G18 Yut
G18 Yut
YESSI UTAMI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak ENSO dan ENSO
Modoki terhadap Variabilitas Curah Hujan di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018
Yessi Utami
NIM G24140078
ABSTRAK
YESSI UTAMI. Dampak ENSO dan ENSO Modoki terhadap Variabilitas Curah
Hujan di Indonesia. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan ANA TURYANTI.
YESSI UTAMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2018 ini
ialah curah hujan, dengan judul “Dampak ENSO dan ENSO Modoki terhadap
Variabilitas Curah Hujan di Indonesia” sebagai syarat melaksanakan tugas akhir
pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Yessi Utami
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Sirkulasi Udara Global 2
ENSO 2
Angin Zonal dan Meridional 3
Suhu Permukaan Laut 3
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan 4
Alat 4
Prosedur Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Identifikasi Tahun Kejadian ENSO dan ENSO Modoki 6
Korelasi Spasial dan Parsial Curah Hujan Indonesia dengan Indeks Nino 3.4
dan EMI 7
Keragaman Anomali Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin
Horizontal, Sirkulasi Walker saat ENSO dan ENSO Modoki 9
SIMPULAN DAN SARAN 18
Simpulan 18
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL
1 Data yang digunakan pada penelitian 4
2 Tahun-tahun terjadinya peristiwa ENSO dan ENSO Modoki 7
DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi anomali SPL saat El Nino, La Nina, El Nino Modoki, dan La
Nina Modoki 2
2 Indeks Nino 3.4 dan Enso Modoki Index (EMI) periode 1985-2016 6
3 Korelasi parsial curah hujan Indonesia dengan Nino 3.4 dan EMI 8
4 Komposit anomali curah hujan Indonesia saat peristiwa El Nino dan El-
Nino Modoki 11
5 Komposit anomali suhu permukaan laut saat peristiwa El Nino dan El
Nino Modoki 12
6 Komposit bulanan anomali sirkulasi walker saat El Nino dan El Nino
Modoki 13
7 Komposit bulanan anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) saat El
Nino dan El Nino Modoki 15
8 Transpor uap air bulanan saat El Nino dan El Nino Modoki 17
DAFTAR LAMPIRAN
9 Korelasi spasial curah hujan Indonesia dengan Nino 3.4 dan EMI 21
10 Komposit anomali curah hujan Indonesia saat peristiwa La Nina dan La
Nina Modoki 22
11 Komposit anomali suhu permukaan laut saat peristiwa La Nina dan La
Nina Modoki 23
12 Komposit bulanan anomali sirkulasi walker saat La Nina dan La Nina
Modoki 24
13 Komposit bulanan anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) saat
La Nina dan La Nina Modoki 25
14 Transpor uap air bulanan saat La Nina dan La Nina Modoki 26
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki iklim tropis dengan variabilitas iklim yang tinggi. Letak
Indonesia yang berada diantara dua benua dan dua samudera menyebabkan iklim
Indonesia sangat bergantung pada proses serta sirkulasi yang terjadi di atmosfer dan
lautan sekitarnya. El Nino Southern Oscilation (ENSO) merupakan salah satu
fenomena yang memiliki pengaruh besar terhadap iklim di Indonesia. ENSO terdiri
dari dua peristiwa yaitu El Nino dan La Nina. Ketika suhu permukaan laut di
Samudra Pasifik bagian timur dan tengah mengalami kenaikan maka terjadi fase El
Nino, hal ini menandakan di daerah Indonesia mengalami kekeringan. La Nina
terjadi saat suhu permukaan laut di Samudera Pasifik timur dan tengah mengalami
penurunan suhu, maka Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan
(Yananto dan Sibarani 2016). Fenomena ENSO dapat dideteksi oleh beberapa
parameter yaitu suhu permukaan laut (SPL) dan Oceanic Nino Index (ONI)
misalnya Nino 3.4 Index (Nabilah et al. 2017).
