Anda di halaman 1dari 33

PENGARUH COLD SURGE DAN MJO TERHADAP

PENINGKATAN HUJAN DI INDONESIA PADA PERIODE


EAST ASIAN WINTER MONSOON

RAY RESTU FAUZI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Cold Surge
dan MJO terhadap Peningkatan Hujan di Indonesia pada Periode East Asian
Winter Monsoon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2017

Ray Restu Fauzi


NIM G24130069
ABSTRAK
RAY RESTU FAUZI. Pengaruh Cold Surge dan MJO terhadap Peningkatan Hujan
di Indonesia pada Periode East Asian Winter Monsoon. Dibimbing oleh RAHMAT
HIDAYAT.

Intensitas curah hujan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh daya


konveksi dan pergerakan angin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara cold surge dengan fenomena variabilitas iklim intra-musiman
Madden-Julian Oscillation (MJO) dalam mempengaruhi peningkatan curah hujan
di Indonesia. Data yang digunakan dalam identifikasi cold surge adalah data
kecepatan angin meridional menggunakan ERA-Interim. Selain itu, identifikasi
MJO dilakukan menggunakan data indeks RMM1 dan RMM2 dari Bureau of
Meteorology (BOM). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat peran cold surge
dan MJO dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Pada periode East Asian
Winter Monsoon (EAWM) tahun 2000-2015, terdapat 362 kejadian cold surge, 186
kejadian MJO, dan 113 kejadian cold surge-MJO. Pengaruh cold surge dapat
melewati daerah ekuator dan berpotensi membawa massa uap air yang
menyebabkan curah hujan tinggi di lautan Indonesia mencapai 50-75% dari kondisi
klimatologis curah hujan periode EAWM. Aktifitas konveksi (MJO) yang bergerak
dari barat ke timur juga berperan dalam meningkatkan intensitas curah hujan,
namun sebaran curah hujannya lebih luas dibandingkan kejadian cold surge,
terutama di Indonesia bagian timur. MJO dan cold surge yang terjadi secara
bersamaan dapat meningkatkan curah hujan hingga 100-150%. Meningkatnya
curah hujan dapat dijelaskan oleh mekanisme transpor uap air yang tinggi di daerah
seperti Laut Jawa dan wilayah pesisir Indonesia. Dampak kejadian cold surge
terhadap peningkatan curah hujan di Indonesia memerlukan jeda waktu sekitar 1-2
hari.

Kata kunci: angin meridional, cold surge, curah hujan, ERA-Interim, Madden-
Julian Oscillation
ABSTRACT

RAY RESTU FAUZI. Role of Cold Surge and MJO on Rainfall Enhancement over
Indonesia During East Asian Winter Monsoon. Supervised by RAHMAT
HIDAYAT.

Intensity of precipitation in Indonesia is influenced by convection and


propagation of southwest wind. Objective of this study is to analyze the relationship
between cold surge and the phenomenon of intra-seasonal climate variability
Madden-julian Oscillation (MJO) for affecting precipitation in Indonesia. The data
used for identifying the occurrence of cold surge are meridional wind speed data
from the ERA-Interim. In addition, this study also used RMM1 and RMM2 index
data from Bureau of Meteorology (BOM) for identifying MJO events. The results
showed that during East Asian Winter Monsoon (EAWM) in 15 years (2000-2015),
there are 362 cold surge events, 186 MJO events, and 113 cold surge events were
associated with MJO events. The spread of cold surge can penetrate to equator and
brought mass of water vapor that causes dominant precipitation in the Indonesian
Sea up to 50-75% from climatological precipitation during EAWM. The MJO
convection activity that moves from west to east also increases precipitation, but
the distribution of rainfall is wider than cold surge, especially in Eastern Indonesia.
MJO and cold surge simultaneously can increase rainfall over 100-150% in any
Indonesian region that affected by MJO and cold surge events. The Mechanism of
heavy rainfall is illustrated by high activity of moisture transport in areas such as
Java Sea and coastal areas of Indonesia. Also, it was found that the most increased
rainfall intensity from cold surge event has time lag about 1-2 days.

Keywords: cold surge, ERA-Interim, madden-julian oscillation, meridional wind,


precipitation
PENGARUH COLD SURGE DAN MJO TERHADAP
PENINGKATAN HUJAN DI INDONESIA PADA PERIODE
EAST ASIAN WINTER MONSOON

RAY RESTU FAUZI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Judul Skripsi : Pengaruh Cold Surge dan MJO terhadap Peningkatan Hujan di
Indonesia pada Periode East Asian Winter Monsoon
Nama : Ray Restu Fauzi
NIM : G24130069

Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat, MSc


Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah


SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, saya selaku penulis diberikan
kesempatan dan kesehatan, sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tujuan
penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi di
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian
ini adalah “ Pengaruh Cold Surge dan MJO terhadap Peningkatan Hujan di
Indonesia pada Periode East Asian Winter Monsoon ”. Ucapan terima kasih saya
sampaikan kepada :
1. Bapak Dr Rahmat Hidayat, MSc selaku pembimbing skripsi yang selalu
membantu, memberikan arahan, dan ilmu kepada saya.
2. Bapak, Ibu, Nene, dan semua keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayang
yang diberikan.
3. Bapak Dr Perdinan, MNRE selaku pembimbing akademik yang selalu
memberikan motivasi dan semangat.
4. Bang Andi Syahid dan Bang Gigih atas arahannya dalam menyelesaikan
permasalah tugas akhir.
5. Irfi Panrepi, Syinthia Wahyudi, Urfana Istiqomah, dan Risma Purnamasari
atas diskusi, bantuan dan semangatnya.
6. Mahasiswa GFM 50 atas kebersamaan dan suka duka yang dilalui bersama.
7. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas semua
dukungannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya, terima kasih.

Bogor, Mei 2017

Ray Restu Fauzi


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Cold Surge 2
Madden-Julian Oscillation (MJO) 2
METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Alat dan Data 3
Prosedur dan Analisis Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Klimatologis Curah Hujan dan Angin pada Periode EAWM di
Indonesia 5
Perambatan Cold Surge menuju Kawasan Indonesia 7
Pengaruh MJO terhadap Kejadian Cold Surge di Kawasan Indonesia 9
Karakteristik Curah Hujan Indonesia saat dipengaruhi Cold Surge
dan MJO 10
Analisis Lag-Time pada kejadian Cold Surge dan MJO 13
SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
DAFTAR TABEL
1 Data parameter atmosfer yang digunakan dalam penelitian 3
2 Jumlah kejadian cold surge dan MJO pada periode EAWM tahun 2000 -
2015 7

