Anda di halaman 1dari 282

MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN

MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN

BAYONG TJASYONO HK.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA


Bayong Tjasyono

Mikrofisika Awan Dan Hujan / Bayong Tjasyono- Jakarta: Badan Meteorologi


Klimatologi dan Geofisika

xxiv + 257 hlm: 16x21 cm


ISBN: 978-979-1241-02-1
1. Meteorologi 1. Judul

551.6

Penulis : Bayong Tjasyono HK.

Editor & Reviwer : Hadi Widiyatmoko


Ratna Satyaningsih
Welly Fitria

Penerbit : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


Jl. Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720
Telp. (6221) 4246321; Faks. (6221) 4246703

Cetakan I, Tahun 2007


Cetakan II, Tahun 2012

© Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012


Kata Pengantar Penerbit
Cetakan ke-2

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


hanya atas perkenanNya, buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat
diterbitkan kembali untuk cetakan ke-2. Buku ini diterbitkan kembali
atas dasar banyaknya permintaan dari para pengguna, yaitu peneliti,
mahasiswa, dan dari lingkungan BMKG sendiri.
Penerbitan kembali untuk cetakan ke-2 ini dilakukan setelah
proses penyempurnaan yaitu dengan mengkompilasi usulan
perubahan/koreksi dari pengguna dan Reviewer yang secara khusus
ditunjuk untuk memberikan masukan/koreksi baik dari segi penulisan
maupun substansinya. Reviewer untuk buku ini adalah Drs. Hadi
Widiatmoko, M.Si yang dianggap mempunyai kompetensi di bidang
ini. Usulan perubahan tersebut kemudian disampaikan kepada Penulis
untuk mendapat persetujuannya.
Besar harapan kami, buku ini dapat digunakan menjadi acuan
baik untuk pembelajaran maupun penelitian, sehingga dapat
mempunyai andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan, utamanya di
bidang meteorologi.
Kepada Reviewer dan Penulis kami mengucapkan terima kasih,
mudah-mudahan usaha penyempurnaan buku ini bisa berlanjut,
sehingga menjadi buku yang semakin berbobot.
Jakarta, Agustus 2012
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Dr. Masturyono, M.Sc

i
Prakata
Buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat dibaca dan
dimanfaatkan oleh para peneliti di bidang sains atmosfer dan
meteorologi, serta dapat dipakai sebagai buku ajar dalam kuliah-kuliah
program Sarjana, Magister dan Doktoral di bidang Sains Atmosfer,
Fisika Atmosfer, Meteorologi Fisis, Modifikasi Cuaca,
Agrometeorologi, Teknik Lingkungan, dan lain-lain. Konsentrasi buku
ini adalah pada aspek mikrofisis awan terutama yang melibatkan
proses-proses pembentukan tetes awan, kristal es dan tetes hujan. Di
Indonesia, presipitasi dimaksudkan sebagai hujan, karena faktanya
yang diukur adalah tetes-tetes air, meskipun kadang-kadang terjadi batu
es (hail) tetapi segera meleleh sehingga menjadi tetes air ketika diukur
oleh penakar hujan.
Buku Mikrofisika Awan dan Hujan, membahas sejarah
perkembangan mikrofisika awan dan hujan, proses fisis uap air yaitu
perubahan fasa uap yang memainkan peranan penting dalam
mikrofisika awan. Aerosol atmosferik sebagai inti kondensasi awan
sangat penting dalam proses pengintian heterogen. Formasi tetes awan
yaitu pertumbuhan tetes dengan kondensasi. Pertumbuhan tetes awan
melalui benturan–tangkapan menjadi tetes hujan. Pertumbuhan kristal
es dengan difusi dan “akresi”. Modifikasi cuaca, modifikasi awan dan
presipitasi, melenyapkan kabut, menindas batu es hujan dan mereda
siklon tropis.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika melalui Pusat
Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG yang telah
mensponsori dan mendanai penyusunan buku Mikrofisika Awan dan

ii
Hujan sampai selesai. Kepada Prof. Dr. Mezak A. Ratag yang
mengevaluasi naskah buku ini kami mengucapkan terima kasih. Kepada
Bapak Maman Sanukman yang telah membantu pengetikan dan Bapak
Otang yang membuat gambar-gambar naskah buku ini, serta kepada
semua pihak yang mendukung penyelesaian buku ini, kami
mengucapkan terima kasih. Tidak pernah ada waktu yang ideal untuk
menulis buku semacam ini. Karena itu kekurangan-kekurangan harap
dimaklumi dan kritik membangun akan kami terima dengan senang hati.
Akhirnya kami berharap semoga buku Mikrofisika Awan dan Hujan
mencapai sasaran dan bermanfaat bagi pembacanya.

Bandung, 17 Juli 2007


Bayong Tjasyono HK.
Kelompok Keahlian Sains Atmosfer
Institut Teknologi Bandung

iii
Pengantar
Mikrofisika Awan dan Hujan

Mikrofisika awan dan hujan adalah cabang dari disiplin ilmu


meteorologi fisis yang menekankan pada kajian proses-proses fisis
pembentukan partikel awan dan presipitasi (tetes hujan dan kristal es).
Penekanan dari mikrofisika awan dan hujan adalah pada kajian tentang
pembentukan awan dan pertumbuhan presipitasi. Pembentukan tetes
awan dan interaksinya dalam pembentukan partikel presipitasi
dikendalikan oleh proses-proses berskala sangat kecil (ukuran partikel
awan dan presipitasi) yang disebut mikrofisika awan. Meskipun
demikian makrofisika awan yaitu kendali proses berskala besar oleh
gerak atmosfer yang menyebabkan terjadinya awan juga perlu
diketahui. Kemajuan mikrofisika awan dan hujan masih terhambat oleh
pengertian yang miskin tentang interelasi antara fenomena pengintian
(nukleasi) pada skala molekuler dan dinamika sistem awan pada skala
ratusan atau ribuan kilometer.
Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan ilmuwan
atmosfer. Observasi dan fotografi awan merupakan alat yang sangat
bernilai untuk menentukan karakteristik termodinamika dan dinamika
udara yang selanjutnya dipakai dalam peramalan cuaca jangka pendek.
Pentingnya studi awan karena awan adalah fasa yang penting dalam
siklus air di atmosfer. Awan bertindak sebagai pengubah uap air (fasa
gas) menjadi air (fasa cair) yang sangat dibutuhkan manusia, karena
tanpa air manusia dipastikan tidak dapat mempertahankan hidup di
bumi. Manusia dapat bertahan hidup tanpa makan sampai satu bulan,
tanpa air minum hanya sampai satu minggu karena manusia akan mati

iv
jika kehilangan cairan tubuh lebih dari 1%, dan tanpa atmosfer hanya
dapat bertahan hidup beberapa menit saja.
Awan adalah kumpulan butiran air dan kristal es yang sangat
kecil atau campuran keduanya dengan konsentrasi berorde 100 per
centimeter kubik dan mempunyai radius sekitar 10 mikrometer. Awan
terbentuk jika volume udara lembap mengalami pendinginan sampai di
bawah temperatur titik embunnya. Dalam lapisan atmosfer di atas benua
maritim Indonesia, pendinginan sangat sering disebabkan oleh ekspansi
adiabatik udara yang naik melalui konveksi, orografi dan konvergensi.
Jenis awan yang terbentuk disebut awan konvektif, awan orografik dan
awan konvergensi. Pendinginan dapat juga disebabkan oleh proses
radiatif atau percampuran udara yang berbeda temperatur dan
kelembapannya.
Presipitasi (endapan) adalah bentuk air cair (hujan) atau bentuk
air padat (salju) yang jatuh sampai permukaan tanah. Jika sebelum
mencapai permukaan, partikel air atau kristal es menguap, disebut virga
atau stalaktit. Bentuk presipitasi adalah hujan, gerimis, salju, dan batu
es hujan. Hujan adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai di bumi
dan di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah curah
hujan. Presipitasi berasal dari awan dan asal usul awan merupakan studi
khusus. Di atmosfer tidak terjadi pengintian homogen tetapi sebaliknya
terjadi pengintian heterogen, karena atmosfer bebas selalu mengandung
partikel aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA)
atau inti es (IES).
Kondensasi uap air terjadi dalam bentuk tetes air, tetapi jika
temperatur awan di bawah 0 C maka di dalam awan terdapat campuran
kristal es dan tetes awan kelewat dingin sampai temperatur awan
mencapai – 40 C. Di bawah temperatur ini (< -40 C), tetes awan
kelewat dingin spontan membeku menjadi kristal es. Awan dengan
temperatur > – 10 C, pada umumnya berisi tetes-tetes air, disebut
awan panas, sedangkan awan yang sebagian atau seluruhnya

v
mempunyai temperatur < – 10 C berisi campuran tetes air kelewat
dingin dan kristal es, disebut awan dingin atau awan campuran.
Penggolongan ini didasarkan bahwa inti es mulai aktif pada temperatur
sekitar – 10 C. Bagian awan yang mempunyai temperatur di atas 0 C
seluruhnya berisi tetes-tetes air, bagian awan yang mempunyai
temperatur antara 0 C dan – 40 C berisi tetes air kelewat dingin dan
kristal es bagi yang menemukan inti es (IES), dan bagian awan dengan
temperatur di bawah – 40 C berisi seluruhnya kristal es.
Partikel presipitasi (tetes hujan dan kristal es) akan tumbuh jika
populasi awan menjadi tidak stabil. Kelabilan mikrostruktur awan
panas disebabkan oleh perbedaan ukuran tetes awan atau perbedaan
kecepatan jatuh terminal tetes. Sedangkan mikrostruktur awan dingin
tidak stabil akibat beda tekanan uap di atas air kelewat dingin (es) dan
tekanan uap di atas es (ei), dimana es > ei pada temperatur di bawah 0 C
yang sama. Ada dua mekanisme pertumbuhan partikel presipitasi.
Pertama, mekanisme Bowen – Ludlam atau proses kolisi –
koalisensi. Dalam hal ini tetes (drop) membentur dan menangkap
butiran (droplet) awan, jadi tetes awan tumbuh menjadi tetes hujan
(raindrops), sedangkan butiran awan melenyap. Kedua, mekanisme
Bergeron – Findeisen atau proses kristal es. Karena tekanan uap di
atas air kelewat dingin (es) lebih besar dari pada tekanan uap di atas es
(ei), maka tetes air kelewat dingin berdifusi ke kristal es, sehingga kristal
es akan tumbuh dengan mengorbankan tetes air kelewat dingin.
Pertumbuhan butiran awan melalui kondensasi sangat lambat
sehingga tidak dapat menjelaskan terbentuknya tetes hujan. Dari butiran
awan mula-mula yang terbentuk oleh pengintian heterogen melalui inti
kondensasi menjadi ukuran tetes dengan jari-jari 50 m diperlukan
waktu lebih dari 10 jam, sedangkan waktu hidup awan pada umumnya
berkisar dua jam. Dalam awan panas yang mengandung tetes
berukuran heterogen akan menjadi labil akibat beda kecepatan jatuh

vi
terminal di antara tetes-tetes awan. Pertumbuhan awan panas
melibatkan fasa cair melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Tetes yang
mempunyai kecepatan terminal lebih cepat, akan menumbuk dan
menangkap butiran (tetes kecil) yang mempunyai kecepatan terminal
lambat dalam proses koleksi sehingga tetes awan tumbuh menjadi tetes
hujan sedangkan butiran awan akan melenyap.
Jadi pertumbuhan tetes awan panas menjadi hujan adalah
pertumbuhan gabungan, pertama oleh kondensasi melalui difusi
molekul-molekul uap air, kemudian oleh koleksi butiran-butiran awan.
Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu
juta butiran awan melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Pertumbuhan
tetes dalam awan panas bergantung pada ukuran tetes dan butiran awan,
kecepatan jatuh terminal tetes relatif terhadap butiran awan, kadar air
awan, dan efisiensi koleksi yaitu hasil kali efisiensi kolisi dan efisiensi
koalisensi.
Dalam awan dingin yang mengandung campuran tetes awan
kelewat dingin dan kristal es, maka pertumbuhan partikel presipitasi
melalui mekanisme kristal es dengan tiga cara : (i) melalui fasa uap air
yaitu pertumbuhan massa kristal es oleh deposisi uap air seperti
pertumbuhan butiran awan oleh kondensasi, (ii) melalui pembekuan
tetes yaitu pertumbuhan partikel es oleh pembekuan tetes awan kelewat
dingin ketika terjadi tumbukan antara partikel es dan tetes awan,
pertumbuhan dengan cara ini dapat menghasilkan batu es hujan (hail
stone) dengan diameter 1 cm atau lebih, (iii) Melalui penggabungan
yaitu partikel es tumbuh melalui tumbukan dan penggabungan satu
sama lain. Tumbukan terjadi karena ada beda kecepatan jatuh terminal
diantara partikel es dan pelekatan terjadi terutama pada temperatur
kristal es di atas – 5 C ketika permukaan es menjadi sangat lengket.
Curah hujan ekuatorial benua maritim Indonesia sangat
penting, di satu sisi sebagai sumber kehidupan tetapi pada sisi lain

vii
sebagai sumber bencana alam banjir dan kekeringan. Curah hujan
Indonesia juga penting dalam cuaca dan iklim global. Dua pertiga
jumlah curah hujan global terjadi di daerah tropis. Energi panas laten
kondensasi yang dilepaskan ketika uap air berubah fasa menjadi tetes
awan sebagian dipakai sebagai energi sirkulasi atmosfer global. Setiap
gram uap air yang berkondensasi menjadi tetes awan melepaskan
energi panas laten sekitar 2450 joule. Karena itu studi distribusi curah
hujan secara geografis mencerminkan pemahaman distribusi sumber
panas global yang menggerakkan mesin atmosfer global. Di Indonesia,
curah hujan merupakan unsur peubah iklim ekuatorial sebagai indikator
kuantitatif yang sangat penting, misalnya jumlah hujan tahunan,
distribusi hujan musiman dan harian, intensitas hujan dan frekuensi hari
hujan yang menunjukkan variasi spasial dan temporal.
Modifikasi cuaca sudah dilakukan sejak lebih dari 60 tahun
yang lalu, yakni sejak percobaan pembenihan es kering yang dipimpin
oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Kemudian
pada tahun 1947, Vonnegut menemukan AgI yang dapat bertindak
sebagai inti es. Sejarah modifikasi cuaca di Indonesia dimulai sejak
percobaan hujan buatan dilaksanakan untuk mengisi air hujan di Waduk
Jatiluhur pada tahun 1979. Dari jumlah curah hujan tahunan yang
secara rata-rata mencapai di atas 2000 mm, terutama di kawasan
Indonesia bagian barat, maka ketersediaan sumber daya air untuk
pertanian berlimpah. Tetapi mengingat variasi curah hujan temporal dan
spasial sangat besar, maka modifikasi cuaca terutama peningkatan
jumlah curah hujan sangat diperlukan. Dalam irigasi modifikasi cuaca
diperlukan untuk mengisi waduk ketika menjelang atau akhir musim
hujan, sehingga periode pengairan untuk persawahan menjadi lama.
Dalam pertanian, modifikasi cuaca diperlukan untuk memperpanjang
jumlah curah hujan yang dibutuhkan tanaman padi sehingga
meningkatkan jumlah dan hasil panenan.

