0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
5 tayangan4 halaman
Tiga variabilitas iklim utama yang dijelaskan dalam dokumen ini adalah Monsun Asia, ENSO, dan IOD. Monsun Asia dapat diidentifikasi melalui indeks seperti WYMI dan AUSMI yang menggunakan data angin pada ketinggian 850 mb. ENSO dapat dilihat dari suhu permukaan laut Pasifik ekuatorial dan diukur dengan indeks seperti Nino 3.4. IOD didefinisikan sebagai anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia
Tiga variabilitas iklim utama yang dijelaskan dalam dokumen ini adalah Monsun Asia, ENSO, dan IOD. Monsun Asia dapat diidentifikasi melalui indeks seperti WYMI dan AUSMI yang menggunakan data angin pada ketinggian 850 mb. ENSO dapat dilihat dari suhu permukaan laut Pasifik ekuatorial dan diukur dengan indeks seperti Nino 3.4. IOD didefinisikan sebagai anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia
Tiga variabilitas iklim utama yang dijelaskan dalam dokumen ini adalah Monsun Asia, ENSO, dan IOD. Monsun Asia dapat diidentifikasi melalui indeks seperti WYMI dan AUSMI yang menggunakan data angin pada ketinggian 850 mb. ENSO dapat dilihat dari suhu permukaan laut Pasifik ekuatorial dan diukur dengan indeks seperti Nino 3.4. IOD didefinisikan sebagai anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia
Nama : Tyas Bunga Kumala Hari, Tanggal : Jumat, 22 Desember 2017
NIM : G24150023 Asisten Praktikum
Praktikum Klimatologi Tropika Dary As’ad Fadhil G24140010 Laporan ke-13 Imam Wahyu Amanullah G24140060 REVIEW : MONSUN, QBO, MJO, ENSO, DAN IOD Variabilitas iklim dapat mempengaruhi kondisi iklim saat itu. Kondisi iklim yang berubah juga berpengaruhterhadap kondisi cuaca setiap harinya. Variasi fenomena iklim dan cuaca disebabkan oleh adanya variabilitas iklim seperti Monsun, QBO, MJO, ENSO, dan IOD yang memiliki pengaruh dan periode waktu kejadian yang berbeda-beda. Fenomena – fenomena tersebut dapat diidentifikasi, sehingga dapat dilakukan analisis iklim pada suatu wilayah dengan lebih baik. Asian summer monsoon merupakan salah satu variabilitas iklim yang mempengaruhi sistem iklim bumi. Asian summer monsoon dapat diidentifikasi dengan Webster dan Yang monsun indeks, serta AUSMI (Australian Summer Monsoon Index). Kedua jenis indeks tersebut memiliki perbedaan pada data angin (ketinggian tertentu) dan set lokasi yang digunakan. WYMI menggunakan selisih data angin zonal pada ketinggian 850 mb dengan ketinggian 200 mb pada koordinat 40E-110E dan 0-20N, sedangkan AUSMI menggunakan data angin zonal pada ketinggian 850 mb pada koordinat 110E-130E dan 15S-5S. Penggunaan data angin pada ketinggian 850 mb bertujuan untuk mendapatkan hasil nilai indeks yang tidak terpengaruh oleh gesekan permukaan. Nilai indeks bernilai negatif menandakan bahwa pergerakan angin bergerak ke arah timur. Hal ini mengindikasikan bahwa saat itu sedang terjadi fenomena monsun Asia, sedangkan nilai indeks yang bernilai positif menunjukkan terjadinya fenomena monsun Australia, dengan angin yang bergerak menuju arah barat (Kaparang dan Hermawan 2010). Quasi-Biennial Oscillation (QBO) adalah komponen angin wilayah di stratosfer equatorial dengan periode waktu selama sekitar 28 bulan. QBO juga dapat didefinisikan sebagai osilasi yang dihasilkan dari interaksi antara gelombang ekuatorial, gelombang Kelvin dan gelombang Rossbygravity, dengan aliran dasar permukaan. Karakter dari QBO sendiri dapat diketahui melalui analisis data time series pergerakan arah angin (timur-barat) pada lapisan stratosfer di ketinggian 30 mb (Nababan 2010). Fase timuran QBO memiliki amplitudo maksimum yang lebih kuat dibandingkan fase baratannya. Pola fase timur QBO dengan fase barat QBO akan terlihat jelas di daerah ekuator. Hal ini disebabkan, QBO hanya akan terbentuk kuat di daerah sekitar 120 LU – 120 LS (Holton 2004). Band-pass filter dapat diaplikasikan pada QBO, baik di lintang rendah maupun di lintang tinggi untuk menghilangkan variasi-variasi iklim sehingga dapat mempertahankan rentang waktu terjadinya QBO. Band-pass filter merupakan sebuah rangkaian yang dirancang untuk melewatkan frekuensi dalam batasan tertentu dan menolak frekuensi lain diluar frekuensi yang dikehendaki, untuk mengatasi kesulitan realisasi band-pass filter, maka band-pass filter dirancang dari kombinasi high-pass filter dan low-pass filter. Low-pass filter digunakan untuk meneruskan sinyal berfrekuensi rendah dan meredam sinyal berfrekuensi tinggi, sebaliknya untuk high-pass filter (Kenefic 1992). Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan fenomena penjalaran gelombang osilasi yang bergerak ke arah timur bumi dengan lama perulangan kejadiannya 30 – 90 hari, dimana osilasi ini sangat kuat dirasakan di daerah- daerah lintang rendah, seperti dekat garis ekuator dan tejadi pertama kali di samudera Hindia dan bergerak kearah timur antara 100 LU dan 100 LS (Yana et al. 2014). MJO memiliki delapan fase setiap satu kali periode osilasi, akan tetapi fase 4 dan fase 5 merupakan fase yang memiliki pengaruh terhadap kedaan iklim di Indonesia. Fenomena MJO dapat diidentifikasi dengan Outgoing Longwave Radiation (OLR). OLR merupakan radiasi inframerah yang dipancarkan oleh bumi ke bagian atas atmosfer dan ditangkap oleh satelit. Nilai OLR yang rendah (negatif) mengindikasikan suhu yang rendah dan keadaan awan dengan puncak yang tinggi sehingga dapat menimbulkan potensi hujan yang tinggi yang mana hal tersebut menandakan fase MJO yang aktif. Suhu muka laut (sea surface temperature) merupakan salah satu indikator atau dikenal sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer (Syaifullah 2010). El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu sirkulasi yang dapat diidentifikasi dengan suhu muka laut. ENSO merupakan hasil interaksi dinamis antara atmosfer dengan lautan di Samudra Pasifik ekuator yang ditunjukkan dengan peningkatan atau penurunan suhu permukaan laut (SPL) yang melebihi klimatologisnya sehingga menimbulkan anomali. Nilai anomali positif menunjukkan suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari keadaan normal yang mengindikasikan terjadinya El Nino, sedangkan nilai anomali negatif menunjukkan suhu permukaan laut yang lebih rendah dari keadaan normal yang mengindikasikan terjadinya La Nina (Yulihastin 2010). ENSO dapat diketahui dengan indeks Nino 1+2, Nino 3, Nino 4, dan Nino 3.4. Perbedaan keempat indeks tersebut adalah set lokasi yang digunakan. Nino 3.4 merupakan indeks yang lebih relevan sehingga indeks ini sering digunakan. Indian Ocean Dipole merupakan sebuah anomali sea surface temperature (SST) antara bagian barat (100LU – 100LS; 600BT – 800BT) dan timur (00 – 100LS; 900BT – 1100BT) dari Samudera Hindia (Saji et al. 1999). Indeks IOD dapat digunakan untuk mengidentifikasi IOD yang diperoleh dari hasil selisih suhu permukaan laut di Pantai Timur Afrika dengan suhu permukaan laut di Pantai Barat Sumatera. indeks IOD yang bernilai lebih besar dari 0.35 digolongkan sebagai IOD(+). Indeks ini mengindikasikan suhu permukaan laut di daerah Pantai Timur Afrika bernilai lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut di daerah Pantai Barat Sumatera sehingga proses konveksi awan melemah di daerah Pantai Barat Sumatera dan menguat di daerah Pantai Timur Afrika. Hal tersebut menyebabkan penurunan curah hujan di sekitar Pantai Barat Sumatera dan peningkatan curah hujan di sekitar Pantai Timur Afrika, sehingga dapat mengakibatkan kekeringan di Indonesia. Indeks IOD yang bernilai kurang dari sama dengan -0.35 digolongkan sebagai IOD(-). Indeks ini mengindaksikan peningkatan curah hujan di daerah Pantai Barat Sumatera (Tjasyono et al. 2008). Daftar Pustaka Holton JR. 2004. An Introduction to Dynamics Meteorology 4th Edition. Burlington(CA) : Elsevier Kaparang NE, Hermawan E. 2010. Analisis perilaku angin di lapisan 850 hPa hasil observasi data WPR dikaitkan dengan data perilaku indeks monsun global di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara. 8(1) : 1-24 Kenefic RJ. 1992. Performance of an FMCW radar sensor. IEEE Transactions. 40(11) : 23-26 Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature. 40(1) : 360-363 Syaifullah D. 2010. Kajian sea surface temperature (sst), southern oscillation index (soi) dan dipole mode pada kegiatan penerapan teknologi modifikasi cuaca di Propinsi Riau dan Sumatera Barat Juli – Agustus 2009. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 11(1) : 1-7 Tjasyono BHK, Lubis A, Juaeni I, Ruminta, Harijono SWB. 2008. Dampak variasi temperature Samudera Pasifik dan Hindia ekuatorial terhadap curah hujan di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara. 5(2) : 83-95 Yana S, Ihwan A. Jumarang MI. Apriansyah. 2014. Analisis pengaruh Madden Julian Oscillation, Annual Oscillation, ENSO, dan dipole mode terhadap curah hujan di Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Prisma Fisika. 2(2) : 31-34 Yulihastin E. 2010. Mekanisme interaksi monsun Asia dan ENSO. Berita Dirgantara. 11(3) : 99-105