Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM KLIMATOLOGI DASAR


ACARA III
ANALISIS DATA METEOROLOGI

Disusun oleh:
1. Anandira Ghinalulu F (14921)
2. Dhea Sintia P (14927)
3. Ika Indrawati (14932)
4. Oktavia Zuyyinal H (14939)
5. Dimas Pramudya (14964)
6. Hasna Anisah (14968)
Gol. / Kel. : A4/1
Asisten : Erin Destri

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
ACARA III
ANALISIS DATA METEOROLOGI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklim memiliki ciri yang kompleks baik dalam ruang dan waktu. Melalui
data unsur-unsur iklim yang di dapat maka gambaran mengenai iklim dapat
diketahui, maka dari itu data memegang peranan yang sangat penting untuk
mendapatkan iklim yang akurat. Cuaca serta iklim sama-sama mengacu pada
keadaan atmosfer pada suatu wilayah dan waktu tertentu. Cuaca dan iklim
berbeda dalam rentang waktu dan luas wilayah. Cuaca didefinisikan sebagai
keadaan atmosfer pada daerah dan waktu tertentu. Sedangkan iklim merupakan
keadaan atmosfer pada daerah yang lebih luas dalam kurun waktu yang panjang.
Dengan kata lain iklim yaitu rata-rata cuaca dalam periode waktu yang panjang
dan daerah yang lebih luas. Cuaca dan iklim tersebut di pengaruhi oleh adanya
rotasi dan revolusi bumi serta perbedaan letak lintang. Oleh sebab itu, terjadi
perbedaan cuaca dan iklim antara satu tempat dengan tempat lain. Proses
terjadinya cuaca dan iklim disebabkan oleh adanya perpaduan variabel iklim
yang sama, yang disebut dengan unsur ikim. Adapun unsur dari iklim tersebut
adalah suhu udara kecepatan angin, intensitas penyinaran matahari, panjang
penyinaran matahari, kelembapan udara, tekanan udara, tutupan awan, curah
hujan, dan evaporasi.
Meteorologi adalah suatu ilmu yang mempelajari gejala dari kejadian atau
peristiwa yang terjadi pada lapisan udara yang menyelubungi bumi atau
atmosfer. Meteorologi menganalisis tentang proses atau gejala fisika yang
berlangsung secara dinamis pada lapisan atmosfer bumi, dan lebih ditekankan
pada perubahan-perubahan kondisi atmosfer yang terjadi dalam waktu singkat,
misal fluktuasi harian unsur-unsur iklim. Dalam analisis meteorologi tersebut
dibutuhkan data. Data adalah nilai dari hasil pengukuran dari parameter tertentu
yang dinyatakan dalam bentuk angka maupun tidak. Masalah penanganan data
iklim mencakup hal-hal dari metode mendapatkan data yang merupakan sumber
gambaran iklim yang dapat dipercaya, pencatatan (pengarsipan), pengolahan
data, hingga penyajian informasi iklim yang dapat dimanfaatkan bidang-bidang
lain.
Pendekatan yang paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya iklim
adalah menyesuaikan sistem usaha tani dan paket teknologinya dengan kondisi
iklim setempat. Data yang benar dan lengkap melalui pengamatan akan
membuka kejelasan gejala dan perilaku cuaca atau keadaan iklim setempat dan
dapat digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan pertanian karena dunia
pertanian berkaitan erat dengan cuaca dan iklim sehingga data yang benar akan
sangat membantu kegiatan pertanian. Maka dari itu, analisis data meteorologi
sangatlah dibutuhkan, karena hal tersebut sangat berpengarauh langsung dalam
kehidupan manusia. Analisis data meteorologi juga sangat penting dalam sektor
pertanian diantaranya adalah penentuan waktu tanam dan jenis perlakuan
terhadap suatu tanaman. Selain itu, analisis data meteorologi diperlukan untuk
dapat dibuat strategi – strategi yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian.