Ashok et al. (2007) menyebutkan terdapat fenomena yang mirip seperti El
Nino namun kenaikan suhu hanya terkonsentrasi pada bagian tengah dari Pasifik
sedangkan suhu di bagian barat dan timurnya tetap dingin, fenomena tersebut
dikenal sebagai El Nino Modoki. Weng et al. (2007) mengidentifikasi El Nino
Modoki sebagai gabungan dari fenomena laut dan atmosfer. Namun, terdapat
perbedaan dalam proses evolusi saat El Nino Modoki jika dibandingkan dengan El
Nino (Ashok 2017). Indeks El Nino Modoki didefinisikan oleh Ashok et al. (2007)
sebagai berikut: EMI = [SSTA]A – 0.5 x [SSTA]B – 0.5 x [SSTA]C. SSTA
merupakan anomali dari Suhu Permukaan Laut (SPL), sedangkan tanda kurung
pada persamaan tersebut mewakili rata-rata anomali SPL dari wilayah A (165⁰E-
140⁰W, 10⁰S-10⁰N), B (110⁰W-70⁰W, 15⁰S-5⁰N), dan C (125⁰E-145⁰E, 10⁰S-20⁰N).
Windari et al. (2012) menyatakan bahwa El Nino menyebabkan wilayah
Indonesia yang berpola curah hujan monsunal mengalami penurunan curah hujan
sebesar 33% sedangkan penurunan curah hujan yang dialami saat El Nino Modoki
sebesar 26% di wilayah kajiannya yaitu Lampung, Indramayu, Makasar, Banjar
Baru, dan Sumbawa Barat. Juniarti (2014) melakukan penelitian dampak La Nina
dan La Nina Modoki di Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa wilayah Indonesia
memiliki anomali curah hujan positif mencapai 200 mm/bulan sedangkan saat La
Nina Modoki anomali positif curah hujan lemah hanya mencapai 50 mm/bulan.
Sementara itu, Cai dan Cowan (2009) meneliti pengaruh dari La Nina dan La Nina
Modoki terhadap curah hujan wilayah Australia menyebutkan selama La Nina
Modoki, anomali kolam dingin lebih efektif bergerak ke arah barat sehingga terjadi
peningkatan curah hujan dari barat laut Australia menuju utara Murray dan Darling.
Hal ini memberikan penjelasan tentang terjadi kenaikan curah hujan saat musim
gugur di Australia sedang berlangsung.
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sirkulasi Udara Global
Letak geografis Indonesia berada di antara dua samudera dan dua benua serta
berada di lintang garis ekuator menyebabkan Indonesia mengalami berbagai macam
sirkulasi udara global. Sirkulasi udara global dapat terjadi pada arah barat-timur
maupun utara-selatan. Sirkulasi Walker yang merupakan ciri khas dari iklim tropis,
terjadi dengan skala waktu musiman. Sirkulasi ini bergerak dari arah timur ke barat
yang terjadi di daerah Pasifik Timur menuju Pasifik Barat dekat kepulauan
Indonesia. Sirkulasi ini memiliki kaitan yang kuat dengan gradien SPL Pasifik
ketika terjadi El Nino Southern Oscillation (ENSO) (Tokinaga 2012). Diaz dan
Bradley (2004) menyatakan bahwa Sirkulasi Hadley bergerak dari utara menuju
selatan. Pertemuan dua Sirkulasi Hadley menyebabkan konvergensi yang
merupakan pusat tekanan rendah.
Gambar 1 Kondisi anomali SPL saat peristiwa El-Nino (a), El-Nino Modoki (b),
La Nina (c), dan La Nina Modoki (d) (Ashok dan Yamagata 2009).
