Anda di halaman 1dari 19

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

Seri Konferensi IOP: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan

KERTAS - AKSES TERBUKA

Klasifikasi indikator upwelling berdasarkan suhu permukaan laut,


klorofil-a dan indeks upwelling, studi kasus di Perairan Selatan
Jawa hingga Perairan Timor
Untuk mengutip artikel ini: Kunarso et al 2020 IOP Conf. Ser: Earth Environ. Sci. 530 012020

Lihat artikel online untuk pembaruan dan penyempurnaan.


Konten ini diunduh dari alamat IP 191.101.77.247 pada 31/10/2020 pukul 20:59
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530 (2020) 012020
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-
1315/530/1/012020

Klasifikasi indikator upwelling berdasarkan suhu permukaan


laut, klorofil-a dan indeks
upwelling, studi kasus studi kasus di Perairan Selatan
Jawa hingga Perairan Timor
Kunarso1
*, Safwan Hadi2 , Nining Sari Ningsih2 , Mulyono. S. Baskoro 3, Anindya Wirasatriya4,
Anastasia R. T. D. Kuswardani 5

1 Departemen Oseanografi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas


Diponegoro, Semarang, Indonesia
2
Program Studi Doktor Ilmu Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
3
Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
Indonesia
4
Pusat Studi Rehabilitasi Pesisir dan Mitigasi Bencana (CoREM), Universitas Diponegoro, Pusat
Unggulan Iptek (PUI), Indonesia
5
Kementerian Perikanan dan Kelautan, Ancol Jakarta, Indonesia
* Penulis korespondensi: kunarsojpr@yahoo.com

Abstrak. Pemahaman tentang keberadaan upwelling, yang meliputi lokasi, onset dan ending,
top temporal, kekuatan, luasan sangat penting untuk pengelolaan perairan laut, khususnya
penangkapan ikan dan konservasi. Salah satu metode yang diperlukan adalah dengan
mengklasifikasikan indikator upwelling. Tujuan dari penelitian ini adalah pertama,
mempelajari metode klasifikasi kriteria upwelling berdasarkan SST, klorofil-a dan indeks
upwelling. Kedua, mengaplikasikan klasifikasi kriteria upwelling untuk pemetaan daerah
upwelling pada empat kasus variabilitas iklim dan ketiga
mengkaji pengaruh ENSO dan IOD terhadap variabilitas daerah upwelling. Hasil penelitian
berdasarkan SST, klorofil-a dan indeks upwelling di Samudera Hindia selatan Jawa hingga
Timor dengan metode statistik berhasil membagi kriteria upwelling menjadi empat yaitu
upwelling lemah, upwelling sedang, upwelling kuat, dan upwelling sangat kuat.
Berdasarkan kriteria upwelling tersebut dapat dilakukan pemetaan lokasi upwelling untuk
mengetahui distribusi spasial dan luasan upwelling di perairan Samudera Hindia selatan
Jawa hingga Timor. Dua indikator upwelling yaitu SST dan klorofil-a akan lebih akurat dalam
aplikasinya jika digunakan secara bersamaan. Variabilitas ENSO dan IOD secara signifikan
berpengaruh terhadap peningkatan dan penurunan kisaran indikator upwelling (SST,
klorofil-a dan indeks upwelling), namun indeks IOD jauh lebih besar pengaruhnya
dibandingkan dengan indeks ENSO (SOI).

1. Pendahuluan

Fenomena upwelling penting untuk dipahami karena berkaitan dengan konservasi dan eksplorasi
sumber daya laut. Beberapa aspek penting dari upwelling adalah lokasi, awal dan akhir, top
temporal, kekuatan, dan luas area. Upwelling ditinjau dari aspek ekologi merupakan proses
pemupukan lingkungan secara alamiah. Dengan adanya proses upwelling, lingkungan yang tidak
subur menjadi subur karena proses tersebut akan meningkatkan kadar nutrien yang berguna untuk
pertumbuhan fitoplankton sebagai produsen utama di laut [1].
Dalam bidang konservasi lingkungan laut, memahami upwelling dalam rangka melindungi
daerah tersebut dari ancaman sumber pencemar baik dari industri maupun dari limbah kapal. Karena
daerah upwelling pada umumnya merupakan tempat pemijahan dan tempat berkembang biak
berbagai jenis ikan [2].
[3].
Bidang eksplorasi sumber daya kelautan menggunakan upwelling untuk membantu
menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Daerah upwelling umumnya memiliki tingkat
produktivitas perikanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya [1], [4], [5].
Pemahaman yang baik mengenai daerah upwelling dapat membantu dalam penentuan daerah
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
yangPesisir
dan memiliki produktivitas perikanan yang tinggi. Beberapa hasil penelitian membuktikan
IOP adanya
daerah upwelling
Konten dari karya ini dapat digunakan di bawah ketentuan lisensi Creative Commons Atribusi 3.0. Penyebaran lebih lanjut
dari karya ini harus tetap mencantumkan atribusi kepada penulis dan judul karya, kutipan jurnal, dan DOI.
Diterbitkan di bawah lisensi oleh IOP Publishing Ltd 1
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530 (2020) 012020
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-
1315/530/1/012020

