A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari keadaan cuaca dan iklim sangat mempengaruhi segala aktivitas
manusia. Menurut Bayong (2004), manusia dapat bertahan sampai satu hari tanpa air di
daerah gurun yang paling panas, tetapi tanpa atmosfir manusia hanya dapat bertahan
beberapa menit saja. Atmosfir terutama biosfir yang berada di sekeliling manusia mempunyai
karakteristik tertentu dalam hal suhu, kelembaban, kecepatan dan arah angin, curah hujan dan
sebagainya. Cuaca merupakan keadaan udara pada saat tertentu dan wilayah tertentu yang
relatif sempit dan jangka waktu singkat. Cuaca terbentuk dari gabungan unsur-unsur cuaca
yang hanya beberapa jam saja. Misalnya keadaan udara pada pagi hari dapat berubah pada
siang hari, sore hari, dan malam hari. Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu yang
relatif lama dan meliputi wilayah luas. Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan
kombinasi dari variabel-variabel atmosfir yang sama yang disebut unsur-unsur iklim.
Dalam pengelolaan cuaca (iklim) untuk bidang pertanian data cuaca yang benar sangat
dibutuhkan. Penyasuaian tanaman dengan cuaca (iklim) suatu daerah, peramalan awal dan
akhir musim hujan atau kemarau untuk kegiatan pertanian. Penyesuaian (modifikasi) cuaca
(iklim) dan penggantian satu atau beberapa unsur cuaca dibutuhkan data cuaca yang benar
dan dari hasil pengamatan yang panjang. Data yang benar tentunya dihasilkan dari peralatan
yang baku, cara, dan waktu pengamatan yang mengikuti aturan yang disepakati secara
nasional. Peralatan meteorologi haruslah dapat menghasilkan data yang benar dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kemudian data ini dapat dibandingkan dengan data
di tempat lain, sehingga kita dapat menilai cuaca dan iklim.
B. Tujuan
1. untuk mengetahui dan menganalisis data pengukuran suhu dan kelembaban harian selama
kurang lebih 38 hari.
Pengamatan bertempat di Green House UMY yang dilaksanakan mulai pada 28 Oktober
2022 sampai dengan 4 Desember 2022 selama 38 hari, pengamatan dilakukan tiga kali
sehari untuk mengetahui suhu dan kelembaban harian.
GRAFIK
35
30
25
Suhu (C)
20
15
10
0
Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37
Kelembaban Relatif
100
80
TRH2 dan RH
60
40
20
0
HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI HARI
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37
TRH2 RH
B. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan salah satu bagian dalam siklus air, dan memiliki peran
yang penting bagi pertanian, hidrologi, ekologi dan bidang lainnya. Wang et al.
(2012) mendefinisikan evapotranspirasi sebagai perubahan wujud dari H2O cair
menjadi uap atau gas serta bergerak dari bidang penguap (permukaan tanah dan
vegetasi) ke atmosfir. Perhitungan evapotranspirasi antara lain diperlukan untuk
menentukan besarnya penggunaan air konsumtif untuk tanaman, analisis ketersediaan
air, kapasitas pompa untuk irigasi, air yang dialirkan melalui saluran irigasi dan
kapasitas waduk.
Laju evapotranspirasi dapat diukur secara langsung atau dapat juga diestimasi dengan
beberapa pendekatan atau metode seperti pendekatan iklim mikro maupun pendekatan
empirik. Pendugaan nilai evapotranspirasi antara lain dapat dilakukan dengan
menggunakan metode Nisbah Bowen dan metode FAO Penman-Monteith. Beberapa
peneliti di berbagai negara telah membuktikan kehandalan metode Nisbah Bowen,
terutama menyangkut proses-proses fisik (pemindahan energi) di atas permukaan
tajuk yang sulit dijelaskan melalui metode lain dalam kaitannya dengan
evapotranspirasi. Pengukuran dengan metode Nisbah Bowen dapat dilakukan
langsung di lapangan (in situ) tanpa gangguan fisik terhadap lahan dan hasil
pendugaan dapat menghitung laju evapotranspirasi dalam periode pendek, misalnya
per jam atau tiap setengah jam (Grant, 1975).
C. Penentuan Klasifikasi Iklim
Perubahan iklim saat ini juga dipengaruhi oleh fenomena El-Nino dan fenomena La-
Nina. Fenomena ini juga menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah curah
hujan untuk beberapa daerah di Indonesia. Seiring dengan sering terjadinya perubahan
iklim maka dilakukan penambahan pos-pos penakar curah hujan yang kemudian
timbul perubahan tipe – tipe iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt–Ferguson.
