Anda di halaman 1dari 124

ANALISIS POLA SEBARAN AREA UPWELLING DI SELATAN INDONESIA

MENGGUNAKAN CITRA MODIS LEVEL 2

SEMINAR HASIL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


Ilmu Kelautan pada Fakultas Kelautan dan Perikanan

Oleh :
I GEDE MITA ANJAS SWARA
1514511013MPUL

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS UDAYANA
BADUNG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS POLA SEBARAN AREA UPWELLING DI SELATAN INDONESIA


MENGGUNAKAN CITRA MODIS LEVEL 2

SEMINAR HASIL SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Ilmu Kelautan

Oleh
I Gede Mita Anjas Swara
1514511013

Bukit Jimbaran,
Pembimbing II Pembimbing I

I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si.,


Gede Surya Indrawan, S.Si., M.Si M.Si., Ph.D
NIP. 1991060920181113001 NIP. 198305112010121002

Mengesahkan
Koordinator Program Studi Ilmu Kelautan

Dr.Eng. I Dewa Nyoman Nurweda Putra,


S.Si.,M.Si
NIP. 198306142010121006
Tanggal Pengesahan :

ii
ABSTRAK

I Gede Mita Anjas Swara. 1514511013. Analisis Pola Sebaran Area Upwelling Di
Selatan Indonesia Menggunakan Citra Modis Level 2. (Pembimbing: I Wayan
Gede Astawa Karang dan Gede Surya Indrawan)

Upwelling adalah fenomena di mana air laut yang lebih dingin dan memiliki
massa jenis besar dari dasar laut bergerak ke permukaan akibat pergerakan angin di
atasnya. Upwelling di sektor kelautan dan perikanan dipelajari secara luas dalam
kaitannya dengan variabilitas ENSO dengan konsentrasi SPL dan klorofil-a. Lokasi
penelitian ini adalah di Perairan Selatan Pulau Jawa sampai Nusa Tenggara Timur
pada koordinat lat North -6.911883°; South -7.749819o, lon West 105.041726o; East
124.882382o. Pola sebara Upwelling di mulai dari NTT dan berkembang sampai
Selatan Jawa, dimana pada bulan Juni merupakan awal terbentuknya Upwelling, di
bulan Agustus puncak untuk Upwelling dan berakhir di bulan November. Untuk rata-
rata lusan Upwelling selama 17 tahun sebagai berikut, untuk musim Timur 6986.6
km2 pada bulan Juni, 78294.1 km2 pada bulan Juli, dan 254212.6 km2 pada bulan
Agustus. Sedangkan untuk musim Peralihan II 16767.7 km2 pada bulan September,
72033.6 km2 pada bulan Oktober, dan 1949.3 km2 pada bulan November.
Variabilatas iklim antar-tahunan ENSO terlihat sedikit mempengaruhi pola sebaran
Upwelling. Dimana korelasi yang di dapat sekitar 0.1 sangat rendah, yang mana pola
El Nino dan La Nina tidak sesuai dengan pola luasan Upwelling namun
mempengaruhi durasi atau lamanya upwelling di perairan Selatan Jawa sampai Nusa
Tenggara Timur.

Kata Kunci: Upwelling; SPL; Klorofil-a; ENSO

iii
ABSTRACT

I Gede Mita Anjas Swara. 1514511013. Analysis of Distribution Patterns of


Upwelling Areas in Southern Indonesia Using a Modified Level 2 Image .
(Supervisors: I Wayan Gede Astawa Karang and Gede Surya Indrawan)

Upwelling is a phenomenon where seawater which is colder and has a large type of
mass from the seabed moves to the surface due to the movement of wind above it.
Upwelling in the marine and fisheries sector is widely studied in relation to ENSO variability
with SPL and chlorophyll-a concentrations. The location of this research is in the South
Waters of Java Island to East Nusa Tenggara at the coordinates lat North -6.911883°; South -
7.749819o, lon West 105.041726o; East 124.882382o. Upwelling spread pattern starts from
NTT and develops to South Java, where in June is the beginning of the formation of
Upwelling, the peak of August for Upwelling and ends in November. For upwelling for 17
years in the East season 6986.6 km2 in June, 78294.1 km2 in July, and 254212.6 km2 in
August. Whereas for Transition II season 16767.7 km2 in September, 72033.6 km2 in
October, and 1949.3 km2 in November. ENSO's inter-annual environmental variability
appears to slightly influence the upwelling distribution pattern. Where the correlation
obtained around 0.1 is very low, which the El Nino and La Nina patterns do not match the
pattern of the area of Upwelling but affect the duration or duration of upwelling in the
waters of South Java to East Nusa Tenggara.

Keywords: Upwelling; SPL; Klorofil-a; ENSO

iv
RINGKASAN

I Gede Mita Anjas Swara. 1514511013. Analisis Pola Sebaran Area Upwelling Di
Selatan Indonesia Menggunakan Citra Modis Level 2. (Pembimbing: I Wayan
Gede Astawa Karang dan Gede Surya Indrawan)

Upwelling merupakan sebuah fenomena dimana air laut yang lebih dingin dan
bermassa jenis besar dari dasar laut bergerak kepermukaan akibat pergerakan angin di
atasnya (Susanto et al., 2001). Menurut Thurman dan Trujillo (2004), upwelling
terjadi karena adanya proses terjadinya divergensi ekman dan pengaruh angin. Angin
berhembus secara kostan dipermukaan pada kedalaman laut dan lebar yang tidak
terbatas. Penelitian tentang pola sebaran upwelling sangat penting terhadap dunia
perikanan khususmya perikanan tangkap, daerah upwelling umumnya merupakan
fishing ground yang potensial (Gunarso, 1985). Wilayah yang memiliki potensi tinggi
adanya upwelling adalah perairan selatan pulau Jawa hingga perairan Nusa Tenggara
Timur. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 68/KEPMEN-
KP/2016, selatan pulau Jawa sampai Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu
wilayah perairan Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya ikan.
Parameter yang digunakan untuk mengukur adanya upwelling yaitu Suhu
Permukaan Luat (SPL) dan klorofil-a. Menurut Kunarso (2011), daerah upwelling
memiliki indikator suhu <270C dan konsentrasi klorofil-a >0,4 mg/m3. Dalam
menentukan indikator tesebut dapat menggunakan penginderaan jauh (remote
sensing), penginderaan jauh merupakan teknik untuk memperoleh informasi atau data
mengenai kondisi fisik suatu benda atau obyek dan fenomena tanpa menyentuh atau
kontak langsung dengan obyek yang akan diteliti tersebut (Soenarmo, 2009). Menurut
Bambang et al, 2017 anomali subsurface temperature sebagai respon terhadap
Upwelling di Selatan Jawa yang terdeteksi pada kedalaman 200m hingga
kepermukaan dan periode tertentu Downwelling mencapai kedalaman hingga lebih
dari 400m. Intensitas Upwelling juga di pengaruhi oleh IOD, dimana pada saat terjadi
IOD positif intensitas Upwelling mengalami peningkatan yang di ikuti oleh turunnya
SPL dan naiknya konsentrasi klorofil-a. Sebaliknya pada saat IOD negatif intensitas

v
Upwelling mengalami pelemahan yang diikuti oleh peningkatan SPL dan turunnya
klorofil-a.
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui pola sebaran spasial,
temporal upwelling dan Untuk mengetahui pengaruh ENSO terhadap pola sebaran
upwelling didaerah perairan selatan Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut Nusa
Tenggara Timur. Penelitian dilakukan di perairan Selatan Pulau Jawa hingga Nusa
Tenggara Timur pada koordinat lat North -6.911883°; South -7.749819o, lon West
105.041726o; East 124.882382o. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini
berupa laptop yang sudah di lengkapi dengan software berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG). Software yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian
yaitu SeaDas 7.4 dan SAGA 5.0.0 digunakan. Sedangkan untuk proses layout-ing
citra dilakukan dengan menggunakan software Qantum GIS (QGIS) 2.18.2. Data
yang digunakan dalam penelitian ini berupa data Citra Modis Level 2 dan data Indeks
ENSO. Data yang digunakan adalah data tahun 2002 sampai dengan tahun 2018 pada
semua musim dan merupakan data harian.
Pengolahan data dari Citra Modis level 2 untuk menampilkan nilai SPL,
klorofil-a dan Upwelling pada setiap bulan, musim, dan tahun dilakukan dalam
beberapa tahap yaitu pengunduhan data (download), pengolahan data, analisis data,
dan layout-ing. Data yang telah di download merupakan data SPL, klorofil-a dan data
ENSO dengan resolusi 1Km. Untuk melakukan analisis terhadap tren SPL dan
klorofil-a maka sebelumnya dilakukan proses ekstras data pada software SeaDas,
dilakukan cropping pada area di wilayah perairan Indonesia bagian selatan pada
software SAGA. Data SPL dan Klorofil-a yang telah cropping kemudia dirata ratakan
menjadi data bulanan, musiman, tahunan. Selanjutnya dilakukan analisis dengan
metoda deskriptif dan statistik. Data SPL dan klorofil-a tersebut selanjutnya
ditampilkan pada software Qgis 2.18.11 untuk mencari pola sebaran SPL dan
Klorofil-a, dilanjutkan proses overlay untuk mengetahui lokasi upwelling. Dari
analisis yang dilakukan akan diperoleh area luasan upwelling di perairan selatan
pulau Jawa hingga perairan Nusa Tenggara Timur. Katagori penentuan upweeling

vi
mengikuti metode Kunarso (2011) yaitu daerah yang terjadi upwelling memiliki
indikator suhu <270C dan konsentrasi klorofil-a >0,4mg/m3.
Dari hasil penelitian didapatkan Pola sebara Upwelling di mulai dari NTT dan
berkembang sampai Selatan Jawa, dimana pada bulan Juni merupakan awal
terbentuknya Upwelling, di bulan Agustus puncak untuk Upwelling dan berakhir di
bulan November. Untuk rata-rata lusan Upwelling selama 17 tahun sebagai berikut,
untuk musim Timur 6986.6 km2 pada bulan Juni, 78294.1 km2 pada bulan Juli, dan
254212.6 km2 pada bulan Agustus. Sedangkan untuk musim Peralihan II 16767.7 km2
pada bulan September, 72033.6 km2 pada bulan Oktober, dan 1949.3 km2 pada bulan
November. Variabilatas iklim antar-tahunan ENSO terlihat sedikit mempengaruhi
pola sebaran Upwelling. Dimana korelasi yang di dapat sekitar 0.1 sangat rendah,
yang mana pola El Nino dan La Nina tidak sesuai dengan pola luasan Upwelling
namun mempengaruhi durasi atau lamanya upwelling di perairan Selatan Jawa
sampai Nusa Tenggara Timur.

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upwelling merupakan sebuah fenomena dimana air laut yang lebih dingin
dan bermassa jenis besar dari dasar laut bergerak kepermukaan akibat pergerakan
angin di atasnya (Susanto et al., 2001). Menurut Thurman dan Trujillo (2004),
upwelling terjadi karena adanya proses terjadinya divergensi ekman dan pengaruh
angin. Angin berhembus secara kostan dipermukaan pada kedalaman laut dan lebar
yang tidak terbatas. Upwelling juga bisa terjadi di perairan laut lepas dan perairan
pantai proses terjadinya di kedua perairan tersebut berbeda-beda.

Upwelling di perairan laut lepas dipengaruhi oleh pergerakan pola arus yang
menyebar dimana massa air dari lapisan bawah akan naik dan mengisi kekosongan
dipermukaan. Sedangkan proses terjadinya upwelling di perairan pantai, yaitu
terjadinya divergensi Ekman akibat tiupan angin sejajar pantai (Kunarso dan
Ningsih, 2014). Bowden (1983), mengatakan pergerakan massa air yang bergerak
dari kedalaman 100-300 meter ke lapisan permukaan air. Massa air yang bergerak
dari dalam menuju kepermukaan menyebabkan suhu yang rendah, salinitas tinggi
dan beberapa kandungan zat hara seperti fosfat, nitrat, dan silikat yang tinggi.
Massa air yang kaya akan nutrien menstimulasi pertumbuhan produsen primer
seperti fitoplankton dan produksi perikanan.

Penelitian tentang pola sebaran upwelling sangat penting terhadap dunia


perikanan khususmya perikanan tangkap, daerah upwelling umumnya merupakan
fishing ground yang potensial (Gunarso, 1985). Salah satu kendala dalam proses
pemanfaatan sumberdaya perikanan ialah menentukan zona potensi tangkapan ikan
yang dapat di identifikasi melalui fenomena upwelling. Daerah upwelling
mempunyai tingkat produktifitas primer yang tinggi sehingga berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan perairan (Surianati. 2009). Kunarso et al. (2005),
menyatakan bahwa lokasi upwelling merupakan daerah yang potensial untuk

1
penangkapan ikan tuna karena memiliki konsentrasi plankton yang tinggi yang
menyebabkan berkumpulnya ikan-ikan kecil sebagai makanan ikan tuna.

