Anda di halaman 1dari 39

DAMPAK ENSO DAN ENSO MODOKI TERHADAP

VARIABILITAS CURAH HUJAN DI INDONESIA

YESSI UTAMI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak ENSO dan ENSO
Modoki terhadap Variabilitas Curah Hujan di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018

Yessi Utami
NIM G24140078
ABSTRAK
YESSI UTAMI. Dampak ENSO dan ENSO Modoki terhadap Variabilitas Curah
Hujan di Indonesia. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan ANA TURYANTI.

Variabilitas curah hujan Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino-


Southern Oscillation (ENSO) dan ENSO Modoki. Saat fenomena El Nino (La
Nina), terjadi kenaikan (penurunan) suhu permukaan laut di bagian tengah hingga
selatan Samudera Pasifik. Saat El Nino (La Nina) Modoki, peningkatan
(penurunan) suhu permukaan laut terkonsentrasi pada bagian tengah Samudera
Pasifik, sedangkan penurunan (peningkatan) suhu terjadi di bagian barat dan timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari ENSO dan ENSO Modoki
terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia. Data yang digunakan adalah Indeks
Nino 3.4 untuk mewakili peristiwa ENSO, El Nino Modoki Index (EMI) untuk
mewakili peristiwa ENSO Modoki, dan data curah hujan bulanan dari CHIRPS.
Metode yang digunakan adalah analisis korelasi, analisis temporal, serta analisis
komposit dan spasial. Hasil korelasi antara curah hujan Indonesia dengan Indeks
Nino 3.4 lebih signifikan daripada korelasi curah hujan dengan EMI pada tingkat
kepercayaan 90%. Respon anomali curah hujan terhadap ENSO Modoki lebih
lemah dibandingkan pada saat ENSO. Saat El Nino Modoki, anomali curah hujan
bernilai negatif tetapi lebih lemah daripada saat terjadi El Nino dimulai dari bulan
Juni-November. Saat La Nina Modoki, anomali curah hujan bernilai positif tetapi
lebih lemah terlihat dibandingkan saat La Nina pada bulan Juli-Agustus. Angin di
ketinggian 850 hPa yang bergerak dari timur ke barat (barat ke timur) lebih kuat
saat El Nino (La Nina) dibanding saat El Nino (La Nina) Modoki. Anomali OLR
bernilai positif (negatif) saat El Nino (La Nina) menunjukkan rendahnya
(tingginya) jumlah awan yang menyebabkan terjadi hujan di wilayah Indonesia,
sedangkan saat El Nino Modoki dan La Nina Modoki anomali OLR bernilai lebih
lemah pada dua kejadian tersebut.

Kata kunci: curah hujan, ENSO, modoki, OLR


ABSTRACT

YESSI UTAMI. Impact of ENSO and ENSO Modoki on Rainfall Variability in


Indonesia. supervised by RAHMAT HIDAYAT and ANA TURYANTI.

The Indonesia rainfall variability is influenced by El Nino-Southern


Oscillation (ENSO) and ENSO Modoki. During El Nino (La Nina), increased
(decreased) sea surface temperature (SST) is found in the central to eastern Pacific
Ocean. During El Nino (La Nina) Modoki, increased (decreased) SST is concentrated
in the central the Pacific Ocean, while decreased (increased) SST in the western and
eastern parts. This study aims to determine the impact of ENSO and ENSO Modoki
on the rainfall variability in Indonesia. The data used is Nino 3.4 Index to represent
ENSO events, El Nino Modoki Index (EMI) to represent ENSO Modoki events, and
monthly rainfall data from CHIRPS. The method used are correlation analysis,
temporal analysis, and composite and spatial analysis. The results of the correlation
between the Indonesian rainfall and Nino 3.4 Index are more significant than the
correlation of rainfall with EMI at 90% confidence level. The response of the
Indonesian rainfall anomalies to ENSO Modoki is weaker than canonical ENSO.
During El Nino Modoki, rainfall anomalies are negative but weaker than during El
Nino from June to November. During La Nina Modoki, rainfall anomalies are
positive but weaker than during La Nina in July to August.
Easterly (westerly) winds at 850 hPa enhance during El Nino (La Nina) which are
stronger than during El Nino (La Nina) Modoki. Positive (negative) OLR anomalies
during El Nino (La Nina) indicate low (high) number of clouds that cause rain in the
Indonesian region, while during El Nino Modoki and La Nina Modoki OLR
anomalies are equally weak in these two events.

Keywords: ENSO, modoki, OLR, rainfall


DAMPAK ENSO DAN ENSO MODOKI TERHADAP
VARIABILITAS CURAH HUJAN DI INDONESIA

YESSI UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat, SSi, MSc Dr Ana Turyanti, SSi, MT


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rahmat Hidayat, SSi, MSc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2018 ini
ialah curah hujan, dengan judul “Dampak ENSO dan ENSO Modoki terhadap
Variabilitas Curah Hujan di Indonesia” sebagai syarat melaksanakan tugas akhir
pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:


1. Bapak Dr. Rahmat Hidayat dan Ibu Dr. Ana Turyanti selaku pembimbing
skripsi atas segala arahan, bimbingan, nasehat, dan ilmu yang telah diberikan
kepada penulis selama proses penulisan tugas akhir.
2. Papah Djuremi, Mamah Yenni, dan Adek Rio dan keluarga besar yang selalu
memberikan doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang kepada penulis.
3. Kak Maharani Dwi Juniarti dan Bang Givo Alsepan atas ilmu dalam proses
pengolahan data.
4. Dosen pengajar dan staff departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu dan
bantuan yang telah diberikan.
5. Teman satu bimbingan Putri, Anis, Fadhil, Gebrina, serta teman-teman GFM
angkatan 51, dan keluarga IAAS IPB, KPMKB 51, Geng Badai Sinabung
(Catra, Mutia, Gita, Nisrina), Divisi Gibah (Angel, Praditya, Syafdiane, Ana,
Dhanada, dan Abytia), sahabat-sahabat dan teman-temanku atas doa, semangat,
dan bantuan yang diberikan kepada penulis.
6. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan
bantuan kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Yessi Utami
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Sirkulasi Udara Global 2
ENSO 2
Angin Zonal dan Meridional 3
Suhu Permukaan Laut 3
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan 4
Alat 4
Prosedur Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Identifikasi Tahun Kejadian ENSO dan ENSO Modoki 6
Korelasi Spasial dan Parsial Curah Hujan Indonesia dengan Indeks Nino 3.4
dan EMI 7
Keragaman Anomali Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin
Horizontal, Sirkulasi Walker saat ENSO dan ENSO Modoki 9
SIMPULAN DAN SARAN 18
Simpulan 18
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL
1 Data yang digunakan pada penelitian 4
2 Tahun-tahun terjadinya peristiwa ENSO dan ENSO Modoki 7

DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi anomali SPL saat El Nino, La Nina, El Nino Modoki, dan La
Nina Modoki 2
2 Indeks Nino 3.4 dan Enso Modoki Index (EMI) periode 1985-2016 6
3 Korelasi parsial curah hujan Indonesia dengan Nino 3.4 dan EMI 8
4 Komposit anomali curah hujan Indonesia saat peristiwa El Nino dan El-
Nino Modoki 11
5 Komposit anomali suhu permukaan laut saat peristiwa El Nino dan El
Nino Modoki 12
6 Komposit bulanan anomali sirkulasi walker saat El Nino dan El Nino
Modoki 13
7 Komposit bulanan anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) saat El
Nino dan El Nino Modoki 15
8 Transpor uap air bulanan saat El Nino dan El Nino Modoki 17

DAFTAR LAMPIRAN

9 Korelasi spasial curah hujan Indonesia dengan Nino 3.4 dan EMI 21
10 Komposit anomali curah hujan Indonesia saat peristiwa La Nina dan La
Nina Modoki 22
11 Komposit anomali suhu permukaan laut saat peristiwa La Nina dan La
Nina Modoki 23
12 Komposit bulanan anomali sirkulasi walker saat La Nina dan La Nina
Modoki 24
13 Komposit bulanan anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) saat
La Nina dan La Nina Modoki 25
14 Transpor uap air bulanan saat La Nina dan La Nina Modoki 26
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki iklim tropis dengan variabilitas iklim yang tinggi. Letak
Indonesia yang berada diantara dua benua dan dua samudera menyebabkan iklim
Indonesia sangat bergantung pada proses serta sirkulasi yang terjadi di atmosfer dan
lautan sekitarnya. El Nino Southern Oscilation (ENSO) merupakan salah satu
fenomena yang memiliki pengaruh besar terhadap iklim di Indonesia. ENSO terdiri
dari dua peristiwa yaitu El Nino dan La Nina. Ketika suhu permukaan laut di
Samudra Pasifik bagian timur dan tengah mengalami kenaikan maka terjadi fase El
Nino, hal ini menandakan di daerah Indonesia mengalami kekeringan. La Nina
terjadi saat suhu permukaan laut di Samudera Pasifik timur dan tengah mengalami
penurunan suhu, maka Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan
(Yananto dan Sibarani 2016). Fenomena ENSO dapat dideteksi oleh beberapa
parameter yaitu suhu permukaan laut (SPL) dan Oceanic Nino Index (ONI)
misalnya Nino 3.4 Index (Nabilah et al. 2017).
Ashok et al. (2007) menyebutkan terdapat fenomena yang mirip seperti El
Nino namun kenaikan suhu hanya terkonsentrasi pada bagian tengah dari Pasifik
sedangkan suhu di bagian barat dan timurnya tetap dingin, fenomena tersebut
dikenal sebagai El Nino Modoki. Weng et al. (2007) mengidentifikasi El Nino
Modoki sebagai gabungan dari fenomena laut dan atmosfer. Namun, terdapat
perbedaan dalam proses evolusi saat El Nino Modoki jika dibandingkan dengan El
Nino (Ashok 2017). Indeks El Nino Modoki didefinisikan oleh Ashok et al. (2007)
sebagai berikut: EMI = [SSTA]A – 0.5 x [SSTA]B – 0.5 x [SSTA]C. SSTA
merupakan anomali dari Suhu Permukaan Laut (SPL), sedangkan tanda kurung
pada persamaan tersebut mewakili rata-rata anomali SPL dari wilayah A (165⁰E-
140⁰W, 10⁰S-10⁰N), B (110⁰W-70⁰W, 15⁰S-5⁰N), dan C (125⁰E-145⁰E, 10⁰S-20⁰N).
Windari et al. (2012) menyatakan bahwa El Nino menyebabkan wilayah
Indonesia yang berpola curah hujan monsunal mengalami penurunan curah hujan
sebesar 33% sedangkan penurunan curah hujan yang dialami saat El Nino Modoki
sebesar 26% di wilayah kajiannya yaitu Lampung, Indramayu, Makasar, Banjar
Baru, dan Sumbawa Barat. Juniarti (2014) melakukan penelitian dampak La Nina
dan La Nina Modoki di Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa wilayah Indonesia
memiliki anomali curah hujan positif mencapai 200 mm/bulan sedangkan saat La
Nina Modoki anomali positif curah hujan lemah hanya mencapai 50 mm/bulan.
Sementara itu, Cai dan Cowan (2009) meneliti pengaruh dari La Nina dan La Nina
Modoki terhadap curah hujan wilayah Australia menyebutkan selama La Nina
Modoki, anomali kolam dingin lebih efektif bergerak ke arah barat sehingga terjadi
peningkatan curah hujan dari barat laut Australia menuju utara Murray dan Darling.
Hal ini memberikan penjelasan tentang terjadi kenaikan curah hujan saat musim
gugur di Australia sedang berlangsung.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui dampak ENSO dan ENSO Modoki


terhadap variabilitas curah hujan bulanan di Indonesia.
2

TINJAUAN PUSTAKA
Sirkulasi Udara Global

Letak geografis Indonesia berada di antara dua samudera dan dua benua serta
berada di lintang garis ekuator menyebabkan Indonesia mengalami berbagai macam
sirkulasi udara global. Sirkulasi udara global dapat terjadi pada arah barat-timur
maupun utara-selatan. Sirkulasi Walker yang merupakan ciri khas dari iklim tropis,
terjadi dengan skala waktu musiman. Sirkulasi ini bergerak dari arah timur ke barat
yang terjadi di daerah Pasifik Timur menuju Pasifik Barat dekat kepulauan
Indonesia. Sirkulasi ini memiliki kaitan yang kuat dengan gradien SPL Pasifik
ketika terjadi El Nino Southern Oscillation (ENSO) (Tokinaga 2012). Diaz dan
Bradley (2004) menyatakan bahwa Sirkulasi Hadley bergerak dari utara menuju
selatan. Pertemuan dua Sirkulasi Hadley menyebabkan konvergensi yang
merupakan pusat tekanan rendah.

ENSO dan ENSO Modoki

El Nino Southern Oscillation (ENSO) adalah fenomena penyimpangan suhu


permukaan laut akibat kenaikan suhu dari kondisi normal di Samudera Pasifik
bagian pantai barat Ekuador dan Peru. Hal ini menyebabkan tekanan udara menjadi
turun sehingga udara akan bergerak menuju daerah dengan suhu yang lebih rendah
(Tongkukut 2011).

Gambar 1 Kondisi anomali SPL saat peristiwa El-Nino (a), El-Nino Modoki (b),
La Nina (c), dan La Nina Modoki (d) (Ashok dan Yamagata 2009).