peningkatan kecepatan (Ashok dan Yamagata 2009). Kuatnya angin baratan yang
bergerak menyebabkan massa uap air terbawa menuju Samudera Pasifik, sehingga
wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Sedangkan ketika angin timuran
mengalami peningkatan kecepatan, maka kecepatan angin baratan melemah. Hal
ini menyebabkan Proses kebalikan dari peristiwa tersebut dinamakan La Nina
(Gambar 1c) yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan di
wilayah Indonesia di atas normalnya. Peristiwa ini terjadi akibat hasil interaksi dari
atmosfer dan lautan yang berlangsung selama 12-18 bulan dengan periode ulang 3-
8 tahun sekali (Ashok dan Yamagata 2009). Kejadian ENSO yang terdiri dari El
Nino dan La Nina dapat diidentifikasi menggunakan indeks suhu permukaan laut
Pasifik wilayah Nino 3.4. Pusat Prediksi Iklim Nasional untuk Prediksi Lingkungan
NOAA mengenalkan indeks SPL Nino 3.4 yang meliputi wilayah 5⁰N-5⁰S, 170⁰W-
120⁰W (Trenberth 1997). Selain ENSO, ada juga kejadian yang pembentukannya
hampir mirip namun berbeda dengan ENSO, namun kenaikan ataupun penurunan
suhu permukaan laut yang terjadi hanya terkonsentrasi di wilayah tengah Samudra
Pasifik. Peristiwa El Nino Modoki (Gambar 1b) terjadi ketika kenaikan anomali
suhu permukaan laut yang terkonsentrasi hanya tengah dari Samudera Pasifik,
sedangkan bagian barat dan timurnya tetap dalam kondisi dingin (Ashok dan
Yamagata 2009). Angin baratan dan timuran bertiup sehingga massa uap air
menumpuk di bagian tengah Samudera Pasifik yang mempengaruhi pola konveksi
atmosfer di wilayah tersebut dan sekitarnya. Peristiwa sebaliknya disebut dengan
La Nina Modoki. ENSO Modoki dapat diidentifikasi berdasarkan indeks suhu
permukaan laut wilayah El Nino Modoki Index (EMI). Ashok et al. (2007)
mendefinisikan wilayah EMI sebagai berikut: EMI = [SSTA]A – 0.5 x [SSTA]B –
0.5 x [SSTA]C. SSTA merupakan anomali dari Suhu Permukaan Laut (SPL),
sedangkan tanda kurung pada persamaan tersebut mewakili rata-rata anomali SPL
dari wilayah A (165⁰E-140⁰W, 10⁰S-10⁰N), B (110⁰W-70⁰W, 15⁰S-5⁰N), dan C
(125⁰E-145⁰E, 10⁰S-20⁰N).
Salah satu indikator penting dalam menentukkan kejadian ENSO dan ENSO
Modoki adalah Suhu Permukaan Laut (SPL). Mengidentifikasi kejadian ENSO
dapat melihat indeks wilayah Nino 3.4. Ketika suhu muka laut tinggi, maka tekanan
di daerah tersebut akan rendah, sehingga angin bergerak menuju Pasifik membawa
uap air yang menyebabkan banyak pertumbuhan awan yang dapat menimbulkan
4
potensi hujan. Hal ini menunjukkan suhu muka laut mempunyai peran penting
dalam mentukan iklim di daerah sekitarnya (Tjasyono 2004).
METODE
Waktu dan Tempat
Modoki, (2) analisis komposit sesuai dengan tahun terjadinya El Nino, El Nino
Modoki, La Nina dan La Nina Modoki, dan (3) analisis korelasi spasial curah hujan
Indonesia dengan data ENSO Modoki Index (EMI) dan indeks Nino 3.4 untuk
melihat hubungan masing-masing parameter dengan curah hujan di Indonesia.
Analisis Komposit
Analisis komposit merupakan metode penarikan contoh suatu peristiwa yang
menunjukkan rata-rata dari fenomena tersebut. Tahun peristiwa El Nino, El Nino
Modoki, La Nina, dan La Nina Modoki yang digunakan dalam penelitian ini
dijabarkan pada Tabel 2.
Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk melihat keeratan hubungan suatu variabel
dengan variabel lainnya yang dinyatakan dengan koefisien korelasi. Apabila
koefisien korelasi menghasilkan nilai positif (r = 1), berarti hubungan antar variabel
berbanding lurus, sedangkan jika nilai koefisien korelasi bernilai negatif (r = -1),
berarti hubungan antar variabel berbanding terbalik. Persamaan yang digunakan
adalah persamaan 1 (Sugiyono 2008):
n∑X.Y-(∑X)(∑Y)
r= (1)
√{n ∑X -(∑X)²}√{n ∑Y2 -(∑Y)²}
2
r12,3 adalah korelasi antara variabel 2 dengan 3 bersama variabel 1. r12 adalah
korelasi antara variabel 1 dan 2. r13 adalah korelasi antara 1 dan 3. r23 adalah
korelasi antara variabel 2 dan 3.