Wilayah yang memiliki potensi tinggi adanya upwelling adalah perairan


selatan pulau Jawa hingga perairan Nusa Tenggara Timur. Menurut Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 68/KEPMEN-KP/2016, selatan pulau
Jawa sampai Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah perairan
Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP-RI 573) meliputi perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa
hingga selatan pulau-pulau Nusa Kambangan. Tidak hanya sumberdaya perikanan
yang ada di perairan, namun perairan ini juga merupakan wilayah persimpangan
arus utama dari Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan juga berhubungan langsung
dengan Samudera Hindia (Tubalawony dan Simon, 2008).

Parameter yang digunakan untuk mengukur adanya upwelling yaitu Suhu


Permukaan Luat (SPL) dan klorofil-a. Menurut Kunarso (2011), daerah upwelling
memiliki indikator suhu <270C dan konsentrasi klorofil-a >0,4 mg/m3. Dalam
menentukan indikator tesebut dapat menggunakan penginderaan jauh (remote
sensing), penginderaan jauh merupakan teknik untuk memperoleh informasi atau
data mengenai kondisi fisik suatu benda atau obyek dan fenomena tanpa
menyentuh atau kontak langsung dengan obyek yang akan diteliti tersebut
(Soenarmo, 2009). Salah satu citra yang dapat digunakan adalah Citra Modis
(Moderate Resolution Imaging Spectoradiomete) dari satelit Aqua/Terra yang
mempunyai band thermal dan resolusi temporal yang tinggi, sehingga perubahan
upwelling dapat diamati secara kontinu. Untuk perekaman upwelling dilakukan
konversi nilai radiansi untuk konsentrasi klorofil menggunakan band 21 dan band
32, sedangkan nilai suhu permukaan laut mengkonversi dari ratio dua kanal daerah
visible menggunakan band 9 dan 12 ke nilai kandungan klorofil (Ayu et al., 2012).

Menurut Bambang et al, 2017 anomali subsurface temperature sebagai


respon terhadap Upwelling di Selatan Jawa yang terdeteksi pada kedalaman 200m
hingga kepermukaan dan periode tertentu Downwelling mencapai kedalaman

2
hingga lebih dari 400m. Intensitas Upwelling juga di pengaruhi oleh IOD, dimana
pada saat terjadi IOD positif intensitas Upwelling mengalami peningkatan yang di
ikuti oleh turunnya SPL dan naiknya konsentrasi klorofil-a. Sebaliknya pada saat
IOD negatif intensitas Upwelling mengalami pelemahan yang diikuti oleh
peningkatan SPL dan turunnya klorofil-a.

Beberapa penelitian terkait dengan upwelling pada sektor kelautan dan


perikanan banyak dikaji dalam kaitannya dengan variabilitas ENSO dengan
konsentrasi SPL dan klorofil-a. Menurut Kunarso et al. (2011) perubahan SPL dan
klorofil-a di perairan selatan Jawa dipengaruhi oleh variablitas iklim global El
Nino Southern Oscilliation (ENSO). Variabilitas iklim ENSO berpengaruh
terhadap variabilitas SPL dan klorofil-a saat periode Upwelling di perairan selatan
Jawa. Fenomena El Nino merupakan variabilitas iklim antar tahunan yang terjadi
karena angin pasat tenggara melemah. Susanto (2001a, 2001b) serta Susanto dan
Marra (2005) menganalisis kejadian fenomena El Nino Southern Oscillation
(ENSO) 1997/1998 melalui pengamatan satelit ocean color (chlorophyll-a) di
perairan laut Indonesia, dimana El Nino kuat pada 1997/1998 diikuti dengan
periode La Nina, yang juga bertepatan dengan kejadian Indian Ocean Dipole
(IOD) positif, berkaitan dengan tingginya nilai chlorophyll-a (upwelling) di
sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera. Secara umum perubahan SPL dan
klorofil-a di laut di pengaruhi oleh ENSO, namun belum ada kajian yang detail
tentang analisis pola sebaran spasial Upwelling di Selatan Laut Jawa hingga Laut
Nusa Tenggara Timur, serta hubungannya dengan ENSO.

1.2 Perumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pola sebaran spasial dan temporal upwelling menggunakan citra


MODIS pada daerah perairan selatan Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut
Nusa Tenggara Timur?

3
2. Bagaimana pengaruh ENSO terhadap pola sebaran upwelling didaerah perairan
selatan Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut Nusa Tenggara Timur?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pola sebaran spasial dan temporal upwelling didaerah
perairan selatan Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut Nusa Tenggara
Timur.
2. Untuk mengetahui pengaruh ENSO terhadap pola sebaran upwelling didaerah
perairan selatan Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut Nusa Tenggara
Timur.

1.4 Manfaat
Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang pola
sebaran upwelling dan keterkaitannya dengan Enso terhadap pola sebaran upwelling
didaerah perairan selatan Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut Nusa Tenggara
Timur

1.5 Batasan Masalah


Penulis memberikan batasan tempat dan waktu. Penelitian ini untuk mendapatkan
nilai sebaran konsentrasi klorofil-a dan SPL dengan merata-rata parameter tersebut
secara harian selama 17 tahun. Melakukan analisis fenomena upwelling hanya
dilakukan di sepanjang pinggir pantai di area pulau-pulau yang ada di perairan selatan
Pulau Jawa hingga perairan Nusa Tenggara Timur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
2.1 Upwelling

Upwelling merupakan suatu pertukaran massa air yang suhunya rendah


serta kaya zat hara dari lapisan yang lebih dalam kelapisan atas atau menuju ke
permukaan. pada musim-musim tertentu upwelling mengalami beberapa perubahan
seperti pada musim timur (bulan juni hingga oktober) intensitas upwelling
mengalami peningkatan sehingga menyebabkan SPL lebih dingin dan Klorofil-a
lebih tinggi di bandingakan pada musim barat (Ningsih et al, 2013). Beberapa
peneliti telah melakukan identifikasi lokasi dan intensitas upwelling serta
korelasinya terhadap monsun, El Niño Southern Oscillation (ENSO), dan Indian
Ocean Dipole (IOD) di perairan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Barat (NTB)
dengan menggunakan data citra satelit berupa distribusi suhu permukaan laut dan
nilai konsentrasi klorofil-a (Susanto et al, 2005).

Pada umumnya lokasi upwelling sangat bergantung pada musim dan


system sirkulasi arus yang ada di suatu perairan. Lokasi upwelling di Perairan
Indonesia telah diketahui keberadaannya dengan jelas (Nontji 2005), yaitu:

1. Selatan Jawa hingga Sumbawa dimana upwelling terjadi selama


satumusim (Mei-September).Laut Banda dan Arafura dimana upwelling
terjadi secara bergantiandengan proses downwelling.

2. Pada musim timur (Mei-September) terjadi upwelling sedangkan musim


barat (Desember-Februari) terjadi downwelling.

3. Selat Makassar bagian selatan dimana upwelling terjadi selama satu


musim (Juni-September).

5
4.

Gambar 1. Peta sebaran lokasi upwelling di Perairan Indonesia (Sumber: Nontji


2005)

Coastal upwelling merupakan salah satu jenis dari upwelling, dimana


terjadi di dekat pesisir pantai sebagai hasil dari Ekman transport yaitu angin yang
berhembus seragam di sepanjang tepian pantai yang menggerakkan massa air
mendekati atau menjauhi pantai. Kompensasi dari kehilangan massa air di daerah
perairan akan menggerakkan air yang lebih dingin dan kaya nutrien dari dasar
perairan ke permukaan. Massa air yang terangkat dan kaya nutrien ini
menstimulasi pertumbuhan produsen primer seperti fitoplankton dan produksi
perikanan. Dengan demikian, coastal upwelling memiliki dampak yang signifikan
terhadap ekosistem dan perikanan (Barth et al, 2007).

Terdapat tiga proses yang menyebabkan terjadinya Upwelling yang


pertama, yaitu ketika terdapat tikungan yang tajam digaris pantaiyang
mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai. Sehingga menjadi kekosongan
massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi
kekosongan tersebut.

6
Gambar 2. Mekanisme terjadinya Upwelling oleh tikungan tajam garis pantai
(Thurman dan Trujillo, 2004)

Kedua, ketika terjadi proses Upwelling terjadi karena adanya angin yang
berhembus terus menerus dengan kecepatan cukup besar dan dalam waktu yang
cukup lama. Bila angin bertiup ke suatu arah sejajar dengan garis pantai atau
benua, garis pantai berada disebelah kiri dari angin untuk belahan bumi utara atau
di sebelah kanan untuk belahan bumi selatan, maka akibat gaya coriolis (gaya yang
timbul akibat perputaran bumi pada porosnya) massa air bergerak sejajar dengan
garis pantai akan dibelokan arahnya menjauhi garis pantai dengan arah tegak lurus
angina ke laut lepas. Angin menyebabkan air laut menjahui garis pantai. Peristiwa
tersebut menyebabkan terbentuknya ruang kosong di daerah pantai yang kemudian
diisi oleh massa air dibawahnya dengan cara bergerak vertical ke permukaan
(Wyrtki, 1961).

7
Gambar 3. Mekanisme terjadinya Upwelling oleh offshore wind (Thurman dan
Trujillo, 2004)

Selai dua kejadian di atas Upwelling juga terjadi bila arus dalam (deep
current) membentur penghalang di dasar laut (mid-ridge ocean) yang kemudian
arus tersebut di belokan ke atas menuju permukaan (Smith, 1968).

Gambar 4. Mekanisme terjadinya Upwelling oleh mid-ridge ocean (Thurman dan


Trujillo, 2004)

8
Beberapa peneliti telah melakukan identifikasi lokasi dan intensitas
upwelling serta korelasinya terhadap variabilitas iklim di perairan selatan Jawa
hingga Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan menggunakan data citra satelit berupa
distribusi suhu permukaan laut dan nilai konsentrasi klorofil-a (Rakhmaputeri,
2010). Kajian secara temporal ini juga diperlukan sebagai informasi awal dalam
menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Rizqi, (2015) juga
mengakatan pergerakan Upwelling umumnya membawa nutrisi yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan Fitoplankton didekat permukaan laut sehingga menjadi sumber
makanan ikan di laut. Pada kawasan Upwelling dapat dijadikan penanda sebagai
suatu daerah yang memiliki potensi ikan. Upwelling di Indonesia pada umunya
terjadi secara periodic, hal ini sangat menguntukan dunia industry perikanan
tangkap. Karena lokasi Upwelling umumnya mempunyai produktivitas perikanan
yang tinggi (Thurman, 2004). Dari kajian tersebut dapat diperoleh informasi
temporal melalui observasi langsung, namun tentunya membutuhkan biaya yang
sangat tinggi dan waktu yang lama. Untuk melakukan penghematan, maka dapat
pula dilakukan dengan penginderaan jauh (Ningsih et al, 2004).

2.2 Citra MODIS


Moderate Resolution Imaging Spectoradiomete (MODIS) merupakan salah
satu sensor dari satelit Aqua/Terra, satelit ini juga mengamati seluruh permukaan
bumi satu hingga dua hari. Sensor MODIS dilengkapai dengan sensifitas radiometrik
tinggi (12 bit) yang mempunyai 36 band spectral yang berkisar pada panjang
gelombang 0,4 – 14,4 µm dan terdiri dari (1-19) band tampak, inframerah pada band
26 dan sisanya adalah band thermal (NASA, 2016).

Sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah


instrumen kunci yang dimiliki satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) Orbit
satelit Terra mengelilingi bumi dari utara ke selatan melintasi khatulistiwa pada saat
pagi sementara itu satelit Aqua melintasi khatulistiwa dari arah selatan ke utara pada
saat sore hari. Satelit Terra-MODIS dan Aqua-MODIS mencitra permukaan bumi
setiap satu hingga dua hari. Sensor MODIS meyediakan resolusi radiometrik dengan

9
sensitivitas tinggi (12 bit) dalam 36 kanal spektral dengan kisaran panjang gelombang
0.4 – 14.4 µm. Spesifikasi teknis dari satelit Aqua- MODIS ditunjukkan pada Tabel 1
(Maccherone, 2007).

Table 1. Spesifikasi teknis dari satelit Aqua – MODIS (Maccherone, 2007)

Nama Spesifikasi
Orbit 705 Km, melintasi khatulistiwa pada
pukul1:30 PM waktu setempat,
ascending node, sun- synchronous,
near-polar, sirkular
Dimensi sapuan 2330 Km (lintasan silang) dengan 10
Km (di titik nadir)
Ukuran 1.0 x 1.6 x 1.0 m
Berat 228.7 Kg
Daya 162.5 W (rata – rata orbit tunggal)
Kuantisasi 12 bit
Resolusi spasial 250 m (band 1 – 2)
500 m (band 3 - 7)
1000 m (band 8 – 36)
Umur desain 6 tahun

Sensor MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 yang
dibawa oleh satelit Terra dengan spesifikasi teknis untuk mengamati daratan. Pada
tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan
spesifikasi teknis untuk daerah perairan. Satelit Aqua-MODIS dapat digunakan untuk
menduga ocean color seperti konsentrasi klorofil-a menggunakan band 21 dan band
32, serta mampu mengestimasi SPL di perairan menggunakan band 9 dan 12
(Romdonul, 2011).