Mereka menemukan bahwa daerah yang mengalami proses upwelling dengan karakter suhu
permukaan laut yang lebih rendah dari daerah sekitarnya dan konsentrasi klorofil-a yang
lebih tinggi pada kenyataannya memiliki CPUE (Catch Per Unit Effort) perikanan yang lebih baik.
[7], telah membuktikan adanya korelasi yang signifikan antara kejadian upwelling dengan peningkatan
penangkapan ikan Sardinella dan cumi-cumi. [1], mengungkapkan produktivitas perikanan lebih
tinggi di daerah upwelling daripada daerah non upwelling. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
pernyataan [8], yang menunjukkan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE/Catch Per Unit Effort)
ikan tuna di selatan Jawa dan barat Aceh, secara umum mengalami peningkatan seiring dengan
terjadinya upwelling.
Berdasarkan uraian di atas, memahami keberadaan, waktu dan kekuatan upwelling
merupakan hal yang penting. Pemahaman tentang ada tidaknya upwelling dapat dilakukan dengan
mengukur suhu air laut secara vertikal dengan alat seperti mooring atau argofload. Penggunaan
alat ini cukup mahal, bersifat lokal dan datanya tidak dapat diakses secara real time atau mendekati
real time tetapi melalui proses yang lebih lama. Pemahaman upwelling yang paling cepat dan murah
serta umum dilakukan adalah dengan melihat indikator-indikator upwelling. Indikator upwelling
antara lain suhu permukaan laut dan klorofil-a [9]; [10]; [11]; [12]; [13], Semua referensi di atas
menjelaskan bahwa upwelling dapat diketahui dari suhu permukaan laut (SPL) yang lebih
rendah dibandingkan dengan sekitarnya, dan klorofil-a yang lebih tinggi dibandingkan dengan
sekitarnya, namun tidak secara rinci menjelaskan kriteria upwelling di Perairan Samudera Hindia
Selatan Jawa hingga Timor berdasarkan SPL dan klorofil-a tersebut. Seberapa besar kisaran SST
dan klorofil-a bulanan yang terjadi selama periode upwelling dan apakah terdapat hubungan antara
peningkatan intensitas upwelling dengan perubahan kisaran SST dan klorofil-a? Hal ini
merupakan masalah penelitian yang perlu dikaji lebih detail.
Penelitian ini mengkaji tentang metode pembuatan kriteria upwelling berdasarkan suhu
permukaan laut (SPL), klorofil-a dan indeks upwelling, penerapan kriteria tersebut untuk menentukan
upwelling di Perairan Samudera Hindia selatan Jawa hingga Timor pada empat kasus variabilitas iklim.
Lokasi penelitian di Samudera Hindia selatan Jawa hingga Timor (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian Lokasi penelitian di Samudera Hindia Selatan


Jawa hingga Pulau Timor.

2. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan statistik. Metode
deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan kisaran nilai SST, klorofil-a dan indeks upwelling
2
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
yang
dan terdapat pada daerah upwelling di Tenggara Jawa hingga Timor pada variasi
Pesisir IOP kejadian
E NSO dan IOD. Analisis statistik dilakukan dengan menghitung kisaran rata-rata, maksimum,
minimum dan standar deviasi dari SST, klorofil-a dan indeks upwelling. Berdasarkan data-data
tersebut digunakan untuk menghitung kriteria upwelling

3
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020
kekuatannya, dan dengan kriteria ini diterapkan untuk memetakan area upwelling dalam empat
kasus variabilitas iklim El Nino-IOD (+), El Nino-IOD (-), La Nina IOD (+), dan La Nina-IOD(-).
Metodologi pemecahan masalah penelitian yang dijelaskan di atas dibagi menjadi beberapa
tahap.
1. Pengumpulan data primer dan sekunder
Pengumpulan data primer dan sekunder yang diperoleh dari beberapa situs internet, instansi,
dan survei lapangan yang meliputi:

