Anda di halaman 1dari 13

Laporan Praktikum Ke-4 Hari, tanggal : Selasa, 6 Maret 2018

M.K. Analisis Hidrologi


Dosen: Asisten :
1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan 1. Yudha Kristanto (G24140005)
2. Dr. Drs. Bambang Dwi Dasanto 2. Dinia Putri (G24130034)
3. Dr. Muh Taufik S.Si, M.Si

ABSTRAKSI HIDROLOGI I : ANALISIS DATA


HUJAN TITIK DAN WILAYAH

Kelompok (4)
Awis Karni (G24150018)
M Faisal A (G24150021)
Muthia L I (G24150022)
Tyas Bunga K (G24150023)
M Sirojul A (G24150024)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Presipitasi (intensitas curah hujan) merupakan jumlah curah hujan yang
dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi
pada satu kurun waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli 2008). Besarnya intensitas
curah hujan berbeda -beda tergantung dari lamanya curah hujan dan
frekuensi kejadiannya. Curah hujan dari setiap wilayah berbeda-beda. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor garis lintang
menyebabkan perbedaan kuantitas curah hujan, semakin rendah garis lintang
semakin tinggi potensi curah hujan yang diterima, karena di daerah lintang rendah
suhunya lebih besar daripada suhu di daerah lintang tinggi, suhu yang tinggi inilah
yang akan menyebabkan penguapan juga tinggi, penguapan inilah yang kemudian
akan menjadi hujandengan melalui kondensasi terlebih dahulu.
Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan
pemanfaatan air adalah curah hujan rata-rata di daerah yang bersangkutan, bukan
hanya pada satu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau
daerah dan dinyatakan dalam mm. Cara - cara perhitungan curah hujan daerah dari
pengamatan curah hujan di beberapa pos stasiun hujan dapat dilakukan dengan
metode rata rata aljabar, metode Poligon Thiessen, metode Isohyet, dan jaringan
pengukuran hujan. Data tentang jumlah curah hujan rata - rata untuk suatu daerah
tangkapan air (catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan
informasi yang sangat diperlukan oleh pakar bidang hidrologi. Misalnya, dalam
bidang pertanian membutuhkan data curah hujan untuk pengaturan air irigasi,
mengetahui neraca air lahan, mengetahui besarnya aliran permukaan (run off).
Besarnya curah hujan di suatu wilayah atau daerah diperlukan penakar curah
hujan dalam jumlah yang cukup untuk dapat mewakili, semakin banyak penakar
dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata-rata curah hujan
yang menunjukkan besarnya curah hujan yang terjadi di daerah tersebut (Ratu et
al. 2012).
Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan menentukan curah hujan titik dengan membaca
kertas pias dan curah hujan wilayah dengan menggunakan metode rata-rata
aritmatika, Polygon Thiessen, Isohyet, dan Bethlahmy’s Two Axis, serta dapat
menggambarkan hubungan antara curah hujan dengan elevasi pada metode
Hypsometric.
METODOLOGI
Alat dan Bahan
1. Data curah hujan bulanan dari 10 koodinat stasiun di suatu DAS
2. Data curah hujan titik pada kertas pias
3. Seperangkat Microsoft office

2
Langkah Kerja

Gambar 1. Diagram alir abstraksi hidrologi analisis data hujan titik dan wilayah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hidrologi merupakan kumpulan keterangan atau fakta mengenai
fenomena hidrologi (Soewarno 1995). Salah satu data hidrologi yang penting
dalam analisis hidrologi adalah data curah hujan. Data curah hujan didapat dari
pengukuran pada stasiun hujan. Intensitas, penyebaran, dan kedalaman curah
hujan berbeda dan tidak merata disetiap wilayah, oleh karena itu pola penempatan
dan penyebaran stasiun pencatatan curah hujan harus tepat sehingga diharapkan
dapat memberikan data yang mewakili lokasi dimana stasiun tersebut berada
(Ratu et al. 2012). Data curah hujan yang tidak merata penyebarannya dapat
diantisipasi dengan mengolah data curah hujan titik dengan metode rata rata
aritmatika, metode Poligon Thiessen, ataupun metode Isohyet, sehingga
didapatkan data curah hujan wilayah.