10
2.3 ENSO
ENSO merupakan fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu fase panas
(El-Nino) serta fase dingin (La-Nina) yang dapat dilihat pada Gambar 5. ENSO
tidak terjadi setiap tahunnya dan data ENSO tersebut berasal dari data bouy.
Southern Oscillation merupakan perubahan sirkulasi angin yang disebabkan oleh
perbedaan SPL antara Samudera Pasifik Timur dan Barat (McGregor dan
Nieuwolt, 1998). Adanya perbedaan tersebut menyebabkan pembalikan sirkulasi
atmosfer di atas samudera - samudera atau laut yang terletak dekat ekuator
(Shelton, 2009).

Fenomena ENSO terjadi ketika suhu udara di Samudera Pasifik meningkat


sehingga arah angin berubah. El-Nino menyebabkan pergerakan awan mengarah ke
timur, sehingga curah hujan di Amerika Selatan meningkat. Pergerakan awan
mengarah ke barat ketika La-Nina sehingga curah hujan di Amerika Selatan menurun,
sebaliknya Indonesia, Australia dan Papua Nugini menerima hujan lebih banyak
(NOAA, 2015).

Selama El-Nino berlangsung maka temperatur permukaan laut di


Samudera Pasifik berubah menjadi lebih panas. Sebaliknya, temperatur
permukaan laut di atas Samudera Pasifik menjadi lebih dingin ketika La-Nina.
Menurut McGregor dan Nieuwolt, 1998, kedua fenomena tersebut terjadi sebagai
akibat dari sistem sirkulasi angin, pergerakan atmosfer di atas lautan dan tekanan
permukaan di atas laut sepanjang lautan di zona ekuator, seperti yang terlihat
pada Gambar 5.

11
a b c

Gambar 5. Kondisi permukaan laut periode La-Nina (a), normal (b), dan El-Nino
(c) (Sumber : http://iri.columbia.edu/)

Fenomena ENSO terjadi ketika suhu udara di Samudera Pasifik meningkat


sehingga arah angin berubah. El-Nino menyebabkan pergerakan awan mengarah ke
timur, sehingga curah hujan di Amerika Selatan meningkat. Pergerakan awan
mengarah ke barat ketika La-Nina sehingga curah hujan di Amerika Selatan
berkurang, sebaliknya Indonesia, Australia dan Papua Nugini menerima hujan lebih
banyak. Wilayah sebelah barat Samudera Pasifik seperti Indonesia dan Australia
mengalami kekeringan, sedangkan di Amerika Selatan terjadi banjir saat El-Nino
(NOAA, 2011).

Indikator untuk menentukan terjadinya El-Nino maupun La-Nina adalah SST


(Sea Surface Temperature), SOI (Southern Oscillation Index) dan MEI (Multivariate
ENSO Index). Indikator MEI merupakan indikator gabungan antara SOI dan SST
sehingga menghasilkan klasifikasi waktu ENSO yang relevan untuk berbagai tempat
di dunia. Suatu tahun dinyatakan terjadi El-Nino (La-Nina) apabila nilai MEI > 0,5 (<
0,5) untuk 5 bulan berturut-turut atau lebih antara April tahun (0) sampai Maret tahun
berikutnya (+) serta puncak MEI >1 (< -1). Indikator MEI jarang digunakan untuk
analisis terjadinya ENSO di Indonesia, biasanya menggunakan SST Nino 3.4. Tahun
ENSO menurut indikator Nino 3.4 adalah tahun El Nino (La Nina) adalah tahun
dengan nilai tertinggi > 1+ standar deviasi (< 1-standar deviasi) (Kiem dan Franks,
2001).

12
Menurut Cai et al., 2001, salah satu wilayah yang menjadi dampak dari
adanya ENSO yaitu wilayah Indonesia bagian selatan dan termasuk di dalamnya yaitu
Selat Bali. Kajian mengenai La-Nina tidak banyak dilakukan karena dampaknya tidak
signifikan seperti yang terjadi pada fenomena El Nino (Shrestha dan Kostaschuk,
2005). Perubahan suhu udara di Samudera Pasifik tersebut berdampak terhadap
fluktuasi iklim secara global, selama lebih kurang 12 bulan (WMO, 2010). ENSO
sendiri memiliki waktu selama 18-28 bulan (Kahya dan Dracup, 1993).

Beberapa penelitian yang terkait dengan ENSO dan IOD banyak dikaji
seperti, hasil penelitian Susanto et al. 2001 mengungkapkan bahwa ENSO
mempengaruhi kenaikan massa air tahunan di perairan selatan Jawa serta
mengakibatkan adanya anomali angin dari timur. Pada saat El Nino mengalir massa
air dingin dari pasifik menuju Samudera Hindia dan saat La Nina mengalir massa air
hangat. Dengan demikian El Nino mencermikan proses anomaly SPL di pasifik
torpis, sedangkan Southern Oscillation mencerminkan perubahan tekanan udara
antara Tahiti dan Darwin. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penelitian Gaol et
al, 2002 menjelaskan bahwa ENSO dan IOD mempengaruhi SPL dan klorofil-a. Dan
Rakhmaputeri (2010), yang menyimpulkan pada saat El Nino bersamaan dengan IOD
positif, maka Upwelling ynag terjadi di selatan Bali hingga Laut Sawu, Nusa
Tenggara Timur menjadi kuat. Sebaliknya pada saat La Nina bersamaan dengan IOD
negatif maka Upwelling yang terjadi di lokasi tersebut menjadi lemah.

13
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ini berada di daerah Perairan Selatan Pulau Jawa hingga Nusa
Tenggara Timur pada koordinat lat North -6.911883°; South -7.749819o, lon West
105.041726o; East 124.882382o (Gambar 6). Pengolahan dan analisa data dilakukan
pada bulan Januari 2018 kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium GIS
dan Remote Sensing, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

14
3.2 Alat dan Data Penelitian
3.2.1 Alat

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat


computer dengan perangkat lunak yang sudah tersedia di Laboratorium GIS dan
Remote Sensing, Fakultas Kelautan dan perikanan Universitas Udayana (Tabel 2) .

Table 2. Alat yang Digunakan dalam Penelitian

Alat Kegunaan
Seadas 7.4 Mengesktrak data SPL, Klorofil-a
Saga Gui 5.00 Mengecroping daerah penelitian dan
Membuat rata-rata bulanan dan tahunan
dari data SPL, Klorofil-a
Qgis 2.18.11 Pembuatan Peta

3.2.2 Data

Data yang digunakan adalah data MODIS Level 2 diperoleh dari website
https://oceancolor.gsfc.nasa.gov/. Level 2 merupakan data citra gabungan dari data
level 1a dan 1b. Data citra Aqua Modis level 2 ini telah terdapat proses algoritmanya
dan menghasilkan data geofisik seperti brightness temperatur, radiance, cloud mask,
NDVI, SST, LST, dan fire (NASA. 2013). Adapun data yang digunakan disajikan
pada Tabel 3.

15
Table 3. Data yang di gunakan dalam penelitian

Resolusi
Data Kegunaan Sumber data

Untuk
melihat
Suhu Permukaan
nilai https://ocea resolusi
Laut (SPL)
rata-rata ncolor.gsfc. 1 kilo
LEVEL 2 dari
SPL nasa.gov/ meter.
tahun 2002-2018
dengan

Klorofil-a Untuk melihat resolusi 1 kilo


LEVEL 2 dari nilai rata-rata meter.
https://oceancolor
tahun 2002-2018 Klorofil-a
.gsfc.nasa.gov/
dengan

Ocean Nino Parameter


Indeks tahun Penelitian http://www.cpc.
2002-2018 hubungannya neep.noaa.gov/d
dengan Suhu ata/indices/sstoi.i
Permukaan ndices
Laut

3.3 Metode Penelitian


Data yang digunakan adalah data tahun 2002 sampai dengan tahun 2018 pada
semua musim dan merupakan data harian.. Penelitian yang dilakukan terdapat
beberapa tahap metodelogi, yaitu 1) Pra Pengolahan Citra dan 2) Pengolahan Citra.
Kedua tahap tersebut dilakukan guna memperoleh variabilitas SPL dan klorofil-a
secara spasial dan temporal serta pola sebaran Upwelling. Adapun rincian dari tahap
tersebut, yaitu sebagai berikut:

16
Start

Citra Aqua Modis Level


2

Suhu Permukaan Klorofil-a


Laut

Ekstrak Data
Ekstrak Data

Subset
Subset

Pola Sebaran
Pola Sebaran SPL Klorofil-a

<27oC >0.4Mg/m3

Overlay dan Analisis Daerah


Upwelling

Area Upwelling

Korelasi

Peta Sebaran SPL,


Klorofil-a dan Upwelling

Gambar 7. Diagram alir pengolahan data

3.3.1 Pra Pengolahan


Pra Pengolahan citra merupakan langkah awal dalam pengolahan citra
satelit. Pada tahap pra pengolahan citra ini meliputi ekstraksi data dan
pemotongan citra (subset). Rincian dari tahap tersebut adalah sebagai berikut:

17
A. Ekstraksi Data
Proses ekstraksi data dilakukan dengan software Seadas, dimana dua hal yang
dilakukan dalam ekstraksi, yaitu reprojeck data dan mosaic data. Reprojack
dilakukan, karena citra Aqua Modis level 2 merupakan data harian yang dimana
belum terdapat koordinat Indonesia dan untuk menghilangkan data Nan (data
kosong). Setelah melakukan reprojack tahap selanjutnya, yaitu mosaic data
dimana data citra Aqua Modis level 2 dalam satu hari terdapat 4-5 sind data yang
harus di satukan supaya mendapat daerah yang di tentukan sebagai penelitian ini.

B. Pemotongan Citra (Subset)


Pemotongan citra merupakan suatu tahapan pra pengolahan yang digunakan
untuk membatasi daerah pemetaan atau penelitian, sehingga memudahkan dalam
menganalisis data. Selain itu, pemotongan citra juga bertujuan untuk mengurangi
kapasitas file yang akan diolah. Sehingga mempercepat proses pengolhan data.
Proses pemotongan citra pada penelitian ini dilakukan menggunakan tool Clip
Grids [interactive] yang terdapat pada software SAGA GIS.

3.3.2 Pengolahan Citra


Citra Aqua Modis level 2 yang telah melewati tahap pra pengolahan,
kemudian dilanjutkan dengan tahap pengolhan citra. Tahap pengolahan citra
sendiri terdiri dari average data dan analisi data. Rincian dari tahap tersebut
adalah sebagai berikut:

A. Average Data

Average data dilakukan untuk mendapat data total yang dimana, dari data
harian di average untuk mendapat data bulanan, musiman dan tahunan. Dalam
melakukan average data di butuhkan software SAGA GIS untuk mempermudah
pengolahannya. Hal yang dilakukan adalah menginput data harian kedalam
software lalu masuk ke tools sapsial and geostatistics, grids, statistics for grids.
Data harian adalah kumpulan sind yang mencangkup beberapa perairan menjadi
satu perairan dalam suatu wilayah. Data bulanan adalah data 31 hari yang
digabungkan menjadi satu data bulanan dan dilakukan secara berulang untuk
mendapatkan data 12 bulan atau satu tahun. Data musiman merupakan rata-rata
data bulanan untuk musim tertentu. Data musim barat adalah rata-rata bulan

18
Desember, Januari dan Februari; musim peralihan I bulan Maret, April, Mei;
musim timur bulan Juni, Juli, Agustus; dan peralihan II bulan September,
Oktober, November di setiap tahunnya. Data tahunan adalah data rata-rata selama
17 tahun.

B. Analisis Data

Data yang sudah diolah sebelumnya dianalisis dengan metoda deskriptif


dan statistik. Data SPL dan klorofil-a tersebut selanjutnya ditampilkan pada
software Qgis 2.18.11untuk mencari pola sebaran SPL dan Klorofil-a,
dilanjutkan proses overlay untuk mengetahui lokasi upwelling. Dari analisis
yang dilakukan akan diperoleh area luasan upwelling di perairan selatan pulau
Jawa hingga perairan Nusa Tenggara Timur. Katagori penentuan upweeling
mengikuti metode Kunarso (2011) yaitu daerah yang terjadi upwelling
memiliki indikator suhu <270C dan konsentrasi klorofil-a >0,4mg/m3. Dimana
Lokasi upwelling ditentukan berdasarkan overlay data SPL dan klorofi-a. Dari
hasil penentuan lokasi di ubah kembali dalam bentuk data vektor untuk
mendapat nilai luasannya. Selanjutnya ukuran spasial hasil pengolahan di ubah
dalam meter (Utm World-mercator). Dengan munculnya nilai luasan area
diubah dalam satuan Km2 Hubungan antara luas area ENSO didapatkan dengan
teknik korelasi. Metode yang digunakan untuk menentukan koefisien korelasi
menggunakan persamaan Pearson correlation (Santoso et al. 2005).

Keterangan:
r : Pearson correlation coefficient
x : Variabel SPL, Klorofil-a, Upwelling
y: Variabel ENSO
n : Jumlah sampel
Kisaran nilai korelasi: -1 < r < +1

Untuk menginterpretasi kekuatan hubungan antara dua variabel terbagi


kedalam beberapa criteria berdasarkan nilai koefisien korelasinya pada Table 4.