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Melatih mahasiswa untuk mengolah dan menganalisis data meteorologi
pertanian serta menyajikan dalam bentuk siap pakai.
2. Mempelajari hubungan timbal balik diantara anasir-anasir iklim
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pengukuran anasir cuaca pada waktu tertentu akan berbentuk data yang
belum menunjukkan nilai sebenarnya atau data mentah. Dari data mentah tersebut
harus diubah lagi menjadi data matang yang sudah dapat memberikan nilai yang
sebenarnya. Setelah itu, data matang diolah untuk dapat dilakukan analisis hingga
terbentuk data siap pakai yang merepresentasikan data tersebut. Data siap pakai
tersebut digunakan untuk menentukan kondisi iklim suatu daerah yang diamati.
Kondisi iklim dari wilayah satu dengan wilayah lainnya hampir tidak sama
karena adanya variasi iklim di wilayah tersebut. Salah satu penyebab variasi iklim
hingga terjadinya anomali di Indonesia adalah ENSO ( El Nino Southern
Oscillation). Fenomena ENSO ini terbagi menjadi dua, yaitu El Nino dan La Nina.
Fenomena El Nino terjadi saat peningkatan suhu permukaan laut di bagian timur
dan tengah Samudra Pasifik yang terkait dengan penurunan curah hujan di
Indonesia. Sementara itu, La Nina terjadi saat penurunan suhu permukaan laut di
bagian timur dan tengah Samudra Pasifik yang terkait dengan peningkatan curah
hujan di Indonesia (Rejeki, et.al., 2017). Terjadinya El Nino tidak teratur, namun
cenderung terjadi setiap 2-4 tahun atau 4-6 tahun. Fenomena El Nino ini sering
diikuti oleh La Nina atau sebaliknya, meskipun tidak selalu (Pramova et al., 2013).
Istilah El Nino awalnya digunakan untuk menggambarkan keadaan tahunan
arus hangat lemah yang menyusuri pantai selatan Peru dan Ekuador yang
menyebabkan turunnya tangkapan ikan. Keadaan yang berkepanjangan dari air
permukaan yang hangat telah menyebabkan gangguan ekosistem pesisir yang
meluas yang melibatkan ikan, populasi burung pemakan ikan dan kegiatan ekonomi
yang berkaitan dengan penangkapan ikan dan pertanian (Glantz, 2001).
Southern Oscillation merupakan sistem imbangan tekanan udara yang
ditunjukkan oleh tinggi rendahnya tekanan udara di Indonesia Pasifik Ekuator barat
dan Pasifik Ekuator timur serta kuat lemahnya Sirkulasi Walker. Sirkulasi ini
merupakan sirkulasi udara barat-timur an regional global, yang disebabkan
perbedaan suhu antara daratan dan lautan di daerah ekuator. Pada negara Indonesia
sirkulasi ini lebih disebabkan karena perbedaan suhu muka laut antara Pasifik
ekuator barat dan timur. Kuat atau lemahnya SO diukur dari selisih tekanan udara
permukaan antara. Nilai SOI positif hingga positif kuat menunjukkan kejadian dari
La Nina, sedangkan nilai SOI negatif hingga negatif kuat menunjukkan kejadian El
Nino (Sitompul & Nurjani, 2013).
Faktor lain yang menyebabkan variabilitas iklim di Indonesia selain ENSO
adalah IOD (Indian Ocean Dipole) yang merupakan pola variabilitas internal
dengan suhu permukaan laut yang anomali rendah di Sumatera dan suhu permukaan
laut yang tinggi di Samudra Hindia bagian barat, disertai angin dan curah hujan
yang menyertainya anomali (Nurutami & Hidayat. 2016). Dipole mode positif
(Positive Dipole Mode) terjadi pada saat kondisi suhu muka laut Samudera Hindia
di sebelah barat Sumatera lebih dingin daripada suhu normalnya dibandingkan
dengan wilayah timur Afrika sehingga menyebabkan massa udara mengalir dari
bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan curah hujan di
wilayah Indonesia bagian barat akan berkurang, begitu sebaliknya dengan dipole
mode negatif (Supriyadi, 2015). Diperkirakan bahwa IOD memiliki hubungan