viii
Modifikasi cuaca berdasarkan pada prinsip-prinsip
mikrofisika awan dan hujan dengan memodifikasi awan secara
buatan atas usaha manusia untuk tujuan peningkatan curah hujan,
menindas batu es hujan (hail stone), melenyapkan kabut atau awan
rendah dan melerai siklon tropis. Modifikasi cuaca di Indonesia
sebaiknya tidak dilakukan pada daerah bertekanan udara tinggi atau
pada lereng di bawah angin, karena pada kedua daerah ini terjadi gerak
turun udara (subsidensi) yang mengalami kompresi (lawan dari
ekspansi) sehingga udara menjadi panas dan awan akan buyar.
Modifikasi cuaca juga tidak dilakukan pada musim kemarau karena
kelembapan kritis garam sebagai inti kondensasi awan tidak tercapai
dan atmosfernya kurang labil. Modifikasi cuaca disarankan pada musim
pancaroba dengan tujuan memperpanjang musim hujan dan
memperpendek musim kemarau. Pada musim pancaroba atmosfernya
masih labil dan kelembapan kritis garam masih dapat tercapai.

ix
Daftar Gambar

Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan. 13


Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur 14
Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong,
(b). Cumulus dempak 15
Gambar 3.1. Uap air dalam keseimbangan dengan permukaan cair 47
Gambar 3.2. Tephigram untuk mencari temperatur titik embun dan
temperatur kondensasi isentropik P. 56
Gambar 3.3. Ekspansi sampel udara lanjutan (Gambar 3.2) di l u a r
titik kondensasi isentropik P. 63
Gambar 3.4. Tephigram yang memuat pseudoadiabat dan garis uap 65
Gambar 4.1. Diagram skematik yang menggambarkan cara tetes
berselaput dan tetes pancaran terbentuk jika gelembung
udara pecah pada permukaan laut. 76
Gambar 4.2. Distribusi jumlah aerosol dalam pengukuran udara
kontinental, udara laut, dan udara kota tercemar. 80
Gambar 4.3. Distribusi permukaan aerosol (a) dan volume aerosol (b),
berdasarkan pengukuran ukuran aerosol di Denver,
Colorado : udara kota tercemar, udara kontinental, dan
udara kontinental dari abu gunung (Wallace, 1977). 83
Gambar 4.4. Ketergantungan konsentrasi inti es (IES) pada 92

x
temperatur
Gambar 5.1a. Foto genus awan : 1. Cirrus, 2. Cirrocumulus, 3.
107
Cirrostratus, 4. Altocumulus, 5. Altostratus, dan 6.
Nimbostratus.
Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus
kabut gunung, 9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus,
108
11. Cumulonimbuskapilatus, 12. Cumulonimbus
presipitasio.
114
Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang
terbentuk pada sebuah inti kondensasi ammonium sulfat.
Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang
dari nilai yang diberikan, untuk 338 sampel dari
117
ketinggian 150 – 2100 m di atas dasar awan dan untuk 86
sampel diambil dalam 300 m dari dasar awan.
119
Gambar 5.4. Variasi frekuensi awan kelewat dingin dan awan yang
mengandung kristal es (Pruppacher and Klet, 1980). 120
Gambar 5.5. Penyajian skematik mikrostruktur awan campuran
132
Gambar 6.1. Pertumbuhan butiran awan dengan kondensasi dalam
lingkungan konstan.
134
Gambar 6.2. Ketergantungan parameter pertumbuhan pada
temperatur dan tekanan. 138
Gambar 6.3. Geometri tumbukan
144
Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan j ari-
jari awal R dan akhir R
0

145
Gambar 6.5. Trajektori Bowen yang dihitung dengan kecepatan arus
udara keatas (Rogers and Yao, 1989)
146
Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada
tabel 6.3 dengan menganggap efisiensi koalisensi satu. 147
Gambar 6.7. Diameter tetes untuk trajektori seperti gambar 6.6.
154

xi
Gambar 7.1. Mekanisme pengintian es dan bagan cara-cara inti es
atmosferik dalam pembekuan es (Rogers and Yau, 1989). 161
Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada
keseimbangan kejenuhan relatif terhadap air. 164
Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk utama kristal es (Rogers, 166
1976).
Gambar 7.4. Bagian tipis melalui pusat pertumbuhan batu es.
176
Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air
untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada 179
absis
Gambar 8.2. Spektra dimensional tetes-tetes hujan 180
Gambar 8.3. Distribusi ukuran tetes yang diukur dibandingkan dengan
kurva eksponensial (Marshall and Palmer, 1948)
182
Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku
diameter tetes yang dihasilkan oleh peleburan keping
salju (Gunn and Marshall, 1958) 198
Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin
yang berasal dari IKA dan IES.
203
Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang
mengandung banyak butiran lebih kecil (Moran and
Morgan, 1947).
206
Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan
mengorbankan butiran air kelewat dingin (Moran and
Morgan, 1997).
210
Gambar 9.4. Variasi kelembapan relatif terhadap waktu. Hasil
pengamatan termohigrograf pada tanggal 3–6 Januari
2006, Kampus ITB, Bandung.
212
Gambar 9.5. Kecepatan terminal sebuah partikel yang jatuh melalui
udara sebagai fungsi ukuran partikel (Moran and
Morgan, 1997). 221

xii
Gambar 10.1. Kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur
untuk garam NaCl 233
Gambar 10.2. Penyajian skematik modifikasi kabut panas oleh
penyemaian partikel higroskopis. 233
Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut
sebagai fungsi temperatur udara dan kadar air awan. 239
Gambar 10.4. Diagram skematik yang menunjukkan efek hipotesis
pembenihan awan-awan cumulus dalam hurricane.

xiii
Daftar Tabel

Tabel 1.1. Deskripsi jenis awan. 10


Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi 20
Tabel 3.1. Tekanan uap jenuh di atas air dan di atas es serta panas laten
kondensasi dan sublimasi 54
Tabel 5.1. Ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh terminal
komparatif beberapa partikel dalam proses pembentukan
awan 99
Tabel 5.2. Tinggi awan berdasarkan lintang geografis 100
Tabel 5.3. Jenis presipitasi dari awan hujan 101
Tabel 5.4. Nilai jejari kritis dan kelewat jenuh kritis untuk tetes yang
terbentuk pada inti NaCl 116
Tabel 6.1. Nilai viskositas dinamik udara, koefisien konduktivitas
termal udara, dan koefisien difusi uapair dalam udara, pada
p = 1000 mb (Houghton, 1985) 133
Tabel 6.2 Kecepatan pertumbuhan butiran dengan kondensasi
(Mason, 1971) 133
Tabel 6.3. Efisiensi kolisi untuk tetes R dan butiran r (Rogers and Yau,
1989) 139
Tabel 7.1. Sifat pengintian partikel berbagai bahan (Houghton,1985) 157

xiv
Tabel 9.1. Variasi tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran
jenuh dengan temperatur pada tekanan 1000 mb (Moran and
Morgan, 1997) 208
Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes
(Gunn and Kinzer, 1949) 215
Tabel 10.1. Diameter tetes hujan dikaitkan dengan berbagai diameter
partikel aerosol (Rosinski, 1973). 221

xv
Padanan Kata

Indonesia – Inggris
air cair kelewat dingin supercooled liquid water
adiabatik gadungan pseudoadiabatic
aerosol garam laut sea salt aerosol
aerosol raksasa giant aerosol
air cair liquid water
aliran flux
angin tenang calm
antar muka interfacial
awan dingin cold cloud
awan panas warm cloud
awan kembang kol cauliflower cloud
badai guruh thunderstorm
bahan material
baku standard
basah moist
batu es hailstone
batu es hujan hailstone
berdampingan, bersamaan coexist

xvi
bola basah wetbulb
butiran droplet
cairan liquid
cekungan basin
cuaca buruk (bengis) severe weather
cuaca lalu past weather
cuaca sekarang present weather
curah hujan rainfall
daur, siklus cycle
demikian juga likewise
deposisi (endapan) basah wet deposition
deposisi kering dry deposition
endapan, presipitasi precipitation
embun dew
embun beku frost
gadungan / palsu pseudo
garis badai guruh line of thunderstorm
garis awan badai squall lines
gas perunut trace gases
gaya gabung affinity
gelembung air water bubble
gerimis drizzle
geser angin wind shear
golakan turbulent
halus fine
hujan rain
hujan amat lebat (torensial) torrential rains

xvii
hujan buatan rain making
hujan campur salju sleet
hujan deras shower
hujan lebat heavy rains
hujan rangsangan stimulation of rain
idaman ideal
inti kondensasi awan (IKA) cloud condensation nucleus
inti pembekuan, inti es (IES) ice nucleus
jalur track
jambul, bulu plume
jangka range
jelas, tidak samar unambiguous
jenis, golongan genus, plural : genera
kabas smog
kabas (kabut – asap) smog (smoke – fog)
kajian study
kasar coarse
keadaan mantap steady state
keanginan wind blown
kebasahan moisture
kebingungan, kekacauan confusion
kehancuran disintegration
kelembapan humidity
kelewat jenuh supersaturation
kelistrikan, elektrisitas electricity
kilap, kemilau sheen
kilat, halilintar lightning

xviii
kristal embun beku rimed crystal
kristal es ice crystal
khas, unik unique
kumpulan kristal crystal aggregate
landasan, paron anvil
laut terbuka open ocean
lempung, tanah liat clay
lengket sticky
lereng di atas angin windward side (slope)
lereng di bawah angin leeward side
limpasan run off
lingkungan laut marine environment
meringkas summarize
mudah terbakar combustible
mutlak absolute
nyata real
paras level
paras kondensasi terangkat lifting condensation level (LCL)
paras kondensasi konvektif convective condensation level (CCL)
paras peleburan melting level
peleburan melting
pelenyapan dissipation
pembakaran combusition
pembekuan freezing
pengentalan coagulation
pembekuan tetes riming
pembersihan, pemindahan removal

xix
pemuatan listrik, elektrifikasi electrification
penakar hujan raingage
penakar hujan pencatat recording raingage
penampakan, keterbukaan exposure
pengembunan, kondensasi condensation
pengendapan, deposisi deposition
penguapan, evaporasi evaporation
penggabungan aggregation
penguapan evaporation
pengubahan conversion
penimbunan accumulation
penting sekali, gawat crucial
per–awan–an cloudiness
perkembangan, evolusi evolution
permulaan initiation
perpindahan, pelenyapan removal
pertambahan accreation
peubah variable
proses terbalikan reversible process
proses tak terbalikan irrreversible process
puncak ombak putih whitecap
puting beliung tornado
ruang, kamar chamber
salju snow
samar, berarti dua ambiguous
sel konveksional convectional cell
semburan ejection

xx
serpih (keping) salju snowflake
sublimasi sublimation
susut temperatur lapse rate
tambalan, potongan patch
tanah beku frozen soil
tanggap response
tangkapan coalescence
terhadap with respect to
tetes drop
tetes hujan raindrop
titik beku frost point
titik embun dew point
tudung, selubung veil
tumbukan, benturan collision
udara basah moist air
udara kering dry air
ukuran tampak visible size
unsur pokok constituent
variasi ruang dan waktu spatial and temporal variations
zona konvergensi antar tropis intertropical convergence zone (ICZ)

xxi
Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit i


Prakata ii
Pengantar iv
Daftar Gambar x
Daftar Tabel xiv
Padanan Kata xvi
Daftar Isi xxii

Bab 1. Pendahuluan 1
1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia 2
1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan 5
1.3. Klasifikasi Awan 8
1.4. Bentuk Utama Awan 12
1.5. Awan Dalam Berita Sinop 15
1.6. Resumé 21

Bab 2. Termodinamika Udara 23


2.1. Termodinamika Udara Kering 23

xxii
2.2. Persamaan Keadaan Udara Kering 29
2.3. Bentuk Alternatif Persamaan Energi dan Entropi 31
2.4. Persamaan Keadaan Udara Basah 33
2.5. Peubah Kebasahan 37
2.6. Resumé 42
Bab 3. Proses Fisis Uap Air 45
3.1. Persamaan Clausius – Clapeyron 46
3.2. Aplikasi Persamaan Clausius – Clapeyron 50
3.3. Kejenuhan Udara Basah 55
3.4. Proses Pseudoadiabatik 60
3.5. Proses Adiabatik Udara Jenuh 66
3.6. Resumé 70

Bab 4. Aerosol Atmosferik 73


4.1. Sumber Aerosol 74
4.2. Spektra Ukuran Aerosol 78
4.3. Aerosol Garam Laut (AGL) 84
4.4. Mekanisme Pemindahan Partikel AGL dari
Atmosfer 87
4.5. Inti Kondensasi dan Inti Es Atmosferik 89
4.6. Resumé 94

Bab 5. Pembentukan Awan 97


5.1. Aspek General Pembentukan Awan dan Hujan 98
5.2. Genus Awan 102
5.3. Pengintian Air Cair 109

xxiii
5.4. Pengaruh Zat Larut 111
5.5. Mikrostruktur Awan 116
5.6. Resumé 120
Bab 6. Pertumbuhan Tetes Hujan Dalam Awan Panas 123
6.1. Pertumbuhan Difusional Butiran Awan 123
6.2. Persamaan Pertumbuhan Butiran Melalui
Kondensasi 128
6.3. Kolisi dan Koalisensi 135
6.4. Persamaan Pertumbuhan Tetes 140
6.5. Trajektori Tetes 143
6.6. Resumé 147

Bab 7. Pertumbuhan Partikel Es Dalam Awan Dingin 149


7.1. Awan Dingin dan Awan Campuran 150
7.2. Inti Es Atmosferik 155
7.3. Pertumbuhan Partikel Es dari Fasa Uap 160
7.4. Pertumbuhan Partikel Es dari Pembekuan tetes 165
7.5. Pertumbuhan Partikel Es dari Penggabungan 169
7.6. Resumé 171

Bab 8. Proses Presipitasi 173


8.1. Proses Kristal Es Lawan Koalisensi 174
8.2. Distribusi Ukuran Tetes 177
8.3. Distribusi Ukuran Keping Salju 181
8.4. Teori Presipitasi 184
8.5. Efisiensi Presipitasi 188

xxiv
8.6. Resumé 192
Bab 9. Modifikasi Cuaca : A. Prinsip Dasar Modifikasi
Awan 195
9.1. Latar Belakang Modifikasi Cuaca 196
9.2. Proses Mikrofisis Presipitasi 199
9.3. Proses Pertumbuhan Partikel Presipitasi 202
9.4. Kecepatan Terminal Partikel Awan dan
Presipitasi 211
9.5. Resumé 216

Bab 10. Modifikasi Cuaca : B. Modifikasi Awan dan


Presipitasi 219
10.1. Kelembapan Kritis Garam 220
10.2. Teknologi Modifikasi Awan 222
10.3. Teknologi Modifikasi Cumulus 226
10.4. Aplikasi Modifikasi Cuaca 230
10.5. Resumé 240

Daftar Pustaka 243


Lampiran : 247
1. Abjad Yunani 248
2. Tekanan Uap Jenuh di atas Air murni
dan Es 249
3. Daftar Simbol Huruf Latin dan Yunani 250
Biodata 257

xxv
Bab 1

Pendahuluan

Sistem klasifikasi awan internasional diusulkan pada tahun 1803


oleh Luke Howard (1772 – 1864) seorang meteorologiwan Inggris yang
memakai empat nama Latin yaitu cumulus (artinya gumpalan atau
gundukan) yang dipakai untuk awan konvektif. Stratus (artinya lapisan)
yaitu awan yang berbentuk lapisan. Cirrus (artinya rambut) yaitu awan
yang berbentuk berserat atau berserabut. Dalam klasifikasi
internasional, kata Latin nimbus atau nimbo yang berarti awan hujan
juga dipakai misalnya nimbostratus (Ns), cumulonimbus (Cb). Ns
berarti awan lapisan yang menghasilkan hujan, dan Cb berarti awan
gumpalan yang memberikan hujan.

