Anda di halaman 1dari 210

METEOROLOGI INDONESIA

VOLUME I

KARAKTERISTIK DAN SIRKULASI ATMOSFER

Bayong Tjasyono HK.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA


Bayong Tjasyono HK.

Meteorologi Indonesia I: Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer/ Bayong Tjasyono-


Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

xvi+173 hlm: 16x21 cm


ISBN: -979-99507-5-9
1. Meteorologi 1. Judul

551.5

Penulis : Bayong Tjasyono HK.

Editor &Reviewer : Suratno


Welly Fitria
Dyah Lukita Sari

Penerbit : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


Jl. Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720
Telp. (6221) 4246321; Faks. (6221) 4246703

Cetakan I, Tahun 2006


Cetakan II, Tahun 2007
Cetakan III, Tahun 2009
Cetakan IV, Tahun 2012

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2009


Kata Pengantar Penerbit
Cetakan ke-4

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


hanya atas perkenanNya, buku Meteorologi Indonesia 1,
Karakteristik & Sirkulasi Atmosfer dapat diterbitkan kembali untuk
cetakan ke-4. Buku ini diterbitkan kembali atas dasar banyaknya
permintaan dari para pengguna, yaitu peneliti, mahasiswa, dan dari
lingkungan BMKG sendiri.
Penerbitan kembali untuk cetakan ke-4 ini dilakukan setelah
proses penyempurnaan yaitu dengan mengkompilasi usulan perubahan/
koreksi dari pengguna dan Reviewer yang secara khusus ditunjuk untuk
memberikan masukan/koreksi baik dari segi penulisan maupun
substansinya. Reviewer untuk buku ini adalah Drs. Suratno, M,Si yang
dianggap mempunyai kompetensi di bidang ini. Usulan perubahan
tersebut kemudian disampaikan kepada Penulis untuk mendapat
persetujuannya.
Besar harapan kami, buku ini dapat digunakan menjadi acuan
baik untuk pembelajaran maupun penelitian, sehingga dapat
mempunyai andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan, utamanya
di bidang meteorologi.
Kepada Reviewer dan Penulis kami mengucapkan terima
kasih, mudah-mudahan usaha penyempurnaan buku ini bisa
berlanjut, sehingga menjadi buku yang semakin berbobot.
Jakarta, Agustus 2012

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan


Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Dr. Masturyono, M.Sc

Meteorologi Indonesia Volume 1


i
Prakata
Buku Meteorologi Indonesia disusun berdasarkan
pengalaman memberi kuliah-kuliah pada Program Sarjana
Meteorologi dan Program Pascasarjana (Magister dan Doktoral) Ilmu
Kebumian bidang khusus Sains Atmosfer di Fakultas Ilmu Kebumian
dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Naskah Meteorologi
Indonesia juga ditunjang oleh pengalaman penelitian di bidang
Meteorologi dan Sains Atmosfer yang dibiayai oleh ITB, BMG
(sekarang BMKG), Depdiknas, RUT, Bank Dunia, dan lain-lain.
Pada dasarnya buku ini dapat dimanfaatkan untuk umum,
namun lebih khusus sebagai buku referensi operasional penelitian dan
pengembangan bidang Meteorologi di Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG). Buku ini dapat dimanfaatkan sebagai buku ajar pada fakultas-
fakultas ilmu kebumian, kelautan, geografi, lingkungan, pertanian,
kehutanan, geohidrologi, hidrologi, meteorologi, sains atmosfer, dan lain-
lain. Buku ini terdiri dari dua volume yaitu Volume I : Karakteristik dan
Sirkulasi Atmosfer dan Volume II : Awan dan Hujan Monsun.
Buku Meteorologi Indonesia Volume I membahas Posisi
Indonesia secara geografis dan meteorologis, Aplikasi dan divisi
meteorologi, Komposisi dan struktur atmosfer, Sifat fisis atmosfer
Indonesia, Proses transmisi panas dan pemanasan atmosfer, Insolasi
dan teori radiasi benda hitam, Gerak fluida atmosferik, Sirkulasi
atmosfer global dan lokal, Siklon tropis di sekitar perairan Indonesia
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika melalui Pusat
Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMG yang telah
mensponsori dan mendanai penyusunan buku Meteorologi Indonesia
sampai selesai. Kepada Pak Maman yang telah membantu pengetikan
dan Pak Otang yang membuat gambar-gambar naskah buku ini, serta
kepada semua pihak yang mendukung penyelesaian buku ini kami
mengucapkan terima kasih. Akhirnya penulis mengharapkan semoga
buku Meteorologi Indonesia dapat mencapai sasaran dan
bermanfaat bagi penggunanya.
Bandung, Agustus 2006
Bayong Tjasyono HK.

Meteorologi Indonesia Volume 1


ii
Pengantar

Meteorologi berkembang dari negara-negara maju yang


pada umumnya terletak di daerah subtropis dengan 4 musim yaitu
musim panas (summer), musim gugur (autumn), musim dingin (winter)
dan musim semi (spring). Meteorologi Indonesia mempunyai
keistimewaan dan keunikan tersendiri. Wilayah Indonesia adalah
bagian sistem bumi sebagai kesatuan alam antara : i). atmosfer yaitu
lapisan gas yang sangat cepat tanggap terhadap gaya eksternal
seperti matahari, (ii). biosfer yaitu lapisan kehidupan termasuk tumbuh-
tumbuhan, hewan dan manusia yang aktivitasnya mempunyai efek
terhadap iklim lokal maupun global, (iii). hidrosfer yaitu lapisan air
permukaan yang mempunyai kapasitas panas besar, (iv). kriosfer yaitu
bagian permukaan bumi dengan temperatur rata-rata di bawah titik
beku seperti di Puncak Jaya Wijaya (Papua), (v). pedosfer yaitu lapisan
padat permukaan. Kelima komponen lapisan bumi ini dimiliki oleh bumi
Indonesia dan interaksi kelima komponen ini menghasilkan cuaca dan
iklim Indonesia yang khusus terutama keunikan pembentukan
awannya dan kompleksitas atmosfernya.

Bumi sebagai anggota sistem matahari (tata surya) berevolusi


mengelilingi matahari melalui orbit eliptik dengan eksentrisitas 0,017 dan
periode 1 tahun (365,3 hari). Bumi juga berotasi mengelilingi sumbu
imaginernya dengan periode 1 hari (23 jam, 56 menit, 42 sekon),
-5 -1
sehingga kecepatan sudut rotasinya adalah 7,29 x 10 rad.s . Dua
gerakan revolusi dan rotasi bumi menyebabkan migrasi tahunan (gerak
semu) matahari dari lintang tropis Cancer (23,5 U) pada tanggal 22 Juni,
ke lintang ekuator (0) pada 23 September, ke lintang tropis Capricorn
(23,5 S) pada tanggal 22 Desember dan ke ekuator kembali pada
tanggal 21 Maret. Dampak dari migrasi tahunan matahari adalah 4
musim. Tetapi meteorologi Indonesia tidak mengenal 4 musim yang
disebutkan di atas karena kita pada umumnya tidak tahu kapan bulan
terpanas dan kapan bulan terdingin, sebaliknya kita lebih tahu bulan
dengan jumlah curah hujan berlimpah dan bulan dengan jumlah curah

Meteorologi Indonesia Volume 1


iii
hujan sedikit. Jadi, Indonesia Iebih lazim mempunyai musim hujan (rainy
season) dan musim kering (dry season).

Wilayah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di bumi


yang mempunyai garis pantai 80.791 km, terdiri dari 17.508 pulau
besar dan kecil, dibatasi oleh lintang tempat sekitar 7 U atau vortisitas
-5 -1 -5 -1
bumi 1,8 x 10 s dan 10 S atau vortisitas bumi 2,5 x 10 s , terletak
antara dua benua (Asia dan Australia) dan antara dua osean (Pasifik
dan Hindia), dilalui oleh ekuator geografis, dilalui oleh ekuator
klimatologis (atau zona konvergensi intertropis), dilalui oleh arus lintas
Indonesia (Arlindo) dari samudera Pasifik ke Hindia, menerima insolasi
maksimum dan panas laten dalam jumlah besar, dikuasai oleh monsun
Australasia dan arus monsun Indonesia (The Indonesian Monsoon
Current), dan terjadi ekinoks 2 kali setahun. Ekinoks adalah kedudukan
matahari tepat pada ekuator terjadi pada tanggal 21 Maret dan 23
September yang disebut hari kulminasi. Di Pontianak wisatawan
mancanegara berdatangan pada hari kulminasi untuk membuktikan
bahwa pada jam 12.00 di tugu ekuator tidak terjadi bayangan. Ketika
ekinoks panjang siang dan malam hari sama yaitu 12 jam, insolasi
maksimum di ekuator dan menuju nol di kutub-kutub bumi.
Indonesia sebagai daerah ekuatorial (10 U 10 S)
menerima surplus energi panas untuk segala musim. Dampak ekinoks
terlihat pada distribusi curah hujan bulanan yang menunjukkan
maksima ganda seperti di Pontianak. Energi panas ini dipakai untuk
menggerakan atmosfer secara global ke daerah-daerah lintang
menengah dan tinggi melalui awan Cumulus tinggi (Cumulonimbus)
yang terbentuk di daerah ekuatorial. Ada tiga daerah ekuatorial dimana
konveksi troposfer dan formasi awan Cumulusnya menjadi penting,
yaitu Indonesia, Afrika ekuatorial (Afrika Tengah), dan Amerika
ekuatorial (Amerika Selatan). Tetapi diantara ketiganya, Indonesia
adalah daerah konvektif sangat aktif, pembentukan awan Cumulusnya
bervariasi secara musiman dan non musiman ataupun tahunan oleh
fenomena monsun, El Nino/La Nina, Osilasi Selatan, Osilasi Madden
Julian, oleh fenomena lokal seperti angin laut darat, arus anabatik
katabatik, angin seperti Fhn dan lain-lain.

Meteorologi Indonesia Volume 1


iv
Curah hujan maksimum dalam musim panas berkaitan dengan
intensifikasi tekanan rendah panas (heat low). Curah hujan di daerah
monsun disebabkan : a) oleh Cumulus bermenara atau Cumulonimbus
jika geser angin (wind shear) vertikal dan konvergensi troposferik bawah
keduanya kecil, hujannya disebut "hujan deras" (shower), atau b) oleh
Nimbostratus kuat (deep Ns) dengan dibarengi Cumulonimbus jika
geser angin vertikal dan konvergensi troposferik bawah keduanya
besar. Meskipun intensitas hujan cukup besar tetapi pada umumnya
langit mendung dan hujannya disebut "hujan biasa" (rain).
Sebagai wilayah kepulauan (benua maritim) yang
berpegunungan, cuaca dan iklim Indonesia dipengaruhi oleh sistem
angin lokal seperti angin darat - laut dan angin lembah - gunung. Sistem
angin harian (diurnal) sangat penting dalam klimatologi karena terjadi
secara reguler dan sering. Kasus ini terjadi di beberapa tempat di
benua maritim Indonesia. Perubahan panas antara slang dan malam
merupakan gaya penggerak utama sistem angin harian, karena ada
beda panas yang kuat antara udara di atas darat dan di atas laut atau
antara udara di atas tanah tinggi (pegunungan) dan tanah rendah.
Karena durasinya terbatas, maka sistem angin harian biasanya hanya
efektif pada area-area relatif kecil, dan jarang meluas atau menembus
ke daerah yang jauh, karena itu sistem angin ini kebanyakan
menyebabkan variasi lokal. Ada dua tipe utama lokasi angin harian
yaitu: daerah pantai, sepanjang laut, dan dekat danau besar dimana
sistem angin darat dan laut (atau danau) sering terjadi, dan daerah
pegunungan dimana beda tipe lembah dan gunung menyebabkan
terjadinya angin lembah dan gunung.
Cuaca mempengaruhi kehidupan baik terhadap manusia,
binatang maupun tanaman. Karena itu memanfaatkan cuaca dan iklim
dengan balk dan tepat merupakan suatu usaha meningkatkan produksi.
Banjir merupakan masalah yang kompleks dan tidak bisa ditinjau dari
satu segi saja. Jumlah curah hujan yang sama mungkin menyebabkan
banjir di tempat yang satu tetapi belum tentu di tempat lain. Menjaga
keseimbangan air (water balance) merupakan salah satu langkah yang
sebaiknya dilakukan. Perkembangan kota misalnya tanpa ditunjang data

Meteorologi Indonesia Volume 1


v
iklim terutama curah hujan dapat dilanda banjir jika jalan atau
bangunan tidak dilengkapi dengan saluran yang memadai. Jalan
beraspal dan bangunan beton di suatu kota jika tidak diimbangi dengan
lahan-lahan yang disediakan untuk tanaman, maka daya resap tanah
terhadap air hujan makin lama makin berkurang dan ini menyebabkan
pori-pori permukaan tidak mampu lagi meresapkan air hujan yang
mempunyai ukuran tetes lebih besar.
Faktor meteorologi utama yang menyebabkan banjir adalah
curah hujan. Jenis hujan akan mempengaruhi hidrologi air pemukaan,
misalnya hujan gerimis (drizzle) biasanya mempunyai diameter tetes
hujan kurang dari 1 mm, dan intensitas curah hujan kecil, sehingga air
hujan mempunyai banyak kesempatan untuk meresap ke dalam pori-
pori tanah, tetapi hujan deras (shower) yang mempunyai diameter tetes
antara 4 - 6 mm dengan intensitas curah hujan tinggi, memungkinkan
tertutupnya pori-pori tanah oleh tetes hujan besar, sehingga banyak air
hujan yang tidak sempat meresap ke dalam tanah dan terjadi air bah
atau banjir. Faktor lain yang bukan meteorologis adalah sifat-sifat tanah
itu sendiri, misalnya tanah gundul, tanah dengan tutupan tanaman,
tanah miring, tanah datar, tanah lembap, tanah keras, pendangkalan
sungai, semuanya akan mempengaruhi terjadinya banjir. Analisis
frekuensi banyak dipakai dalam menanggulangi banjir yaitu dalam
perencanaan bendungan atau waduk, gorong-gorong dan sebagainya.
Secara praktis suatu keharusan untuk membuat kantong-kantong air,
meningkatkan daya serap tanah terhadap air hujan yang berarti
menjaga keseimbangan air dan daur hidrologi.
Memang curah hujan merupakan salah satu bagian yang
penting bagi semua aspek kemasyarakatan baik dalam pertanian,
hidrologi dan lain-lain. Curah hujan ditempat yang tinggi mempunyai
energi potensial yang dapat diubah menjadi energi lain, misalnya energi
listrik. Karena itulah kesadaran umat manusia terhadap kelestarian alam
sangat didambakan agar setiap tetes hujan yang jatuh ke permukaan
bumi dapat dikelola dengan baik dan tepat sehingga mendatangkan
manfaat bagi kita semua dan bukan sebaliknya mendatangkan
malapetaka (katastrol) dan menimbulkan bencana alam kebumian.

Meteorologi Indonesia Volume 1


vi
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1.1. Penampang vertikal bagian-bagian bumi
Indonesia yang interaksinya membentuk sistem
cuaca dan iklim yang khas. 4
1.2. Posisi geografis dan meteorologis bumi
Indonesia terhadap samudera dan benua lain 5
Gambar 2.1. Perubahan fasa air menjadi fasa uap dan fasa 22
es.
2.2. Komponen atmosferik yang berubah dengan 23
ketinggian.
2.3. Lapisan atmosfer berdasarkan profit temperatur 25
vertikal. 26
2.4. Tropopause dalam bidang meridian.
2.5. Lapisan troposfer dan stratosfer yangdibatasi 27
tropopause.
2.6. Lapisan homosfer dan heterosfer yang dibatasi 29
turbopause. 32
2.7. Daerah ionosfer dan profil densltas elektron
2.8. Sumber radiasi yang menyebabkan ionisasi di 33
ionosfer. 35
2.9. Pengukuran ionosfer dengan ionosonde. 36
2.10. Struktur ionosfer.
2.11. Distribusi bulanan tinggi isoterm 0C dan 38
tropopause di atas Jakarta. 42
2.12. Distribusi spektral penampang absorpsi
2.13. Pengukuran konsentrasi rata-rata tahunan ozon 48
troposferik dan stratosferik di Jerman.
56
Gambar 3.1. Definisi stabilitas udara.
3.2. (a).Sifat sinar cahaya dalam proses refraksi. 65
(b). Sudut kritis dan refleksi total. 70
3.3. Variasi jalannya sinar terhadap indeks refraksi. 70

Meteorologi Indonesia Volume 1


vii
3.4. Refraksi gelombang radioelektrik oleh atmosfer.
3.5. Bagan sinar radar pada bumi nil (a) dan bumi 71
fiktif (b).
3.6. Kesalahan sudut elevasi (a) akibat refraksi 72
atmosfer. 74
3.7. Distribusi vertikal stabilitas statis di atas Jakarta.
3.8. Histogram indeks stabilitas Showalter menurut 79
musim di atas Jakarta 81
3.9. Profit vertikal temperatur potensial ekivalen.
3.10. Distribusi vertikal refraktivitas radio dalam bulan 83
Januari dan Oktober di atas Jakarta. 84
3.11. Variasi harian refraktivitas radio di atas Jakarta.
91
Gambar 4.1. Konveksi dalam zat cair yang dipanasi.
4.2. Deret waktu jumlah noda matahari rerata 99
tahunan dalam beberapa ratus tahun yang lalu 100
4.3. Insolasi dan eteknya terhadap atmosfer. 101
4.4. Sudut inklinasi dan intensitas insolasi 101
4.5. Lintang tempat dan insolasi.
4.6. Sudut jatuh sinar matahari di lembah 102
(pegunungan).
4.7. Panjang slang sepanjang tahun untuk berbagai 103
lintang tempat. 107
4.8. Keseimbangan panas bumi. 109
4.9. Insolasi di kutub selatan. 111
4.10. Kedudukan ekinoks.
4.11. Hubungan inklinasi dengan perubahan musim 112
di BBU. 113
4.12. Solstis musim panas di BBU. 114
4.13. Solstis musim panas di BBS.
4.14. Distribusi energi yang dipancarkan benda hitam
pada 6000 K (vertikal kiri dan horizontal bawah)
117
dan pada 300 K (vertikal kanan dan horizontal
atas).

Meteorologi Indonesia Volume 1


viii
Gambar 5.1. Sistem angin dan tekanan terestrial idaman
(ideal). 124
5.2. Rata-rata tekanan dan angin di Indonesia
a). Januari dan b). Juli. 125
5.3. Model sel Hadley. 5.4.I l u s t r a s i s k e m a t i k
distribusi tekanan dan angin yang diamati. 129
5.4. Ilustrasi skematik distribusi tekanan dan angin
yang diamati. 131
5.5. Pola sirkulasi atmosfer meridional skematik di
BBU. 132
5.6. Gaya gradien tekanan dalam musim dingin dan
musim panas. 135
5.7. Bagan gaya gravitasional monsun. 136
5.8. Sirkulasi zonal ekuatorial tahun non El Nirio. 138
5.9. Sirkulasi zonal ekuatorial tahun El Nino. 139
5.10. Bagan sirkulasi dasar dalam tahun El Nino. 139
5.11. Pola dasar angin darat dan laut 141
5.12. Perbedaan temperatur permukaan darat laut
dan hubungannya dengan kecepatan angin laut. 145
5.13. Pola dasar angin lembah dan gunung. 146
5.14. Beth area zona konvektif lepas pantai sekitar
Papua New Guinea dalam monsun barat laut
dan monsun tenggara. 147
5.15. Terjadinya angin Fhn. 148
5.16. Jumlah global badai tropis bulanan. 150
5.17. lsoterm permukaan taut. 153
5.18. Garis arus udara pukul 12.00 waktu universal,
14 Januari 1982. 153

Meteorologi Indonesia Volume 1


ix
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 2.1. Gas dalam udara kering. 20
2.2. Data Radiosonde di alas Jakarta. 40
2.3. Hubungan tinggi geometrik dan tinggi geopotensial. 40
Tabel 3.1. Kategori stabilitas atmosfer. 63
3.2. Stabilitas atmosfer termodifikasi menurut Pasquill. 64
3.3. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km)
Januari 1979, Jakarta 73
3.4. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km) Juli
1979, Pukul 19.00 W.L, Jakarta 74
3.5. Stabilitas rata-rata bulanan (derajat per km) di atas
Jakarta, 1979 75
3.6. Distribusi frekuensi indeks stabilitas Showalter (I.) di
atas Jakarta,1980 78
3.7. Interval kelas predominan indeks stabilitas
Showalter (I.) di atas Jakarta, 1980. 78
3.8. Refraktivitas radio rata-rata bulan Januari, di atas
Jakarta. 82
3.9. Refraktivitas radio rata-rata bulan Oktober, di atas
Jakarta. 83
3.10. Simpangan baku (SB) refraktivitas radio troposfer di
atas Jakarta. 84
3.11. Refraktivitas radio dalam lapisan troposfer bawah. 85
Tabel 4.1. Karakteristik fisis Planet terestrial. 93
4.2. Sumber radiasi lain relatif terhadap energi matahari
yang diterima bumi. 97
4.3. Energi total berbagai fenomena dan proses lokal
dalam atmosfer. 98
4.4. Lamanya slang hari paling panjang. 110
Tabel 5.1. Skala gerak atmosfer. 123
5.2. Jumlah curah hujan di beberapa stasiun terpilih
dalam dasarian ke 2, Januari 1982. 154

Meteorologi Indonesia Volume 1


xi
Padanan Kata

Indonesia Inggris
air cair kelewat dingin supercooled liquid water
angin ribut gust
angin ribut mendadak squall
arus currents
arus keluar outflow
arus masuk inflow
arus udara keatas updraft
arus udara kebawah downdraft
awan induk mother cloud
awan panas warm cloud
badai guruh thunderstorm
badai guruh konvektif convective thunderstorms
bawah permukaan subsurface
bayangan hujan rain shadow
belalai air waterspout
butiran droplet
cuaca buruk (bengis) severe weather
curah hujan rainfall
dewasa mature
es lapis, hujan yang membeku glaze
endapan (presipitasi) konveksi convectional precipitation
gaya gabung affinity
garis awan badai squall line
garis badai guruh line of thunderstorm
garis-garis arus stream lines
gelombang timuran easterly wave
gema echo
gerimis drizzle
guruh, guntur thunder
hujan campur salju sleet
hujan lebat heavy rainfall

Meteorologi Indonesia Volume 1


xiii
hujan meteor meteor shower
hujan torensial (amat lebat) torrential rains
jalur track
jeda waktu time lag
jutaan tahun millions
kabus, kabut tipis mist
kabut beku rime
kebasahan moisture
kecuraman steepness
kedadalan breakdown
kekeringan drought
kekurangan gizi malnutrition
kelembapan humidity
kelewat jenuh supersaturation
kelistrikan, elektrisitas electricity
keping saiju snowflake
kestabilan, stabilitas stability
ketakstabilan bersyarat conditional instability
ketakstabilan,labilitas instability
ketinggian altitude
kilat, halilintar lightning
kondisi kering aridity
kondisi mantap steady state conditions
korban jiwa victim
kristal embun beku rimed crystal
kumpulan kristal crystal aggregate
labil, tak mantap unstable
lempung (tanah liat) clay
lenyap dissipation
luah listrik, pelucutan listrik discharge
Iuah listrik penghubung connecting discharge
lubang cangkulan swath
nisbah (perbandingan) percampuran mixing ratio
olakan bergolak turbulent eddy
padang rumput steppe

Meteorologi Indonesia Volume 1


xiv
paras peleburan melting level
paras laut sea level
peluncuran elektron electron avalance
pembekuan coagulation
pemicuan triggering
pemuatan listrik, elektrifikasi electrification
penakar hujan raingage
penakar hujan pencatat otomatik recording raingage
peng-es-an icing
pengumpulan aggregation
perintis berlangkah stepped leader
perintis lembing dart leader
pertambahan accretion
puing-puing awan, runtuhan awan cloud debris
puting beliung, belalai gajah tornado
ribuan tahun millennia
ratusan tahun centuries
rerata (rata-rata) tahunan annual mean
sambaran balik return strike
sambaran ganda multiple strike
sambaran utama main strike
serpihan embun beku rime splintering
setan-setan debu dust devils
setara equivalent
stabil, mantap stable
tak berhenti - henti incessant
tangkapan coalescence
tidak bergerak immobile
titik awal starting point
tetes drop
tetes hujan raindrop
tumbukan collision

Meteorologi Indonesia Volume 1


xv
Daftar Isi
Halaman
Prakata
Pengantar
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Padanan Kata
Daftar Isi
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1. Hubungan Manusia dengan Meteorologi 1
1.2. Posisi Wilayah Indonesia Secara Geografis dan
Meteorologis 3
1.3. Aplikasi Meteorologi 6
1.4. Studi Meteorologi di Indonesia 14
1.5. Resume 18
Bab 2. Komposisi dan Struktur Atmosfer Bumi 19
2.1. Komposisi Atmosfer 19
2.2. Struktur Vertikal Atmosfer 24
2.3. Atmosfer di Atas Indonesia 38
2.4. Lapisan Ozon Stratosferik 41
2.5. Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Atmosfer 48
2.6. Resume 51
Bab 3. Sifat Fisis Atmosfer Indonesia 55
3.1. Konsepsi Stabilitas Atmosfer 55
3.2. Konsepsi Ref raktivitas Atmosfer 64
3.3. Stabilitas Troposfer di Atas Indonesia 72
3.4. Refraktivitas Troposfer di Atas Indonesia 82
3.5. Resume 86
Bab 4. Radiasi Matahari 89
4.1. Proses Transmisi Panas 90
4.2. Proses Pembentukan Energi Matahari 94

Meteorologi Indonesia Volume 1


xvii
4.3. Insolasi 100
4.4. Pemanasan Atmosfer 104
4.5. Musim 108
4.6. Teori Radiasi Benda Hitam 114
4.7. Resume 119
Bab 5. Sirkulasi Atmosfer 121
5.1. Gerak Fluida Atmosferik 121
5.2. Sistem Angin dan Tekanan Planeter Idaman 123
5.3. Sirkulasi Atmosfer Global 127
5.4. Angin Lokal dan Angin Fhn 140
5.5. Siklon Tropis di Sekitar Perairan Indonesia 149
5.6. Resume 155
Daftar Pustaka 159
Lampiran 1. Daftar Istilah
Lampiran 2. Padanan Metrik Inggris
Lampiran 3. Konstanta
Lampiran 4. Sistem Satuan
Lampiran 5. Radius dan Nisbah Jenuh Kritis
Lampiran 6. Daftar Simbol
Biodata

Meteorologi Indonesia Volume 1


xviii
Bab 1
Pendahuluan

Dalam arti yang luas, geofisika dapat didefinisikan sebagai


sains (ilmu pengetahuan) yang mempelajari proses dan gejala fisis dari
pusat bumi sampai rumbai-rumbai bumi (fringe of the earth) atau puncak
atmosfer. Meteorologi adalah sains yang mempelajari proses fisis dan
gejala cuaca terutama pada lapisan atmosfer bawah (troposfer). Tubuh
ilmu yang lebih luas dari meteorologi disebut Sains Atmosfer
(atmospheric science) yang mencakup kajian seluruh lapisan atmosfer.
Meteorologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu geofisika yang dapat
bertindak sebagai ilmu murni (meteorology), ilmu terapan (applied
meteorology) dan rekayasa (engineering meteorology). Meteorologi
statistik sering disebut klimatologi yaitu studi (kajian) tentang nilai rerata,
variasi distribusi unsur-unsur cuaca, dan hubungan statistik unsur-unsur
cuaca tersebut. Meteorologi fisis mempelajari gejala atmosfer ditinjau
dari fisikanya, misalnya alih radiasi gelombang elektromagnetik melalui
atmosfer, proses fisis pembentukan awan dan hujan, kelistrikan
atmosfer, optik atmosfer, dan masalah lain yang berkaitan dengan
disiplin fisika dan kimia. Meteorologi dinamis, studi tentang gerak
atmosfer dengan memperhitungkan gaya yang menyebabkannya,
berdasarkan pendekatan analitik dinamika fluida. Proses yang terlibat
sangat kompleks tetapi pada dasarnya sirkulasi atmosfer terjadi akibat
adanya perbedaan pemanasan bumi-atmosfer yang secara geografis
dan musiman tidak sama, serta adanya rotasi bumi.

1.1. Hubungan Manusia dengan Meteorologi


Hubungan antara manusia dan meteorologi secara positif
semakin rumit. Oleh gangguan segala macam aktivitas manusia di
muka bumi, maka cuaca yang tampak sekarang semakin kompleks.
Pembangunan bukan hanya sekedar mendirikan industri besar,
membuat jalan raya, membangun gedung bertingkat, membuka hutan
untuk pemukiman atau lahan pertanian dan sebagainya, tetapi yang

Meteorologi Indonesia Volume 1


1
tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup yang sehat dengan memperhitungkan faktor cuaca.
Banyak fakta dan contoh yang menggambarkan pentingnya faktor
cuaca diperhitungkan, misalnya jatuhnya pesawat terbang akibat cuaca
buruk, tanah longsor dan banjir akibat hujan torensial, gagal panen
akibat musim kemarau panjang, dan sebagainya. Pada hari Selasa 11
April 2006, di Jakarta, di JI. Abdul Muis di belakang Kantor Departemen
Komunikasi dan Informatika, juga di tempat lain terjadi badai hujan
disertai tornado (puting beliung) dan petir yang menewaskan tiga orang
akibat mikrolet dan juga mobil pribadi yang tertimpa pohon tumbang dan
menyebabkan banjir lokal (Pikiran Rakyat, 12 April 2006). Semua ini
disebabkan oleh perubahan cuaca yang datangnya secara tiba-tiba
tanpa isyarat dan berlalu dengan meninggalkan kerugian dan
kehancuran baik harta maupun jiwa.
Manusia hidup di dalam lapisan atmosfer paling bawah yang
disebut troposfer. Gejala cuaca juga terjadi pada troposfer. Manusia
dan cuaca saling bergantungan, karena itu pengaruh cuaca harus
diperhitungkan untuk segala macam aktivitas manusia. Dalam hal ini
meteorologi tidak lagi sebagai sains murni sebagaimana pendapat
banyak orang di masa lalu, terlebih di negara berkembang seperti
Indonesia, pendapat yang demikian tidaklah tepat. Meteorologi tidak
sekedar sains murni tetapi telah menjadi sains terapan yang langsung
dapat digunakan dan diterapkan sebagai salah satu faktor dan
parameter dalam operasional pembangunan.

Dalam menentukan daerah industri perlu dilakukan survei


meteorologi terlebih dulu agar zat pencemar yang keluar dari cerobong
pabrik tidak menimbulkan kerugian bagi manusia, pertanian, perkebunan,
peternakan dan lain-lain, yang berada di sekitar daerah industri. Unsur
meteorologi yang menentukan pencemaran udara ialah arah dan
kecepatan angin dominan seperti angin monsun dan angin lokal, dan
kestabilan atmosfer. Kestabilan atmosfer ditentukan oleh distribusi
temperatur dengan ketinggian. Informasi mengenai cuaca dan iklim yang
baik dapat membantu dalam perencanaan pembuatan jalan raya

Meteorologi Indonesia Volume 1


2
sehingga memungkinkan jalan tersebut tidak melewati daerah-daerah
yang berkabut tebal dan dapat dilengkapi dengan saluran-saluran air
yang memadai guna mencegah terjadinya banjir pada waktu hujan lebat.
Di dalam pembangunan di sektor pertanian perlu ada kerjasama antara
ahli meteorologi dan ahli pertanian. Aplikasi meteorologi di dalam
pertanian adalah penting mengingat tiap jenis tanaman pada berbagai
tingkat pertumbuhan memerlukan kondisi cuaca yang berbeda-beda.
Banyak lagi aplikasi meteorologi di dalam bidang-bidang lain seperti: di
dalam penerbangan, pelayaran, pariwisata, kedokteran, dan lain-lainnya.

1.2. Posisi Wilayah Indonesia Secara Geografis dan Meteorologis


Wilayah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia
yang terbentang dari lintang geografis 7 20 U sampai 14 S, dan bujur
92 T sampai 141 T dengan panjang garis pantai total 43.670 mil atau
80.791 km. Dari aspek meteorologis, benua maritim Indonesia
mempunyai kompleksitas dalam fenomena cuaca dan iklim. Atmosfer
di atas Indonesia sangat kompleks dan pembentukan awannya sangat
unik.

Indonesia adalah massa bumi yang terdiri dari 17.508 pulau


besar dan kecil yang digenangi air laut sampai sejauh 200 mil, terdiri
dari zona pesisir, landas benua, lereng benua, cekungan samudera
dan atmosfer di atasnya sampai sejauh rumbai-rumbai bumi 1000 km
dari paras laut. Wilayah Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia serta diapit oleh Benua Asia dengan Benua Australia
yang merupakan posisi silang dunia.
Wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem planet bumi yang
merupakan satu kesatuan alamiah antara litoster (lapisan padat),
hidrosfer (lapisan cair), atmosfer (lapisan gas), dan kriosfer (lapisan es),
lihat Gambar 1.1. Interaksi keempat lapisan tersebut membentuk sistem
cuaca dan iklim di Indonesia. Bumi adalah salah satu anggota tata surya
yang berevolusi mengelilingi matahari melalui orbit elips yang
mempunyai eksentrisitas 0,017 dengan periode satu tahun, dan berotasi

Meteorologi Indonesia Volume 1


3
mengelilingi sumbu imajinernya dengan periode 23 jam 56 menit 42
sekon ~ 1 hari. Dengan demikian kecepatan sudut rotasi bumi adalah:

(1.1)

Efek dari revolusi dan rotasi bumi adalah musim, yaitu musim
dingin, musim semi, musim panas, dan musim gugur. Tetapi, Indonesia
tidak mengenal musim-musim tersebut karena temperatur udara
sepanjang tahun hampir konstan. Sebaliknya, Indonesia lebih
mengenal musim hujan dan musim kemarau, karena variasi curah
hujannya sangat besar. Jika persistensi angin dipakai sebagai dasar
penentuan musim, maka wilayah belahan bumi selatan (BBS)
Indonesia/belahan bumi utara (BBU) Indonesia mempunyai 4 musim
yaitu musim monsun barat laut/timur laut, musim pancaroba pertama,
musim monsun tenggara/barat daya, dan musim pancaroba kedua.
Musim pancaroba ditandai oleh angin yang berubah-ubah. Persistensi
angin adalah perbandingan antara kecepatan angin paduan yang
memperhitungkan arahnya dan kecepatan angin rerata.

Gambar 1.1. Penampang vertikal bagian-bagian bumi Indonesia yang interaksinya


membentuk sistem cuaca dan iklim yang khas.

Interaksi antara atmosfer dan Samudera Pasifik menimbulkan


peristiwa El Nio dan La Nia. El Nio adalah episode panas dan
La Nia adalah episode dingin di bagian tengah Samudera Pasifik,
biasanya di antara daerah Nino 3 (daerah 5U 5S,150B 90B) dan
Nino 4 (daerah 5U 5S,160T 150B) yang disebut daerah Nino 3.4
(daerah 5U 10S,180B 120B). Fenomena El Nio menyebabkan

Meteorologi Indonesia Volume 1


4
musim kemarau panjang dan La Nia musim kemarau lebih basah di
Indonesia. lnteraksi antara atmosfer dan Samudera Hindia yaitu laut
pantai barat Sumatera dan Afrika Timur menyebabkan fenomena
Dipole Mode. Dipole Mode positif jika temperatur permukaan laut
pantai barat lebih dingin dan negatif jika lebih panas dibandingkan
temperatur permukaan laut pantai timur Afrika. Dipole Mode bernilai
positif menyebabkan kurang hujan dan negatif menyebabkan banyak
hujan di Indonesia. Indonesia berada pada daerah monsun, karena
daerah monsun dibatasi oleh garis lintang 35U dan 35S dan garis
bujur 30B dan 170T menurut Ramage (1971). Gambar 1.2,
menunjukkan posisi geografis dan meteorologis bumi Indonesia.
Indonesia termasuk pada daerah ekuatorial yang didefinisikan
sebagai daerah yang dibatasi oleh lintang 10 U dan 10S atau daerah
yang dibatasi oleh vortisitas bumi f = 2 sin = 2 x 7,29 x 10-5 x sin 10=
2,5 x 10-5 s-1 dengan adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan
adalah lintang tempat. Daerah ekuatorial menerima surplus energi di
semua musim.

Gambar 1.2. Posisi geografis dan meteorologis bumi Indonesia terhadap samudera
dan benua lain. Tanda menunjukkan migrasi tahunan matahari. Pada
tanggal 23 September dan 21 Maret matahari di ekuator, tanggai 22 Juni
dan 22 Desember, matahari masing-masing berada di atas tropis Cancer
dan tropis Capricorn.