DAFTAR GAMBAR
1 Peta kajian wilayah serta kondisi rata-rata klimatologis angin meridional
di ketinggian 925 hPa pada periode EAWM 4
2 Diagram hovmoller rata-rata klimatologis angin meridional wilayah 105-
115ºBT di ketinggian 925 hPa pada periode EAWM 6
3 Rata-rata klimatologis curah hujan dari GSMaP (A) dan TRMM (B) pada
periode EAWM 6
4 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional periode EAWM tahun
2010-2011 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan 2000-2015 (Panel iii) saat
tidak terjadi cold surge (A), terjadi cold surge (B), dan rata-rata harian
periode EAWM (C) 8
5 Diagram hovmoller kecepatan angin meridional terbesar pada saat
fenomena variabilitas intra-musiman dengan rentang waktu h-5 dan h+5 9
6 Diagram hovmoller sebaran curah hujan harian rata-rata zonal di 105-
115ºBT pada tahun 2000-2015 data TRMM (A) dan GSMaP (B) 10
7 Transpor uap air saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B), MJO
(C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D) 10
8 Peta komposit rata-rata curah hujan harian menggunakan data GSMaP
tahun 2007-2008 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan klimatologis tahun
2000-2015 (Panel iii) saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B),
MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D) 11
9 Peta komposit anomali curah hujan harian menggunakan data GSMaP
tahun 2007-2008 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan klimatologis tahun
2000-2015 (Panel iii) saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B),
MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D) 12
10 Kondisi curah hujan tahun 2012-2013 dengan lag time 0 sampai 2 saat
terjadinya cold surge (A), MJO (B), dan cold surge-MJO (C) 14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Scripting language untuk menghasilkan indeks cold surge menggunakan
angin meridional di 925 hPa 17
2 Scripting language untuk diagram hovmoller rata-rata klimatologis 15-
tahunan angin meridional 17
3 Scripting language untuk membuat data transpor uap air 18
4 Scripting language untuk analisis perambatan angin cold surge terbesar 18
5 Scripting language untuk visualisasi curah hujan saat terjadinya cold
surge-MJO tahun 2000-2001 19
6 Scripting language untuk visualisasi curah hujan harian dengan teknik
looping 20
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terletak pada daerah yang dilintasi oleh
variasi angin global. Salah satu angin yang mempengaruhi kondisi iklim di negara
tersebut yaitu angin monsun. Angin monsun merupakan angin berskala besar yang
terjadi karena adanya perbedaan suhu dan tekanan di lautan serta daratan. Wang
dan Fan (1999) mengemukakan bahwa angin monsun Asia mempengaruhi
terjadinya curah hujan maksimum di kawasan Asia Selatan khususnya Asia
Tenggara. Adapun kejadian cuaca dan iklim ekstrim di Pulau Jawa dan Sumatera
salah satunya terjadi saat adanya pengaruh angin monsun (Wicaksono dan Hidayat
2016).
Berbagai macam kejadian variabilitas iklim sering mempengaruhi curah
hujan ekstrim di beberapa wilayah Indonesia. Selain mempengaruhi curah hujan
periode tahunan dan antar-tahunan, beberapa variabilitas iklim juga mempengaruhi
curah hujan periode intra-musiman (Aldrian dan Susanto 2003). Anomali curah
hujan ekstrim dapat diprediksi dari uap air yang terbawa melewati daerah
Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Zhou dan You (2005) menyatakan bahwa
transpor uap air adalah komponen penting dalam melihat wilayah yang berpotensi
terjadinya hujan ekstrim. Banyaknya uap air yang terkonsentrasi di wilayah tertentu
menimbulkan hujan ekstrim yang dapat dikategorikan berdasarkan perhitungan
ambang batas dan percentile 95% (Wicaksono dan Hidayat 2016). Salah satu
variabilitas iklim intra-musiman saat musim dingin di BBU yang dapat
menggerakan uap air antara lain cold surge dan Madden-Julian Oscillation (MJO).
Saat musim dingin di BBU, aliran angin permukaan dari utara yang biasa
disebut dengan monsun musim dingin Asia banyak diamati di Asia Timur dan
Tenggara (Chan dan Li 2004). Aktifnya angin tersebut bersamaan dengan
timbulnya cuaca ekstrim yang terjadi di kawasan Asia Timur hasil interaksi antara
transport uap air dan angin monsun. Pada kondisi itu, sering ditemukan gejala
berupa hentakan aliran massa udara dingin yang membawa lebih banyak massa
udara dari daratan Siberia. Fenomena itu dapat disebut dengan istilah cold surge
(Aldrian dan Utama 2007).
Dampak dari cold surge menurut Chen et al. (2002) tidak hanya
menimbulkan cuaca ekstrim yang terjadi di kawasan Asia Timur, namun
menyebabkan curah hujan yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia. Pada tahun 2007, terjadi cold surge kuat sebanyak lima kali yang
perambatannya melewati ekuator bahkan Pulau Jawa. Kejadian tersebut menjadi
faktor utama saat Jakarta mengalami curah hujan tinggi yang menyebabkan banjir
besar (Wu et al. 2007).
Analisis lebih lanjut mengenai cold surge dengan MJO perlu dilakukan guna
melihat pengaruh kejadian variabilitas iklim intra-musiman terhadap kondisi iklim
di Indonesia. Penelitian ini dilakukan karena penelitian sebelumnya lebih mengkaji
karakteristik terjadinya cold surge, sementara penelitian yang menekankan pada
pengaruh terjadinya cold surge terhadap kondisi perubahan pola curah hujan di
Pulau Jawa dan sekitarnya belum banyak dilakukan (Aldrian dan Utama 2007;
Hattori et al. 2011; Wicaksono dan Hidayat 2016).
2

Tujuan Penelitian

1. Identifikasi kejadian cold surge dan MJO pada periode EAWM.


2. Menganalisis mekanisme fisis peningkatan curah hujan Indonesia akibat cold
surge dan MJO (Madden-Julian Oscillation).

TINJAUAN PUSTAKA

Cold Surge

Cold surge merupakan fenomena cuaca ekstrim berupa angin kencang yang
terjadi di daerah Asia Tenggara (Ramage 1971). Aktifnya cold surge dapat ditandai
dengan beberapa kondisi meteorologi seperti peningkatan tekanan permukaan,
penurunan suhu permukaan, dan peningkatan kecepatan angin utara di permukaan
bumi secara mendadak. Chen et al. (2002) menyimpulkan beberapa penelitian
sebelumnya tentang karakteristik cold surge di tiga kondisi, yaitu permukaan bumi,
lingkungan sinoptik, dan interaksi antara wilayah tropis-lintang tengah. Penelitian
tersebut menghasilkan syarat terjadinya cold surge yang dapat ditandai dengan
beberapa kondisi yaitu perubahan arah angin (>60º) serta anomali temperatur (< 2
K) di Hong Kong, anomali positif tekanan permukaan laut (> 3 hPa) di 15ºN, 115ºE,
dan kecepatan angin utara di ketinggian 925 hPa hasil rata-rata wilayah antara 110-
117.5ºE, 15ºN yang lebih besar dari 8 m/s (Hattori et al. 2011). Besar pengaruh cold
surge sering diikuti oleh peningkatan aktivitas konvektif daerah tropis dan siklus
Hadley di Asia Timur.

