Anda di halaman 1dari 4

Nama : Tyas Bunga Kumala Hari, Tanggal : Jumat, 22 Desember 2017

NIM : G24150023 Asisten Praktikum


Praktikum Klimatologi Tropika Dary As’ad Fadhil G24140010
Laporan ke-13 Imam Wahyu Amanullah G24140060
REVIEW : MONSUN, QBO, MJO, ENSO, DAN IOD
Variabilitas iklim dapat mempengaruhi kondisi iklim saat itu. Kondisi
iklim yang berubah juga berpengaruhterhadap kondisi cuaca setiap harinya.
Variasi fenomena iklim dan cuaca disebabkan oleh adanya variabilitas iklim
seperti Monsun, QBO, MJO, ENSO, dan IOD yang memiliki pengaruh dan
periode waktu kejadian yang berbeda-beda. Fenomena – fenomena tersebut dapat
diidentifikasi, sehingga dapat dilakukan analisis iklim pada suatu wilayah dengan
lebih baik.
Asian summer monsoon merupakan salah satu variabilitas iklim yang
mempengaruhi sistem iklim bumi. Asian summer monsoon dapat diidentifikasi
dengan Webster dan Yang monsun indeks, serta AUSMI (Australian Summer
Monsoon Index). Kedua jenis indeks tersebut memiliki perbedaan pada data angin
(ketinggian tertentu) dan set lokasi yang digunakan. WYMI menggunakan selisih
data angin zonal pada ketinggian 850 mb dengan ketinggian 200 mb pada
koordinat 40E-110E dan 0-20N, sedangkan AUSMI menggunakan data angin
zonal pada ketinggian 850 mb pada koordinat 110E-130E dan 15S-5S.
Penggunaan data angin pada ketinggian 850 mb bertujuan untuk mendapatkan
hasil nilai indeks yang tidak terpengaruh oleh gesekan permukaan. Nilai indeks
bernilai negatif menandakan bahwa pergerakan angin bergerak ke arah timur. Hal
ini mengindikasikan bahwa saat itu sedang terjadi fenomena monsun Asia,
sedangkan nilai indeks yang bernilai positif menunjukkan terjadinya fenomena
monsun Australia, dengan angin yang bergerak menuju arah barat (Kaparang dan
Hermawan 2010).
Quasi-Biennial Oscillation (QBO) adalah komponen angin wilayah di
stratosfer equatorial dengan periode waktu selama sekitar 28 bulan. QBO juga
dapat didefinisikan sebagai osilasi yang dihasilkan dari interaksi antara
gelombang ekuatorial, gelombang Kelvin dan gelombang Rossbygravity, dengan
aliran dasar permukaan. Karakter dari QBO sendiri dapat diketahui melalui
analisis data time series pergerakan arah angin (timur-barat) pada lapisan
stratosfer di ketinggian 30 mb (Nababan 2010). Fase timuran QBO memiliki
amplitudo maksimum yang lebih kuat dibandingkan fase baratannya. Pola fase
timur QBO dengan fase barat QBO akan terlihat jelas di daerah ekuator. Hal ini
disebabkan, QBO hanya akan terbentuk kuat di daerah sekitar 120 LU – 120 LS
(Holton 2004).
Band-pass filter dapat diaplikasikan pada QBO, baik di lintang rendah
maupun di lintang tinggi untuk menghilangkan variasi-variasi iklim sehingga
dapat mempertahankan rentang waktu terjadinya QBO. Band-pass filter
merupakan sebuah rangkaian yang dirancang untuk melewatkan frekuensi dalam
batasan tertentu dan menolak frekuensi lain diluar frekuensi yang dikehendaki,
untuk mengatasi kesulitan realisasi band-pass filter, maka band-pass filter
dirancang dari kombinasi high-pass filter dan low-pass filter. Low-pass filter
digunakan untuk meneruskan sinyal berfrekuensi rendah dan meredam sinyal
berfrekuensi tinggi, sebaliknya untuk high-pass filter (Kenefic 1992).
Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan fenomena penjalaran
gelombang osilasi yang bergerak ke arah timur bumi dengan lama perulangan
kejadiannya 30 – 90 hari, dimana osilasi ini sangat kuat dirasakan di daerah-
daerah lintang rendah, seperti dekat garis ekuator dan tejadi pertama kali di
samudera Hindia dan bergerak kearah timur antara 100 LU dan 100 LS (Yana et al.
2014). MJO memiliki delapan fase setiap satu kali periode osilasi, akan tetapi fase
4 dan fase 5 merupakan fase yang memiliki pengaruh terhadap kedaan iklim di
Indonesia. Fenomena MJO dapat diidentifikasi dengan Outgoing Longwave
Radiation (OLR). OLR merupakan radiasi inframerah yang dipancarkan oleh