dengan ENSO melalui perpanjangan Sirkulasi Walker ke barat dan arus masuk
Indonesia yang terkait (aliran air laut tropis yang hangat dari Pasifik ke Samudra
Hindia). Oleh karena itu, kejadian IOD positif sering dikaitkan dengan El Niño dan
kejadian negatif dengan La Niña (Bureau of Meteorology, 2017).
III. METODOLOGI
Praktikum Klmiatologi Dasar Acara III mengenai Analisis Data Meteorolgi
telah dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2018 di Laboratorium Agroklimatologi,
Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bahan yang dibutuhkan antara lain data bulanan selama satu tahun dari stasiun
meteorologi yang tediri atas data curah hujan (CH), kelembaban nisbi (RH),
evaporasi (EV), suhu termometer bola basah (TBB), suhu termometer bola kering
(TBK), panjang penyinaran (PP), dan intensitas penyinaran (IP) yang digunakan
untuk analisis, penyajian dan interpretasi data. Sedangkan untuk analisis regresi dan
korelasi diperlukan data T, RH, PP, IP, dan EV bulanan selama satu tahun.
Dalam menyajikan dan mengintepretasi data meteorologi pertanian
memerlukan pembagian kerja yaitu dengan membagi mahasiswa menjadi beberapa
kelompok menurut stasiun meteorologi sebagai sumber data. Untuk menghitung
banyaknya curah hujan yang pertama kali dilakukan adalah menghitung jumlah
curah hujan perdasarian, tinggi curah hujan bulanan, dan curah hujan tahunan.
Kemudian dihitung jumlah hari hujan selama setahun, dibuat histogram curah hujan
perdasarian dan curah hujan pertahun, bulan-bulan basah, dan bulan-bulan kering
menurut Mohr.
Untuk mengolah data suhu udara (TBB dan TBK) dihitung rata-rata suhu
harian, dengan cara suhu udara pada pukul 07.00 dikali dua, ditambah suhu udara
pada pukul 13.00 dan ditambah lagi dengan suhu udara pada pukul 18.00, kemudian
data tersebut dibagi empat. Untuk menghitung suhu bulanan dilakukan dengan cara
membagi jumlah suhu harian selama satu bulan dengan jumlah hari dalam satu
bulan tersebut. Sedangkan untuk menghitung suhu tahunan dilakukan dengan cara
membagi jumlah suhu bulanan selama satu tahun dengan jumlah bulan dalam satu
tahun (12 bulan). Atau dapat digunakan rumus Braak yaitu T tahunan = 26,3-0,6h;
suhu maksimum = 31,3-0,62h; dan suhu minimum = 22,8-0,53h. Selanjutnya,
dibuat grafik suhu bulanan selama satu tahun.
Untuk menghitung kelembaban relatif udara dapat dilakukan dengan rumus
perhitungan suhu harian dan suhu tahunan., dengan dasar selisih TBB dan TBK
pada pukul 07.00, 13.00, dan 18.00. kemudian dibuat grafik ayunan RH
(kelembaban relatif udara) bulanan selama satu tahun dan yang terakhir diberikan
pembahasan mengenai pola ayunan T dan RH bulanan selama satu tahun.
Untuk menghitung panjang penyinaran (PP), intensitas penyinaran (IP), dan
evaporasi (EV) mula-mula dihitung rerata panjang penyinaran, intensitas
penyinaran dan evaporasi bulanan selama satu tahun. Kemudian dibuat grafik rerata
panjang penyinaran bulanan, intensitas penyinaran, dan evaporasi selama satu
tahun. Dan yang terakhir dibahasan mengenai pola ayunan panjang penyinaran (PP),
intensitas penyinaran (IP), dan evaporasi (EV) selama satu tahun.
Untuk analisis regresi dan analisis korelasi, dilakukan penghitungan nilai
regresi dan korelasi dengan bantuan data harian selama setahun diantara dua anasir
iklim. Analisis dilakukan dengan menggunakan kalkulator sehingga diperoleh
persamaan regresi y = a + bx dan koefisien korelasi (r). Dan yang terakhir dibuat
grafik persamaan regresi dari hubungan antara anasir iklim tersebut serta
dibandingkan dengan keeratan masing-masing hubungan.
IV. HASIL PENGAMATAN
Lokasi : Kota Bandung