1. Data kecepatan dan arah angin musiman secara spasial diperoleh dari Internet di:
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.html .
Data diunduh dalam bentuk FNL (analisis akhir). Data ini kemudian diproses oleh
perangkat lunak Matlab.
2. Data suhu dan klorofil permukaan laut diperoleh dari citra MODIS yang diunduh
dari http://www.oceancolor.gfsc.nasa.gov, dalam bentuk HDF (Hierarchical Data
Format). Data ini diolah dengan perangkat lunak SeaDAS. Data MODIS yang
digunakan adalah Level-3, dengan resolusi spasial 4,69 km. Data yang digunakan
untuk SST dimulai dari bulan Juli 2002 - Desember 2011, sedangkan data klorofil-a
dimulai dari bulan Juli 1997 - Desember 2011.
3. Data SST juga dilengkapi dengan hasil analisis ulang, dapat diunduh dari
www.metoffice.gov.uk/hadobs/hadisst/data/download.html , periode 1987-2011.
Resolusi data 1˚x 1˚. Data diproses dengan perangkat lunak grads.
4. Data variabilitas iklim yang berisi indeks EN SO yang merupakan anomali SST
pada NINO3.4 dan indeks IOD yang merupakan DMI diperoleh dari:
http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtml.shtm1;
http://www.jamstec.go.jp/frcgs/research/d1/iod/DATA/dmi_HadISST.txt .

2. Pengolahan data suhu dan klorofil-a citra MODIS dan

Data klorofil-a dan suhu permukaan laut citra MODIS yang diunduh dari internet merupakan data
Level-3 dalam bentuk HDF (Hi erarchical Data Format). Data ini merupakan hasil citra
satelit dari satelit Terra dan Aqua. Pada penelitian ini akan digunakan data citra MODIS rata-
rata bulanan. Pengolahan data citra MODIS berupa distribusi spasial suhu permukaan laut
dan distribusi khlorofil-a dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SeaDAS 5.0.

3. Penentuan lokasi upwelling (lintang dan bujur)

Untuk mendapatkan kisaran suhu dan klorofil-a permukaan laut, maka digunakan metode transek
baik secara lintang maupun bujur melalui daerah yang memiliki intensitas upwelling yang kuat
(Gambar 2). Hasil dari pengolahan citra transek suhu dan klorofil-a kemudian diambil
dalam bentuk nilai numerik dalam format ASCII. Selanjutnya data tersebut dikonversi ke dalam
bentuk teks ASCII (.txt) dengan perangkat lunak Excel, kemudian dibuat grafik. Berdasarkan
analisis grafis dan nilai numerik, dengan pemahaman bahwa upwelling dapat diketahui dari suhu
permukaan laut yang lebih rendah dari sekitarnya, dan klorofil-a yang lebih tinggi dari sekitarnya,
maka dapat diketahui kisaran suhu dan klorofil-a permukaan laut di daerah upwelling.

3
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

Gambar 2. Contoh transek lintang (garis kuning) dan transek bujur (garis putih) pada
citra suhu permukaan laut pada bulan September 2004 (Kasus El Niño-IOD
negatif)

4. Klasifikasi indikator sumur yang baik

Upaya untuk mengklasifikasikan intensitas upwelling berdasarkan suhu permukaan laut (SST),
nilai klorofil-a dan indeks upwelling dilakukan dengan beberapa langkah sederhana sebagai
berikut:
1. Kisaran nilai SST dan klorofil - nilai deret waktu bulanan diidentifikasi, mulai dari
permulaan upwelling hingga akhir sistem transek melintang,
2. Nilai SST dan klorofil-a dihitung berdasarkan rata-rata klimatologi pada bulan tersebut,
sehingga nilai terendah, tertinggi, nilai rata-rata, dan standar deviasi dapat diketahui, dan
dijelaskan dalam gambar,
3. Data statistik SST, klorofil-a, dan indeks upwelling diidentifikasi selama periode
upwelling, termasuk nilai rata-rata selama periode upwelling, standar deviasi, nilai
tertinggi dan terendah.
4. Kisaran SST, klorofil-a, dan indeks upwelling diklasifikasikan ke dalam empat kategori,
yaitu upwelling lemah, sedang, kuat, dan sangat kuat.

5. Identifikasi area upwelling


Analisis area upwelling bulanan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak pemetaan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memproses data suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan perangkat lunak SeaDAS
dan menyimpan output dalam bentuk ASCII.
2. Urutkan data ASCII yang diperoleh berdasarkan urutan garis lintang dan garis bujur, lalu
simpan sebagai ekstensi teks (* .txt)
3. Interpolasi data suhu permukaan laut dan klorofil-a dari bentuk *.txt ke shapefile untuk
mendapatkan distribusi nilai spasial.
4. Mengklasifikasikan data spasial suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a sesuai
dengan klasifikasi yang memenuhi kriteria upwelling yang dibuat atau digunakan
5. Menghitung bentuk area upwelling menurut kriteria intensitas upwelling.