Meteorologi Indonesia Volume 1


5
1.3. Aplikasi Meteorologi
Meteorologi terapan (applied meteorology) adalah istilah
umum yang mencakup aplikasi meteorologi pada aktivitas manusia.
Dari segi kegunaannya, meteorologi dapat dibagi menjadi :

a. Meteorologi Pertanian (agrometeorologi) yaitu aplikasi


meteorologi di dalam bidang pertanian dan kehutanan. Dalam
pertanian lebih mengutamakan unsur iklim (rerata cuaca) daripada
unsur cuaca. Iklim mempengaruhi produksi pangan, karena itu
aplikasi klimatologi (meteorologi statistik) dalam pertanian adalah
sangat penting mengingat tiap jenis tanaman pada berbagai tingkat
pertumbuhan memerlukan kondisi cuaca/iklim yang berbeda. Jelas
bahwa salah satu tugas kemanusiaan bagi meteorologiwan (ahli
meteorologi) adalah memberi bantuan tentang aplikasi meteorologi
(terutama klimatologi) dalam setiap usaha memproduksi bahan
pangan. Perlu adanya kerjasama antara ahli meteorologi dan ahli
pertanian dalam pembangunan di sektor pertanian, karena
kerjasama ini akan dapat mengemukakan gagasan-gagasan baru
yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi nasional dan
kesejahteraan bangsa. Mengurangi deforestasi (kerusakan hutan)
dan meningkatkan usaha-usaha reforestasi (penghutanan kembali)
akan sangat bermanfaat karena akan meminimalkan terjadinya
bencana alam akibat perubahan iklim, kerusakan siklus hidrologi
dan akan mengurangi emisi karbon dioksida. Pentingnya aplikasi
meteorologi dalam bidang pertanian mengharuskan Organisasi
Meteorologi se-Dunia (OMD) atau World Meteorological
Organization (WMO) sering mengadakan simposium/seminar
dalam bidang meteorologi pertanian sebagai upaya untuk
meningkatkan produksi tanaman pangan.
b. Meteorologi Penerbangan (aeronautik) yaitu aplikasi meteorologi
dalam dunia penerbangan. Informasi cuaca yang diperlukan dalam
penerbangan biasanya meliputi berita cuaca untuk lepas landas
(take off), cuaca ketika pesawat akan mendarat (landing) dan cuaca
sepanjang jalur penerbangan. Dari peta cuaca dapat dipelajari

Meteorologi Indonesia Volume 1


6
keadaan cuaca sepanjang jalur penerbangan, sekurang-
kurangnya untuk beberapa jam kemudian. Seorang pilot berusaha
untuk berjuang melawan angin yang memperlambat laju pesawat
terbang dengan cadangan bahan bakar yang semakin menipis,
lebih-lebih jika ada kabut yang sangat mempengaruhi visibilitas
(jarak penglihatan) seorang pilot. Keadaan yang gawat (kritis) ini
sangat sulit dihindari tanpa mengetahui cuaca lokal sebelumnya.
Seorang pilot kemungkinan masih dapat menghindari cuaca buruk
demikian, dengan mengubah rute (jalur) penerbangan semula,
atau dengan melakukan pendaratan darurat selagi masih ada
waktu dan masih sempat, atau jika kondisinya mengijinkan dan
persediaan bahan bakar masih cukup banyak, maka pesawat
dapat berputar-putar dahulu di udara sambil menunggu kondisi
cuaca baik, cerah dan aman untuk melakukan pendaratan. Salah
satu kondisi cuaca yang sangat berbahaya dalam penerbangan
ialah munculnya awan cumulonimbus (Cb). Awan jenis ini sangat
berbahaya dan ganas, karena di dalam awan ini terdapat hujan
deras, badai atau batu es (hailstones), selain itu pesawat yang
terbang di bawah awan Cb dapat diangkat masuk kedalam awan
sehingga pilot mendapat kesulitan untuk mengendalikan
pesawatnya. Awan jenis cumulus terutama cumulonimbus disebut
"jalur maut" bagi dunia penerbangan dan harus dihindari.
c. Meteorologl Sinoptik, mempelajari gejala cuaca yang
pengamatan unsur cuacanya dilakukan secara simultan
(bersamaan) dan meliputi daerah yang luas. Kajian ini dipakai
untuk meramalkan kondisi cuaca yang lalu dan sekarang.
Pengamatan sinoptik dilakukan setiap 6 jam yaitu pada jam 00.00,
06.00, 12.00, dan 18.00 waktu universal. Data cuaca dari setiap
daerah kemudian dikirim ke Kantor Pusat Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) Jakarta, yang kemudian oleh BMG dikirim ke
negara-negara lain untuk dipakai sebagai dasar peramalan cuaca
sinoptik. Pengiriman data cuaca dalam bentuk berita yang berisi
kode (sandi) cuaca dalam kelompok-kelompok dengan masing-
masing kelompok terdiri dari 5 dijit, misalnya kelompok Nddff yaitu
data N : perawanan atau jumlah awan yang menutupi langit di atas

Meteorologi Indonesia Volume 1


7
stasiun pengamat dalam perdelapanan, N = 2 berarti seperempat
langit tertutup awan, N = 0 langit cerah dan N = 8 langit mendung,
dd: arah angin dalam puluhan derajat, dd = 09 berarti arah angin
90 atau angin timur, dd = 36 berarti arah angin 360 atau angin
utara, dd = 0 berarti angin tenang (calm). Dalam meteorologi arah
angin yang dinyatakan dengan derajat diubah menjadi 8 penjuru
angin misalnya angin utara, timur laut, timur ...., dan seterusnya,
tetapi dalam penerbangan diubah menjadi 16 penjuru angin
misalnya angin utara (U), utara timur laut (UTL), timur laut (TL),
timur timur laut (TTL) dan seterusnya. Sandi-sandi cuaca yang lain
dapat dilihat pada stasiun cuaca utama, BMG. Observasi
meteorologi yang paling utama adalah observasi sinoptik yang
dilakukan lebih sering dan lebih rinci, datanya kemudian
ditransmisikan ke biro meteorologi atau ke pusat peramalan
secara regional. Jaringan stasiun meteorologi ditentukan oleh
Organisasi Meteorologi se Dunia (OMD). Untuk stasiun sinoptik
atau klimatologi di darat sebaiknya jarak stasiun satu sama lain
150 km atau kurang dan untuk stasiun udara atas di darat berjarak
maksimum 300 km. Observasi unsur cuaca dilakukan secara
teratur (regular) oleh lebih dari 700 stasiun yang tersebar di
permukaan bumi.
d. Hidrometeorologi yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang
penampungan air (water supply) seperti bendungan (waduk) air,
irigasi dan lain-lain. Hidrometeorologi dapat didefinisikan sebagai
studi (kajian) proses fisis atmosfer yang mempengaruhi sumber air
di bumi, bidang ini diminati oleh ahli hidrologi. Definisi
hidrometeorologi menurut Organisasi Meteorologi se Dunia (OMD)
dalam Kongres ke empat (1963) adalah studi fasa siklus hidrologi di
atmosfer dan di darat dengan menekankan pada hubungan antara
unsur-unsur yang terlibat. Ahli hidrometeorologi yang mengetahui
kebutuhan ahli teknik dapat memberikan jenis data yang lebih teliti
dan menyajikannya dalam bentuk yang terbaik. Air berubah menjadi
uap melalui penguapan air laut dan tawar atau melalui transpirasi
tanaman. Uap air yang naik menjadi dingin dan mengkondensasi
menjadi tetes awan dan kristal es yang kemudian jatuh sebagai

Meteorologi Indonesia Volume 1


8
presipitasi (hujan dan salju). Sebagian presipitasi yang jatuh
kembali ke laut, sebagian dibutuhkan oleh tanaman, hewan dan
manusia. Sebagian besar curah hujan mengalir di darat sebagai
limpasan (run off) yang bergabung dengan lelehan salju, dan
sebagian lagi mengalir ke sungai yang pada akhirnya menuju ke
laut. Semua air tawar (fresh water) di muka bumi berasal dari curah
hujan dan salju. Sebagian air ini merembes ke dalam tanah sebagai
cadangan air tanah dan arus bawah tanah, sisanya akan kembali ke
atmosfer melalui penguapan. Transformasi air melalui semua
fasanya (cair, uap, dan es) di bumi disebut siklus (daur) hidrologi.
e. Meteorologi Bangunan yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang
arsitektur, agar estetikanya lebih indah dan bangunannya terasa
lebih nyaman. Ketika manusia belum mampu untuk membangun
tempat tinggal, maka mereka berlindung secara alam di dalam gua-
gua. Di dalam gua mereka merasa terlindungi bukan saja oleh
serangan musuh atau binatang buas tetapi juga terlindungi oleh
cuaca dan iklim buruk. Perkembangan selanjutnya, mereka
membuat tenda yang memberi perlindungan dari curah hujan dan
radiasi matahari yang terik. Ketika orang telah mapan, maka mereka
mulai memperhatikan sumber daya alam yang dimiliki seperti kayu
dan batu yang dipakai sebagai bahan bangunan untuk melindungi
keluarganya agar sesuai dengan musim yang terjadi dan
memperkecil ancaman cuaca ekstrim di daerahnya. Ribuan tahun
yang lalu orang telah memikirkan cara pemanasan buatan dan cara
menyejukkan udara untuk melawan serangan dingin ekstrim dan
panas terik dari intensitas radiasi matahari yang kuat. Pemikiran
orang terdahulu ini kemudian diwujudkan sekarang dalam bentuk
alat pemanas (heater) untuk mengatasi musim dingin dan alat
pengatur udara (air conditioning) untuk mengatasi musim panas.
Tetapi alat-alat semacam ini masih terbatas pemakaiannya karena
biayanya belum terjangkau oleh masyarakat luas. Pentingnya
pengaruh cuaca pada bangunan, sekarang direalisasikan oleh
sebagian besar ahli arsitektur. Seorang arsitek dapat menyiapkan
rancang bangun dengan mengetahui faktor fundamental seperti :
(a) jenis bangunan yang dibutuhkan apakah rumah, mesjid, gereja,

Meteorologi Indonesia Volume 1


9
kantor, atau toko; (b) lokasi bangunan dan (c) perkiraan biaya,
tetapi sangat tidak menguntungkan jika hal itu tidak didukung oleh
pengetahuan meteorologi yang memadai. Aspek estetika tentu
tidak boleh diabaikan, tetapi dalam hal ini antara seni dan
meteorologi harus dipadukan. Idealnya, seorang arsitek
sebaiknya mengetahui temperatur udara, radiasi matahari ,
kelembapan udara, dan kecepatan angin, ditambah dengan
pengetahuan analisis frekuensi dan hubungan antar peubah iklim
tersebut. Tetapi dalam praktek idealisme semacam ini jarang
dilaksanakan kecuali untuk proyek-proyek penelitian khusus.
Dalam praktek seorang arsitek akan menjumpai masalah-
masalah yang berkaitan dengan iklim makro maupun dengan iklim
mikro di situs (site) bangunan. Konsultasi dengan ahli meteorologi
yang kompeten akan segera memberi penguasaan tentang iklim
makro, iklim regional, dan iklim lokal situs bangunan.
f. Meteorologi Kedokteran yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang
kedokteran yang dikaitkan dengan kesehatan manusia. Hubungan
iklim dengan penyakit sangat rumit. Kerjasama penelitian antara
ahli meteorologi dan ahli kedokteran sangat diperlukan untuk
menentukan peranan iklim sebagai penyebab penyakit khusus.
Banyak penyakit yang berkaitan dengan iklim atau musim tertentu,
terutama dengan temperatur dan kelembapan udara. Sejumlah
parasit yang menyerang manusia terbatas pada daerah yang
panas dan lembap. Beberapa penyakit bergantung pada hewan
perantara dan terbatas pada lingkungan yang menguntungkan
hewan tersebut, misalnya demam kuning dan malaria disebabkan
oleh jenis nyamuk tertentu yang berkembang biak dengan pesat di
daerah beriklim tropis. Sebagian besar penyakit mengikuti pola
musiman yang berbeda. Radang paru-paru dan influensa biasanya
merupakan penyakit musiman. Penyakit ini sering terjadi dalam
musim dingin yang disebabkan oleh lemahnya daya tahan pada
sistem pernafasan bagian atas. Campak atau cacar air dan
penyakit jengkering (scarlet fever) kebanyakan terjadi pada musim
semi. Kondisi atmosfer yang baik dapat membantu tubuh untuk
menangkis penyakit. Udara segar, temperatur sejuk, dan

Meteorologi Indonesia Volume 1


10
kelembapan sedang, semuanya mengandung nilai pengobatan.
Udara segar dan cahaya matahari telah lama dimanfaatkan dalam
perawatan penyakit TBC (tuberculosis). Perubahan iklim sering
menyebabkan berbagai jenis penyakit, dalam hal ini dibutuhkan
istirahat dan makan yang cukup.

g. Aplikasi Meteorologi dalam Bidang Lain


i. Meteorologi Lingkungan dan Pencemaran Udara
Studi pencemaran udara memerlukan koordinasi berbagai
disiplin ilmu. Cara zat pencemar dari sumbernya masuk ke
atmosfer termasuk bidang rekayasa. Bagaimana zat pencemar
dapat mempengaruhi manusia, hewan, tanaman termasuk
bidang biologi dan kedokteran. Proses bagaimana zat
pencemar dan sumbemya sampai pada organisme dan struktur
termasuk bidang meteorologi. lstilah kabas (smog) pertama kali
dipakai untuk menggambarkan pencemaran udara di daerah
industri. Lingkungan atmosfer di mana ada kehidupan
bergantung pada aktivitas industri, pertanian, percobaan nuklir,
dan teknologi lainnya. Di antara banyak masalah yang
mempengaruhi kualitas lingkungan adalah karbon dioksida
(CO2) yang dapat mempengaruhi pola cuaca dan iklim global.
Perkara gas rumah kaca pada akhimya merupakan tantangan
lingkungan yang berlanjut pada ancaman. Permasalahan
dengan berdampak pada manusia dan lingkungan mungkin
terjadi lebih besar lagi, karena gas penyebab rumah kaca
mempunyai waktu tinggal yang lama di atmosfer sehingga gas-
gas ini biasanya bercampur dengan baik bahkan dapat
disebarkan keliling dunia sebelum berkurang atau dibersihkan
keluar dari atmosfer oleh curah hujan. Peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca seperti CO2 akan mempercepat proses
pemanasan global dan meningkatkan frekuensi peristiwa
cuaca ekstrim. Konsentrasi zat pencemar di atmosfer
ditentukan oleh faktor meteorologis seperti stabilitas udara,
arah dan kecepatan angin, dan tinggi campuran.

Meteorologi Indonesia Volume 1


11
ii. Meteorologi Modifikasi Cuaca
Modifikasi cuaca diartikan sebagai modifikasi awan secara
buatan atas usaha manusia. Sejarah modifikasi cuaca dimulai
tahun 1946 sejak percobaan pembenihan awan dengan es
kering oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir. Satu tahun
kemudian, Vonnegut menemukan perak iodida (Ag I), suatu
bahan yang dapat bertindak sebagai inti es. Di Indonesia,
sejarah modifikasi cuaca dimulai sejak dilakukan percobaan
hujan buatan di atas wilayah Perum Otorita Jatiluhur pada
tahun 1979 oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi) yang dibantu oleh tim ahli dari perguruan tinggi.
Sebelum sejarah modifikasi cuaca dimulai, orang berusaha
mendatangkan hujan melalui jampi-jampi (mantera), tari-
tarian, sembahyang atau berbagai acara ritual lainnya. Tujuan
modifikasi cuaca adalah meningkatkan jumlah curah hujan,
menindas batu es hujan, melenyapkan kabut, dan melerai
siklon. UPT Hujan Buatan sedang melakukan penerapan
modifikasi cuaca dengan Ground Base Generator (GBG) untuk
menanggulangi banjir di wilayah Jakarta.
iii. Meteorologl Maritim
Yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang maritim dan kelautan.
Jika kabut atau cuaca buruk dijumpai di laut atau di darat,
masalahnya tidak begitu serius dibandingkan jika terjadi di
udara. Pengemudi kapal dapat mengatur kecepatan kapalnya
atau dapat menurunkan jangkar sampai keadaan cuaca
memungkinkan kembali melanjutkan pelayarannya. Meskipun
demikian angin kencang dapat menyebabkan gelombang laut
yang tinggi, sehingga dapat membahayakan para nelayan yang
sedang mencari ikan. Para nelayan biasanya berangkat pada
sore atau malam hari dan kembali pada siang hari dengan
memanfaatkan angin darat dan angin laut. Wilayah Indonesia
yang terletak pada lintang antara 7U dan 10 S dan mempunyai
parameter Coriolis atau vortisitas bumi yang kecil yaitu antara
1,78 x 10-5 s-1 di belahan bumi utara (BBU) dan 2,53 x 10-5 s-1di
belahan bumi selatan, dapat dikatakan hampir bebas dari jalur

Meteorologi Indonesia Volume 1


12
siklon tropis. Tetapi kondisi cuaca di Indonesia terutama bagian
timur dapat dipengaruhi oleh siklon tropis di perairan sebelah
utara Australia. Syarat utama pertumbuhan siklon tropis adalah
temperatur laut di atas 26C, parameter Coriolis harus lebih
besar dari nilai pada lintang 5, kelembapan udara troposferik
cukup besar. Siklon tropis menyebabkan bencana terutama
oleh angin kencang, hujan lebat, dan gelombang badai (storm
surge). Gelombang badai adalah naiknya permukaan laut
sepanjang pantai secara cepat oleh gerakan angin ke pantai.
Di Bangladesh gelombang badai oleh siklon tropis pada
tanggal 13 November 1970 mencapai tinggi antara 6 dan 9 m
yang menelan korban jiwa 200 sampai 300 ribu orang mati
tenggelam.
iv. Meteorologi Enjiniring
Yaitu aplikasi meteorologi dalam bidang rekayasa atau teknik.
Meteorologi enjiniring adalah bidang ilmu yang mencakup
bidang antar muka antara meteorologi dan enjiniring atau
teknik, di mana proses meteorologis berinteraksi dengan
sasaran rekayasa (engineering). Pada waktu sekarang
hubungan antara ahli meteorologi dan ahli teknik telah
berkembang dalam area dari kajian hidrologi sampai
pencemaran udara. Ada tiga area interaksi antara meteorologi
dan enjiniring yaitu hidrologi, pencemaran udara, dan beban
pada bangunan. Beban yang sangat mencolok pada bangunan
adalah gaya angin. Masalah-masalah enjiniring meningkat
karena variabilitas curah hujan secara spasial dan temporal
cukup besar. Model kepulan Gauss dipakai untuk
memperhitungkan proses gerakan zat pencemar. dan
memformulasikan kenaikan kepulan asap dari cerobong pabrik.
Model kepulan Gauss dapat diperluas dari sumber titik menjadi
jenis sumber yang lain misalnya sumber garis dan sumber area.
Di sekitar gedung medan arus menjadi sangat kompleks
sehingga medan konsentrasi zat pencemar yang diproduksi
oleh sumber yang terletak dekat tanah di sekitar gedung dapat
secara signifikan berubah atau berbeda dari yang dihitung

Meteorologi Indonesia Volume 1


13
dengan formula difusi konvensional. Formula ini menganggap
bahwa medan arus mempunyai garis arus parallel yang lurus
sehingga kecepatan angin dianggap tetap pada jarak yang
cukup jauh. Sebenarnya garis arus, kecepatan angin, dan
turbulensi berubah yang bergantung pada konfigurasi sumber
dan geometri bangunan. Meteorologi enjiniring juga membahas
efek desktruktif angin pada gedung, menara, dan jembatan.

1.4. Studi Meteorologi di Indonesia


Indonesia sebagai benua maritim dengan iklim monsun
ekuatorial memiliki dinamika atmosfer yang kompleks dan unik.
Atmosfer di atas Indonesia mempunyai peranan yang sangat dominan
dalam sistem cuaca dan iklim global. Kondisi ini merupakan tantangan
dan juga peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan dan
mengembangkan IPTEK Meteorologi dan memanfaatkan informasi
cuaca yang unik untuk menunjang pembangunan dalam menyongsong
era globalisasi.
Pentingnya Indonesia sebagai subjek riset atmosfer
ekuatorial telah ditunjukkan oleh kemauan dan minat ilmuwan dunia
untuk menyelenggarakan "The International Conference on the
Scientific Result of the Monsoon Experiment' pada tahun 1981,
Denpasar Bali, dan "The International Symposium on Equatorial
Atmosphere Observation over Indonesia" yang diselenggarakan di
Jakarta dan Bandung selama 5 tahun berturut-turut dart tahun 1989,
1990, 1991, 1992 sampai 1993. lni membuktikan bahwa pengamatan
atmosfer ekuatorial di atas Indonesia menjadi sangat penting.
Realisasi dari seminar-seminar internasional tentang
meteorologi dan sains atmosfer di Indonesia ialah didirikannya "Pusat
Riset Cuaca dan Iklim Ekuatorial Internasional" di Koto Tabang (900 m,
d.p.l) 20 km dari Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang
diresmikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik
Indonesia pada tanggal 26 Juni 2001. Dengan demikian terbuka luas
kesempatan untuk melakukan penelitian yang berskala lokal, nasional,
regional, dan internasional. Lembaga Riset yang mengkaji fenomena
cuaca dan sistem iklim di Indonesia adalah Badan Meteorologi dan

Meteorologi Indonesia Volume 1


14
Geofisika (BMG), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
(LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
Lembaga Riset di Perguruan Tinggi seperti Institut Teknologi Bandung
(Program Studi Meteorologi dan Kelompok Keahlian Sains Atmosfer),
Institut Pertanian Bogor, dan Universitas serta Instansi Riset lain yang
mengkaji masalah cuaca dan iklim. Mungkin saja Fakultas Geografi
dan Fakultas Pertanian sebuah Perguruan Tinggi dapat melakukan
riset dalam bidang meteorologi dan klimatologi.
Di area Pusat Riset Cuaca dan lklim Intemasional Koto
Tabang dioperasikan peralatan observasi atmosfer global (Global
Atmospheric Watch GAW) oleh Badan Meteorologi Dunia (World
Meteorological Organization WMO). Di area ini juga dipasang Radar
Lapisan Batas (Boundary Layer Radar- BLR), Radar Akustik (Sodar),
Radiosonde, dan peralatan observasi cuaca lainnya. Akhir-akhir ini
dioperasikan Radar Atmosfer Ekuatorial (Equatorial Atmosphere
Radar EAR) yang mempunyai sistem antena kuasi sirkular dengan
diameter 110 m sebanyak 560 buah. Daya keluaran 100 kW, frekuensi
47 MHz, lebar berkas sinar 3,4 dan jangkauan observasi 1,5 20 km
untuk turbulensi atmosfer, lebih dari 90 km untuk iregularitas ionosfer.
Pusat Riset Cuaca dan Iklim Internasional merupakan kerjasama
antara WMO, RASC (Radio Science Center for Space and
Atmosphere) University of Kyoto, Jepang dan Pemerintah Indonesia
melalui Instansi Riset BMG, LAPAN, dan BPPT.
Ditinjau dari aspek meteorologis, wilayah Indonesia merupakan
salah satu daerah riset yang sangat menarik di muka bumi. Cuaca dan
iklim Indonesia telah diinvestigasi secara intensif selama periode kolonial
Belanda yang karya ilmiahnya dipublikasikan dalam "Verhandelingen",
Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium (KMMO) te
Batavia. Salah satu publikasi yang hingga kini masih menjadi acuan riset
meteorologi Indonesia ialah karya Braak (1929) yang membahas
sejumlah fenomena skala meso yang sangat penting dan menarik,
misalnya peristiwa "Bohorok" yaitu angin semacam Fhn di Sumatera
yang bersifat kering, panas, dan dapat merusak tanaman. Peristiwa lain
ialah "Sumatera" yaitu garis awan badai cumulonimbus (Cb) yang waktu
hidupnya mencapai satu hari atau lebih.

Meteorologi Indonesia Volume 1


15
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945,
riset meteorologi di Indonesia masih diteruskan oleh beberapa ilmuwan
Belanda. Karya ilmiahnya sebagian diterbitkan oleh Djawatan
Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Salah satu contoh misalnya
Schmidt dan Ferguson (1952) mengkaji klasifikasi iklim di Indonesia
berdasarkan metode Mhr. Jenis iklimnya ditentukan oleh nilai nisbah
antara jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Dan nilai nisbah ini,
mereka menggolongkan 8 jenis iklim, dari iklim A yang paling basah
sampai iklim H yang paling kering.
Riset di daerah monsun sangat menarik, sehingga Organisasi
Meteorologi se Dunia (OMD) mengkoordinir pelaksanaan proyek besar
di bidang meteorologi monsun yang diberi nama MONEX (Monsoon
Experiment). Hasil-hasil risetnya diseminarkan secara internasional dan
salah satunya Indonesia melalui Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG) ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konferensi
Intemasional tentang hasil-hasil MONEX. Konferensi ini diadakan di
Denpasar, Bali pada tanggal 26 30 Oktober, 1981.
Sampai sekarang baru dua perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program studi meteorologi dengan terminal
program strata tiga (S3) yaitu di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan
Institut Pertanian Bogor (IPB). Program studi meteorologi di ITB lebih
menekankan pada proses fisis dan dinamis atmosfer, proses fisis awan
atau modifikasi cuaca, sedangkan di IPB lebih menekankan
meteorologi terapan, misalnya agrometeorologi. Sejak tahun 1998 ITB
menyelenggarakan program Sarjana Meteorologi, dan Pascasarjana
yaitu program Magister dan Doktoral Sains Kebumian bidang khusus
Sains Atmosfer di Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral
(FIKTM). Sebelumnya meteorologi digabung dengan studi oseanografi
dan studi geofisika dalam Departemen Geofisika dan Meteorologi,
FMIPA ITB.

Jaringan stasiun meteorologi di wilayah Indonesia masih belum


tersebar merata baik di darat maupun di laut, terutama di kawasan timur

Meteorologi Indonesia Volume 1


16
Indonesia. Jaringan stasiun atmosfer atas juga masih belum memadai
jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia dan kompleksitasnya
atmosfer ekuatorial. Stasiun meteorologi khusus seperti stasiun radar
cuaca, stasiun listrik atmosfer dan sebagainya masih jarang didirikan di
wilayah Indonesia yang merupakan daerah konvektif paling aktif
dibandingkan daerah ekuatorial Afrika dan Amerika. Untuk mengatasi
kekurangan data meteorologi, Indonesia bekerjasama dengan lembaga
riset atau universitas luar negeri diantaranya dengan Universitas Kyoto
yang membangun radar atmosfer ekuatorial di Koto Tabang, Bukittinggi,
Sumatera Barat, yang berlokasi pada lintang 0,20 S dan bujur 100,32 T.

Meteorologi Indonesia Volume 1


17
1.5. Resume
Meteorologi adalah cabang dari geofisika. Tubuh ilmu
meteorologi yang lebih luas disebut sains atmosfer yang mencakup
kajian seluruh Iapisan atmosfer. Meteorologi adalah sains yang
mengkaji proses fisis dan gejala cuaca. Akibat ulah dan aktivitas
manusia, cuaca yang tampak sekarang semakin kompleks.
Perubahan cuaca datangnya secara mendadak tanpa isyarat dan
berlaku dengan meninggalkan kerugian dan kehancuran harta
bahkan jiwa. Wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem planet
bumi yang merupakan satu kesatuan alamiah antara litosfer,
hidrosfer, atmosfer, dan kriosfer (lapisan es di puncak pegunungan
Jayawijaya, Papua). Interaksi keempat lapisan ini membentuk
sistem cuaca dan iklim yang khas di Indonesia. Indonesia termasuk
daerah ekuatorial yang mempunyai surplus energi di segala musim.
Meteorologi dapat diterapkan pada kebanyakan aktivitas manusia,
misalnya dalam bidang pertanian, penerbangan, pengairan,
bangunan, kedokteran, Iingkungan dan pencemaran udara,
modifikasi cuaca, maritim, enjiniring, peramalan, dan lain-lain.
Pentingnya Indonesia sebagai subyek penelitian atmosfer
ekuatorial telah ditunjukan oleh kemauan dan minat ilmuwan dunia
untuk menyelenggarakan konferensi, simposium atau seminar
Intemasional tentang monsun dan atmosfer di alas Indonesia.
Aktivitas-aktivitas internasional ini direalisasikan dengan
didirikannya Pusat Riset Cuaca dan Iklim Ekuatorial Internasional, di
Koto Tabang, Bukittinggi, Sumatera Barat (0,20 S - 100,32 T) yang
diresmikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik
Indonesia tanggal 26 Juni 2001 yang didukung oleh lembaga riset
BMG, LAPAN, BPPT, dan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari aspek
meteorologis. Indonesia merupakan salah satu daerah riset yang
sangat menarik. Cuaca dan iklim Indonesia telah dikaji secara
intensif sejak zaman kolonial Belanda. Sampai sekarang baru ada
dua perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi
meteorologi strata satu (program Sarjana), strata dua (program
Magister) dan strata tiga (program Doktoral) yaitu Institut Teknologi
Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor.

Meteorologi Indonesia Volume 1


18
Bab 2
Komposisi dan Struktur Atmosfer Bumi

Atmosfer berasal dari dua kata Yunani yaitu atmos berarti uap
dan sphaira berarti bulatan, jadi atmosfer adalah lapisan gas yang
menyelubungi bulatan bumi. Atmosfer bumi mempunyai ketebalan
sekitar 1000 km yang dibagi menjadi lapisan-lapisan berdasarkan profil
temperatur, komposisi atmosfer, sifat radioelektrik, dan lain-lain.
Karena sebaran panas tidak sama di dalam atmosfer, maka terjadi
gejala-gejala cuaca yaitu dari angin lemah sampai sangat kencang di
dalam badai atau siklon, dari cuaca cerah, cuaca berawan sampai
hujan deras (shower). Kajian tentang deskripsi dan pemahaman
fenomena atmosfer disebut Sains Atmosfer yang secara tradisi dibagi
menjadi Meteorologi dan Klimatologi.
Atmosfer tropis mencakup daerah antara 23,5 U (tropis
Cancer) dan 23,5 S (tropis Capricorn). Ahli meteorologi sering memakai
batas lain untuk mendefinisikan atmosfer tropis dengan memakai sumbu
sel tekanan tinggi subtropis yaitu batas sirkulasi atmosfer yang
didominasi oleh angin timuran di tropis dan angin baratan di subtropis.
Batas dari atmosfer tropis adalah lintang 30U dan 30S yang disebut
"lintang kuda" (horse latitude). Atmosfer ekuatorial dapat didefinisikan
sebagai atmosfer yang dibatasi oleh lintang 10U dan 10S. Jadi atmosfer
di atas wilayah Indonesia dapat dikatakan sebagai "atmosfer ekuatorial".

2.1. Komposisi Atmosfer


Tanpa atmosfer, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan akan
mati. Atmosfer bertindak sebagai pelindung kehidupan di bumi dari
radiasi matahari yang kuat pada siang hari dan mencegah hilangnya
panas ke ruang angkasa pada malam hari. Sangat beruntung bahwa
atmosfer menyebabkan hambatan benda-benda yang bergerak
melaluinya, sehingga sebagian meteor yang melalui atmosfer akan
menjadi panas dan hancur sebelum mencapai permukaan bumi.
Atmosfer bersifat dapat dimampatkan (compressible) sehingga lapisan

Meteorologi Indonesia Volume 1


19
atmosfer bawah lebih padat daripada lapisan diatasnya, akibatnya
tekanan udara berkurang dengan ketinggian. Massa total atmosfer
adalah sekitar 56 x 1014 ton. Setengah dari massa tersebut kira-kira
terletak di bawah 6.000 m dan lebih dari 99% terletak di bawah
ketinggian 35.000 m dari permukaan bumi.
Lapisan atmosfer merupakan campuran dari gas-gas yang
tidak tampak dan tidak berwama. Empat gas yaitu nitrogen, oksigen,
argon, dan karbondioksida meliputi hampir seratus persen dari volume
udara kering, (lihat tabel 2.1). Gas lain yang stabil seperti neon, helium,
metan, kripton, hidrogen, xenon dan kurang stabil termasuk ozon dan
radon juga terdapat di atmosfer dalam jumlah yang sangat kecil.

Tabel 2.1. Gas dalam udara kering.

Macam Gas Unsur Gas Fraksi Volume

GAS UTAMA N2 78,085%


O2 20,950%
Ar 0,930%
CO2 0,033%
GAS MINOR
a. Permanen Ne 18 ppm
He 5 ppm
Kr 1 ppm
Xe 0,09 ppm
b. Semi Permanen CH4 1,5 ppm
CO 0,1 ppm
H2 0,5 ppm
N 2O 0,25 ppm
c. Variabel O3 sampai dengan 10 ppm di
ozonosfer (stratosfer), 5-50
ppb dalam udara tak terpolusi.
sampai dengan 500 ppb
dalam udara terpolusi di
permukaan tanah
H 2S 0,2 ppb di atas tanah
SO2 0,2 ppb di atas tanah
NH3 6 ppb di atas tanah
No2 100 ppb di atas tanah

Meteorologi Indonesia Volume 1


20
Simbol ppm dan ppb menyatakan satuan konsentrasi part per
million' dan "part per billion". Satuan-satuan ini biasanya dipakai untuk
menyatakan gas perunut (trace gases). "Part" diartikan sebagai bagian
volume (parts in volume).

Dari waktu tinggal di atmosfer, maka unsur-unsur udara dapat


diklasifikasikan menjadi 3 golongan:
a. Gas permanen dengan waktu tinggal sangat lama, misalnya waktu
tinggal He adalah 2 juta tahun.
b. Gas semi permanen dengan waktu tinggal beberapa bulan sampai
tahun, misalnya CO2 = 0,35 tahun, dan CH4 = 3 tahun.
c. Gas variabel dengan waktu tinggal dari beberapa hari sampai
minggu. Unsur-unsur ini adalah gas aktif secara kimia. Siklusnya
berkaitan dengan siklus air (cuaca), misalnya waktu tinggal uap air
berorde 10 hari, SO2 berorde 5 hari, dan NH3 berorde 1 sampai
4 hari.
Sampai pada ketinggian lebih dan 60 km, proporsi gas relatif
masih tetap, kecuali fasa gas air (uap air). Sekitar 99% didominasi oleh
gas nitrogen dan oksigen, dan yang paling banyak jumlahnya di atmosfer
adalah nitrogen. Proporsi gas di atmosfer berubah jika udara ditinjau
bersama dengan komposisi uap aimya. Secara praktis, atmosfer dapat
berada pada tempat yang langka uap air dan pada tempat lain jumlah uap
air (kebasahan) dapat mencapai 4%. Meskipun berat molekuler uap air
lebih kecil dari pada berat molekuler beberapa gas lain, namun uap air ini
berada dalam ketebalan beberapa kilometer atmosfer paling bawah. Hal
ini dapat dimengerti bila disadari bahwa sumber air atmosferik secara
langsung adalah lautan yang mencakup 70% luas permukaan bumi dan
bahwa temperatur udara atas di dalam troposfer sangat dingin sehingga
air tidak dapat mempertahankan wujudnya dalam bentuk gas. Air di
atmosfer dapat berada dalam ketiga wujud (fasa). Perubahan fasa cair

Meteorologi Indonesia Volume 1


21
(air) menjadi gas (uap air) disebut penguapan (evaporasi) dan
sebaliknya disebut pengembunan (kondensasi). Perubahan fasa cair
menjadi fasa padat (es) disebut pembekuan dan sebaliknya disebut
pencairan. Perubahan fasa es menjadi fasa uap disebut sublimasi dan
sebaliknya disebut deposisi, lihat Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Perubahan fasa air menjadi fasa uap dan fasa es.