Madden-Julian Oscillation (MJO)

Fenomena osilasi intra-musiman Madden-Julian Oscillation (MJO)


merupakan model osilasi dominan yang berada di daerah tropik dan biasanya
mengalami pergerakan konvektif dari arah barat menuju timur bersama angin
baratan (Madden dan Julian 1971). MJO memiliki delapan fase aktif yang
dibedakan berdasarkan wilayah pembentukannya. Selama fase aktif, terjadi
pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik
bagian barat, sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan
sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal (Evana et al.
2008). Awan konvektif ini menyebabkan intensitas hujan yang tinggi sepanjang
penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudera
Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia (Madani et al. 2012).
Perubahan pola dan kecepatan angin juga dapat dipengaruhi oleh awan tersebut.
Hal itu terjadi karena pergerakan pusat tekanan rendah yang dicirikan dengan
pembentukan super cloud cluster, sehingga angin bergerak menuju kawasan
tersebut. Hasil penelitian dari Hidayat dan Kizu (2010) menyatakan bahwa awan
yang terbentuk oleh MJO sangat mempengaruhi wilayah lautan di Indonesia
dibandingkan dengan wilayah daratan. Fluktuasi pengaruh MJO terhadap curah
hujan ekstrim di daratan diperkirakan terjadi karena pengaruh topografi dan
fenomena variabilitas iklim intra-musiman lain yaitu cold surge.
3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2017 di Laboratorium


Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat


komputer/laptop dengan software Grid Analysis and Display System (GrADS),
Climate Data Operator (CDO), Microsoft Office, notepad++, seperangkat alat
tulis, dan kalkulator.
Tabel 1 Data parameter atmosfer yang digunakan dalam penelitian
Jenis Data Resolusi Sumber
iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.
Spasial (0.25º x 0.25º) NASA/.GES-DAAC/.TRMM_L3/
(Hidayat dan Kizu 2010)
Curah Hujan sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/
Spasial (0.1º x 0.1º)
(Fu et al. 2011)
Titik / Time Series Stasiun Meteorologi Kemayoran

Spasial (0.25º x 0.25º,


Angin Zonal
1º x 1º)
apps.ecmwf.int/datasets/data/interim-
Angin Spasial (0.25º x 0.25º, full-daily/
Meridional 1º x 1º) (Zhou dan You 2005)
Kelembaban
Spasial (1º x 1º)
Spesifik
bom.gov.au/climate/mjo/
Indeks RMM Titik / Time Series
(Straub 2012)
Indeks RMM merupakan indeks MJO yang dihasilkan dari analisis
multivariat Emphirical Orthogonal Function (EOF) pada data Outgoing Longwave
Radiation (OLR) dan angin zonal ketinggian 200 hPa dan 850 hPa di wilayah
15ºLU – 15ºLS (Straub 2012).

Prosedur Analisis Data

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Pengumpulan data dan studi literatur
Data yang diunduh kemudian diseleksi berdasarkan wilayah kajian antara lain
15ºLS-25ºLU dan 95-140ºBT. Kajian wilayah meliputi Asia Tenggara
termasuk daerah kontinen maritim Indonesia, sebagian kecil Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik (Gambar 1).
4

(m/s)

Gambar 1 Peta kajian wilayah serta kondisi rata-rata klimatologis angin


meridional di ketinggian 925 hPa pada periode EAWM
Kecepatan angin ditandai dengan warna peta, sedangkan arah angin ditandai
dengan anak panah. Kecepatan angin meridional terbesar pada periode
monsun musim dingin Asia Timur khususnya tahun 2000-2015 berada di
daerah Laut Cina Selatan, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Identifikasi
cold surge dilakukan menggunakan indikasi yang telah dikemukakan oleh
Chang et al. (2005) yaitu merata-ratakan nilai komponen angin meridional di
wilayah 110-117.5ºBT dan 15ºLU di ketinggian 925 hPa yang ditandai
dengan garis tebal pada Gambar 1. Kejadian cold surge dapat dikatakan aktif
apabila kecepatan angin utara melebihi 8 m/s dan mengarah ke selatan.
Periode analisis dibatasi pada saat terjadinya EAWM antara lain bulan
November-Februari tahun 2000 hingga 2015 (Ding 1994). Garis tebal yang
membentuk bidang persegi pada Gambar 1 menandakan wilayah kejadian
Cross-Equatorial Northerly Surge (CENS) yang digunakan sebagai wilayah
analisis perambatan cold surge, sedangkan garis putus-putus yang
membentuk bidang persegi menandakan wilayah pusat konvektif kejadian
MJO (Hattori et al. 2011).
2. Persiapan data angin meridional dan indeks RMM 1 dan RMM 2
Data enam jam-an dari ECMWF dirata-ratakan secara harian menggunakan
software CDO. Kejadian MJO secara harian mempengaruhi kondisi
keawanan Indonesia pada fase 4 dan 5 dengan kekuatan amplitudo yang lebih
dari 1 (Wicaksono dan Hidayat 2016), sehingga pemilihan fase 4 dan 5
diperlukan sebelum analisis komposit.
3. Ploting hari kejadian cold surge dan MJO disetiap tahun pengamatan periode
EAWM
Hasil dari plotting tersebut merupakan tabel yang berisi tanggal dan jumlah
kejadian disetiap tahun.
5

4. Uji komposit kondisi angin serta curah hujan pada saat terjadinya cold surge
dan tidak terjadinya cold surge
Metode ini dilakukan dengan merata-ratakan angin meridional saat terjadinya
cold surge, tidak terjadinya cold surge, dan hari pada periode EAWM disetiap
tahun yang telah dipisahkan pada tahap sebelumnya. Teknik komposit tidak
lain adalah ensemble average, yaitu rata-rata aritmatik dari sekumpulan data
dalam kondisi yang sama.
5. Menghitung transport uap air menggunakan kriteria Zhou dan You (2005)
Definisi transpor uap air merupakan pergerakan angin yang membawa massa
uap air. Zhou dan You (2005) mengemukakan bahwa transpor uap air dapat
diduga dari persamaan berikut.