3
Tabel 1. Data Penentuan curah hujan wilayah data titik (kertas pias)
No Durasi Jumlah Selang Selang Jeluk hujan Intensitas Intensitas
Hujan Waktu Waktu selama selang Hujan Hujan
(mm) (menit) (jam) waktu (mm) (mm/jam) (mm/menit)

1 1 ? 60 1 ? ? ?
2 2 0 60 1 0 0.00 0.000
3 3 1 60 1 1 1.00 0.017
4 4 4.5 60 1 3.5 3.50 0.058
5 5 7 60 1 2.5 2.50 0.042
6 6 9.2 60 1 2.2 2.20 0.037
7 7 10 60 1 0.8 0.80 0.013
8 8 12 60 1 2 2.00 0.033
9 9 15.8 60 1 3.8 3.80 0.063
10 10 20.5 60 1 4.7 4.70 0.078
11 11 28.1 60 1 7.6 7.60 0.127
12 12 37.3 60 1 9.2 9.20 0.153
13 13 37.5 60 1 0.2 0.20 0.003
14 14 40.5 60 1 3 3.00 0.050
15 15 47.5 60 1 7 7.00 0.117
16 16 57.5 60 1 10 10.00 0.167
17 17 63.5 60 1 6 6.00 0.100
18 18 73.5 60 1 10 10.00 0.167
19 19 75 60 1 1.5 1.50 0.025
20 20 79 60 1 4 4.00 0.067
21 21 84.5 60 1 5.5 5.50 0.092
22 22 91.3 60 1 6.8 6.80 0.113
23 23 99.2 60 1 7.9 7.90 0.132
24 24 108.2 60 1 9 9.00 0.150
Perhitungan curah hujan dengan kertas pias didapatkan data selama 24
jam. Kertas pias digunakan untuk mendeteksi jumlah curah hujan dengan selang
waktu 24 jam. Prinsip kertas pias ini adalah mengukur jumlah hujan yang terukur
tiap durasi waktu tertentu yang kemudian menjadi data akumulasi. Selain itu,
jeluk hujan dan intensitas hujan juga diukur pada kertas pias ini. Jeluk merupakan
jumlah curah hujan yang terukur pada setiap hari hujan atau pada perhitungan ini
pada setiap durasi waktu 1 jam (Rauf et al. 2008). Jeluk bisa diartikan sebagai
selisih curah hujan yang terukur dengan curah hujan sebelumnya.
Berdasarkan perhitungan yang diperolah, jeluk hujan terbesar dihasilkan
hujan pada jam ke-16 dan jam ke-18 yaitu sebesar 10 mm, sedangkan jeluk hujan
terkecil terjadi pada jam ke-1 dan ke-2 karena belum terjadi hujan. Selain itu,
diukur juga intensitas hujan dengan satuan waktu jam dan menit. Intesitas hujan,
yaitu jumlah curah hujan per satuan waktu (mm/jam) (Rauf et al. 2008). Pada
pengukuran intensitas hujan dengan satuan waktu adalah jam, nilai terbesar
diperoleh jam ke-16 dan jam ke-18 yaitu sebesar 10 mm/jam, sedangkan intensitas

4
hujan terkecil terjadi pada jam ke-1 dan ke-2 karena belum terjadi hujan. Nilai
untuk intensitas hujan satuan menit, nilai terbesar diperoleh jam ke-16 dan jam
ke-18 yaitu sebesar 0,167 mm/menit, sedangkan intensitas hujan terkecil terjadi
pada jam ke-1 dan ke-2 karena belum terjadi hujan.
Tabel 2. Hasil perhitungan presipitasi wilayah dengan metode rata–rata aritmatika
Presipitasi
Stasiun CH Wilayah
1 361
2 357
3 346
4 375
5 375
375
6 423
7 459
8 379
9 373
10 302
CH rata 375  
Presipitasi wilayah yang dihasilkan berdasarkan perhitungan metode rata –
rata aritmatika yang menggunakan 10 stasiun penakar hujan adalah 375 mm. Hasil
tersebut diperoleh dengan menjumlahkan curah hujan bulanan dari 10 stasiun
penakar hujan, kemudian merata-ratakan dengan cara membagi hasil penjumlahan
curah hujan bulanan dengan angka 10, karena jumlah stasiun penakar hujan yang
digunakan berjumlah 10. Nilai presipitasi wilayah tersebut sama dengan nilai
curah hujan bulanan di stasiun 4 dan 5.
Tabel 3. Data Penentuan curah hujan wilayah dengan metode Polygon Thiessen
Stasiun CH Luas Proporsi Presipitasi
Poligon Polygon
1 1.361 113.8 0.184 0.250
2 2.357 97 0.157 0.369
3 9.373 34.4 0.056 0.520
4 3.346 97.9 0.158 0.529
5 10.302 13.2 0.021 0.219
6 5.375 81.5 0.131 0.707
7 4.375 56.8 0.092 0.401
8 7.459 64.8 0.105 0.780
9 8.379 29.1 0.047 0.393
10 6.423 31.3 0.051 0.324
    619.8 1 4.492
Poligon Thiessen merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk
menghitung curah hujan rata-rata wilayah yang memiliki keterbatasan data curah
hujan (Ningsih 2012). Langkah pertama untuk menentukan curah hujan wilayah
dengan metode ini adalam menentukan luas polygon terlebih dulu, kemudian
ditentukan juga proporsi dan presipitasi poligon masing-masing daerah poligon