6
→ 1 ps →
Q= ∫ qv dp (3)
g pt
Q adalah transpor uap air (kg/m/s), g adalah gravitasi (m/s), q adalah spesific
humadity (kg/kg), v adalah vektor kecepatan angin, dan dp adalah perubahan
tekanan.
Gambar 2 Indeks Nino 3.4 dan Enso Modoki Indeks (EMI) periode 1985-2016
Gambar 2 menunjukkan indeks Nino 3.4 dan EMI yang mewakili peristiwa
El Nino, El Nino Modoki, La Nina, dan La Nina Modoki yang terjadi pada periode
1985-2016. Dipilih beberapa tahun kejadian yang mewakili peristiwa El Nino, El
Nino Modoki, La Nina dan La Nina Modoki untuk dikomposit dengan tujuan
7
menganalisis anomali curah hujan, SPL, sirkulasi walker, OLR, dan transpor uap
air. Tahun kejadian ENSO dan ENSO Modoki dapat dilihat pada Tabel 2.
Korelasi Parsial antara Curah Hujan Indonesia dengan Indeks Nino 3.4 dan
EMI
Korelasi spasial curah hujan Indonesia dengan Indeks Nino 3.4 dan EMI
menggunakan significant test pada level 90% dilampirkan pada Lampiran 1. Indeks
Nino 3.4 berkorelasi negatif secara signifikan pada bulan Juli-November dengan
koefisien korelasi sebesar -0.9 tersebar di pulau Sumatera bagian barat dan selatan,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Hal ini didukung oleh penelitian Mulyana
(2002) bahwa pada bulan Juni-November merupakan waktu kejadian pengaruh El
Nino terhadap curah hujan Indonesia. Korelasi antara curah hujan dan indeks Nino
3.4 cenderung lemah pada bulan Desember-Juni, korelasi negatif hanya terlihat di
bagian utara Kalimantan, bagian utara Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan
Nusa Tenggara Barat (Lampiran 1a). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang menyebutkan bahwa korelasi curah hujan lebih lemah saat musim basah
Desember-Januari-Februari dan Maret-April-Mei dibandingkan dengan musim
kering Juni-Juli-Agustus dan September-Oktober-November (Haylock and
McBride 2001). Koefisien korelasi positif indeks Nino 3.4 dengan curah hujan
sebesar r = 0.8 di Indonesia hanya berlangsung di bulan November-Mei di beberapa
titik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Hasil korelasi antara ENSO Modoki
Index (EMI) dengan curah hujan menunjukkan bahwa EMI memiliki pengaruh
yang kurang signifikan terhadap curah hujan di Indonesia (Lampiran 1b). Koefisien
korelasi negatif sebesar -0.8 terlihat pada bulan Januari-Maret serta Juli-November
di beberapa titik di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara,
dan Papua. Korelasi yang tidak signifikan menutupi wilayah Indonesia dari Gambar
2b menunjukkan hubungan antara EMI dan curah hujan Indonesia lemah. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dari Cai dan Cowan (2009) bahwa El
Nino Modoki memiliki variasi dampak yang lebih sedikit daripada saat El Nino
biasa.
Berdasarkan hasil korelasi spasial, sebagian besar korelasi antara Indeks
Nino 3.4 dan ENSO Modoki Index (EMI) dengan curah hujan di Indonesia bernilai
negatif setiap bulannya (Lampiran 2). Hal ini mendorong dilakukannya korelasi
parsial untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara curah hujan dengan Indeks
Nino 3.4 dengan menghilangkan pengaruh EMI, maupun sebaliknya (Ashok et al
2007). Menurut As-syakur et al (2014), korelasi parsial juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi apakah salah satu atau kedua indeks dapat dipertahankan dalam
menentukkan peristiwa musiman. Penggunaan korelasi parsial menunjukkan bahwa
8
nilai korelasi antara curah hujan dan Indeks Nino 3.4 menghasilkan koefisien
korelasi yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan korelasi biasa (Gambar 3a).