6. Indeks upwelling
4
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

Indeks upwelling dihitung berdasarkan transek memanjang di Selatan Jawa, berdasarkan


formulasi dari Myrberg dan Andrejev (2003) dan Skogen (2004) dalam [14].

= Kecepatan Vertikal
= Nomor Grid dalam arah x, y
= Nomor Grid Maksimum untuk i, j, masing-masing
= Jarak Kisi dalam x, y, arah dalam meter

Nilai indeks upwelling mengikuti hasil dari [14] , indeks ini mencerminkan komponen
kecepatan vertikal positif, komponen kecepatan vertikal negatif dihilangkan untuk mendapatkan
indeks upwelling.

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil dari pengolahan citra transek suhu dan klorofil-a kemudian diambil dalam bentuk nilai numerik
dalam bentuk ASCII. Selanjutnya data tersebut dikonversi ke dalam bentuk teks ASCII (.txt)
dengan software Exel, kemudian dibuat grafik seperti pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Berdasarkan analisis grafik dan nilai numerik tersebut, dengan pemahaman bahwa upwelling
dapat diketahui dengan adanya suhu permukaan laut yang lebih rendah dari sekitarnya, dan klorofil-
a yang lebih tinggi dari sekitarnya, maka dapat diketahui kisaran suhu dan klorofil-a permukaan
laut di daerah upwelling.

Gambar 3. Hasil transek garis lintang, daerah yang mengalami penurunan dari SST di
sekitarnya dan peningkatan kadar klorofil-a yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya
(daerah yang dibatasi kotak merah) diidentifikasi sebagai daerah upwelling.

5
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

Gambar 4. Hasil transek memanjang, daerah yang mengalami penurunan dari SST di
sekitarnya dan peningkatan kadar klorofil-a yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya
(daerah yang dibatasi kotak merah) diidentifikasi sebagai daerah upwelling
.
Berdasarkan hasil transek secara lintang dan bujur di lokasi-lokasi upwelling yang terjadi di selatan
Jawa hingga Timor (selama periode data citra MODIS tahun 19 97 hingga 2011) maka dapat
diketahui kisaran SST dan Klorofil-a di lokasi-lokasi upwelling tersebut. Hasil data transek
lintang dan bujur SST dan klorofil-a di daerah yang terindikasi upwelling kemudian ditabulasikan untuk
dicari nilai rata-ratanya setiap bulan. Nilai rata-rata bulanan tersebut kemudian dianalisis untuk
menentukan nilai maksimum, minimum dan standar deviasi.
Seluruh data runtun waktu rata-rata bulanan hasil transek SST di daerah upwelling
dibuat grafik seperti pada Gambar 5. Grafik tersebut untuk memudahkan dalam pembagian kriteria
upwelling berdasarkan SST agar sebarannya mendekati seimbang. Data untuk pembagian kriteria
upwelling dapat dilihat pada catatan Gambar 5 tentang SST di bawah ini. Berdasarkan nilai rata-rata,
terendah dan tertinggi SST di daerah upwelling, masing-masing 27.1oC, 25.8oC dan 28.2o C, serta
nilai standar deviasi sebesar 0.4o C, maka dilakukan uji coba untuk mendapatkan pembagian
yang seimbang. Hasil dari trial and error kemudian didapatkan batas pembagian kriteria
pada garis A sebesar 27,3 oC, B sebesar 26,9 oC dan C sebesar 25,6 oC. Semakin rendah
SST diasumsikan proses upwelling semakin kuat. Selanjutnya kriteria upwelling dibagi menjadi
empat, yaitu upwelling lemah/WA (WA >27.3), upwelling sedang/IU (26.9 ≤ IU<27.3), upwelling
kuat/SU (26.5 ≤ SU<26.9), upwelling sangat kuat/SU (VSU < 26.5),

28.5

28

27.5
A
SST (˚C)

27 B
26.5 C
26

25.5

Tahun

Gambar 5. Nilai SST di daerah upwelling dari tahun 1987 hingga


2011
6
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020
Perhatikan Gambar 5 tentang SST:
Statistik SST (˚C)
Nilai Rata-Rata = 27,1
Standar Deviasi = 0,4
Nilai Lebih Tinggi= 28,2
Nilai Bawah = 25,8
Batas garis Hitung
A: 27,1 + (0,5 x 0,4) = 27,3
B: 27,1 - (0,5 x 0,4) = 26,9
C : 26.9 - 0. 4= 26.5
Kriteria Kekuatan Upwelling:
Upwelling Lemah (WA) : WA>27.3
Intermediate Upwelling (IU) 26.9 ≤ IU < 27.3
Strong Upwelling (SU) : 26.5 ≤ SU <
26.9Very Strong Upwelling (VSU :VSU < 26.5