Peristiwa El Nino (Gambar 1a) ditandai dengan kenaikan suhu permukaan


laut Pasifik Timur ekuator di atas keadaan normal dan pergerakan angin timuran
melemah sedangkan pergerakan angin baratan dari Samudra Pasifik mengalami
3

peningkatan kecepatan (Ashok dan Yamagata 2009). Kuatnya angin baratan yang
bergerak menyebabkan massa uap air terbawa menuju Samudera Pasifik, sehingga
wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Sedangkan ketika angin timuran
mengalami peningkatan kecepatan, maka kecepatan angin baratan melemah. Hal
ini menyebabkan Proses kebalikan dari peristiwa tersebut dinamakan La Nina
(Gambar 1c) yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan di
wilayah Indonesia di atas normalnya. Peristiwa ini terjadi akibat hasil interaksi dari
atmosfer dan lautan yang berlangsung selama 12-18 bulan dengan periode ulang 3-
8 tahun sekali (Ashok dan Yamagata 2009). Kejadian ENSO yang terdiri dari El
Nino dan La Nina dapat diidentifikasi menggunakan indeks suhu permukaan laut
Pasifik wilayah Nino 3.4. Pusat Prediksi Iklim Nasional untuk Prediksi Lingkungan
NOAA mengenalkan indeks SPL Nino 3.4 yang meliputi wilayah 5⁰N-5⁰S, 170⁰W-
120⁰W (Trenberth 1997). Selain ENSO, ada juga kejadian yang pembentukannya
hampir mirip namun berbeda dengan ENSO, namun kenaikan ataupun penurunan
suhu permukaan laut yang terjadi hanya terkonsentrasi di wilayah tengah Samudra
Pasifik. Peristiwa El Nino Modoki (Gambar 1b) terjadi ketika kenaikan anomali
suhu permukaan laut yang terkonsentrasi hanya tengah dari Samudera Pasifik,
sedangkan bagian barat dan timurnya tetap dalam kondisi dingin (Ashok dan
Yamagata 2009). Angin baratan dan timuran bertiup sehingga massa uap air
menumpuk di bagian tengah Samudera Pasifik yang mempengaruhi pola konveksi
atmosfer di wilayah tersebut dan sekitarnya. Peristiwa sebaliknya disebut dengan
La Nina Modoki. ENSO Modoki dapat diidentifikasi berdasarkan indeks suhu
permukaan laut wilayah El Nino Modoki Index (EMI). Ashok et al. (2007)
mendefinisikan wilayah EMI sebagai berikut: EMI = [SSTA]A – 0.5 x [SSTA]B –
0.5 x [SSTA]C. SSTA merupakan anomali dari Suhu Permukaan Laut (SPL),
sedangkan tanda kurung pada persamaan tersebut mewakili rata-rata anomali SPL
dari wilayah A (165⁰E-140⁰W, 10⁰S-10⁰N), B (110⁰W-70⁰W, 15⁰S-5⁰N), dan C
(125⁰E-145⁰E, 10⁰S-20⁰N).

Angin Zonal dan Meridional

Sirkulasi atmosfer secara zonal (barat-timur) maupun meridional (utara-


selatan) dapat dipahami melalui pemeriksaan pola angin utama dan penyelidikan
berbagai daerah bertekanan rendah dan tinggi (Tjasyono 2004). Indonesia terletak
di daerah tropis dan mengalami dua musim yang berbeda dalam satu tahun, yaitu
musim basah (hujan) dan musim kering (kemarau). Musim basah terjadi pada bulan
Desember-Januari-Februari dan musim kering pada bulan Juni-Juli-Agustus.
Perilaku atau karakteristik angin pada saat musim basah tentu berbeda dengan
perilaku saat musim kering, karena sirkulasi angin mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap curah hujan.

Suhu Permukaan Laut

Salah satu indikator penting dalam menentukkan kejadian ENSO dan ENSO
Modoki adalah Suhu Permukaan Laut (SPL). Mengidentifikasi kejadian ENSO
dapat melihat indeks wilayah Nino 3.4. Ketika suhu muka laut tinggi, maka tekanan
di daerah tersebut akan rendah, sehingga angin bergerak menuju Pasifik membawa
uap air yang menyebabkan banyak pertumbuhan awan yang dapat menimbulkan
4

potensi hujan. Hal ini menunjukkan suhu muka laut mempunyai peran penting
dalam mentukan iklim di daerah sekitarnya (Tjasyono 2004).

METODE
Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Mei 2018, bertempat di


Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara, Departemen Geofisika dan
Meteorologi, IPB. Adapun wilayah yang dikaji adalah wilayah kepulauan Indonesia.

Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer


dengan software Grid Analysis and Display System (GrADS), NCAR Command
Language (NCL), Climate Data Operation (CDO) serta Microsoft Office. Data
iklim yang digunakan selama 32 tahun dimulai dari 1985-2016 (Tabel 1).

Tabel 1 Data yang digunakan dalam penelitian


Resolusi
Data Sumber
Temporal Spasial (o)
ENSO Modoki Index Bulanan - Rataan SSTA di wilayah
5⁰N-5⁰S, 170⁰W-120⁰W
(Trenberth 1997)
Nino 3.4 Index Bulanan - EMI= [SSTA]A – 0.5 x
[SSTA]B – 0.5 x [SSTA]C.
(Ashok et al. 2007)
Sea Surface Temperature Bulanan 1.0x1.0
Zonal Wind, Bulanan 2.5x2.5
Meridional Wind
(1000-100 hPa)
Zonal Wind, Bulanan 2.5x2.5
Vertical Velocity http://esrl.noaa.gov/
(1000-100 hPa)
Outgoing Longwave Bulanan 2.5x2.5
Radiation (OLR)
Spesific Humadity Bulanan 2.5x2.5
Precipitation (Data Bulanan 0.05x0.05
CHIRPS) chg.geog.ucsb.edu/

Prosedur Analisis Data

Prosedur analisis data dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu (1)


identifikasi tahun terjadinya El Nino, El Nino Modoki, La Nina dan La Nina
5

Modoki, (2) analisis komposit sesuai dengan tahun terjadinya El Nino, El Nino
Modoki, La Nina dan La Nina Modoki, dan (3) analisis korelasi spasial curah hujan
Indonesia dengan data ENSO Modoki Index (EMI) dan indeks Nino 3.4 untuk
melihat hubungan masing-masing parameter dengan curah hujan di Indonesia.

Identifikasi Tahun ENSO dan ENSO Modoki


Identifikasi terjadinya ENSO dan ENSO Modoki dapat dilakukan dengan
melihat anomali suhu muka laut. Kejadian ENSO dapat dilihat menggunakan
indeks Nino 3.4, sedangkan kejadian ENSO Modoki menggunakan ENSO Modoki
Index (EMI). Li et al. (2015) menyatakan ketika indeks setidaknya dalam lima
bulan berturut-turut mencapai -0.5℃ maka akan terdeteksi fenomena La Nina
(Modoki) dan apabila indeks lebih dari 0.5℃ berarti terjadi fenomena El Nino
(Modoki). Tujuan identifikasi tahun kejadian peristiwa ENSO dan ENSO Modoki
berdasarkan analisis deret waktu adalah melihat pola/keragaman iklim dari suatu
peristiwa iklim agar dapat diketahui trend, siklus, atau fluktuasi, serta perilakunya
selama 32 tahun (Manik 2009). Sehingga dapat dimanfaatkan untuk prediksi masa
depan atau prakiraan jangka pendek.