19
Table 4. Nilai kekuatan hubungan hasil koefisien korelasi (Pearson correlation)
Koefisien Korelasi Interpretasi Hubungan

0-0.2 Sangan Rendah

0.2-0.4 Rendah

0.4-0.7 Cukup Tinggi

0.7-1.0 Tinggi

20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL)
Hasil olahan citra Modis Level 2 yang merupakan data harian dengan
tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan dengan
baik pola sebaran SPL baik secara spasial maupun temporal. Analisis citra
dilakukan selama 17 tahun yang sudah di rata-ratakan baik bulanan, musiman
maupun tahunan.

4.1.1 Pola Sebaran Rata-Rata Bulanan SPL Secara Spasial

Berdasarkan hasil olahan citra satelit MODIS level 2 terlihat bahwa pola
sebaran SPL secara spasial bulanan di Perairan Selatan Jawa sampai Nusa
Tenggara Timur menunjukkan pola penyebaran yang berbeda. Namun tiap bulan
polanya berbeda tapi secara umum, variabilitas suhu di Perairan Selatan Jawa
Sampai Nusa Tenggara Timur tidak terlalu berbeda jauh atau nilai yang terlihat
relatif homogen. Kisaran suhu yang terlihat berkisar antara 24-31ºC selama 17
tahun.

a b c

d e f

g h i

21
j k l

m n o

Gambar 8. Rata-rata Bulan Januari tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

d e f

22
g h i

j k l

m n o

Gambar 9. Rata-rata Bulan Februari Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006
(d), 2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l),
2015 (m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

23
d e f

g h i

j k l

m n o

Gambar 10. Rata-rata Bulan Maret Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

24
a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

25
Gambar 11. Rata-rata Bulan April Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

26
p

Gambar 12. Rata-rata Bulan Mei Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

Sebaran SPL yang terjadi pada bulan Januari di mulai pada tahun 2003-
2018 memliki pola yang sama ditiap tahunnya. Dimana pola sebaran SPL yang
lebih hangat di mulai pada bagian timur dan meluas ke barat. Namun pada tahun
2007. 2009, 2010 sebaran SPL yang hangat dimulai dari timur dan barat yang
menyempit kearah tengah di bagian Selatan Bali sampai Lombok (Gambar 8).
SPL pada bulan Januari memiliki rentang nilai 28.27oC-29.20oC dari tahun 2003-
2018. Pada bulan Februari pola sebaran SPL yang lebih hangat dari tahun 2003-
2018 mulai meluas kearah barat sampai bagian Jawa Timur. Namun ada beberapa
suhu hangat yang meluas kearah pinggiran pantai pada tahun 2004, 2006 dan
2007 (Gambar 9). SPL di bulan Februari memiliki rentang nilai sekitar 28.05oC-
29.63oC dari tahun 2003-2018.

Namun di bulan Maret pola sebaran SPL yang lebih hangat tidak sama di
setiap tahunnya, sebaran SPL yang hangat dimulai dari timur di bagian Nusa
Tenggara Timur sampai Selatan Jawa Timur pada tahun 2003, 2007, 2008, 2009,
2010, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018. Di tahun 2004 dan 2005 pola sebaran
SPL yang hangat di mulai dari bagian selatan menuju kearah pantai, sedangkan
tahun 2006 sebaran SPL yang hangat di mulai dari barat di bagian Selatan Jawa
menuju kearah timur NTT. Dan di tahun 2012 pola sebaran SPL yang hangat di
mulai dari arah timur dan barat yang meluas ke tengah bagian perairan selatan
Bali dan Lombok (Gambar 10). Selama 2003-2018 SPL memiliki rentang nilai
sekitar 27.21oC-30.27oC. Sebaran SPL pada bulan April di tahun 2003, 2004,
2005, 2007, 2008, 2012, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 memiliki pola yang
sama, dimana pola sebaran SPL yang hangat dimulai dari perairan selatan menuju

27
kearah utara mendekati pulau. Dan pada tahun 2006, 2009, 2011 pola sebaran
SPL yang hangat dimulai dari timur di bagian Nusa Tenggara Timur menuju ke
perairan selatan Jawa Barat. Sedangkan di tahun 2010 pola sebaran SPL yang
hangat dimulai dari arah perairan selatan Jawa barat menuju ke timur Nusa
Tenggara Timur (Gambar 11). SPL pada bulan April memiliki rentang nilai dari
28.45oC-30.15oC selama 17 tahun di perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara
Timur.

Pada bulan Mei sudah mulai terlihat sebaran SPL yang hangat semakin
meluas dari bagian timur, barat, maupun selatan. Dimana pada bulan Mei sudah
berada pada akhir musim peralihan I yang menuju musim Timur. Namun pada
bulan April ditahun 2012 sebaran SPL yang hangat diam perairan Nusa Tenggara
Timur, untuk sebaran SPL pada bulan April memiliki rentang nilai dari 27.62oC-
29.19oC (Gambar 12).

a b c

d e f

g h i

28
j k l

m n o

Gambar 13. Rata-rata Bulan Juni Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

d e f

29
j k l

j k l

m n o

p q

Gambar 14. Rata-rata Bulan Juli Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005 (d),
2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l), 2014
(m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

30
d e f

g h i

l
j k

n o
m

p q

Gambar 15. Rata-rata Bulan Agustus Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

31
a b c

d e f

g h i

k l
j

m n o

p q

32
Gambar 16. Rata-rata Bulan September Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

33
p q

Gambar 17. Rata-rata Bulan Oktober Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

d e f

g h i

j k l

34
m n o

p q

Gambar 18. Rata-rata Bulan November Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

d e f

g h i

35
j k l

m n o

p q

Gambar 19. Rata-rata Bulan Desember Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004
(c), 2005 (d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k),
2013 (l), 2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

SPL yang hangat pada bula Juni sebarannya sudah berada pada perairan
selatan Jawa Barat. Namun pada tahun 2008 SPL yang hangat masih meluas di
seluruh perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur, dengan nilai suhu
mencapai 26.77oC (Gambar 13). Sebaran SPL yang hangat pada bulan Juni pada
tahun 2003-2018 memiliki rentang nilai sekitar 26.45oC-28.78oC. Di bulan Juli
sebaran SPL yang hangat pada tahu 2002, 2004, 2005, 2010, 2011, 2013, 2014,
2016 masih menyebar di perairan bagian barat. Sedangkan pada tahun 2003, 2006,
2007, 2008, 2009, 2012, 2015, 2017, 2018 sebaran SPL hangat sudah meluas di
perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur (Gambar 14). SPL yang
hangat pada bulan Juli memiliki rentang nilai 25.44oC-27.45oC dari tahun 2002-
2018 di perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur. Sebaran SPL di
bulan Agustus sudah mencapai puncaknya dimana SPL yang hangat sudah meluas
keseluruh perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur, dengan suhu
permukaan mencapai 24.92oC-26.87oC (Gambar 15).

36
Sebaran SPL yang hangat di bulan September perlahan menuju ke perairan
timur, namun di tahun 2004, 2010, 2016 pola sebarannya ada yang ke bagian
timur dan ke barat (Gambar 16). SPL di bulan September memiliki rentang nilai
sekitar 25.70oC-28.73oC. Bulan Oktober, November dan Desember memiliki pola
sebaran SPL hangat yang sama di tahun 2002-2018, dimana polanya mengarah ke
perairan selatan Nusa Tenggara Timur (Gambar 17,18,19). Sebaran SPL memiliki
rentang nilai dari tahun 2002-2018 sekitar 25.77oC-28.41oC di bulan Oktober,
27.02oC-29.09oC di bulan November dan 27.96oC-29.26oC di bulan Desember.

Dari seluruh gambar 8-19 sebaran SPL bulanan spasial diatas dapat
disimpulkan bahwa, pola sebaran SPL pada tahun 2002-2018 memiliki pola sama
dimana sebarannya mengarah dari perairan selatan Nusa Tenggara Timur menuju
ke perairan selatan Jawa barat dan kembali mengarah ke perairan selatan Nusa
Tenggara Timur. Terjadinya pola sebaran tersebut dikarenakan pergerakan
munson tenggara, gesekan angin kearah barat lebih kuat dan suhu permukaan laut
bagian Nusa Tenggara Timur lebih dingin di bandingkan dengan laut selatan Jawa
(Sprintal dan Liu, 2005).

4.1.2. Pola sebaran spasial rata-rata musiman SPL

Pada penelitian ini analisis variable suhu permukaan laut dilakukan


dengan analisis musiman untuk mengetahui pola sebaran suhu permukaan laut
dari tahun 2002-2018. SPL di perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur
mengalami fluktuasi musiman, yaitu musim barat, timur dan peralihan I dan II.

a. Rata-rata spasial musim barat (Desember, Januari, Februari)


Pola sebaran SPL dari tahun 2002-2018 yang dimulai dari perairan
selatan Nusa Tenggara Timur menuju ke perairan selatan Jawa Barat.
Terlihat pada gambar 20 SPL yang hangat yang berwarna merah berada
di bagian perairan selatan Nusa Tenggara Timur. Sedangakan SPL yang
dingin berada di bagian perairan selatan Jawa.

37
a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

p q

Gambar 20. Rata-rata Musim Barat Tahun 2002 (a), 2003 (b) 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013
(l), 2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

38
Sebaran suhu permukaan laut di selatan Jawa sampai Nusa
Tenggara Timur berkisar 28.13oC-29.42oC dari tahun 2002-2018
(Gambar 20). Tingginya suhu permukaan laut pada musim barat terjadi
karena kedudukan semu matahri berada dibelahan bumi selatan sehingga
panas matahari yang diterima oleh perairan NTT lebih besar
dibandingkan pada saat musim timur (Hestiningsih et al, 2017). Suhu
permukaan laut yang tinggi menyebabkan nutrient dipermukaan menjadi
sulit untuk berkembang.

b. Rata-rata spasial musim peralihan I (Maret, April, Mei)


Suhu permukaan laut di Laut Selatan Jawa sampai Nusa Tenggara
Timur pada periode MAM ini menunjukkan pola sebaran SPL yang
hangat masih tinggi dengan rentang nilai 28.43oC-29.73oC dari tahun
2002-2018 (Gambar 21). Suhu perumukaan Laut di Laut Selatan Jawa
sampai Nusa Tenggara Timur pada periode ini umumnya relatif lebih
tinggi di bandingkan pada musim barat.

a b c

d e f

g h i

39
j k l

m n o

Gambar 21. Rata-rata Musim Peralihan I Tahun , 2003 (a) 2004 (b), 2005
(c), 2006 (d), 2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013
(k), 2014 (l), 2015 (m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

Hal ini disebabkan karena pergerakan semu matahari yang mulai


menuju khatulistiwa dan belahan bumi utara sehingga pemanasan muka
laut di belahan bumi selatan berkurang (Hestiningsih et al, 2017).

c. Rata-rata spasial musim timur (Juni, Juli, Agustus)


Musim Timur umumnya terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus.
Dengan pola sebaran SPL yang hangat mulai terlihat mengarah ke
perairan barat selatan Jawa. Namun ditahun 2003 dan 2008 sebaran SPL
yang stabil dengan kisaran suhu 26.46oC dan 26.03oC. Suhu permukaan
laut di Laut Selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur berkisar
25.45°C-28.78°C (Gambar 22).

a b c

40
d e
f

g h i

j k l

m n o

p q

Gambar 22. Rata-rata Musim Timur Tahun 2002 (a), 2003 (b) 2004 (c),
2005 (d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k),
2013 (l), 2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Kondisi ini merupakan suhu permukaan laut cukup rendah yang


terjadi dibandingkan dengan musim barat dan peralihan I. Hal ini secara
umum dipengaruhi oleh posisi semu matahari yang berada di belahan
bumi utara, sehingga wilayah Laut Banda dan sekitarnya mengalami
pemanasan yang lebih sedikit (Hestiningsih et al, 2017).

41
d. Rata-rata spasial musim peralihan II (September, Oktober,
November)
Musim Peralihan 2 terjadi pada bulan September, Oktober, dan
November. Pada Musim ini, pola sebaran SPL yang hangat kembali ke
perairan selatan Nusa Tenggara Timur dan suhu yang dingin berada di
perairan selatan Jawa. Rata-rata suhu permukaan laut di Laut Selatan
Jawa sampai Nusa Tenggara Timur berkisar 26.32°C-29.15°C (Gambar
23).

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

42
p q

Gambar 23. Rata-rata Musim Peralihan II Tahun 2002 (a), 2003 (b) 2004
(c), 2005 (d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012
(k), 2013 (l), 2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Kondisi ini menunjukkan terjadinya peningkatan pemanasan laut


dibandingkan dengan musim timur. Pada periode SON, pergerakan semu
matahari mulai menuju khatulistiwa dan bumi belahan selatan, sehingga
pemanasan muka laut mulai meningkat (Hestiningsih et al, 2017).

4.1.3. Pola sebaran spasial rata-rata tahunan SPL tahunan

Secara spasial terlihat bahwa pola penyebaran SPL di bagian Selatan Jawa
Sampai Nusa Tenggara Timur pada bulan Januari-Februari memperlihatkan
penyebaran suhu yang relatif tinggi yaitu berada pada kisaran 28.75ºC -28.90ºC
(Gambar 24 dan 25). Kisaran suhu yang relatif tinggi ini masih terlihat pula pada
periode bulan Maret-Mei yang berkisar 28.47ºC-29.12ºC (Gambar 26, 27, 28).

