G17 RRF
G17 RRF
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Cold Surge
dan MJO terhadap Peningkatan Hujan di Indonesia pada Periode East Asian
Winter Monsoon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2017
Kata kunci: angin meridional, cold surge, curah hujan, ERA-Interim, Madden-
Julian Oscillation
ABSTRACT
RAY RESTU FAUZI. Role of Cold Surge and MJO on Rainfall Enhancement over
Indonesia During East Asian Winter Monsoon. Supervised by RAHMAT
HIDAYAT.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Cold Surge 2
Madden-Julian Oscillation (MJO) 2
METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Alat dan Data 3
Prosedur dan Analisis Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Klimatologis Curah Hujan dan Angin pada Periode EAWM di
Indonesia 5
Perambatan Cold Surge menuju Kawasan Indonesia 7
Pengaruh MJO terhadap Kejadian Cold Surge di Kawasan Indonesia 9
Karakteristik Curah Hujan Indonesia saat dipengaruhi Cold Surge
dan MJO 10
Analisis Lag-Time pada kejadian Cold Surge dan MJO 13
SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
DAFTAR TABEL
1 Data parameter atmosfer yang digunakan dalam penelitian 3
2 Jumlah kejadian cold surge dan MJO pada periode EAWM tahun 2000 -
2015 7
DAFTAR GAMBAR
1 Peta kajian wilayah serta kondisi rata-rata klimatologis angin meridional
di ketinggian 925 hPa pada periode EAWM 4
2 Diagram hovmoller rata-rata klimatologis angin meridional wilayah 105-
115ºBT di ketinggian 925 hPa pada periode EAWM 6
3 Rata-rata klimatologis curah hujan dari GSMaP (A) dan TRMM (B) pada
periode EAWM 6
4 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional periode EAWM tahun
2010-2011 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan 2000-2015 (Panel iii) saat
tidak terjadi cold surge (A), terjadi cold surge (B), dan rata-rata harian
periode EAWM (C) 8
5 Diagram hovmoller kecepatan angin meridional terbesar pada saat
fenomena variabilitas intra-musiman dengan rentang waktu h-5 dan h+5 9
6 Diagram hovmoller sebaran curah hujan harian rata-rata zonal di 105-
115ºBT pada tahun 2000-2015 data TRMM (A) dan GSMaP (B) 10
7 Transpor uap air saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B), MJO
(C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D) 10
8 Peta komposit rata-rata curah hujan harian menggunakan data GSMaP
tahun 2007-2008 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan klimatologis tahun
2000-2015 (Panel iii) saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B),
MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D) 11
9 Peta komposit anomali curah hujan harian menggunakan data GSMaP
tahun 2007-2008 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan klimatologis tahun
2000-2015 (Panel iii) saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B),
MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D) 12
10 Kondisi curah hujan tahun 2012-2013 dengan lag time 0 sampai 2 saat
terjadinya cold surge (A), MJO (B), dan cold surge-MJO (C) 14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Scripting language untuk menghasilkan indeks cold surge menggunakan
angin meridional di 925 hPa 17
2 Scripting language untuk diagram hovmoller rata-rata klimatologis 15-
tahunan angin meridional 17
3 Scripting language untuk membuat data transpor uap air 18
4 Scripting language untuk analisis perambatan angin cold surge terbesar 18
5 Scripting language untuk visualisasi curah hujan saat terjadinya cold
surge-MJO tahun 2000-2001 19
6 Scripting language untuk visualisasi curah hujan harian dengan teknik
looping 20
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terletak pada daerah yang dilintasi oleh
variasi angin global. Salah satu angin yang mempengaruhi kondisi iklim di negara
tersebut yaitu angin monsun. Angin monsun merupakan angin berskala besar yang
terjadi karena adanya perbedaan suhu dan tekanan di lautan serta daratan. Wang
dan Fan (1999) mengemukakan bahwa angin monsun Asia mempengaruhi
terjadinya curah hujan maksimum di kawasan Asia Selatan khususnya Asia
Tenggara. Adapun kejadian cuaca dan iklim ekstrim di Pulau Jawa dan Sumatera
salah satunya terjadi saat adanya pengaruh angin monsun (Wicaksono dan Hidayat
2016).