bumi ke bagian atas atmosfer dan ditangkap oleh satelit. Nilai OLR yang rendah
(negatif) mengindikasikan suhu yang rendah dan keadaan awan dengan puncak
yang tinggi sehingga dapat menimbulkan potensi hujan yang tinggi yang mana hal
tersebut menandakan fase MJO yang aktif.
Suhu muka laut (sea surface temperature) merupakan salah satu indikator
atau dikenal sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer
(Syaifullah 2010). El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu
sirkulasi yang dapat diidentifikasi dengan suhu muka laut. ENSO merupakan hasil
interaksi dinamis antara atmosfer dengan lautan di Samudra Pasifik ekuator yang
ditunjukkan dengan peningkatan atau penurunan suhu permukaan laut (SPL) yang
melebihi klimatologisnya sehingga menimbulkan anomali. Nilai anomali positif
menunjukkan suhu permukaan laut yang lebih tinggi dari keadaan normal yang
mengindikasikan terjadinya El Nino, sedangkan nilai anomali negatif
menunjukkan suhu permukaan laut yang lebih rendah dari keadaan normal yang
mengindikasikan terjadinya La Nina (Yulihastin 2010). ENSO dapat diketahui
dengan indeks Nino 1+2, Nino 3, Nino 4, dan Nino 3.4. Perbedaan keempat
indeks tersebut adalah set lokasi yang digunakan. Nino 3.4 merupakan indeks
yang lebih relevan sehingga indeks ini sering digunakan.
Indian Ocean Dipole merupakan sebuah anomali sea surface temperature
(SST) antara bagian barat (100LU – 100LS; 600BT – 800BT) dan timur (00 –
100LS; 900BT – 1100BT) dari Samudera Hindia (Saji et al. 1999). Indeks IOD
dapat digunakan untuk mengidentifikasi IOD yang diperoleh dari hasil selisih
suhu permukaan laut di Pantai Timur Afrika dengan suhu permukaan laut di
Pantai Barat Sumatera. indeks IOD yang bernilai lebih besar dari 0.35
digolongkan sebagai IOD(+). Indeks ini mengindikasikan suhu permukaan laut di
daerah Pantai Timur Afrika bernilai lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan
laut di daerah Pantai Barat Sumatera sehingga proses konveksi awan melemah di
daerah Pantai Barat Sumatera dan menguat di daerah Pantai Timur Afrika. Hal
tersebut menyebabkan penurunan curah hujan di sekitar Pantai Barat Sumatera
dan peningkatan curah hujan di sekitar Pantai Timur Afrika, sehingga dapat
mengakibatkan kekeringan di Indonesia. Indeks IOD yang bernilai kurang dari
sama dengan -0.35 digolongkan sebagai IOD(-). Indeks ini mengindaksikan
peningkatan curah hujan di daerah Pantai Barat Sumatera (Tjasyono et al. 2008).
Daftar Pustaka
Holton JR. 2004. An Introduction to Dynamics Meteorology 4th Edition.
Burlington(CA) : Elsevier
Kaparang NE, Hermawan E. 2010. Analisis perilaku angin di lapisan 850 hPa
hasil observasi data WPR dikaitkan dengan data perilaku indeks monsun
global di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara. 8(1) : 1-24
Kenefic RJ. 1992. Performance of an FMCW radar sensor. IEEE Transactions.
40(11) : 23-26
Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A dipole mode
in the tropical Indian Ocean. Nature. 40(1) : 360-363
Syaifullah D. 2010. Kajian sea surface temperature (sst), southern oscillation
index (soi) dan dipole mode pada kegiatan penerapan teknologi modifikasi
cuaca di Propinsi Riau dan Sumatera Barat Juli – Agustus 2009. Jurnal
Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 11(1) : 1-7
Tjasyono BHK, Lubis A, Juaeni I, Ruminta, Harijono SWB. 2008. Dampak
variasi temperature Samudera Pasifik dan Hindia ekuatorial terhadap curah
hujan di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara. 5(2) : 83-95
Yana S, Ihwan A. Jumarang MI. Apriansyah. 2014. Analisis pengaruh Madden
Julian Oscillation, Annual Oscillation, ENSO, dan dipole mode terhadap
curah hujan di Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Prisma Fisika. 2(2) : 31-34
Yulihastin E. 2010. Mekanisme interaksi monsun Asia dan ENSO. Berita
Dirgantara. 11(3) : 99-105

Anda mungkin juga menyukai