Analisis Komposit
Analisis komposit merupakan metode penarikan contoh suatu peristiwa yang
menunjukkan rata-rata dari fenomena tersebut. Tahun peristiwa El Nino, El Nino
Modoki, La Nina, dan La Nina Modoki yang digunakan dalam penelitian ini
dijabarkan pada Tabel 2.

Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk melihat keeratan hubungan suatu variabel
dengan variabel lainnya yang dinyatakan dengan koefisien korelasi. Apabila
koefisien korelasi menghasilkan nilai positif (r = 1), berarti hubungan antar variabel
berbanding lurus, sedangkan jika nilai koefisien korelasi bernilai negatif (r = -1),
berarti hubungan antar variabel berbanding terbalik. Persamaan yang digunakan
adalah persamaan 1 (Sugiyono 2008):

n∑X.Y-(∑X)(∑Y)
r= (1)
√{n ∑X -(∑X)²}√{n ∑Y2 -(∑Y)²}
2

r adalah koefisien korelasi, n adalah jumlah sampel, X merupakan skor pembanding,


serta Y merupakan skor dari subjek yang akan dicari korelasinya.
Analisis korelasi parsial juga digunakan dalam penelitian ini guna
mengetahui apakah salah satu atau kedua indeks dapat dipertahankan dalam
menentukkan peristiwa musiman (As-syakur 2014). Persamaan yang digunakan
adalah:
r12 - r13r23
r12,3 = (2)
√(1-r13 2)(1-r23 2)

r12,3 adalah korelasi antara variabel 2 dengan 3 bersama variabel 1. r12 adalah
korelasi antara variabel 1 dan 2. r13 adalah korelasi antara 1 dan 3. r23 adalah
korelasi antara variabel 2 dan 3.
6

Transpor Uap Air


Kelembaban merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi
curah hujan di suatu wilayah. Proses pengangkutan massa udara dari laut menuju
atmosfer sangat menentukan tingkat pembentukan awan yang dapat berpotensi
hujan. Persamaan transpor uap air yang digunakan (Zhou dan Yu 2005):

→ 1 ps →
Q= ∫ qv dp (3)
g pt

Q adalah transpor uap air (kg/m/s), g adalah gravitasi (m/s), q adalah spesific
humadity (kg/kg), v adalah vektor kecepatan angin, dan dp adalah perubahan
tekanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Identifikasi Tahun Kejadian ENSO dan ENSO Modoki

Peristiwa terjadinya ENSO dan ENSO Modoki dapat diidentifikasi


menggunakan indeks Nino 3.4 untuk kejadian El Nino dan La Nina serta ENSO
Modoki Index (EMI) untuk kejadian El Nino Modoki dan La Nina Modoki. Apabila
kondisi anomali suhu permukaan laut (SPL) Pasifik positif, maka terjadi persitiwa
El Nino dan El Nino Modoki, sedangkan jika suhu permukaan laut (SPL) Pasifik
negatif, maka diidentifikasi peristiwa La Nina dan La Nina Modoki.

Gambar 2 Indeks Nino 3.4 dan Enso Modoki Indeks (EMI) periode 1985-2016

Gambar 2 menunjukkan indeks Nino 3.4 dan EMI yang mewakili peristiwa
El Nino, El Nino Modoki, La Nina, dan La Nina Modoki yang terjadi pada periode
1985-2016. Dipilih beberapa tahun kejadian yang mewakili peristiwa El Nino, El
Nino Modoki, La Nina dan La Nina Modoki untuk dikomposit dengan tujuan
7

menganalisis anomali curah hujan, SPL, sirkulasi walker, OLR, dan transpor uap
air. Tahun kejadian ENSO dan ENSO Modoki dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tahun-tahun terjadinya peristiwa ENSO dan ENSO Modoki


Variabilitas Iklim Tahun yang diamati
El Nino 1986/1987, 1991/1992, 1997/1998, 2002/2003,2014/2015
El Nino Modoki 1990/1991, 1994/1995, 2004/2005, 2009/2010
La Nina 1985/1986, 1988/1989, 1999/2000, 2007/2008, 2016
La Nina Modoki 1995/1996, 2000/2001, 2008/2009, 2010/2011,2012/2013

Korelasi Parsial antara Curah Hujan Indonesia dengan Indeks Nino 3.4 dan
EMI

Korelasi spasial curah hujan Indonesia dengan Indeks Nino 3.4 dan EMI
menggunakan significant test pada level 90% dilampirkan pada Lampiran 1. Indeks
Nino 3.4 berkorelasi negatif secara signifikan pada bulan Juli-November dengan
koefisien korelasi sebesar -0.9 tersebar di pulau Sumatera bagian barat dan selatan,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Hal ini didukung oleh penelitian Mulyana
(2002) bahwa pada bulan Juni-November merupakan waktu kejadian pengaruh El
Nino terhadap curah hujan Indonesia. Korelasi antara curah hujan dan indeks Nino
3.4 cenderung lemah pada bulan Desember-Juni, korelasi negatif hanya terlihat di
bagian utara Kalimantan, bagian utara Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan
Nusa Tenggara Barat (Lampiran 1a). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang menyebutkan bahwa korelasi curah hujan lebih lemah saat musim basah
Desember-Januari-Februari dan Maret-April-Mei dibandingkan dengan musim
kering Juni-Juli-Agustus dan September-Oktober-November (Haylock and
McBride 2001). Koefisien korelasi positif indeks Nino 3.4 dengan curah hujan
sebesar r = 0.8 di Indonesia hanya berlangsung di bulan November-Mei di beberapa
titik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Hasil korelasi antara ENSO Modoki
Index (EMI) dengan curah hujan menunjukkan bahwa EMI memiliki pengaruh
yang kurang signifikan terhadap curah hujan di Indonesia (Lampiran 1b). Koefisien
korelasi negatif sebesar -0.8 terlihat pada bulan Januari-Maret serta Juli-November
di beberapa titik di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara,
dan Papua. Korelasi yang tidak signifikan menutupi wilayah Indonesia dari Gambar
2b menunjukkan hubungan antara EMI dan curah hujan Indonesia lemah. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dari Cai dan Cowan (2009) bahwa El
Nino Modoki memiliki variasi dampak yang lebih sedikit daripada saat El Nino
biasa.
Berdasarkan hasil korelasi spasial, sebagian besar korelasi antara Indeks
Nino 3.4 dan ENSO Modoki Index (EMI) dengan curah hujan di Indonesia bernilai
negatif setiap bulannya (Lampiran 2). Hal ini mendorong dilakukannya korelasi
parsial untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara curah hujan dengan Indeks
Nino 3.4 dengan menghilangkan pengaruh EMI, maupun sebaliknya (Ashok et al
2007). Menurut As-syakur et al (2014), korelasi parsial juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi apakah salah satu atau kedua indeks dapat dipertahankan dalam
menentukkan peristiwa musiman. Penggunaan korelasi parsial menunjukkan bahwa
8

nilai korelasi antara curah hujan dan Indeks Nino 3.4 menghasilkan koefisien
korelasi yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan korelasi biasa (Gambar 3a).