Suhu Rata- Curah Hujan Curah


Suhu Rata-
rata Tahun Rata-rata Hujan Rata-
Bulan rata Tahun IOD ENSO
2004-2014 Tahun 2004- rata Tahun
2014 (oC)
(oC) 2014 (mm) 2014 (mm)

1 23.35019585 23.54642857 195.67 253.9 -0,4 -0,35


2 23.1720936 24.65217391 280 81.5 -0,1 -0,4
3 23.50064516 24.73928571 239.61 246.6 -0,6 -0,4
4 23.57766667 25.34166667 273.37 195.1 0,2 0,3
5 23.57677419 24.85483871 197.1 176.7 -0,1 0,45
6 23.20166667 23.59666667 118.13 173 0,1 0,55
7 22.82903226 23.01290323 68.58 164.8 -0,7 0
8 23.15806452 23.20645161 31.82 119.8 -0,45 0,2
9 23.74876923 23.77666667 106.58 0.6 -0,8 0,15
10 24.10572581 24.35806452 128.2 60.8 -0,65 0,4
11 23.63066667 23.54230769 274.06 246.8 0,6 0,6
12 23.46544624 23.75806452 336.6 235.5 0,15 1,2
V. PEMBAHASAN
400

350

300

250

200 10 tahun
2014
150

100

50

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 3.3 Curah Hujan selama 10 tahun (2004-2013) dan tahun 2014