1 𝑝𝑠
𝑄= ∫ 𝑞𝑉 𝑑𝑝 (1)
𝑔 𝑝𝑡

Nilai Q menunjukan transpor uap air (kg/m/s), g merupakan percepatan


gravitasi bumi (m/s2), q merupakan kelembaban spesifik (gr/kg), V
merupakan besar angin horizontal (m/s), p merupakan tekanan serta pt dan ps
merupakan ketinggian tekanan pada 300 hPa dan 1000 hPa. Penggunaan
parameter data terbatas pada ketinggian 300 hPa disebabkan karena
banyaknya data hilang di ketinggian 300 hPa ke atas yang berpotensi
mempengaruhi hasil perhitungan intregasi uap air secara vertikal.
6. Uji korelasi antara data hasil keluaran TRMM dan GSMaP menggunakan data
curah hujan Stasiun Meteorologi Kemayoran di 6.1ºLS dan 106.8ºBT.
7. Uji komposit kondisi curah hujan pada saat terjadinya cold surge dan MJO
Metode ini hampir sama dengan tahapan ke-5, namun peta yang dihasilkan
merupakan peta kondisi curah hujan pada saat terjadinya cold surge dan MJO
dalam satuan milimeter dan anomali.
8. Analisis penjalaran angin saat cold surge, MJO, dan pengaruhnya
menggunakan diagram hovmoller
Observasi pergerakan angin dan kondisi curah hujan pada 105-115ºBT
dengan variasi waktu dapat dilihat menggunakan diagram hovmoller.
Diagram hovmoller merupakan diagram yang dapat memperlihatkan
fluktuasi nilai data dengan variasi waktu dan wilayah. Variasi sudut lintang
dibatasi dari 20ºLU-20ºLS dan waktunya pada 1 November-29 Februari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Klimatologis Curah Hujan dan Angin Periode EAWM di Indonesia

Monsun Asia dan Australia merupakan dua monsun global yang secara utama
mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Adapun monsun merupakan siklus
permukaan angin terbesar yang memiliki pola musiman di beberapa wilayah
tertentu. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan bahwa awal mula monsun
biasanya terjadi bersamaan dengan curah hujan tinggi di daerah yang dilintasi pola
angin monsun tersebut (Krishnamurti et al. 2013).
6

(m/s)

Gambar 2 Diagram hovmoller rata-rata klimatologis angin meridional wilayah


105-115ºBT di ketinggian 925 hPa pada periode EAWM
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa penjalaran angin meridional secara
klimatologis melintasi wilayah equator hingga 6ºLS saat pertengahan bulan Januari
hingga Februari dengan kecepatan 2-4 m/s. Peristiwa cold surge terlihat secara
klimatologis pada bulan Desember dan Januari yang berpotensi dapat
mempengaruhi curah hujan di kawasan Indonesia, khususnya Jakarta (Wu et al.
2007). Cold surge menjalar menuju ekuator dan membelok ke arah timur karena
sifat angin yang bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah (Wicaksono dan
Hidayat 2016). Pembelokan disebabkan karena adanya perbedaan tekanan yang
lebih kuat antara wilayah timur dan barat di daerah ekuator, dibandingkan dengan
perbedaan tekanan antara Benua Australia dan Asia Timur.

A B

(mm)

Gambar 3 Rata-rata klimatologis curah hujan dari GSMaP (A) dan TRMM (B)
pada periode EAWM
7

Penelitian ini menggunakan data satelit TRMM dan GSMaP untuk melihat
pengaruh cold surge dan MJO dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia.
Penggunaan data satelit TRMM dan GSMaP sering dilakukan untuk menganalisis
keragaman curah hujan wilayah yang sulit diamati (Hidayat dan Kizu 2010; Hattori
et al. 2011; Fu et al. 2011; Junzhi et al. 2012). Pada Gambar 3, besar perbedaan
terlihat pada hasil pengukuran intensitas curah hujan di lautan dan pesisir serta
sebaran curah hujan di daratan. Hasil validasi dengan data stasiun menunjukan
bahwa data curah hujan TRMM memiliki nilai korelasi sebesar 0.28 dan GSMaP
sebesar 0.57. Visualisasi data TRMM cenderung menampilkan besar curah hujan
yang terlalu tinggi dibandingkan dengan data observasinya, sedangkan data GSMaP
mampu menampilkan besar curah hujan yang lebih presisi karena algoritma data
yang disusun untuk lebih mengevaluasi kinerja beberapa satelit observasinya.

Perambatan Cold Surge menuju Kawasan Indonesia

Cold Surge (CS) merupakan penjalaran massa udara dingin yang bergerak
dari Asia Timur sampai bagian barat Samudera Pasifik saat terjadinya monsun
musim dingin Asia (Wang 2006). Adapun jumlah kejadian cold surge dan MJO
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah kejadian cold surge dan MJO periode EAWM tahun 2000-2015
Tahun CS MJO CS-MJO
2000/01 26 14 7
2001/02 25 14 11
2002/03 14 6 11
2003/04 22 14 10
2004/05 26 8 2
2005/06 28 15 2
2006/07 27 15 4
2007/08 32 10 17
2008/09 26 25 6
2009/10 16 7 6
2010/11 31 9 6
2011/12 20 19 13
2012/13 13 12 4
2013/14 28 3 9
2014/15 28 15 5
Total 362 186 113

Hasil menunjukan bahwa terdapat 362 kejadian cold surge, 186 kejadian
MJO, dan 113 kejadian cold surge dan MJO yang aktif secara bersamaan, dengan
total periode EAWM tahun 2000-2015 yaitu 1803 hari. Kejadian cold surge
terbanyak terjadi pada tahun 2007-2008, MJO terbanyak pada tahun 2008-2009 dan
kejadian cold surge serta MJO terbanyak terjadi pada tahun 2007-2008.
Perambatan cold surge dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai negatif pada
gambar tersebut mendefinisikan angin utara, sedangkan nilai positif merupakan
angin selatan. Adapun besar kecepatan angin digambarkan dengan warna yang
8

berbeda setiap intervalnya. Kecepatan angin meridional diwakili oleh gradasi warna
dan arah angin diwakili oleh anak panah dengan kecepatan maksimum 15 m/s
(Gambar 4). Dominasi angin utara disebabkan karena posisi matahari yang berada
di Benua Australia sehingga meningkatkan gradien tekanan di daerah utara-selatan
(Aldrian dan Utama 2007).

i ii iii

i ii iii

i ii iii

C
(m/s)