Gambar 24. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Januari

43
Gambar 25. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Februari

Gambar 26. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Maret

44
Gambar 27. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan April

Gambar 28. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Mei

Memasuki awal periode bulan Juni mulai terlihat adanya gejala penurunan
suhu di bagian selatan Jawa sampai Nusa tenggara Timur. Penurunan ini pun
semakin terlihat pada bulan Juli dan Agustus yang mengindikasikan adanya gejala
permulaan upwelling. Pada bulan Juni-Agustus fenomena ini semakin terlihat
jelas dengan pola penyebaran suhu yang terstratifikasi dengan jelas secara
horizontal di bagian selatan Pulau Jawa 25.77ºC-27.51ºC (Gambar 29, 30, 31).

45
Pada periode bulan September-November sebaran SPL menunjukkan bahwa
indikasi adanya upwelling mulai melemah yang ditandai dengan menurunnya
luasan daerah upwelling dan naiknya SPL 26.55ºC-28.28ºC di bagian selatan Jawa
Barat sampai Nusa Tenggara Timur jika dibandingkan dengan periode musim
sebelumnya yaitu Musim Timur (Gambar 32, 33, 34).

Gambar 29. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Juni

Gambar 30. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Juli

46
Gambar 31. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Agustus

Gambar 32. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan September

47
Gambar 33. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Oktober

Gambar 34. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan November

48
Gambar 35. Pola sebaran SPL rata-rata 17 tahun Bulan Desember

Secara umum, fenomena upwelling pada bulan Juni sampai November


(Gambar 29-34) menunjukkan adanya pola sebaran SPL secara spasial yang
dimulai dari bagian Nusa Tenggara Timur yang kemudian meluas hingga Jawa
Barat. Kisaran SPL menurun signikan 24. 330C hingga mencapai 26.46oC.
Meluasnya sebaran SPL ini di akibatkan oleh angin ke arah timur yang
menghambat angin munson timur yang bertiup di wilayah Indonesia termasuk di
Selatan Jawa Barat sampai Nusa Tenggara Timur (Kunarso, 2014). Dalam
Kondisi ini tekanan udara rendah terjadi di Samudera Hindia bagian timur,
sehingga angin bertiup kuat dari Samudera Hindia Barat ke Samudera Hindia
Timur termasuk Perairan selatan Indonesia (Marsac dan Le Blanc, 1998).

4.1.4 Pola SPL Secara Temporal

Nilai SPL pada periode bulan Juni-Agustus (musim timur) berkisar antara
24-28oC. Kisaran suhu paling rendah yang mencapai hingga 24oC tersebut
ditemukan di bagian perairan selatan Jawa Timur-Barat. Rendahnya kisaran nilai
ini jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya menunjukkan adanya
fenomena upwelling. Mekanisme terbentuknya upwelling hingga terjadi
penurunan SPL dan peningkatan klorofil-a dipicu oleh tiupan angin musim timur

49
dari arah tenggara dan membangkitkan pergerakan arus laut dominan ke arah
barat dan barat daya. Pola angin ini memicu terbentuknya transport Ekman.
Pengaruh gaya Coriolis membelokkan transport massa air menjauhi pantai
sehingga memindahkan massa air dari pantai ke lepas pantai. Penurunan massa air
yang terjadi di pantai kemudian diisi oleh massa air dari lapisan bawah yang
suhunya lebih dingin. Proses upwelling ini menyebabkan penurunan SPL selama
musim timurperalihan II. Hal ini sesusai dengan yang dijelaskan Sulaiman et al.
(2006), Kunarso et al. (2009) dan Kuswardani (2012) bahwa terjadinya upwelling
di selatan Jawa Barat mulai terjadi pada bulan Juni dan mencapai puncaknya pada
bulan Agustus.

30.00

29.00

28.00
°C

27.00

26.00

25.00

24.00
7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11
20022003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

Gambar 36. Nilai Rata-rata Konsentrasi Bulanan SPL Tahun 2002-2018

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis persentase tingkat penyebaran SPL


bahwa, kejadian naik dan turunnya SPL pada tahun 2002 sampai 2018 yang
dimulai pada bulan Juni dengan rata-rata yang didapat, yaitu 27.5oC dan mencapai
puncaknya pada bulan Agustus dengan rata-rata 25.7oC (Gambar 36). Dapat
dilihat pada gambar grafik 36, di tiap tahunnya pada bulan agustus

50
memperlihatkan fenomena menurunnya suhu permukaan laut dengan tingkat nilai
yang rendah.

30

29

28
SST (C°)

27

26

25

24
SON-2003
SON-2004
SON-2005
SON-2006
SON-2007
SON-2008
SON-2009
SON-2010
SON-2011
SON-2012
SON-2013
SON-2014
SON-2015
SON-2016
SON-2017
SON-2018
JJA-2002

Tahun/Musim

Gambar 37. Nilai Rata-rata Konsentrasi Musiman SPL Tahun 2002-2018

Dapat dilihan juga pada gambar 37, dimana nilai terendah 25.7oC terdapat
pada Musim Timur sampai Peralihan II di tahun 2018. Terjadinya penurunan SPL
pada Musim Timur dan Peralihan II ini sangat erat kaitannya dengan bertiupnya
angin Mucon Tenggara. Seperti yang dikatakan oleh. Dari hasil analisa sebaran
SPL rata-rata musiman selama 17 tahun naik turunnya nilaia SPL itu
membuktikan bahwa Upwelling terjadi hanya pada Musim timur dan peralihan II
dengan sebaran SPL 24.64-27.28oC seperti (Gambar 37).

51
30.00

29.00

28.00

°C
27.00

26.00

25.00

24.00

MEI

AGUSTUS
FEBRUARI

MARET

JULI

OKTOBER

NOVEMBER
APRIL

SEPTEMBER
JANUARI

JUNI

DESEMBER
2002-2018

SPL

Gambar 38. Nilai Rata-rata Konsentrasi SPL Tahunan

Sebaran SPL tahunan terlihat bahwa pada bulan Januari SPL meningkat
sampai puncaknya di bulan April dengan nilai kisaran 28.75oC-29.12oC. Dibulan
Mei mulai terjadi penurunan SPL dengan nilai 28.47oC. SPL semakin menurun
dari bulan Juni dan yang paling terendah pada bulan Agustus dengan nilai sekitar
27.51oC-25.77oC. Dominasi suhu rendah pada bulan Agustus ini terutama terjadi
pada bagian selatan Jawa sampai NTT yang merupakan dampak dari rendahnya
SPL di Samudera Hindia. Kembalinya kenaikan SPL pada bulan September
sampai Desember dengan nilai sekitar 26.55oC-28.94oC (Gambar 38).
Peningkatan SPL ini berdampak dari tingginya SPL di Laut Selatan NTT (Gambar
32-35). Menurut Hidayat et al (2013), Peningkatan dan penurunan SPL pada
bagian Selatan diakibatkan oleh angin muson tenggara, dimana poros Arus
Katulistiwa Selatan (AKS) bergeser ke dekat pantai Jawa-Sumbawa dan
mengakibatkan SPL menurun. Sebaliknya pada saat muson barat daya bertiup
poros AKS bergeser keselatan dan arus pantai Jawa mengalir ketimur membawa
massa air yang lebih hangat (Wyrtki, 1961).

52
4.2 Pola Sebaran Klorofil-a
Hasil olahan citra Modis level 2 untuk menganalisis pola sebaran
konsentrasi klorofil-a menunjukkan hasil yang baik secara spasial dan
temporal. Pemilihan data yang ditampilkan pada analisis ini sama dengan
pemilihan data pada analisis pola penyebaran SPL yaitu dengan merata-
ratakan pada setiap bulan, permusim dan tahunan selama 17 tahun untuk
mendapatkan gambaran yang baik tentang pola penyebaran klorofil di
bagian selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur.

4.2.1 Pola Sebaran spasial rata-rata bulanan Klorofil-a

Sebaran Konsentrasi spasial klorofil-a di perairan selatan Jawa sampai


NTT menunjukan kisaran nilai selama 17 tahun pada bulan Januari adalah 0.01-
0.15mg/m3. Secara spasial klorofil-a pada bulan Januari paling tinggi berada di
bagian pinggiran perairan dan ditahun 2004 (b), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2016
(n), 2017 (o), 2018 (p) sedikit yang meluas ke bagian tengah perairan (Gambar
39). Sedangkan pada bulan Ferbruari konsentrasi klorofil-a secara spasial adalah
0.01-0.13mg/m3. Sebaran klorofil-a yang tinggi pada bulan Februari masih sama
dengan bulan Januari, namun klorofil-a yang tinggi meluas kebagian tengah pada
tahun 2013 (k), 2014 (l), 2017 (o), 2018 (p) (Gambar 40).

c
a b

d e f

53
g h i

j k l

m n o

Gambar 39. Rata-rata Bulan Januari Tahun, 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006
(d), 2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l),
2015 (m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

54
d e f

g h i

j k l

m n o

Gambar 40. Rata-rata Bulan Februari Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006
(d), 2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l),
2015 (m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

55
a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

56
Gambar 41. Rata-rata Bulan Maret Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

57
p

Gambar 42. Rata-rata Bulan April Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

a b c

d e f

g h i

j k l

58
m n o

Gambar 43. Rata-rata Bulan Mei Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

Sebaran klorofil-a secara spasial pada bulan Maret di perairan Selatan


Jawa sampai NTT adalah 0.01-0.14mg/m3. Pola sebaran klorofil-a pada bulan
Maret di tahun 2004(b), 2006(d), 2007(e), 2012(j), 2013(k), 2014(l), 2015(m),
2016(n), 2017(o), 2018(p) klorofil-a tertinggi meluas sampai ke perairan
Samudera Hindia (Gambar 41). Pada bulan April sebaran klorofil-a secara spasial
adalah 0.04-0.19mg/m3. Dengan pola sebaran klorofil-a tertinggi pada tahun
2012(j), 2013(k), 2014(l), 2017(o), 2018(p) masih mengarah ke selatan (Gambar
42). Sedangkan pada bulan Mei klorofil-a yang tertinggi mengarah ke selatan
pada tahun 2004(b), 2012(j), 2013(k), 2014(l). Dengan sebaran klorofil-a 0.05-
0.30mg/m3 di perairan selatan Jawa sampai NTT (Gambar 43).

a b c

59
d e f

g h i

j k l

m n o

Gambar 44. Rata-rata Bulan Juni Tahun 2003 (a), 2004 (b), 2005 (c), 2006 (d),
2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014 (l), 2015
(m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

60
a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

p q

61
Gambar 45. Rata-rata Bulan Juli Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005 (d),
2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l), 2014
(m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

62
p q

Gambar 46. Rata-rata Bulan Agustus Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Sebaran klorofil-a secara spasial pada bulan Juni di perairan selatan Jawa
sampai NTT adalah 0.03-0.54mg/m3. Pola sebaran klorofil-a tertinggi yang masih
meluas kearah selatan pada tahun 2012(j), 2013(k), 2016(n), 2017(o), 2018(p)
(Gambar 44). Pada bulan Juli klorofil-a tertinggi yang meluas kearah selatan pada
tahun 2002(a), 2004(c), 2006(e), 2010(i), 2012(k), 2013(l), 2014(m), 2017(p),
2018(q). Dengan sebaran klorofil-a berkisar 0.08-0.62mg/m3 di perairan selatan
Jawa sampai NTT (Gambar 45). Dan dibulan Agustus sebaran klorofil-a secara
spasial di selatan Jawa sampai NTT adalah 0.15-0.74mg/m3. Dengan pola sebaran
klorofil-a yang tertinggi berada pada perairan selatan NTT seperti tahun 2010(i),
2013(l), 2014(m), 2015(n) (Gambar 46).

a b c

d e f

63
g h i

j k l

m n o

p q

Gambar 47. Rata-rata Bulan September Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

64
d e f

g h i

j k l

m n o

p q

Gambar 48. Rata-rata Bulan Oktober Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

65
a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

p q

66
Gambar 49. Rata-rata Bulan November Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

67
p q

Gambar 50. Rata-rata Bulan Desember Tahun 2002 (a), 2003 (b), 2004 (c), 2005
(d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l),
2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Sebaran klorofil-a secara spasial pada bulan September di perairan selatan


Jawa sampai NTT adalah 0.04-0.97mg/m3. Dibulan September pola sebaran
klorofil-a yang tertinggi berada di perairan selan Jawa sampai NTT selama 17
tahun (Gambar 47). Pola sebaran pada bulan Oktober klorofil-a tertinggi berada di
perairan selatan NTT pada tahun 2010(i), 2013(l), 2014(m), 2016(o), 2017(p).
Dengan sebaran klorofil-a secara spasial 0.00-0.83mg/m3 di perairan selatan Jawa
sampai NTT. Sedangkan pola sebaran klorofil-a tertinggi di bulan November
berada di perairan selatan Jawa sampai NTT, namun di tahun 2006(e), 2015(n)
berada di selatan Jawa. Sebaran klorofil-a di bulan November adalah 0.01-
1.19mg/m3. Dan pola sebaran klorofil-a tertingi di bulan Desember polanya sama
dengan bulan November, dimana di tahun 2006(e) klorofil-a tertinggi berada di
selatan Jawa. Dengan sebaran klorofil-a sekitar 0.01-0.83mg/m3 di perairan
selatan Jawa sampai NTT.