Berbagai macam kejadian variabilitas iklim sering mempengaruhi curah
hujan ekstrim di beberapa wilayah Indonesia. Selain mempengaruhi curah hujan
periode tahunan dan antar-tahunan, beberapa variabilitas iklim juga mempengaruhi
curah hujan periode intra-musiman (Aldrian dan Susanto 2003). Anomali curah
hujan ekstrim dapat diprediksi dari uap air yang terbawa melewati daerah
Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Zhou dan You (2005) menyatakan bahwa
transpor uap air adalah komponen penting dalam melihat wilayah yang berpotensi
terjadinya hujan ekstrim. Banyaknya uap air yang terkonsentrasi di wilayah tertentu
menimbulkan hujan ekstrim yang dapat dikategorikan berdasarkan perhitungan
ambang batas dan percentile 95% (Wicaksono dan Hidayat 2016). Salah satu
variabilitas iklim intra-musiman saat musim dingin di BBU yang dapat
menggerakan uap air antara lain cold surge dan Madden-Julian Oscillation (MJO).
Saat musim dingin di BBU, aliran angin permukaan dari utara yang biasa
disebut dengan monsun musim dingin Asia banyak diamati di Asia Timur dan
Tenggara (Chan dan Li 2004). Aktifnya angin tersebut bersamaan dengan
timbulnya cuaca ekstrim yang terjadi di kawasan Asia Timur hasil interaksi antara
transport uap air dan angin monsun. Pada kondisi itu, sering ditemukan gejala
berupa hentakan aliran massa udara dingin yang membawa lebih banyak massa
udara dari daratan Siberia. Fenomena itu dapat disebut dengan istilah cold surge
(Aldrian dan Utama 2007).
Dampak dari cold surge menurut Chen et al. (2002) tidak hanya
menimbulkan cuaca ekstrim yang terjadi di kawasan Asia Timur, namun
menyebabkan curah hujan yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia. Pada tahun 2007, terjadi cold surge kuat sebanyak lima kali yang
perambatannya melewati ekuator bahkan Pulau Jawa. Kejadian tersebut menjadi
faktor utama saat Jakarta mengalami curah hujan tinggi yang menyebabkan banjir
besar (Wu et al. 2007).
Analisis lebih lanjut mengenai cold surge dengan MJO perlu dilakukan guna
melihat pengaruh kejadian variabilitas iklim intra-musiman terhadap kondisi iklim
di Indonesia. Penelitian ini dilakukan karena penelitian sebelumnya lebih mengkaji
karakteristik terjadinya cold surge, sementara penelitian yang menekankan pada
pengaruh terjadinya cold surge terhadap kondisi perubahan pola curah hujan di
Pulau Jawa dan sekitarnya belum banyak dilakukan (Aldrian dan Utama 2007;
Hattori et al. 2011; Wicaksono dan Hidayat 2016).
2
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Cold Surge
Cold surge merupakan fenomena cuaca ekstrim berupa angin kencang yang
terjadi di daerah Asia Tenggara (Ramage 1971). Aktifnya cold surge dapat ditandai
dengan beberapa kondisi meteorologi seperti peningkatan tekanan permukaan,
penurunan suhu permukaan, dan peningkatan kecepatan angin utara di permukaan
bumi secara mendadak. Chen et al. (2002) menyimpulkan beberapa penelitian
sebelumnya tentang karakteristik cold surge di tiga kondisi, yaitu permukaan bumi,
lingkungan sinoptik, dan interaksi antara wilayah tropis-lintang tengah. Penelitian
tersebut menghasilkan syarat terjadinya cold surge yang dapat ditandai dengan
beberapa kondisi yaitu perubahan arah angin (>60º) serta anomali temperatur (< 2
K) di Hong Kong, anomali positif tekanan permukaan laut (> 3 hPa) di 15ºN, 115ºE,
dan kecepatan angin utara di ketinggian 925 hPa hasil rata-rata wilayah antara 110-
117.5ºE, 15ºN yang lebih besar dari 8 m/s (Hattori et al. 2011). Besar pengaruh cold
surge sering diikuti oleh peningkatan aktivitas konvektif daerah tropis dan siklus
Hadley di Asia Timur.
METODE
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Pengumpulan data dan studi literatur
Data yang diunduh kemudian diseleksi berdasarkan wilayah kajian antara lain
15ºLS-25ºLU dan 95-140ºBT. Kajian wilayah meliputi Asia Tenggara
termasuk daerah kontinen maritim Indonesia, sebagian kecil Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik (Gambar 1).