Menurut Rafi’i (1995) klasifikasi Schmidt– Ferguson memiliki beberapa klasifikasi
iklim antara lain sangat basah, basah, agak basah, sedang, agak kering, kering, sangat
kering, dan luar biasa kering. Klasifikasi iklim Oldeman tergolong klasifikasi yang
baru di Indonesia. Klasifikasi ini cukup berguna terutama dalam klasifikasi lahan
pertanian tanaman pangan di Indonesia. Oldeman membuat dan menggolongkan tipe-
tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan
kering secara berturut-turut. Dengan iklim yang berganti ganti pada suatu wilayah
maka dengan klasifikasi Oldeman ini wilayah tersebut dapat menentukan tindakan
dan waktu kapan petani dapat menanam padi dan kapan juga petani dapat menanam
tanaman palawija.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan praktek yang dilakukan, hal ini dapat disimpulkan suhu tertinggi terjadi pada
tanggal 9 dengan hasil TRH 1 sebesar 28,5 mm/hari dan suhu terendah pada hari ke-32, TRH
1 24,4 mm/hari. pada suhu Fluktuasi, dari kelembaban tertinggi pada tanggal 28 Hasil TRH 2
35,0 mm/hari, sedangkan data terendah pada hari ke 8 TRH 2 menghasilkan 24,0 mm/hari.
Faktor yang mempengaruhi suhu seperti sudut sinar matahari, ketinggian tempat, intensitas
cahaya awan matahari Meskipun kelembaban dipengaruhi oleh penguapan, tekanan udara dan
radiasi matahari.
DAFTAR PUSTAKA
Kreith, Frank. 1991. Prinsip-Prinsip Perpindahan Panas Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Grant DR. 1975. Comparisons of evaporation measurement using different methods. Quart. J.
Roy. Meteorol. Soc. 101(429):543-550.doi:10.1002/qj .49710142911.
A. Lahan Sawah
Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia adalah 8,1 juta ha, sekitar 43%
terdapat di Jawa, dan sekitar 57% terdapat di luar Jawa (Ditjen Prasarana dan Sarana
Pertanian 2012). Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya
kebutuhan akan lahan untuk berbagai sektor, konversi lahan sawah cenderung
mengalami peningkatan, di lain pihak pencetakan lahan sawah baru (ekstensifikasi)
mengalami perlambatan (Sutomo 2004; Agus et al. 2006 dan Sudaryanto 2009).
Aspek kuantitas, aksesibilitas, keselamatan (food safety) dan distribusi merupakan
unsur penting dalam ketahanan pangan (Suryana 2005).
Di Pulau Jawa akibat konversi lahan, sawah baku cenderung berangsur berkurang
luasnya, sedangkan di luar Jawa berangsur bertambah. Sebagai dampak adanya
konversi lahan sawah yang terjadi secara alamiah dan sulit untuk dihindari,
pengembangan lahan sawah di luar Jawa harus lebih diintensifkan. Perlambatan
ekstensifikasi ditambah dengan desakan terhadap konversi lahan sawah untuk
pembangunan sektor lain menyebabkan luas baku lahan sawah semakin berkurang.
Hasil diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada titik ini LS adalah 7o
49' 18,9" dengan E 110o 19' 5,2". Ketinggian 111 mdpl dan kemiringan 1°. Di negara
ini Suhu bola kering 26°C dan suhu bola basah 25°C Kecerahan 35.640 lux Karena
kelembapan relatif 91%. Masalah yang diamati terjadi di sawah adalah Sawah
memiliki kiambang gulma dan ada bug dan hama. Oleh cara pengendalian gulma
secara langsung, seperti B. Pembersihan dengan tangan dan juga dengan bahan kimia.
Dan untuk hama, omong-omong dengan mulsa dan pestisida organik.
B. Lahan Pekarangan
Lahan pekarangan merupakan salah satu tempat kegiatan usaha tani yang mempunyai
peran besar dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan dan obat-obatan keluarga
(Suwono, 2012). Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Hariyadi (2013) bahwa
pemanfaatan lahan pekarangan merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan
kemandirian pangan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan
pekarangan untuk pertanian akan menjadi salah satu alternatif dalam upaya
peningkatan ketersediaan bahan pangan lokal dan ekonomi keluarga di masa yang
akan datang.
Saat ini, luas lahan pekarangan secara nasional adalah sekitar 10,3 juta ha atau 14%
dari keseluruhan luas lahan pertanian. Luas lahan pekarangan tersebut merupakan
salah satu sumber penyedia bahan pangan yang potensial, bernilai gizi, dan memiliki
nilai ekonomi tinggi. Akan tetapi, sebagian besar lahan pekarangan itu masih belum
dimanfaatkan sebagai areal pertanaman aneka komoditas pertanian, khususnya
komoditas pangan (Arifin et al.,1998).
Hasil diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada titik ini LS adalah 7o
49' 19,5" dengan E 110o 19' 3,7". Ketinggian 119 mdpl dan kemiringan 4°. Di negara
ini Suhu bola kering 25°C dan suhu bola basah 25°C Kecerahan 14.600 lux Saat
kelembapan relatif 100%. Masalah dengan halaman ini adalah kurangnya penggunaan
menyebarkan kotoran sapi dan pakan sapi, upaya harus dilakukan Artinya, kotoran
sapi bisa diolah menjadi kompos Tumbuhan dan juga bisa diolah menjadi biogas
Pakan sapi harus dibersihkan dengan hati-hati dan juga bisa digunakan untuk
membuat perut Pengolahan sisa ternak.