Dari seluruh gambar 39-50 dapat disimpulkan perairan bagian selatan


yang mewakili Samudera Hindia sebagai pintu masuk maupun keluar sirkulasi
massa air dan pencampuran massa air akan dapat mempengaruhi produktivitas
primer suatu perairan. Wingkin 2015 menjelaskan, perairan yang dekat Pulau
Jawa terdapat konsentrasi klorofil-a maksimum dan minimum di kedalaman 20
meter. Dan menurut Hendiarti peningkatan konsentrasi klorofil-a di Selatan Jawa
dan Nusa Tenggara karena adanya mekanisme upwelling yang makin intensif.
Meningkatnya kadar nutrient akan meningkatkan produksi primer yang
menghasilkan konsentrasi klorofil-a tinggi.

68
4.2.2. Pola sebaran spasial rata-rata musiman klorofil a

Pada penelitian ini analisis variable klorofil-a dilakukan dengan analisis


musiman untuk mengetahui pola sebaran klorofil-a dari tahun 2002-2018.
Klorofil-a di perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur mengalami
fluktuasi musiman, yaitu musim barat, timur dan peralihan I dan II.

a. Rata-rata spasial musim barat

Pada musim barat (Gambar 51) terlihat bahwa klorofil-a relatif rendah
yang dipersentasikan dengan warna biru. Klorofil-a dengan konsentrasi
yang agak tinggi hanya terlihat sedikit di dekat pesisir pulau Jawa sampai
NTT dengan distribusi yang tidak terlalu jauh, tidak lebih dari 20 mil laut.

a b c

d e f

g h i

j k l

69
m n o

p q

Gambar 51. Rata-rata Musim Barat Tahun 2002 (a), 2003 (b) 2004 (c), 2005 (d),
2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013 (l), 2014
(m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien dari


daratan yang disebabkan oleh tingkst curah hujan yang reltif tinggi pada
musim ini sehingga memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi
klorofil-a di wilayah pesisir.Sebaran klorofil-a secara spasial adalah 0.01-
0.14mg/m3, yang mana di tahun 2003(b), 2011(j), 2012(k), 2013(l),
2017(o), 2018(p) klorofil-a yang tinggi meluas menuju Samudera Hindia
(Gambar 51). Menurut Siadari 2017, banyaknya sebaran klorofil-a
dipengaruhi oleh nilai konsentrasi akibat kenaikan massa air, di tandai
dengan suhu rendah yang lebih mengandung banyak teradapat nutrien
dibandingkan suhu tinggi.

b. Rata-rata spasial musim peralihan I


Pada musim peralihan I, nilai klorofil-a mulai meningkat dengan
sebaran klorofil-a berkisar 0.04-0.20mg/m3. Meski demikian, klorofil-a
masih banyak terkonsentrasi diwilayah pesisir dekat pantai (Gambar 52).

a b c

70
d e f

g h i

j k l

m n o

Gambar 52. Rata-rata Musim Peralihan I Tahun , 2003 (a) 2004 (b), 2005 (c),
2006 (d), 2007 (e), 2008 (f), 2009 (g), 2010 (h), 2011 (i), 2012 (j), 2013 (k), 2014
(l), 2015 (m), 2016 (n), 2017 (o), 2018 (p)

Pada musim peralihan I ini, suhu permukaan laut menurun dengan


diikuti kenaikan sebaran klorofil-a terutama dibagian selatan Jawa sampai
NTT. Hendriaati et al (2004), menjelaskan bahwa transport dari perairan
selatan Jawa dicirikan dengan temperatur yang lebih hangat, tinggi
nutrien, dan salinitas rendah pada permukaan.

71
c. Rata-rata spasial musim timur
Pada saat musim timur meningkatnya kadungan klorofil-a yang
mana mempunyai nilai sebesar 0.04-0.60mg/m3. Diwilayah selatan Jawa
sampai NTT merupakan periode konsentrasi klorofil-a tertinggi dan
terdistribusi meluas dari tepi pantai (Gambar 53).

a b c

d e f

g h i

j k l

m n o

p q

72
Gambar 53. Rata-rata Musim Timur Tahun 2002 (a), 2003 (b) 2004 (c),
2005 (d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012
(k), 2013 (l), 2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Klorofil-a yang tinggi di perairan selatan Jawa sampai NTT


menandakan adanya upwelling. Menurut Nontjin (1993), menyatakan
bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara,
dimana pada saat tersebut terjadi upwelling. Hendiarti et al (2004) juga
menjelaskan, bahwa peningkatan klorofil-a di seltan jawa sampai NTT
karena adanya mekanisme upwelling yang makin intensif sehingga
meningkatkan kadar nutrien.

d. Rata-rata spasial musim peralihan II

Sebaran klorofil-a mulai meningkat dengan kisaran 0.03-


1.01mg/m3 dan relatif tersebar secara merata dibagian pesisir di seluruh
wilayah selatan Jawa sampai NTT (Gambar 54). Konsentrasi klorofil-a
yang relatif tinggi pada musim peralihan II ini disebabkan oleh
meningkatnya unsur hara dibagian permukaan yang terbawa oleh
fenomena upwelling darilapisan dalam.

a b c

d e f

g h i

73
j k l

m n o

p q

Gambar 54. Rata-rata Musim Peralihan II Tahun 2002 (a), 2003 (b) 2004 (c),
2005 (d), 2006 (e), 2007 (f), 2008 (g), 2009 (h), 2010 (i), 2011 (j), 2012 (k), 2013
(l), 2014 (m), 2015 (n), 2016 (o), 2017 (p), 2018 (q)

Peningktan klorofil-a bisa disebabkan oleh meningkatnya intensitas


upwelling dan untuk daerah pantai juga bisa karena meningkatnya curah
hujan yang membawa limpasan nutrient dari darat kelaut. Menurut Lally
dan Parson (1994), faktor penyebab naiknya klorofil-a adalah
meningkatnya konsentrasi nutrien terlarut dan intensitas cahaya matahari
yang masuk ke perairan.

4.2.3. Pola sebaran spasial rata-rata tahunan klorifil a tahunan

Berdasarkan hasil olahan citra Modis level 2 diperoleh pola sebaran


konsentrasi klorofil-a perairan Selatan Jawa sampai Nusa Tenggara Timur. Secara
spasial, tingkat konsentrasi klorofil-a terlihat berbeda untuk setiap bulan. Pada
periode bulan Januari-Februari terlihat bahwa tingkat konsentrasi klorofil-a di
perairan Selatan Jawa-NTT rata-rata lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan
lainnya (Gambar 55 dan 56). Namun tingkat konsentrasi yang relatif tinggi
ditemui di daerah pesisir. Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien

74
dari daratan yang disebabkan oleh tingkat curah hujan yang relatif tinggi pada
bulan ini sehingga memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi klorofil-a di
wilayah pesisir. Pada periode bulan Maret-Mei pola sebaran konsentrasi klorofil-a
secara spasial rata-rata sama dengan bulan Januari-Februari (Gambar 57-59).

Gambar 55. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Januari Clorofil-a

Gambar 56. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Februari Clorofil-a

75
Gambar 57. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Maret Clorofil-a

Gambar 58. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan April Clorofil-a

76
Gambar 59. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Mei Clorofil-a

Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a pada periode bulan


Juni-Agustus terlihat bahwa pada awal bulan Juni adanya tanda-tanda peningkatan
konsentrasi klorofil-a di bagian permukaan wilayah selatan Jawa-NTT belum
terlihat. Konsentrasi klorofil-a meningkat dengan tingkat konsentrasi yang relatif
tinggi mulai terlihat pada bulan Juli dan maksimum di periode bulan Agustus
(Gambar 60-62). Tingginya konsentrasi klorofil-a pada periode bulan di Musim
Timur yang telah diawali dengan menurunnya SPL di kawasan ini menunjukkan
terjadinya upwelling. Hal ini sesuai dengan Kunarso (2011) dan Susanto (2001)
yang menjelaskan bahwa upwelling pada daerah ini terjadi pada Musim Timur
yaitu bulan Juni-Agustus. Pada awal bulan September, pola penyebaran upwelling
secara spasial masih terlihat jelas. Akhir bulan November diperkirakan sebagai
akhir dari fenomena upwelling, ini terlihat dari penampakan konsentrasi klorofil-a
yang mulai menurun kembali di akhir bulan November ini (Gambar 63-65).

Adanya tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada bulan Juni
sampai November ini disebabkan oleh meningkatnya unsur hara di bagian
permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam.
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Wouthuyzen (2002) yang menjelaskan
bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi di lapisan

77
permukaan Selatan Jawa-NTT yang diindikasikan diakibatkan oleh upwelling
masih ditemukan hingga bulan November akhir.

Tingkat konsentrasi klorofil yang ditemukan berada pada kisaran 0.11-


1.69 mg/m3. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana tingkat
konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi ditemukan di selatan Selat Makassar
dengan kisaran nilai sebesar 0.18-1.29 mg/m3 yang menunjukkan terjadinya
fenomena upwelling. Pada bulan Juni terlihat bahwa pola sebaran konsentrasi
klorofil yang relatif tinggi masih berada di sekitaran daerah pesisir khususnya
bagian selatan Jawa-NTT, sedangkan pada bulan Juli-Agustus pola
penyebarannya mulai terlihat meluas ke arah barat pulau NTT menuju Laut
Selatan Jawa.

Gambar 60. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Juni Clorofil-a

78
Gambar 61. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Juli Clorofil-a

Gambar 62. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Agustus Clorofil-a

79
Gambar 63. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan September Clorofil-a

Gambar 64. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Oktober Clorofil-a

80
Gambar 65. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan November Clorofil-a

Gambar 66. Pola sebaran rata-rata 17 tahun Bulan Desember Clorofil-a

81
4.2.4 Pola Klorofil Secara Temporal

Data klorofil-a dari satelit MODIS dipetakan pada bagian selatan Jawa-
NTT sehingga diperoleh pola sebaran konsentrasi klorofil-a periode Januari-
Desember 2002 dan 2018. Tingkat konsentrasi klorofil-a yang ditemukan untuk
keseluruhan bulan berada pada kisaran 0.01-1.18 mg/m3. Analisis yang di dapat
dari rata-rata bulanan, yaitu pada tahun 2002 di bulan Juli yaitu sekisar 0.32
mg/m3 dan meningkat pada tahun 2006 1.18 mg/m3 di bulan November,
sedangkan penurunan yang terjadi berkisar 0.0012 mg/m3 pada Tahun 2018 di
bulan Oktober (Gambar 67).

1.40

1.20

1.00

0.80
Mg/m³

0.60

0.40

0.20

0.00
7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11
2002
2 003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

Gambar 67. Nilai Rata-rata Konsentrasi Bulanan Klorofil-a Tahun 2002-2018

Sedangkat untuk analisis rata-rata musim yang didapat selama 17, yaitu
tahun pada Musim Timur kenaikan Klorofil-a berkisar 0.6 mg/m3 di Tahun 2006
dan menurun sekitar 0.03 mg/m3 di Tahun 2016. Musim Peralihan II kenaikan
Klorofil-a sekitar 1.01 mg/m3 di Tahun 2006 dan menurun pada Tahun 2016
berkisar 0.03 mg/m3, sedangkan pada Musim Barat krolofir-a tertinggi terdapat

82
pada Tahun 2006 sekitar 0.13 mg/m3 dan menurun pada Tahun 2012 dengan nilai
Klorofil-a yang didapat yaitu 0.01 mg/m3, di Musim Peralihan I nilai Klorofil-a
tertinggi 0.2 mg/m3 terdapat pada tahun 2008 dan menurun pada tahun 2016
dengan rentang nilai 0.03 mg/m3 (Gambar 68).

Dari hal tersebut dapat diduga bahwa kenaikan dan penuruan yang terjadi
di sebabkan oleh pengaruh angin monsun timur yang bergeser ke monsun barat,
dimana proses ini berkaitan dengan adanya pergeseran pusat tekanan udara rendah
di benua Australia yang menyebabkan kecepatan angin monsun timur menurun
seiring dengan perubahan bulan (Susanto et al., 2001). Adanya peningkatan
konsentrasi klorofil-a ini terlihat jelas dengan meluasnya pola penyebaran di
bagian selatan Selatan Jawa-NTT. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan pola
penyebaran yang terlihat di tahun 2006 dan ini menunjukkan bahwa ternyata
fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada Musim Timur dengan pola
penyebaran yang hampir sama.

1.1

0.9
CLOROFIL (Mg/M³)

0.7

0.5

0.3

0.1
SON-2003
SON-2004
SON-2005
SON-2006
SON-2007
SON-2008
SON-2009
SON-2010
SON-2011
SON-2012
SON-2013
SON-2014
SON-2015
SON-2016
SON-2017
SON-2018
JJA-2002

Tahun/Musim

Gambar 68. Nilai Rata-rata Konsentrasi Musiman Klorofil-a Tahun 2002-2018

83
Menurunnya kadar klorofil-a tersebut diduga berkaitan dengan proses
upwelling yang semakin menurun. Menurunnya intensitas upwelling
menyebabkan turunnya kadar nutrien yang berada di lapisan permukaan perairan.
Menurunnya kadar nutrien menjadikan perairan menjadi semakin tidak subur,
sehingga pertumbuhan fitoplankton berkurang (Jin et al, 2013). Hal inilah yang
menyebabkan kadar klorofil-a menurun, seiring perubahan bulan dari Juni hingga
Mei.