Penamaan awan juga memakai gabungan dua dari tiga kata dasar
cirrus, stratus, cumulus. Sebagai contoh cirrocumulus (Cc) gabungan
dari kata cirrus dan cumulus, cirrostratus (Cs) gabungan dari kata cirrus
dan stratus, dan stratocumulus (Sc) gabungan dari kata stratus dan
cumulus. Cirrocumulus adalah awan berbentuk gumpalan kecil-kecil
yang terdiri dari serat yang lembut. Cirrostratus adalah awan lapisan
yang tampak berserat. Stratocumulus (Sc) adalah awan lapisan yang
unsur-unsurnya berbentuk gumpalan dengan ukuran horisontal jauh
lebih besar dari pada ukuran vertikalnya.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


1
1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia

Atmosfer bumi mempunyai ketebalan sekitar 1000 km (rumbai-


rumbai bumi) yang dibagi menjadi lapisan-lapisan troposfer, stratosfer,
mesosfer, termosfer, dan eksosfer. Dalam troposfer terjadi konveksi
akibat radiasi bumi dari penyerapan radiasi matahari terutama spektrum
tampak, karena itu proses konveksi lebih aktif di daerah ekuatorial.
Atmosfer tropis mencakup daerah antara 23,5 U (tropis Cancer) dan
23,5 S (tropis Capricorn), sedangkan atmosfer ekuatorial yang
dimaksud dalam diskusi ini dibatasi oleh lintang antara 10 U dan 10 S,
jadi benua maritim Indonesia dapat dikatakan daerah ekuatorial. Daerah
ekuatorial dilalui oleh garis ekuator geografis (lintang 0) yang tetap
dan pita ekuator meteorologis yang bergerak ke utara atau ke selatan
ekuator geografis mengikuti migrasi tahunan (gerak semu) matahari.

Di daerah ekuatorial radiasi tampak merupakan komponen radiasi


matahari yang terbesar dan sangat kuat. Karenanya alih panas kearah
atas oleh konveksi adalah sangat aktif di ekuator dan sirkulasi global
dibangkitkan untuk mengalihkan panas dari ekuator ke daerah lintang
yang lebih tinggi. Pada waktu ekinoks (kedudukan matahari di ekuator,
terjadi pada 21 Maret dan 23 September) maka pemanasan daerah
ekuator mencapai maksimum. Dalam atmosfer di atas garis ekuator
terjadi osilasi tengah tahunan (Semiannual Oscillation). Pada tipe hujan
ekuatorial, distribusi curah hujan bulanan menampakan maksima
ganda, dengan curah hujan maksimum setelah ekinoks. Karena gaya
Coriolis menuju nol di sekitar ekuator, maka gelombang khusus dapat
terjadi dan menjalar kearah atas lebih mudah di daerah ekuatorial dari
pada di daerah-daerah lain.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


2
Istilah “tropis” tidak mempunyai arti yang eksak. Ilmuwan
menemukan kata “tropis” dari tropis Cancer (23,5 U) dan tropis
Capricorn (23,5 S) yang menunjukkan batas jarak semu matahari yaitu
ketika matahari berada di lintang 23,5 U yang disebut garis balik utara
pada tanggal 22 Juni dan ketika berada di lintang 23,5 S yang disebut
garis balik selatan pada tanggal 22 Desember. Daerah Ekuatorial dapat
didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh lintang 10 U dan 10 S
atau daerah yang dibatasi oleh parameter Coriolis = 2 sin  = 2 x 7,29 x
-5 -5 -5 -1
10 x sin 10 = 14,58 x 10 x 0,174 = 2,5 x 10 s , dimana  adalah
kecepatan sudut rotasi bumi dan  adalah lintang tempat. Jelas bahwa
gaya Coriolis menuju nol di ekuator.

Meteorologiwan sering memakai batas lain untuk mendefinisikan


tropis dengan memakai sumbu sel tekanan tinggi subtropis yaitu batas
sirkulasi atmosfer yang didominasi oleh angin timuran di tropis dan oleh
angin baratan di daerah lintang tengah. Batas dari daerah tropis adalah
lintang 30 U dan 30 S yang disebut “lintang kuda” (horse latitude). Pada
daerah lintang kuda terjadi subsidensi (angin turun) sehingga cuaca
kebanyakan cerah dan jumlah curah hujan sedikit. Gurun dan padang
rumput (steppe) kebanyakan terjadi di daerah lintang kuda. Parameter
Coriolis pada lintang kuda hampir tiga kali lipat dibanding di lintang 10.
Besar parameter Coriolis pada lintang kuda adalah f = 2 sin 30 = 7,3 x
-5 -1
10 s . Dari definisi daerah ekuatorial (10 U – 10 S) di atas, maka benua
maritim Indonesia termasuk dalam daerah ekuatorial.

Antara angin pasat yang konvergen di sekitar daerah tekanan


rendah ekuator terdapat daerah transisi dengan angin berubah-ubah
yang lemah, disebut zona konvergensi intertropis (ZKI) atau

Mikrofisika Awan Dan Hujan


3
Intertropical Convergence Zone (ICZ) atau doldrums (daerah angin
lemah). Daerah transisi kedua adalah daerah lintang kuda. Curah hujan
maksimum sekitar 70 – 80 inci (1 inci = 25,4 mm) terdapat pada sabuk
selebar 10 derajat di sekitar ekuator dimana terdapat ZKI dengan massa
udara yang panas dan lembap.

Daerah ekuatorial menerima energi matahari maksimum. Energi


panas ini dipakai untuk menggerakkan atmosfer secara global ke daerah
lintang menengah dan tinggi (kutub). Gerak atmosfer global tidak hanya
membawa panas tetapi juga membawa kelembapan (uap air) dan zat-zat
lain yang mengendalikan cuaca dan iklim harian, karena itu sangat
mempengaruhi kehidupan dalam planet bumi. Masukan energi panas
untuk menggerakkan atmosfer terjadi melalui awan-awan terutama
awan cumulus tinggi yang terbentuk di daerah ekuatorial.

Ada tiga daerah ekuatorial dimana konveksi dan formasi awan


cumulusnya menjadi penting, yaitu Indonesia, Afrika Ekuatorial (Afrika
Tengah), Amerika Ekuatorial (Amerika Selatan). Di antara ketiga daerah
ekuatorial maka Indonesia merupakan daerah konvektif yang sangat aktif,
pembentukan awannya berfluktuasi secara musiman ataupun tahunan.
Daerah Indonesia dikenal sebagai benua maritim (maritime continent)
dalam meteorologi troposfer. Pada tahun tertentu, awan konvektif kuat
(deep convection) bergeser ke arah Pasifik Tengah Ekuatorial, sehingga
iklim global menjadi tidak normal. Gejala ini dikenal sebagai ENSO (El
Niño – Southern Oscillation). Periode 30 – 60 hari juga terdeteksi dan
disebut variasi antar musiman (inter seasonal) atau osilasi Madden–Julian.
Daerah ekuatorial masih miskin dipahami sehingga observasi atmosfer di
atas Indonesia menjadi sangat penting dalam pemahaman hubungan antara
atmosfer ekuatorial dengan cuaca dan iklim global.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


4
1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan

Proses awan kebanyakan pada skala jauh lebih kecil yaitu skala
yang sebanding dengan dimensi partikel awan dan presipitasi. Proses-
proses ini adalah pembentukan, pertumbuhan butiran awan, dan
interaksinya dengan lingkungan. Tujuan dari fisika awan adalah untuk
menjelaskan bagaimana sebuah butiran awan dapat terbentuk dari fasa
uap, tumbuh menjadi ukuran tampak, kemudian berinteraksi dengan
partikel-partikel awan lain membentuk presipitasi. Penggabungan aspek-
aspek fisika awan ini dinamakan mikrofisika awan dan presipitasi, tetapi
di Indonesia pada umumnya presipitasi (endapan) berbentuk cair atau
hujan, sehingga judul buku ini menjadi Mikrofisika Awan dan Hujan.

Mikrofisika awan adalah sains yang sangat muda, kebanyakan


informasi kuantitatif pada awan dan presipitasi, dan proses-proses yang
terlibat telah diperoleh sejak tahun 1940. Baik Lamarck (1744 – 1829)
maupun Howard (1772 – 1864) percaya bahwa awan yang mereka kaji
terdiri dari gelembung-gelembung air (water bubbles). Gagasan
gelembung dikemukakan pada tahun 1672 oleh von Guericke (1602 –
1686) disebut partikel awan kecil yang ia peroleh dalam ruang
ekspansi sederhana ‘‘bullulae’’ (artinya bubble = gelembung).
Meskipun secara tegas ia menamakan partikel-partikel besar dalam
ruang ekspansi ‘‘guttulae’’ (artinya drop = tetes), gagasan gelembung
berlaku lebih dari satu abad sampai Walker (1816 – 1870) melaporkan
pada tahun 1846 bahwa partikel-partikel kabut tidak pecah seperti pada
gelembung. Meskipun observasi ini diperkuat pada tahun 1880 oleh
Dines (1855 – 1927), tetapi kemudian dibantah oleh Assmann (1845 –
1918) berdasarkan kajian komprehensifnya mengenai butiran-butiran
awan dengan bantuan mikroskop (1984).

Mikrofisika Awan Dan Hujan


5
Usaha untuk memberikan penjelasan kuantitatif proses
pembentukan partikel awan datang relatif lambat. Sebagai contoh, pada
tahun 1875 Coulier (1824 – 1890) melakukan eksperimen ruang
ekspansi sederhana pertama yang menunjukkan peranan penting
partikel-partikel debu dalam pembentukan tetes-tetes awan dari uap air.
Beberapa tahun kemudian, Aitken (1839 – 1919) memperkenalkan
konsep baru ini. Ia menyimpulkan dari eksperimennya dengan memakai
ruang ekspansi pada tahun 1881 bahwa tetes awan terbentuk dari uap air
hanya dengan bantuan partikel-partikel debu yang bertindak sebagai inti
untuk memprakarsai fasa (tahap) baru. Aitken menyatakan bahwa tanpa
partikel debu di atmosfer, tidak akan ada kabur (haze), tidak ada kabut,
tidak ada awan dan karenanya tidak ada hujan. Penemuan Coulier dan
Aitken dibentuk lebih kuantitatif oleh Wilson (1869 – 1959) yang
menunjukkan pada tahun 1897 bahwa udara lembap murni tanpa
partikel debu akan menahan kelewat jenuh beberapa ratus persen
sebelum tetes air terbentuk secara spontan.

Dalam tahun 1866, Renou (1815 – 1902) pertama kali


menunjukkan bahwa kristal-kristal es dapat memainkan peranan
penting dalam inisiasi (permulaan) hujan. Renou menyarankan bahwa
untuk pertumbuhan presipitasi, dua lapisan awan dibutuhkan : satu
terdiri dari tetes kelewat dingin dan yang lain pada ketinggian yang lebih
tinggi yang memberikan kristal-kristal es ke dalam lapisan awan di
bawah. Pemahaman yang lebih maju tentang pembentukan presipitasi
yang melibatkan kristal es dikemukakan oleh Wegener (1911) yang
menunjukkan melalui prinsip-prinsip termodinamika bahwa pada
temperatur di bawah 0 C tetes air kelewat dingin dan kristal es tidak
dapat berdampingan (bersamaan) dalam keseimbangan. Dengan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


6
memakai pernyataan ini Bergeron (1891–1977) pada tahun 1933
mengemukakan bahwa presipitasi terjadi akibat kelabilan awan yang
mengandung tetes kelewat dingin dan kristal es secara bersamaan.
Bergeron menggambarkan bahwa dalam awan campuran ini, kristal-
kristal es tumbuh oleh difusi tetes air kelewat dingin sampai semua tetes
dikonsumsi oleh kristal es atau semua kristal es jatuh keluar awan.
Observasi awan oleh Findeisen tahun 1938 mempertegas mekanisme
presipitasi Wegener – Bergeron.

Usaha untuk memahami sifat awan dan presipitasi mempunyai


sejarah yang panjang selama 70 tahun terakhir. Salah satu faktor utama
yang merangsang perkembangan fisika awan adalah meningkatnya
dunia penerbangan yang peka terhadap kejadian dan pertumbuhan awan,
bahkan awan cumulonimbus dianggap jalur maut dalam penerbangan.
Formulasi teori kondensasi uap air bersamaan dengan kajian awan di
laboratorium dan di udara memungkinkan untuk meletakkan fondasi
dalam cabang fisika awan. Mikrofisika awan kemudian didefinisikan
sebagai kajian kondisi pertumbuhan elemen-elemen awan dan presipitasi
yaitu butiran air dan kristal es. Keadaan sekarang, mikrofisika awan telah
dibahas dalam buku-buku baru misalnya Mason (1975), Pruppacher
(1980) dan lain-lain. Proses pada skala yang berjangka dari ratusan meter
sampai ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer terletak dalam daerah
dinamika awan yang mulai dikembangkan 50 tahun yang lalu.

Agar awan terbentuk maka diperlukan volume udara besar yang


didinginkan di bawah temperatur titik embunnya. Di atmosfer
pendinginan dapat melalui ekspansi adiabatik udara yang naik,
pendinginan radiatif dan pencampuran massa udara yang beda temperatur
dan kelembapannya. Agar presipitasi tumbuh maka pendinginan harus

Mikrofisika Awan Dan Hujan


7
berlanjut karena presipitasi masih memerlukan uap air yang berkondensasi.
Kecepatan pendinginan dan volume udara yang dipengaruhi akan
menentukan jumlah kondensasi dan karenanya mempengaruhi jumlah
presipitasi yang dapat diproduksi oleh sebuah awan.