4
(m/s)
4. Uji komposit kondisi angin serta curah hujan pada saat terjadinya cold surge
dan tidak terjadinya cold surge
Metode ini dilakukan dengan merata-ratakan angin meridional saat terjadinya
cold surge, tidak terjadinya cold surge, dan hari pada periode EAWM disetiap
tahun yang telah dipisahkan pada tahap sebelumnya. Teknik komposit tidak
lain adalah ensemble average, yaitu rata-rata aritmatik dari sekumpulan data
dalam kondisi yang sama.
5. Menghitung transport uap air menggunakan kriteria Zhou dan You (2005)
Definisi transpor uap air merupakan pergerakan angin yang membawa massa
uap air. Zhou dan You (2005) mengemukakan bahwa transpor uap air dapat
diduga dari persamaan berikut.
1 𝑝𝑠
𝑄= ∫ 𝑞𝑉 𝑑𝑝 (1)
𝑔 𝑝𝑡
Monsun Asia dan Australia merupakan dua monsun global yang secara utama
mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Adapun monsun merupakan siklus
permukaan angin terbesar yang memiliki pola musiman di beberapa wilayah
tertentu. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan bahwa awal mula monsun
biasanya terjadi bersamaan dengan curah hujan tinggi di daerah yang dilintasi pola
angin monsun tersebut (Krishnamurti et al. 2013).
6
(m/s)
A B
(mm)
Gambar 3 Rata-rata klimatologis curah hujan dari GSMaP (A) dan TRMM (B)
pada periode EAWM
7
Penelitian ini menggunakan data satelit TRMM dan GSMaP untuk melihat
pengaruh cold surge dan MJO dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia.
Penggunaan data satelit TRMM dan GSMaP sering dilakukan untuk menganalisis
keragaman curah hujan wilayah yang sulit diamati (Hidayat dan Kizu 2010; Hattori
et al. 2011; Fu et al. 2011; Junzhi et al. 2012). Pada Gambar 3, besar perbedaan
terlihat pada hasil pengukuran intensitas curah hujan di lautan dan pesisir serta
sebaran curah hujan di daratan. Hasil validasi dengan data stasiun menunjukan
bahwa data curah hujan TRMM memiliki nilai korelasi sebesar 0.28 dan GSMaP
sebesar 0.57. Visualisasi data TRMM cenderung menampilkan besar curah hujan
yang terlalu tinggi dibandingkan dengan data observasinya, sedangkan data GSMaP
mampu menampilkan besar curah hujan yang lebih presisi karena algoritma data
yang disusun untuk lebih mengevaluasi kinerja beberapa satelit observasinya.
Cold Surge (CS) merupakan penjalaran massa udara dingin yang bergerak
dari Asia Timur sampai bagian barat Samudera Pasifik saat terjadinya monsun
musim dingin Asia (Wang 2006). Adapun jumlah kejadian cold surge dan MJO
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah kejadian cold surge dan MJO periode EAWM tahun 2000-2015
Tahun CS MJO CS-MJO
2000/01 26 14 7
2001/02 25 14 11
2002/03 14 6 11
2003/04 22 14 10
2004/05 26 8 2
2005/06 28 15 2
2006/07 27 15 4
2007/08 32 10 17
2008/09 26 25 6
2009/10 16 7 6
2010/11 31 9 6
2011/12 20 19 13
2012/13 13 12 4
2013/14 28 3 9
2014/15 28 15 5
Total 362 186 113
Hasil menunjukan bahwa terdapat 362 kejadian cold surge, 186 kejadian
MJO, dan 113 kejadian cold surge dan MJO yang aktif secara bersamaan, dengan
total periode EAWM tahun 2000-2015 yaitu 1803 hari. Kejadian cold surge
terbanyak terjadi pada tahun 2007-2008, MJO terbanyak pada tahun 2008-2009 dan
kejadian cold surge serta MJO terbanyak terjadi pada tahun 2007-2008.