Di samping unsur-unsur gas yang disajikan pada tabel 2.1,


atmosfer juga mengandung jenis bahan yang bukan bagian dari
komposisi gas. Beberapa dari jenis bahan ini adalah partikel garam,
partikel debu, dan tetes air. Bila uap air yaitu bagian dari udara natural
(alam) berubah menjadi cair atau padat (partikel air atau es) maka
partikel-partikel ini menjadi benda asing dalam atmosfer, dan
menyebabkan awan, kabut, hujan, saiju, embun atau batu es
(hailstone). Perubahan wujud (fasa) uap air di udara sangat penting
dalam menentukan kondisi cuaca.
Nitrogen (N2) terdapat di udara dalam jumlah paling besar yaitu
sekitar 78% bagian volume. N2 tidak Iangsung bergabung dengan unsur
lain, tetapi nitrogen bagian dari senyawa organik. Oksigen (O2) sangat
penting bagi kehidupan yaitu mengubah makanan menjadi energi hidup.
Meskipun nitrogen dan oksigen meliputi jumlah 99% volume udara,
tetapi kedua gas ini sangat pasif terhadap proses cuaca. Unsur-unsur
atmosfer yang berubah terhadap ketinggian sampai 240 km,
ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Meteorologi Indonesia Volume 1


22
Gambar 2.2. Komponen atmosterik yang berubah dengan ketinggian
(Sumber Donn, 1975).

Gas-gas yang penting dalam proses cuaca ialah :


a. Uap air (H2O) yang dapat berubah fasa (wujud) menjadi fasa cair
(misalnya tetes-tetes awan) dan fasa padat (misalnya salju, batu es).
b. Karbondioksida (CO2), yang bertindak sebagai gas rumah kaca
(GRK) dan menyebabkan efek rumah kaca (ERK), yaitu
transparan terhadap radiasi gelombang pendek matahari dan
menyerap radiasi gelombang panjang bumi. Kenaikan kadar CO2
akan menyebabkan kenaikan temperatur permukaan bumi dan
menimbulkan pemanasan global. Sejak revolusi industri,
konsentrasi CO2 terus naik yang disebabkan antara lain kenaikan
pemakaian bahan bakar karbon (BBK) dan hidrokarbon.
c. Ozon (O3), gas ini terdapat terutama pada ketinggian antara 20
dan 30 km di atas permukaan laut (d.p.l). Ozon sangat penting
karena menyerap radiasi ultraviolet yang mempunyai energi tinggi
dan berbahaya bagi tubuh manusia. Atmosfer pada ketinggian 20
30 km biasanya sudah sangat tipis, sehingga jika seluruh ozon
yang ada ini dimampatkan di bawah kondisi tekanan permukaan
laut, maka ketebalan lapisan ozon (ozonosfer) hanya sekitar satu
inci (25,4 mm) saja.

Meteorologi Indonesia Volume 1


23
d. Aerosol dan asap, terutama partikel-partikel higroskopis (misalnya
partikel garam) dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan.

Gas helium (He) dan hidrogen (H2) adalah gas yang paling
ringan, sehingga sering dipakai untuk mengisi balon meteorologi. Gas
ini sangat jarang terdapat di atmosfer bawah kecuali pada paras (level)
yang tinggi. Neon (Ne), argon (Ar), xenon (Xe), dan kripton (Kr) tidak
mudah bergabung dengan unsur lain, disebut gas mulia. Meskipun gas
ini kurang penting di atmosfer, tetapi neon biasanya dipakai dalam
pemasangan iklan atau reklame (advertisement) dan argon dipakai
untuk bola lampu cahaya listrik.

2.2. Struktur Vertikal Atmosfer

Atmosfer dapat ditinjau sebagai lapisan gas sangat tebal yang


menyelimuti bumi dari permukaan dan meluas ke atas dengan densitas
(massa jenis) terus menerus menjadi kecil. Atmosfer dipengaruhi oleh
gaya tarik bumi yaitu gravitas (gravity), sehingga atmosfer semakin
tipis jika menjauhi permukaan bumi sampai pada akhirnya tidak dapat
lagi dibedakan dari gas planet lain. Karena itu puncak atmosfer atau
batas atas atmosfer tidak terdefinisi secara tegas, tetapi rumbai-rumbai
bumi (fringe of the earth) yang mencapai ketinggian sekitar 1000 km
dapat dianggap sebagai puncak atmosfer bumi. Penurunan massa
jenis sangat cepat pada setengah pertama lapisan atmosfer yang
terletak di bawah ketinggian 5,5 km (3,5 mil), dan 75% massa atmosfer
terdapat pada lapisan di bawah 20 km atau 99,9% massa atmosfer
terletak pada lapisan di bawah 50 km atau pada tekanan atmosfer di
atas 1 mb (1 milibar = 100 pascal). Tebal atmosfer bumi (1000 km)
sangat tipis sekitar 16% jika dibandingkan dengan jejari bumi (6370 m).

1. Nomenklatur (tata nama) Lapisan Atmosfer Berdasarkan


Temperatur

Berdasarkan distribusi temperatur vertikal, lapisan atmoster


mulai dari permukaan ke atas dibagi menjadi troposfer, stratosfer,

Meteorologi Indonesia Volume 1


24
mesosfer dan termosfer, masing-masing lapisan merupakan bulatan-
bulatan yang konsentris terhadap pusat bumi. Puncak dari masing-
masing lapisan disebut tropopause, stratopause, mesopause, dan
termopause, lihat Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Lapisan atmosfer berdasarkan profil temperatur vertikal. Garis titik-titik
menunjukkan puncak dari masing-masing lapisan.

Batas lapisan-lapisan atmosfer ditentukan oleh diskontinuitas


profil temperatur dan masing-masing lapisan mempunyai sifat fisis
khusus sebagai berikut :

a. Troposfer
Secara harafiah troposfer (tropo : berubah, dan sphaira :
bulatan atau lapisan) adalah lapisan yang berubah-ubah. Gejala cuaca,
misalnya awan, hujan, badai guruh, dan sebagainya terjadi pada lapisan
troposfer. Akibat adanya percampuran vertikal yang kuat dan curah
hujan maka waktu tinggal rerata aerosol dalam troposfer agak pendek,
berkisar dari beberapa hari sampai minggu.
Troposfer adalah lapisan atmosfer paling bawah dengan
ketebalan lapisan rerata 10 km. Di atas ekuator puncak troposfer
(tropopause) mencapai sekitar 18 km (paling tinggi) sedangkan di atas

Meteorologi Indonesia Volume 1


25
kutub hanya mencapai 6 km (paling rendah), lihat Gambar 2.4.
Tropopause tidak kontinu, tetapi terputus oleh adanya aerojet (let
stream) subtropis (JS) dan polar (JP) yaitu angin kencang di atas
troposfer atau di stratosfer bawah.

Gambar 2.4. Tropopause dalam bidang meridian. JS : aerojel subtropis dan JP :


aerojet polar (kutub).

Troposfer mempunyai susut temperatur (lapse rate) yang


nilainya antara 0,5 dan 1 C per 100 m dengan nilai rerata 0,65 C per
100 m atau 6,5C per kilometer. "Susut temperatur" didefinisikan
sebagai penurunan temperatur terhadap ketinggian atmosfer atau
gradien temperatur vertikal negatif dan secara matematik dapat ditulis:

(2.1)

dengan T adalah temperatur dan z adalah ketinggian atmosfer. Tanda


negatif berarti temperatur turun terhadap ketinggian. Berdasarkan
definisi di atas maka troposfer mempunyai susut temperatur positif.
Troposfer sangat sedikit menyerap radiasi matahari, sebaliknya
permukaan bumi banyak memberi panas pada troposfer melalui
konduksi, konveksi, dan panas laten kondensasi atau sublimasi yang
dilepaskan ketika uap air berubah wujud menjadi tetes air atau kristal es.

Meteorologi Indonesia Volume 1


26
b. Stratosfer
Stratosfer (strata : lapisan, dan sphaira : bulatan) artinya
bulatan (lapisan) yang berlapis, karena pada lapisan stratosfer terdapat
juga lapisan ozon (ozonosfer). Stratosfer terletak di atas troposfer pada
ketinggian antara 10 dan 60 km. Karena tropopause lebih tinggi di
ekuator daripada di kutub, maka stratosfer lebih tipis di ekuator daripada
di kutub, lihat Gambar 2.5. Di ekuator, tropopause mempunyai ketinggian
18 km dengan temperatur sekitar 80 C, sedangkan di kutub
tropopause hanya mencapai ketinggian 6 km dengan temperatur 40o C.

Gambar 2.5. Lapisan troposfer dan stratosfer yang dibatasi oleh tropopause.

Stratosfer ditandai oleh susut temperatur negatif atau kenaikan


temperatur terhadap ketinggian (inversi temperatur), disebabkan oleh
ozonosfer yang menyerap radiasi ultra violet berenergi tinggi dari
matahari. Pertukaran antara gas troposfer dan stratosfer sangat kecil
karena stratosfer adalah lapisan yang stabil atau inversi temperatur.
Bagian atas stratosfer dibatasi oleh permukaan diskontinuitas temperatur
kedua (yang pertama adalah puncak troposfer), disebut stratopause
yang terletak pada ketinggian sekitar 60 km dengan temperatur berorde
0C. Stratosfer mempunyai percampuran vertikal yang sangat lemah.
Badai guruh yang mempunyai arus udara ke atas (updraft) sangat kuat
dapat menembus beberapa kilometer ke dalam stratosfer bawah.

Meteorologi Indonesia Volume 1


27
c. Mesosfer
Mesosfer (meso: tengah, dan sphaira: bulatan) artinya lapisan
gas bagian tengah yang menyelubungi bulatan bumi. Mesosfer terletak
di atas stratopause dari ketinggian 60 sampai 85 km, yang ditandai
dengan susut temperatur positif dengan gradien temperatur berorde
0,4C per 100 meter. Penurunan temperatur ini disebabkan mesosfer
mempunyai keseimbangan radiatif negatif. Puncak mesosfer dibatasi
oleh mesopause yaitu permukaan yang mempunyai temperatur paling
rendah di atmosfer, sekitar -100C. Lapisan mesosfer tumpang tindih
(overlaps) bersamaan dengan ionosfer bawah.
d. Termosfer
Termosfer (termo: panas, dan sphaira: bulatan) artinya lapisan
panas yang menyelubungi bulatan bumi pada ketinggian 85 km sampai
300 km. Termosfer ditandai oleh susut temperatur negatif atau kenaikan
temperatur dari -100C sampai ratusan bahkan ribuan derajat. Bagian
atas mesosfer disebut termopause yang meluas dari ketinggian 300 km
sampai pada rumbai-rumbai bumi (fringe of the earth) sekitar 1000 km.
Termopause adalah paras transisi ke profil temperatur yang mendekati
isotermal atau temperatur konstan. Termosfer dan termopause meluas
ke atas sampai berbaur dengan atmosfer matahari ribuan kilometer di
atas permukaan bumi dan dalam perluasannya sebagian gas ini
terionisasi. Temperatur termopause adalah konstan terhadap ketinggian
tetapi bervariasi terhadap aktivitas matahari. Temperatur malam
berosilasi antara 300 dan 1200C atau antara 600 dan 1500 K,
sedangkan pada siang hari temperatur berosilasi antara 700C dan
1700C atau antara 1000 dan 2000 K. Kenaikan temperatur disebabkan
termosfer menyerap radiasi EUV (extreme ultraviolet). Karena makin ke
atas konsentrasi (densitas) atmosfer makin kecil maka perpindahan
panas menjadi sulit, sehingga temperatur konstan.

2. Nomenklatur Lapisan Atmosfer Berdasarkan Komposisi


Atmosfer
Berdasarkan komposisi, atmosfer dapat dibagi menjadi dua
lapisan yaitu homosfer dan heterosfer. Lapisan homosfer terletak

Meteorologi Indonesia Volume 1


28
antara permukaan laut sampai ketinggian 85-100 km, yaitu sampai
mesopause, di mana oksigen dan nitrogen pada umumnya masih dalam
bentuk molekul. Di dalam homosfer terdapat percampuran turbulen
sehingga komposisi udara cukup konstan atau massa molekuler udara
konstan, sama dengan 28,97 gram. Di atas ketinggian 100 km,
percampuran vertikal gas-gas atmosferik dikendalikan oleh difusi
molekuler akibat peningkatan nilai lintasan bebas rerata molekuler
(mean free path) terhadap ketinggian atmosfer. Paras (level) antara
percampuran turbulen dan difusi molekuler disebut turbopause.
Lapisan percampuran di bawah turbopause disebut homosfer dan
lapisan diatasnya disebut heterosfer yang terletak dari ketinggian sekitar
100 sampai 1000 km. Heterosfer ditandai oleh disosiasi molekul oksigen
dan molekul nitrogen menjadi atom oksigen dan atom nitrogen. Disosiasi
ini menyebabkan penurunan massa molekuler atmosfer dari 28,97 gram
dalam homosfer menjadi 15,79 gram pada ketinggian 200 km, lihat
Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Lapisan homosfer dan heterosfer

Meteorologi Indonesia Volume 1


29
Ketinggian (km) atmosfer : 100 150 200
Massa molekuler (gram) : 26,22 20,06 15,79

Di atas lapisan heterosfer, dijumpai lapisan "eksosfer" yang


merupakan batas atas atmosfer bumi. Lapisan ini ditandai oleh
kebocoran atom tertentu ke ruang angkasa terutama atom-atom yang
lebih ringan, karena itu eksosfer dikenal sebagai daerah menghilang.
Karena temperatur eksosfer tinggi dan massa jenis partikel sangat
rendah, maka kemungkinan terjadi pelepasan (pelarian) beberapa atom
dan molekul gas dari medan gravitasi bumi. Dan teori kinematik gas, nilai
pendekatan lintasan bebas rerata molekul (l) yang didefinisikan sebagai
jarak rerata yang ditempuh molekul antara dua tumbukan, dapat
dinyatakan menurut ekspresi berikut:

(2.2)

keterangan :
k : konstanta Boltzmann
-23 -1
= 1,38 x 10 JK
T : temperatur mutlak (absolut)
p : tekanan atmoster
a : penampang tumbukan molekul
2 2 9 2
40 A = 0,4 nm = 0,4 x 10 m
3. Nomenklatur Lapisan Atmosfer Berdasarkan Sifat
Radioelektrik
Fotoionisasi (photoionisation) molekul-molekul atmosferik
hanya terjadi pada lapisan di atas ketinggian 50 km sampai lebih dari 500
km. Lapisan di bawah ketinggian 60 km disebut netrosfer dan lapisan
ionosfer meluas dari ketinggian 60 km sampai pada paras (level) yang
sangat tinggi, tetapi dalam hal ini ditinjau lapisan ionosfer yang terletak di
bawah rumbai-rumbai (fringe) bumi. Beberapa molekul udara terionosasi
oleh radiasi ultraviolet dari matahari yang menghasilkan gas terionisasi,
disebut plasma, dan daerah ini disebut ionosfer. lonisasi adalah sebuah

Meteorologi Indonesia Volume 1


30
proses di mana elektron yang berrnuatan negatif terkelupas dari atom
atau molekul netral untuk membentuk ion bermuatan positif dan elektron
bebas. Ion-ion ini yang memberi nama lapisan ionosfer dalam atmosfer.
a. Daerah lonosfer
Berdasarkan sifat-sifat radioelektrik, ionosfer dapat dibagi
menjadi 3 daerah, yaitu :
1. Daerah D, ketinggian pendekatan antara 60 dan 80 km,
memantulkan radiasi gelombang panjang kilometrik = 1000
m atau lebih). Konsentrasi elektron bervariasi antara 103 dan
104 elektron per cm3.
2. Daerah E, ketinggian pendekatan antara 80 dan 160 km,
memantulkan radiasi gelombang hektometrik. Konsentrasi
5 3
elektron bervariasi dari 10 pada siang hari sampai 10 elektron
3
per cm pada malam hari.
3. Daerah F, ketinggian pendekatan 160 km sampai paras yang
sangat tinggi, memantulkan radiasi gelombang metrik.
6 3
Konsentrasi elektron mencapai 2 x 10 elektron per cm pada
ketinggian 400 km. Daerah F terdiri dari dua lapisan yaitu F1
dengan ketebalan sekitar 60 km, dan F2 yang mempunyai
ketebalan cukup besar. Ketinggian pendekatan F1 antara 160
dan 210 km dan lapisan F2 mempunyai ketebalan mulai dari
ketinggian di atas 210 km.

Pada siang hari, keempat daerah ionosfer D, E, F1, dan F2


muncul karena dikendalikan oleh matahari. Tetapi lapisan F2 selain oleh
matahari juga dikendalikan oleh faktor lain, misalnya medan magnetik
bumi dan angin atmosferik yang menyebarkan lagi (redistribute) ion-ion
dalam lintang dan bujur. Akibatnya lapisan ionosfer F2 muncul pada
malam dan siang hari, sedangkan lapisan D, E, F1 hanya muncul pada
siang hari. Lapisan E-Sporadis (Es) seringkali juga muncul bila bumi
melewati daerah lintasan komet-komet besar. Keempat daerah ionosfer
ini sangat penting dalam komunikasi frekuensi tinggi. Gambar 2.7,
menunjukkan daerah-daerah ionosfer dan profil ketinggian densitas
elektron.
Meteorologi Indonesia Volume 1
31
Gambar 2.7. Daerah lonosfer D, E, F1, F2 dan profil densitas elektron.

b. Pembentukan lonosfer

Ada dua jenis radiasi yang menyebabkan ionisasi dalam


atmosfer yaitu, sinar X dan radiasi ultraviolet ekstrim (EUV). Sinar X
luaran dari matahari adalah tak beraturan, meningkat kuat pada gejolak
panas matahari (solar flares) besar. Sinar X mengionisasi gas dalam
daerah D dan bagian bawah daerah E. Radiasi EUV (extreme ultraviolet)
adalah radiasi pengionisasi yang lebih penting. EUV dihasilkan dalam
khromosfer matahari pada daerah gangguan yang melapisi kelompok
noda matahari (sunspot). Pada umumnya luaran EUV dari matahari
mendekati konstan, tetapi berubah secara bulanan dan tahunan karena
perubahan jumlah noda matahari, lihat Gambar 2.8.

Meteorologi Indonesia Volume 1


32
Gambar 2.8. Sumber radiasi yang menyebabkan ionisasi di ionosfer. Sumber : IPS
Radio dan Space Services, Australia. 1993.

Radiasi EUV diserap oleh atom-atom dan molekul-molekul


oksigen dan nitrogen (O, O2, N, N2) pada ketinggian 100 - 400 km dan
mengionisasi dalam daerah E, F1, dan F2. Radiasi matahari UV
(ultraviolet) mempunyai panjang gelombang lebih panjang dari pada
radiasi EUV. Radiasi UV tidak menyebabkan ionisasi, tetapi hampir
semuanya diserap oleh ozon (O3) pada ketinggian sekitar 30 km.
Radiasi EUV matahari diserap karena ia mengionisasi atom
dan molekul. Karena radiasi matahari menembus atmosfer bumi
sampai dalam, maka intensitasnya berkurang. Tingkat produksi
elektron sebanding dengan intensitas EUV dan densitas udara. Pada
puncak atmosfer intensitas EUV besar, tetapi densitas udara kecil,
sehingga ion dan elektron yang dihasilkan juga sedikit. Pada dasar
daerah E, densitas udara besar tetapi intensitas EUV sangat rendah
sehingga jumlah ion dan elektron yang diproduksi juga sedikit.

Meteorologi Indonesia Volume 1


33
c. Produksi dan Redistribusi Elektron
Foton (paket energi) radiasi EUV (ultraviolet ekstrim)
bertumbukan dengan atom atau molekul netral dan menginjeksikan
elektron dalam bentuk ion positif dan elektron bebas. Proses ini dikenal
sebagai fotoionisasi. Dalam daerah F2, jenis (species) utama adalah
atom oksigen terionisasi O+, sedangkan dalam daerah F1 dan E jenis
utamanya ialah molekul oksigen O2+ dan oksida nitrik NO+ terionisasi.
Jika elektron dan ion bertumbukan, kadang-kadang terjadi
proses penggabungan (recombination process), elektron bermuatan
negatif ditarik oleh ion bermuatan positif, yang menghasilkan sebuah
atom atau molekul netral. Penggabungan (rekombinasi) elektron
dengan ion molekuler lebih efisien dari pada rekombinasi dengan ion
atomik. Karena daerah F2 kebanyakan terdiri dari ion-ion atomik (O+),
rekombinasi di sini berjalan lambat, berbeda dengan daerah F1 dan
E yang kebanyakan terdiri dari ion-ion molekuler (O2+, NO+) yang
rekombinasinya berjalan lebih cepat. Hal ini merupakan salah satu
alasan, mengapa daerah F2 masih muncul pada malam hari ketika
semua ion dan elektron di daerah E dan F1 telah hilang melalui
rekombinasi. Waktu hidup khas (typical lifetimes) elektron bebas
dalam masing-masing daerah E, F1, dan F2 adalah 20 detik, 1 menit,
dan 20 menit.
Sebab lain munculnya daerah F2 sepanjang malam hari adalah
angin atmosferik dalam gas netral. Selama siang hari, atmosfer atas
pada lintang-lintang rendah dipanasi oleh matahari, sedangkan angin
pada ketinggian sekitar 300 km bertiup ke arah lintang-lintang tinggi
seperti daerah polar (kutub). Angin dalam udara netral bertiup secara
horizontal tetapi ion-ion dan elektron-elektron tidak dapat bergerak
melintas (memotong) garis-garis gaya medan magnetik bumi. Jadi pada
siang hari, ion-ion dan elektron-elektron cenderung dihembus (ditiup)
sepanjang garis-garis medan magnet paras (level) yang lebih rendah di
mana partikel-partikel bermuatan ini menghilang oleh rekombinasi
(penggabungan). Pada malam hari, atmosfer atas di lintang-lintang

Meteorologi Indonesia Volume 1


34
rendah mendingin dan angin bertiup kearah ekuator. Ion-ion dan
elektron-elektron kemudian dipompa garis-garis medan ke paras
(ketinggian) yang lebih tinggi, di mana rekombinasi berlangsung lebih
lambat, karena itu daerah F2tetap muncul pada malam hari.

d. Refleksi Gelombang Radio HF oleh lonosfer

Sifat yang sangat penting dari ionosfer dalam masalah


komunikasi radio adalah kemampuannya untuk memantulkan
gelombang-gelombang radio yang mempunyai frekuensi tertentu.
Berbagai metode telah dipakai untuk menyelidiki sifat-sifat reflektif
ionosfer. Instrumen yang banyak dipakai disebut ionosonde yaitu
radar frekuensi tinggi (high frequency HF). Pulsa-pulsa energi radio
yang sangat pendek ditransmisikan secara vertikal kedalam ionosfer.
Jika frekuensi radio tidak terlalu tinggi maka pulsa-pulsa akan
dipantulkan kembali ke bumi. lonosonde mencatat waktu tunda (time
delay) antara transmisi dan penerimaan pulsa. Karena frekuensi pulsa
berubah, diperoleh rekaman waktu tunda pada frekuensi-frekuensi
berbeda, lihat Gambar 2.9.

Gambar 2.9. Pengukuran ionosfer dengan ionosonde.

Meteorologi Indonesia Volume 1


35
Dalam kasus refleksi (pemantulan) pulsa-pulsa radio oleh
ionosfer, waktu tunda tidak mudah (sederhana) dikaitkan dengan jarak
aktuaI yang ditempuh atau tinggi refleksi. Waktu tunda tersebut
dikonversikan ke dalam besaran jarak yang dinamai tinggi refleksi
virtual. Data kemudian disimpan secara fotografik, setiap rekaman
disebut ionogram yang memberikan informasi tentang jangka (range)
frekuensi yang dipantulkan dari ionosfer dan tinggi refleksi untuk waktu
dan lokasi khusus. lonogram memberikan mayoritas data ionosferik
dan mengungkapkannya secara rinci, lihat Gambar 2.10. Di dalam
setiap daerah ionosfer ada sebuah lapisan dengan densitas elektron
maksimum. Densitas elektron terbesar ditemukan pada lapisan F2, lihat
Gambar 2.7.

0
Gambar 2.10. Struktur ionosfer.

Meteorologi Indonesia Volume 1


36
Frekuensi yang direfleksikan pada setiap paras (level) ionosfer
sebanding dengan akar densitas elektron N pada lapisan tersebut, yaitu:

dengan fc adalah frekuensi yang dipantulkan oleh sebuah lapisan


ionosfer, dan N adalah densitas elektron lapisan tersebut pada titik
refleksi. Jadi frekuensi yang dipantulkan dari lapisan F2, yang dinamakan
frekuensi kritis daerah F2, adalah frekuensi tertinggi yang akan
direfleksikan ionosfer. Frekuensi ini di nyatakan dengan f0F2 yang
merupakan frekuensi yang sangat penting untuk komunikasi frekuensi
tinggi (HF). Frekuensi yang lebih tinggi dari pada f0F2 akan menembus
ionosfer, jadi tidak terpakai untuk komunikasi HF (high frequency).
Frekuensi kritis untuk daerah F1 dan E masing-masing ditunjukkan oleh
f0F1 dan f0E. Dalam ionosfer, kehadiran medan magnetik bumi membelah
setiap gelombang radio menjadi dua gelombang terpolarisasi sirkular
berlawanan yang disebut komponen ordiner (o) dan ekstraordiner (x).
Gelombang o dan x menjalar secara bebas (tidak bergantungan), jadi
pada setiap ionogram ada dua jejak (trace). Jejak ordiner (o) dipakai
untuk analisa, sehingga muncul subskrip "o" dalam suku f0E, f0F1, dan f0F2.
Pengukuran frekuensi sebuah ionosonde mulai dari sekitar
1 MHz, kemudian meningkat hingga 22,2 MHz. Awalnya pada frekuensi
kurang dari sekitar 1,5 MHz, tidak ada gema (echo) yang diterima.
Semua energi yang ditransmisikan diserap dalam daerah D. Ketika
frekuensi ditingkatkan, gema muncul pertama dari daerah E dan setelah
itu dari daerah F1 dan F2 dengan waktu tunda yang lebih besar. Waktu
tunda antara transmisi dan penerima sebuah pulsa oleh ionosonde tidak
secara langsung berhubungan dengan tinggi (atau jarak) ionosfer,
karena plasma ionosferik memperlambat pulsa yang menghasilkan
waktu tunda lebih besar daripada yang diperkirakan, jadi tinggi ionosfer
virtual selalu lebih besar daripada tinggi sebenarnya.

2.3. Atmosfer di Atas Indonesia

Atmosfer di atas wilayah Indonesia memainkan peranan


penting dan unik dalam dinamika atmosfer global. Di wilayah Indonesia

Meteorologi Indonesia Volume 1


37
di mana 70% adalah perairan, maka jumlah uap air yang dapat
diendapkan sangat besar, sehingga pembentukan awannya unik dan
jumlah curah hujannya berfluktuasi dari bulan ke bulan, dari musim ke
musim, atau dari tahun ke tahun. Kerumitan dinamika atmosfer ekuator
dan keunikan atmosfer benua maritim menyebabkan kesulitan untuk
melakukan prediksi cuaca dengan tingkat ketelitian yang tinggi.

Gambar 2.11. Distribusi bulanan tinggi isoterm 0 C dan tinggi tropopause di atas
Jakarta

Meteorologi Indonesia Volume 1


38
Gambar 2.11, menunjukkan distribusi bulanan tinggi lapisan
isoterm 0 C di troposfer dan tinggi tropopause pada pukul 7.00 dan
19.00 WIB di atas Jakarta. Tinggi lapisan isoterm 0 C terletak antara
4.500 5.500 m, sedangkan tinggi tropopause terletak antara 16.000
dan 17.500 m dari paras laut. Makin tinggi tropopause makin rendah
suhunya. Suhu udara permukaan rata-rata sekitar 24 C tetapi suhu
puncak troposfer dapat mencapai -85 C, dengan susut suhu (lapse
rate) mendekati 0,65 C/100 m.

Tabel 2.2, menunjukkan salah satu hasil pengukuran


parameter atmosfer dari permukaan sampai stratosfer bawah dengan
radiosonde. Radiosonde mengukur 3 parameter atmosfer yaitu
tekanan (p), temperatur (T), dan temperatur titik embun (Td) atau
kelembapan relatif (RH) untuk setiap paras (ketinggian) dari
permukaan sampai stratosfer bawah. Ketinggian dinyatakan dalam
tinggi geopotensial dengan satuan meter yang didefinisikan sebagai:

(2.3)

Keterangan :
h : tinggi geopotensial (m)
g : percepatan gravitasi (ms-2)
z : tinggi geometrik (m)
g0 : percepatan gravitasi permukaan bumi rata-rata secara global
= 9,8 ms-2

Jelas bahwa pada atmosfer bawah, nilai z dan h hampir sama karena
g ~ g0, dan makin tinggi maka beda z dan h makin besar.

Meteorologi Indonesia Volume 1


39
Tabel 2.2. Data Radiosonde di atas Jakarta
Tanggal : 15 Desember 1977
Pukul : 11.45 Waktu Universal
Kondisi Cuaca : Berawan
p (mb) h (m) T (C) RH%

1011.0 0 27.3 87
1000 95 26.6 90
850 1 526 19,9 78
700 3 156 10.5 74
800 4.432 05.2 60
500 5 896 - 03,1 55
400 7 679 13,9 39
300 9.756 - 21.7 33
250 11.031 -38.2 51
200 12.526 - 50.5 47
175 13.400 - 57.5 -
150 14 350 - 65,1 -
125 15.490 - 72,3
100 16.730 - 80,5
80 17.995 -83,5
60 19.620 - 76,2
50 20 846 - 69.1
40 22.080 - 63.0
30 23.786 - 58,7

Paras 0 C p = 544 mb h = 5.230 m RH = 65%


Tropopause p = 86 mb h = 17.600 m T = 84,3 C
Tabel 2.3. Hubungan tinggi geometrik (z) dan tinggi geopotensial (h)

z (km) 0 1 10 20 30 60 90 120 200

h (km) 0 1.00 9.99 19.94 29.116 59.45 88.76 117.80 193.93

g (ms-2) 9,80 9.80 9.77 9.74 9.71 9.62 9.53 9.44 9.21

Radiosonde terdiri dari kotak yang dilengkapi dengan pemancar


radio dan alat pengindera atau sensor untuk tekanan, temperatur, dan
kelembapan nisbi (relatif). Hasil pengamatan dikirim ke stasiun di
permukaan dalam bentuk sinyal radio. Radiosonde dinaikkan dengan
sebuah balon yang diisi dengan gas yang lebih ringan dari udara sampai

Meteorologi Indonesia Volume 1


40
balon ini pecah, kemudian radiosonde akan turun dengan memakai
payung yang telah disediakan. Selain data tekanan, temperatur, dan
kelembapan, diperoleh informasi tambahan data laju dan arah angin
dengan memakai alat pencari arah elektronik yang mengikuti lintasan
dan laju balon dengan radar, alat ini sering disebut rawindsonde. Sensor
tekanan adalah dari jenis aneroid, ketelitiannya diperkirakan hingga
beberapa milibar. Sensor temperatur adalah dari jenis bimetal, yang
diperlengkapi dengan pelindung radiasi untuk mengurangi kesalahan
karena radiasi. Kesalahan radiasi beberapa derajat mungkin terjadi pada
paras yang tinggi. Sebagai sensor kelembapan dipakai sejenis kulit yang
panjangnya peka terhadap kelembapan nisbi (relatif).

2.4. Lapisan Ozon Stratosferik


a. Absorpsi Radiasi oleh Ozon dan Gas Lain

Setiap atom dan molekul atmosferik mempunyai beda efisiensi


dan beda panjang gelombang untuk menyerap radiasi. Pada panjang
gelombang yang terpendek, maka penyerap utama radiasi matahari
dalam atmosfer bumi adalah molekul oksigen dan ozon. Molekul oksigen
menyerap foton dengan panjang gelombang lebih pendek dari sekitar
240 nm (1 nm = 10-9 m), lihat Gambar 2.12.
Penetrasi radiasi matahari melalui atmosfer sebagai fungsi
panjang gelombang sampai pada 310 nm ditunjukkan pada Gambar
2.14. Kebanyakan radiasi dengan panjang gelombang lebih pendek dari
sekitar 100 nm diserap dalam atmosfer pada ketinggian di atas 100 km
oleh N2, O2, N, O, dan senyawa ionik dari unsur-unsur ini. Pada panjang
gelombang di atas 100 nm, unsur N2, N, dan O berhenti menyerap,
sehingga radiasi dapat menembus lebih dalam lagi. Absorpsi yang kuat
oleh molekul oksigen membatasi foton dengan panjang gelombang lebih
pendek dari sekitar 210 nm sampai pada ketinggian 50 km dan lebih
tinggi. Foton dengan panjang gelombang di atas sekitar 210 nm juga
diserap oleh O2 secara lemah, diduga ozon (O3) sebagai unsur penyerap
terbesar pada pita gelombang 210 310 nm. Absorpsi ozon ini

Meteorologi Indonesia Volume 1


41
memberikan energi yang memanasi stratosfer dan mesosfer. Karena
itu, penurunan konsentrasi ozon stratosferik menyebabkan kenaikan
intensitas sebagian besar radiasi energetik yang mencapai permukaan
bumi.

Gambar 2.12. (a). Distribusi spektral penampang absorpsi molekul oksigen.


(b). Kedalaman penetrasi radiasi matahari sebagai fungsi panjang
gelombang. Penyerap utama, batas disosiasi dan ionisasi juga
diberi tanda. Sumber Graedel and Crutzen, 1993.

b. Pembentukan Ozonosfer
Ozon di stratosfer dihasilkan dari fotodisosiasi molekul oksigen
oleh radiasi matahari ultraviolet (UV). Proses ini menghasilkan dua atom
oksigen, satu diantaranya bergabung dengan molekul oksigen untuk
membentuk ozon :

O2(g) + h (< 242 nm) O(g) + O(g) (2.4)


tanda (g) artinya berbentuk gas, hv adalah energi foton dengan h :
konstanta Planck dan v : frekuensi radiasi.

Tinjau bagaimana ozon stratosferik terbentuk dan bagaimana


ia menyerap energi foton. Di dalam lapisan stratosfer dan mesosfer,
konsentrasi molekul 02, lebih besar dari pada konsentrasi atom oksigen.
Karena itu atom 0 yang terbentuk dalam lapisan stratosfer dan mesosfer

Meteorologi Indonesia Volume 1


42
sering mengalami tumbukan dengan molekul O2, tumbukan ini
cenderung membentuk ozon :
O(g) + O2(g) O*3 (g) (2.5)
tanda asterik (*) menunjukkan bahwa molekul ozon melepaskan energi.
Reaksi O dengan O2 yang membentuk O3 akan melepaskan energi
105 kJ/mol. Waktu hidup molekul O3 sangat pendek dan akan terurai lagi
menjadi O2 dan O. Dekomposisi ini adalah kebalikan dari proses di mana
O3 terbentuk. Alih kelebihan energi dilakukan oleh benda (molekul) ketika
M melalui tumbukan. Benda M ini tidak ikut dalam reaksi, hanya
mengambil alih kelebihan energi dalam reaksi. Benda M biasanya
adalah molekul N2 atau O2, karena molekul-molekul ini sangat banyak
terdapat di atmosfer. Pembentukan ozon (O3) dan alih kelebihan energi
oleh M, dapat dirangkum dengan persamaan berikut:
*
O(g) O2(g) O 3 (g) (2.6)
*
O3 (g) M(g) O3(g) M*(g)
O(g) O2(g) M(g) O3(g) M*(g), neto (2.7)

Kecepatan pembentukan ozon (O3) bergantung pada


*
kecepatan relatif tumbukan antara O3 dan M (persamaan 2.7), dan
*
disosiasi dari O3 kembali ke O2 dan O (proses kebalikan) dalam
persamaan (2.6). Peristiwa tumbukan sangat penting agar pembentukan
O3 lebih mudah.
Molekul ozon mampu menyerap radiasi matahari yang
menghasilkan dekomposisi menjadi O2 dan O. Jika tidak ada ozon
stratosferik, maka energi foton yang tinggi akan menembus ke
permukaan bumi, sehingga tanaman, hewan, dan manusia
kemungkinan tidak akan hidup seperti sekarang.
Fotodekomposisi ozon akan membalikkan reaksi dengan
proses putaran kembali (recycling), sehingga proses siklis pengubahan
ozon, yaitu pembentukan dan dekomposisi ozon, dapat dirangkum
sebagai berikut:

Meteorologi Indonesia Volume 1


43
1. O2(g) + h ( 242 nm) O(g) O(g)
2. O(g) + O2(g) + M(g) O3(g) M*(g)
(2.8)
3. O3(g) + h ( 1140 nm) O2(g) O(g)
4. O(g) + O(g) + M(g) O2(g) M*(g)

Catatan :
Radiasi elektromagnetik (EM) dapat digambarkan sebagai arus
foton dimana energi tiap foton diberikan ofeh persamaan :
E = h
Keterangan :
-34
h = 6,625 x 10 J.s disebut konstanta Planck
u : frekuensi radiasi
Proses pertama dan ketiga adalah fotokimia yang memakai
energi foton matahari untuk memulai reaksi kimia. Proses kedua dan
keempat adalah reaksi kimia eksotermis (melepas panas). Hasil neto
dari keempat proses tersebut adalah daur (siklus) di mana energi
radiasi matahari diubah menjadi energi panas. Daur ozon di stratosfer
menyebabkan kenaikan temperatur yang mencapai maksimum pada
stratopause.

c. Lubang Ozon

Siklus katalitik terhadap kerusakan ozon di stratosfer telah


ditemukan pada tahun 1974 yaitu keterlibatan khlorin yang dikemukakan
oleh Richard Stolarski and Ralph Cicerone, Universitas Michigan dan
rantai khlorfluorokarbon (CFC) atau freon yang dikemukakan oleh Mario
Molina and Sherwood Rowland, Universitas California. Freon, terutama
CFCI3 (freon 11) dan CF2Cl2 (freon 12) telah banyak dipakai sebagai
bahan pembakar (propellants) dalam kaleng-kaleng semprotan, sebagai
gas alat pendingin atau sebagai gas pengatur udara (air conditioner),
dan sebagai agen busa untuk plastik. Freon (CFC) sebenamya tidak
reaktif di lapisan atmosfer bawah dan relatif tidak dapat larut (insoluble)
dalam air, sehingga CFC tidak jatuh ke permukaan bumi oleh

Meteorologi Indonesia Volume 1


44
tetes-tetes hujan. Sangat disayangkan, kurang reaktivitasnya CFC
membuat bahan ini secara komersial bermanfaat, tetapi juga waktu
hidup CFC di atmosfer menjadi lebih lama, dan akhirnya dapat berdifusi
ke dalam stratosfer. Diperkirakan beberapa juta ton khlorfluorokarbon
sekarang berada di lapisan atmosfer.
Ketika CFC berdifusi ke lapisan stratosfer, maka ia menjadi
subyek terhadap aksi radiasi energi tinggi. Panjang gelombang dalam
daerah antara 190 dan 225 nm menyebabkan fotolisis atau
perpecahan ikatan karbon-khlorin dari freon :

CFxCl4x(g) h(=190225 nm) CFxCl3x(g) Cl(g) (2.9)

Pembentukan atom khlor dengan kecepatan terbesar terjadi pada


ketinggian sekitar 30 km.
Atom khlor dapat bereaksi cepat dengan ozon untuk
membentuk khlor monoksida CIO dan molekul oksigen 02. CIO dapat
bereaksi dengan atom 0 untuk membentuk kembali atom khlor :

Cl(g) O3(g) CIO(g) O2(g) (2.10)

ClO(g) O(g) CI(g) O2(g) (2.11)

O3(g) O(g) 2O2(g), neto

Hasil reaksi-reaksi di atas adalah perubahan ozon menjadi O2.