5
sehingga dapat mewakili daerah tersebut. Proporsi merupakan hasil pembagian
luas poligon tiap wilayah dengan luas poligon total. Wilayah poligon terluas
dihasilkan oleh stasiun 1 dengan luas 113,8 km2 dengan curah hujan sebesar
1,361 mm, sedangkan wilayah poligon terkecil dihasilkan oleh stasiun 5 dengan
luas 13,2 km2 dengan curah hujan sebesar 10,302 mm. Data yang didapatkan
selain proporsi dan luas poligon adalah presipitasi poligon yang merupakan nilai
curah hujan dibagi proporsi wilayah poligon masing-masing. Nilai presipitasi
polygon tertinggi dihasilkan oleh stasiun 8 sebesar 0.780 dengan curah hujan
sebesar 7,459 mm, sedangkan nilai presipitasi polygon terendah dihasilkan oleh
stasiun 5 sebesar 0,2194 dengan curah hujan sebesar 10,302. Nilai presipitasi
polygon total untuk 10 stasiun adalah 4,492 mm.
Tabel 4. Penentuan curah hujan wilayah dengan metode Isohyet
Presipitasi
Stasiun CH Luas Wilayah Antar Kontur Proporsi Polygon
1 322 21 0,333 107,333
2 342 24 0,380 130,285
3 362 18 0,285 103,428
63 1 341,047
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode Isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah
di antara dua garis Isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rata-rata dari
kedua garis Isohyet tersebut. Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk
menghitung kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah (Triatmodjo 2008). Metode
Isohyet ini diperoleh dengan cara interpolasi nilai – nilai curah hujan yang tercatat
pada penakar hujan lokal (Rnt). Metode Isohyet berasumsi bahwa tiap-tiap pos
penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.
Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-
rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Metode Isohyet cocok untuk
daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari 5.000 km 2. Tabel 4
memperlihatkan cara penentuan curah hujan dengan metode isohyet dimana pada
curah hujan 322 memiliki proporsi curah hujan 0,333 dan memiliki presipitasi
sebesar 107,333 mm, sedangkan pada curah hujan 342 proporsinya adalah sebesar
0,381 dan presipitasi sebesar 130,285 mm, dan pada curah hujan 362 memiliki
proporsi paling kecil yaitu sebesar 0,285 dan presipitasi sebesar 103,428 mm.

Tabel 5. Penentuan curah hujan wilayah dengan metode Hypsometric berdasarkan


curah hujan dan elevasi
Stasiun CH Elevasi
1 361 100

6
2 357 400
3 346 400
4 375 900
5 375 900
6 423 1400
7 459 1700
8 379 1300
9 373 900
10 302 500
Intensitas curah hujan berdasarkan metode Hypsometric ini lebih banyak
ditentukan oleh elevasi atau ketinggian tempat. Hasil di tabel 5 memperlihatkan
bahwa semakin tinggi nilai curah hujan maka semakin tinggi pula elevasi atau
ketinggian suatu tempat. Pada elevasi 1700 m menghasilkan curah hujan tertinggi
sebesar 459 mm, diikuti dengan elevasi 1400 m yang menghasilkan curah hujan
sebesar 423 mm, dan elevasi 1300 m menghasilkan curah hujan sebesar 379 mm.
Pola tersebut lebih banyak dikenal atau dijelaskan dengan hujan orografik. Hujan
orografik adalah hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air
bergerak horizontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi
dingin sehingga terjadi kondensasi dan terjadi hujan disekitar pegunungan (Tikno
2000).
500
400 f(x) = 0.07 x + 317.68
300 R² = 0.66
CH (mm)

200
100 CH
0 Linear (CH)

Elevasi (m)