Curah hujan pada tahun 2014 mengalami perbedaan yang signifikan dengan
rata-rata curah hujan pada 10 tahun terakhir. Pada bulan Januari curah hujan naik
mencapai 60 mm dari rata-rata curah hujan 10 tahun. Pada bulan Februari curah
hujan mengalami penurunan yang sangat fliktuatif yaitu dari 250 mm menjadi 80
mm dan menunjukkan perbedaan fluktuatif dengan rerata 10 tahun dan hingga tiga
kali lipat di bawahnya. Curah hujan pada bulan Maret mengalami kenaikan dan
sama dengan rerata curah hujan 10 tahun. Pada maret 2014, curah hujan mengalami
penurunan dan curah hujan 10 tahun mengalami kenaikan sehingga ada perbedaan
sebesar 70 mm. Curah hujan pada Mei 2014 dengan rerata 10 tahun hampir sama.
Data curah hujan dari bulan Mei- Juli 2014 tidak mengalami perubahan banyak
yang artinya konstan. Sedangkan pada rerata 10 tahun mengalami penurunan yang
cukup besar sehingga perbedaan antara curah hujan 2014 dengan rerata 10 tahun
cukup bsar. Pada bulan agustus 2014 dan rerata 10 tahun mengalami penurunan.
September 2014 curah hujan berada pada kisaran 0 mm yang artinya tidak ada hujn
yang terjadi dan pada rerata 10 tahun terdapat hujan sbanyak110 mm. Pada bulan
Oktober-Desmber 2014 dan rerata 10 tahun, curah hujan sama-sama mengalami
kenaikan yang signifikan. Menurut data ENSO dan IOD, pada bula Januari-April
2014, Indonesia mengalami curah hujan dan kekeringan yang netral sehingga tidak
terlalu kering dan tidak terlalu basah sehingga kebutuhan air tercukupi. Pada bulan
Mei- Oktober, Indonesian mengalami kekeringan karena data IOD menunjukkan
negative yang artinya kering dan ENSO positif yang artinya juga kering. Ada
perbedaan dari data grafik dengan data IOD dan ENSO pada bulann Februari
dikarena data IOD dan ENSO di Indonesia sedangkan data grafik hanya diambil di
Bandung.
26
25.5
25
24.5
24
10 tahun
23.5
2014
23
22.5
22
21.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 3.4 Suhu rata-rata selama 10 tahun (2004-2013) dan tahun 2014
Pola suhu rata-rata pada tahun 2014 dan sepuluh tahun terakhir hampir sama
walaupun terdapat naik maupun turunnya suhu pada bulan-bulan tertentu
dibandingkan sepuluh tahun terakhir. Tahun 2014 diawali dengan suhu yang lebih
hampir sama pada bulan januari. Pada bulan Februari suhu mengalami kenaikan dan
hingga puncaknya yaitu pada bulan Maret yaitu mencapai 25,4 derajad celcius.
Sedangkan pada rerata 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang
signifikan sehingga perbedaan antar suhu rerata 10 tahun dengan tahun 2014
mengalami perbedaan. Pada bulan Mei-Juli 2014 maupun rerata 10 tahun
mengalami penurunan dan perbedaan antara suhu rerata 10 tahun dengan tahun
2014 tidak terlalu jauh. Bulan Agustus hingga Desember 2014 dan rerata 10 tahun
mengalami kenaikan dan perbedaan suhu antar keduanya sangat kecil. Suhu dapat
dipengaruhi oleh musim dan curah ujan. Jika musim kemarau dan curah hujan
sedikit, maka suhu akan tinggi. Begitu pula sebaliknya, jika musim hujan dan curah
hujan banyak, suhu akan rendah. pada Januari 2014, curah hujan tinggi, sehingga
suhu rendah. pada bulan Febriari curah hujan sangat rendah dan suhu meningkat.
Pada curah hujan 0 mm bulan September, suhu yang terdata 23,75 derajad celcius
dan masih dikatakan netral, tidak sesuai dengan teori yang ada. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh factor lain.
Indonesia dan benua Amerika dipisahkan oleh Samudra Pasifik yang
kemudian dibagi menjadi 4 zona dengan zona 3 dekat dengan benua Amerika dan
zona 4 dekat dengan Indonesia. Diantara zona 3 dan 4 disebut zona perpotongan
atau zona 3,4 yang zona tersebut lebih banyak berada dizona 3 dibandingkan zona
4. Pada saat zona 3,4 naik atau dapat dikatakan “hangat” menyebabkan sedang
terjadi el niño di benua Amerika dan pada saat zona 3,4 turun menyebabkan basah
di Indonesia dan kering di Amerika. Pada umumnya Indonesia memiliki dua musim,
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara umum musim hujan terjadi antara
bulan Oktober-Maret dengan puncaknya sekitar bulan Desember sampai Februari.
Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan April-September dengan puncaknya