Fungsi khlor dalam hal ini sebagai katalisator, karena CI dipakai pada
langkah pertama dalam mekanisme persamaan (2.10) kemudian
terbentuk kembali dalam langkah kedua (persamaan 2.11).
Diperkirakan bahwa setiap atom CI akan merusak sekitar 100.000
molekul ozon sebelum khlor itu sendiri dirusak oleh reaksi-reaksi lain.
Meskipun kecepatan difusi dari molekul-molekul ke dalam
stratosfer dari permukaan bumi kemungkinan rendah, tetapi kerusakan
ozonosfer oleh freon (CFC) telah diyakini melalui observasi. Sejak akhir

Meteorologi Indonesia Volume 1


45
tahun 1970-an, peneliti-peneliti telah mendapatkan penipisan tahunan
dari lapisan ozon di atas Kutub Selatan yang terjadi selama musim
semi austral (belahan bumi selatan). Ilmuwan sekarang dengan jelas
menemukan bahwa Kutub Utara juga mengalami peristiwa yang
serupa dengan belahan bumi selatan, tetapi kerusakan ozon selama
akhir musim dingin kurang tegas.

d. Efek Reduksi Ozon Stratosferik


Efek perubahan konsentrasi ozon stratosferik dirasakan secara
langsung oleh sistem biologis. Gambar 2.13, menunjukkan bahwa
penetrasi radiasi matahari ke permukaan bumi pada panjang gelombang
di atas sekitar 210 nm dibatasi dengan kuat oleh absorpsi ozon. Absorpsi
ini dapat meluas sampai lebih dari 300 nm, meskipun efisiensinya turun
dengan cepat. Pengurangan kadar ozon stratosferik akan meningkatkan
iradians dalam daerah panjang gelombang antara 290 dan 320 nm yang
disebut daerah ultraviolet B (UV-B) yaitu daerah di mana organisme
biologis sangat sensitif. Jadi setiap penurunan kadar ozon akan
meningkatkan penetrasi radiasi dalam daerah panjang gelombang
dimana DNA sangat sensitif. Keadaan semacam ini membuat
pemeliharaan perisai ozonosfer perlu mendapat prioritas yang tinggi.

Radiasi UV-B menyebabkan kanker kulit manusia. Studi


menunjukkan bahwa reduksi lapisan ozon 1%, meningkatkan dosis
(takaran) UV-B efektif sebesar 2%. Kenaikan dosis ini pada gilirannya
menyebabkan kenaikan sebesar 4% timbulnya carcinoma sel basal
dan kenaikan sekitar 6% dalam carcinoma sel squamous. Penurunan
10% ozon stratosferik akan menyebabkan kenaikan timbulnya kanker
sel basal sebesar 50% dan sel squamous sebesar 90%. Misalnya di
Jerman, reduksi 10% ozon stratosferik menyebabkan sekitar 20.000
tambahan kasus kanker kulit tiap tahun. Carcicoma ini, tidak sama
dengan kanker kulit melanoma yang juga disebabkan oleh
pencahayaan (exposure) UV-B. Peristiwa melanoma sangat jarang
tetapi lebih mematikan. Efek lain dari kenaikan radiasi UV-B pada
manusia adalah kejadian katarak yang lebih sering dan melemahnya
sistem kekebalan (immune) tubuh.

Meteorologi Indonesia Volume 1


46
Sekitar 200 jenis tanaman telah diuji kepekaannya (sensitivity)
terhadap radiasi UV-B. Sekitar setengahnya menunjukkan efek
merugikan yang signifikan (nyata) termasuk reduksi luas daun rata-
rata, reduksi panjang tunas (shoot) dan berkurangnya kecepatan
fotosintesis. Informasi dari hasil pertanian menunjukkan bahwa reduksi
ozon stratosferik sebesar 25% akan menimbulkan penurunan 50%
hasil kedelai (soybean). Ada kejelasan juga bahwa persediaan
nitrogen alami dipengaruhi secara negatif oleh kenaikan pencahayaan
UV-B.

Meskipun di bawah kondisi alamiah, banyak jenis plankton


yang peka (sensitive) terhadap dosis UV-B paras bawah (low-level).
Kehilangan ozon atmosferik protektif, berarti kerugian langsung dari
radiasi atau kerugian tidak langsung dari penurunan aktivitas
fotosintetis ketika plankton bergerak menuju ke kedalaman yang lebih
dalam. Reduksi jumlah plankton, diperkirakan mempunyai pengaruh
pada anggota ekosistem tingkat yang lebih tinggi seperti zooplankton
dan ikan. Studi yang menguji proses ini secara lebih rinci sedang
dilakukan secara aktif terutama di Antartika.
Penelitian yang lebih ekstensif konsentrasi ozon troposferik
harus menunggu pengembangan instrumentasi yang lebih dapat
diandalkan (reliable), terutama teknik optik. Teknik spektografik telah
lama tidak praktis untuk dipakai pengamatan jangka panjang.
Pengukuran yang dilakukan dengan teknik optik dari tempat-tempat
paras (level) rendah yaitu kurang dari 1 km, pada pokoknya lebih
rendah dari pada yang diukur sekarang dengan teknik kimia dan optik
modern pada stasiun representatif dalam area yang sama.
Pengukuran berulang (repetitive) di Hohenpeissenberg, Jerman
selama periode 1967 - 1988 jelas menunjukkan bahwa ozon troposferik
meningkat dan ozon stratosferik menurun, lihat Gambar 2.13.

Meteorologi Indonesia Volume 1


47
Gambar 2.13. Pengukuran konsentrasi rata-rata tahunan ozon troposferik dan
stratosferik di Hohenpeissenberg, Jerman selama periode 1967 - 1988
yang dinyatakan sebagai tekanan parsial dalam nbar = 10-9 bar.
Sumber Graedel and Crutzen. 1993.

2.5. Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Atmosfer


Jika orang yang berjalan-jalan sampai harus memakai alat
pelindung gas, seperti yang pernah dialami di Kalimantan ketika terjadi
kabas (kabut-asap) atau smog (smoke-fog), maka sudah waktunya
diadakan penelitian terhadap lingkungan atmosfer. Proses industri
dapat mempengaruhi atmosfer dalam dua cara yaitu merubah
komposisi dan kadar panas atmosfer. Sejak revolusi industri tingkat
pencemaran atmosfer terus naik, jumlah zat pencemar tahunan dari
hasil pembakaran terus meningkat, yang sebagian besar berasal dari
pusat-pusat kota yang ramai dan padat penduduknya.

Meteorologi Indonesia Volume 1


48
Efek pencemaran mempunyai beberapa tingkatan; pertama
adalah perubahan komposisi gas-gas atmosfer yang dapat berdampak
serius pada kesehatan manusia, kedua adalah penambahan partikel
atau aerosol ke dalam atmosfer, dan ketiga adalah perubahan
temperatur atmosfer. Karbondioksida bersifat transparan terhadap
radiasi gelombang pendek matahari dan menyerap radiasi gelombang
panjang bumi, sehingga kenaikan kadar CO2 menyebabkan kenaikan
temperatur udara. Meskipun pemanasan akibat CO2 akan terjadi di
masa mendatang, tetapi efek tersebut mungkin dapat diimbangi oleh
kenaikan kandungan aerosol di atmosfer yang menyebabkan
pendinginan karena radiasi matahari yang datang akan dipantulkan
kembali.

Karbondioksida adalah hasil pembakaran sempurna bahan


bakar minyak (bbm) kendaraan bermotor. Meskipun CO2 dihasilkan
dalam jumlah sangat besar oleh kendaraan bermotor, oleh
pembakaran bahan bakar industri dan rumah tangga, tetapi gas ini
tidak berbahaya secara langsung terhadap manusia. Pengaruhnya
terutama pada kadar panas atmosfer sebagaimana sifat
karbondioksida terhadap radiasi gelombang pendek dan gelombang
panjang. Jika pembakaran karbon (bahan bakar minyak) kendaraan
bermotor tidak sempurna maka dihasilkan bentuk karbon monoksida
(CO). Secara kimia CO adalah gas aktif dan sangat beracun. Bahaya
kesehatan akan terjadi hanya dengan konsentrasi CO sebesar 100
ppm (parts per million) = 0,01% dalam beberapa jam. Kondisi semacam
ini terjadi di dalam ruang yang penuh asap dan pada daerah yang
berventilasi jelek (angin tenang dan atmosfer stabil) dengan
pembuangan gas kendaraan bermotor yang pekat.
Belerang dioksida (SO2) dan asam belerang (H2SO4) dihasilkan
dari pembakaran dalam jumlah yang lebih kecil dari pada CO, tetapi SO2
dan H2SO4 lebih beracun. Jika asam belerang dihirup dalam pernafasan
maka akan terjadi kerusakan jaringan secara permanen. Gas buang
industri hidrogen sulfida (H2S) yang ditandai dengan bau telur
busuk dalam dosis tinggi sangat mematikan. Proses industri tertentu

Meteorologi Indonesia Volume 1


49
dapat menghasilkan hidrogen fluorida (HF), salah satu bahan kimia
yang sangat korosif dan dapat menyebabkan kerusakan tanaman
meskipun dalam konsentrasi 1 ppb (part per billion). Karbon disulfida
(CS2) adalah gas berbau busuk dan berbahaya yang dihasilkan dalam
jumlah besar di pabrik-pabrik kertas.

Di samping asap anorganik ini, sejumlah senyawa organik yang


mudah menguap dan beracun dapat dihasilkan misalnya etilin,
formaldehida dan sejumlah larutan. Etilin adalah hidrokarbon dari asap
buang otomobil jenis bis dan truk. Sedikit bagian per milyar (ppb) dan
etilin dapat merusak tanaman berbunga terutama jenis tanaman pangan
(penghasil makanan). Formaldehida, zat yang berkaitan dengan bahan
kimia yaitu komponen kabas (smog) yang sangat pedih dan
mengganggu. dihasilkan dari pembakaran sampah kandang ternak.
Larutan organik berasal dari udara di daerah industri yang menyebabkan
gangguan biasa sampai sangat beracun.

Percobaan dan pengujian born atom dan pabrik tenaga nuklir,


semuanya merupakan ancaman baru dengan kadar racun kemungkinan
meningkat tinggi. Tidak ada seorangpun yang dapat memprediksi
dampak dan resiko nyata dari gas-gas radioaktif yang dilepaskan.
Bahaya radioaktif adalah yang berkaitan baik dengan medis maupun
dengan keturunan. Reduksi ozon stratosferik meningkatkan penetrasi
radiasi dalam daerah panjang gelombang di mana organisme biologis
sangat sensitif. Dampak reduksi ozon stratosferik adalah kanker kulit,
peningkatan katarak, penurunan hasil pertanian, dan penurunan jumlah
plankton di laut.

Sejumlah besar aerosol yang diinjeksikan ke atmosfer


disebabkan oleh aktivitas dan ulah manusia seperti yang diuraikan di
atas, dan sebagian aerosol atmosfer dihasilkan secara alamiah yang
terdiri dari letusan vulkano (gunung api), percikan garam dari gelombang
laut, debu yang dihembuskan angin, dan sebagainya. Aerosol yang
berasal dari pembakaran di permukaan tanah atau dari pesawat dalam
penerbangan mempunyai dampak klimatik. Dua efek aerosol yang
mungkin terjadi: pertama, partikel mungkin memantulkan kembali radiasi

Meteorologi Indonesia Volume 1


50
matahari ke ruang angkasa, dengan demikian mempunyai efek
pendinginan bumi dan atmosfer; kedua, partikel mungkin menyerap
radiasi matahari, karena itu mempunyai efek pemanasan atmosfer.
Telah diketahui peningkatan kadar aerosol dalam jumlah besar
terdapat dalam daerah perkotaan, tetapi belum ada bukti nyata yang
menunjukkan bahwa efek tersebut telah menyebar ke seluruh dunia.
Karena urbanisasi berjalan terus maka penyebaran dampak (efek)
diperkirakan akan berlanjut dengan kemungkinan konsekuensi yang
serius bagi kehidupan melalui perubahan iklim.
Jelaga yang ada di atmosfer adalah partikel karbon yang halus
dan sangat aktif. Karbon mempunyai kemampuan menyerap atau
melekatkan molekul-molekul gas beracun, terutama hidrokarbon berat
yang sering terbentuk secara bersamaan dengan proses pembakaran
yang menghasilkan jelaga. Asap yang sangat beracun yang disaring
pada jalan pernafasan atas, kemudian dibawa ke bagian dalam paru-
paru bersamaan partikel karbon halus. Sentuhan partikel-partikel ini
secara terus menerus dalam waktu yang lama akan sangat berbahaya.
Di kota-kota besar, kecepatan jatuh jelaga setiap tahun dapat
mencapai 1 pon / (kaki)2 atau mencapai 25 x 106 pon jelaga / mil2 dan
jika diperluas menjadi ukuran sebuah kota rata-rata maka jatuhnya
jelaga setiap tahunnya adalah ratusan sampai ribuan juta pon (1 pon =
0,45 kg, 1 kaki = 30,5 cm = 0,305 m dan 1 mil = 1,61 km).

2.6. Resume
Atmosfer melindungi kehidupan di bumi, karena benda langit
(meteor) yang jatuh melaluinya mengalami gesekan dan terbakar
sebelum mencapai permukaan bumi. Atmosfer mempunyai sifat
kompresibel, sehingga makin ke atas atmosfernya makin tipis dan
tekanannya makin berkurang. Gas atmosfer yang penting dalam
proses cuaca ialah uap air (H2O) karena dapat berubah fasa menjadi
fasa cair dan fasa padat atau es, karbondioksida (CO2) karena
bertindak sebagai gas rumah kaca, dan ozon (O3) karena dapat
menyerap radiasi ultraviolet matahari berenergi tinggi yang sangat
berbahaya bagi tubuh manusia.

Meteorologi Indonesia Volume 1


51
Nomenklatur lapisan atmosfer berdasarkan profil temperatur
vertikal adalah troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer.
Berdasarkan komposisi, atmosfer dibagi menjadi homosfer dan
heterosfer. Sedangkan berdasarkan sifat radioelektrik, atmosfer dibagi
menjadi lapisan netrosfer (lapisan netral) yaitu lapisan dari permukaan
sampai ketinggian sekitar 60 km dan lapisan ionosfer yaitu lapisan di
atas ketinggian 50 km di mana terjadi fotoionisasi molekul atmosferik.
lonosfer dibagi menjadi daerah D, E, F1, F2 bergantung pada sifat
radioelektriknya. Pada siang hari daerah ionosfer D, E, F1, F2 muncul
karena dikendalikan oleh aktivitas matahari, tetapi pada malam hari
hanya lapisan F2 yang muncul karena lapisan ini selain dikendalikan
oleh matahari juga dikendalikan oleh angin atmosferik dan medan
magnetik bumi. Sifat reflektif gelombang radio frekuensi tinggi (HF)
ionosfer diselidiki dengan ionosonde yaitu radar frekuensi tinggi HF.
Pembentukan dan intensitas ionosfer ditentukan oleh sinar X
dan radiasi EUV (extreme ultraviolet). Karena kelompok noda
matahari bervariasi secara bulanan dan tahunan, ini berarti bahwa
sifat-sifat ionosfer kemungkinan besar juga berubah dalam skala
waktu tersebut. Angin atmosferik mendistribusikan ion-ion dalam
lintang dan bujur (longitude), sehingga daerah F2 ionosfer muncul
pada malam dan siang hari. Puncak ionisasi maksimum berada
dalam masing-masing daerah E, F1, dan F2, dan masing-masing
lapisan mempunyai frekuensi kritis yaitu f0E, f0F1, dan f0F2.

Troposfer di atas Indonesia mempunyai ketebalan antara


16,0 dan 18,0 km, sedangkan isoterm 0C terletak antara ketinggian
4,5 dan 5,5 km. Temperatur udara permukaan rata-rata sekitar 24C
tetapi temperatur puncak troposfer dapat mencapai sekitar 85C
dengan susut temperatur sekitar 6,5C/km. Salah satu pengukuran
radiosonde di atas Jakarta, pada tanggal 15 Desember 1977
menunjukkan bahwa paras 0C terdapat pada ketinggian 5,2 km dan
tinggi tropopause adalah 17,6km dengan temperatur sebesar -
84,3C. Atmosfer di atas wilayah Indonesia memainkan peranan
penting dalam perubahan atmosfer global.

Meteorologi Indonesia Volume 1


52
Dampak aktivitas manusia terhadap atmosfer dan akibatnya
pada kesehatan manusia dan lingkungan sangat signifikan. Karbon
dioksida sebagai gas rumah kaca mempunyai efek pemanasan
permukaan bumi. Karbon monoksida (CO) secara kimia adalah gas
aktif dan sangat beracun. Gas ini berbahaya bagi kesehatan jika
kadar CO melebihi 100 ppm = 0,01%. Belerang dioksida (SO2) dan
asam belerang (H2SO4) lebih beracun lagi. Jika asam belerang
terhirup oleh pernafasan maka terjadi kerusakan jaringan secara
permanen. Gas buang industri hidrogen sulfida (H2S) dalam dosis
tinggi sangat mematikan. Hidrogen fluorida (HF) yang dihasilkan oleh
proses industri adalah salah satu bahan kimia yang sangat korosif.
Aerosol atmosferik akibat aktivitas manusia maupun dihasilkan
secara alamiah mempunyai dampak pendinginan terhadap atmosfer
jika partikel ini memantulkan kembali radiasi, atau mempunyai
dampak pemanasan jika partikel ini menyerap radiasi matahari.
Reduksi kadar ozon stratosferik atau penipisan ozonosfer dapat
menyebabkan kanker kulit, meningkatkan penyakit katarak,
menurunkan sistem kekebalan tubuh, penurunan jumlah plankton di
laut, dan penurunan hasil pertanian.

Meteorologi Indonesia Volume 1


53
Bab 3
Sifat Fisis Atmosfer Indonesia

Dibandingkan dengan atmosfer lintang tengah yang


mempunyai kelabilan konvektif lemah, maka atmosfer Indonesia
menunjukkan kelabilan konvektif di segala musim. Refraksi atmosfer
ditentukan oleh kadar uap air, sehingga refraktivitas radio di troposfer
Indonesia lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain. Ini
disebabkan Indonesia merupakan daerah monsun ekuatorial lembap.
Baik stabilitas konvektif maupun refraktivitas radio atmosfer bervariasi
terhadap musim di Indonesia. Dalam troposfer bawah sampai
ketinggian 700 mb (3150 m) pada umumnya udara tidak stabil atau labil
secara konvektif. Dalam troposfer bawah, beda kadar uap air sangat
penting dalam memperhitungkan indeks refraksi, tetapi pada lapisan
troposfer atas ketika kadar uap air rendah, maka variasi indeks refraksi
terutama disebabkan oleh perubahan temperatur. Karena musim
monsun barat lebih lembap daripada musim monsun timur dan musim
monsun variabel di atas wilayah Indonesia, maka diperkirakan indeks
refraksi atau refraktivitas radio lebih besar dalam musim hujan
daripada dalam musim-musim lainnya.

3.1. Konsepsi Stabilitas Atmosfer


a. Definisi stabilitas
Parsel udara (air parcel) dikatakan stabil, labil atau netral
terhadap lingkungan jika padanya diberi impuls gaya mula dan
kemudian parsel udara tersebut kembali ke posisi asal, terus bergerak,
atau berhenti pada kedudukan terakhir, lihat Gambar 3.1. Dalam
keadaan stabil, parsel udara setelah bergerak dari posisi 1 kembali lagi
ke posisi semula, dalam keadaan labil, parsel udara dari posisi 1 akan
terus bergerak ke posisi 2, posisi 3, dan seterusnya, dalam keadaan
netral, parsel udara dari posisi 1 bergerak ke posisi 2 dan berhenti di
tempat terakhir.

Meteorologi Indonesia Volume 1


55
Misalkan tidak ada percampuran antara udara yang naik dan
lingkungannya, dari persamaan hidrostatik diperoleh :

(3.1)

yang menunjukkan percepatan vertikal sama dengan nol.

Gambar 3.1. Definisi stabilitas udara

Jika parsel tidak dalam keseimbangan hidrostatik maka parsel udara


mempunyai percepatan (z) yaitu :

(3.2)

Keterangan :

: gradien tekanan vertikal

: gaya gradien tekanan vertikal per satuan massa

p : tekanan atmosfer
z : ketinggian atmosfer
: densitas parsel udara
g : percepatan gravitasi
t : waktu

: percepatan waktu parsel udara

Meteorologi Indonesia Volume 1


56
Suku , dengan ' adalah densitas udara lingkungan.

Jadi persamaan (3.2) dapat diekspresikan menjadi :

(3.3)

atau dengan memasukan persamaan keadaan p = RT, diperoleh:

(3.4)

Keterangan :
R : konstanta gas individu untuk udara
T, T : temperatur parsel udara dan udara lingkungan

: volume spesifik udara atau volume per satuan massa =

z disebut gaya apung per satuan massa yang bekerja pada parsel
udara. Untuk udara basah (moist air) maka T dan T diganti dengan
temperatur virtual Tv, dan Tv , dimana:

Tv = T(1 + 0,61 r) (3.5)

Temperatur virtual (Tv) adalah temperatur udara kering yang


mempunyai tekanan dan volume spesifik sama seperti udara basah,
dan perbandingan campuran (r) adalah perbandingan massa uap air
dengan massa udara kering. Persamaan (3.4) menyatakan bahwa jika
parsel udara lebih panas dari pada udara lingkungan maka gaya apung
konveksi bernilai positif dan awan akan terus tumbuh sampai
temperatur parsel udara sama dengan temperatur udara lingkungan
atau gaya apung konveksi sama dengan nol.

Meteorologi Indonesia Volume 1


57
Dalam praktek meteorologi, temperatur aktual T sering
dipakai sebagai pengganti temperatur virtual TV, karena beda
keduanya sangat kecil. Jika y adalah penurunan temperatur terhadap
ketinggian (susut temperatur) dan To adalah temperatur parsel pada
paras referensi bawah, maka :

dan

dengan adalah susut temperatur (lapse rate) udara lingkungan.


Dianggap bahwa suhu lingkungan dan suhu parsel pada paras
referensi bawah adalah sama dengan T0. Jika kedua persamaan di atas
dikurangkan, diperoleh :

( z = T T (3.6)
Jika persamaan (3.6) disubstitusikan ke persamaan (3.4), maka
diperoleh:

(3.7)

Jadi nilai percepatan vertikal parsel udara adalah fungsi beda susut
temperatur lingkungan dan susut temperatur individu . Susut
temperatur dapat didefinisikan sebagai penurunan temperatur (T)
terhadap ketinggian (z). Secara matematik, susut temperatur dapat
diekspresikan :

Tinjau Tinjau suatu kasus dimana paras referensi adalah pada


permukaan tanah. Jika parsel udara diberi impuls gaya mula ke atas,
dan :

Meteorologi Indonesia Volume 1


58
i. Jika z positif atau , maka parsel terus bergerak ke atas,
dan atmosfer menjadi labil.
ii. Jika z = 0 atau ' = 0, maka parsel dalam keadaan seimbang,
dan atmosfer menjadi netral.
iii. Jika z negatif atau < , maka parsel kembali ke posisi
semulanya (parsel turun kembali ke paras referensi), dan
atmosfer menjadi stabil.

Jika paras referensi stabil maka parsel udara akan kembali ke


paras keseimbangan setelah bergerak, tetapi inersianya
menyebabkan parsel melewati paras referensi, sehingga terjadi osilasi.
Definisikan bilangan positif N sedemikian rupa sehingga :

(3.8)

d adalah susut temperatur adiabatik udara kering. Persamaan (3.7)


kemudian dapat ditulis :
2
z = Nz
N disebut frekuensi Brunt - Vaissala. Solusi persamaan di atas adalah:

z = A sin Nt (3.9)

dan parsel udara berosilasi sekitar paras z = 0 dengan amplitudo A dan


periodenya t = 2/N. Karena susut temperatur biasanya mendekati
adiabatik kering, maka periode osilasi biasanya agak lebih lama.

b. Stabilitas udara kering, jenuh dan tak jenuh

Untuk udara kering :


Jika, d : atmosfer labil
= d : atmosfer netral
d : atmosfer stabil

Meteorologi Indonesia Volume 1


59
Untuk udara jenuh :
Jika, s : atmosfer labil
= s : atmosfer netral
s : atmosfer stabil
Untuk udara tidak jenuh :
Jika, d : atmosfer labil mutlak
= d : atmosfer netral kering; netral untuk udara
kering dan labil untuk udara jenuh
= s : atmosfer netral jenuh; netral untuk udara
jenuh dan labil untuk udara kering
s d : atmosfer labil bersyarat; stabil untuk
udara kering dan labil untuk udara jenuh
= s : atmosfer stabil mutlak

s adalah susut temperatur adiabatik jenuh untuk udara


basah, s d.

Dalam praktek, dapat ditinjau susut temperatur adiabatik untuk


udara basah tak jenuh dianggap sama seperti untuk udara kering, yaitu:
= d = g/cpd
(3.10)
dimana :
: susut temperatur adiabatik untuk udara tak jenuh
d : susut temperatur adiabatik untuk udara kering
cpd : panas spesifik pada tekanan tetap untuk udara kering
g : percepatan gravitasi

Nilai numerik susut temperatur adiabatik kering adalah :

Susut temperatur adiabatik untuk udara jenuh adalah:

Meteorologi Indonesia Volume 1


60
Keterangan :
rs : perbandingan campuran jenuh
L : panas laten transformasi (perubahan fasa)
Rd : konstanta gas untuk udara kering
R : konstanta gas untuk uap air
T : temperatur udara

Dari persamaan (3.11) dapat dilihat bahwa susut temperatur


adiabatik jenuh s adalah fungsi jumlah uap air di udara. Jika udara
mendekati kering, maka rs = 0 dan s = d.
c. Kriteria stabilitas dengan temperatur potensial

Stabilitas atmosfer dapat juga diekspresikan dalam susut


temperatur potensial yaitu dengan mendiferensiasi temperatur
potensial terhadap ketinggian z. Temperatur potensial , ditulis dengan
ekspresi berikut :

dengan cp adalah panas spesifik udara pada tekanan konstan.


Jika persamaan temperatur potensial dideferensiasi secara logaritmik
terhadap ketinggian, maka diperoleh :

atau

Meteorologi Indonesia Volume 1


61
dengan memasukkan persamaan hidrostatik dan persamaan keadaan
udara kering. Untuk udara kering dan udara tak jenuh, persamaan di
atas menjadi :

(3.12)

Prosedur serupa dapat dilakukan untuk udara jenuh. Kriteria stabilitas


dengan temperatur potensial untuk udara tak jenuh dapat ditulis
sebagai berikut :

labil :

netral :

stabil :

Stabilitas statik S didefinisikan sebagai :


S = d (3.13)

di mana :
d : susut temperatur adiabatik udara kering
: susut temperatur udara lingkungan
Dari persamaan (3.12), maka stabilitas statik S dapat dinyatakan dengan
temperatur potensial sebagai berikut

(3.14)

d. Stabilitas atmosfer PGT dan ASME


Dalam teknik, stabilitas atmosfer dapat diperkirakan dari
observasi cuaca. Stabilitas atmosfer PGT (Pasquill, Gifford, dan
Turner) dibagi menjadi 6 kategori, yaitu :

Meteorologi Indonesia Volume 1


62
A : labil kuat D : netral
B : labil sedang E : stabil ringan
C : labil ringan F : stabil

Stabilitas atmosfer ASME (American Society of Mechanical


Engineers) terdiri dari 4 kategori yang berkaitan dengan stabilitas PGT
sebagai berikut :

labil kuat : kelas A dan B


labil : kelas C
netral : kelas D
stabil : kelas E dan F

Enam kelas stabilitas atmosfer berdasarkan pengamatan


cuaca ditunjukkan pada tabel 3.1 dan tabel 3.2. Definisi "malam" dalam
tabel ini berarti satu jam sebelum matahari terbit dan satu jam setelah
matahari terbit. Perlu dicatat bahwa jika pengukuran kecepatan angin
-1
baku (ketinggian 10 m) lebih besar dari 6 ms dan kondisi atmosfer
berawan, maka terjadi stabilitas netral (kelas D).

Tabel 3.1. Kategori stabilitas atmosfer

SIANG MALAM
Kecepatan
angin (m/s) Insolasi Awan Tipis
Liputan
pada 10 m atau awan
awan < 3/8
Kuat Sedang Lemah rendah > 4/8

<2 A A-B B - -
2-3 A-B B C E E
3-5 B B-C C D E
5-6 B C-D D D D
>6 C D D D D

Meteorologi Indonesia Volume 1


63
Tabel 3.2. Stabilitas atmosfer termodifikasi menurut Pasquill

Gradien suhu Kecepatan angin rata-rata (u) dalam m/s


vertikal T/Z
C100m) U1 1u2 2u3 3u5 5u7 u7

T/Z1,5 A A A B C D
1,4 T/Z1,2 A B B B C D
1,1 T/Z0,9 B B C C D D
0,8 T/Z0,7 C C D D D D
0,6 T/Z 0,0 D D D D D D
0,1 T/Z 2,0 F F E D D D
T/Z 2,0 F F F E E D

Insolasi (incoming solar radiation) kuat terjadi bila tinggi


o
matahari lebih besar dari 60 di atas horison dan kondisi atmosfer
cerah. Insolasi (radiasi matahari yang diterima) lemah terjadi bila tinggi
matahari antara 15 dan 35 di atas horizon dan langit cerah. Insolasi
moderat terjadi bila tinggi matahari antara 35 dan 60 di atas horizon
dan langit cerah atau tinggi matahari lebih besar 60 tetapi ada
sebagian langit tertutup awan.

3.2. Konsepsi Refraktivitas Atmosfer


a. Prinsip Refraksi
Refraksi (pembiasan) adalah proses dimana cahaya
dibelokkan ketika melalui sebuah medium yang berubah densitasnya
atau dari sebuah medium ke medium lain yang mempunyai densitas
(kerapatan) berbeda. Sebagai contoh misalnya sebuah batang
dicelupkan ke dalam air akan tampak membengkok pada garis air sinar
cahaya dibiaskan ketika cahaya ini melintas dengan kecepatan
berbeda dalam media dengan densitas berbeda. Atmosfer bumi
mempunyai sifat kompresibel (dapat dimampatkan) jadi densitas
(kerapatan) yang terbesar terletak pada atmosfer bawah, kemudian
densitas berkurang dengan ketinggian.
Gambar 3.2a, menunjukkan prinsip refraksi. Sinar AO
dibelokkan ketika muncul dari medium rapat (misalnya air) kedalam
medium kurang rapat (misalnya udara), dan mengikuti lintasan OB.

Meteorologi Indonesia Volume 1


64
Seorang pengamat yang matanya pada B melihat sumber cahaya
seolah-olah dalam arah OA dari pada arah sebenarnya, sebagai
konsekuensi refraksi (pembiasan). Garis NOP, tegak lurus bidang antar
muka media, disebut garis normal. Sinar AO yang menuju bidang antar
muka, disebut sinar datang dan OB disebut sinar bias. Sudut antara
sinar datang dan garis normal (AOP) disebut sudut datang, sedangkan
sudut antara sinar bias dan garis normal (NOB) disebut sudut bias.

Gambar 3.2. (a). Sifat sinar cahaya dalam proses refraksi


(b). Sudut kritis dan refleksi total. Sinar BO melebihi sudut kritis sehingga
dipantulkan sempuma

Ada tiga kemungkinan prinsip refraksi yaitu :

1. Sinar cahaya yang tegak lurus bidang antar muka media tidak
mengalami refraksi (pembiasan). Jadi sebuah sinar yang sejajar
dengan garis NOP tidak dibelokkan.
2. Jika sinar cahaya datang dari medium rapat ke medium kurang
rapat (seperti pada Gambar 3.2a) maka sinar akan dibelokkan
menjauhi garis normal. Jadi sudut refraksi (NOB) lebih besar dari
sudut datang (AOP).
3. Jika sinar cahaya datang dari medium kurang rapat ke medium
yang lebih rapat maka sinar akan dibelokkan mendekati garis
normal. Jika BO adalah sinar datang maka sinar akan dibelokkan
arah AO, jadi AOP adalah sudut bias.

Meteorologi Indonesia Volume 1


65
Jika sinar cahaya memasuki sebuah medium yang lebih rapat,
maka sinar akan dibiaskan mendekat garis normal. Jika sinar BO pada
Gambar 3.2a, dianggap sebagai sinar datang, maka sinar ini akan
dibelokkan dalam arah AO atau mendekati garis normal. Dalam hal ini
sudut AOP adalah sudut refraksi.
Prinsip refraksi nomor 2 dapat dikembangkan dalam kasus
sudut datang sinar mencapai sudut kritis. Ketika sudut datang sebuah
sinar yang bergerak dari medium lebih rapat ke kurang rapat bertambah
terus menerus yang pada akhirnya sampai pada situasi dimana sinar
bias dibelokkan jauh dari garis normal sehingga tidak memasuki
medium kurang rapat seluruhnya tetapi berjalan sejajar dengan bidang
antar muka media. Sudut datang di mana situasi ini terjadi disebut
sudut kritis yang bergantung secara natural pada medium khusus
yang terlibat. Jika sudut kritis dilampaui sudut sinar datang, maka sinar
bias (retracted ray) dibelokkan seluruhnya kembali kedalam medium
rapat, fenomena ini disebut refleksi total, lihat Gambar 3.2b. Sudut
kritis dapat didefinisikan sebagai batas sudut datang agar tidak terjadi
refleksi (pemantulan) total atau sudut datang yang jika melebihi nilai
kritis akan terjadi refleksi total.
Dispersi dapat ditinjau sebagai jenis refraksi yang berbeda.
Cahaya tampak sebenarnya terdiri dari cahaya dengan banyak wama
yang jika dipadukan menghasilkan cahaya putih. Jika cahaya putih
dilewatkan melalui sebuah medium dengan ketebalan berubah, seperti
pada prisma gelas, komponen-komponen cahaya akan dibiaskan
secara berbeda sesuai dengan panjang gelombangnya masing-masing.
Pita warna yang dihasilkan disebut spektrum, yang terdiri dari daerah
warna merah, jingga (orange), kuning, hijau, biru, dan violet. Warna-
warna spektral ini biasanya diamati dalam pelangi atau bianglala
(rainbow). Jadi dispersi dapat dikatakan proses cahaya putih diuraikan
kedalam wama-warna komponennya. Panjang gelombang cahaya biru
kira-kira setengahnya cahaya merah, sehingga biru dibiaskan lebih
besar dari pada merah.