Perambatan cold surge dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai negatif pada
gambar tersebut mendefinisikan angin utara, sedangkan nilai positif merupakan
angin selatan. Adapun besar kecepatan angin digambarkan dengan warna yang
8
berbeda setiap intervalnya. Kecepatan angin meridional diwakili oleh gradasi warna
dan arah angin diwakili oleh anak panah dengan kecepatan maksimum 15 m/s
(Gambar 4). Dominasi angin utara disebabkan karena posisi matahari yang berada
di Benua Australia sehingga meningkatkan gradien tekanan di daerah utara-selatan
(Aldrian dan Utama 2007).
i ii iii
i ii iii
i ii iii
C
(m/s)
ekuator sebagai hasil dari propagasi angin menuju arah selatan yang berasal dari
Siberian-Mongolia High (SMH).
A B C
Latitude
Kecepatan (m/s)
(m/s)
Jeda Hari
Gambar 5
Diagram hovmoller kecepatan angin meridional terbesar pada saat
fenomena variabilitas intra-musiman dengan rentang waktu h-5 dan
h+5
Gambar 5 menunjukan pengaruh osilasi MJO dari arah barat pada penjalaran
cold surge ke arah selatan saat kecepatan angin meridional terbesar untuk masing-
masing kejadian. Warna pada diagram hovmoller dan sumbu-y pada grafik
dibawahnya menunjukan kecepatan angin, dengan garis kontur yang menandakan
angin utara. Sumbu-x dari Gambar 5 merupakan jeda hari setelah dan sebelum
terjadinya variabilitas iklim intra-musiman dengan kecepatan angin meredional
tertinggi. Peningkatan kecepatan angin utara terlihat pada lima hari sebelum
terjadinya cold surge terkuat, sedangkan perambatan angin sampai wilayah 10ºLS
memerlukan durasi sebesar lima hari setelahnya. Sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Compo et al. (1999) tentang adanya hubungan yang kuat antara cold surge di
15ºLU, 115º BT dan aktivitas konveksi di bagian selatan Indonesia.
Kejadian MJO dengan angin meridional terbesar menyebabkan desakan angin
cold surge tertahan oleh angin baratan mengikuti kekuatan konveksi dari MJO di
wilayah 6ºLU, sehingga besar cold surge kurang mempengaruhi luas penjalaran
angin meridional. Hal tersebut dipengaruhi oleh frekuensi kejadian cold surge
sendiri. Saat terjadinya rangkaian kejadian cold surge secara berturut-turut, waktu
tempuh angin ke arah selatan sampai equator memerlukan waktu 4-6 hari setelah
terdeteksi adanya cold surge di daerah Hong Kong (Aldrian dan Utama 2007).
10
Karakteristik Curah Hujan Indonesia saat dipengaruhi Cold Surge dan MJO
A B
(mm)
Gambar 6 Diagram hovmoller sebaran curah hujan harian rata-rata zonal di 105-
115ºBT pada tahun 2000-2015 data TRMM (A) dan GSMaP (B)
Pada Gambar 6, wilayah Pulau Jawa ditandai dengan garis putus pada 5-
10ºLS sedangkan pada 0-15ºLU mewakili wilayah Laut Cina Selatan. Pulau Jawa
memiliki curah hujan harian sebesar 10-15 mm. Sebaran curah hujan 10-25 mm di
Laut Cina Selatan bervariasi dan memiliki intesitas yang besar dari 16 November-
16 Februari kemudian melemah hingga 1 Maret. Pergerakan uap air secara
horizontal saat terjadinya fenomena intra-musiman dapat dilihat pada Gambar 7.
A B
C D
(kg/m/s)
Gambar 7 Transpor uap air saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B), MJO
(C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D)
11
Gambar 7 menunjukan rata-rata massa uap air terbesar berada pada wilayah
5-20ºLU. Menurut Zhou dan You (2005), sumber utama massa tersebut berasal dari
Laut Cina Timur dan daerah sisi Samudera Pasifik. Saat tidak terjadinya cold surge,
kecepatan angin yang rendah membuat massa uap air dari Laut Cina Timur tidak
dapat terbawa sampai daerah Indonesia. Saat cold surge, terjadi pengangkutan
massa uap air dari Laut Cina Timur dan meningkatkan intensitas uap air di daerah
Laut Cina Selatan yang kemudian merambat hingga Laut Jawa (Gambar 7B). Selain
itu, fenomena MJO juga dapat meningkatkan kecepatan transpor uap air di Laut
Filipina dan kawasan Laut Jawa yang bersumber dari Samudera Hindia (Gambar
7C). Transpor uap air tersebut terjadi karena adanya propagrasi ke arah timur yang
akan menimbulkan anomali curah hujan dibeberapa daerah di Laut Banda dan Laut
Jawa (Hidayat dan Kizu 2010). Saat kedua variabilitas iklim intra-musiman itu
terjadi secara bersamaan, timbul massa uap air besar yang terkonsentrasi di Laut
Cina Selatan dan Laut Jawa dan berpotensi untuk menghasilkan awan hujan.