Gambar 2. Hubungan curah hujan dengan elevasi


Hubungan antara curah hujan dengan elevasi dapat dijelaskan oleh gambar
2. Berdasarkan hasil plotting antara elevasi dengan nilai curah hujannya didapat
persamaan regresi atau persamaan orografik. Menurut Sari et al. (2015) pada
umumnya nilai curah hujan yang tinggi akan menyebabkan ketinggian suatu
tempat yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil plotting yang
menunjukkan nilai R square sebesar 0,6557 atau sebesar 65% keragaman curah
hujan dapat dijelaskan oleh variabel ketinggian atau elevasi, dan sisanya atau
sebesar 35% dijelaskan oleh variabel lain.
Tabel 6. Penentuan curah hujan wilayah dengan metode Hypsometric elevasi dan
proporsi wilayah
Rentang h rata-
Stasiun Elevasi rata An Akumulatif
1 0-100 50 0,2 0,2

7
2 100-500 300 0,4 0,6
3 500-900 700 0,2 0,8
4 900-1300 1100 0,2 1,0
5 1300-1700 1500 0,1 1,0
      1 3,6
Sebaran hypsometric dapat dijelaskan oleh ketinggian relatif atau
ketinggian rata – rata dengan proporsi wilayah relatif. Proporsi wilayah relatif
didapatkan dengan menghitung luasan masing – masing tiap kontur (ketinggian)
dibagi dengan luas seluruhnya darri suatu DAS (Vivoni et al. 2008). Berdasarkan
tabel 6, dapat dilihat bahwa proporsi wilayah relatif terbesar, yaitu 0,4 berada
pada ketinggian rata – rata 300 m, sedangkan untuk proporsi wilayah terendah
sebesar 0,1 berada pada ketinggian rata – rata 1500 m.
1600
1400
Relative height (h/H)

1200
1000 f(x) = − 3251.84 x + 1380.37
800 R² = 0.42
600 Relative height
400 Linear (Relative height)
200
0
0.0 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4
Relative area (a/A)

Gambar 3. Hypsometric curve antara proporsi wilayah dengan ketinggian rata-


rata
Hypsometric curve menjelaskan hubungan antara proporsi wilayah relatif
dengan ketinggian relatif atau ketinggian rata – rata. Hubungan antara proporsi
wilayah dengan ketinggian rata - rata adalah negatif, artinya semakin bertambah
nilai proporsi wilayahnya maka ketinggiannya cenderung berkurang (Vivoni et al.
2008), akan tetapi hasil yang dihasilkan berdasarkan gambar 3 tidak sepenuhnya
memenuhi asumsi dari Vivoni et al. (2008). Hal ini disebabkan kurangnya
ketelitian dalam pengukuran luas wilayah setiap konturnya, sehingga hubungan
antara keduanya hanya bisa dijelaskan oleh nilai R square yang hanya sebesar
0,4214.
KESIMPULAN
Kurang kesimpulan nih.
DAFTAR PUSTAKA
Harto S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta(ID) : Gramedia Pustaka Utama
Ningsih DHU. 2012. Metode thiessen poligon untuk ramalan sebaran curah hujan
periode tertentu pada wilayah yang tidak memiliki data curah hujan. Jurnal
Teknologi Informasi Dinamik 17(2): 154- 156
Ratu YD, Krisnayanti DS, Udiana IM. 2012. Analisis kerapatan jaringan stasiun
curah hujan pada wilayah sungai (ws) Aesesa di Pulau Flores. Jurnal Teknik
Sipil. 1(4) : 23-37

8
Rauf A, Pawitan H, Kusmana C, June T, Gravenhorst. 2008. Intersepsi hujan dan
pengaruhnya terhadap pemindahan energi dan massa pada hutan tropika
basah: studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah.
Forum Pascasarjana 31(4) : 289-299
Sari NK, Harsa H, Boedisantoso R. 2015. Penentuan korelasi curah hujan,
ketinggian lapisan inversi dan hubungannya dengan kualitas udara ambien
Kota Surabaya. Jurnal Teknik ITS. 4(1) : 111-116
Soewarno. 1995. Hidrologi Jilid 1. Bandung(ID) : Nova
Tikno S. 2000. Kajian peluang curah hujan bulanan dan perkiraan hasil tambahan
air sebagai bahan pertimbangan penentuan waktu pelaksanaan modifikasi
cuaca (hujan buatan) kasus: DAS Riam Kanan – Kalimantan Selatan. Jurnal
Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 1(2) : 143-152
Triatmodjo B. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta(ID): Beta Offset
Vivoni ER, Benedetto FD, Grimaldi S, Eltahir EAB. 2008. Hypsometric control
on surface and subsurface runoff. Water Resources Research. 44 : 1-9
Wesli. 2008. Drainase Perkotaan. Yogyakarta(ID) : Graha Ilmu