Meteorologi Indonesia Volume 1


66
b. Indeks Refraksi Atmosfer
Kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik dalam
medium homogen adalah :

v (11)
(3.15)

Keterangan :
1 : kapasitas induktif listrik (permitivitas medium)
1 : kapasitas induktif magnet
Karena sifat massa udara cukup bervariasi maka kecepatan
penjalaran gelombang elektromagnetik mengalami perubahan kecil
yang mengakibatkan refraksi dan menimbulkan perubahan arah
penjalaran gelombang elektromagnetik. Dalam ruang bebas (hampa),
kecepatan gelombang elektromagnetik sama dengan kecepatan
cahaya c, dan diberikan oleh :

c (00)
(3.16)

di mana indeks nol menunjukkan kondisi dalam ruang bebas. Dalam


studi optik atmosfer, didefinisikan indeks refraksi yang diekspresikan
sebagai berikut :

(3.17)

di mana :
= 10 adalah konstanta dielektrik medium
= 10 adalah pemieabilitas medium
Karena dalam kebanyakan media ~ 1 maka :

n = (3.18)

Pada umumnya, konstanta dielektrik medium 1, maka n 1, artinya

Meteorologi Indonesia Volume 1


67
Dalam bentuk umum, indeks refraksi adalah sebuah fungsi
kompleks sebagai berikut:
m n ik (3.19)
di mana suku nyata n adalah indek refraksi ordiner (biasa) = c/v. Suku
khayal ik berkaitan dengan absorpsi medium, k adalah koefisien
absorpsi medium dan i adalah bilangan kompleks. Suku ik ~ 0, untuk
dielektrik sempurna, suku ik menjadi penting dalam kaitannya dengan
hamburan (scattering) partikel-partikel awan dan presipitasi. Atenuasi
radiasi elektromagnetik dalam atmosfer disebabkan oleh absorpsi dan
hamburan hidrometeor.
Indeks refraksi dipengaruhi oleh temperatur udara, tekanan
udara dan uap air. Untuk udara kering, indeks refraksi n dinyatakan
dalam refraktivitas radio N adalah:

N = (n 1)106 = K1 p/T (3.20a)

dengan mensubstitusikan persamaan keadaan, diperoleh:


N = (n 1)106 = K1 R = K .
Untuk uap air, refraktivitas radio N diekspresikan sebagai berikut:

N = (n 1)106 = K2 e/T K3 e/T2


(3.20b)

Keterangan :
K : konstanta = K1 R
R : konstanta gas individu untuk udara
: densitas udara
p : tekanan udara dalam milibar
T : temperatur mutlak dalam kelvin
e : tekanan uap air parsial dalam milibar

Untuk gelombang mikro dengan panjang gelombang lebih


besar 2 cm atau frekuensi kurang dan 15 GHz, maka nilai aproksimatif

Meteorologi Indonesia Volume 1


68
5 2
K1 = 77,6 K/mb, K2 = 5,6 K/mb, dan K3 = 3,75 x 10 K /mb
Untuk udara kering, indeks refraksi mempunyai nilai sama
dalam spektrum elektromagnetik, dan sama untuk gelombang cahaya
atau gelombang radio. Tetapi jika udara itu basah (moist air), maka
refraktivitas radio N bergantung pada jumlah uap air di udara. Indeks
refraksi untuk udara basah adalah jumlah dari indeks refraksi udara
kering dan uap air, jadi:

N = 77,6 p/T 5,6 e/T + 3,75 x 105 e/T2


(3.21)

Karbondioksida (CO2) juga menyokong refraktivitas radio N,


tetapi kontribusinya kurang dari 0,1% sehingga dapat diabaikan. Untuk
temperatur atmosfer maka suku kedua dari persamaan (3.21) sangat
kecil dibandingkan dengan suku-suku lain, sehingga suku kedua dapat
diabaikan. Untuk tujuan praktis persamaan (3.21) dapat ditulis sebagai
berikut:
N = 77,6/T (p + 4810 e/T), model linier (3.22)
Dekat permukaan laut, nilai khas dari refraktivitas radio N = 300,
atau indeks refraksi n = 1,0003. Biasanya indeks refraksi berkurang
dengan ketinggian, karena penurunan tekanan barometrik (p) dan
tekanan parsial uap air (e) Iebih cepat dibandingkan dengan temperatur
udara. Penurunan indeks refraksi menyebabkan penambahan kecepatan
penjalaran gelombang elektromagnetik dengan ketinggian, sehingga
sinar dibelokkan ke bawah. Indeks refraksi atmosfer dapat dihitung
berdasarkan pengukuran p, T, dan RH (kelembapan relatif) dengan
bantuan radiosonde. Ketelitian dari refraktivitas radio N bergantung pada
ketelitian pengukuran ketiga parameter meteorotogis tersebut.

c. Efek hukum Snell


Tinjau sinar yang bergerak dari lapisan atmosfer dengan
indeks refraksi n, ke suatu lapisan dengan indeks refraksi n2, dimana n1 >
n2, dan menurut hukum Snell maka :

Meteorologi Indonesia Volume 1


69
dengan i adalah sudut datang dan r sudut refraksi yang diukur terhadap
garis normal. vi dan vr masing-masing adalah kecepatan sinar datang
dan sinar dibiaskan. Karena n2 n1, maka r i dan vr vi, sehingga sinar
dibiaskan ke bawah (menjauhi garis normal), lihat Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Variasi jalannya sinar terhadap indeks refraksi (n2 n1).

Gambar 3.4, menunjukkan refraksi penjalaran gelombang


radioelektrik sebuah radar oleh atmosfer kompresibel. Tanpa indeks
refraksi maka sinar radar merupakan garis lurus. sedangkan dengan
indeks refraksi maka sinar radar akan dibelokkan.

Gambar 3.4. Refraksi gelombang radioelektrik oleh atmosfer.

Meteorologi Indonesia Volume 1


70
d. Bumi fiktif
Jika jari-jari bumi nyata R diganti dengan jari-jari bumi fiktif R
dan dianggap bahwa atmosfer homogen sehingga penjalaran gelombang
elektromagnetik merupakan garis lurus, maka hubungan antara jari-jari
bumi fiktif dan bumi nyata dapat dinyatakan dengan ekspresi berikut:
R = kR (3.24)
di mana k adalah faktor yang bergantung pada kondisi meteorologis,
nilai k bervariasi dari 1,1 sampai 1,6. Faktor k, dimana penjalaran
gelombang radar merupakan garis lurus, dapat ditulis dalam bentuk
berikut :
1
k = (3.25)
1R(dn/dh)

dengan dn/dh adalah gradien vertikal indeks refraksi, h adalah


ketinggian.
Jika dianggap bahwa gradien vertikal indeks refraksi adalah
konstan terhadap ketinggian, artinya dn/dh linier dan sama dengan
8 1
4 x 10 m yaitu nilai dn/dh untuk atmosfer baku, maka faktor k = 4/3,
sehingga jari-jari bumi fiktif R= 4/3 R. Gambar 3.5, menunjukkan bagan
sinar radar pada bumi nyata dengan jari-jari R dan bumi fiktif dengan jari-
jari R. Bentuk bumi fiktif Iebih dempak dari pada bumi nyata.

Gambar 3.5. Bagan sinar radar pada bumi nyata (a) dan pada burnt fiktif (b).

Meteorologi Indonesia Volume 1


71
Model lain dari indeks refraksi atmosfer adalah bentuk
eksponensial sebagai berikut :
N = Ns exp {ln Ns/N1 (hhs)}, model eksponensial (3.26)
di mana :
Ns : refraktivitas radio pada permukaan bumi
h : tinggi sasaran
hs : tinggi radar
N1 : refraktivitas radio pada ketinggian 1 km.

Dengan adanya refraksi atmosfer, maka terjadi kesalahan


sudut elevasi () yaitu beda antara sudut elevasi semu (tampak) sebuah
sasaran yang dideteksi oleh radar dengan sudut elevasi nyata. Refraksi
dapat mengganggu pada jarak sasaran yang jauh pada sudut elevasi
yang kecil dekat horizon. Pada sudut lebih besar =3, kesalahan ini
dapat diabaikan, lihat Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Kesalahan sudut elevasi () akibat refraksi atmosfer

3.3. Stabilitas Troposfer di Atas Indonesia

a. Stabilitas Statis

Tabel 3.3 menunjukkan distribusi vertikal stabilitas statis, stasiun


Kemayoran (Jakarta) dalam bulan Januari dan tabel 3.4, menunjukkan
distribusi vertikal stabilitas statis, stasiun Kemayoran, Jakarta, dalam
bulan Juli. Stabilitas statis (S) tiap lapisan dihitung dengan persamaan
(3.14)

Meteorologi Indonesia Volume 1


72
berdasarkan data radiosonde bulan Januari jam 07.00 W.L (waktu
lokal) dan 19.00 W.L yang mewakili musim basah dan bulan Juli jam
7.00 W.L dan 19.00 W.L yang mewakili musim kering. Gambar 3.7,
menunjukkan distribusi vertikal stabilitas statis rata-rata bulan Januari
dan Juli jam 19.00 W.L. Lapisan troposfer bawah lebih stabil dan pada
troposfer menengah kurang stabil, kemudian mendekati tropopause
stabilitas statis menjadi besar. Tropopause adalah batas antara
troposfer yang mempunyai susut temperatur positif dan stratosfer yang
mempunyai susut temperatur negatif yang menandakan lapisan inversi
temperatur atau lapisan stabil.
Tabel 3.3. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km), Januari 1979, Jakarta

Pukul 07.00 W.L Pukul 19.00 W.L


Tebal
lapisan
Dasarian Dasarian Dasarian Dasarian Dasarian Dasarian
(mb)
1 2 3 1 2 3

1000 -850 4,80 4,70 4,74 3,89 4,05 4,39


850-700 4,67 5,05 4,95 4,26 4,49 4,40
700 -600 4.32 3.92 3,89 4,63 4,52 3,99

600 - 500 4,18 4,07 3,95 4,40 4,45 3.96

500 - 400 3.95 3,91 3,93 3,73 3,70 3,95

400 - 300 2,79 2,68 2,51 3,02 2,60 2,53

300 - 200 1,25 1,09 1,23 1,29 1,47 1,75

200 - 150 2,11 1,87 1,46 1,77 2,10 2,20

150 - 103 4,41 4,62 4,71 3,47 4,26 3,84

Meteorologi Indonesia Volume 1


73
Tabel 3.4. Stabilitas troposfer rata-rata (derajat per km), Juli 1979.
Pukul 19.00 W.L. Jakarta
Tebal lapisan Dasarian 1 Dasarian 2 Dasarian 3
(mb)
1000 850 3,95 3,92 4,02
850 700 4,33 4,57 5,12
700 600 5,65 5,11 5,02
600 500 4,00 3,70 3,17
500 400 4,04 3,72 4,94
400 300 2,27 2,22 1,98
300 200 1,24 1,19 1,34
200 150 2,60 1,41 2,41
150 100 4,51 6,46 6,94

Perubahan musiman dari struktur vertikal stabilitas statis dapat


dikaji melalui tabel 3.5 yang menunjukkan variasi vertikal perbedaan
stabilitas musiman dalam bulan Juli dan Januari. Lapisan troposfer
bawah agak stabil pada bulan Juli dibandingkan pada bulan Januari.
Secara rata-rata stabilitas statis lebih besar dalam bulan Juli dari pada
Januari, hal ini mencerminkan tropopause lebih rendah pada bulan Juli
dari pada tropopause bulan Januari. Pengukuran tinggi tropopause
pada tahun 1979 di atas Jakarta menunjukkan bahwa tinggi rata-rata
tropopause pada bulan Juli adalah 16,4 km dengan temperatur 80,4oC
dan bulan Januari adalah 17,3 km dengan temperatur 85,1 C.

Gambar 3.7. Distribusi vertikal stabilitas statis bulan Januari dan Juli jam 19.00 W.L,
Jakarta.

Meteorologi Indonesia Volume 1


74
Tabel 3.5. Stabilitas rata-rata bulanan (derajat per km) di atas Jakarta. 1979.

Tebal lapisan Januari Januari Juli


(mb) 07.00 W.L 19.00 W.L 19.00 W.L
1000 - 850 4,76 4,11 3,96
850 - 700 4,89 4,38 4,67
700 - 600 4,04 4,38 5,26
600 - 500 4,07 4,27 3,62
500 - 400 3,93 4,79 4,23
400 - 300 2,66 2,72 2,16
300 - 200 1,19 1,50 1,26
200 -150 1,81 2,02 2,14
150 - 100 4,58 3,86 5,97

Pada lapisan troposfer 1000 - 100 mb yang pada umumnya


terletak di bawah lapisan tropopause untuk atmosfer Jakarta, nilai

rata-rata pada musim basah (Januari) = 3,45 C/km dan pada

musim kering (Juli) adalah 3,70 C/km. Pada pagi hari stabilitas rata-
rata lebih besar dibandingkan pada sore hari untuk bulan yang sama
(Januari).

Parameter stabilitas diperoleh dari , di mana adalah


b e d a

temperatur potensial antara lapisan atas (z2) dengan lapisan bawah (z1)
dan z adalah ketebalan lapisan di troposfer yang dinyatakan dalam
milibar.

b. Indeks Stabilitas Showalter

Indeks stabilitas Showalter dihitung berdasarkan metode


berikut. Sebuah parsel udara dari 850 mb diangkat secara adiabatik
kering sampai menjadi jenuh. Dan kemudian secara adiabatik jenuh

Meteorologi Indonesia Volume 1


75
menggunakan 850 mb tetapi pada ketinggian yang lebih tinggi.
Temperatur dari parsel yang diangkat ke ketinggian 500 mb kemudian
dikurangkan secara aljabar dari temperatur keadaan pada ketinggian
500 mb yang diukur oleh radiosonde. Selisih temperatur yang diperoleh
adalah indeks stabilitas Showalter. Indeks stabilitas yang negatif
menyatakan kelabilan, dan yang positif menyatakan kestabilan
atmosfer. Jadi indeks stabilitas Showalter adalah cara yang sangat
sederhana dan secara termodinamis mudah dimengerti dan jelas untuk
mengukur kestabilan atau kelabilan atmosfer.
Kestabilan atau kelabilan atmosfer di atas Jakarta dinyatakan
dengan indeks stabilitas Showalter. Data yang dipergunakan adalah
data radiosonde di atas Kemayoran pada pukul 07.00 W.L selama tahun
1980. Indeks stabilitas ditentukan secara grafik dengan menggunakan
diagram skew T In p. Dalam diagram ini garis isobar adalah lurus dan
horizontal. Ordinat dari diagram ini adalah In p. Sepanjang tiap isobar
temperatur berubah secara linear, tetapi isoterm miring ke atas kanan
dan membuat sudut kira-kira 45 dengan isobar.
Terlebih dulu dirajah (plot) data temperatur dari radiosonde
pada ketinggian 850, 700, 600, dan 500 mb. Dari titik temperatur pada
ketinggian 850 mb ditentukan perbandingan campuran maksimumnya rs
ialah dengan memperkirakan garis perbandingan campuran maksimum
(jenuh) yang melewati titik temperatur tersebut. Kemudian dicari
perbandingan campuran dari parsel udara pada ketinggian 850 mb
dengan menggunakan hubungan :
r = RH . rs
(3.27)
Paras kondensasi angkat (PKA; lifting condensation level, LCL)
ditentukan secara gratis sebagai perpotongan antara garis adiabatik
kering yang lewat titik temperatur 850 mb dan garis perbandingan
campuran jenuh yang nilainya sama dengan r, dihitung dengan
persamaan (3.27) di atas. Setelah itu parsel diangkat secara adiabatik
jenuh sampai ketinggian 500 mb dengan menarik adiabat jenuh
melewati titik paras kondensasi angkat (PKA) sampai memotong garis
isobar 500 mb. Titik potong ini menunjukkan temperatur T dari parsel

Meteorologi Indonesia Volume 1


76
Is = T T (3.28)
di mana Tadalah temperatur keadaan pada 500 mb.
Hasil perhitungan indeks stabilitas Showalter Is tersebut
tercantum dalam bentuk distribusi frekuensi tabel 3.6, yang meliputi
pengukuran radiosonde bulan Januari sampai dengan Desember
1980. Perhitungan indeks stabilitas Showalter menunjukkan bahwa Is
ada yang positif, yang negatif, dan yang nol. Telah dikemukakan di atas
bahwa Is adalah ukuran relatif kestabilan atau kelabilan atmosfer.
Makin besar nilai Is, makin stabil dan sebaliknya makin kecil nilai Is
makin labil atmosfernya. Is positif, atmosfer disebut stabil dan Is negatif,
atmosfer labil.
Maksimum relatif dari jumlah Is yang mempunyai nilai negatif
terdapat pada bulan-bulan Januari, April, dan Oktober. Sedangkan
dalam musim kemarau jumlah Is yang mempunyai nilai negatif adalah
minimum, yaitu pada bulan Juli dan Agustus. Untuk dapat memberikan
interpretasi yang lebih baik, maka dikaji distribusi dari Is, baik distribusi
frekuensinya, maupun distribusi kumulatifnya. Distribusi frekuensi dari Is
untuk masing-masing keempat musim di Jakarta ditunjukkan pada tabel
3.6. Kolom ke 1 dari tabel 3.6 menyatakan kesebelas interval kelas dari
Is. Kolom ke 2 memuat titik tengah dari masing-masing interval kelas
dalam kolom ke 1. Kolom berikutnya menyatakan frekuensi dari Is untuk
masing-masing interval kelas dinyatakan dalam persen. Di bagian
bawah dari tabel 3.6 dalam kolom masing-masing musim tercantum
nilai rata-rata Is dan deviasi standarnya s untuk masing-masing musim.
Dari tabel 3.6 digambarkan histogram untuk masing-masing musim dan
hasilnya adalah Gambar 3 8.
Dari Gambar 3.8 dapat dilihat bahwa interval kelas predominan
untuk masing-masing musim adalah tidak sama, lihat tabel 3.7. Interval
kelas predominan untuk musim hujan dan musim peralihan I adalah
sama 1,40,0, yaitu interval kelas dari Is yang negatif. Sedangkan
interval kelas predominan untuk musim kemarau dan musim peralihan II
terletak pada daerah Is positif atau stabil. Dan untuk musim kemarau nilai
pada daerah Is positif yang paling besar, karenanya troposfer dalam
musim kemarau adalah yang paling stabil.

Meteorologi Indonesia Volume 1


77
Tabel 3.6. Distribusi frekuensi indeks stabilitas Showalter (Is) di atasJakarta,1980.

Frekuensi (%) Is
Interval Titik
Kelas Is Tengah Musim Musim Musim Musim
Hujan Peralihan I Kemarau Peralihan II
5,9 4,5 5,2 1 0 0 0
4,4 3,0 3,7 0 0 0 1
2,9 1,5 2,2 5 19 8 8
1,4 0,0 0,7 38 29 17 28
0,1 1,5 0,8 27 27 23 45
1,6 3,0 2,3 19 11 26 10
3,1 4,5 3,8 9 9 10 7
4,6 6,0 5,3 2 4 11 1
6,1 7,5 6,8 0 0 4 0
7,6 9,0 8,3 0 1 0 0
9,1 10,5 9,8 1 0 1 0

Is=0,8 Is= 0,5 Is=1,8 Is =0,5

Catatan :
Is : Indeks stabilitas Showalter rata-rata
s : Simpangan baku
Tabel 3.7. Interval kelas predominan indeks stabilitas Showalter (Is) di atas Jakarta,
1980.

Musim Interval kelas predominan


Musim hujan 1,4 0,0
Musim peralihan I 1,4 0,0
Musim kemarau 1,6 3,0
0,1 1,5
Musim peralihan II

Dari nilai rata-rata Is dan simpangan baku s untuk masing-


masing musim yang tercantum pada tabel 3.7 dapat dilihat bahwa Is,

Meteorologi Indonesia Volume 1


78
untuk musim kemarau terletak di daerah yang paling stabil jika
dibandingkan dengan ketiga musim lainnya. Simpangan baku dan
distribusi frekuensi untuk musim kemarau mempunyai nilai yang paling
besar dan untuk musim peralihan II nilai yang paling kecil.

Gambar 3.8. Histogram indeks stabilitas Showalter menurut musim di atas Jakarta,
1980.

Meteorologi Indonesia Volume 1


79
c. Stabilitas Konvektif
Stabilitas konvektif ditentukan oleh profil vertikal temperatur
potensial ekivalen e, yang didefinisikan sebagai temperatur parsel udara
yang akan dipunyai jika dibawa dari temperatur ekivalen (Te), sampai
pada tekanan 1000 mb dalam proses adiabatik kering. Temperatur
ekivalen adalah temperatur parsel udara yang akan dimiliki jika semua
uap air dikondensasikan oleh proses pseudoadiabatik, kemudian parsel
dibawa secara adiabatik kering ke tekanan asalnya. Secara pendekatan
temperatur ekivalen diekspresikan sebagai berikut:
L rs
Te = T exp (3.29)
cp Tc
Keterangan :
L : panas laten kondensasi
rs : perbandingan campuran jenuh
Tc : temperatur kondensasi isentropik
cp : panas spesifik pada tekanan konstan

Temperatur kondensasi isentropik Tc adalah temperatur di mana


kejenuhan tercapai jika udara lembab di dinginkan secara adiabatik
dengan perbandingan campuran r dipegang konstan. Formula semi
empiris temperatur potensial ekivalen (e) dinyatakan sebagai berikut :

e = exp (2675 r/Tc)


(3.30)

dengan:
1000
= T
p (3.31)

Keterangan :
T : temperatur udara
P : tekanan udara
: temperatur potensial

Meteorologi Indonesia Volume 1


80
cp cv
= cp = 0,286 : konstanta
-1 -1
cp = 1005 J kg K : panas spesifik pada tekanan konstan
-1 -1
cv = 718 J kg K : panas spesifik pada volume konstan

Temperatur potensial ekivalen dapat ditentukan dengan


diagram aerologi skew TIn p. Gambar 3.9, menunjukkan profil
temperatur potensial ekivalen e dalam musim hujan, musim kemarau,
dan kedua periode transisi. Temperatur potensial ekivalen lebih panas
jika ada awan konvektif dibandingkan dengan jika tidak ada awan
konvektif atau pada kondisi cuaca cerah. Profil vertikal temperatur
potensial ekivalen menunjukkan nilai minimum pada troposfer tengah
bagian bawah (700 mb) dan maksimum pada troposfer atas.

Gambar 3.9. Profil vertikal temperatur potensial ekivalen e rata-rata.


a). musim hujan (Januari) b). periode transisi pertama (April)
c). musim kemarau (Juli) d). periode transisi kedua (Oktober)

Meteorologi Indonesia Volume 1


81
Dibandingkan dengan atmosfer lintang tengah yang
mempunyai kelabilan Iemah, maka atmosfer tropis menunjukkan
kelabilan konvektif kuat. Atmosfer di atas wilayah Indonesia pada
umumnya labil secara konvektif, hal ini ditunjukkan oleh profil vertikal
temperatur potensial ekivalen e dari permukaan sampai pada lapisan
700 hPa. Profil vertikal e lebih panas jika ada awan konvektif
dibandingkan dalam kondisi atmosfer cerah atau tidak ada awan
konvektif. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan awan konvektif
disebabkan oleh gaya apung konveksi akibat pemanasan permukaan
dari radiasi matahari.

3.4. Refraktivitas Troposfer di Atas Indonesia


a. Distribusi Vertikal Refraktivitas Radio
Indeks refraksi troposfer ditentukan oleh persamaan (3.22)
untuk setiap ketinggian, hasilnya disajikan pada tabel 3.8 dan 3.9 yang
menunjukkan nilai refraktivitas radio di lapisan troposfer pada bulan
Januari dan Oktober. Di atas ketinggian 10 km, tekanan parsial uap air
menjadi kecil yang dapat diabaikan, sehingga suku pertama
persamaan (3.21) yang disebabkan oleh udara kering menjadi
dominan pada daerah ini.

Tabel 3.8. Refraktivitas radio rata-rata bulan Januari, di atas Jakarta

Tekanan Waktu lokal


(mb) 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 16.00 21.00 24.00
1000 386,3 385,0 369,4 364,8 366,1 384,6 387,8 379,6
900 326,5 326,1 321,4 325,0 327,1 326,5 327,4 327,8
800 283,0 278,9 277,8 280,4 280,0 278,7 281,4 179,1
700 236,2 234,1 231,7 235,0 235,6 239,0 242,4 237,7
600 199,7 200,0 199,1 199,4 199,0 201,7 200,7 200,0
.
500 162,9 163,6 163,0 163,3 163,7 163,2 185,8 164,6
400 128,8 128,5 127,6 126,8 128,4 129,6 129,2 129,5
300 98,2 98,0 97,7 97,5 97,6 98,0 98,2 98,3
200 70,9 71,1 70,9 70,8 70,6 70,7 70,9 70,9
100 40,8 40,9 40,7 40,7 40,9 40,8 41,1 40,8

Meteorologi Indonesia Volume 1


82
Tabel 3.9. Refraktivitas radio rata-rata bulan Oktober, di atas Jakarta
Waktu lokal
Tekanan
(mb)
3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00 24.00
1000 384,1 377,8 354,8 344,3 358,9 373,0 371,7 381,2
900 325,7 318,6 315,2 317,4 319,9 321,5 322,3 323,6
800 277,5 272,7 265,4 289,0 273,3 285,0 260,4 277,4
700 204,8 206,0 203,3 206,9 215,4 225,7 216,1 223,4
600 188,2 182,0 182,1 181,1 184,0 188,4 186,9 190,4
500 156,7 153,8 153,6 153,9 152,9 155,8 156,4 155,9
400 125,5 124,7 124,1 123,8 124,5 126,0 124,8 125,3
300 96,7 96,7 98,9 96,5 97,8 97,5 97,2 97,1
200 70,8 70,9 70,9 70,8 70,9 70,9 70,8 70,8
100 40,0 40,1 39,9 39,9 39,8 39,8 40,2 40,2

Karena tekanan barometrik p dan tekanan parsial uap air e


turun secare cepat dengan ketinggian, sedang temperatur udara T
turun secara lambat dengan ketinggian, maka indeks refraksi turun
dengan ketinggian. Nilai khas indeks refraksi di permukaan adalah
sekitar 1,000378 atau refraktivitas radio 378 dalam musim hujan,
Januari dan indeks refraksi sekitar 1,000368 atau refraktivitas radio 368
dalam musim transisi, Oktober. Beda nilai indeks refraksi ini disebabkan
oleh beda kadar uap air antara musim hujan dan musim transisi.

Gambar 3.10. Distribusi vertikal refraktivitas radio N dalam bulan Januari () dan
Oktober () di atas Jakarta.

Meteorologi Indonesia Volume 1


83
Gambar 3.10, menunjukkan gradien vertikal indeks refraksi
dalam medium troposfer nonhomogen. Pada ketinggian di bawah 330
mb, distribusi vertikal indeks refraksi menunjukkan variasi musiman,
sebaliknya pada ketinggian di atas 330 mb atau sekitar 9 km di atas
paras laut, profil vertikal indeks refraksi tidak menunjukkan variasi
musiman.

b. Variasi Indeks Refraksi


Unsur-unsur cuaca mengalami varlasi jam-jaman dan harian
terutama pada lapisan bawah troposfer. Efek ini menimbulkan variasi
harian indeks refraksi. Gambar 3.11, menunjukkan grafik harian indeks
refraksi terhadap ketinggian lapisan troposfer dalam musim hujan
Januari dan musim transisi Oktober. Fluktuasi harian indeks refraksi
tampak jelas pada troposfer bawah, sebaliknya fluktuasi ini tidak
tampak pada lapisan troposfer yang tinggi. Tabel 3.10, menunjukkan
simpangan baku (standard deviation) refraktivitas radio N dalam bulan
Januari dan Oktober.

Tabel 3.10, Simpangan baku (SB) refraktivitas radio troposfer di atas Jakarta
Tekanan (mb) 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100
SB, Januari 9,7 2,0 1,7 3,3 0,9 1,0 1,0 0,3 0,2 0,1
SB, Oktober 14,1 3,4 6,3 8,7 3,4 1,5 0,7 0,3 0,1 0,1

Gambar. 3.11. Variasi harian refraktivitas radio N di atas Jakarta


Kiri: Januari, dan kanan: Oktober

Meteorologi Indonesia Volume 1


84
Karena musim monsun barat Iebih lembap dari pada musim
monsun timur dan musim monsun variabel (transisi) di atas wilayah
Indonesia, maka dapat diharapkan bahwa indeks refraksi Iebih besar
dalam musim hujan ketimbang musim lainnya. Jelas bahwa troposfer di
atas wilayah Indonesia Iebih lembap dalam musim hujan dan pada
periode transisi. Tabel 3.11, menunjukkan refraktivitas radio N, dalam
troposfer bawah selama musim monsun barat dan periode transisi atau
monsun variabel. Pada lapisan 2000 m di atas paras laut rata-rata,
refraktivitas radio Iebih besar dalam musim hujan dari pada periode
transisi.

Tabel 3.11. Refraktivitas radio N dalam lapisan troposfer bawah.

Tekanan Tinggi Januari -


Januari Oktober
(mb) (m) Oktober
1000 95 378,0 368,2 9,8
900 1020 326,0 320,5 5,5
800 2025 279,9 275,1 4,8

c. Efek Refraksi Troposfer Pada Radar Cuaca

Karena gradien vertikal indeks refraksi (dn/dh) adalah negatif,


maka gelombang radar cuaca di troposfer akan dibelokkan ke bawah.
Efek refraksi troposfer adalah memperpanjang jarak horizon, jadi
meningkatkan cakupan radar cuaca. Pembelokan gelombang radar
dalam troposfer disebabkan oleh variasi kecepatan penjalaran
gelombang radioelektrik dengan ketinggian.
Refraksi troposfer menyebabkan kesalahan pengukuran
sudut elevasi. Pada sudut elevasi yang kecil, terutama dekat horizon,
maka refraksi troposfer merupakan sumber gangguan. Kesalahan atau
gangguan tersebut dapat diabaikan untuk sudut Iebih besar 3 dalam
kebanyakan aplikasi radar. Refraksi menyebabkan beda antara sudut
elevasi semu dan sudut elevasi sebenarnya. Karena itu perlu dilakukan
koreksi data radar akibat refraksi atmosfer. Pada umumnya untuk

Meteorologi Indonesia Volume 1


85
mengatasi refraksi troposfer dilakukan pengamatan refraktivitas radio
permukaan.
Dalam troposfer bawah, beda uap air sangat penting dalam
memperhitungkan indeks refraksi n, tetapi pada lapisan troposfer yang
lebih tinggi di mana kadar uap air rendah, maka perubahan indeks
refraksi terutama disebabkan oleh perubahan temperatur udara.
Penjalaran gelombang elektromagnetik abnormal disebut pembuluh
(duct) atau kelewat refraksi (superrefraction). Pembuluh terjadi jika
indeks refraksi turun dengan cepat terhadap ketinggian. Inversi
temperatur sangat menentukan terjadinya kelewat refraksi. Pembuluh
(duct) bertindak sebagai pemandu (guide) yang mengarahkan energi
pada jarak yang besar. Pembuluh kelewat refraksi yang dekat dengan
tanah disebut "pembuluh dasar" (ground based duct) dan yang terletak
di atas permukaan disebut "pembuluh tinggi" (elevated duct).

Ada beberapa kemungkinan kondisi meteorologis yang


mengarah pada pembentukan pembuluh kelewat refraksi, yaitu :
a. Radiasi malam yang terjadi pada malam cerah ketika tanah
lembap dapat membentuk inversi temperatur pada tanah dan
penurunan tajam uap air dengan ketinggian. Kondisi ini sering
memproduksi penjalaran gelombang radar abnormal.
b. Gerakan udara kering panas dari darat di atas badan air yang
lebih dingin memproduksi inversi temperatur. Kondisi ini
menyebabkan pembuluh kuat sehingga terjadi anomali ekstrim
penjalaran gelombang radar. Pada umumnya radar yang
ditempatkan rendah lebih rentan (mudah kena) kelewat refraksi
dari pada radar yang ditempatkan lebih tinggi.

3.5. Resume
Konsepsi stabilitas udara analogi dengan mekanika misalnya
kedudukan sebuah kerucut jika diletakkan dengan alas di bawah
dikatakan stabil, jika diletakkan dengan ujung kerucut di bawah
dikatakan labil, dan jika kerucut diletakkan miring, dikatakan netral.
Parsel udara dikatakan stabil, labil, dan netral terhadap lingkungannya

Meteorologi Indonesia Volume 1


86
jika padanya diberi impuls gaya awal. maka parsel akan kembali ke
posisi semula, akan terus bergerak, atau tetap pada posisi terakhir.
Dalam praktek, susut temperatur (lapse rate) adiabatik udara basah tak
jenuh dapat dianggap sama seperti untuk udara kering ( = d). Selain
dengan temperatur, stabilitas udara dapat dinyatakan dengan
temperatur potensial. Dalam teknik, stabilitas udara dapat ditentukan
dengan observasi cuaca dan ketinggian matahari (sudut zenit matahari).
Dari perhitungan indeks stabilitas Showalter, dapat disimpulkan bahwa
troposfer pada musim kemarau adalah yang paling stabil dibandingkan
dengan pada musim hujan dan kedua musim transisinya. Tetapi dari
profil vertikal temperatur potensial ekivalen diperoleh bahwa pada
troposfer bawah sampai pada ketinggian 700 mb (1 mb = 100 Pa = 1 h
Pa) atau sekitar 3.150 m, troposfer di atas Jakarta tidak stabil secara
konvektif untuk segala musim.
Jika cahaya melalui medium yang berubah densitasnya maka
akan mengalami proses pembelokan. Jika sinar cahaya memasuki ke
medium kurang rapat, sinar akan dibelokkan menjauhi garis normal
dan jika sinar cahaya memasuki ke medium lebih rapat, sinar akan
dibelokkan mendekati garis normal. Karena atmosfer bersifat
kompresibel maka kerapatannya makin ke atas makin tipis. Densitas
yang paling besar berada di permukaan. Refraksi gelombang
elektromagnetik di atmosfer dipengaruhi oleh tekanan udara,
temperatur udara, dan uap air. Karena tekanan barometrik dan tekanan
parsial uap air turun secara cepat sedangkan temperatur udara turun
secara lambat dengan ketinggian maka indeks refraksi atau
refraktivitas radio turun dengan ketinggian. Di Indonesia refraktivitas
radio bergantung pada musim. Musim basah lebih lembap jadi nilai
refraktivitas radio lebih besar dibandingkan pada musim kemarau yang
kurang lembap. Sampai ketinggian 330 mb (sekitar 9 km) distribusi
vertikal refraktivitas radio menunjukkan variasi musiman, tetapi di atas
ketinggian 330 mb refraksivitas radio tidak menunjukkan variasi
musiman. Dalam troposfer bawah, beda uap air sangat penting karena
menentukan nilai refraktivitas radio, tetapi pada troposfer atas di mana
kadar uap air sangat rendah, maka perubahan refraktivitas radio
terutama disebabkan oleh perubahan temperatur udara.

Meteorologi Indonesia Volume 1


87
Bab 5
Sirkulasi Atmosfer

Di atas daerah-daerah lintang rendah, pola arus atmosferik


sangat serbasama atau variasi dari hari ke hari kecil. Di atas lintang
menengah, migrasi siklon dan anti siklon menyebabkan variasi angin
terus menerus. Dengan meninjau gerak udara pada lintang-lintang
rendah yang serbasama dan rata-rata angin yang berubah pada
lintang-lintang yang lebih tinggi, maka dapat dikembangkan gambaran
angin rata-rata di atas bumi. Angin rata-rata ini menggambarkan sistem
angin planeter atau sirkulasi umum atmosfer. Sirkulasi atmosfer umum
disebabkan oleh rotasi bumi terhadap sumbu semunya dan oleh
pemanasan geografis yang tidak sama baik pada permukaan bumi
maupun dalam atmosfer.
Perubahan panas antara siang dan malam merupakan gaya
gerak utama sistem angin harian, karena ada beda panas yang kuat
antara udara di atas darat dan laut atau antara udara di atas tanah
tinggi (pegunungan) dan tanah rendah (lembah). Karena durasinya
terbatas, maka sistem angin harian biasanya hanya efektif pada area
relatif kecil, sehingga sistem angin ini menyebabkan variasi iklim lokal.
Ada dua tipe utama lokasi angin harian yaitu di daerah pantai dengan
sistem angin darat-laut, dan daerah pegunungan dengan sistem angin
lembah-gunung.