Pembentukan tetes-tetes awan dan interaksinya dalam


pembentukan tetes hujan dan kristal es dikendalikan oleh proses-proses
skala sangat kecil (ukuran partikel awan dan presipitasi) yang disebut
mikrofisika awan dan hujan. Meskipun demikian kendali proses-proses
skala besar oleh gerak atmosfer yang menyebabkan awan perlu diketahui
yaitu makrofisika pembentukan awan. Sebagai contoh pembentukan tetes
dan pembekuan tetes awan dibarengi dengan pelepasan sejumlah panas
laten yang mempengaruhi gerak massa udara awan. Jadi mikrofisika
awan adalah kajian proses-proses skala kecil, sedangkan kajian proses-
proses skala besar disebut dinamika awan atau kinematika awan.

1.3. Klasifikasi Awan


a. Berdasarkan Pembentukan Awan
Sistem awan dikendalikan oleh gerak udara vertikal akibat
konveksi, efek orografik, konvergensi, dan front. Klasifikasi awan
berdasarkan pada mekanisme gerak vertikal adalah :
1. Stratiform
Awan ini menyebabkan hujan kontinu yang disebabkan oleh
kenaikan udara skala makro oleh front atau konvergensi atau
topografi. Daerah hujan cukup luas, intensitas hujan kecil dan
gerimis sampai hujan sedang, arus udara ke atas dalam awan ini
mencakup daerah yang luas tetapi lemah.
2. Cumuliform

Mikrofisika Awan Dan Hujan


8
Awan ini menyebabkan hujan lokal yang disebabkan oleh
konveksi yang terletak dalam udara labil. Intensitas hujan besar
dari hujan normal sampai hujan lebat (shower). Arus udara ke atas
dalam awan ini mencakup daerah yang kecil tetapi kuat.

b. Berdasarkan Tinggi Dasar Awan


1. Awan rendah, mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2
km, biasanya dipakai kata ’’strato’’, misalnya Nimbostratus (Ns),
Stratocumulus (Sc), dan Stratus (St).
2. Awan menengah, mempunyai ketinggian dasar awan antara 2
dan 6 km, biasanya dipakai awalan ’’alto’’, misalnya Altocumulus
(Ac) dan Altostratus (As).
3. Awan tinggi, mempunyai ketinggian dasar awan lebih dari 6 km,
penamaannya ditandai dengan awalan ’’cirro’’, misalnya
Cirrostratus (Cs), Cirrocumulus (Cc) dan Cirrus (Ci). Kadang-
kadang Cirrostratus menyebabkan lingkaran optik d isekitar
matahari atau bulan yang disebut ’’halo’’. Peristiwa ini
disebabkan oleh refraksi dan refleksi oleh kristal-kristal es di
dalam awan Cirrostratus.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


9
Tabel 1.1. Deskripsi jenis awan

Jenis awan Dasar awan Komposisi Deskripsi


Cirrus > 7 Km es Pita putih atau serabut halus, atau tambalan
(Ci) (potongan-potongan kecil) dengan serat
atau tampak kilap seperti sutera.
Cirrocumulus > 7 Km es Tambalan putih atau lapisan elemen-
(Cc) elemen kecil yang teratur dalam bentuk
butir-butir (grains), ombak, dan
sebagainya
Cirrostratus > 7 Km es Tudung (veil) agak putih dengan bagian-
(Cs) bagian sedikit tersusun, meliputi langit
secara luas dan merata.
Altocumulus 2 – 7 Km air Lapisan putih atau abu-abu dari unsur-
(Ac) unsur awan kecil teratur dan halus,
tambalan elemen-elemen kecil, tambalan
halus dengan garis bentuk yang tegas atau
tumpukan / berkas lapisan cumuliform.
Altostratus 2 – 7 Km air Lapisan serabut agak abu-abu atau agak
(As) biru atau tampak seragam, meliputi langit
secara luas.
Nimbostratus < 2 Km air Lapisan tebal abu-abu, seringkali gelap,
(Ns) biasanya disertai hujan atau salju.
Stratocumulus < 2 Km air Lapisan abu-abu atau agak putih dengan
(Sc) elemen-elemen yang gelap, seringkali
tersusun teratur.
Stratus < 2 Km air Lapisan abu-abu dengan dasar serba sama
(St) yang cerah, kadang-kadang terjadi hujan
gerimis (drizzle).
Cumulus Biasanya air Awan berdiri sendiri, padat, dengan garis-
(Cu) dasar awan garis tajam, tumbuh secara vertikal seperti
rendah. “kembang kol” (cauliflower clouds),
Pertumbuhan menyebabkan hujan tiba-tiba (shower).
vertikal
beberapa km

Cumulonimbus Biasanya dasar air dan es Awan lebat dan padat. Bagian atas terdiri
(Cb) awan rendah. pada bagian dari es, yang menunjukkan serat-serat dan
Pertumbuhan atasnya biasanya menyebar horisontal dalam
vertikal sampai bentuk sebuah landasan (anvil) atau
tropopause jambul (plume), sering terjadi hujan lebat,
hujan batu es (hail), kilat dan guruh.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


10
c. Berdasarkan partikel presipitasi
Awan adalah kumpulan tetes air atau kristal es atau kombinasi
keduanya. Berdasarkan jenis partikel presipitasi, awan dapat
diklasifikasikan menjadi :

1. Awan tetes
Awan tetes sering disebut awan panas, awan ini sebagian partikelnya
terdiri dari tetes air. Tetes air dalam awan berasal dari kondensasi uap
air melalui inti kondensasi awan (IKA) yang ada di atmosfer bawah.
Pertambahan kelembapan sampai ke suatu nilai yang diperlukan
terjadinya kondensasi di atmosfer terutama disebabkan oleh
pendingin adiabatik udara yang mengalami pengangkatan secara
termal atau secara mekanis. Selain oleh kelembapan, pertumbuhan
tetes hasil kondensasi ini ditentukan oleh sifat higroskopis yaitu
kemampuan inti kondensasi seperti garam dapur NaCl dan oleh jejari
tetes (r) atau kelengkungan tetes (1/r). Tetes-tetes awan kebanyakan
berjejari sekitar 10 m (10 mikron), tetapi dengan mekanisme
benturan – tangkapan tetes-tetes awan dapat menjadi tetes hujan
yang berjejari sekitar 1000 m atau 1 mm.

2. Awan es
Awan yang sebagian partikelnya terdiri dari kristal es disebut awan es,
sering disebut awan dingin atau awan campuran. Pada ketinggian
atmosfer tertentu, temperatur mulai lebih rendah dari titik beku, di
Indonesia temperatur titik beku dicapai pada ketinggian atmosfer
antara 4 dan 5 kilometer di atas permukaan laut (d.p.l). Pada ketinggian
atmosfer dengan temperatur di bawah titik beku, tetes awan kelewat
dingin tidak langsung membeku menjadi kristal es semuanya, hanya

Mikrofisika Awan Dan Hujan


11
tetes awan yang menemukan inti es (IES) yang membeku menjadi
kristal es. Tetapi pada temperatur – 40 C atau lebih rendah, tetes air
kelewat dingin secara spontan membeku menjadi kristal es. Karena
pada temperatur yang sama di bawah titik beku, tekanan uap jenuh di
atas tetes kelewat dingin (es) lebih tinggi dari pada tekanan uap jenuh di
atas kristal es (ei), maka tetes berdifusi dan mendeposisi pada kristal es,
sehingga kristal es tumbuh menjadi besar dan tetes melenyap. Kristal
es yang tumbuh bercabang ini, terpecah menjadi serpih-serpih es
ketika turun melayang di udara. Dengan cara seperti ini jumlah kristal
es menjadi berlipat ganda sehingga terbentuk awan es.
Karena sifat kristal es lebih lambat menguap dari tetes air, maka
dalam udara tak jenuh bagian luar awan tetes menguap lebih cepat
dari pada bagian luar awan es. Kondisi ini menyebabkan tepi awan
tetes tampak lebih tegas (jelas) dari pada awan es. Pencampuran
awan es dengan udara di sekelilingnya hanya menyebabkan
perluasan awan, sehingga tepi awan es tampak tidak tegas (kabur).

1.4. Bentuk Utama Awan

Awan mempunyai bentuk bermacam-macam dan setiap awan


dalam proses pertumbuhannya akan mengalami perubahan bentuk
secara terus menerus, sehingga di dalam atmosfer terdapat jenis awan
yang jumlahnya sangat banyak. Sejumlah awan yang banyak itu dapat
digolongkan menjadi tiga bentuk utama (dasar), yaitu bentuk berserat,
lapisan dan gumpalan; lihat gambar 1.1. Bentuk berserat disebabkan
oleh kristal es yang jatuh, bentuk lapisan adalah awan yang
pertumbuhannya dalam arah horisontal, dan bentuk gumpalan akibat
pertumbuhan vertikal yang sangat besar oleh konveksi lokal.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


12
Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan.

Bentuk utama awan dapat dibagi menjadi sepuluh golongan yang


disebut jenis (genus). Kesepuluh jenis awan tersebut adalah: cirrus (Ci),
cirrocumulus (Cc), cirrostratus (Cs), altocumulus (Ac), alrostratus (As),
nimbostratus (Ns), stratocumulus (Sc), stratus (St), cumulus (Cu),
cumulonimbus (Cb). Tiap jenis awan dibagi menjadi subgenus
(subjenis) awan yang didasarkan pada keistimewaan bentuk, dimensi,
dan pada perbedaan struktur setiap jenis awan. Misalnya awan
lentikularis mempunyai bentuk keistimewaan lonjong seperti lensa.
Jenis awan yang dapat mempunyai subjenis lentikularis adalah
cirrocumulus, altocumulus dan stratocumulus.

Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan fisikawan


atmosfer. Observasi dan fotografi awan merupakan alat yang bernilai
untuk menentukan karakteristik termodinamika dan dinamika udara
yang selanjutnya dipakai untuk peramalan cuaca jangka pendek,
misalnya:
I. Lapisan stratus atau stratocumulus di atas sebuah lembah,
menandakan adanya inversi temperatur pada paras atas lapisan
tersebut, lihat Gambar 1.2.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


13
Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur.

ii. Altocumulus jenis castellanus menandakan adanya ketidakstabilan


udara yang kuat pada parasnya yang merupakan isyarat suatu situasi
badai guruh.

iii. Perkembangan awan cumuliform memberi informasi


ketidakstabilan udara. Jika cumulus pertumbuhan vertikalnya
dibatasi oleh paras tertentu, maka paras tersebut merupakan
kedudukan inversi temperatur, jika tidak ada lapisan inversi maka
awan akan tumbuh vertikal ke atas sampai mendekati tropopause.
Ketika lapisan inversi lemah dan arus udara ke atas dalam awan
cumulus kuat, maka awan dapat tumbuh menjulang ke atas
menembus lapisan inversi yang stabil, biasanya disebut awan
cerobong (chimney cloud). Awan cerobong mempunyai ukuran
vertikal lebih besar dari pada ukuran horisontal Gambar 1.3a).
Ketika lapisan inversi cukup kuat maka awan cumulus tampak
seperti balok, karena dalam pertumbuhannya ujung awan ini patah
oleh adanya inversi yang kuat, sehingga puncak awan menjadi
dempak (Gambar 1.3b)

iv. Kemiringan awan cumuliform menandakan adanya geser angin v/


z yaitu gradien kecepatan angin terhadap ketinggian, faktor yang
penting untuk pertumbuhan tetes hujan dalam awan tersebut.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
14
Pentingnya studi awan karena awan merupakan fasa yang
penting dalam daur (siklus) air di atmosfer. Awan sebagai pengubah uap
air menjadi air yang dapat dipakai oleh manusia, karena tanpa air
manusia tidak dapat mempertahankan hidup di bumi.

Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong, (b) cumulus
dempak.

1.5. Awan dalam Berita Sinop

Berita sinop awan menyajikan simbol (sandi) berikut :

N, Nh, CL, h, CM, CH, Ns, C, hs hs

Arti dari masing-masing simbol tersebut adalah :

N : jumlah semua awan yang menutupi langit, dinyatakan


dalam perdelapanan.
N = 4, setengah langit tertutup awan (simbol dalam petacuaca)
N = 0, langit cerah ( simbol dalam peta cuaca)
N = 8, langit mendung (simbol dalam peta cuaca)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


15
Nh : jumlah awan dengan tinggi dasar awan h meter
yangmenutupi langit.
Nh = 2, seperempat langit tertutup awan yang mempunyai tinggi
dasar awan h meter.
h : tinggi dasar awan.
h = 3, tinggi dasar awan 200 – 300 m.
C : tipe awan rendah.
C = 5, stratus.
C = x, awan tak dikenal.
CM : tipe awan menengah.
CM= 2, altostratus tebal.
CH : tipe awan tinggi.
CH= 1, cirrus.
Kelompok 8Ns C hs hs ini dipakai ketika terjadi hal khusus dalam
pengamatan awan.
8 : angka pengenal.
Ns : jumlah perawanan (cloudiness) dari awan khusus C.
C : tipe awan khusus.
hs hs : tinggi dasar awan C.
hs hs = 00, tinggi dasar awan kurang dari 30 m.
= 01, tinggi dasar awan 30 m.
= 02, tinggi dasar awan 60 m.

Bentuk transmisi dan berita sinop bergantung pada regionalnya,


untuk Indonesia yang termasuk dalam regional V mempunyai berita
sinop sebagai berikut:
Iiiii Nddff VVwwW PPPTT N C hC C h L M H TdTd9RR (8NsChshs)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


16
Lima digit terakhir yang terletak dalam tanda kurung biasanya
tidak penting dan dapat diabaikan. Sandi cuaca internasional dapat
dibaca pada setiap stasiun meteorologi sinoptik di Indonesia, misalnya
di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta.

Arti dari simbol dalam berita sinop yang terdiri dari lima digit
adalah sebagai berikut :
(1) Kelompok IIiii:
II = nomor blok, tiap negara mempunyai satu nomor blok atau
lebih. Indonesia mempunyai dua nomor blok yaitu Indonesia
bagian barat = 96 dan Indonesia bagian timur = 97.
iii = nomor stasiun, contoh: 96743 = stasiun meteorologi Jakarta,
dan
97180 = stasiun meteorologi Ujung Pandang.
(2) Kelompok Nddff :
N : perawanan
dd : arah angin, contoh: dd = 18 angin selatan,
dd = 36 angin utara,
dd = 00 angin tenang (calm),
dan seterusnya
-1
ff : kecepatan angin dalam knot (1 knot ~ 0,5 ms )
Contoh : ff = 22, berarti kecepatan angin 2 knot
ff = 05, berarti kecepatan angin 5 knot
dan seterusnya.
Catatan : Jika kecepatan angin > 100 knot, maka ff diberi sandi
sebagai kecepatan angin yang dikurangi 100 knot, dan sebaliknya
dd ditambah 50.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


17
Contoh: Angin datang dari barat (270) mempunyai kecepatan 110
knot, maka kode yang diberikan ddff adalah 7710, angka 77 berasal
dari 27 + 50, dan angka 10 berasal dari 110 – 100.