Gambar 4 Peta komposit rata-rata kecepatan angin meridional periode EAWM


tahun 2010-2011 (Panel 1), 2012-2013 (Panel 2), dan 2000-2015
(Panel 3) saat tidak terjadi cold surge (A), terjadi cold surge (B), dan
rata-rata harian periode EAWM (C)
Pada Gambar 4A, kondisi angin utara lemah tahun 2012-2013 dari Laut Cina
Selatan membelok ke arah timur di Laut Jawa dengan kecepatan 1-3 m/s. Hal itu
juga terjadi pada tahun 2010-2011 dan klimatologisnya tahun 2000-2015. Besar
kecepatan angin cold surge yang bersumber dari Laut Cina Selatan dapat dilihat
pada Gambar 5C. Secara klimatologis, angin cold surge menekan kecepatan angin
selatan yang mendominasi Pulau Jawa khususnya Jakarta dengan besar 1-6 m/s.
Daya tekan angin cold surge sangat dipengaruhi oleh frekuensi kejadiannya. Cold
surge rendah di tahun 2012-2013 kurang meredam kekuatan angin utara (Gambar
4iii), sehingga Pulau Jawa masih dilintasi oleh pola angin monsun Australia. Pola
angin akan bergeser hingga 15ºLS apabila cold surge sering terjadi, seperti tahun
2010-2011, dengan perambatan angin utara mencapai 3 m/s di Pulau Jawa. Pada
Gambar 5c, angin meridional secara umum dapat mencapai Pulau Sumatera dengan
kecepatan 1-3 m/s. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hattori et al. (2011)
bahwa kejadian cold surge dapat meningkatkan perambatan angin utara di daerah
9

ekuator sebagai hasil dari propagasi angin menuju arah selatan yang berasal dari
Siberian-Mongolia High (SMH).

Pengaruh MJO terhadap Kejadian Cold Surge di Kawasan Indonesia

Penentuan fase MJO dilakukan berdasarkan wilayah konvektif OLR yang


sangat mempengaruhi persebaran massa uap air dan curah hujan di daerah
Samudera Hindia Timur, Kepulauan Indonesia dan Samudera Pasifik Barat
(Wicaksono dan Hidayat 2016). Selain itu, hari terjadinya MJO dan cold surge
secara bersamaan sebesar 113 hari (Tabel 1).

A B C
Latitude
Kecepatan (m/s)

(m/s)
Jeda Hari

Gambar 5
Diagram hovmoller kecepatan angin meridional terbesar pada saat
fenomena variabilitas intra-musiman dengan rentang waktu h-5 dan
h+5
Gambar 5 menunjukan pengaruh osilasi MJO dari arah barat pada penjalaran
cold surge ke arah selatan saat kecepatan angin meridional terbesar untuk masing-
masing kejadian. Warna pada diagram hovmoller dan sumbu-y pada grafik
dibawahnya menunjukan kecepatan angin, dengan garis kontur yang menandakan
angin utara. Sumbu-x dari Gambar 5 merupakan jeda hari setelah dan sebelum
terjadinya variabilitas iklim intra-musiman dengan kecepatan angin meredional
tertinggi. Peningkatan kecepatan angin utara terlihat pada lima hari sebelum
terjadinya cold surge terkuat, sedangkan perambatan angin sampai wilayah 10ºLS
memerlukan durasi sebesar lima hari setelahnya. Sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Compo et al. (1999) tentang adanya hubungan yang kuat antara cold surge di
15ºLU, 115º BT dan aktivitas konveksi di bagian selatan Indonesia.
Kejadian MJO dengan angin meridional terbesar menyebabkan desakan angin
cold surge tertahan oleh angin baratan mengikuti kekuatan konveksi dari MJO di
wilayah 6ºLU, sehingga besar cold surge kurang mempengaruhi luas penjalaran
angin meridional. Hal tersebut dipengaruhi oleh frekuensi kejadian cold surge
sendiri. Saat terjadinya rangkaian kejadian cold surge secara berturut-turut, waktu
tempuh angin ke arah selatan sampai equator memerlukan waktu 4-6 hari setelah
terdeteksi adanya cold surge di daerah Hong Kong (Aldrian dan Utama 2007).
10

Karakteristik Curah Hujan Indonesia saat dipengaruhi Cold Surge dan MJO

Indonesia memiliki pola variabilitas iklim tahunan dan antar-tahunan yang


unik, karena terdapat perbedaan pola curah hujan disetiap bagian wilayahnya
(Haylock dan McBride 2001). Sebaran curah hujan harian secara rata-rata zonal di
105-115ºBT tahun 2000-2015 ditampilkan pada Gambar 6.

A B

(mm)
Gambar 6 Diagram hovmoller sebaran curah hujan harian rata-rata zonal di 105-
115ºBT pada tahun 2000-2015 data TRMM (A) dan GSMaP (B)
Pada Gambar 6, wilayah Pulau Jawa ditandai dengan garis putus pada 5-
10ºLS sedangkan pada 0-15ºLU mewakili wilayah Laut Cina Selatan. Pulau Jawa
memiliki curah hujan harian sebesar 10-15 mm. Sebaran curah hujan 10-25 mm di
Laut Cina Selatan bervariasi dan memiliki intesitas yang besar dari 16 November-
16 Februari kemudian melemah hingga 1 Maret. Pergerakan uap air secara
horizontal saat terjadinya fenomena intra-musiman dapat dilihat pada Gambar 7.

A B

C D

(kg/m/s)

Gambar 7 Transpor uap air saat tidak terjadinya cold surge (A), cold surge (B), MJO
(C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara bersamaan (D)
11

Gambar 7 menunjukan rata-rata massa uap air terbesar berada pada wilayah
5-20ºLU. Menurut Zhou dan You (2005), sumber utama massa tersebut berasal dari
Laut Cina Timur dan daerah sisi Samudera Pasifik. Saat tidak terjadinya cold surge,
kecepatan angin yang rendah membuat massa uap air dari Laut Cina Timur tidak
dapat terbawa sampai daerah Indonesia. Saat cold surge, terjadi pengangkutan
massa uap air dari Laut Cina Timur dan meningkatkan intensitas uap air di daerah
Laut Cina Selatan yang kemudian merambat hingga Laut Jawa (Gambar 7B). Selain
itu, fenomena MJO juga dapat meningkatkan kecepatan transpor uap air di Laut
Filipina dan kawasan Laut Jawa yang bersumber dari Samudera Hindia (Gambar
7C). Transpor uap air tersebut terjadi karena adanya propagrasi ke arah timur yang
akan menimbulkan anomali curah hujan dibeberapa daerah di Laut Banda dan Laut
Jawa (Hidayat dan Kizu 2010). Saat kedua variabilitas iklim intra-musiman itu
terjadi secara bersamaan, timbul massa uap air besar yang terkonsentrasi di Laut
Cina Selatan dan Laut Jawa dan berpotensi untuk menghasilkan awan hujan.
Penjalaran massa uap air vertikal yang cenderung bergerak cepat secara
horizontal di lautan disebabkan karena fluktuasi topografi di daerah daratan
Indonesia yang memiliki tinggi geopotensial yang berbeda-beda (Zhou dan You
2005). Hal itu menimbulkan pembelokan transpor uap air yang tajam di Selat Sunda.
Pergerakan massa uap air di udara berkorelasi negatif dengan besar OLR
(Wicaksono dan Hidayat 2016). Semakin besar transpor uap air maka semakin kecil
nilai OLR yang berdampak kepada besarnya potensi pembentukan awan konvektif.
A B C D

i i i i

ii ii ii ii

iii iii iii iii

(mm)