Seluruh data runtun waktu rata-rata bulanan klorofil-a hasil transek di daerah upwelling
dibuat grafik seperti pada Gambar 6. Grafik tersebut untuk memudahkan pembagian kriteria
upwelling berdasarkan klorofil-a agar penyebarannya mendekati seimbang. Data untuk
pembagian kriteria upwelling dapat dilihat pada catatan Gambar 6 tentang klorofil-a di bawah
ini. Berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi, kriteria upwelling dibagi berdasarkan klorofil-
a. Berdasarkan nilai SST rata-rata bulanan, terendah dan tertinggi di daerah upwelling, masing-
masing sebesar 0.64 mg/m3, 0.26 mg/m3 dan 1.75 mg/m3, serta standar deviasi sebesar 0.28 mg/m3, maka
dilakukan uji coba untuk mendapatkan pembagian yang seimbang. Hasil dari trial and error tersebut
kemudian didapatkan batas distribusi kriteria pada garis A sebesar 0,36 mg/m3. B sebesar 0,92
mg/m3
dan C sebesar 1,48 mg/m3. Semakin tinggi klorofil- diasumsikan proses upwelling semakin
kuat. Selanjutnya kriteria upwelling dibagi menjadi empat, yaitu upwelling lemah/WA (WA <
0,36), upwelling sedang/IU (0,36 ≤ IU < 0,92), upwelling kuat/SU (0,92 ≤ SU < 1,48), upwelling
sangat kuat/SU (VSU > 1,48),

2
1.8
1.6
1.4
C
Klorofil-a (mg/m³)

1.2
1
B
0.8
0.6
0.4
A
0.2
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahu
n

Gambar 6. Nilai klorofil-a di daerah upwelling dari tahun 19 97 hingga 2011

Perhatikan Gambar 6 tentang Klorofil-a:


Statistik Klorofil-a (mg/m³) Nilai
Rata-Rata = 0,64
Standar Deviasi = 0,28
Nilai Lebih Tinggi= 1,75
Nilai Bawah = 0,26
Batas garis Hitung
A : 0.64 - 0. 28= 0.36
7
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020
B : 0.64 + 0. 28= 0.92
C: 0,92 + (2 x 0,28) = 1,48
Kriteria Kekuatan Upwelling:
Upwelling Lemah (WA) : 0.36
Intermediate Upwelling (IU :0.36 ≤ IU < 0.
92 Upwelling
Kuat (SU) : 0.92 ≤ SU ≤48
Very Strong Upwelling (VSU) :VSU > 1.48

Seluruh data runtun waktu rata-rata bulanan hasil transek Indeks Upwelling di daerah
upwelling dibuat grafik seperti pada Gambar 7. Grafik tersebut untuk memudahkan dalam
pembagian kriteria upwelling berdasarkan Indeks Upwelling agar sebarannya mendekati
seimbang. Data untuk pembagian kriteria upwelling dapat dilihat pada catatan Gambar 6 tentang
Indeks Upwelling di bawah ini. Berdasarkan nilai rata-rata, terendah dan tertinggi Upwelling Index
pada daerah upwelling, masing-masing 0.65 Sv, 0.49 Sv dan 0.87 Sv, serta nilai standar deviasi
sebesar 0.07 Sv, maka dilakukan uji coba untuk mendapatkan pembagian yang seimbang. Hasil dari
trial and error kemudian didapatkan batas distribusi cri teria pada garis A sebesar 0,62 Sv, B
sebesar 0,69 S v dan C sebesar o,76 Sv. Semakin tinggi indeks upwelling diasumsikan bahwa
proses upwelling semakin kuat. Selanjutnya kriteria upwelling dibagi menjadi empat, yaitu
upwelling lemah/WA (WA < 0,62), upwelling sedang/IU (0,62 ≤ IU < 0,69), upwelling kuat/SU
(0,69 ≤ SU < 0,76), upwelling sangat kuat/SU > 0,76).