5.1. Gerak Fluida Atmosferik


Gerak atmosfer dapat dibagi menjadi dua kelas besar,
keduanya disebabkan oleh adanya distribusi pemanasan diabatik
yang tidak merata dalam atmosfer ;
a. Gerak akibat gradien pemanasan horizontal baik secara langsung
maupun tak langsung, menyebabkan lebih dari 98% energi kinetik
atmosferik. Hampir semua energi kinetik ini dikaitkan dengan
medan angin horizontal skala-sinoptik dan planeter.
b. Gerak akibat kelabilan (instability) konvektif menyebabkan kurang
dari 2% energi kinetik atmosferik. Konveksi disebabkan oleh gradien

Meteorologi Indonesia Volume 1


121
pemanasan diabatik vertikal. Gerak konvektif mempunyai skala
ruang dengan jangka (ranging) dari sekitar 30 km dalam badai guruh
yang terbesar turun sampai kurang dari 1 mm dalam gerak skala
mikro pada lapisan permukaan. Meskipun gerak konvektif
kontribusinya kecil terhadap energi kinetik atmosferik, tetapi gerak
ini memainkan peranan penting dalam transport panas terselubung
(latent heat) dan panas terasa (sensible heat).
Gerak atmosfer pada dasarnya dikuasai oleh persamaan
gerak, persamaan kontinuitas dan hukum-hukum termodinamika.
Sirkulasi atmosfer yang diamati dapat ditinjau sebagai solusi khusus
persamaan-persamaan yang menguasai gerak atmosfer. Sistem gerak
yang terjadi di atmosfer dapat diklasifikasikan bergantung pada
metode yang dipakai. Salah satu metode klasifikasi yang sangat
berguna adalah berdasarkan skala waktu dan jarak. Gerak atmosfer
sering tersusun dari sebuah spektrum sistem sirkulasi skala waktu dan
skala jarak yang berbeda. Skala waktu biasanya dihubungkan dengan
skala jaraknya, makin besar skala jarak (panjang) makin lama skala
waktunya. Sistem sirkulasi atmosfer paling besar mempunyai skala
panjang (length) sebanding dengan diameter bumi. Sirkulasi atmosfer
yang paling kecil mempunyai skala jarak sebanding dengan lintasan
bebas rerata molekul-molekul individu.
Menurut skala jarak, spektrum gerak atmosfer dapat dibagi
menjadi: gerak skala planeter, gerak skala sinoptik, gerak skala meso
dan gerak skala kecil (kadang-kadang disebut gerak skala mikro).
Batas-batas antara subdivisi (bagian-bagian) ini tidak terdefinisi
dengan baik, karena spektrum gerak atmosfer adalah kontinu (terus
menerus). Meskipun demikian, sistem gerak dalam setiap bagian
mempunyai bentuk dinamik khusus. Pendekatan yang berbeda dapat
dimasukkan ke dalam persamaan dinamik untuk sistem gerak dalam
tiap bagian (subdivisi). Klasifikasi gerak atmosfer merupakan alat
konseptual yang sangat berguna dalam kajian dinamika atmosfer.
Gerak skala-planeter termasuk sistem sirkulasi dengan skala
horizontal sebanding dengan dimensi bumi. Gerak skala-sinoptik
mempunyai skala horizontal lebih kecil dari pada gerak skala-planeter,
tetapi masih cukup besar untuk diatasi dengan jaringan observasi

Meteorologi Indonesia Volume 1


122
konvensional. Jarak antar stasiun dalam jaringan sinoptik berorde
ratusan kilometer. Kebanyakan sistem sirkulasi sinoptik berkaitan
dengan perubahan cuaca harian. Sistem gerak dengan skala horizontal
yang mempunyai orde (golongan) 10 100 km disebut sistem gerak
skala meso. Contoh sistem gerak skala meso adalah badai guruh, garis
badai (squall lines), dan siklon. Sirkulasi dengan dimensi horizontal lebih
kecil dari pada gerak skala meso disebut gerak skala-kecil, misalnya
awan cumulus kecil, olakan (eddies), turbulen konvektif, dan mekanis
dekat permukaan bumi. Sistem gerak skala-kecil ini memainkan
peranan sangat penting dalam dinamika atmosfer paling bawah. Tabel
5.1. menunjukkan ringkasan klasifikasi gerak atmosfer.
Tabel 5.1. Skala gerak atmosfer

Skala Jarak Dimensi Tipik (km) Contoh


Planeter 10.000 Sel Hadley
Sinoptik 1.000 Siklon
Skala meso 100 Badai guruh
Skala kecil 10 Cumulus kecil

Ada beberapa cara menggolongkan gerak atmosfer, misalnya


menurut derajat regularitas (sifat keteraturan) dapat dibagi menjadi arus
laminer dan arus turbulen (bergolak). Beberapa gerak udara
disebabkan terutama oleh gaya gradien tekanan, beberapa dipicu oleh
gaya apung (bouyancy force). Gerak udara juga dapat ditimbulkan oleh
beberapa mekanisme kelabilan (instability mechanism). Beberapa
proses kelabilan disebabkan terutama oleh sifat termal seperti kelabilan
vertikal, dan yang lain terutama oleh bentuk mekanis, seperti kelabilan
geser (shear instability) yang sering diamati dekat permukaan bumi.
Pembahasan sistem gerak atmosfer dalam bab ini lebih menekankan
pada klasifikasi menurut skala jarak (length scales).

5.2. Sistem Angin dan Tekanan Planeter Idaman


Gambar 5.1, menunjukkan gambaran umum distribusi
angintekanan terestrial (bumi). Pola sebenamya sangat berbeda dari
pada yang ditunjukkan pada Gambar 5.1, akibat ketidakteraturan

Meteorologi Indonesia Volume 1


123
(irregular) pemanasan permukaan bumi dan efek perpindahan
(migration) daerah tekanan rendah dan tekanan tinggi. Perlu dicatat
bahwa angin memusat (convergence) pada pita (band) tekanan
rendah, yang ditandai oleh gerak udara naik, dan menyebar
(divergence) dari sabuk tekanan tinggi, yang ditandai oleh gerak udara
turun secara vertikal.

Gambar 5.1. Sistem angin dan tekanan terestrial ideal (idaman).

Karena sifat permukaan bumi tidak homogen, maka pola


skematik pada Gambar 5.1 mengalami banyak modifikasi seperti
terlihat pada Gambar 5.2 yang menunjukkan angin rata-rata untuk
bulan Januari dan Juli di Indonesia. Peta angin ini menunjukkan kondisi
rata-rata. Sabuk (belt) tekanan dan angin pada umumnya dari hari ke
hari kondisinya dapat sangat berbeda. Akan sangat bermanfaat untuk
meninjau sabuk tekanan dan angin dengan menunjuk pada kondisi
rata-rata riil dan kondisi ideal, agar dapat menganalisa faktor-faktor
yang menyebabkan perbedaan pola angin ideal (idaman) dan angin
rata-rata rill.
Sabuk (belt) tekanan planeter terdiri dari:
a. Daerah Angin Tenang Ekuatorial
Sepanjang tahun terdapat sabuk tekanan rendah mengelilingi
bumi dalam daerah ekuatorial akibat pemanasan bumi berlebihan pada
daerah ini. Setelah tengah hari (sore hari) biasanya terjadi hujan deras

Meteorologi Indonesia Volume 1


124
(shower) dari konveksi kuat dan pendinginan adiabatik di mana
temperatur hariannya paling tinggi. Kebanyakan gerak udara di sini
adalah vertikal dengan angin lemah dan berubah-ubah (variable), yang
biasanya mempunyai gerakan ke arah barat. Jadi, daerah ini dikenal
sebagai sabuk angin tenang ekuatorial (belt of equatorial calms).
Atmosfer terik (hot), lembap, lengket (sticky) dan menyesakkan napas
dengan angin tenang dan laut seperti kaca yang licin disebut daerah
melempem atau daerah angin tenang (doldrums). Selama musim
dingin belahan bumi utara (BBU), tekanan rendah ekuatorial bergerak
ke arah selatan akibat efek pemanasan benua Australia dalam musim
panas belahan bumi selatan (BBS). Tetapi selama musim panas BBU
ketika matahari berada di utara ekuator, terjadi gerakan sabuk tekanan
rendah agak jauh ke utara akibat pemanasan daerah-daerah
kontinental yang luas. Perlu diperhatikan bahwa posisi daerah
melempem (doldrums) rata-rata tahunan pada umumnya terletak di
utara ekuator atau di belahan bumi utara (BBU).

Gambar 5.2. Angin rata-rata pada ketinggian 5.000 kaki di atas Indonesia
Atas: Januari dan bawah: Juli.

Meteorologi Indonesia Volume 1


125
b. Sabuk Angin Tenang Subtropis
Dalam gambar ideal (Gambar 5.1) ada dua sabuk (belt) yang
ditandai oleh tekanan tinggi (sering disebut tekanan tinggi subtropis)
dan angin relatif lemah atau tenang yang terjadi secara simetris
terhadap ekuator pada lintang 30 U dan 30 S. Subsidensi
(penurunan) udara yang mempertahankan pola tekanan tinggi
dipanasi secara adiabatik, sehingga menghasilkan kelembapan relatif
rendah dan langit cerah. Sifat kering udara yang turun ini menyebabkan
gurun-gurun besar pada atau di sekitar lintang-lintang kuda (horse
latitudes) yaitu lintang 30 utara dan selatan. Pada BBS, lintang kuda
kebanyakan berada di atas laut, sehingga kondisinya agak serbasama
(uniform) sepanjang tahun. Konfigurasi tahunan hampir serupa dengan
pola idaman, kecuali pada kontinental yang mematahkan punggung
tekanan tinggi. Patahan-patahan ini menjadi kurang nyata dalam
musim dingin BBS (Juli) akibat pendinginan darat yang meningkatkan
subsidensi udara dan memperbesar sabuk tekanan tinggi. Pada BBU,
terjadi modifikasi pola idaman tahunan lebih drastis (tegas) yang
mengikuti variasi temperatur di lautan (osean). Selama musim dingin
BBU, sabuk tekanan tinggi secara kasar mengelilingi bumi, meskipun
posisinya di atas kontinen bergeser ke utara dan di atas osean ke
selatan dari lintang paralel 30. Juga, tekanan tinggi secara rata-rata
diperkuat di atas kontinen, terutama di atas Asia, di mana tekanan
tinggi Siberia sangat kuat sebagai konsekuensi pendinginan
(refrigeration) yang nyata massa daratan luas ini. Selama musim panas
BBU ada sebagian pembalikan tekanan di atas Amerika Utara dan
pembalikan sangat kuat di atas Asia. Pada waktu bersamaan,
intensifikasi sabuk tekanan tinggi terjadi di atas lautan karena relatif
dingin terhadap kontinen. Daerah tekanan tinggi sebelah barat Amerika
Serikat dikenal sebagai tekanan tinggi Pasifik, sedangkan di atas
Samudera Atlantik sering menunjukkan ganda (doublet) yang dikenal
sebagai tekanan tinggi Bermuda dan Azores.
b. Sabuk Tekanan Rendah Subpolar
Meskipun observasi pada lintang-lintang oseanik tinggi BBS
relatif jarang, tetapi cukup memberi indikasi bahwa ada perubahan
kecil dari musim panas ke musim dingin. Keadaan ini diduga terjadi

Meteorologi Indonesia Volume 1


126
pada daerah lautan BBS yang menempati cukup besar pada lintang-
lintang subpolar. Tetapi di BBU terjadi perubahan tahunan yang cukup
besar pada daerah ini akibat beda temperatur yang nyata antara darat
dan air. Dalam bulan Januari, tekanan rendah membalik menjadi
tekanan tinggi di atas darat untuk membentuk tekanan tinggi Kanada
dan Siberia, tetapi menjadi daerah tekanan rendah sangat kuat dan
berpotensial menjadi badai (stormy) di atas Samudera Atlantik Utara
dan Pasifik Utara yang relatif panas dengan memakai referensi tekanan
rendah Iceland dan Aleutian.
d. Tekanan Tinggi Polar
Secara rata-rata, daerah tekanan tinggi berada di atas kedua
daerah polar (kutub). Tetapi, intensitas dan lokasi pusat tekanan tinggi
ini diketahui berubah, jarang terpusat pada kutub-kutub geografis.
Hasil-hasil eksplorasi daerah polar selama Tahun Geofisika
Intemasional dan Kooperasi Geofisika Intemasional (19571959) telah
banyak menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang
meteorologi daerah polar.

5.3. Sirkulasi Atmosfer Global


Karena angin planeter secara fisis adalah bagian dari pola
global yang melibatkan sabuk tekanan seperti diuraikan pada subbab
5.2, maka angin ini sangat berbeda dari pola idaman (ideal). Variasi ini
sangat jelas, ketika darat dan air menyebabkan beda distribusi dan
variasi temperatur. Dalam subbab 5.3 akan dibahas tentang
pengetahuan angin planeter dalam sebuah sistem tunggal yang mampu
menjelaskan pola-pola angin global yang diamati. Karena pengetahuan
angin paras atas (upper level) masih terbatas maka penjelasan sumber
sirkulasi umum (general) masih mengandung banyak masalah dalam
Sains Atmosfer. Salah satu cara pendekatan masalah yang baik adalah
dengan meninjau, pertama, teori klasik berdasarkan pada konveksi,
kemudian kedua, dengan mengembangkan pandangan-pandangan
yang lebih baru.
Pola gerak atmosfer pada saat tertentu selalu menunjukkan
kompleksitas yang besar. Gerak udara di atas bumi mempunyai
karakteristik bentuk umum yang sebenarnya tersembunyi oleh

Meteorologi Indonesia Volume 1


127
superposisi banyak unsur gerak udara skala yang lebih kecil. Harus
dipahami bahwa atmosfer adalah sebuah sistem yang sangat nonlinier
yaitu selalu ada interaksi antara sistem-sistem gerak skala berbeda.
Konsekuensinya, sistem gerak skala besar secara fisis tidak dapat
dipisahkan dari sistem skala yang lebih kecil. Salah satu metode untuk
mengeluarkan bentuk-bentuk kecil ini adalah melakukan rata-rata
membujur (longitudinal) atau rata-rata waktu. Gerak skala kecil biasanya
mempunyai perluasan membujur sangat terbatas, dan mempunyai
periode waktu relatif singkat. Kompleksitas pola gerak udara yang
disebabkan oleh kehadiran gerak-gerak skala kecil ini dapat dikeluarkan
dengan merata-ratakan medan angin di atas lingkaran membujur
dan/atau pada periode waktu yang diperpanjang, misalnya satu bulan.
Medan-medan yang dirata-ratakan secara membujur (longitudinally) dan
waktu adalah pokok pembicaraan dalam subbab 5.3 ini.

a. Sirkulasi Hadley
Model pertama yang menggambarkan pola sirkulasi udara
global dikemukakan oleh G. Hadley pada tahun 1735. Sirkulasi Hadley
pada dasarnya adalah sirkulasi termal langsung seperti dideskripsikan
pada Gambar 5.3. Berdasarkan pengamatan, udara dalam lintang-
lintang rendah lebih panas dari pada udara dalam lintang-lintang tinggi.
Jadi udara tropis akan naik secara vertikal dan bergerak ke arah utara
dalam troposfer atas, sedangkan udara polar dingin akan turun dan
bergerak ke arah selatan dalam troposfer bawah. Udara tropis panas
yang bergerak ke utara akan kehilangan banyak energi panasnya
melalui pendinginan radiatif sebelum udara panas ini mencapai daerah
polar (kutub) untuk mengganti udara dingin yang turun dan bergerak ke
selatan. Udara dingin dan kutub akan menyerap panas dan tanah
(udara dingin ini dipanasi secara radiasi) dalam lintang-lintang rendah
dan kemudian naik dalam daerah ekuatorial. Bentuk esensial sirkulasi
Hadley diilustrasikan dalam Gambar 5.3. Sirkulasi termal jenis ini
dengan jelas mampu mengangkut energi termal ke arah kutub untuk
mengimbangi sekurang-kurangnya sebagian (dan diharapkan
semuanya) kelebihan (surplus) energi radiasi di daerah ekuatorial dan
kekurangan (deficit) energi radiasi di daerah polar. Meskipun demikian
model ini mempunyai beberapa cacat dinamis yang cukup serius.

Meteorologi Indonesia Volume 1


128
Ada hubungan antara distribusi tekanan dan sirkulasi yang
digerakkan secara termal. Menurut Gambar 5.3, ada perubahan
(gradient) tekanan dari ekuator ke kutub, karenanya ada gaya gradien
tekanan dari kutub ke ekuator dalam troposfer bawah dan gaya gradien
tekanan dari ekuator ke kutub dalam troposfer atas.
Rotasi bumi menimbulkan gaya deflektif (penyimpang) yang
disebut gaya Coriolis yang menyimpangkan angin ke arah sejajar
dengan isobar sehingga keseimbangan geostropik secara pendekatan
dapat dipertahankan. Ini berarti bahwa angin di troposfer akan
mempunyai komponen timuran (easterly) kuat di lapisan bawah dan
komponen baratan (westerly) kuat di lapisan atas. Besar gaya Coriolis
adalah:
Fc = 2 . sin . v (5.1)
Keterangan :
2
Fc : gaya Coriolis per satuan massa dalam ms
: kecepatan sudut rotasi bumi
5 1
= 7,29 x 10 rad . s
: lintang tempat geografi dalam derajat
1
v : kecepatan angin dalam ms

Gambar 5.3. Model sel Hadley. Udara naik secara lambat di daerah tropis panas dan
bergerak ke utara, kehilangan energi termal oleh radiasi, kemudian turun
di atas daerah polar dingin dan kembali ke lintang-lintang rendah dalam
atmosfer bawah dekat permukaan bumi.

Meteorologi Indonesia Volume 1


129
Disebabkan oleh gaya gesekan antara permukaan bumi dan
troposfer bawah, angin timuran dalam atmosfer bawah mengarah pada
alih momentum baratan yang konstan dari bumi ke atmosfer atau
sebuah alih momentum timuran dan atmosfer ke bumi. Perubahan
konstanta momentum sudut antara bumi dan atmosfer demikian tidak
dipenuhi dalam keadaan mantap (steady state). Jika kecepatan angin
rata-rata dalam atmosfer bawah mempunyai komponen timuran dalam
daerah yang satu, maka di beberapa daerah lain kecepatan angin rata-
rata harus mempunyai komponen baratan, sehingga pertukaran
momentum sudut neto antara bumi dan atmosfer adalah nol.

b. Observasi Sirkulasi Global


Ada perbedaan yang besar antara model Hadley dan pola
sirkulasi global yang diamati. Pengamatan distribusi tekanan dan angin
permukaan disajikan secara skematik dalam Gambar 5.4. Di atas
ekuator ada sabuk tekanan rendah ekuatorial (equatorial low pressure
belt), pada sekitar lintang 30 U dan 30 S (lintang-lintang kuda) terdapat
sabuk tekanan tinggi subtropis (subtropical high pressure belts). Antara
sabuk tekanan rendah ekuatorial dan sabuk tekanan tinggi subtropis,
angin adalah timur lautan (northeasterly) di BBU dan tenggaraan
(southeasterly) di BBS, masing-masing disebut angin pasat timur laut
dan tenggara. Nama angin pasat (trade winds) muncul karena sirkulasi
angin ini sangat penting untuk navigasi kapal layar "perdagangan"
("trader).
Antara sabuk tekanan tinggi subtropis dan kedua sabuk
tekanan rendah yang dijumpai pada lintang sekitar 60 U dan 60 S,
angin utama adalah baratan. Pada kutub utara dan selatan biasanya
daerah tekanan tinggi, dan angin di daerah polar biasanya timuran.
Distribusi tekanan dan angin secara skematik ditunjukkan pada Gambar
5.4. Lokasi batas-batas antara berbagai daerah mempunyai variasi
musiman yang besar. Pada setiap hari khusus, distribusi tekanan dan
angin juga mempunyai variasi zonal (timur barat) yang besar.

Meteorologi Indonesia Volume 1


130
Gambar 5.4. Ilustrasi skematik distribusi tekanan dan angin pennukaan yang diamati.

c. Model Triseluler Sirkulasi Atmosfer

Sampai pertengahan abad ke 20, penjelasan sirkulasi umum


atmosfer berdasarkan pada gradien (beda) temperatur ekuatorial
polar dan rotasi bumi. Pusat panas (tekanan rendah) ekuatorial dan
pusat dingin (tekanan tinggi) polar sebagai dasar model sirkulasi Hadley
tidak lagi menggambarkan sirkulasi global yang diamati. Sirkulasi
langsung secara termal model Hadley tidak mungkin dapat menjelaskan
tekanan yang diamati. Distribusi angin permukaan yang diamati adalah
paduan keseimbangan gaya gradien tekanan, gaya Coriolis, dan gaya
gesekan permukaan.
Menurut Maury (1855), sirkulasi atmosfer meridional terdiri
atas dua sel, yaitu satu sel pada daerah antara ekuator dan lintang
sekitar 30 Utara atau Selatan disebut sirkulasi Hadley dan satu sel tak
langsung (indirect cel) pada lintang tinggi. Ferrel (1856) telah mengkaji
bahwa tekanan tinggi (H) di lintang sekitar 30 U atau S (lintang kuda)
dan tekanan rendah terdapat di daerah ekuator dan kutub. Sirkulasi

Meteorologi Indonesia Volume 1


131
atmosfer meridional yang diusulkan Ferrel (1856) mirip dengan teori
Maury (1855), tetapi terdiri atas 3 sel sirkulasi, yaitu sel Hadley, sel
Ferrel, dan sel Polar (lihat Gambar 5.5). Teori baru tentang sirkulasi
meridional telah banyak dikaji oleh beberapa ahli, misalnya, Rossby
(1941), Palmen (1954), dan lain-lain. Para ahli ini mengemukakan teori
sirkulasi atmosfer meridional yang mirip dengan teori Ferrel, yaitu terdiri
atas 3 sel sirkulasi.

Gambar 5.5. Pola sirkulasi atmosfer meridional skematik di belahan bumi utara (BBU).
Tanda panah pada setengah lingkaran belahan bumi menunjukkan arah
angin permukaan.

Gambar 5.5, menunjukkan ilustrasi skematik penampang


vertikal sirkulasi meridional rata-rata di BBU. Ada tiga sel (triseluler)
sirkulasi atmosfer yaitu; set Hadley termal langsung yang meluas
sampai lintang 30 U, sel Ferrel termal tidak langsung yang mencakup
daerah antara 30 U dan 60 U, dan sel sirkulasi polar yang agak lemah.
Sirkulasi termal langsung dengan udara naik di daerah
ekuatorial yang dikemukakan Hadley, keberadaannya sekarang disebut
sel Hadley, tetapi penjalaran ke arah kutub sel ini hanya mencapai lintang
sekitar 30 U. Antara lintang 30 U dan 60 U yang terdapat gradien
temperatur utaraselatan paling kuat, sirkulasi meridional rata-rata
berlawanan arah dengan sirkulasi termal langsung. Sirkulasi termal tidak
langsung ini disebut sel Ferrel, udara naik di daerah lebih dingin pada
lintang sekitar 60 U dan turun di daerah lebih panas sekitar lintang 30
U. Selain sel Hadley dan Ferrel, ada sel ketiga di atas daerah polar,
disebut sel Polar yang mempunyai sirkulasi sangat lemah.

Meteorologi Indonesia Volume 1


132
Dari data pengamatan pada musim dingin dan musim panas di
BBU, diperoleh bahwa terdapat variasi musiman yang besar baik posisi
maupun kekuatan sel sirkulasi. Sel Hadley jauh lebih kuat dalam musim
dingin daripada dalam musim panas. Selama musim panas, sel Hadley
digerakkan ke arah utara ke dalam daerah antara 15 U dan 45 U.
Penurunan cabang sel Hadley BBS menjalar ke utara sejauh 15 U.
Juga sel Ferrel mengalami variasi posisi musiman. Selama musim
panas, sel Ferrel berlokasi dalam daerah antara 45 U dan 65 U.
Selama musim dingin, sel ini mencakup daerah antara 35 U dan 75 U.
Sel polar kurang terdeteksi karena data pengamatan di daerah polar
sangat jarang dan sirkulasi sel polar sangat lemah.
Permukaan bumi di daerah tropis kebanyakan diliputi oleh
laut, karena udara dalam daerah angin pasat bergerak ke ekuator yang
mengumpulkan panas sensibel (panas yang dapat dirasakan) dan uap
air dari permukaan laut, maka terdapat lapisan udara lembap dalam
troposfer bawah. Stratifikasi vertikal lapisan udara lembap biasanya
adalah labil bersyarat (conditionally unstable) yaitu stabil di luar awan
dan labil di dalam awan. Konveksi lembap dari awan-awan cumulus
dapat teramati di daerah ini.
Karena angin pasat berhembus ke ekuator, maka makin
banyak uap air terakumulasi dalam lapisan lembap, sehingga lapisan
lembap menjadi lebih tebal dan awan cumulus tumbuh lebih tinggi.
Ketika udara mencapai cabang sel Hadley yang naik, biasanya udara ini
mempunyai kadar uap air sangat tinggi, kondisi ini bila digabung dengan
gerak udara naik yang mantap (steady) akan menghasilkan awan
cumulonimbus yang sangat tebal dan tinggi. Pita (band) awan timur -
barat biasanya dapat diidentifikasi dari citra satelit terutama di atas
Samudera Atlantik dan Pasifik, ini adalah daerah yang disebut Zona
Konvergensi Antar Tropis, ZKAT (Inter-Tropical Convergence Zone -
ITCZ). Karena distribusi darat dan laut antara BBU dan BBS tidak
simetris, maka ITCZ kebanyakan terletak dalam daerah antara ekuator
dan 10 U.

Meteorologi Indonesia Volume 1


133
d. Angin Monsun
Kata "monsoon" artinya season (bahasa Inggris) atau mausim
(bahasa Arab) atau musim (bahasa Indonesia). Angin monsun adalah
angin yang arahnya berbalik secara musiman. Pembalikan arah angin
jelas membutuhkan pembalikan gaya gradien tekanan (gaya yang
disebabkan oleh beda tekanan atmosfer). Gaya gradien tekanan (Fp)
dapat dieksresikan sebagai berikut :

(5.2)

Angin di mana ada keseimbangan antara gaya gradien tekanan dan


gaya Coriolis disebut angin geostrofik. Angin geostrofik sejajar isobar
dan terjadi pada ketinggian sekitar 1500 m di mana efek gesekan
permukaan dapat diabaikan. Angin geostrofik dapat diekspresikan
sebagai berikut:

(5.3)

Keterangan :
Vg : kecepatan angin geostrofik
p : beda tekanan tinggi dan tekanan rendah
n : jarak dua isobar
: densitas udara
f : parameter Coriolis, f = 2 sin
: lintang geografis
: kecepatan sudut rotasi bumi
5 1
= 7,29 x 10 rad . s
Tanda negatif pada persamaan (5.2) menunjukkan bahwa
gaya gradien tekanan Fp mempunyai arah dari tekanan tinggi ke tekanan
rendah.

Meteorologi Indonesia Volume 1


134
Angin monsun disebabkan oleh beda sifat fisis antara osean
dan kontinen; kapasitas panas osean lebih besar dari pada kontinen.
Permukaan osean memantulkan radiasi matahari lebih banyak dari
pada permukaan daratan (kontinen), dan radiasi matahari dapat
memasuki air sampai dalam dengan bantuan gerakan air (arus laut),
sedangkan di darat panas hanya mencapai beberapa sentimeter saja.
Hasil dari beda sifat fisis ini adalah osean lambat panas bila ada radiasi
matahari dan lambat dingin bila tidak ada radiasi matahari,
dibandingkan kontinen. Akibatnya, osean lebih dingin dalam musim
panas dan lebih panas dalam musim dingin dibandingkan kontinen.
Pergantian dari musim dingin ke musim panas atau sebaliknya, dapat
membalikkan arah gaya gradien tekanan, dengan demikian angin
monsun mengalami pembalikan arah, lihat Gambar 5.6. Arah gaya
gradien tekanan dari kontinen ke osean dalam musim dingin dan dari
osean ke kontinen dalam musim panas.

Gambar 5.6. Gaya gradien tekanan dalam musim dingin dan musim panas

Secara latitudinal (melintang) dan longitudinal (membujur),


Indonesia di bawah pengaruh kekuasaan (regime) sirkulasi ekuatorial
dan monsunal yang sangat berbeda karakteristiknya. Monsun dapat
digambarkan sebagai fenomena angin laut raksasa akibat beda panas
BBU BBS yang dikaitkan dengan migrasi matahari tahunan. Anggap
bahwa udara dingin di BBS (belahan bumi selatan) dipisahkan oleh
udara panas di BBU (belahan bumi utara) oleh sebuah dinding yang
berdiri pada ekuator, seperti ditunjukan secara bagan pada Gambar 5.7.

Meteorologi Indonesia Volume 1


135
Gambar 5.7. Bagan gaya gravitasional monsun.

Tekanan permukaan (berat total kolom udara persatuan luas)


lebih besar di BBS dari pada di BBU. Gradien tekanan dari selatan ke
utara menunjukkan adanya energi potensial. Jika dinding diambil maka
udara dingin mulai turun dan bergerak ke utara, sedangkan udara panas
naik dan bergerak ke selatan, jadi ada kenaikan energi kinetik akibat
energi potensial. Jungkir balik vertikal ini bergantung pada musim yang
mendefinisikan sirkulasi monsun. Beda panas utara selatan yang
sangat penting diperkirakan antara benua Asia dan ocean Hindia.
Selama musim panas boreal (BBU), benua Asia dipanasi secara efektif
dan luas. Puncak gunung yang tinggi seperti dataran tinggi (plateau)
Tibet, memberi kontribusi secara langsung udara troposferis tengah.

Daerah monsun adalah daerah di mana sirkulasi atmosfer


permukaan dalam bulan Januari dan Juli memenuhi persyaratan
berikut (Ramage, 1971).
a. Arah angin utama pada bulan Januari dan Juli berbeda paling
sedikit 120.
b. Frekuensi angin utama rata-rata dalam bulan Januari dan Juli
lebih dari 40%.
c. Kecepatan angin paduan rata-rata sekurang-kurangnya satu
1
bulan melebihi 3 ms .
d. Indeks monsun 40%, daerah non monsunal mempunyai
indeks monsun 40%.

Meteorologi Indonesia Volume 1


136
Untuk menghitung indeks monsun (I), pertama ditinjau angin
utama yang rnempunyai penyimpangan sekurang-kurangnya 120
antara bulan Januari dan Juli, kemudian dianalisa frekuensi rata-rata
arah angin utama (prevailing winds) masing-masing dalam bulan
Januari dan Juli sebagai berikut :

(5.4)

Keterangan :
Fjan : frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Januari
(%)
Fjul : frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Juli (%)

Monsun adalah angin periodik dengan periode musiman.


Daerah monsun dibatasi oleh garis bujur 30 B dan 170 T dan oleh
garis lintang 35 U dan 25 S (Ramage, 1971). Jadi jelas benua maritim
Indonesia termasuk dalam daerah monsun.

e. Sirkulasi Walker

Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal (timur barat)


sepanjang ekuator. Pada tahun normal, sirkulasi ini ditandai oleh
kenaikan udara di Samudera Pasifik bagian barat dekat benua maritim
Indonesia dan penurunan udara di Samudera Pasifik bagian timur lepas
pantai Amerika Selatan, lihat Gambar 5.8. Sirkulasi ini dinamakan
Sirkulasi Walker sebagai penghargaan bagi Sir Gilbert Walker yang
pada tahun 1920an telah mengetahui adanya variasi tekanan atmosfer
timur barat sepanjang Samudera Pasifik. Tekanan jungkat-jungkit (see
saw) Walker disebut Osilasi Selatan untuk membedakannya dari osilasi
tekanan serupa seperti Osilasi Atlantik Utara dan Osilasi Pasifik Utara.

Meteorologi Indonesia Volume 1


137
Gambar 5.8. Sirkulasi zonal ekuatorial dalam tahun-tahun non El Nino.

Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi


temperatur permukaan laut (TPL) di Samudera Pasifik bagian timur
dan bagian barat. Perubahan dalam TPL dan karenanya kadar panas
osean kemudian dialihkan kedalam atmosfer dalam bentuk perubahan
tekanan atmosfer. Berdasarkan pengamatan ini diketahui bahwa ada
kopel (perangkai) yang kuat antara osean dan atmosfer. Peristiwa
ikatan osean dan atmosfer demikian disebut peristiwa ENSO (El
NinoSouthern Oscillation). Dalam tahun-tahun El Nino terjadi
subsidensi di atas benua maritim Indonesia dan awan-awan konvektif
bergerak ke Pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah
Indonesia mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang.
ENSO dapat dikaji dari sistem sirkulasi pada paras (level) 850 mb dan
200 mb, lihat Gambar 5.9.

Model dasar interaksi osean adalah kenaikan temperatur


Samudera Pasifik Ekuatorial. Di atas pusat anomali temperatur ini akan
terjadi banyak penguapan dan konveksi kuat. Akibat gerak vertikal ini
maka angin pasat di sebelah barat pusat anomali temperatur akan
melemah dan angin pasat di sebelah timur pusat ini akan menguat, lihat
Gambar 5.10.

Meteorologi Indonesia Volume 1


138
Gambar 5.9. Sirkulasi zonal ekuatorial dalam tahun-tahun El Nino.

Gambar 5.10. Bagan sirkulasi dasar dalam tahun El Nino.

Peristiwa El Nino ditandai oleh indeks osilasi selatan (IOS)


negatif. IOS dihitung dari beda tekanan atmosfer di atas Tahiti dan di
atas Darwin. keduanya terletak di belahan bumi selatan. IOS bernilai
negatif artinya tekanan atmosfer di atas Darwin (Australia) lebih besar
dibandingkan tekanan atmosfer di atas Tahiti.

ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika terjadi


peristiwa ENSO, sirkulasi zonal di atas Indonesia menyebar, sehingga

Meteorologi Indonesia Volume 1


139
terjadi subsidensi udara atas yang lebih kering. Divergensi massa
udara mengakibatkan awan-awan yang terbentuk bergeser ke Pasifik
bagian tengah dan timur, sehingga di atas wilayah Indonesia terjadi
defisiensi curah hujan bahkan dapat terjadi bencana alam kekeringan.

Keterlambatan musim tanam padi terjadi pada tahun-tahun


ENSO dibandingkan dalam kondisi normal. Tanpa bantuan irigasi
maka produksi pangan akan turun. Tahun ENSO juga mengakibatkan
musim kemarau panjang atau musim hujan pendek.

5.4. Angin Lokal dan Angin Fhn


a. Angin Darat dan Laut

Proses terjadinya angin darat dan laut pada dasarnya sama


dengan angin monsun yaitu disebabkan oleh beda sifat fisis antara
permukaan darat dan laut. Periode angin monsun adalah musiman,
sedangkan angin darat dan laut adalah harian. Beda panas antara
permukaan darat dan air adalah penyebab utama pembentukan angin
darat dan laut. Pada siang hari, darat agak cepat panas jika ada radiasi
matahari, sedangkan permukaan air lebih dingin, karena panas hilang
pada lapisan air yang lebih tebal oleh turbulensi dan gelombang dan
oleh penetrasi langsung dan absorpsi. Akibatnya terjadi sel konveksi
kecil sehingga angin dekat permukaan bumi berhembus ke darat
disebut angin laut (the sea breeze), lihat Gambar 5.11. Pada malam
hari, darat lebih cepat dingin akibat kehilangan radiasi gelombang
panjang, sedangkan air karena inersia termalnya menjadi tetap panas
dengan temperatur hampir sama seperti ketika siang hari, sehingga
pola tekanan harian berbalik dan terbentuk angin darat (the land
breeze) karena udara darat yang relatif dingin bergerak ke area
tekanan lebih rendah di atas laut.

Meteorologi Indonesia Volume 1


140
Gambar 5.11. Pola dasar angin darat dan laut : a) angin laut slang hari dan b) angin
darat malam hari. Garis-garis horizontal menunjukkan permukaan
isobaris.

Angin laut biasanya lebih kuat dibandingkan angin darat,


-1
kecepatannya mencapai 4-8 ms dan ketebalan lapisan udara
mencakup ketinggian 1000 m. Angin laut di tropis dapat masuk kedarat
sejauh 100 km. Di beberapa lokasi, angin laut mungkin dapat
mendorong rintangan (barrier) topografis pantai dan menembus ke
darat. Membedakan angin laut pada jarak lebih 50 km dari pantai akan
sulit karena angin ini berinteraksi dengan sirkulasi lokal lain. Pada
beberapa jarak di darat. udara naik pada bagian konveksi angin laut
dan kembali ke laut pada sekitar 1500-3000 m.