Penjalaran massa uap air vertikal yang cenderung bergerak cepat secara
horizontal di lautan disebabkan karena fluktuasi topografi di daerah daratan
Indonesia yang memiliki tinggi geopotensial yang berbeda-beda (Zhou dan You
2005). Hal itu menimbulkan pembelokan transpor uap air yang tajam di Selat Sunda.
Pergerakan massa uap air di udara berkorelasi negatif dengan besar OLR
(Wicaksono dan Hidayat 2016). Semakin besar transpor uap air maka semakin kecil
nilai OLR yang berdampak kepada besarnya potensi pembentukan awan konvektif.
A B C D
i i i i
ii ii ii ii
(mm)
Gambar 8 Peta komposit rata-rata curah hujan harian menggunakan data GSMaP
tahun 2007-2008 (Panel a), 2012-2013 (Panel b), dan klimatologis
tahun 2000-2015 (Panel c) saat tidak terjadinya cold surge (A), cold
surge (B), MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara
bersamaan (D)
12
i i i i
ii ii ii ii
(%)
Peta anomali yang dihasilkan pada Gambar 9 memiliki satuan persen (%)
yang mengindikasikan peningkatan dan penurunan curah hujan klimatologis
selama EAWM (Gambar 3). Penurunan curah hujan diwakili oleh nilai negatif dan
kenaikannya diwakili oleh nilai positif. Peningkatan curah hujan tahun 2007-2008
di Laut Cina Selatan saat terjadinya cold surge yaitu 150%. Namun, penurunan
curah hujan juga terlihat di daerah Indonesia sebesar 20-75%. Saat terjadinya MJO,
peningkatan curah hujan terlihat di daerah Indonesia Timur sebesar 50-150%,
Kalimantan Timur sebesar 10-100% dan sedikit di Pulau Jawa sebesar 5-50%.
Terjadinya MJO dan cold surge secara bersamaan dapat meningkatkan curah hujan
lebih dari 200% di Samudera Hindia Timur. Selain itu, peningkatan curah hujan
harian juga terlihat di daerah Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda, Jawa
Tengah, NTT, NTB, dan Jakarta sebesar 25-150%.
Pada tahun 2012-2013, kejadian cold surge dapat menimbulkan anomali
curah hujan positif sebesar 10-100% di daerah Indonesia (Gambar 9i). Adapun
kenaikan curah hujan terbesar berada di sekitar Laut Banda dan Selat Sunda hingga
150%. Penurunan curah hujan juga terjadi di Kalimantan Tengah dan Barat sebesar
5-50%. Terjadinya MJO juga meningkatkan curah hujan di daerah yang hampir
sama dengan pengaruh cold surge. Adapun kenaikan curah hujan terbesar berada di
daerah Samudera Hindia Timur dengan peningkatannya hingga 200%. Saat MJO
dan cold surge aktif secara bersamaan, curah hujan terlihat meningkat di wilayah
yang dipengaruhi MJO dan cold surge secara masing-masing. Namun, besar
peningkatannya lebih tinggi sekitar 25-200%. Penurunan curah hujan juga terlihat
di Kalimantan Tengah dan Barat, serta sebagian Pulau Sumatera.
Secara klimatologis, pengaruh cold surge umumnya berada pada daerah
lautan di Indonesia. Angin cold surge yang berhembus dari Laut Cina Selatan
melewati Laut Jawa hingga Laut Flores di Indonesia. Timbulnya curah hujan di
lintasan tersebut bergantung pada kondisi uap air di daerah Laut Cina Selatan,
karena pada umumnya angin cold surge cenderung kering (Johnson dan House
1987). Besar rata-rata peningkatan curah hujan di daerah lintasan tersebut berkisar
antara 10-50%, termasuk Jakarta. Peningkatan curah hujan 100% juga terlihat di
Laut Cina Selatan dan Laut Filipina. Besar pengaruh MJO secara klimatologis
berada pada daerah Samudera Hindia Barat dan Lautan Indonesia dengan besar
peningkatan yaitu 25-150%. Saat MJO dan cold surge terjadi secara bersamaan,
peningkatan curah hujan klimatologis sebesar 25-150% terlihat di daerah Lautan
Indonesia. Namun, penurunan curah hujan umumnya terjadi di daerah daratan
sebesar 5-50%.