0.40
0.35
0.30
0.25
Mg/m3

0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
MARET

MEI
FEBRUARI

JULI

AGUSTUS

NOVEMBER
OKTOBER
APRIL

SEPTEMBER
JUNI
JANUARI

DESEMBER
2002-2018

Klorofil-a

Gambar 69. Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a tahunan

Sebaran klorofil-a tahunan terlihat bahwa pada bulan Januari klorofil-a


meningkat sampai bulan Februari dengan nilai kisaran 0.08-0.09mg/m3. Dibulan
Maret mulai terjadi penurunan klorofil-a dengan nilai 0.08mg/m3. Klorofil-a
semakin meningkat dari bulan April dan puncaknya pada bulan Agustus dengan
nilai sekitar 0.11-0.39mg/m3. Dominasi klorofil-a tinggi pada bulan Agustus ini
terutama terjadi pada bagian selatan Jawa sampai NTT yang merupakan dampak
dari rendahnya SPL di Samudera Hindia. Kembalinya penurunan klorofil-a pada
bulan September sampai Desember dengan nilai sekitar 0.35-0.13mg/m3 (Gambar
69). Menurut Putra et al (2014), klorofil-a mengalami pertumbuhan yang sangat
signifikan pada bulan Januari-Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus,
kemudian mengalami penurunan yang sangat cepat pada bulan November.

84
4.3 Prakiraan Luasan Upwelling

Hasil dari analisis rata rata konsentrasi SPL dan Klorofil-a Tahun 2002-2018
menunjukan bahwa penurunan SPL di mualai pada bulan Juli di tahun 2002.
Menurunnya SPL ini diikuti dengan meningkanya Klorofil-a yang menyebar di
perairan Selatan Jawa-NTT. Dapat dilihat pada Gambar 70, dimana Upwelling
terjadi pada musim Timur (Juni-Agustus) dan musim Peralihan II (September-
November). Berdasarkan dari data distribusi SPL dan Klorofil-a bisa diketahui
intensitasnya, dimana Upwelling yang kuat umumnya SPL lebih rendah dan kadar
Klorofil-a lebih tinggi (Kunarso, 2005).

30.00 1.40

1.20
29.00

1.00
28.00

0.80

Mg/m³
°C

27.00
0.60

26.00
0.40

25.00
0.20

24.00 0.00
7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11 9 7 11
20022003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

SPL Clorofil-a

Gambar 70. Nilai Rat-rata Konsentrasi SPL dan Klorofil-a tahun 2002-2018

Dari pola penyebaran suhu dan klorofil-a terlihat bahwa memuncaknya


fenomena Upwelling terjadi di setiap bulan Agustus (Gambar70), hal ini
ditunjukan dengan semakin menurunnya SPL dari bulan Juli yang kemudian
diikuti dengan peningkatan klorofil-a pada bulan Juli. Secara umum kejadian
Upwelling akan berulang secara periodic pada musim Timur, hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Susanto., et al (2001) dan Yusuf (2003), yang

85
mengatakan bahwa Upwelling di Selatan Jawa-NTT terjadi pada musim Timur.
Hal ini disebabkan karena fitoplankton pada suhu rendah dapat mempertahankan
konsentarasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini
di karenakan lebih efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah
dan laju fotosintesisnya lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan
dengan kondisi yang ada (Valiela, 1984).

Jika dilihat dari grafik pada gambar 71, prakiraaan luasan Upwelling pada
muism Barat dan Peraliahn I tepatnya pada bulan Desember hingga Mei tahun
2002 hingga 2018 tidak terdeteksi adanya Upwelling. Rata-rata luasan Upwelling
didapat pada musim Timur dan Peralihan II tepatnya pada bulan Juni-November
dengan luasan tertinggi pada bulan Agustus diikuti dengan penurunan rata-rata
Suhu Permukaan Laut. Pada musim Timur dan Peralihan II tahun 2002-2018
memiliki rata-rata luasan Upwelling mencapai 47531.9 km2 pada bulan Juni,
kemudian 128404.9 km2 pada bulan Juli dan tertinggi 167386.7 km2 pada bulan
Agustus. Sedangkan pada musim Peralihan II luasan Upwelling mencapai 91956.2
km2 pada bulan September, kemudian 25049.8 km2 pada bulan Oktober dan
menurun pada bulan November dengan luasan Upwelling mencapai 5618.8 km2.

400000.0

350000.0

300000.0

250000.0
Km²

200000.0

150000.0

100000.0

50000.0

0.0
jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul
nov

nov

nov

nov
nov

nov

nov

nov

nov
sep

sep

sep

sep
sep

sep

sep

sep

20022003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

86
Gambar 71. Nilai Rata-rata Bulanan Luasan Upwelling Tahun 2002-2018.

87
c

Gambar 72. Pola luasan Upwelling Musim Timur (Juni (a), Juli (b), Agustus (c))

tahun 2002-2018

88
b

Gambar 73. Pola luasan Upwelling Musim Peralihan II (September (a), Oktober
(b), November (c)) tahun 2002-2018

Secara sepasial pola perubahan Upwelling yang sudah di rata-rata


peratahunnya dapat dilihat dengan jelas seperti gambar 72 dan 73, dimana pola
sebaran Upwelling pada musim Timur pola sebarannya terlihat pada bagian
daerah Jawa Barat dan NTB dengan luasan 6986.6km2 pada bulan Juni. Pada
bulan Juli pola sebaran Upwelling mulai meluas dari Pulau Jawa,bali dan sebagian
di NTT dengan luasan 78294.1km2, sedangkan di bulan Agustus Pola sebaran

89
Upwelling makin meluas dari Pulau Jawa sampai NTT dengan luasan
254212.6km2 yang paling tinggi di musim Timur. Sedangkan pada musim
Peralihan II terlihat pola sebaran Upwelling mulai menurun, dimana pada bulan
September luasan mencapai 16767.7km2 dan meningkat agak meningkat pada
bulan Oktober sebesar 72033.6km2. Penurunan pola sebaran Upwelling terjadi
pada bulan November, dimana sebarannya hanya terlihat di bagian pesisir Jawa
Timur dan di Pesisir NTB dengan luasan 1949.3km2.

Pola sebaran Upwelling yang mulai meningkat pada bulan juni, puncaknya
terjadi pada bulan Agustus dan mulai menurun pada bulan November. Pola ini
akan tetap sama dari tahun ketahun, karana menurut Susanto dan Marra (2003),
selama bertiupnya angina Muson tenggara yakni pada bulan April hingga
Oktober, anging tenggara dari Australia menggarakan Upwelling membawa air
yang lebih dingin dan meningkatkan nutrien ke permukaan laut di sepanjang
pantai NTT hingga Jawa.

4.4 Pengaruh ENSO Terhadap Upwelling

Variabilitas upwelling sebagai akibat dari pengaruh ENSO kemudian


menyebabkan fluktuasi SPL yang lebih hangat maupun lebih dingin dibandingkan
kondisi normal. Dimana pada periode El Nino yang ditandai dengan indeks ONI
yang lebih tinggi dari 0,5 akan diikuti dengan penurunan SPL hingga lebih dari
3°C, sebaliknya pada periode La Nina dimana indeks ONI lebih rendah dari -0.5
akan diikuti dengan SPL yang lebih hangat (Gambar 74). Menurut National
Weather Service (2006) fenomena El Nino terdapat kriteria 0-1 indeks Nino
lemah, 1-1.5 indeks Nino sedang dan >1.5 indeks Nino kuat, sebaliknya pada La
Nina 0-(-1) indeks Nino lemah, -1-(-1.5) indeks Nino sedang dan >-1.5 indeks
Nino kuat.

90
30 4.00

29 3.00

28 2.00
°C

27 1.00

26 0.00

25 -1.00

24 -2.00
jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul
nov

nov

nov

nov

nov

nov

nov

nov

nov
sep

sep

sep

sep

sep

sep

sep

sep
20022003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

SPL Indeks ENSO

Gambar 74. Nilai Rata-rata Bulanan SPL di Overlay dengan Indeks ENSO

Berdasarkan hasil grafik pada gambar 74, terjadinya El Nino lemah pada
tahun 2003-2006, 2008, 2012 dan 2018 dengan penurunan SPL berkisar 26oC. El
Nino sedang terjadi pada tahun 2002 dan 2009 dengan penurunan SPl berkisar
26.5oC. Dan El Nino kuat terjadi pada tahu 2014-2015 dengan penurunan SPL
berkisar 25.8oC. Sedangkan La Nina lemah terjadi pada tahun 2011-2013, 2016
dan 2017 dengan kenaikan SPL sebesar 28.5oC. Terjadinya La Nina sedang terjadi
pada tahun 2007 dan 2010 dengan kenaikan SPL sebesar 29oC. Dari terjadinya El
Nino dan La Nina didapat korelasi antara ENSO dan SPL sebesar -0.1. Hal ini
menunjukan bahwa pada saat El Nino mengalami penurunan SPL dan saat La
Nina terjadi peningkatan SPL. Menurut Kunarso (2012), mengakatan bahwa SPL
di daerah Selatan Jawa sampai Sumbawa mengalami fluktuasi musiman dengan
suhu terdingin terjadi pada musim timur. Ningsih et al (2013), juga
mengumukakan bahwa SPL di daerah Selatan Jawa sampai Sumbawa pada musim
timur berkisar antara 24.5oC hingga 28.0oC, sedangkan pada musim barat berkisar
antara 28.7oC hingga 30.2oC.

91
1.40 4.00

1.20 3.00
1.00
2.00
Mg/m³

0.80
1.00
0.60
0.00
0.40

0.20 -1.00

0.00 -2.00
jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul
nov

nov

nov

nov
nov

nov

nov

nov

nov
sep

sep

sep

sep

sep

sep

sep

sep
20022003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

Clorofil-a Indeks ENSO

Gambar 75. Nilai Rata-rata Bulanan Klorofil-a di Overlay dengan Indeks ENSO

Berbeda halnya dengan konsentrasi klorofil-a pada gambar 75, dimana


periode El Nino lemah terjadi pada tahun 2003-2006,2008,2012-2013 dan 2017
dengan konsentrasi sebesar 0.60 mg/m3, El Nino sedang terjadi pada tahun
2002,2009,2018 dengan konsentrasi 0.40 mg/m3, El Nino kuat terjadi pada tahun
2014-2015 dengan konsentrasi 0.60 mg/m3. Sedangkan terjadinya La Nina lemah
pada tahun 2011 dan 2016 dengan konsentrasi 0.20 mg/m3, terjadinya La Nina
sedang pada tahun 2007 dan 2010 dengan konsentrasi 0.15mg/m3. Dari hasil
analisis hubungan antara nilai Indeks ENSO dengan konsentrasi klorofil-a di
perairan Selatan Jawa sampai NTT dengan korelasi 0.2, menunjukan bahwa nilai
Indeks ENSO sedikit mempengaruhi sebaran klorofil-a. Hal ini tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto dan Marra (2005), yang
mengatakan bahwa pada periode El Nino klorofil-a mengalami peningkatan
konsentrasi lebih tinggi dari pada kondisi normal.

92
400000 4.00
350000
3.00
300000
2.00
250000
Km²

200000 1.00
150000
0.00
100000
-1.00
50000
0 -2.00
jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul

jul
nov

nov

nov

nov

nov

nov

nov

nov

nov
sep

sep

sep

sep

sep

sep

sep

sep
20022003200420052006200720082009201020112012201320142015201620172018

luas upwelling Indeks ENSO

Gambar 76. Nilai Rata-rata Bulanan Upwelling di Overlay dengan Indeks ENSO

Dimana dari hasil gambar grafik 76 menunjukan hal yang berbeda, yang
mana El Nino dan La Nina lemah, sedang ataupun kuat tidak begitu
mempengaruhi pola sebaran maupun luasan Upwelling. Dapat dilihat pada gambar
76, dimana pada tahun 2003 El Nino lemah menghasilkan luasan Upwelling yang
cukup luas di bandingkan pada tahun 2006, 2009 dan 2015 yang terjadinya El
Nino sedang dan kuat. Dimana ditiap tahunnya memiliki luasan sekitar 339381.7
km2 pada tahun 2003, 315684.6 km2 pada tahun 2006, 159153.3 km2 pada tahun
2009 dan 260442.2 km2 pada tahun 2015, dengan korelasi 0.1 yang membuktikan
ENSO sedikit mempengaruhi luasan Upwelling di Selatan Jawa sampai NTT.
Namnun ENSO dapat mempengaruhi durasi atau lamanya upwelling di suatu
perairan, seperti sebaran spasial upwelling secara bulanan terdapat durasi yang
dimulai dari bulan Juni-November, Juni-Oktober, Juni-September, Juli-
November, Juli-Oktober, Juli-Agustus dan Agustus-September selama 17 tahun di
perairan Selatan Jawa sampai NTT (Lampiran 1). Dimana menurut Kemili (2012),
saat terjadi El Nino dan dipole mode posotif mengakibatkan intensitas dan durasi
Upwelling yang semakin menguat yang di sebabkan oleh penurunan SPL yang
lebih rendah.