Angin laut biasanya muncul dekat pantai beberapa jam setelah


matahari terbit dan mencapai maksimum ketika beda temperatur darat
laut mencapai maksimum. Secara musiman, angin laut paling

Meteorologi Indonesia Volume 1


141
kuat jika insolasi (insolation) kuat, karena itu pertumbuhan angin laut
paling baik selama musim kering. Di luar tropis, musim panas
merupakan musim angin laut kuat karena kecepatan angin sirkulasi
umum lemah dan massa udara labil menguntungkan pembentukan
angin laut.
Kekuatan dan arah angin laut dikendalikan oleh faktor-faktor
lokal; temperatur air permukaan dingin disebabkan oleh arus laut
dingin atau kenaikan (upwelling) air dari bawah akan meningkatkan
kekuatan angin laut. Faktor-faktor yang meningkatkan temperatur di
atas darat pada siang hari, misalnya kurangnya tanaman dan
permukaan kering mempunyai efek yang sama. Tutupan tanaman
lebat, rawa atau sawah yang kebanjiran (flooded ricefield) biasanya
menurunkan kekuatan angin laut karena kondisi ini akan menurunkan
beda temperatur darat laut. Adanya gunung dekat pantai sering
menimbulkan sistem angin gabungan angin laut lembah.
Jika angin laut memusat (konvergen) dengan angin dari arah
berbeda maka sering terbentuk "front angin laut" yang dapat
menyebabkan pembentukan awan lokal dan hujan. Misalnya angin laut
di Kepulauan Hawaii berinteraksi dengan angin pasat. Awan tumbuh
dalam zona konvergensi antara sistem skala sinoptik dan lokal yang
berlawanan ini. Di atas pulau dan semenanjung (peninsulas), sistem
angin laut yang konvergen dan pantai yang berhadapan (opposite
coasts) dapat menyebabkan curah hujan maksimum sore hari
(afternoon) yang reguler.
Angin darat lebih lemah dari pada angin laut dalam kebanyakan
iklim tropis. lni disebabkan beda temperatur darat laut di tropis jauh
lebih besar akibat pemanasan slang hari dari pada akibat pendinginan
waktu malam hari. Penyebab utamanya adalah pendinginan cepat
permukaan darat sepanjang malam hari. Pengaruh pendinginan ini
terbatas pada lapisan udara permukaan yang tipis, sehingga angin darat
jarang mempunyai kecepatan melebihi 3 ms', tetapi kecepatannya dapat
meningkat oleh arus katabatik (katabatic flow). Ketebalan lapisan udara
dalam angin darat biasanya hanya beberapa meter. Angin darat secara
normal tidak mencapai lebih dari 15 20 km ke laut. Angin darat biasanya

Meteorologi Indonesia Volume 1


142
mulai sekitar 3 jam setelah matahari terbenam dan meningkat
kecepatannya sampai matahari terbit dan masih terus berhembus
setelah matahari terbit. Malam yang panjang dan cerah yang terjadi
selama musim kering, untuk daerah di luar tropis selama musim dingin
juga kondisi menguntungkan terjadinya angin darat.
Semua sirkulasi lokal dipengaruhi oleh angin sirkulasi general
tanpa kecuali angin laut dan darat. Jika angin skala sinoptik kuat maka
angin laut dan darat tidak terjadi, karena turbulensi mencegah beda
temperatur dan tekanan lokal antara permukaan air dan darat. Untuk
angin general yang lebih lemah maka angin laut dan darat umumnya
tidak berubah baik arah maupun kecepatannya. Di daerah angin
melempem (doldrum) dan dekat ekuator di mana angin skala sinoptik
sangat lemah maka sirkulasi lokal mendominasi.
Variasi lain angin laut dan darat dikaitkan dengan bentuk umum
garis pantai yang dapat menyebabkan konvergensi atau divergensi.
Konvergensi dan pembentukan awan didukung di atas tanjung
(headlands) sedangkan divergensi dan garis-garis patah pembentukan
awan lebih didukung di atas teluk (bays). Sistem angin laut darat
terjadi di atas pulau yang tidak sangat kecil (minimum diameter sekitar 15
km). Di atas laut, seperti Selat Malaka, konvergensi angin darat yang
berlawanan dapat terjadi pada malam hari yang menimbulkan hujan.

Seperti halnya kebanyakan angin lokal, maka angin laut dan


darat tidak dipengaruhi oleh gaya Coriolis, kecuali jika angin ini
berhembus pada jarak yang jauh pada lintang-lintang ekstratropis. Di
luar tropis, gaya Coriolis dapat menyebabkan sedikit penyimpangan
yang menjadi sejajar dengan pantai, tetapi situasi ini jarang ditemui
pada lintang-lintang rendah. Angin darat dan laut dapat berinteraksi
dengan angin gradien skala sinoptik yang menghasilkan angin paduan
(resultant winds) yang berhembus miring terhadap garis pantai.
Misalnya angin gradien yang berhembus paralel dengan pantai di atas
darat dapat berinteraksi dengan angin laut yang menghasilkan angin
pantai paduan (resultant onshore wind) yang bertiup dengan sudut 45
terhadap garis pantai.

Meteorologi Indonesia Volume 1


143
Dalam praktek angin laut dan darat sangat penting. Secara
tradisional nelayan (fisherman) menggunakan angin darat untuk
melaut pada pagi-pagi sekali dan kembali ke darat dengan angin laut
pada sore hari. Sirkulasi pantai lokal tidak menguntungkan karena
pada dasarnya sel sirkulasi tertutup. Karena alasan ini maka lokasi
aktivitas yang menimbulkan pencemaran udara dalam daerah pantai
tropis di mana angin laut dan darat secara klimatotogis menjadi penting
sebaiknya harus dihindari. lni disebabkan polutan yang diemisikan
pada siang hari meskipun dihamburkan secara vertikal dalam kenaikan
sel angin laut menuju darat (landward), akan kembali ke permukaan
menuju laut dan darat. Pada malam hari subsidensi di atas darat dapat
pula membawa polutan kembali turun ke permukaan.

Di Jakarta angin laut dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi di


daerah-daerah lintang menengah dan tinggi angin laut dibatasi oleh
musim-musim yang lebih panas. Meskipun di Indonesia pengaruh
angin musim cukup besar, tetapi pengaruh angin laut dan angin darat
masih dapat dirasakan, terbukti dengan perahu-perahu layar nelayan
yang pergi mencari ikan pada malam hari dengan bantuan angin darat
dan perahu-perahu layar tersebut kembali ke pantai besok siangnya
dengan bantuan angin laut. Di Indonesia dimana lintang geografisnya
cukup kecil, gaya Coriolis tidak banyak berpengaruh. Gaya Coriolis
pada persamaan (5.1) dapat dituliskan dengan ekspresi berikut :

Fc = 2 sin V sin
dimana V adalah kecepatan angin, adalah lintang geografis, dan
adalah kecepatan sudut rotasi bumi yang besarnya sama dengan
5 1
7,29 x 10 detik .

Kekuatan dari angin laut bergantung pada perbedaan


temperatur antara darat dan laut, makin besar perbedaannya makin
kuat anginnya. Gambar 5.12, menunjukkan perbedaan temperatur
antara darat dan laut, dan hubungannya dengan komponen kecepatan
angin laut pada ketinggian 900 m.

Meteorologi Indonesia Volume 1


144
Gambar 5.12. Perbedaan temperatur permukaan daratlaut dan hubungannya
dengan kecepatan angin laut (Wyatt, 1963).

b. Angin Gunung dan Lembah


Di daerah pegunungan tropis. sering terjadi sistem angin
harian yang kuat dan reguler, yang disebabkan oleh pemanasan dan
pendinginan udara pada lereng. Pada siang yang bermatahari lereng
gunung mendapat panas secara cepat akibat radiasi yang diterima
besar. Atmosfer bebas di atas dataran rendah kurang dipengaruhi oleh
masukan insolasi besar ini sehingga udara sedikit lebih dingin
dibandingkan udara di atas lereng gunung. Karena itu udara lereng
gunung menjadi labil dan cenderung menaiki lereng disebut angin
lembah (valley wind) atau arus anabatik, lihat Gambar 5.13a. Angin
lembah dengan mudah dapat dikenali karena sering dibarengi dengan
formasi awan cumulus dekat puncak gunung atau di atas lereng
gunung (escarpments). Pada malam hari, terjadi perbedaan
temperatur kebalikannya, ketika dataran tinggi menjadi dingin secara
cepat akibat kehilangan radiasi gelombang panjang. Udara yang lebih
dingin (densitas lebih besar) kemudian bergerak menuruni lereng di
bawah pengaruh gravitasi dan disebut angin gunung (mountain wind)
atau arus katabatik, lihat Gambar 5.13b.
Arus anabatik (anabatic flows) biasanya lebih kuat dan lebih
persisten (tidak berubah-ubah) dari pada arus katabatik. Arus anabatik
cenderung kuat di luar daerah tropis pada waktu musim panas, ketika

Meteorologi Indonesia Volume 1


145
insolasi sangat kuat dan malamnya pendek. Dalam keadaan demikian
angin anabatik (anabatic winds) dapat kontinyu sepanjang malam jika
terjadi pada skala luas. Ini terjadi misalnya pada kaki bukit (foothills)
gunung Himalaya. Untuk daerah Tanah tinggi Papua New Guinea
dimana gunung besar mengelilingi cekungan terbuka (open basin),
arus anabatik mantap pada sore hari mempunyai kecepatan 12 13
m/s. Angin anabatik biasanya memperkuat monsun atau angin pasat
pada lereng di atas angin (windward side) gunung. Angin ini dapat
memberi kontribusi pada curah hujan orografik, dan daerah ini sering
memperlihatkan curah hujan maksimum pada sore hari (afternoon).
Tetapi pada lereng di bawah angin (leewards slopes) angin anabatik
biasanya ditindas oleh angin sirkulasi umum (atau monsun).

Gambar 5.13. Pola dasar angin lembah dan gunung : (a) angin lembah atau arus
anabatik, siang hari dan (b) angin gunung atau arus katabatik malam
hari. Gans-garis horizontal menunjukkan permukaan isobar*.

Angin katabatik biasanya lebih lemah dari pada angin anabatik


karena beda termal biasanya lebih kecil dan gesekan mengurangi
kecepatan angin dekat permukaan bumi. Tetapi angin katabatik dapat
menjadi kuat keadaan ini terjadi untuk gunung tropis yang tinggi, karena
efek elevasi maka pendinginan malam hari dapat sangat cepat di bawah
keadaan langit cerah. Dalam keadaan ini, arus katabatik dapat sangat
kuat, kecepatannya melebihi 15 m/s pada Gunung Wihelm di Papua
New Guinea. Efek utama yang tampak dari angin katabatik adalah

Meteorologi Indonesia Volume 1


146
pembuyaran cepat awan-awan dekat puncak gunung atau di atas
lereng seperti Gunung Kenya. Udara dingin yang turun mengakibatkan
formasi kabut lembah dan cekungan karena arus katabatik
mendinginkan udara lembah sampai temperatur titik embunnya. Dalam
anomali kondisi iklim seperti yang terjadi di Papua New Guinea selama
peristiwa El Nino, arus katabatik sepoi-poi (gentle katabatic flow) dapat
meningkatkan potensial formasi embun beku (frost). Arus katabatik
dan angin darat dapat juga bergabung dalam area topografi pantai
yang curam untuk meningkatkan arus udara lepas pantai (offshore)
malam hari. Arus ini dapat memusat dengan arus musiman skala
sinoptik yang arahnya berlawanan dan menghasilkan zona konveksi
lepas pantai malam hari, lihat Gambar 5.14.

Gambar 5.14. Beda area zona konvektif lepas pantai sekitar Papua New Guinea
selama (a) monsun barat laut (musim basah) dan (b) monsun tenggara
(musim kering). Sumber Mc Gregor and Nieuwolt, 1998.

c. Angin Fhn
Angin Fhn dikenal di Austria dan Jerman di mana angin ini
sering ditemukan pada lereng utara pegunungan Alpen. Di sebelah barat
Amerika Serikat dan Kanada, angin ini disebut chinook. Biasanya angin
chinook disertai dengan aktivitas siklonik yang menghasilkan awan dan
endapan pada lereng di atas angin (windward). Setelah angin Fhn turun
pada lereng di bawah angin (leeward), maka udara mengalami
pemanasan secara adiabatik sehingga kelembapannya kecil dan

Meteorologi Indonesia Volume 1


147
temperaturnya menjadi semakin panas (Gambar 5.15). Angin yang
lembap jika menaiki gunung akan menghasilkan hujan, kemudian pada
waktu turun dari pegunungan akan bersifat panas dan kering.
Tinjau proses terjadinya angin Fhn pada Gambar 5.15.
Anggap bahwa angin relatif lembap menaiki daerah pegunungan
dengan puncak 4000 m. Setelah udara naik setinggi 1500 (dasar awan)
maka udara akan mengalami kondensasi dan terjadi pembentukan
awan. Jika temperatur permukaan tanah adalah 10 C, maka udara akan
mengalami pendinginan sebesar 1C/100 m, yaitu pada susut
temperatur (lapse rate) adiabatik kering, dan temperatumya menjadi 5
C pada dasar awan. Kenaikan udara selanjutnya menyebabkan
pendinginan 0,6oC/100 m pada susut temperatur adiabatik jenuh karena
adanya panas laten kondensasi yang diberikan pada udara.

Gambar 5.15. Terjadinya angin Fhn

Pada ketinggian 5500 m yaitu pada puncak awan maka


temperaturnya menjadi 29 C. Pada lereng di bawah angin (leeward),
udara akan menjadi panas dengan 1 C/100 m oleh proses adiabatik di
bawah angin (leeward) menjadi 11 C dibandingkan 5 C pada lereng
di atas angin (windward) ketinggian 1,5 km, dan pada waktu mencapai
o
permukaan tanah kembali temperaturnya menjadi 26 C dibandingkan
dengan 10 C pada waktu udara belum menaiki pegunungan. lni berarti

Meteorologi Indonesia Volume 1


148
pada waktu angin Fhn turun dari pegunungan, temperaturnya 16 C
lebih panas dari pada sebelum menaiki lereng pegunungan.
Fhn yang sangat kuat tidak menyenangkan, karena angin
tersebut panas, kering, dan kencang, sehingga dapat mempengaruhi
macam-macam reaksi fisiologis (fisik) atau psikologis (jiwa) misalnya
dapat lekas marah, sakit kepala dan sebagainya. Selain itu dapat juga
menimbulkan kekeringan pada tanah, pohon-pohon, ranting, sehingga
mudah menimbulkan kebakaran hutan.
Di Indonesia, angin Fhn sering terjadi pada waktu musim
kemarau atau musim timur, misalnya : "angin Gending" di Probolinggo,
"angin Kumbang" di Tegal/Brebes, "angin Bohorok" di Deli, "angin
Padang Lawas" di Sumatera Barat dan "angin Brubu" di Sulawesi
Tenggara.
Umumnya pegunungan di pulau Jawa berderet dari barat ke
timur. Pada musim kemarau angin timur membelok ke utara, kemudian
turun di sebelah utara pegunungan yang bersifat kering, panas, dan
kencang. Sedangkan di lereng bagian selatan pegunungan angin akan
naik dan akibat pengaruh orografi maka angin ini dapat mendatangkan
hujan di lereng bagian selatan.

5.5. Siklon Tropis di Sekitar Perairan Indonesia


Siklon tropis muncul di samudera tropis yang disertai dengan
angin dahsyat berputar dan hujan sangat lebat. Pelepasan panas
kondensasi oleh awan konvektif dalam badai merupakan sumber
energi utama siklon tropis. Kebanyakan siklon tropis terbentuk pada
daerah lintang antara 10 dan 20 dari ekuator. Tidak munculnya siklon
tropis di daerah ekuatorial, menunjukkan pentingnya efek rotasi bumi
atau gaya Coriolis yang menghasilkan vortisitas untuk pembentukan
siklon tropis. Sekitar 67% kejadian siklon tropis terdapat di belahan
bumi utara.
Gelombang badai (storm surge) adalah meningkatnya
permukaan laut sepanjang pantai secara cepat akibat angin siklon tropis
yang menggerakkannya ke pantai. Siklon tropis yang menghantam
Bangladesh pada tanggal 28 April 1991 berkecepatan 235 km/jam,

Meteorologi Indonesia Volume 1


149
menyebabkan gelombang badai mencapai setinggi 6 meter dan
menelan korban lebih dari 125.000 jiwa mati. Sebelumnya pada
tanggal 13 November 1970, Bangladesh juga diterpa gelombang badai
yang mencapai ketinggian 9 meter dan menelan korban sekitar
300.000 mati tenggelam. Tiap tahun muncul antara 80 dan 100 siklon
tropis, menyebabkan kerugian ekonomi 6 sampai 7 milyar dolar A.S.
Karena benua maritim Indonesia terletak di daerah yang dilalui
ekuator geografis maka vortisitas akibat rotasi bumi tidak cukup untuk
mengintensifkan siklon tropis. Gangguan dan depresi tropis dapat
terjadi pada perairan Indonesia tetapi intesifikasi dan pertumbuhan
selanjutnya menjadi badai atau siklon tropis terjadi pada lintang-lintang
yang jauh dari ekuator yang mempunyai vortisitas cukup besar dan
mengikuti punggung panas (thermal ridge) temperatur permukaan laut.
Distribusi badai tropis bulanan menunjukkan bahwa badai
tropis muncul sebagian besar pada akhir musim panas dan awal musim
gugur, meskipun siklon tropis dapat terbentuk pada bulan apa saja di
Pasifik bagian barat, lihat Gambar 5.16. Waktu hidup siklon tropis dari
beberapa jam sampai dapat bertahan dua minggu, dan secara rata-
rata waktu hidup siklon tropis berkisar 6 hari sejak siklon tersebut mulai
terbentuk sampai memasuki daratan atau membelok ke perairan
subtropis yang lebih dingin.

Gambar 5,16. Jumlah global badai tropis bulanan, Sumber Anthens, 1982.

Meteorologi Indonesia Volume 1


150
Jika siklon tropis bergerak menjauhi lingkungan udara tropis
yang lembap dan panas atau bergerak ke daratan maka siklon akan
melemah intensitasnya yang selanjutnya akan mati. Ada tiga efek fisis
utama yang menyebabkan kematian siklon tropis di atas daratan:
I. Jika siklon tropis meninggalkan osean maka penguapan yang
memberikan uap air untuk konveksi dan panas laten kondensasi
akan berkurang.
ii. Daratan lebih cepat dingin dari pada osean, sehingga temperatur
potensial ekivalen turun dan udara yang naik menjadi lebih dingin.
iii. Meningkatnya parameter kekasaran (Z0) di darat. Di atas air
parameter kekasaran dinyatakan oleh persamaan Charnock :

(5.4a)

dengan:

(5.4b)

Keterangan:
-2
g : gravitasi = 9,8 ms
Ux : kecepatan gesekan yang didefinisikan dalam persamaan
(5.4b)
: tegangan permukaan
: densitas udara permukaan

Pada kondisi siklon tropis, nilai Ux = 1 dan jika dimasukkan ke


dalam persamaan (5.4a), diperoleh parameter kekasaran di atas air
sebesar Z0 = 0,3 cm, sedangkan di atas daratan nilai Z0 berkisar antara
10 dan 100 cm.
Siklon tropis dikenal dengan nama berbeda bergantung pada
lokasi kejadiannya. Di Atlantik dan Pasifik bagian timur siklon tropis diberi
nama "hurricanes", sebuah nama yang berasal dari suku pribumi kuno di
Amerika Tengah yang dikenal sebagai Tainos. Untuk suku Tainos,
"Huracan" adalah "Dewa Kejahatan" dan dari sinilah Hurricane diterima

Meteorologi Indonesia Volume 1


151
sebagai nama siklon tropis. Di Pasifik bagian barat siklon tropis dikenal
sebagai typhoons", di Filipina disebut "baguio" sebuah nama yang
berasal dari kota Baguio di mana curah hujan dalam periode 24 jam
bulan Juli 1911 mencapai 1168 mm. Penamaan hurricanes di Atlantik
dan typhoons di Pasifik hingga tahun 1978 memakai nama-nama
wanita. tetapi adanya pengaduan tentang prasangka diskriminasi
jender maka nama laki-laki sekarang biasa juga dipakai.
Untuk mengenal Hurricane sejak tahun 1973 dipakai nama-
nama gadis. Hal ini tidak ada referensi dimaksudkan terhadap orang
hidup atau yang sudah mati. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan
menggunakan nama-nama gadis dapat membantu di dalam komunikasi
yang jelas. Dalam tahun 1960 daftar semi permanen dari nama-nama
Hurricane menurut alphabet telah disusun. Pada umumnya nama
Hurricane tidak menggunakan huruf pertama Q. U, X, Y dan Z. Sebagai
contoh daftar nama-nama Hurricane pada tahun 1973 adalah : Anna,
Blanche, Carol, Debbie, Eve, Francelia, Gerda, Holly, Inga, Jenny, Kara,
Martha, Netty, Orva, Peggy, Rhoda, Tanya, Virgy, Wenda.
Siklon tropis menyebabkan berbagai kerusakan dan kerugian.
Kerusakan ini terutama disebabkan oleh angin kencang, gelombang
badai, dan hujan lebat. Kerusakan harta milik yang disebabkan oleh
angin saja bervariasi terutama dengan kualitas bangunan dan
kecepatan angin maksimum.

Siklon tropis muncul pada laut yang panas dengan temperatur


permukaan 26,5 C atau lebih. Dari pola isoterm permukaan laut,
kemudian sel-sel panas dihubungkan satu sama lain sehingga diperoleh
punggung panas (thermal ridge), lihat Gambar 5.17. Peta isoterm dan
punggung panas digambar bersamaan munculnya badai tropis Bruno
dan Errol. Meskipun di laut Banda ada sel temperatur permukaan laut
o
panas (30,5 C), tetapi gaya Coriolis masih terlalu lemah, maka badai
tropis belum muncul pada perairan ini. Sel panas kemudian
berkembang dan makin panas di sekitar laut Timor dan laut Arafuru.

Meteorologi Indonesia Volume 1


152
Gambar 5.17. lsoterm permukaan laut dalam 0,1C

Gambar 5.18. Garis arus udara permukaan pukul 12.00 waktu universal (W.U),
14 Januari 1982.

Di perairan ini muncul depresi tropis tanggal 15 Januari 1982 di


sebelah timur laut Arafuru. Depresi ini kemudian meningkat intensitasnya
menjadi siklon tropis BRUNO pada tanggal 19 Januari 1982. Di

Meteorologi Indonesia Volume 1


153
samudera Indonesia. terdapat sel panas dengan temperatur
o
permukaan laut 30,5 C dimana muncul badai tropis pada tanggal 13
Januari 1982. Badai ini bergerak ke barat dan meningkat intensitasnya
menjadi siklon tropis ERROL pada tanggal 18 Januari 1982.
Gambar 5.18, menunjukkan garis arus udara permukaan
pada tanggal 14 Januari 1982 yaitu periode kejadian badai tropis di
belahan bumi selatan. Pada peta sinoptik ini terlihat adanya dua
putaran garis arus udara searah jarum jam karena gaya Coriolis
membelokkan angin kekiri di belahan bumi selatan. Dua putaran arus
udara ini berhubungan dengan munculnya siklon tropis BRUNO dan
ERROL. Kecepatan angin di pulau-pulau wilayah Indonesia bagian
selatan tercatat sekitar 20 knot atau lebih pada waktu badai tropis.
Beberapa stasiun hujan di wilayah Indonesia bagian selatan
yang dekat dengan lintasan siklon tropis menunjukkan kenaikan curah
hujan dari nilai curah hujan normal yang berkisar dari 123% sampai
355%, lihat tabel 5.2. Selama periode siklon tropis dasarian 2 Januari
1982 tinggi gelombang laut di sebelah selatan ekuator (lintang antara 7o
dan 11oS) tercatat 2 sampai 5 meter.

Tabel 5.2. Jumlah curah hujan di beberapa stasiun terpilih dalam dasarian 2 Januari
1982.

Nama Stasiun Curah hulan Curah hujan normal Porsentase torhadap curah
dasarian 2, Januari satu dasarian, Januari hujan normal, Januari
Bengkulu 125.0 mm 102.2 mm 123%
Tanjung Karang 138.0 mm 89,3 mm 155%
Banyuwangi 128.0 mm 59.7 mm 214%
Sumbawa Boar 303,0 mm 106,7 mm 284%
Arnakai (P. Seram) 123.0 mm 34,7 mm 355%
Manokwarin 290.0 mm 103.7 mm 280%
Jayapura 197,0 mm 113,0 mm 174%

Catatan :
Data curah hujan berasal dari BMG. Jakarta
Dasarian 1: tanggal 1-10. dasarian 2: tanggal 11-20, dasarian 3: tanggal
21-akhir bulan

Meteorologi Indonesia Volume 1


154
5.6. Resume
Sirkulasi atmosfer disebabkan oleh rotasi bumi terhadap
poros semunya dan oleh pemanasan geografis yang tidak merata
pada permukaan bumi bersama atmosfernya. Menurut skala jarak,
gerak atmosfer dapat dibagi menjadi: gerak skala planeter, gerak
skala sinoptik, gerak skala meso, dan gerak skala mikro. Karena sifat
permukaan bumi tidak homogen maka pola skematik sistem angin
terestrial idaman (ideal) mengalami banyak modifikasi dibandingkan
pola angin yang diamati. Sistem angin terestrial ditentukan oleh
sabuk (belt) tekanan planeter yang terdiri dari sabuk tekanan rendah
ekuatorial, sabuk tekanan tinggi subtropis, sabuk tekanan rendah
subpolar dan tekanan tinggi polar.

Harus dipahami bahwa atmosfer adalah sebuah sistem


nonlinier yaitu selalu ada interaksi antara sistem-sistem gerak skala
berbeda, sehingga sistem gerak skala besar secara fisis tidak dapat
dipisahkan dari sistem skala yang lebih kecil. Model pertama sirkulasi
atmosfer global dikemukakan oleh Hadley pada tahun 1735 yang
terdiri satu sel yaitu udara naik di daerah ekuatorial dan turun di
daerah polar. Sirkulasi Hadley adalah sirkulasi meridional termal
langsung. Kemudian Maury (1855) mengemukakan sirkulasi
atmosfer meridional yang terdiri atas dua sel, satu sel pada daerah
antara ekuator dan sekitar lintang kuda (30 U dan 30 S) yang
disebut sel Hadley dan satu sel tak langsung (indirect cell) pada
lintang tinggi. Sirkulasi atmosfer meridional yang diusulkan Ferrel
(1856) mirip dengan teori Maury (1855), tetapi terdiri atas 3 sel
sirkulasi yaitu sel Hadley, sel Ferrel, dan sel polar.

Angin monsun disebabkan oleh sifat fisis antara osean dan


kontinen. Osean lambat panas ketika ada radiasi matahari dan lambat
dingin ketika tidak ada radiasi matahari dibandingkan kontinen.
Akibatnya osean lebih dingin/panas dalam musim panas/dingin
dibandingkan kontinen. Pergantian dari musim dingin ke musim panas
atau sebaliknya dapat membalikkan arah gaya gradien tekanan dan
arah angin monsun. Untuk menentukan daerah monsun dan non

Meteorologi Indonesia Volume 1


155
monsun dihitung indeks monsun yaitu jumlah frekuensi arah angin
utama rerata (%) dalam bulan Januari dan Juli dibagi dua. Daerah
monsun, jika indeks monsun > 40% dan non monsun jika indeks
monsun <40%. Wilayah Indonesia sebagian besar adalah daerah
monsun.
Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal sepanjang ekuator
yang ditandai oleh kenaikan udara di Pasifik bagian barat dan bagian
timur. Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi
temperatur permukaan laut (TPL). Episode panas samudera Pasifik
Tengah disebut tahun El Nino, dan episode dingin disebut tahun La
Nina. Peristiwa El Nino ditandai oleh indeks osilasi selatan (IOS)
negatif. IOS menyatakan beda tekanan atmosfer di atas Tahiti dan di
atas Darwin. El Nino menyatakan parameter laut, sedangkan IOS
adalah parameter atmosfer. Peristiwa kopel laut atmosfer disebut
ENSO (El NinoSouthern Oscillation). ENSO menyebabkan
defisiensi curah hujan dan kemarau panjang, sehingga musim tanam
padi di Indonesia mengalami penundaan.
Bumi Indonesia merupakan campuran darat, laut dan
pegunungan sehingga angin lokal juga dominan misalnya angin
darat dan laut, angin gunung dan lembah, dan angin Fhn. Angin
semacam Fhn dapat terjadi di Indonesia, misalnya di Jawa angin
Fhn terjadi pada musim kemarau atau musim monsun tenggara.
Monsun tenggara setelah melewati pegunungan di Jawa yang
membujur dari barat ke timur kemudian turun di bagian utara dengan
sifat kering dan panas, disebut angin Kumbang di daerah Brebes,
dan angin Gending di daerah Probolinggo.

Sebagian besar (65%) siklon tropis terbentuk pada daerah


lintang tempat antara 10 dan 20 dari ekuator. Siklon tropis tidak
muncul pada daerah lintang sekitar 5 dari ekuator, karena gaya
Coriolis tidak cukup menghasilkan vortisitas relatif untuk pertumbuhan
badai tropis. Siklon tropis juga sedikit sekali (sekitar 13%) terbentuk
pada daerah lintang tempat di atas 22 U.

Meteorologi Indonesia Volume 1


156
Vortisitas relatif:

dengan disebut efek kelengkungan,

disebut efek geser angin, v adalah kecepatan angin dan r adalah


jejari siklon. Vortisitas bumi dengan kecepatan sudut rotasi , pada
lintang tempat sama dengan parameter Coriolis f = 2 sin .
Meskipun wilayah Indonesia pada umumnya tidak terletak pada jalur
siklon tropis, tetapi pada tahap awal munculnya siklon tropis yaitu
pada tahap depresi sampai badai tropis dapat terjadi di perairan
Indonesia. Beberapa tempat di wilayah Indonesia yang dekat
dengan jalur siklon tropis menunjukkan kenaikan jumlah hujan di
atas normal, dan kenaikan tinggi gelombang laut akibat kenaikan
kecepatan angin.

Meteorologi Indonesia Volume 1


157
Daftar Pustaka

Anthes, R.A., 1982. Tropicalcyclones. Their evolution, structure and


effects, Meteorological Monograph. Vol. 19,
No. 41, American Meteo. Soc.
Australian Government, 1993. IPS radio and space service, User
Training Manual, Australia.
Battan, L. J., 1973. Radar observation of the atmosfer, the Univ. of
Chicago.
Bayong Tjasyono H. K., 1987. Iklim dan Lingkungan, Penerbit
PT Cendekia Jaya Utama, Bandung..

Bayong Tjasyono H. K., 1992. Klimatologi Terapan, Penerbit Pionir Jaya,


Bandung.

Bayong Tjasyono H. K., 1992. Studi ENSO dan Pengaruhnya Terhadap


Musim di Kontinen Maritim Indonesia, Lap. Riset
No. 11960492, OPF ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono H. K., 1998. Klimatologi Umum, Penerbit ITB, Bandung.

Bayong Tjasyono H. K., and Djakawinata S., 1999. The Influence of


meteorological factors on tropospheric refractive
index over Indonesia, J. Matematika dan Sains,
Vol. 4, No. 1.
Bayong Tjasyono H. K., 2003. Geosains, Penerbit ITB, Bandung.

Bayong Tjasyono H. K., 2004. Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung.


Braak, C., 1929. The climate of the Netherlands Indies, Volumes I and
II, Verhandelingen No. 8, KMMO to Batavia.

Dewan Hankamnas, 1996. Benua Maritim Indonesia, BPPT, ISBN 979-


95038-1, Jakarta.

Meteorologi Indonesia Volume 1


159
Donn, WI. L., 1975. Meteorology, Mc Graw Hill Book Company,
New York.

Erich J. Plate, 1982. Engineering Meteorology, Elsevier Scientific


Publishing Company, Amsterdam.

Graedel, T. E., and P. J. Crutzen, 1993. Atmospheric Change,


W. H. Freeman and Company, New York.

Hashiguchi, H., S. Fukao, M. D. Yamanaka, S. W. B. Harijono and H.


Wirjosumarto, 1996. An overview of the Planetary
Boundary Layer Observation over Equatorial
Indonesia with L. Band Clear Air Doppler Radar,
Beitr. Phys. Atmosph., 69 : 13 25.

Houghton, H. G., 1985. Physical Meteorology, MIT Press,


Cambridge.

Irving Sax, N., 1974. Industrial Pollution, Van Nonstrand Reinhold


Company, New York.

Mason, B. J., 1971. The Physics of Clouds, Clarendon Press, Oxford.

Mc Gregor, G. R. and Simon Nieuwolt, 1998. The Climates of the Low


Latitudes, John Wiley & Sons, New York.

Neiburger, M., J. G. Edinger, and W. D. Bonner, 1980. Understanding


our atmospheric environment, W. H. Freeman and
Company, New York.

Pasquill, F., 1961. The estimation of dispersion of windborn material,


Meteorological Magazine-Vol. 90..

Ramage, C. S., 1971. Monsoon Meteorology, Academic Press,


New York.

Roger, R. R., and M. K. Yau, 1989. A Short Course in Cloud Physics,


Pergamon Press, Oxford.

Meteorologi Indonesia Volume 1


160
Schmidt, F. H., and J. H. A. Ferguson, 1952. Rainfall types based on
wet and dry period ratios for Indonesia with
Western New Guinea, Verhandelingen No. 42,
KMMO to Batavia.

Sellers, W. D., 1972. Physical Climatology, The University of Chicago


Press.

Showalter, A. K., 1953. A Stability indeks for thunderstorm forecasting,


Bul. Americ. Meteor. Soc., Vol. 34, No. 6.

Skolnik, M. I., 1962. Introduction to radar systems, Mc Graw Hill,


New York.

Susilo P., dan Bayong Tjasyono HK., 1981. Aplikasi data radiosonde
untuk analisis ketidakstabilan lapisan udara di
atas Jakarta, Lap. Riset No. 5142381, DIP - ITB,
Bandung.

Tatom, F. B., and S. J. Vitton, 2001. The transfer of energi from a


tornado into the ground, Seismological Society of
America.

Trenberth, K. E., 1996. El Nino Definition, Workshop on El Nino,


Southern Oscillation and Monsoon, ICTP, Trieste,
Italy.

Wallace, J. M., and P. V. Hobbs, 1977. Atmospheric Science, Academic


Press, New York.

Wyatt, R. A., 1963. The sea breeze at Hobart, Australia, Workshop,


Bul. Meteorology.

Meteorologi Indonesia Volume 1


161
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar lstilah
Lampiran 2. Padanan Metrik - Inggris
Lampiran 3. Konstanta
Lampiran 4. Sistem Satuan
Lampiran 5. Radius dan Nisbah Jenuh Kritis
Lampiran 6. Daftar Simbol

Meteorologi Indonesia Volume 1


163
Lampiran 1
Daftar Istilah
abroholos Hujan badai bengis di pantai Brazil yang terjadi terutama
antara Mei dan Agustus.
adiabatik Proses adiabatik adalah proses di mana panas tidak
masuk atau meninggalkan sistem.
adiabat jenuh Garis pada diagram yang menyatakan susut
temperatur adiabatik jenuh.
adiabat kering Garis pada diagram aerologi yang menyatakan susut
temperatur adiabatik kering.
aeronomi Istilah yang menunjukkan cabang fisika atmosfer yang
mengkaji daerah atmosfer di atas 50 km di mana terjadi
proses disosiasi dan ionisasi.
aerosol atmosfer Partikel padat atau cair sangat kecil yang
mengapung di atmosfer.
agregasi (penggabungan) Proses pertumbuhan keping-keping saiju
oleh tumbukan dan pelekatan (adherence).
agrometeorologi Studi saintifik tentang cuaca dan iklim dalam
hubungannya dengan pertanian.
akresi es Formasi lapisan es pada benda di bumi atau pada
pesawat udara dalam penerbangan.
akresi (pertambahan) Dalam meteorologi, biasanya menyatakan
pertumbuhan partikel es oleh tumbukan dan tangkapan
dengan tetes-tetes air. Istilah ini juga dapat dipakai untuk
pertumbuhan tetes air atau partikel es oleh tumbukan dan
tangkapan.
alti - elektrograf Alat pada baton untuk memperoleh rekaman
komponen vertikal medan listrik di dalam badai guruh.

Meteorologi Indonesia Volume 1


165
anemometer Alat untuk mengukur kecepatan angin.
anemovane Alat untuk mengukur kecepatan dan arah angin.
angin ageostrofik Beda vektor antara angin aktual dan angin geostrofik,
disebut juga simpangan geostrofik.
angin Fohn Angin ini sering ditemukan pada lereng utara pegunungan
Alpen. Angin Fohn adalah angin yang turun dari
pegunungan bersifat panas dan kering. Angin semacam
Fohn ditemukan juga di Indonesia, misalnya angin
Kumbang di daerah Cirebon / Tegal dan lain-lain.
angin laut Angin yang bertiup ke arah darat akibat pemanasan yang
tidak sama antara massa tanah dan air, kebalikannya
disebut angin darat.
angin pasat Sistem angin di daerah tropis yang berhembus dari
tekanan tinggi subtropis kearah palung ekuatorial. Angin
adalah timurlautan di BBU dan tenggaraan di BBS.
angin planeter Sistem angin skala luas, relatif konstan yaitu angin
pasat timur laut dan tenggara di tropis, angin baratan di
subtropis dan angin timuran di daerah kutub.
angin puyuh atau setan debu Angin pusaran (whirlwind) di mana
debu dan pasir dibawa ke atas dari permukaan tanah oleh
konveksi sangat kuat dari daerah terik berpasir atau
beraspal.
angin ribut mendadak (squall) Angin kuat yang meningkat secara
tiba-tiba, biasanya berakhir beberapa menit dan melemah
secara tiba-tiba juga, dibedakan dengan angin ribut (gust)
yang mempunyai durasi lebih panjang.
angin tenang Pada skala Beaufort, angin tenang dinyatakan dengan
skala 0 dan mempunyai kecepatan kurang dari 1 knot
(0,5 ms-1).
angin zonal Angin barat timur. Angin timur barat diperhitungkan
sebagai angin zonal negatif.