0.9
Indeks Upwelling (Sv)

0.8
A
0.7
B
0.6 C
0.5

0.4

Tahun

Gambar 7. Nilai indeks Upwelling di daerah upwelling dari tahun 1990 hingga 2011

Perhatikan Gambar 7 tentang Indeks Upwelling:


Nilai Rata-Rata Indeks Upwelling
Statistik (Sv) = 0,65
Standar Deviasi = 0,07
Nilai Lebih Tinggi= 0,87
Nilai Bawah = 0,49
Batas garis Hitung
A: 0,65 - (0,5 x 0,07) = 0,62
B: 0,65 + (0,5 x 0,07) = 0,69
C : 0.69 + 0. 07= 0.76
Kriteria Kekuatan Upwelling:
Upwelling Lemah (WA) : 0,62
Intermediate Upwelling (IU :0.62 ≤ IU < 0.
69 Upwelling
8
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
KuatPengetahuan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu
Konferensi (SU) : 0.69 ≤ SU
Bumi dan Lingkungan 530 ≤76 IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020 Very Strong Upwelling (VSU) :VSU > 0.76

9
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

Hasil dari seluruh pembagian kriteria upwelling berdasarkan SST, klorofil-a, dan indeks upwelling
ditabulasikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel 1. Hasil akhir distribusi kriteria upwelling di Perairan Samudera Hindia Selatan
Jawa, berdasarkan SST, Klorofil-a dan Indeks Upwelling

Kekuatan Upwelling Indikator SST Indikator Indikator Indeks


(˚C) Klorofil-a Uwelling (Sv)
(mg/m³)

Upwelling Lemah (WA) WU > 27,3 WU <0,36 WU <0,62

Intermediate Upwelling (IU) 26,9 ≤ IU ≤ 27,3 0,36 ≤ IU < 0,92 0,62 ≤ IU < 0,69

Upwelling Kuat (SU) 26,5 ≤ SU < 26,9 0,92 ≤ SU ≤ 1,48 0,69 ≤ SU ≤ 0,76

Upwelling Sangat VSU <26,5 VSU > 1,48 VSU > 0,76
Kuat (VSU)

Dalam aplikasi untuk menunjukkan kekuatan upwelling lemah, menengah atau kuat sebaiknya kedua
klasifikasi SST dan klorofil-a di atas digunakan secara bersama-sama, tidak bisa berdiri sendiri-sendiri,
misalnya SST saja atau klorofil-a saja. Khusus untuk indeks upwelling dapat digunakan secara
tunggal untuk menentukan kriteria upwelling. Penggunaan salah satu parameter saja SST atau
klorofil-a saja, suatu saat akan mengalami kesulitan dalam menentukan batas upwelling, karena
pada periode tertentu SST di lautan bisa saja bernilai rendah (dingin) semua.
Berdasarkan kriteria upwelling pada Tabel 1 di atas, dapat digunakan untuk
memetakan lokasi upwelling di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Timor. Kriteria ini
dapat menjadi pembatas untuk mengetahui distribusi spasial dan luasan upwelling di Perairan Selatan
Jawa hingga Timor.
Kriteria ini hanya dapat digunakan di daerah upwelling di Perairan Samudera Hindia Selatan
Jawa hingga Timor karena data masukan untuk pembagian kriteria hanya berasal dari daerah
tersebut. Untuk memetakan sebaran dan luasan upwelling di lokasi lain, lebih baik membuat
situasi upwelling di lokasi tersebut. Jika dapat dibuat kriteria upwelling dengan memasukkan data dari
seluruh daerah upwelling di seluruh Indonesia, maka kriteria tersebut dapat digunakan secara umum
untuk seluruh perairan Indonesia.
Contoh aplikasi pemetaan distribusi spasial upwelling pada empat kasus variabilitas
iklim berdasarkan SST dan klorofil-a di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa hingga
Timor ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar tersebut menunjukkan perkembangan sebaran
upwelling yang kuat pada kejadian La Nina IOD(+) tahun 2007-2008, bulan Juni hingga Oktober.
Luas upwelling pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober berturut-turut adalah 55.630,8
km3
; 261.344,4 km3 ; 312.638,5 km3 ; 44.462
km3
; 70.873,9 km3.
Berdasarkan data pada Gambar 8, terlihat awal munculnya upwelling dengan intensitas kuat
umumnya terjadi pada bulan Juni, hal ini terjadi berkaitan dengan awal musim timur (Monsun
Tenggara), dimana angin Monsun Tenggara mulai berhembus dengan kuat ke arah barat daya di
sepanjang garis pantai selatan Pulau Jawa hingga Pulau Timor. Musim Timur pada bulan Juni telah
digambarkan oleh
[15] dan kemunculan upwelling pada bulan Juni juga telah sesuai dengan beberapa hasil penelitian
diantaranya [8], [9]. Kekuatan angin menentukan apakah upwelling yang terbentuk memiliki
intensitas yang kuat atau lemah. Pada kasus La Niña -IOD(-) tidak ditemukan upwelling dengan
intensitas kuat (Gambar 8), hal ini terjadi karena kekuatan angin yang berhembus disinyalir tidak
mampu membangkitkan upwelling dengan intensitas kuat karena secara umum kecepatannya paling
10
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
lemah
dan di antara
Pesisir
Konferensi ketiga
IOP. Seri: Ilmukasus lainnya Bumi
Pengetahuan [16]. dan Lingkungan 530 IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