sekitar bulan Juni sampai Agustus. Meskipun musim hujan dan kemarau terjadi
secara periodik, tetapi panjang musim dan jumlah curah hujan untuk setiap musim
tidaklah selalu sama.
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat kita amati perbedean yang
terdapat antara La Nina dan El Nino. El-Nino dalam bahasa Spanyol dapat diartikan
sebagai “anak lelaki”. Di kemudian hari para ahli juga menemukan bahwa selain
fenomena menghangatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, terjadi pula
fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik
sekitar Equator akibat menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini
selanjutnya diberi nama La-Nina yang dalam bahasa Spanyol berarti “anak
perempuan” (Chaeran, 2017). Lebih lengkapnya El Nino merupakan suatu
fenomena perubahan iklim yang secara global yang diakibatkan karena
memasnasnya suhu di permukaan air laut Pasifik bagian timur. Perubahan kecil
pada pola normal suhu permukaan laut di Pasifik barat menyebabkan perubahan
dalam musiman angin permukaan timuran sepanjang ekuator. Perubahan angin
biasanya terlihat sebagai anomali baratan yang menguatkan pertumbuhan anomali
suhu permukaan laut dan anomali suhu permukaan laut dan angin merambat ke arah
timur untuk meningkatkan kondisi El Nino. Selama fase dewasa El Nino, anomali
sirkulasi walker muncul berlawanan dengan kondisi normalnya, konveksi di barat
ditekan dan di bagian timur menguat. Setelah konveksi menurun di Pasifik barat, El
Nino menyebabkan kondisi yang lebih kering di Indonesia (Fadholi,2013). Dampak
yang terjadi akibat El Nino diantaranya angin pasat timur menjadi melemah,
Melemahnya sirkulasi Moonson, Berkuragnya akumulasi curah hujan yang berada
di wilayah Indonesia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan di bagian Utara
Sehingga cuaca di daerah ini cenderung terasa lebih dingin dan juga kering,
Menyebabkan cuaca cenderung terasa hangat dan juga lembab di sepanjang daerah
Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat.
La Nina adalah kebalikan dari El Nino. Berbeda halnya dengan El Nino, La
Nina ini tidak bisa dilihat secara fisik. Selain itu terjadinya La Nina ini periodenya
tidak tetap.Dampak yang terjadi akibat La Nina diantaranya Menguatnya angin
pasat timur, Menguatnya sirkulasi Monsoon, Di wilayah Pasifik bagian Timur,
akumulasi curah hujan menjadi berkurang, haal ini akan menjadikan cuaca menjadi
lebih dingin dan juga kering, dan terjadinya potensi hujan yang turun di sepanjang
perairan Pasifik Ekuatorial Barat, yakni meliputi Indonesia, Malaysia, dan juga
bagian utara Australia menyebabkan cuaca menjadi hangat dan juga lembab.
El Nino dan La Nina merupakan anomali iklim global yang semakin sering
diper-debatkan akhir-akhir ini mengingat pengaruh-nya yang signifikan terhadap
produksi pangan dan komoditas pertanian lainnya. Gejala munculnya El Nino
biasanya dicirikan dengan meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik secara
berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatnya perbedaan tekanan udara
antara Darwin dan Tahiti (IPCC, 2001). Secara meteo-rologis kejadian El Nino
tersebut dan juga La Nina ditunjukkan oleh Southern Osccilation Index (SOI) dan
perubahan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik). Nilai SOI tersebut sangat
bervariasi menurut bulan atau dalam periode waktu yang lebih singkat lagi akibat
perubahan perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti. Pada peristiwa El
Nino, nilai SOI turun dibawah kisaran normal dan sebaliknya pada kejadian La
Nina.
Besaran curah hujan dan nilai SOI sangat variatif menurut bulan, mingguan
atau harian. Berdasarkan hal tersebut maka nilai SOI yang ekstrim tidak selalu
menimbulkan dampak serius terhadap curah hujan dan ketersediaan air untuk
kegiatan pertanian, jika terjadinya nilai SOI yang ekstrim tersebut hanya
berlangsung dalam jangka waktu relatif singkat, misalnya selama satu minggu.
Namun jika terjadi nilai negatif SOI yang ekstrim (kurang dari -10) selama beberapa
bulan ver-turut-turut maka dapat dipastikan akan menim-bulkan dampak signifikan