Meteorologi Indonesia Volume 1


166
atmosfer Berasal dari dua kata Yunani, yaitu atmos berarti uap dan
sphaira berarti bulatan. Atmosfer adalah lapisan gas yang
menyelubungi bumi.
atmosfer bebas Atmosfer di atas lapisan batas yang mengabaikan
pengaruh gesekan permukaan dan fluks panas pada
gerak udara.
awan Kumpulan butiran air, kristal es, atau campuran keduanya
yang sangat kecil dengan dasarnya di atas permukaan
bumi. Batas diameter partikel cair sekitar 200 m, tetes
yang lebih besar dari 200 m disebut gerimis atau hujan.
awan kristal es Awan yang tersusun hampir seluruhnya kristal-kristal
es, misalnya awan cirrus, cirrocumulus, dan cirrostratus.
badai Istilah yang biasanya dipakai untuk fenomena atmosfer
bengis seperti badai guruh, badai hujan, badai debu, dan
badai salju.
badai guruh Satu atau lebih luah listrik tiba-tiba diwujudkan dalam
cahaya kilat disertai dengan guruh.
baguio Nama lokal siklon tropis yang menghantam Filipina,
terjadi dari Juli sampai November.
barat Angin kencang (squall) barat lautan pada pantai utara
Sulawesi yang sering terjadi dari Desember sampai
Februari.
belalai air (waterspout) Tornado yang terjadi di laut.
curah hujanProduk kondensasi cair total dari atmosfer yang diukur
dalam penakar hujan.
daerah ekuatorial Daerah yang dibatasi oleh lintang 10 U dan 10 S.
Daerah ini selalu mendapat surplus energi panas tidak
bergantung pada musim. Curah hujan ekuatorial selalu
maksimum dibandingkan daerah-daerah lintang yang
lebih tinggi. Benua maritim Indonesia termasuk di daerah
ekuatorial.

Meteorologi Indonesia Volume 1


167
daerah melempem (doldrums) Istilah pelayaran (nautical term) yang
menggambarkan area angin Iemah dan variabel di sekitar
ekuator; suatu area dengan tekanan atmosferik rendah.
daerah tropis Daerah yang dibatasi oleh tropis Cancer (23,5 U) dan
tropis Capricorn (23,5 S) atau daerah yang dibatasi oleh
lintang kuda (horse latitudes) 30 U dan 30 S.
daur hidrologi Daur gabungan pertukaran air, termasuk perubahan
fasa, dengan transport vertikal dan horizontal, tentang
pertukaran air di antara bumi, atmosfer, dan osean.
dekad, dasarian Periode 10 hari berturut-turut. Di Indonesia dekad
1: tanggal 1-10, dekad 2: tanggal 11-20, dan dekad 3:
tanggal 21- akhir bulan.
diabatik Proses termodinamika diabatik di mana panas masuk
atau meninggalkan sistem, misalnya evaporasi dan
kondensasi.
diagram adiabatik Alternatif untuk diagram aerologi atau diagram
termodinamika.
efek Coriolis Sebuah gaya semu akibat rotasi bumi yang bekerja
pada partikel yang bergerak. Gaya Coriolis membelokkan
angin ke kanan di belahan bumi utara dan ke kiri di
belahan bumi selatan. Besarnya gaya Coriolis = 2 sin
.V, dimana adalah kecepatan sudut rotasi bumi,
adalah lintang tempat, dan V adalah kecepatan angin.
efek rumah kaca Hasil penetrasi radiasi matahari gelombang pendek
yang sebagian besar diserap permukaan bumi,
sedangkan radiasi bumi gelombang panjang yang
diemisikan akan diserap oleh uap air, karbon dioksida
untuk pemanasan atmosfer.
efisiensi koalisensi Fraksi jumlah tumbukan antara tetes air yang
menghasilkan tetes yang lebih besar.

Meteorologi Indonesia Volume 1


168
efisiensi kolisi Fraksi jumlah total tetes-tetes air (awan atau hujan) yang
terletak dalam sapuan volume geometrik yang
menyimpang tidak tertumbuk dengan yang tertumbuk oleh
tetes besar.

ekinoks Kedudukan matahari tepat di ekuator. Tempat-tempat di


bumi mempunyai lama siang sama dengan lama malam.
Ekinoks musim semi terjadi pada tanggal 21 Maret dan
ekinoks musim gugur terjadi pada tanggal 23 September.

eksosfer Puncak atmosfer bumi di mana atom-atom dapat


menghilang (escape) ke luar angkasa. Daerah di atas 500
km yang ditandai oleh transisi pelan-pelan dari atmosfer
bumi ke gas antar planet.
ekstingsi atmosferik Penurunan intensitas cahaya ketika melalui
atmosfer.
elektrisitas atmosfer Berbagai fenomena listrik yang terjadi secara
alamiah dalam atmosfer bawah. Badai guruh merupakan
manifestasi elektrisitas atmosfer.

El Nino Fasa panas samudera Pasifik ekuatorial bagian tengah


dan timur.
evaporimeter Alat untuk mengukur besarnya penguapan.

fisika awan Studi proses fisis pembentukan termasuk elektrifikasi


partikel awan.

fohn Angin kering panas yang terjadi pada lereng di bawah angin
pegunungan. Nama fohn berasal dari pegunungan Alpen,
tetapi sekarang dipakai secara umum, misalnya fohn di
daerah Cirebon disebut angin kumbang, dll.
fotosintesis Pembuatan zat makanan karbohidrat dari karbondioksida
dan air dalam khlorofil dengan menggunakan energi
cahaya, dan melepaskan oksigen.

Meteorologi Indonesia Volume 1


169
geofisika Dalam arti luas adalah studi tentang proses-proses fisis
dari pusat bumi sampai atmosfer atas, dan dalam arti
sempit disebut geofisika padat (solid earth geophysics)
yaitu studi tentang proses-proses fisis dalam bumi padat
atau litosfer. Sesungguhnya geofisika berarti fisika bumi
(physics of the earth) sebagai cabang fisika eksperimental.

geografi Adalah studi yang mendeskripsikan permukaan bumi


seperti roman (ciri-ciri) fisis, iklim, vegetasi, tanah,
penduduk, dan distribusi unsur-unsur tersebut.
guruh Suara yang menyertai cahaya kilat, disebabkan oleh
pemanasan dan ekspansi udara sepanjang lintasan kilat.

hari berawan Hari ketika perawanan rerata pada jam-jam observasi


lebih dari enam okta (perdelapanan).

hari guruh Hari ketika terdengar guruh pada lokasi tertentu.


hidrosfer Bagian bumi yang dicakup oleh air.
higrometer Alat untuk mengukur kelembapan udara.

hujan Presipitasi cair dalam bentuk tetes-tetes air dengan


diameter lebih dari 500 m (batas ukuran tetes gerimis).

hujan asam Deposisi basah senyawa sulfur dan nitrogen. Prosesnya


dapat melalui tetes hujan (rainout) di mana senyawa
sulfur dan nitrogen bertindak sebagai inti kondensasi
yang larut dalam tetes awan atau melalui penghanyutan
(washout) di mana aerosol-aerosol disapu oleh air hujan
yang jatuh dari awan.
hurricane Badai siklonik, biasanya berasal dari tropis, yang
mencakup area yang luas dan mempunyai kecepatan
angin 120 km/jam atau lebih. Nama yang berasal dari
bahasa Spanyol atau Portugal, dipakai dalam siklon tropis
yang terjadi di daerah Samudera Hindia barat, Teluk

Meteorologi Indonesia Volume 1


170
Meksiko dan pantai Queensland. Pada dasamya
mempunyai tipe yang sama seperti taifun di Pasifik barat
dan siklon di teluk Benggala.
iklim lklim suatu tempat adalah sintesis nilai dari hari ke hari
unsur cuaca yang mempengaruhi tempat. Sintesis di sini
tidak berarti sekedar rerata sederhana, tetapi juga mencari
nilai-nilai ekstrim, frekuensi tipe cuaca yang berkaitan
dengan nilai unsur-unsur cuaca. Data iklim biasanya
dinyatakan dalam bulanan atau musiman dan ditentukan
dalam periode cukup panjang (biasanya 30 tahun) untuk
menjamin nilai-nilai representatif bulanan atau musiman.
iklim arid Suatu iklim yang curah hujannya tidak cukup untuk
mendukung tanaman.
indeks refraksi Indeks refraksi n sebuah medium adalah tingkat
refraksi gelombang energi yang lewat melalui medium.
Indeks refraksi adalah perbandingan kecepatan
gelombang elektromagnetik dalam vakum c dengan
kecepatannya dalam medium v, yaitu n = c/v, tidak
berdimensi.
indeks Showalter Indeks labilitas diturunkan dengan menganggap
kenaikan parsel udara adiabatik yang berasal dari 850
mb ke paras 500 mb kemudian temperatur T' yang
diperoleh dikurangkan pada temperatur lingkungan
paras 500 mb yang diukur dari radiosonde T.
insolasi Berasal dari insolation (incoming solar radiation) artinya
radiasi matahari (langsung) yang diterima bumi.
inversi temperatur Kenaikan temperatur dengan ketinggian,
kebalikan susut temperatur
ionisasi Proses dimana elektron-elektron yang bermuatan negatif
terkelupas dari atom atau molekul netral untuk membentuk
ion-ion bermuatan positif dan elektron-elektron bebas.

Meteorologi Indonesia Volume 1


171
ionosfer Lapisan atmosfer bumi yang tebalnya sekitar 60 sampai
700 km di atas permukaan, terdiri terutama dari oksigen
dan nitrogen terionisasi, dan bertindak sebagai reflektor
signal-signal komunikasi bumi. Daerah atmosfer dimana
gas terionisasi oleh radiasi ultraviolet ekstrim (UVE).
Lapisan ionosfer dibagi menjadi lapisan D, E, F1, dan F2.
isoterm Garis yang menghubungkan titik-titik dengan temperatur
sama.
jendela atmosfer lstilah yang dipakai pada daerah spektrum radiasi
uap air 8,5 sampai 11 m. Radiasi bumi pada jangka
panjang gelombang ini sedikit diserap oleh uap air dan
dalam kondisi tidak ada awan, radiasi panjang gelombang
8,5 - 11 m keluar ke atmosfer luar bumi.
kabas (smog) Singkatan dari kabut dan asap (smoke and fog) adalah
kabut tebal yang sering dijumpai di kawasan industri yang
lembap.
kabut adveksi Kabut yang terbentuk oleh udara relatif panas, lembap
dan stabil lewat di atas permukaan dingin.
keping salju Pengumpulan kristal es yang terjadi pada berbagai
bentuk.
keseimbangan hidrologi Anggaran hidrologis yaitu hubungan antara
evaporasi E, presipitasi P, limpasan Q, drainase bawah
permukaan D, dan perubahan simpanan air S untuk area
dan periode waktu tertentu dan dinyatakan oleh
persamaan :
P = E + 0 + D + S
S dapat bernilai positif atau negatif
kilat Luah (pelucutan) listrik yang tampak atau cahaya kilat,
dikaitkan dengan badai guruh.
klimatologi Adalah studi tentang hasil proses fisis atmosfer atau studi
tentang iklim bumi.

Meteorologi Indonesia Volume 1


172
kondensasi Proses pembentukan air cair dari uap air.
konstanta matahari Jumlah energi radiatif matahari yang jatuh
2
(datang) tegak lurus pada bidang 1 cm di puncak
atmosfer bumi per sekon pada jarak rata-rata 150 juta km,
6 -2 -1 -2
nilainya adalah 1,37 x 10 erg cm s atau 2,0 kal cm
menit-1 atau 2,0 ly menit-1.
konveksi Alih panas yang dibawa oleh molekul-molekul di dalam
fluida. Proses konveksi sering beroperasi dalam atmosfer
yang sangat penting dalam pertukaran panas vertikal dan
sifat massa udara lain (uap air, momentum, dan lain-lain)
melalui troposfer.
kriosfer Bagian permukaan bumi yang tertutup oleh salju atau es,
misalnya G. Jaya Wijaya di Papua.
kristal es Kristal-kristal es di atmosfer yang terbentuk pada inti es
dengan temperatur di bawah titik beku.
la Nina Fasa dingin samudera Pasifik ekuatorial bagian tengah
dan timur, kebalikan El Nino.
-2
langley Satuan energi per satuan luas, 1 langley = 1 kal . cm .
litosfer Bagian padat bumi termasuk kerak bumi.
meteorologi Adalah studi tentang proses fisis atmosfer dan gejala
cuaca.
meteorologi terapan Aplikasi meteorologi dalam berbagai aktivitas,
seperti industri, lalu lintas, hidrologi, dan pertanian.
milibar Seperseribu bar, 1 mb = 100 Pa = 1 hPa = 102 Nm-2.
monsun Nama angin musiman berasal dari bahasa Arab "mausim"
yang artinya season atau musim.
musim Periode dengan unsur iklim mencolok, misalnya musim
panas ditandai oleh temperatur yang tinggi, musim hujan
ditandai oleh jumlah curah hujan berlimpah.

Meteorologi Indonesia Volume 1


173
oseanografi Adalah studi tentang osean (laut), termasuk sifat air,
arus, temperatur, kedalaman, dasar laut, tanaman (flora),
dan hewan (fauna) laut, dan sebagainya.
ozonosfer, lapisan ozon Lapisan atmosfer yang mempunyai
konsentrasi ozon terbesar.
palung ekuatorial Palung dangkal tekanan rendah, biasanya terletak
dekat ekuator, ditandai oleh zona konvergensi udara yang
bergerak ke arah ekuator dari tekanan tinggi (antisiklon)
subtropis belahan bumi utara dan selatan.
panas (heat) Bentuk energi biasanya diukur dalam kalori atau joule,
dimensinya ML2T-2.
panas laten Panas yang dilepaskan atau diserap per satuan massa
oleh sistem yang mengalami perubahan fasa (wujud)
pada temperatur dan tekanan konstan.
panas spesifik Besaran panas yang diperlukan untuk menaikkan
temperatur 1 gram zat sebesar 1 C. Satuannya adalah
kalori per gram per C.
panjang gelombang Jarak horizontal punggung-punggung atau
lembah-lembah gelombang berturutan, diukur tegak lurus
terhadap punggung atau lembah.
paras kondensasi Paras (geometrik atau tekanan) dimana kondensasi
terjadi dalam atmosfer.
paras laut rata-rata Tinggi permukaan laut rata-rata dengan
memasukkan tingkat air pasang dalam periode 19 tahun.
pengintian, nukleasi Inisiasi perubahan fasa dari uap air menjadi air
cair atau dari air cair menjadi es.
pentad, 5-hari Periode 5 hari berturut-turut. Pentad sering dipakai
dalam meteorologi dibandingkan dekad, karena setahun
habis dibagi 5 hari = 73 kecuali tahun kabisat kelebihan
1 hari, lihat juga dekad.

Meteorologi Indonesia Volume 1


174
perawanan (cloudiness) Jumlah awan yang menutupi langit. Dalam
berita sinop, perawanan diberi simbol N, dinyatakan dalam
perdelapanan. N = 4 artinya separo langit tertutup awan, N
= 0 artinya langit cerah, dan N = 8 artinya langit mendung.
persamaan gas Gas idaman (perfect gas) yang memenuhi persamaan
keadaan :
= RT, dengan p tekanan, volume spesifik, densitas
gas, T temperatur dan R konstanta gas spesifik.
persamaan hidrostatik Dalam atmosfer diam terhadap bumi, variasi
tekanan dengan tinggi geometrik z diberikan oleh
persamaan :
p
g , dengan : densitas atmosfer
z
dan dalam tinggi geopotensial Z oleh persamaan:
p
9,80665
z
presipitasi Dipakai dalam meteorologi untuk menunjukkan endapan
dalam bentuk cair atau padat yang berasal dari atmosfer.
pulau panas kota Isoterm panas yang tertutup di pusat keramaian
(aktivitas) penduduk kota.
radiasi benda hitam Radiasi yang diemisikan oleh benda hitam.
Intensitas radiasi benda hitam hanya bergantung pada
temperatur benda hitam.
radiasi global Jumlah radiasi matahari Iangsung dan difus yang
diterima oleh permukaan (biasanya horizontal).
radiasi langit Alternatif untuk radiasi difus.
refraksi Perubahan arah gelombang energi (gelombang
cahaya,suara atau radio) ketika melewati medium (zat
perantara) dengan densitas yang berubah atau melalui
batas yang memisahkan media dengan densitas berbeda.

Meteorologi Indonesia Volume 1


175
satu atmosfer Sebuah satuan ukuran tekanan atmosfer yaitu tekanan
gas pada permukaan bumi yang disebabkan oleh
tumpukan seluruh atmosfer diatasnya.
-5
1 atm = 76 cm Hg = 1,013 x 10 Pa = 1.013 mb,
1 mb = 1 hPa = 100 Pa.
sel Hadley Sistem semi tertutup gerak vertikal atmosfer bumi. Udara
panas, lembap, naik di daerah ekuatorial, bergerak ke dan
turun pada lintang tengah (30U, 30S), kemudian kembali
ke zona ekuatorial sebagai angin pasat. Sirkulasi termal
sederhana yang pertama kali dikemukakan oleh George
Hadley dalam abad ke 18 yang dapat menjelaskan angin
pasat (trade winds) pada troposfer antara lintang 0 dan 30.
sikion tropis Siklon yang terjadi pada lintang-lintang tropis.
sirkulasi Hadley Sering disebut sirkulasi angin pasat yaitu sirkulasi
meridional di daerah tropis.
sirkulasi Walker Sirkulasi udara zonal, arah barat timur, di daerah
ekuatorial.
solstis Kedudukan matahari terjauh dari ekuator yaitu pada tropic
of Cancer (23,5 U) dan tropic of Capricorn (23,5 S).
solstis musim panas BBU Terjadi pada tanggal 22 Juni, kedudukan
matahari pada 23,5 U.
solstis musim dingin BBU Terjadi pada tanggal 22 Desember,
kedudukan matahari pada 23,5 S. Kebalikannya terjadi
untuk belahan bumi selatan (BBS).
stasiun agromet Stasiun yang pengukurannya dikaitkan dengan
agrometeorologi.
stasiun curah hujan Stasiun yang hanya mengukur curah hujan. Di
Indonesia jumlahnya mencapai ribuan tetapi di antaranya
banyak yang tidak aktif, perlu perbaikan atau
pemasangan penakar hujan baru.

Meteorologi Indonesia Volume 1


176
stratosfer Lapisan atmosfer bumi di atas troposfer.
sublimasi/deposisi Transisi fasa padat suatu zat ke fasa gas dan
sebaliknya tanpa melalui fasa cair, misalnya es berubah
menjadi uap air (sublimasi) atau uap air menjadi es
(deposisi).

susut temperatur (lapse rate) Penurunan temperatur dengan


ketinggian.

susut temperatur superadiabatik Susut temperatur yang lebih besar


dari susut temperatur adiabatik kering (1 C/100 m).

taifun Nama Cina dari siklon tropis yang terjadi di Samudera


Pasifik bagian barat.
tangkapan, koalisensi D a l a m m e t e o r o l o g i , d i p a k a i u n t u k
pertumbuhan tetes-tetes air oleh tumbukan (kolisi).
temperatur celsius Temperatur berdasarkan pada skala dimana air
membeku pada 0 dan mendidih pada 100 (pada
tekanan atmosfer baku); disebut juga temperatur berskala
100 (centigrad temperature).
temperatur mutlak Temperatur yang diukur terhadap nol mutlak. Nol
mutlak adalah temperatur -273,15 C yaitu nol pada skala
temperatur kelvin.

termometer Alat yang dipakai untuk mengukur temperatur udara.

teori Bergeron - Findeisen Teori yang menjelaskan inisiasi


(permulaan) presipitasi dari sebuah awan oleh sublimasi
konsentrasi kristal es yang jumlahnya sedikit di antara
butiran air kelewat dingin yang dominan (paling besar
jumlahnya). Teori ini disebut juga teori kristal es.
tinggi skala atmosfer Ketinggian atmosfer di mana tekanan/
densitasnya menjadi e-1x tekanan/densitas permukaan.

Meteorologi Indonesia Volume 1


177
tornado Putaran bengis biasanya siklonik, mempunyai diameter
sekitar 100 m dan arus vertikal kuat pada pusatnya yang
mampu mengangkat benda berat kedalam udara.
tropopause Batas atas troposfer. Di ekuator mencapai sekitar 18 km
tetapi di kutub hanya 6 km.
troposfer Lapisan atmosfer bumi terbawah berdasarkan profil
temperatur vertikal tebalnya di kutub sekitar 6 km, tetapi di
atas ekuator sekitar 18 km. Pada troposfer temperatur
turun dengan ketinggian, di Indonesia sekitar 0,65 C per
100 m. Peristiwa cuaca seperti awan dan hujan terjadi
pada lapisan ini.
udara alam Campuran udara kering, uap air dalam ketiga fasanya,
dan aerosol.
udara basah Campuran udara kering dan uap air. Dalam meteorologi
dipakai untuk udara dengan kelembapan relatif tinggi.
udara kering Kumpulan gas-gas atmosfer yang didominasi oleh
nitrogen, oksigen, argon, dan karbon dioksida yang
meliputi hampir 100% volume udara kering.

Meteorologi Indonesia Volume 1


178
Lampiran 2
Padanan Metrik - Inggris

1 centimeter = 0,39 inci 1 inci =2,54cm =25,4 mm

1 meter = 3,28 kaki 1 kaki = 0,305 m = 30,5cm

1 kilometer = 0,62 mil 1 mil = 1,61 km

1 gram = 0,035 ounce 1 ounce = 28,3 gram

1 kilogram = 2,20 pound 1 pound = 0,45 kg

1 millibar = 0,025 inci air raksa 1 inci air raksa = 33,86 mb

1 meter per sekon = 1,94 knot 1 ms1 = 0,515 knot

1 meter per sekon = 2,23 mil per jam 1 mil per jam = 0,447 ms-1

1 metrik ton = 2.204,6 pound

1 C (centigrade) = 1,8 F

Temperatur Celsius = 5/9x (Temperatur Fahrenheit 32)

1 F = 5/9 C

Temperatur Fahrenheit = 9/5 x Temperatur Celsius + 32

Meteorologi Indonesia Volume 1


179
Lampiran 3
Konstanta
1. Konstanta Fisis Dasar
Konstanta gas universal = 8,314 J/mol K
23
Bilangan Avogadro = 6,02 x 10 mold
23
Konstanta Boltzmann = 1,38 x 10 J/K
-34
Konstanta Planck = 6,63x10 J s
-8 -2 -4
Konstanta Stefan - Boltzmann = 5,67 x 10 Wm K
8
Kecepatan cahaya dalam vakum = 2,998 x 10 m/s

2. Bumi
Percepatan gravitasi permukaan = 9,81 m/s2
Jari-jari Bumi rata-rata = 6,37 x 106 m
Kecepatan sudut rotasi Bumi = 7,292 x 10-6 rad/s
Luas permukaan Bumi = 5,1 x 1014 m2
Jarak rata-rata Bumi - Matahari = 1,49 x 108 km
Jarak rata-rata Bumi - Bulan = 8,80 x 106 km
Konstanta Matahari = 2,0 kal/cm2 menit
1400 W/m2
3. Atmosfer
Tekanan atmosfer baku = 1 atm = 101.325 Pa
Massa total udara atmosferik = 5,3 x 1018 kg
Berat molekuler udara atmosfer
rata-rata, sampai ketinggian 100 km = 28,964 g/mol
Konstanta gas untuk udara kering = 287 JK-1 kg-1
Susut temperatur adiabatik kering = 9,76 K/km

Meteorologi Indonesia Volume 1


180
Densitas udara kering pada 0 C dan
1 atm (STP), berubah dengan P dan T = 1,29 kg/m3

4. Berat Molekuler dan Atomik


H : hidrogen = 1,01 g/mol
He : helium = 4,00 g/mol
Ne : neon = 20,18 g/mol
Ar : argon = 39,95 g/mol
C : karbon = 12,01 g/mol
N : nitrogen = 14,00 g/mol
m : oksigen = 16,00 g/mol
S : sulfur = 32,06 g/mol
H2O : air = 18,02 g/mol
NaCI = 58,44 g/mol
CO2 = 44,01 g/mol
SO2 = 64,06 g/mol
H 2S = 34,08 g/mol
NH3 = 17,02 g/mol
Udara kering = 28,96 g/mol

5. Termodinamika
Panas spesifik udara pada tekanan tetap (cp) = 29,1 J/mol K
= 1005 J/kg K
Panas spesifik udara pada volume tetap (cv) = 20,8 J/mol K
= 718 J/kg K
Panas spesifik air (cw) = 76 J/mol K
= 4218 J/kg K
Panas laten peleburan (0 C) = 6,01 x 103J/mol

Meteorologi Indonesia Volume 1


181
4
Panas laten penguapan (0 C) = 4,50 x 10 J/mol
4
Panas laten sublimasi (0 C) = 5,10 x 10 J/mol
Tekanan uap air jenuh pada 0 C = 6,11 mb

6. Air
Berat molekuler air = 18,02 g/mol
Konstanta gas untuk uap air = 461 JK-1 kg.
Densitas air cair pada 0 C = 103 kg/m3
Densitas es pada 0 C = 917 kg/m3
Panas spesifik uap air pada tekanan tetap = 1952 JK-1 kg-1
= 1463 JK-1 kg
-1
Panas spesifik uap air pada volume tetap
Panas spesifik uap air pada 0 C = 4218 JK-1 kg-1
Panas spesifik es pada 0 C = 2106 JK-1 kg-1

Meteorologi Indonesia Volume 1


182
Lampiran 4
Sistem Satuan

Biasanya dipakai sistem satuan internasional SI (System


International d' Unites atau sistem SI) yang didasarkan pada
satuan-satuan dasar panjang dalam meter, massa dalam kilogram dan
waktu dalam sekon, disingkat satuan MKS. Temperatur absolut dalam
kelvin (K), arus listrik dalam ampere (A) dan satuan massa kimia dalam
mole (mol).
Temperatur dalam C didefinisikan oleh : t = T -273,15
dengan t dalam C dan T dalam K
5
Tekanan 1 atmosfer (1 atm) = 1,01325 x 10 Pa
2
dengan 1 pascal (Pa) = 1 N/m , 1 milibar = 100 Pa
Energi 1 calori (cal) = 4,184 J
dengan joule (J) adalah satuan SI
1 elektronvolt = 1,6 x 1019 J, yaitu energi 1 elektron dengan
beda potensial 1 volt. Jika energi dinyatakan dengan satu
mole, maka satu elektronvolt sesuai dengan 96,3 kJ/mol
Sistem SI memakai awalan yang menunjukkan faktor
perkalian. Beberapa nama, simbol dan faktornya adalah :
Faktor Awalan Simbol Faktor Awalan Simbol
.1
10 deci d 10 deca da
10-2 centi c 102 hecto h
10-3 miii m 103 kilo k
10-6 mikro 106 mega M
10-9 nano n 109 giga G
10.12 pico p 1012 tera T
10-15 femto f
10.18 atto a

Meteorologi Indonesia Volume 1


183
Lampiran 5
Radius dan Nisbah Jenuh Kritis
(Penjelasan Persamaan 7.11)

Nilai radius kritis dan nisbah jenuh kritis dapat diperoleh dari
ekspresi pendekatan (persamaan 7,9) sebagai berikut :

(7.9)

Jari-jari kritis (r-*):

Nisbah jenuh kritis (S*)

Meteorologi Indonesia Volume 1


184
Meteorologi Indonesia Volume 1
185
Lampiran 6
Daftar Simbol

Simbol Kejelasan

a absorptivitas radiasi, a =1 untuk benda hitam


a konstanta dalam hukum Wien
A luas penampang
A nomor massa : jumlah proton dan netron dalam inti atom
c kecepatan cahaya dalam ruang bebas (hampa)
cp panas spesifik udara pada tekanan konstan
cpd panas spesifik pada tekanan tetap untuk udara kering
cv panas spesifik udara pada volume konstan
C satuan temperatur Celsius
d.p.l di atas permukaan laut
D koefisien difusi molekuler uap air dalam udara
D drainase bawah permukaan (subsurface)
e tekanan parsial uap air
ei tekanan uap jenuh di atas es
es tekanan uap jenuh di atas air
es(r) tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes sferik dengan jari-jari r
es(~) tekanan uap jenuh di atas air datar
e(r) tekanan uap keseimbangan tetes larutan dengan jari-jari r
E energi foton radiasi elektromagnetik
E energi yang dilepas dalam teori relativitas Einstein
E efisiensi koleksi atau faktor koreksi
E evaporasi (penguapan)
Eb jumlah radiasi yang diemisikan benda hitam
f parameter Coriolis, vortisitas bumi

Meteorologi Indonesia Volume 1


186
Simbol Kejelasan

F fluks radiasi
F satuan temperatur Fahrenheit
F, gaya Coriolis per satuan massa
Fd suku termodinamika yang berkaitan dengan difusi uap air
dalam udara
Fk suku termodinamika yang berkaitan dengan konduksi panas
FP gaya gradien tekanan per satuan massa
Fjan frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Januari
FJuli frekuensi arah angin utama rata-rata dalam bulan Juli
g percepatan gravitas
go percepatan gravitas permukaan bumi rata-rata
h konstanta Planck
h tinggi geopotensial
i bilangan kompleks
i faktor derajat disosiasi ionik
I intensitas radiasi total benda hitam
I indeks monsun
k konstanta Boltzmann
K koefisien konduktivitas termal udara
I lintasan bebas rerata molekuler
L panas laten perubahan fasa
L panas laten penguapan
Lf panas laten peleburan
Ls panas laten sublimasi
m massa yang hilang dalam teori relativitas Einstein
m massa tetes (benda)
ms berat molekuler zat larut

Meteorologi Indonesia Volume 1


187
Simbol Kejelasan

M massa udara basah


M kadar air awan dalam satuan massa per satuan volume
Md massa udara kering
Ms massa zat larut
Mv massa uap air
n indeks refraksi
N refraktivitas radio = (n 1) 106
N perawanan : jumlah langit yang tertutup awan
N jumlah proton dalam inti atom
N frekuensi Brunt Vaisala
N refraktivitas radio
p tekanan atmosfer
pd tekanan udara kering
P presipitasi (endapan)
PKK paras kondensasi konvektif
q kelembapan spesifik
Q limpasan permukaan
r perbandingan campuran
r jari-jari butiran
r reflektivitas radiasi
r0 jari-jari awal tetes (droplet)
rc jari-jari kritis tetes
rs perbandingan campuran jenuh
*
r jari-jari kritis tetes larutan
R jari-jari bumi
R konstanta gas individu untuk udara
R jari-jari tetes (drop)

Meteorologi Indonesia Volume 1


188
Simbol Kejelasan
RH kelembapan relatif (nisbi)
Rd konstanta gas untuk udara kering
Rv konstanta gas untuk uap air
R jari-jari bumi fiktif
S stabilitas statis
S konstanta matahari
S kelewat jenuh
SK suhu konveksi
Si rasio jenuh relatif terhadap es
*
S rasio jenuh kritis
S*-1 kelewat jenuh kritis
t waktu
T temperatur udara, temperatur parsel udara
T temperatur radiatif efektif permukaan matahari
T temperatur udara lingkungan
T temperatur udara harian rerata
T0 temperatur parsel udara pada paras referensi
Tc temperatur kondensasi isentropik
Te temperatur ekivalen
Tv temperatur virtual
T7 pengamatan temperatur udara pada jam 7.00 waktu lokal
T13 pengamatan temperatur udara pada jam 13.00 waktu lokal
T18 pengamatan temperatur udara pada jam 18.00 waktu lokal
Tmaks temperatur udara maksimum
Tmin temperatur udara minimum
u(R) kecepatan jatuh terminal tetes dengan jari-jari R
u kecepatan jatuh terminal butiran dengan jari-jari r

Meteorologi Indonesia Volume 1


189
Simbol Kejelasan

Ux kecepatan gesekan
V volume benda
V kecepatan angin
Vg kecepatan angin geostrofik
w kecepatan vertikal udara keatas (updraft)
z ketinggian atmosfer, tinggi geometrik
percepatan vertikal, gaya apung per satuan massa
ZKI zona konvergensi intertropis
Z0 parameter kekasaran
kesalahan sudut elevasi akibat refraksi atmosfer
volume spesifik, volume per satuan massa
dalam persamaan menyatakan nilai sebanding
susut temperatur udara
susut temperatur udara lingkungan
susut temperatur adiabatik udara tak jenuh
d susut temperatur adiabatik udara kering
s susut temperatur adiabatik udara basah
S simpanan air (storage)
u beda kecepatan jatuh antara keping salju dan kristal es
konstanta = Rd/Rv = 0,623
konstanta dielektrik medium
1,0 permitivitas (kapasitas induktif listrik) medium homogen
dan dalam ruang bebas (hampa)
viskositas kinematik udara
temperatur potensial udara
panjang gelombang

Meteorologi Indonesia Volume 1


190
Simbol Kejelasan

viskositas dinamik udara


perbandingan campuran kondensat dalam parse! udara
perbandingan campuran kondensat dalam udara lingkungan
1, 0 kapasitas induktif magnetik dalam medium homogen dan dalam
ruang bebas (hampa)
frekuensi radiasi elektromagnetik
vortisitas relatif
parameter pertumbuhan
1 parameter pertumbuhan kondensasi normalisasi
densitas udara
densitas udara lingkungan
d densitas udara kering
L densitas tetes
v densitas (massa jenis) uap air
penampang tumbuhan molekul
konstanta Stefan Boltzmann
tegangan permukaan tetes
transmisivitas radiasi
lintang termpat geografis
kecepatan sudut rotasi bumi

Meteorologi Indonesia Volume 1


191
Prof. Dr. Bayong Tjasyono HK., DEA.,
adalah dosen tetap pada Program Sarjana
Meteorologi, Magister dan Doktoral Sains
Kebumian, ITB dan sebagai dosen luar biasa
pada Program Pascasarjana IPA, UPI,
Bandung. Sekarang (2005 2007) menjabat
Ketua Kelompok Keahlian Sains Atmosfer,
ITB. Menyelesaikan studinya di ITB dan
memperoleh Sarjana Muda Geofisika dan
Meteorologi (1970), Sarjana Satu Geofisika
dan Meteorologi (1971) dan Sarjana
Geofisika dan Meteorologi (1972). Diplome d'Etudes Approfondies
(DEA), Meteorologi, diraih dari Universite de Clermont, Prancis pada
tahun (1976 1977) dan Doktor Meteorologi, dari Universitas yang
sama pada tahun (1977 1979). Dalam pengajaran, beliau memberi
kuliah di ITB, UPI Program Sarjana, Magister dan Doktoral dalam
matakuliah Meteorologi, Klimatologi, Geosains, Georiksa (IPBA),
Sains Atmosfer, Meteorologi Monsun, Meteorologi Fisis dan Dinamis,
Modifikasi Cuaca, Mikrofisika Awan dan Hujan, dan Atmosfer
Ekuatorial. Membimbing Skripsi S1, Tesis S2, dan Promotor Disertasi
S3 dibidang Meteorologi dan Sains Atmosfer. Penelitian dalam bidang
Meteorologi dan Sains Atmosfer dibiayai oleh ITB, DPPM P & K,
Bank Dunia, RUT, BMG, LAPAN, BPPT dan lain-lain. Beliau juga
melakukan percobaan dan eksperimen bersama instansi riset lain
seperti :
Peluncuran balon stratosfer di Watukosek, Jawa Timur, LAPAN.
Percobaan Hujan Buatan di Waduk Jatiluhur (Jawa Barat),
Waduk Riam Kanan (Kalimantan Selatan), Gunung Kidul
(Yogyakarta), Soroako (Sulawesi Selatan), BPPT.
Percobaan petir di Ciater, Bandung dan Kebun Teh Gunung Mas,
Bogor, Kerjasama Universitas Jepang dan Indonesia (ITB,
LAPAN, PLN).
Monsoon Experiment, World Meteorological Organization
(WMO).

Meteorologi Indonesia Volume 1


192
Hasil-hasil risetnya didesiminasikan melalui Prosiding seminar
nasional dan internasional, Jurnal Ilmiah, Buku Referensi, Buku Ajar, dan
Laporan Riset. Pengabdian pada masyarakat, misalnya memberi
kursus, Iokakarya dibidang meteorologi untuk media masa, instansi riset
dan lain-lain, seperti BMG, LAPAN, BPPT, Pusat Studi Lingkungan
Hidup, dan instansi lain yang terkait (penyiar radio, Wartawan, Penyiar
TV). Kunjungan Kerja (1996) ke Universitas Kyoto, Universitas Nagoya,
Institut Riset Meteorologi dan Badan Meteorologi Jepang, serta memberi
short course (kuliah singkat) di Universitas Tokyo tentang Iklim Benua
Maritim Indonesia. Pengajar pada International Summer Course,
Kerjasama ITB Universitas Kyoto, 2004.

Meteorologi Indonesia Volume 1


193

Anda mungkin juga menyukai