(3) Kelompok VVwwW


VV : visibilitas
Contoh : VV = 93 berarti visibilitas antara 500 m sampai
1000 m.
ww : keadaan cuaca pada waktu observasi.
Contoh : ww = 90 berarti cuaca buruk, kode .
W : cuaca yang lalu (past weather).
Contoh : W = 0 berarti cerah, kode 0.
W = 4 berarti kabut, kode 

(4) Kelompok PPPTT


PPP : tekanan udara dalam milibar (mb)
PPP = 201 berarti 1021,1 mb
= 247 berarti 1024,7 mb
TT : temperatur dalam F atau C (bergantung pemakaian)
yangdibulatkan, misalnya 23,5 C dibulatkan menjadi 24 C
dan 23,3 C dibulatkan menjadi 23 C.
Contoh : TT = 30 berarti 30 C, Indonesia memakai C.

Catatan: Jika temperatur adalah negatif, maka dikodekan sebagai


berikut:
Nilai mutlak temperatur ditambah dengan 50.
Contoh : temperatur – 3 C dikodekan sebagai 53.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


18
(5) Kelompok Nh CL h CM CH, sudah dijelaskan dimuka.

(6) Kelompok Td Td 9 RR
Kelompok ini hanya berlaku untuk daerah tropis saja termasuk
Indonesia
Td Td : temperatur titik embun dalam F atau C.
9 : angka pengenal.
RR : jumlah hujan dalam 12 jam yang lalu.
Contoh : RR= 00 berarti tidak ada hujan (0 mm).
= 01 berarti hujan 1 mm.
= 02 berarti hujan 2 mm, dan seterusnya.

(7) Kelompok 8Ns C hs hs


Kelompok ini dipakai untuk memberi kode sifat-sifat khusus pada
observasi awan, sudah dijelaskan dimuka.

Berita sinop dan sandi cuaca internasional yang lebih jelas dan
lengkap dapat dibaca pada setiap stasiun meteorologi utama, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Indonesia, atau dapat dibaca
pada Bab 19, buku Klimatologi, (Bayong Tjasyono, 2004. Tabel 1.2,
menunjukkan sandi-sandi awan rendah (CL), menengah (CM) dan tinggi
(CH).

Mikrofisika Awan Dan Hujan


19
Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi.

Sandi Awan Rendah Awan Menengah Awan Tinggi


Angka (CL) (CM) (CH)
0 Tidak ada awan Tidak ada awan Tidak ada awan
1 Cu kecil atau As tipis Ci tipis (halus)
Frakto cumulus
2 Cu sedang atau Sc As tebal atau Ns Ci padat
dengan tinggi dasar
sama
3 Cb tanpa landasan Ac tipis dalam satu Ci padat, dari landasan
(anvil) lapisan Cb
4 Sc yang terjadi dari Ac tipis terpisah-pisah, Ci halus yang menjadi
bentangan Cu terdapat pada satu tingkat padat
5 Stratocumulus (Sc) Ac yang menjadi padat Ci dan Cs sendirian
dalam keadaan
bertambah
6 Stratus Ac yang terjadi dari Ci dan Cs, atau Cs
bentangan Cu atau Cb sendirian menjadi padat,
tetapi langit tidak
tertutup semua
7 Frakto stratus atau Ac dan As atau Ns Cs yang menutupi
frakto cumulus seluruh langit
8 Cu dan Sc Ac castellatus (bertanduk Cs tidak menutupi
atau berbentuk bayangan seluruh langit
bintik)
9 Sb (cumulonimbus) Ac kelihatan tak teratur Cc (cirrocumulus)
X CL tidak kelihatan CM tidak kelihatan karena CH tidak kelihatan
karena kabut, badai kabut, debu, dan disebabkan oleh kabut,
debu, dan sebagainya. debu, atau tertutup CL
sebagainya. dan CM.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


20
1.6. Resumé
Diantara tiga daerah ekuatorial di bumi, maka Indonesia
adalah daerah konvektif yang paling aktif ketimbang Afrika Ekuatorial
(Afrika Tengah) dan Amerika Ekuatorial (Amerika Selatan).
Pembentukan awan di Indonesia didominasi oleh awan konvektif jenis
cumulus dan cumulonimbus yang dapat menghasilkan hujan lebat
(shower), batu es hujan, guruh, dan kilat, bahkan tornado (puting
beliung) meskipun skala Fujita – Pearson baru mencapai F0, atau
paling tinggi F1. Hari petir di Indonesia berkisar antara 100 dan 150 per
tahun.
Mikrofisika awan dan hujan adalah cabang dari meteorologi
fisis yang mempelajari proses-proses fisis pembentukan partikel awan
dan hujan. Inti dari mikrofisika awan adalah studi tentang
pembentukan awan dan pertumbuhan hujan. Informasi kuantitatif
tentang awan dan proses fisis pembentukannya ditemukan sejak tahun
1940. Aitken (1839 – 1919) menyimpulkan eksperimennya (1881)
bahwa tetes awan terbentuk dari uap air hanya dengan bantuan partikel
debu yang bertindak sebagai inti kondensasi awan. Wilson (1869 -
1959) pada tahun 1897 menunjukkan bahwa udara lembap murni akan
bertahan pada kelewat jenuh beberapa ratus persen sebelum tetes-tetes
air terbentuk secara spontan. Wigand (1913 dan 1930) mengamati
bahwa sumber-sumber inti kondensasi awan (IKA) selain lautan juga
kontinen lebih banyak. Partikel-partikel debu ada juga yang bertindak
sebagai inti es (IES) dalam pembentukan kristal-kristal es.
Klasifikasi awan didasarkan, pertama pada arus udara vertikal
atau pembentukan awan: stratiform dan cumuliform, kedua pada
tinggi dasar awan: awan rendah (Ns, Sc, dan St), awan menengah (Ac

Mikrofisika Awan Dan Hujan


21
dan As), dan awan tinggi (Cs, Cc, dan Ci), ketiga pada partikel
presipitasi: awan tetes dan awan es, dan keempat pada temperatur :
awan panas t > –10 C dan awan dingin < –10 C. Tepi awan tetes
tampak lebih tegas daripada awan es yang tepinya tampak kabur (tidak
tegas). Peristiwa kondensasi disebabkan oleh pendinginan adiabatik
udara yang mengalami kenaikan secara termal atau secara mekanis.
Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan fisikawan
atmosfer dalam membantu peramalan cuaca jangka pendek.
Pentingnya studi awan karena awan merupakan fasa yang penting
dalam daur air di atmosfer. Awan sebagai pengubah uap menjadi air
yang dipakai manusia, hewan, tetumbuhan dalam mempertahankan
hidup di bumi. Ada tiga bentuk utama awan yaitu bentuk berserat,
lapisan, dan gumpalan. Bentuk utama (dasar) awan dapat dibagi
menjadi sepuluh golongan yang disebut jenis awan: Ci, Cc, Cs, Ac, As,
Ns, Sc, St, Cu dan Cb. Tiap jenis awan dibagi lagi menjadi subjenis
awan yang didasarkan pada keistimewaan bentuk, dimensi dan
struktur jenis awan, misalnya awan lentikularis mempunyai bentuk
keistimewaan lonjong seperti lensa.
Data awan dapat dibaca dari berita sinop dengan sandi-sandi
cuaca, misalnya N : jumlah semua awan yang menutupi langit, Ns:
jumlah perawanan dari awan khusus, h: tinggi dasar awan, CL, CM, CH:
masing-masing jenis awan rendah, menengah, dan tinggi. Berita sinop
untuk regional V terdiri dari 7 kelompok, masing-masing kelompok
terdiri 5 digit. Angka pada kelompok berita sinop menunjukkan angka
pengenal. Setiap stasiun meteorologi utama mempunyai sandi-sandi
cuaca untuk mentransmisikan berita sinop ke Kantor Cuaca Pusat di
Dalam Negeri (BMKG) atau Kantor Cuaca Pusat di Luar Negeri.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


22
Bab 2

Termodinamika Udara

Termodinamika mempelajari tentang transformasi panas ke


dalam bentuk energi lain dan sebaliknya. Dalam atmosfer transformasi ini
sangat penting dan perlu dtinjau secara rinci untuk memprediksi keadaan
atmosfer yang akan datang. Pada kenyataannya air di dalam atmosfer
dapat berbentuk padat, cair atau gas. Transformasi energi terjadi jika air
berubah keadaan (fasa) akibat pelepasan atau penyerapan panas laten.
Dalam termodinamika udara kering proses atmosfer ditinjau tanpa
transformasi energi seperti pelepasan panas laten. Dalam meteorologi,
udara diperlakukan sebagai campuran dua gas ideal: udara kering dan uap
air yang disebut udara basah. Termodinamika udara basah ditentukan oleh
kombinasi antara termodinamika udara kering dan uap air. Pengetahuan
termodinamika udara basah dipakai untuk memahami proses fisis yang
terjadi di atmosfer.

2.1. Termodinamika Udara Kering

a. Ekspansi gas pada tekanan konstan


Jika gas berekspansi pada tekanan konstan, maka ia melakukan
kerja terhadap lingkungannya:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


23
dW = pdV (2.1)
dimana dV adalah perubahan kecil dalam volume gas.
Untuk satuan massa gas, persamaan (2.1) ditulis dengan
huruf kecil:
(2.2)
Keterangan :
w : kerja spesifik yang dilakukan
 : perubahan volume spesifik gas
 : densitas udara
Jika sistem berekspansi dan melakukan kerja pada lingkungan,
maka dw positif. Sebaliknya jika sistem dikompresi oleh gaya dari luar,
maka kerja dilakukan pada sistem dan dw negatif. Dalam fisika energi
sistem didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk melakukan kerja.
Energi sama dengan kerja total yang dapat dilakukan dan diukur dalam
satuan yang sama. Satuan SI (Sistem Internasional) energi adalah joule
(J).
Dalam keadaan tidak ada reaksi nuklir dan untuk kecepatan
yang tidak mendekati kecepatan cahaya, maka hukum kekekalan energi
dapat diterapkan pada perubahan energi dari tipe yang satu ke tipe yang
lain. Hukum ini menyatakan bahwa dalam setiap sistem, energi tidak
dapat diciptakan atau tidak dapat dimusnahkan. Jadi, jika energi
ditambahkan pada sistem, maka energi akhir sama dengan energi inisial
ditambah sejumlah energi yang ditambahkan. Sebaliknya jika energi
dikurangi, maka energi akhir sama dengan energi awal dikurangi
sejumlah energi yang diambil.

Jumlah panas yang dibutuhkan bergantung pada cara panas itu

Mikrofisika Awan Dan Hujan


24
ditambahkan. Misalnya, jumlah panas yang dibutuhkan untuk
menaikkan temperatur satu derajat dengan volume sistem dijaga
konstan, disebut kapasitas panas pada volume konstan, diberi notasi
dengan simbol Cv. Sebaliknya, jika tekanan dijaga konstan, maka panas
yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur satu derajat, disebut
kapasitas panas pada tekanan konstan, diberi notasi dengan Cp. Sebuah
sistem pada tekanan konstan akan berekspansi bila dipanasi, jadi
melakukan kerja. Karena itu Cp lebih besar daripada Cv.

Kapasitas panas per satuan massa dinyatakan sebagai


kapasitas panas spesifik atau panas spesifik saja. Dalam hal ini diberi
notasi dengan huruf kecil, sehingga panas spesifik pada tekanan konstan
dan volume konstan ditulis sebagai cp dan cv. Konstanta gas spesifik (R)
dapat ditulis dengan ekspresi berikut:
R = cp  cv
(2.3)

b. Hukum termodinamika pertama


Hukum pertama ini menyatakan dua faktor empirik:
I. Panas adalah bentuk energi, disebut hukum Joule yang menyatakan
tara kalor mekanik sebagai:
1 kal = 4,1868J
ii. Energi adalah kekal, dinyatakan oleh bentuk aljabar seperti
dijelaskan dalam uraian berikut ini

Jika sejumlah panas dQ ditambahkan pada sistem, maka


sebagian panasnya dipakai untuk meningkatkan temperatur atau
sebagian untuk mengatasi gaya atraksi antara molekul-molekul.
Keduanya merupakan penambahan energi internal sistem dU. Jika

Mikrofisika Awan Dan Hujan


25
penambahan kerja yang dilakukan oleh sistem adalah dW, maka hukum
konservasi (kekekalan) menjadi:
dQ = dU  dW (2.4)
Persamaan (2.4) adalah formulasi hukum pertama termodinamika. Jika
suku-suku dalam persamaan (2.4) dibagi dengan massa sistem, diperoleh:
dq = du  dw (2.5)
dq adalah panas yang ditambahkan per satuan massa. Jika gas per satuan
massa berekspansi pada tekanan konstan, maka dw dapat disubstitusi
dari persamaan (2.2), sehingga:
dq = du  pd (2.6)
Persamaan (2.6) adalah bentuk lain dari hukum termodinamika
pertama, kadang-kadang dinyatakan sebagai persamaan energi.

Dalam diskusi di atas, dianggap bahwa gas berekspansi dan


melakukan kerja pada lingkungannya, karena itu dw dan d keduanya
positif. Sebaliknya, kerja dapat dilakukan kepada gas dengan
menekannya. Hal ini dapat dikatakan bahwa gas melakukan kerja negatif
atau dw negatif. Karena volume berkurang, maka d juga negatif.

c. Energi internal gas ideal dan gas nyata


Teori kinetik gas menganggap bahwa atom atau molekul gas
bergerak cepat secara acak. Dalam hal gas ideal, maka dimensi partikel-
partikel ini dipandang sangat kecil dan dapat diabaikan dibandingkan
jarak rata-rata di antara partikel-partikel tersebut. Dianggap pula bahwa
gaya atraktif satu sama lain sangat kecil yang dapat diabaikan, dan
bahwa tumbukan satu sama lain atau tumbukan dengan dinding
pembatasnya (container) adalah elastis sempurna. Sistem yang

Mikrofisika Awan Dan Hujan


26
demikian mengikuti aturan hukum gas ideal, sehingga energi internal
sistem demikian hanya fungsi temperatur. Panas yang ditambahkan
pada volume konstan hanya dipakai untuk meningkatkan gerak acak
molekul-molekul gas. Berbeda dengan gas nyata (real), sebagian energi
dipakai untuk mengatasi gaya-gaya interatomik atau intermolekuler.
Jadi dalam kasus gas ideal, maka berlaku:
du = cv .dT (2.7)
dimana c adalah konstanta yang disebut panas spesifik pada volume
v

tetap.
Syarat perlu untuk gas ideal adalah:
I. Persamaan keadaan gas ideal harus diterapkan, yaitu:
p = R . T (2.8)
ii. Energi internal hanya fungsi temperatur, yaitu:
du = cv.dT
Tinjau kasus dimana panas ditambahkan pada gas dengan volume
dijaga tetap yaitu d = 0, maka persamaan (2.6) dapat direduksi menjadi:
dq = du (2.9)

Dalam kasus ini panas yang ditambahkan dipakai seluruhnya


untuk menaikkan energi internal gas. Atom atau molekul mulai bergerak
lebih cepat dan energi kinetiknya juga meningkat. Akibatnya temperatur
gas naik, karena temperatur sebanding dengan energi kinetik partikel.
Kenaikan temperatur juga terlihat dari persamaan (2.7).