(a)
(b)
Gambar 3 Korelasi parsial curah hujan dengan Nino 3.4 ketika pengaruh EMI
dihilangkan (a) dan EMI ketika pengaruh Nino 3.4 dihilangkan (b).
9
Koefisien korelasi antara curah hujan dan Indeks Nino 3.4 bernilai negatif
kuat di bulan Juli-November dengan koefisien korelasi berkisar antara -0.7 sampai
dengan -0.9. Korelasi negatif menunjukkan apabila anomali suhu Nino 3.4
mengalami kenaikan maka akan menyebabkan berkurangnya curah hujan, begitu
pula sebaliknya. Daerah yang paling dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juli-
November adalah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Papua Barat.
Sedangkan pada bulan Desember-April korelasi negatif hanya mendominasi
sebagian wilayah Indonesia bagian utara. Hal ini didukung oleh penelitian
sebelumnya bahwa pada bulan Juli pengaruh kuat dari ENSO mulai terjadi di bagian
tengah dari Indonesia dan mulai melemah kembali di bulan November-Desember
(As-syakur et al 2014). Korelasi positif curah hujan Indonesia dengan peristiwa
ENSO terdapat di bulan November-Mei, namun hanya terletak di Sumatera,
Kalimantan, Jawa, dan Papua.
Korelasi parsial curah hujan Indonesia dan EMI dengan menghilangkan
pengaruh Indeks Nino 3.4 menghasilkan nilai korelasi yang berbeda dari korelasi
biasa (Gambar 3b). Daerah yang dipengaruhi oleh EMI hanya terdapat dibeberapa
titik di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan koefisien korelasi
negatif kisaran -0.7 sampai -0.8 di bulan Juli-Agustus dan korelasi negatif lemah di
bulan lainnya. Sedangkan korelasi positif curah hujan dengan EMI terdapat di
wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua di bulan Agustus-Mei dengan
koefisien korelasi positif kisaran 0.7-0.8. Hal ini menunjukkan ketika anomali suhu
EMI berkorelasi positif maka akan menyebabkan terjadinya kenaikan curah hujan
di Indonesia, begitupun sebaliknya. Berdasarkan gambar korelasi parsial yang
dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa ENSO mempunyai pengaruh yang lebih
signifikan dibanding ENSO Modoki terhadap curah hujan. Pernyataan ini didukung
penelitian sebelumnya oleh Feng et al (2011) bahwa selama musim semi di Cina,
tidak terjadi penurunan yang signifikan terhadap anomali curah hujan selama El
Nino Modoki.
Anomali curah hujan, suhu permukaan laut, angin, sirkulasi walker, outgoing
longwave radiation, dan transpor uap air yang dibahas pada penelitian ini diperoleh
dari hasil komposit masing-masing unsur iklim tersebut dalam kurun waktu 1985-
2016. Tahun-tahun kejadian peristiwa ENSO dan ENSO Modoki telah
diidentifikasi dan telah dijabarkan pada Tabel 2. Peristiwa ENSO terdiri dari El
Nino dan La Nina yang dikompositkan berdasarkan lima kejadian, sedangkan
ENSO Modoki terdiri dari peristiwa El Nino Modoki dan La Nina Modoki yang
masing-masing diwakilkan dari empat dan lima kejadian.
Curah Hujan
Penyimpangan jumlah curah hujan yang terjadi saat El Nino, El Nino
Modoki, La Nina, dan La Nina Modoki memiliki nilai yang beragam. Anomali
curah hujan memiliki anomali positif dan negatif yang berkisar antara -200 sampai
200 mm/bulan. Anomali curah hujan Indonesia ketika El Nino dan El Nino Modoki
10
anomali kecepatan angin yang bergerak lebih besar dibanding saat La Nina Modoki
(Lampiran 3b).
(a)
(b)
(a)
(b)
(b)
Gambar 5 Komposit anomali SPL (℃) dan angin (m/s) di ketinggian 850 hPa saat
peristiwa El Nino (a) dan El Nino Modoki (b). Warna merah (biru)
menunjukkan nilai anomali SPL positif (negatif).