(a)

(b)

Gambar 3 Korelasi parsial curah hujan dengan Nino 3.4 ketika pengaruh EMI
dihilangkan (a) dan EMI ketika pengaruh Nino 3.4 dihilangkan (b).
9

Koefisien korelasi antara curah hujan dan Indeks Nino 3.4 bernilai negatif
kuat di bulan Juli-November dengan koefisien korelasi berkisar antara -0.7 sampai
dengan -0.9. Korelasi negatif menunjukkan apabila anomali suhu Nino 3.4
mengalami kenaikan maka akan menyebabkan berkurangnya curah hujan, begitu
pula sebaliknya. Daerah yang paling dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juli-
November adalah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Papua Barat.
Sedangkan pada bulan Desember-April korelasi negatif hanya mendominasi
sebagian wilayah Indonesia bagian utara. Hal ini didukung oleh penelitian
sebelumnya bahwa pada bulan Juli pengaruh kuat dari ENSO mulai terjadi di bagian
tengah dari Indonesia dan mulai melemah kembali di bulan November-Desember
(As-syakur et al 2014). Korelasi positif curah hujan Indonesia dengan peristiwa
ENSO terdapat di bulan November-Mei, namun hanya terletak di Sumatera,
Kalimantan, Jawa, dan Papua.
Korelasi parsial curah hujan Indonesia dan EMI dengan menghilangkan
pengaruh Indeks Nino 3.4 menghasilkan nilai korelasi yang berbeda dari korelasi
biasa (Gambar 3b). Daerah yang dipengaruhi oleh EMI hanya terdapat dibeberapa
titik di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan koefisien korelasi
negatif kisaran -0.7 sampai -0.8 di bulan Juli-Agustus dan korelasi negatif lemah di
bulan lainnya. Sedangkan korelasi positif curah hujan dengan EMI terdapat di
wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua di bulan Agustus-Mei dengan
koefisien korelasi positif kisaran 0.7-0.8. Hal ini menunjukkan ketika anomali suhu
EMI berkorelasi positif maka akan menyebabkan terjadinya kenaikan curah hujan
di Indonesia, begitupun sebaliknya. Berdasarkan gambar korelasi parsial yang
dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa ENSO mempunyai pengaruh yang lebih
signifikan dibanding ENSO Modoki terhadap curah hujan. Pernyataan ini didukung
penelitian sebelumnya oleh Feng et al (2011) bahwa selama musim semi di Cina,
tidak terjadi penurunan yang signifikan terhadap anomali curah hujan selama El
Nino Modoki.

Keragaman Anomali Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin,


Sirkulasi Walker, OLR, dan Transpor Uap Air saat ENSO dan ENSO
Modoki

Anomali curah hujan, suhu permukaan laut, angin, sirkulasi walker, outgoing
longwave radiation, dan transpor uap air yang dibahas pada penelitian ini diperoleh
dari hasil komposit masing-masing unsur iklim tersebut dalam kurun waktu 1985-
2016. Tahun-tahun kejadian peristiwa ENSO dan ENSO Modoki telah
diidentifikasi dan telah dijabarkan pada Tabel 2. Peristiwa ENSO terdiri dari El
Nino dan La Nina yang dikompositkan berdasarkan lima kejadian, sedangkan
ENSO Modoki terdiri dari peristiwa El Nino Modoki dan La Nina Modoki yang
masing-masing diwakilkan dari empat dan lima kejadian.

Curah Hujan
Penyimpangan jumlah curah hujan yang terjadi saat El Nino, El Nino
Modoki, La Nina, dan La Nina Modoki memiliki nilai yang beragam. Anomali
curah hujan memiliki anomali positif dan negatif yang berkisar antara -200 sampai
200 mm/bulan. Anomali curah hujan Indonesia ketika El Nino dan El Nino Modoki
10

didominasi oleh anomali negatif yang menandakan curah hujan di wilayah


Indonesia berkurang dari normal (Gambar 4). Hasil tersebut didukung dengan
penelitian sebelumnya yang juga menghasilkan curah hujan dengan anomali negatif
ketika peristiwa El Nino terjadi (Fadholi 2013). Sedangkan anomali curah hujan
wilayah Indonesia ketika La Nina dan La Nina Modoki sebagian besar memiliki
anomali positif (Lampiran 2). Anomali positif pada curah hujan menandakan bahwa
terjadi peningkatan jumlah curah hujan di wilayah Indonesia saat La Nina dan La
Nina Modoki.
Gambar 4a menunjukkan hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki
anomali negatif yang tersebar merata tiap bulannya saat peristiwa El Nino. Anomali
negatif curah hujan berkisar dari -50 sampai -200 mm/bulan terletak di pulau
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Anomali positif kuat terlihat pada
bulan Juli-Oktober. Gambar 4b menunjukkan wilayah Indonesia pada bulan
Desember-Mei didominasi anomali positif saat peristiwa El Nino Modoki dengan
kisaran 40-150 mm/bulan. Sedangkan anomali negatif curah hujan baru terlihat
pada bulan Juni-November dengan kisaran -40 sampai -200 mm/bulan hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Anomali negatif kuat terlihat di wilayah Jawa Tengah
saat bulan Oktober mencapai –200 mm/bulan. Anomali curah hujan Indonesia saat
La Nina ditunjukkan Lampiran 2a, wilayah Indonesia didominasi anomali positif
kisaran 50-200 mm/bulan pada bulan Juni-November. Sedangkan terdapat anomali
negatif pada bulan Desember-Mei sebagian besar di wilayah Sumatera dan Papua.
Lampiran 2b menunjukkan anomali negatif curah hujan saat La Nina Modoki
terlihat lebih nyata pada bulan Desember-Mei di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan
mencapai -120 mm/bulan. Anomali curah hujan negatif kuat terjadi di Sumatera,
Kalimantan, Jawa, dan bagian Indonesia Timur pada bulan Juli-Oktober.

Suhu Permukaan Laut (SPL)


Anomali curah hujan di suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan Suhu
Permukaan Laut (SPL) (Estiningtyas et al. 2007). Kenaikan anomali SPL Pasifik
tertinggi saat El Nino (Gambar 5a) terjadi di bulan Oktober-Februari mencapai
1.25℃. Sedangkan Gambar 5b menunjukkan kenaikan anomali SPL Pasifik saat El
Nino Modoki paling tinggi terjadi di bulan Desember-Februari kisaran 1-1,25℃.
Anomali SPL saat La Nina mengalami penurunan sebesar -1.25℃ terjadi pada
bulan September-Februari (Lampiran 3a), sedangkan anomali SPL saat La Nina
Modoki paling rendah hanya mencapai mencapai -1℃ terjadi pada bulan Juni-
Februari (Lampiran 3b). Anomali SPL Pasifik positif mengakibatkan penurunan
curah hujan di wilayah Indonesia, begitupun sebaliknya (Mulyana 2000).
Kurniawan et al. (2012) mengungkapkan angin mengalami perubahan arah
dan kecepatan apabila SPL Pasifik berubah. Hal ini terlihat saat El Nino, kenaikan
anomali SPL Pasifik menyebabkan tekanan di Pasifik rendah, sehingga angin dan
uap air dari barat termasuk wilayah Indonesia akan bergerak lebih kuat menuju
Pasifik (Hidayat dan Ando 2014). Saat El Nino terjadi perubahan kecepatan angin
di bulan September-April kisaran 5-6 m/s (Gambar 5a), sedangkan kecepatan angin
saat El Nino Modoki menguat di bulan Februari sebesar 7 m/s namun kembali
melemah di bulan lainnya (Gambar 5b). Saat La Nina dan La Nina Modoki, anomali
SPL Pasifik rendah menyebabkan tekanan di Pasifik tinggi dan wilayah Indonesia
bertekanan rendah, sehingga angin dari timur akan bergerak lebih kuat
menyebabkan curah hujan Indonesia bertambah. Saat La Nina (Lampiran 3a)
11

anomali kecepatan angin yang bergerak lebih besar dibanding saat La Nina Modoki
(Lampiran 3b).