11
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

a b

c d

Gambar 8. Gambar 8. Pemetaan spasial sebaran upwelling kuat pada kejadian La Nina-IOD(+) tahun
2007-2008 berdasarkan SST dan klorofil-a di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa
hingga Timor (a) bulan Juni,
(b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober
Puncak kejadian upwelling dengan sebaran area maksimum umumnya terjadi pada bulan
Agustus atau September. Luasan upwelling dengan intensitas kuat terutama pada saat kondisi
maksimum ditemukan bahwa upwelling paling luas terjadi pada saat La Niña -IOD (+) yaitu sebesar
312.638,5 km2 , kemudian disusul pada saat El Niño -IOD (+) yaitu sebesar 160.921,5 km2 , dan
yang paling sempit terjadi pada saat El Niño -IOD (-) yaitu sebesar 119.000,3 km (Gambar 9b).
Variabilitas area upwelling tampaknya berkaitan erat dengan kecepatan angin monsun [12].
Sedangkan variabilitas angin monsun dipengaruhi oleh ENSO dan IOD, hal ini terlihat pada kasus
La Niña -IOD (+). Secara teori, upwelling di selatan Jawa hingga Timor dilemahkan oleh
fenomena La Niña, namun nilai DMI positif yang tinggi (Gambar 9a) berdampak pada peningkatan
intensitas upwelling yang terjadi. Pada saat La Niña-IOD (+), tekanan udara rendah berada di
Samudera Hindia bagian barat dan tekanan udara tinggi berada di Samudera Hindia bagian timur, hal
ini menyebabkan angin bertiup kencang dari Samudera Hindia bagian timur menuju ke barat [17].
Semakin besar nilai indeks IOD positif, maka angin akan bertiup lebih kencang ke arah barat. Angin
merupakan pendorong utama terjadinya proses upwelling [9], [12]. Pada kasus La Niña-IOD (+) di
tahun 2008, kecepatan angin pada bulan Agustus hingga Oktober menunjukkan nilai yang paling
tinggi dibandingkan tiga kasus lainnya [16]. Dengan demikian, menjadi logis jika upwelling yang
terjadi juga memiliki sebaran spasial yang lebih luas hingga mencapai 312.638,5 km2 , yang memanjang
dari selatan Jawa Barat hingga Sumbawa (Gambar 8). Berdasarkan analisis statistik dari awal
kemunculan upwelling hingga mencapai puncaknya, ditemukan hubungan yang sangat kuat antara
luasan upwelling yang terjadi dengan nilai DMI dengan rata-rata koefisien korelasi sebesar 0,88
(Gambar 9a), sedangkan hubungan antara luasan upwelling yang terbentuk dengan SOI (indeks
ENSO) menunjukkan nilai rata-rata koefisien korelasi yang positif yaitu sebesar 0,53 (Gambar 9b).
12
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
Hal Pesisir
dan ini menunjukkan
Konferensi IOP. Seri: Ilmubahwa luasan
Pengetahuan upwelling
Bumi di selatan
dan Lingkungan 530 Jawa hingga Ti mor lebih dipengaruhi
IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
oleh nilai
(2020) IOD daripada ENSO.
012020

13
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020

0.8 120000
0.6
100000
0.4
0.2

Area Upwelling (km²)


80000
0

La IOD +
El IOD+

La IOD -
El IOD-
DMI

-0.2 60000
-0.4
40000
-0.6
-0.8
20000
-1
-1.2 0

Rata-rata DMI Area Upwelling Rata-


Rata
(b)
(a)
Gambar 9. (a) Perbandingan pola variabilitas DMI dan luasan upwelling, nilai korelasi (r) =
0,88; (b) Perbandingan pola variabilitas SOI (Indeks ENSO) dan luasan upwelling, nilai
korelasi (r) = 0,53

Gambar 10. (a) Indeks Dipole Mode rata-rata pada empat kasus variabilitas iklim, (b) Area upwelling
rata-rata pada empat kasus variabilitas iklim

4. Kesimpulan

Adanya hubungan antara menguat atau melemahnya upwelling dengan membesar atau
mengecilnya kisaran SST dan klorofil-a, menjadi bukti bahwa SST dan klorofil-a tidak hanya
sebagai indikator kualitatif ada atau tidaknya upwelling tetapi lebih jauh lagi, kisaran ini dapat
menjadi indikator kekuatan upwelling.