Sirkulasi Walker
Sirkulasi walker merupakan salah satu sirkulasi timur-barat yang
mempengaruhi proses pembentukan awan. Ketika fase hangat ENSO terjadi,
anomali SPL di Pasifik mengalami kenaikan sementara anomali SPL di Indonesia
13
(a)
(b)
(b)
Gambar 6 Komposit anomali sirkulasi walker dengan rataan kecepatan angin zonal
(u; m/s) dan angin vertikal (ɷ; 10-2 Pa/s) 5⁰LU-5⁰LS di ketinggian 1000-
100 hPa saat peristiwa El Nino (a) dan El Nino Modoki (b). Nilai positif
(negatif) pada angin vertikal menunjukkan divergensi (konvergensi).
14
OLR positif lemah menunjukkan bahwa awan yang terbentuk saat El Nino Modoki
lebih tinggi daripada saat El Nino.
(a)
(b)
Gambar 7 Komposit anomali OLR (W/m2) saat El Nino (a) dan El Nino Modoki
(b). Warna merah (biru) menunjukkan nilai anomali OLR positif
(negatif).
16
(a)
(b)
Gambar 8 Transpor uap air (kg/m/s) saat El Nino (a) dan El Nino Modoki (b).
18
Simpulan
Korelasi parsial curah hujan dengan Indeks Nino 3.4 menunjukkan hasil yang
hampir serupa seperti korelasi biasa, koefisien korelasi kisaran -0.7 sampai -0.9
sedangkan saat EMI koefisien korelasi hanya signifikan pada wilayah-wilayah
tertentu dengan nilai koefisien korelasi negatif yang lebih rendah sekitar -0.4 hingga
-0.5. Anomali curah hujan saat peristiwa El Nino bernilai negatif berkisar -120
sampai -200 mm/bulan, sedangkan saat El Nino Modoki anomali negatif lemah
mencapai -40 sampai -150 mm/bulan mulai dari bulan Juli-Oktober tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Anomali curah hujan saat peristiwa La Nina bernilai
positif berkisar antara 200-250 mm/bulan, sedangkan saat La Nina Modoki
memberi dampak anomali positif yang lebih lemah hanya berkisar antara 100-150
mm/bulan jika dibandingkan saat peristiwa La Nina terjadi.
Anomali SPL mengalami kenaikan mencapai 1.5°C pada bulan September-
Maret saat El Nino dan pada bulan November-Desember saat El Nino Modoki.
Peristiwa La Nina menunjukkan anomali SPL di sepanjang Samudera Pasifik
mencapai -1.5°C, sedangkan La Nina Modoki anomali SPL mendingin terpusat
hanya di bagian tengah pada bulan Desember, Januari, Oktober, dan November
sekitar -1.25°C. Sirkulasi walker menandakan daerah Indonesia mengalami
divergensi dan Samudera Pasifik mengalami konvergensi ketika El Nino dan El
Nino Modoki. Sebaliknya saat La Nina dan La Nina Modoki, di Indonesia
mengalami konvergensi sedangkan Pasifik mengalami divergensi. Perbedaan pola
Sirkulasi Walker saat ENSO dan ENSO Modoki adalah saat ENSO hanya akan
terbentuk dua pola yang menandakan daerah konvergensi dan divergensi,
sedangkan saat ENSO Modoki, maka akan terbentuk tiga pola berbeda yang
menunjukkan daerah tersebut mengalami divergensi, konvergensi, dan divergensi
kembali ataupun sebaliknya.
Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang dihasilkan saat El Nino paling
tinggi berkisar antara 20-30 W m-2 sedangkan saat El Nino Modoki sekitar 10
sampai 25 W m-2 di bulan Desember-Februari. OLR bernilai negatif kisaran -20
sampai -30 W m-2 di sepanjang wilayah Indonesia saat La Nina terjadi pada bulan
Oktober-Maret dan saat La Nina Modoki nilai OLR berkisar antara -5 sampai -25
W m-2 hanya pada bulan Oktober-Januari. Nilai anomali OLR positif menandakan
jumlah awan konvektif yang terbentuk rendah (El Nino dan El Nino Modoki),
sedangkan ketika anomali OLR negatif menandakan jumlah awan konvektif yang
terbentuk tinggi (La Nina dan La Nina Modoki). Transpor uap air menunjukkan
proses penguapan yang terjadi yang dapat memicu pembentukan awan di wilayah
Indonesia. Saat El Nino dan El Nino Modoki proses transpor uap air lebih rendah
nilainya dibandingkan saat La Nina dan La Nina Modoki.
Saran
luas wilayah kajian yang lebih spesifik, agar dampak terhadap curah hujan di suatu
pulau agar hasilnya lebih detail.
DAFTAR PUSTAKA
Ashok K, Behera SK, Rao AS, Weng HY, Yamagata T. 2007. El Nino Modoki and
its teleconnection. Jurnal of Geophysical Reasearch 112(1): 117.
Ashok K, Yamagata T. 2009. The El Nino with a difference. Nature 461: 481-484.
Ashok K, Marathe SM, Sahai KA, Panickal S. 2017. Nonlinearities in the
evolutional distinctions between El Nino and La Nina types. Journal of
Geophysical Research: Ocean 112 (12): 9649-9662.
As-syakur A, Adnyana IW, Mahendra MS, Arthana IW, Merit IN, Kasa IW,
Ekayanti NW, Nuarsa IW, Sunarta IN. 2014. Observation of spatial patterns
on the rainfall response to ENSO and IOD over Indonesia using TRMM
Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA). International Journal of
Climatology 34: 3825-3839.
Cai W, Cowan T. 2009. La Nina Modoki impacts Australia autumn rainfall
variability. Geophysical Research Letters 36(1): 1-4.
Diaz HF, Bradley B. 2004. The Hadley Circulation: Present, Past and Future.
Kluwer Academic Publishers (NL): The Netherlands.
Estiningtyas W, Ramadhani F, Aldrian E. 2007. Analisis korelasi curah hujan dan
SPL SPL wilayah Indonesia, serta implikasinya untuk prakiraan curah hujan
(studi kasus Kabupaten Cilacap). Jurnal Agromet Indonesia. 21(2): 46-60.
Fadholi A. 2013. Studi dampak El Nino dan Indian Oceanic Dipole (IOD) terhadap
curah hujan di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan 11(1): 43-50.
Feng J, Chen W, Tam CY, dan Zhou W. 2011. Different impact of El Nino and El
Nino Modoki on China Rainfall in the decaying phases. International Journal
of Climatology 31: 2091-2101.
Harijono S. 2008. Analisis dinamika atmosfer di bagian utara ekuator Sumatera
pada saat peristiwa El Nino dan Dipole Mode positif terjadi bersamaan.
Jurnal Sains Dirgantara 5(2): 143.
Haylock M, McBride JL. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian
wet season rainfall. Journal of Climate 14(1): 3882-3887.
Hidayat R, Ando K. 2014. Variablitias curah hujan Indonesia dan hubungannya
dengan ENSO/IOD: Estimasi menggunakan data JRA-25/JDCAS. Jurnal
Agromet 28(1): 1-8.
Juniarti, MD. 2014. Dampak La Nina Modoki dan Dampaknya terhadap
Keragaman Curah Hujan di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kurniawan R, Habibie MN, Permata DS. 2012. Kajian daerah rawan gelombang
tinggi di Perairan Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13(3): 210.
Li X, Li C, Ling J, Tan Y. 2015. The relationship between contiguous El Niño and
La Niña revealed by self-organizing maps. Jurnal of Climate 28(1): 8121.
Manik KT. 2009. Analisis deret waktu curah hujan untuk mengkaji perubahan iklim
di daerah tangkapan air propinsi Lampung. Jurnal Agromet Indonesia 23(1):
62.
20
Mulyana E. 2000. Hubungan antara anomali suhu permukaan laut dengan curah
hujan di Jawa. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 1(2): 129.
Mulyana E. 2002. Hubungan antara ENSO dengan variasi curah hujan di Indonesia.