(a)

(b)

Gambar 4 Komposit anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) saat peristiwa El


Nino (a) dan El- Nino Modoki (b). Nilai positif (negatif) menunjukkan
terjadi peningkatan (penurunan) curah hujan.
12

(a)

(b)

(b)

Gambar 5 Komposit anomali SPL (℃) dan angin (m/s) di ketinggian 850 hPa saat
peristiwa El Nino (a) dan El Nino Modoki (b). Warna merah (biru)
menunjukkan nilai anomali SPL positif (negatif).

Sirkulasi Walker
Sirkulasi walker merupakan salah satu sirkulasi timur-barat yang
mempengaruhi proses pembentukan awan. Ketika fase hangat ENSO terjadi,
anomali SPL di Pasifik mengalami kenaikan sementara anomali SPL di Indonesia
13

mengalami penurunan. Perbedaan anomali SPL menyebabkan terjadinya perbedaan


tekanan permukaan (Wang 2002).

(a)

(b)

(b)

Gambar 6 Komposit anomali sirkulasi walker dengan rataan kecepatan angin zonal
(u; m/s) dan angin vertikal (ɷ; 10-2 Pa/s) 5⁰LU-5⁰LS di ketinggian 1000-
100 hPa saat peristiwa El Nino (a) dan El Nino Modoki (b). Nilai positif
(negatif) pada angin vertikal menunjukkan divergensi (konvergensi).
14

Perbedaan tekanan permukaan menyebabkan angin yang berada di sebelah


barat Pasifik dekat Indonesia bergerak ke timur menuju Pasifik sehingga di wilayah
Pasifik mengalami konvergensi sedangkan wilayah Indonesia mengalami
divergensi (Hidayat dan Ando 2014). Hal ini berlaku juga berlaku sebaliknya.
Ketika fase dingin ENSO terjadi, maka anomali SPL Pasifik mengalami penurunan
sementara anomali SPL wilayah Indonesia naik. Tekanan di wilayah Indonesia akan
lebih rendah dibanding tekanan di Pasifik, menjadikan wilayah Indonesia
mengalami konvergensi dan Pasifik mengalami divergensi. Konvergensi sirkulasi
walker yang terjadi memudahkan udara terangkat ke atas yang dapat menyebabkan
terbentuknya awan di Indonesia (Harijono 2008).
Anomali sirkulasi Walker ketika El Nino (Gambar 6a) menunjukkan bahwa
wilayah Pasifik mengalami konvergensi, sedangkan Indonesia mengalami
divergensi tiap bulannya. Konvergensi wilayah Pasifik paling kuat terjadi pada
bulan November-Maret. Hal ini menyebabkan wilayah Pasifik mengalami
peningkatan curah hujan, sedangkan wilayah Indonesia mengalami kekeringan
karena penurunan jumlah curah hujan dari kondisi normal. Saat El Nino Modoki
(Gambar 6b) terlihat wilayah Indonesia mengalami divergensi dan Pasifik
mengalami konvergensi yang terkonsentrasi di wilayah tengahnya. Konvergensi di
Pasifik tengah terlihat sangat kuat di bulan Desember-Maret.
Anomali sirkulasi Walker saat La Nina (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa
wilayah Indonesia mengalami konvergensi, sedangkan wilayah Pasifik mengalami
divergensi. Divergensi wilayah Pasifik paling kuat terjadi pada bulan Desember-
April. Hal ini menyebabkan wilayah Indonesia mengalami peningkatan curah hujan
dari nilai jumlah normalnya saat La Nina. Anomali Walker saat La Nina Modoki
(Lampiran 4b) terlihat wilayah Indonesia mengalami konvergensi lemah dan
Pasifik mengalami divergensi yang terpusat hanya di wilayah tengahnya.
Divergensi saat La Nina Modoki di Pasifik tengah terlihat jelas di bulan Desember-
Maret.

Outgoing Longwave Radiation (OLR)


Nilai OLR dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keawanan di suatu
wilayah. Saat El Nino dan El Nino Modoki (Gambar 7), anomali OLR di wilayah
Indonesia didominasi anomali positif yang menunjukkan nilai OLR tinggi yang
keluar dari bumi menandakan hambatan radiasi bumi yang rendah, dengan kata lain
awan yang terbentuk saat kondisi ini sedikit (Handayani et al. 2016). Hal tersebut
berlaku sebaliknya untuk peristiwa La Nina dan La Nina Modoki (Lampiran 5),
bahwa anomali OLR di wilayah Indonesia akan didominasi anomali negatif yang
menandakan bahwa nilai OLR yang keluar dari bumi rendah, yang berarti terdapat
hambatan yang menghalangi. Hambatan yang menghalangi ini diindikasikan awan
yang terbentuk di wilayah Indonesia.
Nilai OLR wilayah Indonesia saat El Nino (Gambar 7a) bernilai positif paling
besar kisaran 10 sampai 30 W m-2 pada bulan Desember-April. Anomali positif
lemah di bulan Mei-Agustus, anomali OLR kembali menguat di bulan September-
Oktober. Hal ini menandakan awan yang terbentuk pada bulan tersebut sangat
rendah. Saat El Nino Modoki, nilai OLR (Gambar 7b) di wilayah Indonesia bernilai
positif kisaran 5-30 W m-2 pada bulan Oktober-Maret. Sedangkan di bulan April-
September anomali OLR positif lemah hanya berkisar antara 5-15 W m-2. Anomali
15

OLR positif lemah menunjukkan bahwa awan yang terbentuk saat El Nino Modoki
lebih tinggi daripada saat El Nino.