93
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pola sebara Upwelling di mulai dari NTT dan berkembang sampai Selatan
Jawa, dimana pada bulan Juni merupakan awal terbentuknya Upwelling, di
bulan Agustus puncak untuk Upwelling dan berakhir di bulan November.
Untuk rata-rata lusan Upwelling selama 17 tahun sebagai berikut, untuk
musim Timur 6986.6 km2 pada bulan Juni, 78294.1 km2 pada bulan Juli, dan
254212.6 km2 pada bulan Agustus. Sedangkan untuk musim Peralihan II
16767.7 km2 pada bulan September, 72033.6 km2 pada bulan Oktober, dan
1949.3 km2 pada bulan November.
2. Pengaruh ENSO terhadap pola sebaran upwelling didaerah perairan selatan
Pulau Jawa hingga perairan selatan Laut Nusa Tenggara Timur sangat lemah,
dimana korelasi yang di dapat sekitar 0.1.
5.2 Saran
Untuk menghasilkan pola Sebaran Upwelling yang lebih akurat sebaiknya
digunakan data satelit dengan resolusi spasial maksimum. Penggunaan data dengan
resolusi spasial tinggi harus diimbangi dengan sumber daya pengolah data
(Komputer) yang memadai. Selain itu, penggunaan data temporal yang panjang
dengan resolusi tinggi juga membutuhkan kapasitas memori (hard disk ) yang cukup.
Data yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 6.205 data menggunakan citra
MODIS Leve 2 dengan resolusi temporal 1 hari dari tahun 2002 sampai 2018, dengan
jumlah data yang cukup banyak maka penulis menyarankan pengolahan data
menggunakan program seperti Matlab, Fortran atau program lainnya agar pengolahan
data membutuhkan waktu yang lebih cepat dan menambahkan beberapa factor yang
mempengaruhi Upwelling seperti arah atau kecepatan angin dan pola arus.

94
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Dwi, Bangun M.S, dan Lalu M J. 2012. Studi Perubahan Suhu Permukaan
Laut. Program Studi teknik Geomatika ITS.

Bambang S, Denarika J, Denny W K. 2017. Multilayer Analysis Of Upwelling


Variability In South Java Sea. Balai Riset dan Observasi Laut,
Kementerian Kelautan dan Perikanan Desa Perancak, Jembrana, Bali
Barth J A, Menge B A, Lubchenco J, et al. 2007. Delayed upwelling
altersnearshore coastal ocean ecosystems in the northern California
current. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States ofAmerica, 104(10): 3719–3724

Bowden K F. 1983, Physical Oceanography of Coastal Waters. West Sussex: Ellis


Horwood Limited, Publishers Chichester.

Gaol, J.L., Mahapatra, K., Okada, Y., Pasaribu, B.P., Manurung, D. and Nurjaya,
I.W., 2002. Fish Catch Relative to Environmental Parameters Observed
from Satellite During ENSO and Dipole Mode Events 1997/98 In South
Java Sea. Proceedings of PORSEC, pp.411-417.
Gunarso W, 1985. Tingkah Laku Ikan, IPB. Bogor, 149 hal.

Hendiarti, N., H. Siegel, and T. Ohde. 2004. Investigation of different coastal


processes in Indonesian waters using SeaWiFS data. Deep Sea Research
Part II 51:85–97.
Hestiningsih, Yudo Prasetyo, Bandi Sasmito, Anindya Wirasatriya. 2017. Identifikasi
Kawasan Upwelling Berdasarkan Variabilitas Klorofil-A, Suhu
Permukaan Laut Dari Data Citra Aqua Modis Tahun 2003-2015 Dan
Arus. Jurnal Geodesi Undip.

Hidayat, Rahmat., & Kizu, Shoichi., 2010, Influence of the Madden-Julian


Oscillation on Indonesia Rainfall Variability in Austral Summer, Int.
J.Clymatology Vol. 30: 1816-1825

Ilahude, A.G. & Nontji, A. (1999). Oseanografi Indonesia dan perubahan iklim
global (El Nino dan La Nina). Puslitbang Oseanologi-LIPI Jakarta. Hlm,
pp.1-13.

95
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 68/Kepmen-
Kp/2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Ikan Lemuru Di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kiem AS, Franks SW. 2001. On the identification of ENSO-Induced rainfall dan
runoff variability: a comparison of methods dan indices. Hydrological
Sciences Journal 46 (5) : hlm 715-727.

Kunarso K, Hadi S, Ningsih N S. 2005. Kajian lokasi upwelling untuk penentuan


fishing ground potensialikan tuna. Ilmu Kelautan: Indonesian Journal of
Marine Sciences, 10(2), pp.61-67.

Kunarso, A. Supangat, N.S. Ningsih dan S. Hadi. 2009. Upwelling dan Fishing
Ground Tuna di Laut Nusantara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 211 hlm

Kunarso S, Hadi N S, Ningsih dan Baskoro M S. 2011. Variabilitas Suhu dan


Klorofil-a di DaerahUpwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di
Perairan Selatan Jawa sampai Timor. Jurnal IlmuKelautan, 16 (3):171-
180.

Kunarso dan Ningsih N S. (2014). Memahami Distribusi Temporal Upwelling Pada


Variabilitas ENSO di Indonesia Untuk Memperkirakan Waktu Musim Ikan
Tuna Big Eye.

Kunarso. 2014. Pengaruh Monsun, El Niño-Southern Oscillation dan Indian Ocean


Dipole Terhadap Waktu dan Daerah Penangkapan Ikan Tuna di Samudra
India Bagian Timur. [Disertasi], Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Kuswardani, A.R.T.D. 2012. The Development of a Wave-Tide-Circulation Couple


Model and Its Upwelling Simulation Application in the Indonesian Seas.
[Disertation]. Ocean University of China, China.

Lalli, C.M., & T.R. Parson. 1994. Biological Oceanography: An introduction.


Pergamon, BPC Wheatons Ltd, British. 301p.

96
Maccherone B. 2007. About MODIS. http://modis.gsfc.nasa.gov. [1 April2017].

McGregor GR, Nieuwolt S. 1998. Tropical climatology. United Kindom : John Wiley
& Sons Ltd.

Marsac, F. and J. Le Blanc. 1998. Dynamics of ENSO events in the Indian Ocean, to
What Extend would Recruitment and Catch-ability of Tropical Tuna be
Affected. IOTC Proceedings, 3: 89-101

NASA. Karakteristik MODIS. https://www.nasa.gov/. Diakses pada tanggal 11


September 2016.

National Weather Service. 2006. What are El Niño, La Niña, and ENSO
http://www.elnino.noaa.gov . Diakses 23 April 2016 pukul 20:22 WIB.

Ningsih N S, Hadi S, Supangat A, Yusuf M, dan Handiani D N. 2004. Fishing


Ground Prediction in Indonesian Waters Based on Upwelling Regions
and Its relation to Seasonal Circulation. Final Report, The Asahi Glass
Foundation.

Ningsih N S, Rakhmaputeri N dan Harto A B. 2013. Upwelling variability along the


southern coast of Bali and in Nusa Tenggara waters. Ocean Science
Journal, 48(1), pp.49-57.

[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2011. AVHRR-


Pathfinder. https://podaac.jpl.nasa.gov/AVHRR-Pathfinder [1 Desember
2017].

[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2015. What is El Nino?.


http://www.wrh.noaa.gov/fgz/science/elnino. php?wfo=fgz [16 November
2017].

Nontji. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nontji. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

97
Purba M. 2007. Dinamika Perairan Selatan P. Jawa – P. Sumbawa Saat Muson
Tenggara. Torani, 17(2):140-150.

Putra, E., Gaol, JL. & Siregar, VP. (2014). Relationship Chlorophyll-a Concentration
And Sea Surface Temperature With Primary Pelagic Fish Cathes In Java
Sea From MODIS Satellite Images. Jurnal Teknologi Perikanan Dan
Kelautan 3(1):1-10.
Rakhmaputeri N. 2010. Kajian Variabilitas Upwelling di Perairan Selatan Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Laut Sawu dengan Menggunakan Penginderaan
Jauh. Tugas Akhir Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

Rizqi, Tri, 2015. Budidaya Laut Belum Optimal-NTB Memulai Hilirisasi Produk
Rumput Laut, (http://tamborachallenge.com/2015/04/01 /budidaya-laut-
belum-optimal-ntb-memulai- hilirisasi-produk-rumput-laut/, diakses 4
Maret 2017).

Romdonul H M. 2011. Karakteristik Oseanografi diPermukaan Perairan Utara


Jawa, Selatan Lombok Hingga Sorong, PapuaBarat Pada Musim Timur
2010. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Shelton ML. 2009. Hydroclimatology: Perspectives dan Applications. United


Kingdom : Cambridge University Press.

Shrestha A, Kostaschuk R. 2005. El-Nino/Southern Oscillation (ENSO)-Related


Variability in Mean-Monthly Streamflow in Nepal. Journal of Hydrology
308 : hlm 33 – 49.

Siadari, E. L. (2017). Pengaruh Suhu Permukaan Laut dan Angin Terhadap


Distribusi Klorofil-A di Perairan Papua Tahun 2002-2016. Prosiding
Seminar Nasional Sains Atmosfer 2017.
Smith, R.L., 1968. Upwelling. Oceanography and Marine Biology. An annual review.
Scotland.

98
Soenarmo S H. 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografi
Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: Penerbit ITB

Sprintal & Liu. 2005. Ekman Mass and Heat Transport in The Indonesian Seas.
Oceanography. 18(4): 88-97
Stewart, R.H, 2002, Introduction to Physical Oceanography, Deparrtment of
Oceanography Texas A & M University, 341 p.
Sulaiman. A, F. Syamsudin, M.C.G. Frederik, M. Sadly, N. Hendiarti, R. Andiastuti
dan Y.S. Djajadiharja. 2006. Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika
Laut Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 126 hlm.

Susanto D, Gordon A L dan Zheng Q. (2001). Upwelling Along the Coast of Java and
Sumatra and its Relation to ENSO. Geophysical Research Letter, Vol. 28,
No. 8, Pages 1599-1602, April 15, 2001.

Susanto R D, Gordon A L, Zheng Q. 2001a. Upwelling along the coasts of Java and
Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters
28:1,559– 1,602.

Susanto R D, Gordon A L, Zheng Q. 2001b. Upwelling within the Indonesian Seas


and its relation to Monsoon and ENSO.

Susanto, D and J. Marra. 2003. Effect of the 1997/1998 El Nino on Chlorophyll-a


Variability along the Southern Coasts of Java and Sumatra. Journal of the
Oceanography Society Vol. 18, No. 4, December 2005. USA.

Susanto R D dan Marra J. 2005. Effect of the 1997/98 El Niño on Chlorophyll-a


Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatra,
Oceanography. Journal of the Oceanography Society, Volume 18,
Number 4.

Susanto R D, Marra J. 2005. Chlorophyll-a Variability Along the Southern Coasts of


Java and Sumatra. Oceanography. Volume 18. Number 4

99
Susanto, R.D., T.S. Moore, & J. Marra. 2006. Ocean Color Variability ini Indonesia
uSeas during the Sea WIFS Era. J. Geochemistry Geophysics Geosytem,
7: 1525–2027.

Surinati D. 2009. Upwelling dan Efeknya terhadap Perairan Laut.Oseana, vol.


XXXIV, no. 4, pp. 35-42.

Tubalawony dan Simon. 2008. Dinamika Massa Air Lapisan Ekman Perairan
Selatan Jawa – Sumbawa Selama Muson Tenggara. Torani, 17(2):140-
150.

Thurman H V dan Trujillo A P. 2004. Introductory Oceanography. Pearson Prentice


Hall. New Jersey. 608 hlm.

Wingking E. Rintaka, Eko Susilo, Amandangi W. Hastuti. 2015. Pengaruh In-Direct


Upwelling Terhadap Jumlah Tangkapan Lemuru Di Perairan Selat Bali.
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jalan Baru Perancak, Jembrana, Bali

Wyrtki, K.A. 1961. Naga Report. Volume 2: Physical Oceanography of the


Southeast Asean Waters. The University of California, California. 195p.

World Meteorological Organization. 1999. The 1997-1998 El Nino Event: A


Scientific and Technical Retrospective.

Yusuf, M, 2002, Model Numerik Upwelling Di Perairan Indonesia Wilayah Tengah


Dan Barat Serta Kaitannya Dengan Perubahan Monsun. Bidang khusus
Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfir, Program
Pascasarjana, ITB.

100
LAMPIRAN 1

Pola Sebaran Upwelling Bulan Juli, Agus, September, Oktober, November Tahun
2002

101
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2003

102
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2004

103
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2005

104
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2006

105
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2007

106
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2008

107
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2009

108
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2010

109
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2011

110
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2012

111
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2013

112
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2014

113
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2015

114
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2016

115
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2017

116
Pola Sebaran Upwelling Bulan Juni, Juli, Agus, September, Oktober, November
Tahun 2018

117

Anda mungkin juga menyukai