14
Konferensi Internasional ke-5 tentang Pembangunan Lingkungan Wilayah Tropis Penerbitan
dan Pesisir IOP. Seri: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 530
Konferensi IOP
doi:10.1088/1755-1315/530/1/012020
(2020) 012020
Berdasarkan kisaran SST, klorofil-a, dan indeks upwelling, fenomena upwelling di selatan
Jawa hingga Timor dapat diklasifikasikan menjadi empat kriteria, yaitu upwelling lemah (WU),
upwelling sedang (IU), upwelling kuat (SU), dan upwelling sangat kuat (VSU). Berdasarkan
kriteria upwelling tersebut, dapat dilakukan pemetaan lokasi upwelling, untuk mengetahui
distribusi spasial dan luasan upwelling di perairan Samudera Hindia selatan Jawa hingga Timor. Dua
indikator upwelling yaitu SST dan klorofil-a akan lebih akurat jika digunakan secara bersamaan.
Variabilitas ENSO dan IOD secara signifikan mempengaruhi peningkatan dan
penurunan kisaran indikator upwelling (SST, klorofil-a dan indeks upwelling), namun indeks
IOD jauh lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan indeks ENSO (SOI).

Ucapan terima kasih

Kami berterima kasih kepada Ibadur Rahman yang telah mengolah data. Terima kasih kepada Dr.
Dadang Kamihardja atas saran dan diskusi mengenai metodologi.

Referensi

[1] Trujillo A P, dan Thurman H V 2017 Dasar-dasar Oseanografi Pearson Education Inc (Amerika
Serikat) hal 633
[2] Wooster W S dan Reid J L 1963 John Wiley and Sons (New York) 2 253-80
[3] Forsbergh E D dan Joseph J 1964 Bull. inter-Am trop Tuna Commn. 8(9) 479-527
[4] Miller C B dan Wheeler P A 2012 Oseanografi Biologi Wiley-Blackwell (AS) hal 925
[5] Hendiarti N, Siegel H, dan Ohde T 2004 Investigasi Proses Diferensial Pesisir di Perairan
Indonesia dengan Menggunakan Data SeaWIFS, dalam Penelitian Laut Dalam Bagian II
Editor oleh Siegel DA,
Thomas A C, Marra J, Elsevier, (USA) 86-97
[6] Hendiarti N, Suwarso Aldrian, E Amri, K Andiastuti, R Sachoemar S I dan Wahyono I B 2005
J . Oseanografi I 18(4) 112-123
[7] Mathews C P, Ghofar A, Gede S, Hendiarti N, Arief D, Lestiana H, 2001 ed T Nishida P J Kailola
dan C E Hollingworth, (Jepang: Fishery GIS Research Group Saitama)
[8] Kunarso, Hadi S, dan Ningsih N S 2005 Jurnal Ilmiah Ilmu Kelautan 10 (2) 61 - 67
[9] Susanto R D, Gordon A L dan Zheng Q 2001 American Geophysical Union USA 28(8)
1599- 1602
[10] Susanto D, Marra J 2005 Jurnal Oseanografi 18(4) 124-7
[11] Yunwei Y, L Zheng dan Changlin C 2015 Acta Oceanol Sin 34 (1) 3-10
[12] Kunarso, A Ismanto, Situmorang R P, Wulandari S Y, 2018 International Journal of
Engineering and Technology (IJCIET) 9 (10) 742-751
[13] Admadipoera A S, Khairunisa Z, Koesuma D W 2015 IOP Conf Series: Ilmu Pengetahuan Bumi
dan Lingkungan 176 012018
[14] Kuswardani, R.T.D. 2013 Penentuan Indeks Upwelling Berdasarkan Pemodelan Numerik dan
Kaitannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Prosiding Seminar Hasil Penelitian Unggulan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Tahun 2013 (Jakarta: KKP) hal 155-163
[15] Wyrtki K A 1961 Laporan Naga Volume 2: Oseanografi Fisik Perairan Asia Tenggara,
(California: The University of California) hal 195
[16] Kunarso, Hadi S, Ningsih N S dan Baskoro M S 2011 Jurnal Ilmu Kelautan 16 (3) 171-180
[17] Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, dan Yamagata T 1999 J Nature 401, 360-363

15

Anda mungkin juga menyukai