C. Lahan Tegal
Lahan tegalan secara alamiah bersifatpeka erosi, terutama bila tanpa vegetasi,
kesuburan rendah, lapisan olah tipis, solum tanah dangkal, dan ketersediaan
air sebagai faktor pembatas utama(Abdurachman, et al., 2005). Namun
sebagai salah satu agroekosistem, lahantegal mempunyai potensi besar untuk
usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan)
maupun tanaman tahunan dan peternakan (Las et at., 2000).
Merosotnya produktivitas lahan tegalan bermula dari pencucian hara lewat
aliran permukaan dan rendahnya rotasi tanaman (Mulyani et al. 2004). Kasus lainyang
mengancamsistem lahan tegal adalahpraktik ladang berpindah, pembakaran
ladang dalam penyiapan lahan dan pemilihan komoditas tidak sesuai daya
dukung lahan, seperti kecendrungan bertanan padi tanaman pertanian di lereng
curam (Sukmana, et al., 1995). Hal ini bertentangan dengan prinsip pertanian
konservasi (FAO, 2017).
Hasil diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada titik ini LS adalah 7o
51' 52" dengan E 110o 18' 23". Ketinggian 137 mdpl dan kemiringan 2-3°. Di negara
ini suhu bola kering 27°C dan suhu bola basah 25°C Kecerahan 34 030 lux Karena
kelembaban relatif 82%. Masalah dengan daerah dataran tinggi itu adalah tidak ada
air (hanya tergantung pada air hujan), bagaimana Anda bisa menang Hujan dengan
membangun genangan air untuk menampung air hujan sehingga dapat digunakan
nanti.
D. Lahan UP Land
Penggunaan istilah “lahan kering” di Indonesia belum tersepakati benar. Ada yang
menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau unirrigated land.
Kedua istilah Inggris tersebut terakhir menyiratkan penggunaan lahan untuk pertanian
tadah hujan. Pertanian tadah hujan yang dijalankan di daerah iklim ringkai (arid)
sampai setengah ringkai (semi arid) dalam bahasa Inggris disebut dryland farming
atau dry farming (Nelson & Nelson, 1973; Roy & Arora, 1973; Moore, 1977; Billy,
1981; Landon, 1984). Yang dijalankan di daerah iklim lebih basah disebut rainfed
farming. Akan tetapi ada yang menggunakan kedua istilah tersebut secara sinonim
(Chao, 1984; Chin, 1984)
Hasil diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada titik ini LS adalah 7o
51' 33,8" E 110o 18' 54,2". Ketinggian 142 mdpl dan kemiringan 15-30o . di negara
suhu tudungnya adalah 26 ° C dan suhu basah 26 °C dengan intensitas cahaya 12.690
lux Udara dengan kelembaban relatif 100% Masalah dengan daerah dataran tinggi ini
adalah tidak adanya badan air tempat tinggal yang sempurna dan protektif. tes
dilakukan B. melalui sumur resapan dan pengalihan lahan pemukiman sehingga
kawasan lindung dapat dimanfaatkan secara optimal untuk penggunaan pribadi.
E. Lahan Low Land
Lowland atau dataran rendah merupakan tanah yang relatif datar atau lebih rendah
daripada tanah berdekatan, terdiri atas tanah mineral dan gambut. Tanah mineral
biasanya tidak tergenang air, sedangkan tanah gambut berada di lahan rawa, namun
rawa tidak selalu ada gambutnya.
Hasil diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada titik ini LS adalah 7o
59' 30,40" E 110o 14' 35,1". Tingginya 22 meter dpl dan kemiringan 2-3 oh . Di
negara ini Suhu bola kering 24°C dan suhu bola basah 26°C Kecerahan 44.300 lux
Karena kelembapan relatif 82%. Masalah dengan daerah dangkal ini adalah pasang
surutnya angin di dekat sini Pekerjaan yang perlu dilakukan akan dilakukan
bendungan yang kuat dan kuat yang mencegah air masuk ke bumi di dataran rendah.
KESIMPULAN
Berdasarkan temuan Kesimpulan jika Anda tahu sumber daya di sana Negara ini memiliki
beberapa agroekosistem yang diamati dan diperlukan Pemanfaatan berbagai jenis ekosistem
pertanian yang ada untuk dapat menawarkan berbagai nilai ekonomi menghasilkan produksi
yang menggunakan kondisi lingkungan dalam agroekosistem.
DAFTAR PUSTAKA
Food Agriculture Organization (FAO). 2017. Pertanian Konservasi (Perinsip Dasar dan
Petunjuk Praktis). FAO. 2017
Suwono. 2012. “Rumah Pangan Lestari (RPL) Kementerian Pertanian dan SIKIB Kabupaten
Bantul”. http://bkppp.bantulkab.go.id/ Diakses pada 2 Maret 2018.
Sutomo.2004. Analisa data konversi dan prediksi kebutuhan lahan. Makalah pertemuan
Round Table II. Pengendalian konversi dan pengembangan lahan pertanian. Jakarta
14 Desember 2004. 14 halaman Makalah pertemuan Round Table II. Pengendalian
konversi dan pengembangan lahan pertanian. Jakarta 14 Desember 2004. 14 halaman.