9
LAMPIRAN I
Tabel pembagian kerja
Nama NIM Proporsi Bagian yang
dikerjakan
Awis Karni (G24150018)
M Faisal A (G24150021)
Muthia L I (G24150022)
Tyas Bunga K (G24150023)
M Sirojul A (G24150024)

10
LAMPIRAN II
Tugas Individu
Nama : Tyas Bunga K
NIM : G24150023

METODE HYPSOMETRIC

Analisis kuantitatif hubungan fisik antara struktur geomorfologi dan


respons hidrologi terhadap kejadian presipitasi bergantung pada mekanisme
limpasan, khususnya pada aliran permukaan dan maupun aliran dibawah
permukaan. Proses hidrologi bergantung pada sifat basin, rasio relief dan volume
tangkapan. Rasio relief (Rr, yang didefinisikan sebagai perbedaan elevasi
maksimum dibagi dengan jalur aliran terpanjang) menunjukkan kecuraman
keseluruhan cekungan dan mengendalikan redistribusi air permukaan, sedangkan
volume tangkapan air (Vc) menyediakan ukuran kapasitas penyimpanan dan
menentukan lokasi rembesan air tanah. Variasi dalam Rr dan Vc diantisipasi
untuk mempengaruhi komponen limpasan permukaan dan aliran bawah
permukaan.

Gambar 1. Hypsometric curve di suatu wilayah


Rasio relief dan volume tangkapan dapat dijelaskan dengan tepat melalui
kurva hypsometrik (daerah-ketinggian). Kurva hypsometrik biasanya
digambarkan sebagai distribusi tinggi relatif (h/H) dengan daerah relatif (a/A).
Kurva hypsometrik yang digambarkan oleh gambar 1 adalah hubungan antara
luasan wilayah relatif dengan ketinggian relatif untuk setiap bentukan topografi.
Pada dasarnya metode hypsometrik ini mencoba untuk menjelaskan hubungan
antara proporsi wilayah yang semakin luas maka ketinggiannya akan berkurang.
Daftar Pustaka
Vivoni ER, Benedetto FD, Grimaldi S, Eltahir EAB. 2008. Hypsometric control on
surface and subsurface runoff. Water Resources Research. 44 : 1-9

11
Tugas Individu
Nama : M Sirojul Abidin
NIM : G24150024
Metode Poligon Thiessen
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang
terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Dalam hal ini
diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan
beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam atau disekitar kawasan tesebut
(Ningsih 2012). Curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang
mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian
meramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu. Metode ini
memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di
sekitar. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah
sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang
tercatat pada suatu stasiun mewakili stasiun tersebut. Metode ini digunakan
apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata.
Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah
pengaruh dari tiap stasiun (Triatmodjo 2013).
Metode poligon Thiessen merupakan rata-rata terbobot (weighted
average), masing-masing stasiun hujan ditentukan luas daerah pengaruhnya
berdasarkan poligon yang dibentuk (menggambarkan garis-garis sumbu pada
garis-garis penghubung antara dua stasiun hujan yang berdekatan). Cara ini
diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-
tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Curah hujan rata-rata diperoleh
dengan cara menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah
pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus
terhadap garis penghubung antara dua pos penakar (Ningsih 2012). Dengan
metode ini wilayah di sekitar penakar curah hujan dan masih dalam lingkup area
poligon bisa diprediksikan rata-rata curah hujan wilayah yang diinginkan.
Metode Poligon Thiessen pada dasarnya menggunakan hubungan antara
kerapatan jaringan dengan sifat statistik hujan pada masing-masing stasiun dapat
ditentukan. Secara umum dapat ditentukan hubungan antara jarak antar stasiun
dengan korelasi hujan dari masing-masing stasiun hujan. Apabila korelasi dapat
ditentukan, maka jarak antar stasiun yang diperlukan dalam jaringan tertentu dapat
ditentukan pula (Djafar et al. 2014).
Daftar Pustaka
Djafar H, Limantar LM, Asmaranto R. 2014. Studi analisa kebutuhan jumlah
stasiun hujan berdasarkan evaluasi perbandingan antara analisa hidrograf
banjir dan banjir historis pada DAS Limboto Provinsi Gorontalo. Jurnal
Teknik Pengairan 5 (2):172–181

12
Ningsih DHU. 2012. Metode thiessen polygon untuk ramalan sebaran curah hujan
periode tertent pada wilayah yang tidak memiliki data curah hujan. Jurnal
Teknologi Informasi DINAMIK 17(2) : 154-163.
Triatmodjo B. 2013. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset Yogyakarta

13

Anda mungkin juga menyukai