(a)

(b)

Gambar 7 Komposit anomali OLR (W/m2) saat El Nino (a) dan El Nino Modoki
(b). Warna merah (biru) menunjukkan nilai anomali OLR positif
(negatif).
16

Anomali OLR saat La Nina (Lampiran 5a) di Indonesia bernilai negatif


kisaran -5 sampai -30 W m-2 pada bulan Oktober-Maret, dan nilai OLR cenderung
negatif lemah pada bulan lain. Anomali OLR ketika La-Nina Modoki (Lampiran
5b) di sekitar wilayah Indonesia cenderung bernilai negatif lemah kisaran -5 sampai
-25 W m-2 paling tinggi hanya pada bulan Oktober-Januari. Nilai anomali OLR
cenderung negatif lebih kuat saat La Nina menunjukkan awan yang terdapat di atas
Indonesia saat kondisi La Nina lebih tebal daripada saat La Nina Modoki. Hal ini
sesuai karena ketika La Nina terjadi peningkatan curah hujan di Indonesia lebih
tinggi daripada peningkatan curah hujan yang terjadi saat La Nina Modoki.

Transpor Uap Air


Nilai Outgoing Longwave Radiation (OLR) di suatu wilayah bergantung pada
proses transpor uap air yang terjadi di wilayah tersebut (Gambar 8). Anomali curah
hujan sebagian besar dipengaruhi oleh sumber utama massa udara wilayah
Indonesia yang berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan (Zhou dan Yu
2005). Saat El Nino (Gambar 8a) terlihat bahwa proses transpor uap air tinggi di
wilayah Laut Cina Selatan pada bulan Juni-Agustus berkisar antara 250-350 kg/m/s,
sedangkan transpor uap air tinggi di wilayah Samudera Pasifik saat bulan
Desember-Maret kisaran 250-350 kg/m/s. Ketika El Nino Modoki (Gambar 8b),
pola transpor uap air tidak jauh berbeda dengan El Nino, namun transpor uap air
yang terjadi lebih rendah jumlahnya dibanding saat El Nino Modoki.
Saat La Nina (Lampiran 6a) terlihat bahwa proses transpor uap air tinggi di
wilayah Laut Cina Selatan pada bulan Juni-Agustus, sedangkan pada bulan
Desember-Februari, transpor uap air tinggi di wilayah Samudera Pasifik. Ketika La
Nina Modoki, pola transpor uap air (Lampiran 6b) tidak jauh berbeda dengan La
Nina, namun jumlah transpor uap air bernilai lebih rendah saat La Nina Modoki
daripada saat La Nina. Proses transpor uap air saat La Nina dan La Nina Modoki
memicu terbentuknya awan konvektif di wilayah – wilayah tersebut (Harijono
2008). Banyaknya awan konvektif yang terbentuk menyebabkan kenaikan curah
hujan (Sofiati 2012).
17

(a)

(b)

Gambar 8 Transpor uap air (kg/m/s) saat El Nino (a) dan El Nino Modoki (b).
18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Korelasi parsial curah hujan dengan Indeks Nino 3.4 menunjukkan hasil yang
hampir serupa seperti korelasi biasa, koefisien korelasi kisaran -0.7 sampai -0.9
sedangkan saat EMI koefisien korelasi hanya signifikan pada wilayah-wilayah
tertentu dengan nilai koefisien korelasi negatif yang lebih rendah sekitar -0.4 hingga
-0.5. Anomali curah hujan saat peristiwa El Nino bernilai negatif berkisar -120
sampai -200 mm/bulan, sedangkan saat El Nino Modoki anomali negatif lemah
mencapai -40 sampai -150 mm/bulan mulai dari bulan Juli-Oktober tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Anomali curah hujan saat peristiwa La Nina bernilai
positif berkisar antara 200-250 mm/bulan, sedangkan saat La Nina Modoki
memberi dampak anomali positif yang lebih lemah hanya berkisar antara 100-150
mm/bulan jika dibandingkan saat peristiwa La Nina terjadi.
Anomali SPL mengalami kenaikan mencapai 1.5°C pada bulan September-
Maret saat El Nino dan pada bulan November-Desember saat El Nino Modoki.
Peristiwa La Nina menunjukkan anomali SPL di sepanjang Samudera Pasifik
mencapai -1.5°C, sedangkan La Nina Modoki anomali SPL mendingin terpusat
hanya di bagian tengah pada bulan Desember, Januari, Oktober, dan November
sekitar -1.25°C. Sirkulasi walker menandakan daerah Indonesia mengalami
divergensi dan Samudera Pasifik mengalami konvergensi ketika El Nino dan El
Nino Modoki. Sebaliknya saat La Nina dan La Nina Modoki, di Indonesia
mengalami konvergensi sedangkan Pasifik mengalami divergensi. Perbedaan pola
Sirkulasi Walker saat ENSO dan ENSO Modoki adalah saat ENSO hanya akan
terbentuk dua pola yang menandakan daerah konvergensi dan divergensi,
sedangkan saat ENSO Modoki, maka akan terbentuk tiga pola berbeda yang
menunjukkan daerah tersebut mengalami divergensi, konvergensi, dan divergensi
kembali ataupun sebaliknya.
Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang dihasilkan saat El Nino paling
tinggi berkisar antara 20-30 W m-2 sedangkan saat El Nino Modoki sekitar 10
sampai 25 W m-2 di bulan Desember-Februari. OLR bernilai negatif kisaran -20
sampai -30 W m-2 di sepanjang wilayah Indonesia saat La Nina terjadi pada bulan
Oktober-Maret dan saat La Nina Modoki nilai OLR berkisar antara -5 sampai -25
W m-2 hanya pada bulan Oktober-Januari. Nilai anomali OLR positif menandakan
jumlah awan konvektif yang terbentuk rendah (El Nino dan El Nino Modoki),
sedangkan ketika anomali OLR negatif menandakan jumlah awan konvektif yang
terbentuk tinggi (La Nina dan La Nina Modoki). Transpor uap air menunjukkan
proses penguapan yang terjadi yang dapat memicu pembentukan awan di wilayah
Indonesia. Saat El Nino dan El Nino Modoki proses transpor uap air lebih rendah
nilainya dibandingkan saat La Nina dan La Nina Modoki.

Saran

Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan indeks ENSO lain


seperti indeks Nino 1.2, indeks Nino 3, dan indeks Nino 4 agar terlihat apabila
terdapat persamaan ataupun perbedaan dampak yang diberikan. Serta menggunakan
19

luas wilayah kajian yang lebih spesifik, agar dampak terhadap curah hujan di suatu
pulau agar hasilnya lebih detail.