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 3(1): 1-4.
Nabilah F, Prasetyo Y, dan Sukmono A. 2017. Analisis pengaruh fenomena El Nino
dan La Nina terhadap curah hujan tahun 1998 - 2016 menggunakan indicator
ONI (Oceanic Nino Index) (studi kasus: Provinsi Jawa Barat). Jurnal Geodesi
Undip 6(4): 405.
Sofiati I. 2012. Karakteristik Outgoing Longwave Radiation (OLR) berdasarkan
empirical orthogonal function (EOF) dan kaitannya dengan curah hujan di
wilayah Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara 10(1): 40.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID):
Alfabeta.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Tokinaga H, Xie SP, Deser C, Kosaka Y, Okumura YM. 2012. Slowdown of the
Walker Circulation driven by tropical Indo-Pacific warming. Nature
491(7424): 439-443.
Tongkukut SHJ. 2011. El Nino dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Manado
Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains 11 (1): 104.
Trenberth KE. 1997. The definition of El Nino. Bull Amer Met Soc 78: 2771-2777.
Trenberth KE, Stepaniak DP. 2001. Indices of El Niño evolution. Jurnal of
Climate 14(1): 1697–1701.
Wang C. 2002. Atmospheric circulation cell associated with the El Nino Southern
Oscillation. Journal of Climate 15(1): 399-419.
Windari EH, Faqih A, Hermawan E. 2012. El Nino Modoki dan pengaruhnya
terhadap curah hujan monsunal di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan
Geofisika 13(3): 149-160.
Yananto A, Sibarani RM. 2016. Analisis kejadian El Nino dan pengaruhnya
terhadap intensitas curah hujan di wilayah Jabodetabek (studi kasus :periode
puncak musim hujan tahun 2015/2016). Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi
Cuaca 17(2): 65-73.
Zhou TJ, Yu RC. 2005. Atmospheric water vapor transpor associated with typical
anomalous summer rainfall patterns in China. Journal of Geophysical
Reseach. 110(8): 1-10.
21
22
LAMPIRAN
21
23
Lampiran 1 Korelasi spasial curah hujan dengan Nino 3.4 (a) dan EMI (b)
(a)
(b)
22
24
(a)
(b)
23
25
Lampiran 3 Komposit anomali SPL (℃) dan angin (m/s) di ketinggian 850 hPa
saat peristiwa La Nina (a) dan La Nina Modoki (b). Warna merah
(biru) menunjukkan nilai anomali SPL positif (negatif).
(a)
(b)
24
26
(a)
(b)
25
27
Lampiran 5 Komposit anomali OLR (W/m2) saat La Nina (a) dan La Nina Modoki
(b). Warna merah (biru) menunjukkan nilai anomali OLR positif
(negatif).
(a)
(b)
26
28
Lampiran 6 Transpor uap air (kg/m/s) saat La Nina (a) dan La Nina Modoki (b)
(a)
(b)
27
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak, 4 Oktober 1996 sebagai anak pertama dari
dua bersaudara dari pasangan Bapak Djuremi Ramlan dan Ibu Yenni. Pada tahun
2014 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 7 Pontianak. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor sebagai
mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan mayor Meteorologi
Terapan melalui jalur UTMI. Selama menjalani masa studi penulis aktif dalam
organisasi International Asscociation of Students in Agricultural and Related
Sciences (IAAS) IPB di divisi Human Resources Departement (HRD) (2015-2016),
Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Pelajar Kalimantan Barat (KPMKB) di
Divisi Komunikasi dan Informasi (2016-2017), Himpunan Mahasiswa
Agrometeorologi (HIMAGRETO) Kabinet Lapse Rate di Divisi Komunikasi dan
Informasi (2016-2017) dan aktif dalam berbagai kepanitiaan salah satunya menjadi
Liaison Officer IAAS World Congress di Indonesia, serta dalam lingkup FMIPA
maupun IPB. Pada tanggal 27 April 2017 penulis mengikuti Seminar Nasional
Sains Atmosfer (SNSA) yang diselenggarakan oleh LAPAN di Bandung.