Makin kecil tekanan (p) atau makin besar volume spesifik (),
maka gas nyata (real) makin mendekati hukum gas ideal.

Dalam hal gas ideal, maka cv konstan, tetapi untuk gas nyata

Mikrofisika Awan Dan Hujan


27
maka cv berubah dengan temperatur secara lambat.
Udara adalah campuran gas dan mendekati gas ideal sepanjang
tidak terjadi kondensasi. Untuk daerah temperatur atmosfer yang diamati,
panas spesifik udara kering dapat dianggap konstan, diberi simbol cvd.
d. Proses adiabatik dalam gas ideal
Proses adiabatik didefinisikan bahwa gas tidak memperoleh
panas dari atau tidak kehilangan panas ke lingkungannya. Dalam hal ini,
dq = 0 dan persamaan (2.5) menjadi:
0 = du  dw (2.10)
Sehingga perubahan energi internal gas ideal dapat dinyatakan
sebagai:
du = dw (2.11)
Jika gas berekspansi selama proses adiabatik, maka gas
melakukan kerja pada lingkungannya dan dw positif. Dari persamaan
(2.11) jelas bahwa du negatif yaitu kerja dilakukan dengan memakai
energi internal. Menunjuk pada persamaan (2.7), jika du negatif, maka
dT juga negatif. Jadi ekspansi adiabatik cenderung menurunkan
temperatur. Berbeda jika kerja dilakukan kepada gas dengan kompresi
secara adiabatik, maka kerja yang dilakukan oleh gas (dw) menjadi
negatif. Substitusi pada persamaan (2.11) menunjukkan du positif, yaitu
energi internal sampel gas meningkat. Energi yang diberikan kepada gas
akan meningkatkan energi kinetik atom atau molekul gas, karena itu
temperatur gas naik selama kompresi adiabatik. Hal ini dapat diperiksa
pada persamaan (2.7), baik du dan dT keduanya positif.
Bentuk alternatif hukum termodinamika pertama untuk gas
ideal dalam proses adiabatik dapat diperoleh dengan mengambil dq =0

Mikrofisika Awan Dan Hujan


28
pada persamaan (2.6), sehingga:
0 = du  pd (2.12)
Selama ekspansi adiabatik, maka da positif dan du negatif. Dari
persamaan (2.7) terlihat dT negatif, karenanya terjadi penurunan
temperatur. Berbeda dengan kompresi adiabatik, d negatif. Jadi du dan
dT keduanya positif, karena itu temperatur naik, meskipun gas tidak
menerima panas dari lingkungannya. Sebenarnya energi mekanis
diubah menjadi energi internal yang cenderung meningkatkan energi
kinetik atom atau molekul gas.

2.2. Persamaan Keadaan Udara Kering


Udara adalah campuran gas yang dapat diperlakukan sebagai
gas ideal selama tidak terjadi kondensasi. Dalam homosfer (yaitu
lapisan di bawah 80 km), berat molekuler rata-rata (Md) adalah
-1
28,964 kg mol .
Konstanta gas spesifik untuk udara kering (Rd), adalah:
(2.13)
* -1 -1
dengan : R adalah konstanta gas universal = 8314 joule mol K .
Jika udara dipandang sebagai campuran gas-gas ideal, maka
persamaan keadaan untuk udara kering dapat ditulis:
p = RpT (2.14)
Panas spesifik gas adalah jumlah panas yang diperlukan untuk
menaikkan temperatur satu derajat dalam satuan massa. Untuk udara
kering terdapat panas spesifik udara kering pada tekanan konstan (cpd)
dan pada volume konstan (cvd). Nilai numerik kedua panas spesifik
-1 -1 -1 -1
tersebut adalah: cpd = 1005 Jkg K dan cvd = 718 Jkg K , sehingga

Mikrofisika Awan Dan Hujan


29
konstanta gas spesifik udara kering adalah:
(2.15)
Poisson menurunkan persamaan untuk proses adiabatik yang
berbentuk:

(2.16)

Keterangan :
R = konstanta gas spesifik
cp = panas spesifik udara pada tekanan konstan

Persamaan (2.16) dapat dipakai untuk menentukan temperatur


gas, selama tidak ada pertukaran panas dengan lingkungannya.
Konstanta bergantung pada tekanan dan temperatur awal dari gas dalam
proses adiabatik.

Misalnya, jika tekanan awal 1000 mb dan temperatur awal


adalah , maka persamaan (2.16) menjadi:

atau :

(2.17)

Temperatur  disebut temperatur potensial. Temperatur potensial dapat


didefinisikan sebagai temperatur gas yang dimiliki jika gas dikompresi
atau diekspansi secara adiabatik dari keadaan p dan T ke tekanan 1000 mb.

Jelas bahwa temperatur potensial tidak berubah selama proses


adiabatik, dikatakan besaran ini mempunyai sifat konservatif. Untuk

Mikrofisika Awan Dan Hujan


30
udara kering nilai K adalah:

2.3. Bentuk Alternatif Persamaan Energi dan Entropi


Dalam pasal 2.1b, telah diturunkan persamaan energi (2.6) yang
merupakan bentuk khusus hukum termodinamika pertama. Untuk gas
ideal, persamaan (2.6) dan (2.7) menjadi:
(2.18)
Dengan menurunkan persamaan keadaan (p = RT), diperoleh:
(2.19)
sehingga persamaan (2.18) menjadi:

Dari persamaan (2.3), maka:


(2.20)
Persamaan (2.18) dan (2.20) adalah bentuk persamaan energi yang
banyak dipakai dalam meteorologi.

Hukum termodinamika kedua, menyatakan secara tidak


langsung adanya peubah keadaan lain yang disebut entropi dan
didefinisikan dengan persamaan:

(2.21)

Tinjau persamaan energi (2.20) dan substitusi volume spesifik 


dari persamaan keadaan, sehingga diperoleh:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


31
Dibagi dengan temperatur T, menghasilkan:

(2.22)
dq
adalah diferensial eksak, artinya jika diintegrasi sepanjang lintasan
R
tertutup, misalnya pada diagram (, –p), maka hasilnya nol untuk
setiap lintasan tertutup yang dipilih, yaitu:
(2.23)
dq
Entropi spesifik (s) atau entropi
d  persatuan massa
T
menghubungkan besaran dq dan T atau . Diferensial dq
menyatakan jumlah panas yang ditambahkan pada satuan massa gas
dengan temperatur T. Entropi spesifik bertambah jika panas diserap oleh
gas dan berkurang jika panas dipindahkan.

Dalam proses adiabatik, tidak ada panas ditambahkan kepada


atau diambil dari sistem, yaitu dq = 0, dan persamaan (2.21) menjadi :
(2.24)
artinya entropi spesifik (f) = konstan. Oleh karena itu proses adiabatik
kadang-kadang disebut proses isentropik (entropi sama).
Proses adiabatik kering adalah proses dimana tidak ada panas
ditambahkan kepada atau dikurangi dari udara kering. Karena itu tidak
ada perubahan entropi spesifik atau d = 0 dan karenanya disebut juga
proses isentropik.
Dengan memperlakukan udara kering sebagai campuran gas
ideal, maka dapat ditentukan persamaan (2.17) untuk temperatur
potensial (). Dapat ditunjukkan bahwa temperatur potensial udara
kering konstan selama proses adiabatik kering.

Menunjuk pada persamaan (2.17):

Mikrofisika Awan Dan Hujan


32
Dengan mengambil logaritma natural, diperoleh:

Dalam bentuk diferensial, menjadi:

Kalikan dengan c menjadi:p

(2.25)

(2.26)

Dari persamaan (2.21) dan (2.22), menghasilkan:


(2.27)

Jadi perubahan entropi dikaitkan dengan perubahan temperatur


potensial. Karena proses adiabatik kering adalah proses isentropik (d =
0), maka persamaan (2.27) menghasilkan:

atau
(2.28)

Karena itu temperatur potensial udara kering adalah konstan


selama proses adiabatik kering. Telah dibicarakan termodinamika udara
kering, tetapi atmosfer mengandung uap air dan panas laten yang
dilepaskan ketika terjadi perubahan keadaan (fasa). Proses fisis yang
berkaitan dengan termodinamika udara basah akan dibicarakan pada
subbab berikutnya.

2.4. Persamaan Keadaan Udara Basah


Telah dibicarakan bahwa dalam kondisi atmosfer, udara kering
dan uap air secara terpisah memenuhi persamaan keadaan gas ideal

Mikrofisika Awan Dan Hujan


33
(ideal) dengan cukup teliti. Karena itu dapat dimungkinkan untuk
menentukan bentuk persamaan keadaan udara basah yang merupakan
campuran antara udara kering dan uap air, sehingga:
(2.29)
dimana Rm adalah konstanta gas spesifik udara basah.

Untuk mempelajari sifat campuran gas ideal, tinjau hukum


Dalton sebagai berikut:
Tekanan total yang dilakukan oleh campuran gas ideal sama dengan
jumlah tekanan parsial yang masing-masing bekerja jika gas itu sendiri
memenuhi seluruh volume pada temperatur campuran gas tersebut.

Jadi untuk campuran gas yang terdiri dari n komponen, maka :


(2.30)
Keterangan :
i : 1, 2, ..., n
p : tekanan gas total
pn : tekanan gas komponen ke–n
Jika setiap gas secara terpisah mengikuti hukum gas ideal, yaitu :

maka tekanan gas komponen ke–n, adalah :

Keterangan :
V : volume campuran gas ideal
mn : massa komponen ke–n
Mn : berat molekuler gas komponen ke–n
, volume spesifik gas komponen ke–n

Mikrofisika Awan Dan Hujan


34
, konstanta gas spesifik komponen ke–n
Dengan memakai hukum Dalton diperoleh:

(2.31)

(2.32)

dengan atau

Berat molekuler rata-rata untuk campuran gas ideal


didefinisikan sebagai berikut :

atau

(2.33)

sehingga persamaan (2.32) menjadi :

(2.34)

Jadi campuran gas ideal mengikuti persamaan (2.34) yang analogi


dengan hukum gas ideal untuk komponen tunggal.

Hubungan konstanta gas spesifik udara basah (Rm) dan udara

Mikrofisika Awan Dan Hujan


35
kering (Rd) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Misalkan m dan m adalah massa uap air dan massa udara kering dalam
v d

campuran gas, maka menurut persamaan (2.33) untuk dua jenis gas
adalah:

(2.35)

dimana :
M : berat molekuler rata-rata campuran gas (uap air dan udara
kering)
Md : berat molekuler udara kering
Mv : berat molekuler uap air

Diketahui bahwa : R*
Rv 
Mv
dan (2.36)

Dengan memasukkanRke R
persamaan 1 maka:
(2.35),
1
m d d*  m v *v *
m d R d  m v R v 
 R R  R
M md  m v md  m v

atau
(2.37)

Dengan membagi numerator (pembilang) dan denominator (penyebut)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


36
pada sisi kanan persamaan (2.37) oleh md, diperoleh:
Keterangan :
Rm : konstanta gas spesifik udara basah
Rv : konstanta gas spesifik uap air

: perbandingan campuran

karena r << 1, maka pangkat 2 dan lebih tinggi dari r diabaikan,


sehingga :

Jadi, konstanta gas spesifik udara basah adalah:

(2.38)

2.5. Peubah Kebasahan


Udara basah (moist air) adalah campuran udara kering dengan
uap air. Ada beberapa cara untuk menyatakan kadar uap air, bergantung
pada aplikasinya. Parameter dalam udara basah dinyatakan dalam
besaran meteorologis tekanan uap, perbandingan campuran dan
kelembapan.

a. Tekanan uap
Karena air menguap ke dalam udara kering, maka uap
melakukan tekanan, sehingga didefinisikan, tekanan uap atau tekanan
parsial uap air (e) adalah bagian tekanan atmosfer yang dilakukan oleh

Mikrofisika Awan Dan Hujan


37
uap air. Satuan praktis tekanan uap adalah milibar (mb), dimana 1 mb =
-2
100 Nm = 1 hPa = 0,1 kPa.
Tekanan uap parsial yang dilakukan oleh uap air dalam ruang di
atas permukaan jenuh disebut tekanan uap jenuh (es). Tekanan uap jenuh
selalu dinyatakan terhadap ruang di atas permukaan air datar, nilainya
bertambah dengan kenaikan temperatur. Pada temperatur di bawah titik
beku, tekanan uap jenuh di atas permukaan es datar (ei) lebih kecil dari
pada di atas air kelewat dingin (es) pada temperatur yang sama (ei < es).

b. Kelembapan mutlak
Densitas uap air (rv) disebut kelembapan mutlak (absolute) yang
dihubungkan dengan persamaan keadaan uap air sebagai berikut:

atau
(2.39)
Keterangan :
v : volume spesifik uap air
Rv : konstanta gas spesifik uap air
T : temperatur

c. Perbandingan campuran
Perbandingan campuran kelembapan (the humidity mixing
ratio) udara basah biasanya disebut perbandingan campuran (r), yaitu
perbandingan massa uap air (mv) yang ada terhadap massa udara kering
(md) dalam sampel tersebut, diekspresikan sebagai:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


38
(2.40)

Jika V adalah volume sampel udara basah, maka:


dimana v dan d adalah densitas uap air dan udara kering pada
temperatur T dan tekanan p.