menuju Laut Jawa. Analisis lag time antara cold surge dan curah hujan dapat dilihat
pada Gambar 10.
i ii iii
i ii iii
i ii iii
(mm)
Gambar 10 Kondisi curah hujan tahun 2012-2013 dengan lag time 0 sampai 2 saat
terjadinya cold surge (A), MJO (B), dan cold surge – MJO (C)
Gambar 10 menunjukan kondisi curah hujan tahun 2012-2013 saat terjadinya
fenomena intra-musiman dengan lag time 0 (Panel i), 1 (Panel ii), dan 2 hari (Panel
iii). Analisis lag time berfungsi untuk mengetahui jeda waktu relasi antara curah
hujan dan fenomena intra-musiman yang cocok dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Satu hari setelah terjadinya cold surge (lag 1), kondisi curah hujan
sebelumnya menyebar lebih luas dan mengalami peningkatan intensitas sebesar 15
- 30 mm. Beberapa curah hujan tersebut menyebar hingga memasuki Pulau Jawa.
Pada hari kedua dan ketiga setelah terjadinya cold surge, curah hujan di wilayah
tersebut melemah dan terkikis bersamaan dengan rendahnya intensitas hujan. Curah
hujan Indonesia Timur meningkat sampai hari kedua bersamaan dengan penurunan
curah hujan di Indonesia Barat. Propagasi MJO dari barat ke timur membuat
pengaruhnya lebih besar saat hari kedua setelah terjadinya MJO. Saat terjadinya
cold surge dan MJO secara bersamaan, peningkatan intensitas hujan terlihat mulai
hari pertama setelah kejadian berlangsung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 1-2
hari merupakan jeda hari yang paling intensif untuk cold surge dan MJO
mempengaruhi curah hujan di Indonesia.
15
Simpulan
Kejadian cold surge dan fase dingin MJO berperan penting dalam
meningkatkan curah hujan di Indonesia yang dapat dianalisis menggunakan
parameter angin meridional, curah hujan, dan transpor uap air. Hasil menunjukan
bahwa kedua fenomena tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan di
Indonesia, khususnya Laut Jawa. Terdapat 362 kejadian cold surge, 186 kejadian
MJO, dan 113 kejadian cold surge-MJO selama 15 tahun (2000-2015) periode East
Asian Winter Monsoon (EAWM). Tingginya transpor uap air menunjukan bahwa
Laut Cina Timur merupakan sumber terjadinya curah hujan ekstrim pada kejadian
cold surge, sedangkan MJO memiliki dua sumber transpor uap air yaitu Samudera
Hindia dan Laut Cina Timur. MJO dan cold surge yang terjadi secara bersamaan
menyebabkan sumber uap air menuju kawasan Indonesia dan meningkatkan curah
hujan hingga 100-150% dari rata-rata klimatologinya. Adapun dampak intensif cold
surge terhadap curah hujan di Indonesia memerlukan jeda waktu sekitar 1-2 hari.