Gambar 8 Peta komposit rata-rata curah hujan harian menggunakan data GSMaP
tahun 2007-2008 (Panel a), 2012-2013 (Panel b), dan klimatologis
tahun 2000-2015 (Panel c) saat tidak terjadinya cold surge (A), cold
surge (B), MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-MJO secara
bersamaan (D)
12

Hattori et al. (2011) mengemukakan bahwa terdapat 11 kejadian cold surge


yang sangat mempengaruhi peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia,
khususnya Pulau Jawa. Beberapa diantara dapat menjalar hingga Pulau Jawa,
namun penjalarannya juga dapat tertahan atau mengikuti daya konvektif MJO fase
4 dan 5. Tertahannya angin cold surge juga dapat disebabkan karena adanya
Easterly Wave, Borneo Vortex, dan siklon di tengah Laut Cina Selatan (Aldrian dan
Utama 2007).
Tahun 2007-2008 merupakan tahun terjadinya cold surge dan MJO terbanyak
yang terjadi secara bersamaan. Curah hujan di Pulau Jawa khususnya di Jakarta
memiliki intensitas sebesar 30-50 mm/hari saat MJO dan cold surge aktif secara
bersamaan (Gambar 8). Kejadian banjir di Jakarta disebabkan karena adanya angin
utara dan awan konvektif yang menyebabkan curah hujan secara merata di Pulau
Jawa. Secara klimatologis, curah hujan yang terjadi saat cold surge memiliki
intensitas 10-15 mm/hari di daerah Laut Jawa, Laut Cina Selatan, Pulau Jawa,
Sumatera dan Kalimantan (Gambar 9). Pada saat MJO, peningkatan curah hujan
bergerak hingga daerah Indonesia Timur, namun di Laut Cina Selatan intensitas
curah hujannya tidak sekuat saat terjadi cold surge. Aktifnya kedua fenomena intra-
musiman tersebut menyebabkan terjadinya curah hujan yang tinggi hingga 15-25
mm/hari di Laut Jawa dan Laut Cina Selatan.
A B C D

i i i i

ii ii ii ii

iii iii iii iii

(%)

Gambar 9 Peta komposit anomali curah hujan harian menggunakan data


GSMaP tahun 2007-2008 (Panel i), 2012-2013 (Panel ii), dan
klimatologis tahun 2000-2015 (Panel iii) saat tidak terjadinya cold
surge (A), cold surge (B), MJO (C), dan saat terjadinya cold surge-
MJO secara bersamaan (D)
13

Peta anomali yang dihasilkan pada Gambar 9 memiliki satuan persen (%)
yang mengindikasikan peningkatan dan penurunan curah hujan klimatologis
selama EAWM (Gambar 3). Penurunan curah hujan diwakili oleh nilai negatif dan
kenaikannya diwakili oleh nilai positif. Peningkatan curah hujan tahun 2007-2008
di Laut Cina Selatan saat terjadinya cold surge yaitu 150%. Namun, penurunan
curah hujan juga terlihat di daerah Indonesia sebesar 20-75%. Saat terjadinya MJO,
peningkatan curah hujan terlihat di daerah Indonesia Timur sebesar 50-150%,
Kalimantan Timur sebesar 10-100% dan sedikit di Pulau Jawa sebesar 5-50%.
Terjadinya MJO dan cold surge secara bersamaan dapat meningkatkan curah hujan
lebih dari 200% di Samudera Hindia Timur. Selain itu, peningkatan curah hujan
harian juga terlihat di daerah Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda, Jawa
Tengah, NTT, NTB, dan Jakarta sebesar 25-150%.
Pada tahun 2012-2013, kejadian cold surge dapat menimbulkan anomali
curah hujan positif sebesar 10-100% di daerah Indonesia (Gambar 9i). Adapun
kenaikan curah hujan terbesar berada di sekitar Laut Banda dan Selat Sunda hingga
150%. Penurunan curah hujan juga terjadi di Kalimantan Tengah dan Barat sebesar
5-50%. Terjadinya MJO juga meningkatkan curah hujan di daerah yang hampir
sama dengan pengaruh cold surge. Adapun kenaikan curah hujan terbesar berada di
daerah Samudera Hindia Timur dengan peningkatannya hingga 200%. Saat MJO
dan cold surge aktif secara bersamaan, curah hujan terlihat meningkat di wilayah
yang dipengaruhi MJO dan cold surge secara masing-masing. Namun, besar
peningkatannya lebih tinggi sekitar 25-200%. Penurunan curah hujan juga terlihat
di Kalimantan Tengah dan Barat, serta sebagian Pulau Sumatera.
Secara klimatologis, pengaruh cold surge umumnya berada pada daerah
lautan di Indonesia. Angin cold surge yang berhembus dari Laut Cina Selatan
melewati Laut Jawa hingga Laut Flores di Indonesia. Timbulnya curah hujan di
lintasan tersebut bergantung pada kondisi uap air di daerah Laut Cina Selatan,
karena pada umumnya angin cold surge cenderung kering (Johnson dan House
1987). Besar rata-rata peningkatan curah hujan di daerah lintasan tersebut berkisar
antara 10-50%, termasuk Jakarta. Peningkatan curah hujan 100% juga terlihat di
Laut Cina Selatan dan Laut Filipina. Besar pengaruh MJO secara klimatologis
berada pada daerah Samudera Hindia Barat dan Lautan Indonesia dengan besar
peningkatan yaitu 25-150%. Saat MJO dan cold surge terjadi secara bersamaan,
peningkatan curah hujan klimatologis sebesar 25-150% terlihat di daerah Lautan
Indonesia. Namun, penurunan curah hujan umumnya terjadi di daerah daratan
sebesar 5-50%.

Analisis Lag-Time pada kejadian Cold Surge dan MJO

Wicaksono dan Hidayat (2011) mengemukakan bahwa curah hujan tidak


meningkat langsung saat kejadian cold surge kuat, tetapi peningkatan curah hujan
terjadi saat cold surge melemah. Angin cold surge berhembus dari SMH menuju
Laut Cina Selatan dan menjalar hingga Laut Jawa mengangkut massa uap air dari
daerah yang dilaluinya. Angin cold surge kuat cenderung menggeser pembentukan
awan rendah dan memindahkan uap air yang ada pada wilayah tersebut. Sedangkan
saat angin cold surge melemah, timbul curah hujan hasil pergeseran awan konvektif.
Sehingga diperlukan waktu untuk membentuk dan menggeser awan konvektif
14

menuju Laut Jawa. Analisis lag time antara cold surge dan curah hujan dapat dilihat
pada Gambar 10.

i ii iii

i ii iii

i ii iii

(mm)