DAFTAR PUSTAKA

Ashok K, Behera SK, Rao AS, Weng HY, Yamagata T. 2007. El Nino Modoki and
its teleconnection. Jurnal of Geophysical Reasearch 112(1): 117.
Ashok K, Yamagata T. 2009. The El Nino with a difference. Nature 461: 481-484.
Ashok K, Marathe SM, Sahai KA, Panickal S. 2017. Nonlinearities in the
evolutional distinctions between El Nino and La Nina types. Journal of
Geophysical Research: Ocean 112 (12): 9649-9662.
As-syakur A, Adnyana IW, Mahendra MS, Arthana IW, Merit IN, Kasa IW,
Ekayanti NW, Nuarsa IW, Sunarta IN. 2014. Observation of spatial patterns
on the rainfall response to ENSO and IOD over Indonesia using TRMM
Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA). International Journal of
Climatology 34: 3825-3839.
Cai W, Cowan T. 2009. La Nina Modoki impacts Australia autumn rainfall
variability. Geophysical Research Letters 36(1): 1-4.
Diaz HF, Bradley B. 2004. The Hadley Circulation: Present, Past and Future.
Kluwer Academic Publishers (NL): The Netherlands.
Estiningtyas W, Ramadhani F, Aldrian E. 2007. Analisis korelasi curah hujan dan
SPL SPL wilayah Indonesia, serta implikasinya untuk prakiraan curah hujan
(studi kasus Kabupaten Cilacap). Jurnal Agromet Indonesia. 21(2): 46-60.
Fadholi A. 2013. Studi dampak El Nino dan Indian Oceanic Dipole (IOD) terhadap
curah hujan di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan 11(1): 43-50.
Feng J, Chen W, Tam CY, dan Zhou W. 2011. Different impact of El Nino and El
Nino Modoki on China Rainfall in the decaying phases. International Journal
of Climatology 31: 2091-2101.
Harijono S. 2008. Analisis dinamika atmosfer di bagian utara ekuator Sumatera
pada saat peristiwa El Nino dan Dipole Mode positif terjadi bersamaan.
Jurnal Sains Dirgantara 5(2): 143.
Haylock M, McBride JL. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian
wet season rainfall. Journal of Climate 14(1): 3882-3887.
Hidayat R, Ando K. 2014. Variablitias curah hujan Indonesia dan hubungannya
dengan ENSO/IOD: Estimasi menggunakan data JRA-25/JDCAS. Jurnal
Agromet 28(1): 1-8.
Juniarti, MD. 2014. Dampak La Nina Modoki dan Dampaknya terhadap
Keragaman Curah Hujan di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kurniawan R, Habibie MN, Permata DS. 2012. Kajian daerah rawan gelombang
tinggi di Perairan Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13(3): 210.
Li X, Li C, Ling J, Tan Y. 2015. The relationship between contiguous El Niño and
La Niña revealed by self-organizing maps. Jurnal of Climate 28(1): 8121.
Manik KT. 2009. Analisis deret waktu curah hujan untuk mengkaji perubahan iklim
di daerah tangkapan air propinsi Lampung. Jurnal Agromet Indonesia 23(1):
62.
20

Mulyana E. 2000. Hubungan antara anomali suhu permukaan laut dengan curah
hujan di Jawa. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 1(2): 129.
Mulyana E. 2002. Hubungan antara ENSO dengan variasi curah hujan di Indonesia.
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 3(1): 1-4.
Nabilah F, Prasetyo Y, dan Sukmono A. 2017. Analisis pengaruh fenomena El Nino
dan La Nina terhadap curah hujan tahun 1998 - 2016 menggunakan indicator
ONI (Oceanic Nino Index) (studi kasus: Provinsi Jawa Barat). Jurnal Geodesi
Undip 6(4): 405.
Sofiati I. 2012. Karakteristik Outgoing Longwave Radiation (OLR) berdasarkan
empirical orthogonal function (EOF) dan kaitannya dengan curah hujan di
wilayah Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara 10(1): 40.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID):
Alfabeta.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Tokinaga H, Xie SP, Deser C, Kosaka Y, Okumura YM. 2012. Slowdown of the
Walker Circulation driven by tropical Indo-Pacific warming. Nature
491(7424): 439-443.
Tongkukut SHJ. 2011. El Nino dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Manado
Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains 11 (1): 104.
Trenberth KE. 1997. The definition of El Nino. Bull Amer Met Soc 78: 2771-2777.
Trenberth KE, Stepaniak DP. 2001. Indices of El Niño evolution. Jurnal of
Climate 14(1): 1697–1701.
Wang C. 2002. Atmospheric circulation cell associated with the El Nino Southern
Oscillation. Journal of Climate 15(1): 399-419.
Windari EH, Faqih A, Hermawan E. 2012. El Nino Modoki dan pengaruhnya
terhadap curah hujan monsunal di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan
Geofisika 13(3): 149-160.
Yananto A, Sibarani RM. 2016. Analisis kejadian El Nino dan pengaruhnya
terhadap intensitas curah hujan di wilayah Jabodetabek (studi kasus :periode
puncak musim hujan tahun 2015/2016). Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi
Cuaca 17(2): 65-73.
Zhou TJ, Yu RC. 2005. Atmospheric water vapor transpor associated with typical
anomalous summer rainfall patterns in China. Journal of Geophysical
Reseach. 110(8): 1-10.
21
22

LAMPIRAN
21
23

Lampiran 1 Korelasi spasial curah hujan dengan Nino 3.4 (a) dan EMI (b)

(a)

(b)
22
24

Lampiran 2 Komposit anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) saat peristiwa


La Nina (a) dan La Nina Modoki (b). Nilai positif (negatif)
menunjukkan terjadi peningkatan (penurunan) curah hujan.

(a)

(b)
23
25

Lampiran 3 Komposit anomali SPL (℃) dan angin (m/s) di ketinggian 850 hPa
saat peristiwa La Nina (a) dan La Nina Modoki (b). Warna merah
(biru) menunjukkan nilai anomali SPL positif (negatif).

(a)

(b)
24
26

Lampiran 4 Komposit anomali sirkulasi walker dengan rataan kecepatan angin


zonal (u; m/s) dan angin vertikal (ɷ; 10-2 Pa/s) 5⁰LU-5⁰LS di
ketinggian 1000-100 hPa saat peristiwa La Nina (a) dan La Nina
Modoki (b). Nilai positif (negatif) pada angin vertikal menunjukkan
divergensi (konvergensi).

(a)

(b)
25
27

Lampiran 5 Komposit anomali OLR (W/m2) saat La Nina (a) dan La Nina Modoki
(b). Warna merah (biru) menunjukkan nilai anomali OLR positif
(negatif).

(a)

(b)
26
28

Lampiran 6 Transpor uap air (kg/m/s) saat La Nina (a) dan La Nina Modoki (b)

(a)

(b)
27
29

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak, 4 Oktober 1996 sebagai anak pertama dari
dua bersaudara dari pasangan Bapak Djuremi Ramlan dan Ibu Yenni. Pada tahun
2014 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 7 Pontianak. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor sebagai
mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan mayor Meteorologi
Terapan melalui jalur UTMI. Selama menjalani masa studi penulis aktif dalam
organisasi International Asscociation of Students in Agricultural and Related
Sciences (IAAS) IPB di divisi Human Resources Departement (HRD) (2015-2016),
Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Pelajar Kalimantan Barat (KPMKB) di
Divisi Komunikasi dan Informasi (2016-2017), Himpunan Mahasiswa
Agrometeorologi (HIMAGRETO) Kabinet Lapse Rate di Divisi Komunikasi dan
Informasi (2016-2017) dan aktif dalam berbagai kepanitiaan salah satunya menjadi
Liaison Officer IAAS World Congress di Indonesia, serta dalam lingkup FMIPA
maupun IPB. Pada tanggal 27 April 2017 penulis mengikuti Seminar Nasional
Sains Atmosfer (SNSA) yang diselenggarakan oleh LAPAN di Bandung.

Anda mungkin juga menyukai