Dari persamaan keadaan uap air dan udara kering :

, dengan pd = p – e

Keterangan :
pd : tekanan udara kering
p : tekanan udara basah

Karena ρv εe e
r  tekanan  uap (e) ~sangat
ε kecil dibanding tekanan udara
ρ pe p
basah (p), maka: v

Rd 287 J kg -1 K 1 (2.41)
ε    0,622
Rv 461,5 J kg 1 K 1

dengan :

d. Kelembapan spesifik
Mv ρv ρv e e
q  Kelembapan
 
spesifik  εperbandingan massa
(q) adalah ~ ε uap air
M ρ ρd  ρ v p  1  ε e p
dengan massa udara lembap.
(2.42)

Perbandingan campuran dan kelembapan spesifik jenuh

Mikrofisika Awan Dan Hujan


39
dinyatakan denganerss dan qs, dan didefinisikan oleh
es persamaan (2.41)
r  ε dan q
s dengan mengganti e oleh e , yaitu
s  ε
dan (2.42) p s : p

(2.43)

Karena tekanan uap jenuh es fungsi dari temperatur, maka r dan s

q hanya fungsi dari temperatur dan tekanan, dan tidak bergantung pada
s

kadar uap di udara.

e. Kelembapan relatif
Kelembapan relatif (relative humidity) adalah rasio
perbandingan campuran dengan nilai jenuhnya pada temperatur dan
tekanan yang sama:

(2.44)

Kelembapan relatif (RH) biasanya dinyatakan dalam persen.

f. Temperatur virtual
Tinjau dua sampel udara, satu basah dan yang lain kering pada
temperatur (T) dan tekanan (p) yang sama. Dengan memakai persamaan
keadaan udara basah dan udara kering secara terpisah, diperoleh:

,udara basah

1 , udara kering
ρm  ρ
1  0,61r  d

Mikrofisika Awan Dan Hujan


40
dan dengan memakai persamaan (2.38), diperoleh:

(2.45)
Jadi densitas udara basah (m) lebih kecil daripada densitas udara kering
(d).

Tetapi, persamaan keadaan udara kering menunjukkan bahwa


pada tekanan konstan densitas udara kering berkurang dengan kenaikan
temperatur. Karena itu untuk setiap sampel udara basah pada tekanan
dan temperatur tertentu, terdapat sebuah sampel udara kering yang
mempunyai tekanan sama tetapi temperaturnya lebih tinggi, ini dikenal
dengan temperatur virtual (Tv).

Temperatur virtual sebuah sampel udara basah didefinisikan


sebagai temperatur dimana udara kering pada tekanan total sama, akan
mempunyai densitas yang sama seperti sampel udara basah.

Dengan memakai persamaan keadaan udara basah dan udara


kering, diperoleh:
p = mRmTm dan p = dRdTv
Karena dalam hal ini m = d, maka :
RmT = RdTv
(2.46)
Jadi persamaan keadaan udara basah (2.29) dapat ditulis dalam bentuk :
p = RdTv
(2.47)
Persamaan (2.47) menunjukkan definisi alternatif temperatur virtual
yaitu temperatur yang akan dipunyai udara basah jika tekanan dan
volume spesifiknya sama dengan yang dipunyai sampel udara kering.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


41
Hubungan pendekatan antara temperatur aktual dan temperatur
virtual dapat diturunkan dari persamaan (2.38) dan (2.46), yaitu:
T  T(1 + 0,61r) (2.48)
Karena perbandingan campuran tidak pernah mencapai atau
-2
r < 4 x 10 ,maka beda antara temperatur aktual dan temperatur virtual
biasanya kurang dari 1 K (satu kelvin). Dalam persamaan (2.48), r
menyatakan jumlah kilogram uap air yang tercampur dalam satu
kilogram udara kering. Pada diagram termodinamika, garis
perbandingan campuran jenuh biasanya dinyatakan dalam gram uap air
per kilogram udara kering.

2.6.Resumé
Udara kering terdiri dari gas utama (nitrogen, oksigen, argon
dan karbon dioksida) dan gas minor (neon, helium, ozon, kripton, dan
lain-lain). Udara basah terdiri dari udara kering dan uap air. Udara
natural terdiri dari udara basah dan aerosol. Udara basah ditentukan
oleh kombinasi antara termodinamika udara kering dan uap air.
Pengetahuan termodinamika udara basah dipakai untuk memahami
proses-proses fisis yang terjadi di atmosfer. Dalam meteorologi udara
kering dan uap air diperlakukan sebagai gas ideal. Panas spesifik pada
volume dan tekanan konstan dapat ditulis:

Proses-proses khusus udara kering dapat dinyatakan dalam


persamaan berikut:
I. Proses isobarik : dp = 0

Mikrofisika Awan Dan Hujan


42
ii. Proses isotermal : dT = 0
dq = p d = dw
iii. Proses isosterik : d = 0
dq = cv dT = du
iv. Proses adiabatik : dq = 0
cv dT = p datau cp dT = dp

Proses adiabatik adalah proses khusus yang penting karena banyak


perubahan temperatur yang terjadi di atmosfer dapat didekati sebagai
adiabatik.
Hukum termodinamika pertama menyatakan dua fakta empirik
yaitu panas adalah bentuk energi disebut hukum Joule yang menyatakan
tara kalor mekanik : 1 kal = 4,1868 J, dan energi adalah kekal yang
dinyatakan oleh bentuk aljabar dalam satuan massa; panas yang
ditambahkan pada sistem (dq) dipakai untuk meningkatkan energi
internal (du) dan kerja yang dilakukan sistem (dw) atau dq = du + dw.
Hukum termodinamika pertama kadang-kadang disebut persamaan
energi. Hukum termodinamika kedua menyatakan adanya peubah
(variable) keadaan lain yang disebut entropi (s), didefinisikan oleh
ekspresi: , dimana d adalah penambahan entropi spesifik
(entropi per satuan massa), dan T adalah temperatur.

Jika udara kering dianggap sebagai campuran gas ideal, maka


persamaan keadaannya adalah p = RdT, dimana p adalah tekanan, 
adalah volume spesifik (volume per satuan massa), Rd adalah konstanta
gas spesifik udara kering, dan T adalah temperatur. Sedangkan
persamaan keadaan udara basah adalah p = RmT dengan Rm = Rd (1 +
0,61r), dimana Rm adalah konstanta gas spesifik udara basah, dan r

Mikrofisika Awan Dan Hujan


43
Bab 3

Proses Fisis Uap Air

Meskipun uap air (H2O) kadarnya sangat kecil di atmosfer, tetapi


gas ini sangat penting dalam proses cuaca, karena uap air mempunyai
sifat dapat berubah fasa (wujud) menjadi fasa cair disebut kondensasi
dan sebaliknya disebut evaporasi atau menjadi fasa padat (es) disebut
deposisi dan sebaliknya disebut sublimasi. Perubahan fasa yang lain
misalnya dari fasa cair menjadi fasa padat (es) disebut pembekuan dan
sebaliknya disebut peleburan. Atmosfer mengandung udara kering, uap
air dalam ketiga fasanya, dan aerosol, disebut udara natural. Jumlah uap
air di udara bergantung pada tempat dan waktu. Di atas gurun Sahara
kadar uap air sangat kecil, sedangkan benua maritim Indonesia sering
disebut daerah ekuatorial lembap.

Udara lembap adalah campuran dari udara kering dan uap air.
Dalam mikrofisika awan dan hujan, uap air sangat penting dengan
beberapa alasan. Pertama, uap air dapat menjadi partikel awan melalui
kondensasi, dan partikel awan dapat menjadi tetes hujan melalui
mekanisme benturan – tangkapan (awan tetes) atau menjadi kristal es
melalui difusi tetes kelewat dingin ke kristal es (awan es). Kedua, uap air
dapat menyerap radiasi gelombang pendek matahari maupun radiasi
gelombang panjang bumi. Ketiga, uap air mengandung panas laten
Mikrofisika Awan Dan Hujan
45
(terselubung) yang dapat dilepaskan menjadi energi ketika uap air
mengondensasi. Panas laten ini merupakan sumber energi gangguan
atmosfer. Keempat, uap air dapat mempengaruhi kecepatan evaporasi
(penguapan) dan evapotranspirasi. Kelima, uap air di atmosfer dapat
berubah fasa. Keenam, kadar uap air dan distribusi vertikalnya
mempengaruhi kestabilan atmosfer.

3.1. Persamaan Clausius - Clapeyron


Uap air di atmosfer secara pendekatan mempunyai kelakuan
seperti gas ideal. Persamaan keadaannya adalah:
e  ρv R v T atau eα v  R v T (3.1)

Keterangan:

e : tekanan uap
v : densitas uap air
v : volume spesifik (per satuan massa) uap air
Rv : konstanta gas individu untuk uap air
= 0,4615 J g-1 K-1 = 461,5 J kg-1 K-1

Persamaan (3.1) kadang-kadang ditulis sebagai:


Rd
e  ρv T (3.2)
ε
dimana:
Rd : konstanta gas individu untuk udara kering
= 0,287 J g-1 K-1 = 287 J kg-1 K-1
Rd
ε   0,622
Rv

Mikrofisika Awan Dan Hujan


46
Uap air mempunyai panas spesifik pada tekanan konstan (cpv) = 1,81 J g-1
K-1 = 1810 J kg-1 K-1 dan pada volume konstan (cvv) = 1,35 J g-1 K-1 =
-1 -1
1350 J kg K .

Tinjau sebuah container (kotak) yang tertutup dan terisolasi terhadap


panas, diisi sebagian dengan air. Molekul-molekul lapisan permukaan air
berada dalam agitasi (gerakan tak teratur) dan sebagian melepaskan diri
sebagai molekul-molekul uap air. Sebaliknya beberapa molekul uap
bertumbukan dengan permukaan dan menempel. Karena itu kondensasi dan
evaporasi terjadi secara simultan (bersamaan), lihat gambar 3.1.

A
Gambar 3.1. Uap air dalam keseimbangan dengan permukaan cair.

Pada temperatur tertentu, kondisi keseimbangan akan tercapai


jika dua proses mempunyai kecepatan yang sama. Kemudian
temperatur udara dan uap sama dengan temperatur cair dan tidak ada
transfer neto molekul-molekul dari fasa satu ke fasa lain. Ruang di atas
cairan (liquid) kemudian disebut jenuh dengan uap air. Dalam keadaan
demikian, tekanan parsial uap air disebut tekanan uap jenuh yang hanya
bergantung pada temperatur.
Jika L adalah panas yang diperlukan untuk mengubah satu
satuan massa cair ke uap dengan tekanan dan temperatur dipegang tetap
(disebut panas laten penguapan), maka untuk transisi dari fasa 1 (cair)
ke fasa 2 (uap) diperoleh persamaan:
q2 u2 α2

L   dq   du   pdα  u 2  u1  es α 2  α1  (3.3)
q1 u1 α1

Mikrofisika Awan Dan Hujan


47
dimana es menunjukkan tekanan uap jenuh yang konstan selama proses
berlangsung. Karena temperatur juga konstan maka :
q2 q2 2 φ
dq
L   dq  T   T  dφ  T φ 2  φ1  (3.4)
q1 q1
T φ1
dq
dimana: d  T adalah penambahan entropi spesifik yang menyertai

penambahan panas dq untuk satu satuan massa gas pada temperatur T.

Dengan menyamakan persamaan (3.3) dan (3.4), diperoleh:


u 2  u1  es α 2  es α1  T2  T1
atau
u1  es α1  T1  u 2  e s α 2  T2 (3.5)

Persamaan (3.5) menunjukkan bahwa kombinasi variabel


termodinamika dalam perubahan fasa isotermal dan isobarik adalah
konstan. Kombinasi variabel termodinamika ini disebut fungsi Gibbs
sistem dan diberi notasi G, jadi untuk fasa 1 diperoleh:
G1  u1  es α1  T1 (3.6)

dan persamaan (3.5) dapat ditulis sebagai:


G1  G2  G  u  e s α  T
Meskipun besaran G konstan dalam transisi fasa, tetapi fungsi
Gibbs berubah dengan temperatur dan tekanan, dan ketergantungannya
pada variabel-variabel ini dapat ditentukan dengan bentuk diferensial:
dG  du  es dα  α des  Td  dT (3.7)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


48
Tetapi, dari hukum termodinamika pertama:
du + pd = dq,
dan untuk uap air menjadi,
du + es d = dq = Td,
sehingga persamaan (3.7) dapat direduksi menjadi:
dG  du  es dα  α des  Td  dT

Td

dG  α des  dT (3.8)

Karena fungsi Gibbs G sama untuk kedua fasa maka, dG1 = dG2
dan persamaan (3.8) menjadi :
α1 des  1 dT  α 2 des  2 dT
atau
des α 2  α1  dT 2  1
atau
des 2  1

dT α 2  α1
L
dari persamaan (3.4): 2  1 
T
des L
 (3.9)
dt T α 2  α1 

Persamaan (3.9) menyatakan perubahan tekanan uap jenuh


terhadap temperatur dan disebut persamaan Clausius–Clapeyron
(Clapeyron, 1834 and Clausius, 1850). Dalam keadaan atmosfer biasa
(ordiner) maka 2 >> 1, dan uap air berkelakuan sebagai gas ideal,
sehingga persamaan (3.9) dapat direduksi menjadi:

(3.10)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


49
dengan memasukkan persamaan keadaan uap air, untuk sublimasi,
maka L harus diganti oleh Ls.

Keterangan :
L : panas laten penguapan
Ls : panas laten sublimasi
2 : volume spesifik uap air
es : tekanan uap jenuh
Rv : konstanta gas uap air
0
Pada temperatur lebih dingin 0 C, persamaan (3.10)
menggambarkan tekanan uap jenuh dari air cair kelewat dingin. Es juga
dapat berada dalam keseimbangan dengan uap pada temperatur di bawah 0
0
C (temperatur beku). Perubahan tekanan uap jenuh es terhadap
temperatur diberikan oleh persamaan Clausius – Clapeyron (3.10), dengan
L diganti oleh Ls yaitu panas laten sublimasi. Pada temperatur lebih panas
0 0C, hanya air cair yang berada dalam keseimbangan dengan uap air.

3.2. Aplikasi Persamaan Clausius – Clapeyron


Sebagai pendekatan pertama, persamaan Clausius–Clapeyron
dapat diintegrasi dengan meninjau panas laten konstan;

Dari persamaan (3.10):

Bila diintegrasi dari temperatur T0 = 0 0C = 273 K sampai pada


temperatur T :
e s T  T
des L dT
  T 2
e s0
es Rv T0

Mikrofisika Awan Dan Hujan


50
atau
es T L  1 1
n    
es0 Rv  T0 T  (3.11)

dengan es0 adalah tekanan uap jenuh pada temperatur T0, yaitu sebuah
konstanta yang harus ditentukan melalui eksperimen. Diperoleh bahwa
0
es0 = 611 Pa = 6,11 mb pada T0 = 0 C. Panas laten penguapan pada
0 6
temperatur sekitar 0 C mendekati 2,50 x 10 J/kg.

Dengan memasukkan nilai-nilai ini kedalam persamaan (3.11)


diperoleh persamaan Clausius – Clapeyron pendekatan tekanan uap
jenuh di atas air sebagai berikut:

es T  A eB T (3.12)

dengan A = 2,53 x 108 kPa dan B = 5,42 x 103 K.