Gambar 10 Kondisi curah hujan tahun 2012-2013 dengan lag time 0 sampai 2 saat
terjadinya cold surge (A), MJO (B), dan cold surge – MJO (C)
Gambar 10 menunjukan kondisi curah hujan tahun 2012-2013 saat terjadinya
fenomena intra-musiman dengan lag time 0 (Panel i), 1 (Panel ii), dan 2 hari (Panel
iii). Analisis lag time berfungsi untuk mengetahui jeda waktu relasi antara curah
hujan dan fenomena intra-musiman yang cocok dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Satu hari setelah terjadinya cold surge (lag 1), kondisi curah hujan
sebelumnya menyebar lebih luas dan mengalami peningkatan intensitas sebesar 15
- 30 mm. Beberapa curah hujan tersebut menyebar hingga memasuki Pulau Jawa.
Pada hari kedua dan ketiga setelah terjadinya cold surge, curah hujan di wilayah
tersebut melemah dan terkikis bersamaan dengan rendahnya intensitas hujan. Curah
hujan Indonesia Timur meningkat sampai hari kedua bersamaan dengan penurunan
curah hujan di Indonesia Barat. Propagasi MJO dari barat ke timur membuat
pengaruhnya lebih besar saat hari kedua setelah terjadinya MJO. Saat terjadinya
cold surge dan MJO secara bersamaan, peningkatan intensitas hujan terlihat mulai
hari pertama setelah kejadian berlangsung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 1-2
hari merupakan jeda hari yang paling intensif untuk cold surge dan MJO
mempengaruhi curah hujan di Indonesia.
15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kejadian cold surge dan fase dingin MJO berperan penting dalam
meningkatkan curah hujan di Indonesia yang dapat dianalisis menggunakan
parameter angin meridional, curah hujan, dan transpor uap air. Hasil menunjukan
bahwa kedua fenomena tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan di
Indonesia, khususnya Laut Jawa. Terdapat 362 kejadian cold surge, 186 kejadian
MJO, dan 113 kejadian cold surge-MJO selama 15 tahun (2000-2015) periode East
Asian Winter Monsoon (EAWM). Tingginya transpor uap air menunjukan bahwa
Laut Cina Timur merupakan sumber terjadinya curah hujan ekstrim pada kejadian
cold surge, sedangkan MJO memiliki dua sumber transpor uap air yaitu Samudera
Hindia dan Laut Cina Timur. MJO dan cold surge yang terjadi secara bersamaan
menyebabkan sumber uap air menuju kawasan Indonesia dan meningkatkan curah
hujan hingga 100-150% dari rata-rata klimatologinya. Adapun dampak intensif cold
surge terhadap curah hujan di Indonesia memerlukan jeda waktu sekitar 1-2 hari.

Saran

Pengaruh cold surge terhadap curah hujan ekstrim di Indonesia belum dapat
dijelaskan sepenuhnya hanya menggunakan satu variabilitas iklim. Beberapa
observasi variabilitas iklim lainnya diperlukan untuk menjelaskan secara spesifik
bagaimana pengaruh cold surge. Selain itu, pemodelan angin meridional untuk
memprediksi angin cold surge juga diperlukan guna menyempurnakan kajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions


within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J.
Climatol. 23(12) : 1435-1452.
Aldrian E, Utama GSA. 2007. Identifikasi dan karakteristik seruak dingin (Cold
Surge) Tahun 1995-2003. Jurnal Sains Dirgantara 4(2): 107-127.
Chan JCL, Li C. 2004. The East Asia winter monsoon. Di dalam : Chang CP, editor.
East Asian Monsoon. New Jersey (USA) : World Scientific Publishing
Company.
Chang CP, Harr PA, Chen HJ. 2005. Synoptic disturbances over the equatorial
South China Sea and western maritime continent during boreal winter.
Monthly Weather Review. 133: 489–503.
Chen TC, Yen MC, Huang WR, Gallus WA .2002. An East Asian cold surge: case
study. Monthly Weather Review. 130(9): 2271-2290.
Compo GP, Kiladis GN, Webster PJ. 1999. The horizontal and vertical structure of
East Asian winter monsoon pressure surges. Q.J.R. Meteorology, Soc. 125:
29–54.
Ding YH. 1994. Monsoons over China. London (UK) : Kluwer Academic Publisher.
16

Evana L, Hermawan E, Effendy S. 2008. Pengembangan model prediksi Madden-


Julian Oscillation (MJO) berbasis pada hasil analisis data real time
multivariate MJO (RMM1 dan RMM2). Jurnal Agromet. 22 : 144-159.
Fu Q, Ruan R, Liu Y. 2011. Accuracy assessment of Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMaP) product over Poyang Lake Basin, China. Procedia
Environmental Sciences. (10) : 2265 – 2271
Hattori M, Mori S, Matsumoto J. 2011. The cross-equatorial northerly surge over
the maritime continent and its relationship to precipitation patterns. Journal
of the Meteorological Society of Japan. 89A: 27-47.
Haylock M, McBride JL. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian
wet season rainfall. Journal of Climate. 14: 3882–3887.
Hidayat R, Kizu S. 2010. Influence of the Madden–Julian Oscillation on Indonesian
rainfall variability in austral summer. Int. J. Climatol. 30: 1816–1825.
Johnson RH, Houze Jr R. 1987. Precipitating cloud systems of the Asian monsoon.
In Monsoon Meteorology. C.P. Chang and T.N. Krishnamurti (Eds.). Oxford
University Press. 298-353.
Junzhi L, A-Xing Z, Zheng D. 2012. Evaluation of TRMM 3B42 precipitation
product using rain gauge data in meichuan watershed, Poyang Lake Basin,
China. J. Resour. Ecol. (4) : 359-366.
Madani N, Hermawan E, Faqih A. 2012. Pengembangan model prediksi Madden-
Julian Oscillation (MJO) berbasis hasil analisis data Wind Profiler Radar
(WPR). Jurnal Meteorologi dan Geofisika. 13(1) : 41-51
Madden RA, Julian P. 1971. Detection of a 40±50 day oscillation in the zonal wind
in the tropical Pacific. Journal Atmosphere Science. 28: 702-708.
Krishnamurti TN, Stefanova L, Misra V. 2013. Tropical Meteorology. Berlin (G):
Springer. Hlm.75.
Ramage CS. 1971. Monsoon Meteorology : International geophysical series, vol.
15. Academic : New York. Hlm.296.
Straub KH. 2012. MJO initiation in the Real-Time Multivariate MJO index. Journal
of Climate. 26 : 1130-1151
Wang B, Fan Z. 1999. Choice of South Asian summer monsoon indices. Bull. Amer.
Meteor. Soc. 80: 629-638.
Wang B. 2006. The Asian Monsoon. Chichester (UK) : Praxis Publishing Ltd.
Wicaksono GB, Hidayat R. 2016. Extreme rainfall in Katulampa associated with
the atmospheric circulation. Procedia Environmental Sciences. 33 : 155 – 166
Wu P, Hara M, Fudeyasu H, Yamanaka MD, Matsumoto J, Syamsudin F,
Sulistyowati R, Djajadihardja YS. 2007. The impact of trans- equatorial
monsoon flow on the formation of repeated torrential rains over Java Island.
SOLA. 3: 93–96.
Zhou TJ, Yu RC. 2005. Atmospheric water vapor transport associated with typical
anomalous summer rainfall patterns in Cina. Journal of Geophysical Research
D: Atmospheres. 110(8) : 1–10.
17