terhadap produksi pangan akibat penurunan curah hujan dan suplai air dalam masa
yang panjang. Dengan demikian potensi dampak El Nino terhadap produksi pangan
sebenarnya sangat tergan-tung kepada dua faktor yaitu : (1) besaran nilai negatif
SOI yang mencerminkan tingkat ano-mali iklim yang selanjutnya dapat berdampak
pada penurunan curah hujan, dan (2) jangka waktu berlangsungnya peristiwa El
Nino tersebut.
El Nino-Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena yang
mempengaruhi aktivitas hidroklimat global di antaranya adalah curah hujan
,temperatur dan evaporasi. ENSO merupakan fenomena yang terdiri atas dua fase
yaitu fase panas (El Nino) serta fase dingin (La Nina); adapun Southern Oscillation
(SO) merupakan jungkat-jungkit perbedaan tekanan atmosfer antara Australia-
Indonesia dengan Samudera Pasifik bagian Timur (Pramova, 2013). Curah hujan di
Indonesia juga dipengaruhi oleh aktivitas ENSO karena terletak pada Inter-Tropical
Convergence Zone (ITCZ). Pengaruh ENSO berbeda-beda antar wilayah
bergantung pada lokasi dan topografi (Rezeki et al., 2017) . Wilayah beriklim
monsun di Indonesia merupakan wilayah yang terkena dampak ENSO terbesar
karena terkait dengan sirkulasi angin di belahan bumi Utara (Asia) dan angin dari
belahan bumi Selatan (Australia).
Fenomena ENSO terjadi ketika suhu udara di Samudera Pasifik meningkat
sehingga arah angin berubah. El Nino menyebabkan pergerakan awan mengarah ke
timur sehingga curah hujan di Amerika Selatan meningkat. Pergerakan awan
mengarah ke barat ketika La Nina sehingga curah hujan di Amerika Selatan
meningkat, sebaliknya Indonesia, Australia dan Papua Nugini menerima hujan lebih
banyak. Wilayah sebelah barat Samudera Pasifik seperti Indonesia dan Australia
mengalami kekeringan, sedangkan di Amerika Selatan terjadi banjir saat El Nino ().
Indikator untuk menentukan terjadinya El Nino maupun La Nina adalah SST
(Sea Surface Temperature), SOI (Southern Oscillation Index) dan MEI
(Multivariate ENSO Index). Indikator MEI merupakan indikator gabungan antara
SOI dan SST sehingga menghasilkan klasifikasi waktu ENSO yang relevan untuk
berbagai tempat di dunia. Suatu tahun dinyatakan terjadi El Nino (La Nina) apabila
nilai MEI >0,5 (< 0,5) untuk 5 bulan berturut-turut atau lebih antara April tahun (0)
sampai Maret tahun berikutnya (+) serta puncak MEI >1 (< -1). Indikator MEI
jarang digunakan untuk analisis terjadinya ENSO di Indonesia, biasanya
menggunakan SST Nino 3.4. Tahun ENSO menurut indikator Nino 3.4 adalah tahun
El Nino (La Nina) adalah tahun dengan nilai tertinggi > 1+standar deviasi (< 1-
standar deviasi) (Kiem & Franks, 2001). Jika dikaitkan dengan curah hujan dan
suhu rata-rata tahun 2004-2013 dan tahun 2014 secara sederhana dikatakan bahwa
nilai ENSO minus (-) menunjukkan keadaan basah di Indonesia, sebaliknya nilai
plus (+) menunjukkan keadaan kering di Indonesia.
Suhu permukaan laut di daerah tropis sangatlah bervariasi baik dalam skala
ruang dan waktu. Interaksi yang cukup kuat antara atmosfer dan lautan di wilayah
Samudera Hindia menghasilkan fenomena Dipole Mode yang didefinisikan sebagai
gejala ataupun tanda-tanda menaiknya suhu permukaan laut yang tidak normal di
Samudera Hindia sebelah selatan India yang diiringi dengan menurunnya suhu
permukaan laut tidak normal di perairan Indonesia.Indian Ocean Dipole Mode
(IOD) didefinisikan sebagai perbedaan anomali Sea Surface Temperature (SST)
antara Bagian Barat (10°LU-10°LS; 60°BT-80° BT) dan Timur (0°-10°LS; 90°BT-
110° BT) dari Samudera Hindia (Supriadi,2015). Dua kutub pusat tekanan rendah
terletak di pantai timur benua Afrika dan di pantai barat Sumatera, Indonesia.
Indian Ocean Dipole Mode (IOD) secara langsung maupun tidak langsung
terkait erat dengan adanya Sirkulasi Walker (Walker Circulation) yang terjadi di
sepanjang belt ekuator akibat adanya perbedaan tekanan antara wilayah bagian
timur Samudera Hindia dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika
sehingga aliran udara berlangsung secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi
(wilayah dengan kumpulan massa udara dingin) menuju wilayah dengan tekanan
udara rendah (wilayah dengan kumpulan massa udara hangat).
Fenomena IOD juga mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola curah
hujan yang terjadi di suatu kawasan tertentu. Variasi curah hujan antara wilayah
Jawa Barat diduga memiliki hubungan yang terbalik dengan curah hujan yang
terjadi di sebelah timur Afrika. Hal ini berarti pada saat wilayah Jawa Barat
mengalami curah hujan di atas normal hingga beberapa kawasan mengalami
kebanjiran, maka di wilayah timur Afrika mengalami kekeringan, begitupun
sebaliknya. Berdasarkan fenomena tadi, maka dikenal adanya dua macam IOD,
masing-masing IOD Positif (+) dan IOD Negatif (-).
Manfaat dari data analisis klimatologi adalah penentuan masa tanam, masa
penyemprotan pupuk, penyemprotan pestisida, dan lain-lain. Contohnya data curah
hujan dapat digunakan sebagai perkiraan untuk irigasi, seberapa besar jumlah air
yang diperlukan saat musim kemarau, hal ini dapat dilihat dari rata-rata curah hujan
tahunan. Selain itu juga dapat mengetahui pola tanam dan jenis tanaman yang akan
di tanam, karena tidak semua jenis tanaman dapat di tanam pada curah hujan tinggi
atau rendah. Selain itu juga dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap akibat-
akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh keadaan cuaca/iklim yang ekstrem
misalnya kekeringan, banjir serta angin kencang, menyesuaikan diri atau berusaha
untuk menyelenggarakan kegiatan dan usaha yang serasi dengan sifat cuaca dan
iklim sehingga terhindar dari hambatan atau kerugian yang diakibatkannya,
menyelenggarakan kegiatan dan usaha di bidang teknik, sosial dan ekonomi dengan
menerapkan teknologi pemanfaatan sumber daya cuaca dan iklim.
VI. KESIMPULAN
1. Anasir - anasir dari iklim akan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Parameter yang biasanya diukur dan diolah datanya adalah suhu udara,
kelembapan udara, panjang penyinaran, evaporasi, curah hujan, dan kecepatan
angin.
2. Untuk mengetahui hubungan antar anasir - anasir iklim dapat digunakan nilai
regresi yang mendekati +1, 0, -1. Analisis data meteorologi dengan metode
statistika tersebut sangat baik digunakan untuk mengetahui adanya hubungan
anasir-anasir iklim secara timbal balik.
DAFTAR PUSTAKA
Bureau of Meteorology. 2017. The Indian Ocean Dipole (IOD).
http://www.bom.gov.au/ climate/ enso/history/ln-2010-12/IOD-what.shtml
Diakses pada 3 September 2018.
Chaeran, M., 2017. Dampak el nino dan la nina terhadap pelayaran di Indonesia.
Jurnal Sains dan Teknologi Maritim.
Fadholi, Akhmad. 2013. Uji peribahan rata-rata suhu udara dan curah hujan di kota
pangkalpinang. Jurnal Matematika Sains dan Teknologi. 14(1) : 11-25.
Glantz, M.H. 2001. Current of change : impact of El Nino and La Nina on climate
and society. Cambridge University Press : Cambridge
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate Change 2001:
Impacts, Adaptation and Vulnerability, Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Nur’utami, M.N. dan R. Hidayat. Influences of IOD and ENSO to Indonesian
rainfall variability: role of atmosphere-ocean interaction in the Indo-Pacific
sector. Procedia Environmental Sciences 33 : 196-203.
Pramova, E., B. Locatelli, A. Mench, E. Marbyanto, K. Kartika, dan H. Prihatmaja.
2013. Mengintegrasikan Adaptasi ke dalam REDD+: Dampak Potensial dan
Rentabilitas Sosial di Setulang, Kabupaten Malinau, Indonesia . CIFOR,
Indonesia.
Rejeki, H.A, Munasik, and Kunarso. 2017. The effect of ENSO to the variability of
sea surface height in western Pacific Ocean and eastern Indian Ocean and its
connectivity to the Indonesia Through flow (ITF). Earth and Environmental
Science 55: 1-7.
Sitompul, Z. dan E. Nurjani. 2013. Pengaruh El Nino Southern Oscillation (ENSO)
terhadap curah hujan musiman dan tahunan di Indonesia. Jurnal Bumi
Indonesia 2 : 11-18.
Supriyadi, S. 2015. Prediksi total hujan bulanan di Tanjung pandan menggunakan
persamaan regresi dengan predictor SST Nino 3.4 dan Indian Ocean Dipole
(IOD). Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi 16 : 1-8.

Anda mungkin juga menyukai