Saran
Pengaruh cold surge terhadap curah hujan ekstrim di Indonesia belum dapat
dijelaskan sepenuhnya hanya menggunakan satu variabilitas iklim. Beberapa
observasi variabilitas iklim lainnya diperlukan untuk menjelaskan secara spesifik
bagaimana pengaruh cold surge. Selain itu, pemodelan angin meridional untuk
memprediksi angin cold surge juga diperlukan guna menyempurnakan kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
'sdfopen d:/Projek_Skripsi/r_v10.nc'
'set display color white'
'clear'
'set lon 110 117.5'
'set lat 15'
'set time jan2000 jan2016'
'define surge = ave(v10, lon=110, lon=117.5)'
'set prnopts %g 1 1'
'fprintf surge d:/Projek_Skripsi/indeks_cold_surge.csv'
'clear'
'sdfopen d:/Projek_Skripsi/TRMM.nc'
'set lat -20 20'
'set lon 105'
'set t 1 last'
'define area = ave(precipitation, lon=105, lon=115)'
'set t 305 425'
'define rataan = ave(area, t+0, t=5539, 365)'
'set t 305 425'
'set parea 1.5 10.0 0.5 8.0'
'set display color white'
'set xyrev on'
'set gxout shaded'
'set clevs 0 0.5 1 2 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'd rataan'
'draw title Curah Hujan Nov 2000 - Feb 2015 (105-115E)'
'cbarn'
'printim d:/Projek_Skripsi/CH_hovmoler0015.png png x1600 y1200'
'cbarn'
18
'sdfopen D:\Projek_Skripsi\kelembaban.nc'
'sdfopen D:\Projek_Skripsi\anginu.nc'
'sdfopen D:\Projek_Skripsi\anginv.nc'
'set gxout fwrite'
'set fwrite qVe.dat'
it=1
while(it<=5844)
say it
'set t ' it
'define p1000=const(q.1,1000,-a)'
'define Bqu=vint(p1000,q.1*u.2,300)'
'define Bqv=vint(p1000,q.1*v.3,300)'
'd Bqu'
'd Bqv'
it=it+1
endwhile
'disable fwrite'
'clear'
'sdfopen d:/Projek_Skripsi/angin_v.nc'
'sdfopen d:/Projek_Skripsi/angin_u.nc'
'set lat -15 15'
'set lon 105'
'set t 3293 3301'
'define arealv = ave(v.1, lon=105, lon=115)'
'set parea 0.5 5.0 4 8.0'
'set display color white'
'set xyrev on'
'set gxout shaded'
'set clevs -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8'
'set xaxis -4 4 1'
'd arealv'
19
Lampiran 5 Scripting language untuk visualisasi curah hujan saat terjadinya cold
surge-MJO tahun 2000-2001
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#
'open D:/Data_GSMAP/Data_Reanalisis/GSMaP_MVK.daily.00Z-23Z.v6.ctl'
'set display color white'
'clear'
'set rgb 20 240 0 130'
'set rgb 21 250 60 60'
'set rgb 22 240 130 40'
'set rgb 23 230 175 45'
'set rgb 24 230 220 50'
'set rgb 25 160 230 50'
'set rgb 26 0 220 0'
'set rgb 27 0 210 140'
'set rgb 28 0 200 200'
'set rgb 29 0 160 255'
'set rgb 30 229 205 218'
'set ccolor 0'
'set lat -15 25'
'set lon 95 140'
'set t 1'
'define TRMMUCS = ( precip(t=276) + precip(t=277) + precip(t=278) +
precip(t=279) + precip(t=346) + precip(t=347) + precip(t=350) )/7'
20
Lampiran 6 Scripting language untuk visualisasi curah hujan harian dengan teknik
looping
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#
'open D:/Data_GSMAP/Data_Reanalisis/GSMaP_MVK.daily.00Z-23Z.v6.ctl'
'set display color white'
'set lat -15 25'
'set lon 95 140'
cst = 2850
it = 1
lag = -5
while(it<=11)
say it
'set t ' cst
'set gxout shaded'
'set clevs 1 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'd precip*24'
'cbarn'
'draw title Lag 'lag
'printim d:/Projek_Skripsi/lag_MJO'lag'.png x1600 y1200'
'clear'
it = it+1
cst = cst+1
lag = lag + 1
endwhile
'set clevs 1 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'set t 1'
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor pada tanggal 7 Mei 1995 dari pasangan Bapak Achmad
Yusuf dan Ibu Kusmiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor dengan
mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA.
Penulis masuk IPB melalui jalur SBMPTN tahun 2013. Beasiswa pendidikan
diperoleh dari Beasiswa Bidikmisi pada tahun 2013-2017. Selama menjalani masa
studi, penulis aktif menjadi pengurus di Himpunan Profesi Mahasiswa
Agrometeorologi (HIMAGRETO) 2014-2016. Penulis juga mengikuti berbagai
perlombaan skala kampus dan nasional, juga berbagai kepanitiaan skala kampus
maupun nasional. Seperti juara satu desain poster terbaik di acara Seminar Nasional
Sains Atmosfer (SNSA) 2016 yang diselenggarakan oleh Lembaga Antariksa dan
Penerbangan (LAPAN), Bandung.