Lampiran 1 Scripting language untuk ekstrasi indeks cold surge menggunakan


angin meridional di 925 hPa.
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#

'sdfopen d:/Projek_Skripsi/r_v10.nc'
'set display color white'
'clear'
'set lon 110 117.5'
'set lat 15'
'set time jan2000 jan2016'
'define surge = ave(v10, lon=110, lon=117.5)'
'set prnopts %g 1 1'
'fprintf surge d:/Projek_Skripsi/indeks_cold_surge.csv'
'clear'

Lampiran 2 Scripting language untuk diagram hovmoller rata-rata klimatologis 15-


tahunan angin meridional
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#

'sdfopen d:/Projek_Skripsi/TRMM.nc'
'set lat -20 20'
'set lon 105'
'set t 1 last'
'define area = ave(precipitation, lon=105, lon=115)'
'set t 305 425'
'define rataan = ave(area, t+0, t=5539, 365)'
'set t 305 425'
'set parea 1.5 10.0 0.5 8.0'
'set display color white'
'set xyrev on'
'set gxout shaded'
'set clevs 0 0.5 1 2 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'd rataan'
'draw title Curah Hujan Nov 2000 - Feb 2015 (105-115E)'
'cbarn'
'printim d:/Projek_Skripsi/CH_hovmoler0015.png png x1600 y1200'
'cbarn'
18

Lampiran 3 Scripting language untuk membuat data transpor uap air


#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#

'sdfopen D:\Projek_Skripsi\kelembaban.nc'
'sdfopen D:\Projek_Skripsi\anginu.nc'
'sdfopen D:\Projek_Skripsi\anginv.nc'
'set gxout fwrite'
'set fwrite qVe.dat'
it=1
while(it<=5844)
say it
'set t ' it
'define p1000=const(q.1,1000,-a)'
'define Bqu=vint(p1000,q.1*u.2,300)'
'define Bqv=vint(p1000,q.1*v.3,300)'
'd Bqu'
'd Bqv'
it=it+1
endwhile
'disable fwrite'
'clear'

Lampiran 4 Scripting language untuk analisis perambatan angin cold surge


terbesar
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#

'sdfopen d:/Projek_Skripsi/angin_v.nc'
'sdfopen d:/Projek_Skripsi/angin_u.nc'
'set lat -15 15'
'set lon 105'
'set t 3293 3301'
'define arealv = ave(v.1, lon=105, lon=115)'
'set parea 0.5 5.0 4 8.0'
'set display color white'
'set xyrev on'
'set gxout shaded'
'set clevs -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8'
'set xaxis -4 4 1'
'd arealv'
19

'set gxout contour'


'set black -1 -10'
'set black 1 10'
'd arealv'
'draw title Cold Surge Terbesar'
'cbarn'
'set xyrev off'
'set lon 110'
'set lat 15'
'define surge = ave(v.1, lon=110, lon=117.5)'
'set gxout line'
'set vrange -16 2'
'set parea 0.5 5.0 0.5 3.5'
'set ylint 3'
'd surge'
'printim d:/Projek_Skripsi/hovmoler_rambat_CS.png png x1600 y1200'
'cbarn'

Lampiran 5 Scripting language untuk visualisasi curah hujan saat terjadinya cold
surge-MJO tahun 2000-2001
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#

'open D:/Data_GSMAP/Data_Reanalisis/GSMaP_MVK.daily.00Z-23Z.v6.ctl'
'set display color white'
'clear'
'set rgb 20 240 0 130'
'set rgb 21 250 60 60'
'set rgb 22 240 130 40'
'set rgb 23 230 175 45'
'set rgb 24 230 220 50'
'set rgb 25 160 230 50'
'set rgb 26 0 220 0'
'set rgb 27 0 210 140'
'set rgb 28 0 200 200'
'set rgb 29 0 160 255'
'set rgb 30 229 205 218'
'set ccolor 0'
'set lat -15 25'
'set lon 95 140'
'set t 1'
'define TRMMUCS = ( precip(t=276) + precip(t=277) + precip(t=278) +
precip(t=279) + precip(t=346) + precip(t=347) + precip(t=350) )/7'
20

'set gxout shaded'


'set clevs 1 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'set ccols 0 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20'
'd TRMMUCS*24'
'cbarn'
'draw title Curah Hujan Nov 2000 - Feb 2001'
'printim d:/Projek_Skripsi/MJO_CS_20002001.png x1600 y1200'
'clear'

Lampiran 6 Scripting language untuk visualisasi curah hujan harian dengan teknik
looping
#=====================================#
#Script by Ray Restu Fauzi
#Departement of Geophysic and Meteorology
#Bogor Agricultural University
#=====================================#

'open D:/Data_GSMAP/Data_Reanalisis/GSMaP_MVK.daily.00Z-23Z.v6.ctl'
'set display color white'
'set lat -15 25'
'set lon 95 140'
cst = 2850
it = 1
lag = -5
while(it<=11)
say it
'set t ' cst
'set gxout shaded'
'set clevs 1 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'd precip*24'
'cbarn'
'draw title Lag 'lag
'printim d:/Projek_Skripsi/lag_MJO'lag'.png x1600 y1200'
'clear'
it = it+1
cst = cst+1
lag = lag + 1
endwhile
'set clevs 1 4 6 8 10 12 15 20 25 30 50'
'set t 1'
21

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor pada tanggal 7 Mei 1995 dari pasangan Bapak Achmad
Yusuf dan Ibu Kusmiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor dengan
mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA.
Penulis masuk IPB melalui jalur SBMPTN tahun 2013. Beasiswa pendidikan
diperoleh dari Beasiswa Bidikmisi pada tahun 2013-2017. Selama menjalani masa
studi, penulis aktif menjadi pengurus di Himpunan Profesi Mahasiswa
Agrometeorologi (HIMAGRETO) 2014-2016. Penulis juga mengikuti berbagai
perlombaan skala kampus dan nasional, juga berbagai kepanitiaan skala kampus
maupun nasional. Seperti juara satu desain poster terbaik di acara Seminar Nasional
Sains Atmosfer (SNSA) 2016 yang diselenggarakan oleh Lembaga Antariksa dan
Penerbangan (LAPAN), Bandung.

Anda mungkin juga menyukai