pulau Jawa mengalami musim kering saat
kondisi musim tersebut. Tahun saat kondisi El Niño Modoki dan El Niño menurunkan hasil
produksi tanaman padi Kabupaten Indramayu.

14
DAFTAR RUJUKAN

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within
Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Int J Clim 23: 1435–1452
Ashok K, Behera SK, Rao SA, Weng H, dan Yamagata T. 2007. El Niño Modoki and Its
Teleconnection. J Geophys Res112: C11007. doi:10.1029/2006JC003798
Ashok K., Yamagata T. 2009. The El Niño with A Difference. Nature 461:481–484.
Haryoko, U. 2002. Pewilayahan Hujan Untuk Menentukan Pola Hujan (Contoh Kasus
Kabupaten Indramayu). Badan Meteorologi dan Geofisika.
[JAMSTEC]. Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology. 2011. El Niño
Modoki Index Monthly Data.
http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/DATA/emi.monthly.txt [11 Februari
2014]
Mitchell TD and Jones PD. 2005. An Improve Method of Constructing a Database of
Monthly Climate Observations and Associated High-resolution Grids. Int. J. Climatol 25:
693-712
Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bull Amer Meteor Soc 78:2771–2777
Trenberth KE, Stepaniak DP, Hurrell JW, Fiorino M. 2001. Indices of El Niño Evolution, J
Climate 14:1697–1701.
Weng HY, Ashok K, Behera SK, Rao AS, Yamagata T. 2007. Impacts of Recent El Niño
Modoki on Dry/Wet Conditions in the Pacific Rim during Boreal Summer. J Climate
Dynamics 29:113–129
Windari, E. H. 2012. El Nino Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan Monsunal di
Indonesia. J.Meteorologi dan Geofisika Vol 13 No.3
Yamagata T. 2004. Mock El Niño: Culprit behind Heat Wave, Floods.
http://www.japantimes.co.jp/cgi–bin/getarticle.pl5?nn20040724f3.htm [22 April 2014].
Yeh SW, Kug JS, Dewitte B. 2009. El Niño in A Changing Climate. Nature 461:511−514.

15

Anda mungkin juga menyukai