Panas laten penguapan sedikit bergantung pada temperatur dan


0 0
bervariasi sekitar 6% pada jangka temperatur dari – 30 C sampai + 30 C.
Ketergantungan temperatur dapat dinyatakan dari persamaan (3.3) yaitu:
L  u 2  u1  es α 2  α1
dengan menganggap 2 >> 1 dan es 2 = Rv T, dimana 2 = v : volume
spesifik uap air, maka:
L  u 2  u1  e s α 2  u 2  u1  R v T
Jika dideferensiasi terhadap T, menghasilkan:
dL du 2 du1
   Rv
dT dT dT
atau
dL
 c vv  c  R v  c pv  c (3.13)
dT

Mikrofisika Awan Dan Hujan


51
Keterangan:
du 2
c vv  : kapasitas panas spesifik uap air pada volume
dT
konstan.
du1
c  : kapasitas panas spesifik air cair
dT
dan

c pv  c vv  R v : panas spesifik uap air pada tekanan konstan.

Dengan menganggap panas spesifik sebagai konstanta, maka


persamaan (3.13) dapat diintegrasi :
L T

 dL  c pv  c  dT
L0 T0

L  L0  c pv  c T  T0
atau

LT  L 0  c  c pv T  T0 (3.14)

dengan L0 = L(T0) adalah konstanta integrasi.

Kapasitas panas spesifik bergantung pada temperatur dan


tekanan, meskipun sangat kecil. Pada tekanan uap jenuh, misalnya, panas
spesifik pada tekanan konstan cpv bertambah dengan meningkatnya
0
temperatur, sekitar 2% lebih besar pada temperatur 30 C dibandingkan
pada –30 0C. Untuk banyak tujuan, variasi ini dapat diabaikan dan nilai
cpv=1870 J kg-1 K-1, secara pendekatan panas spesifik pada volume
-1 -1 -1
konstan cvv = 1410 J kg K . Untuk air cair, panas spesifik sekitar 1 kal g
K-1 = 4187 J kg-1 K-1 pada temperatur lebih panas 0 0C dengan variasi 1%,
tetapi jika temperatur di bawah 0 0C, besaran ini perlahan-lahan naik
0
sampai suatu nilai sekitar 8% lebih besar pada – 30 C.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


52
Sebagai pendekatan pertama untuk tekanan uap jenuh di atas es
(ei) dipakai persamaan Clausius – Clapeyron (3.12), dengan konstanta
9 3
A = 3,41 x 10 k Pa dan B = 6,13 x 10 K. Pendekatan ini diperoleh dari
penggantian panas laten penguapan L (dalam persamaan 3.11) dengan
Ls yaitu panas laten sublimasi. Dengan memakai Ls = 2,83 x 106 J kg-1 dan
0 0
ei pada 0 C = 611 Pa. Eksperimen menunjukkan bahwa es ~ ei pada 0 C,
lihat tabel 3.1.

Dengan membandingkan persamaan (3.11) untuk tekanan uap


jenuh di atas air (es) dan di atas es (ei) menunjukkan bahwa pada
temperatur di bawah titik beku:
es T  L T 
 exp  f  0  1 (3.15)
ei T   R v T0  T 
dimana Lf = Ls – L adalah panas laten peleburan (fusi) air. Secara
0
numerik, pendekatan persamaan (3.15) disekitar 0 C, adalah
2,66
es T   273 
~   T dalam K, dan T0  0 0 C (3.16)
ei T   T 

Mikrofisika Awan Dan Hujan


53
Tabel 3.1. Tekanan uap jenuh di atas air dan di atas es serta panas laten
*)
kondensasi (L) dan sublimasi (Ls).

T (0C) es (Pa) ei (Pa) L (J/g) Ls (J/g)


– 40 19,05 12,85 2603 2839
– 35 31,54 22,36
– 30 51,06 38,02 2575 2839
– 25 80,90 63,30
– 20 125,63 103,28 2549 2838
– 15 191,44 165,32
– 10 286,57 259,92 2525 2837
–5 421,84 401,78
0 611,21 611,15 2501 2834
5 872,47 2489
10 1227,94 2477
15 1705,32 2466
20 2338,54 2453
25 3168,74 2442
30 5245,20 2430
35 5626,45 2418
40 7381,27 2406

*) Sumber: Rogers and Yau (1989)

Persamaan (3.16) menunjukkan bahwa tekanan uap jenuh di atas


air (es) lebih besar daripada tekanan uap jenuh di atas es (ei) untuk semua
temperatur di bawah 273 K dan bahwa rasio es/ei terus naik jika
temperatur berkurang. Atmosfer yang jenuh terhadap air adalah juga
kelewat jenuh relatif terhadap es, dan derajat kejenuhan bertambah
dengan kelewat dingin.

Bolton 1980 (dalam Rogers and Yau, 1989) menunjukkan bahwa


data yang ditabelkan pada es (T) untuk air mempunyai ketelitian 0,1%

Mikrofisika Awan Dan Hujan


54
pada jangka temperatur – 30 0C < T < 35 0C, dengan formula empiris
berikut:
 17,67 T 
es T   6,112 exp   (3.17)
 T  243,5 
0
dimana es dalam mb dan T dalam C.

3.3. Kejenuhan Udara Basah


Ada beberapa proses udara basah dapat mencapai kejenuhan
(saturation). Proses-proses ini misalnya dengan memasukan temperatur
baru yang merefleksikan kadar air di udara, seperti : temperatur titik
embun, temperatur bola basah, dan temperatur kondensasi isentropik.

a. Temperatur titik embun

Temperatur titik embun Td, didefinisikan sebagai temperatur


dimana udara basah harus didinginkan pada tekanan dan perbandingan
campuran konstan sehingga menjadi jenuh terhadap air. Temperatur
titik beku (the frost point temperature) Tf, didefinisikan serupa, agar
udara menjadi jenuh relatif terhadap es. Jelas bahwa perbandingan
campuran pada temperatur titik embun sama dengan perbandingan
campuran udara basah: rs (p, Td) = r. Pendekatan analitik dari temperatur
titik embun Td adalah:
Td  Td r, p  B n Aε rp (3.18)
Dianggap bahwa tidak ada uap air yang masuk maupun yang
meninggalkan udara basah, sehingga perbandingan campurannya r
konstan. Jika udara basah didinginkan secara isobarik (tekanan konstan)
maka suatu temperatur dimana udara menjadi jenuh akan tercapai, disebut
temperatur titik embun atau secara sederhana disebut titik embun (Td).

Mikrofisika Awan Dan Hujan


55
Kondensasi akan terjadi jika temperatur udara basah turun di bawah titik
embun. Secara grafik titik embun dilukiskan oleh tephigram pada gambar
0
3.2. Pada gambar ini, ditunjukkan sampel udara pada temperatur 10 C,
tekanan 900 mb, dan dianggap mempunyai perbandingan campuran 5
g/kg. Titik embun (Td) diperoleh dari perpotongan isobar 900 mb dengan
0
garis uap 5 g/kg, hasilnya Td = 2,2 C. Temperatur kondensasi isentropik
diperoleh dari perpotongan adiabat melalui (T, p) dengan garis uap 5 g/kg,
hasilnya Tc = 0,7 0C dan pc ~ 800 mb.

Gambar 3.2. Tephigram untuk mencari temperatur titik embun (Td) dan temperatur
kondensasi isentropik (Tc).

b. Temperatur bola basah

Temperatur sampel udara basah dapat didinginkan pada tekanan


konstan melalui penguapan air atau sublimasi es. Dalam hal ini
perbandingan campuran (r) udara meningkat. Panas laten untuk perubahan
fasa cair atau padat (es) menjadi uap air diberikan oleh udara itu sendiri.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


56
Akibatnya, udara basah menjadi dingin pada suatu temperatur dimana
udara menjadi jenuh, disebut temperatur bola basah (Tw)

Temperatur bola basah Tw, didefinisikan sebagai temperatur


dimana udara dapat didinginkan melalui penguapan air pada tekanan
konstan sampai tercapai kejenuhan (catatan : r tidak dipegang konstan,
sehingga Td  Tw pada umumnya).

Tinjau sampel udara basah yang terdiri dari 1 kg udara kering


dan r kg uap air, maka penambahan (perubahan) panasnya adalah :
1  r dq  c v dT  r c vv dT
Keterangan :

cp : panas spesifik udara kering tekanan konstan = 1005 J kg-1 K-1


cv : panas spesifik udara kering pada volume konstan = 718 J kg-1 K-1
-1 -1
cvv : panas spesifik uap air pada volume konstan = 1410 J kg K

 c 
 1  r vv 
dq

c v  r c vv
 cv 
cv   c  1  1,96 r 
v 
dT 1 r  1 r   1 r 
 
 
Panas spesifik pada volume konstan untuk udara basah (moist
air) adalah :
dq
c vm  ~ c v 1  r , karena : dq  c vm dT
dT
c vv 1410 J kg 1 K 1
dengan memasukkan nilai   1,96
cv 718 J kg 1 K 1
Dan panas spesifik udara basah pada tekanan konstan adalah:

c pm  c p 1  0,9r (3.19)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


57
Dalam proses isobarik (tekanan tetap), maka hukum
termodinamika untuk sampel udara basah adalah:

dq  c pm dT  c p dT 1  0,9r (3.20)

Berkaitan dengan massa penguapan air (dr) maka terjadi


kehilangan panas sebesar :
1  r dq   Ldr
atau
 Ldr
dq 
1 r
Dari persamaan (3.20), diperoleh :
dq  Ldr
c p dT  
1  0,9r 1  r 1  0,9r 
atau
c p dT ~ Ldr 1  1,9r
faktor koreksi (1,9r) sering diabaikan terhadap 1, sehingga
c p dT   Ldr (3.21)

Dengan menganggap L konstan terhadap temperatur maka persamaan


(3.21) dapat diintegrasi:
Tw r
L s
 dT
T
 
c p r
dr

L
Tw  T   rs  r 
cp
atau
T  Tw L
 (3.22)
rs p, T   r cp

Mikrofisika Awan Dan Hujan


58
Dengan menggabung persamaan rs (p, T) dan persamaan Clausius –
Clapeyron untuk es (T) dan dengan pendekatan persanmaan (3.12) untuk
es (T) diperoleh Tw sebagai berikut:

L ε B 
Tw  T  A e Tw  r  (3.23)
cp p 
8
yang dapat dipecahkan dengan iterasi. Konstanta A = 2,53 x 10 k Pa dan
B = 5,42 x 103 K.

c. Temperatur ekivalen

Proses isobarik lain dalam udara basah terjadi ketika uap airnya
mengondensasi pada tekanan tetap. Dalam kasus ini, panas laten yang
dilepaskan selama kondensasi uap air dipakai untuk memanasi udara.
Temperatur yang tercapai ketika semua uap air dalam sampel udara
telah mengondensasi disebut temperatur ekivalen. Secara praktis tidak
ada mekanisme dalam atmosfer yang mencapai pada temperatur
ekivalen. Tetapi dimungkinkan menentukan temperatur ekivalen
pseudo (Tse) dari diagram skew T - np atau tephigram yang secara
pendekatan Tse sama dengan temperatur ekivalen (Te).

Temperatur ekivalen didefinisikan sebagai temperatur sampel


udara basah yang akan tercapai jika semua kebasahan (moisture)
dikondensasikan pada tekanan konstan. Ekspresi Te berasal dari
persamaan (3.22) jika diambil rs ~ 0 (perbandingan campuran akhir) dan
Tw = Te, jadi:
Lr
Te  T (3.24)
cp

Mikrofisika Awan Dan Hujan


59
d. Temperatur kondensasi isentropik

Temperatur kondensasi isentropik (Tc) didefinisikan sebagai


temperatur dimana kejenuhan tercapai bila udara basah didinginkan secara
adiabatik dengan perbandingan campuran r dipegang konstan. Pendekatan
analitik untuk Tc yang harus dipecahkan dengan iterasi, adalah:
1
 Aε  T  k 
Te  B n   0   (3.25)
 0  Tc  
rp
Persamaan ini diperoleh dengan mengambil Tc = Td (r,pc) dan oleh
substitusi persamaan (3.18) untuk Td kedalam persamaan adiabatik
k
T  p
    
 T0   p 0  , dan ditulis dalam bentuk :
k
Tc p 
  c 
T0  p0  (3.26)

Sebenarnya, hal itu tidak jelas bahwa kondensasi akan terjadi bila
ekspansi berlanjut di luar titik kejenuhan.

Temperatur kondensasi isentropik (Tc) dapat dimengerti dengan


bantuan peta termodinamik. Udara mula-mula mempunyai koordinat (T, p)
dengan perbandingan campuran r. Kemudian didinginkan secara adiabatik
sampai adiabatnya memotong garis uap yang didefinisikan oleh rs = r.
Tekanan pada interseksi (perpotongan) ini disebut tekanan kondensasi
isentropik (pc) dan temperaturnya Tc, lihat gambar 3.2. untuk acuan.

3.4. Proses Pseudoadiabatik


Jika ekspansi udara terus berlanjut setelah titik kondensasi
isentropik dicapai, maka kondensasi juga tercapai dan panas laten

Mikrofisika Awan Dan Hujan


60
kondensasi yang dilepaskan cenderung memanasi udara. Akibatnya
susut temperatur (penurunan temperatur terhadap ketinggian) akan lebih
lambat setelah kondensasi ketimbang ketika sebelum terjadi kondensasi.
Dalam proses pseudoadiabatik dianggap air kondensasi (condensate)
segera menjadi tetes presipitasi (tetes hujan atau kristal es). Hal ini
merupakan kasus yang paling sederhana, karena kadar panas laten
kondensasi diabaikan dalam menghitung perubahan temperatur udara.

Dimungkinkan menurunkan ekspresi proses pseudoadiabatik


udara jenuh. Tinjau sebuah sampel udara jenuh yang terdiri dari 1 kg
udara kering dan rs kg uap air. Keadaan awal sampel udara jenuh ini
mempunyai tekanan p, temperatur T dan jumlah uap air rs. Misalkan
sampel berekspansi dan menjadi dingin di bawah kondisi
pseudoadiabatik. Produk-produk kondensasi jatuh keluar dari udara
segera setelah terbentuk, sehingga keadaan barunya menjadi p + dp, T +
dT, dan rs + drs. Dengan demikian perubahan tekanannya sebesar dp,
temperaturnya dT yang sesuai dengan perubahan kadar airnya drs, dimana
dp, dT dan drs semuanya negatif.

Kondensasi dari – drs kg uap air akan melepaskan panas laten


sebesar – Ldrs dan dianggap bahwa panas ini dipakai untuk memanasi udara
basah. Karena rs < 1, maka jumlah panas yang diserap oleh uap air yang
tersisa adalah kecil dibandingkan dengan yang diperoleh udara kering.
Karena itu dianggap bahwa semua panas laten yang dilepaskan akan
diserap oleh 1 kg udara kering yang melakukan tekanan parsial pd = p – es,
dimana p adalah tekanan udara basah dan es adalah tekanan uap jenuh.

Dengan memakai hukum termodinamika pertama, diperoleh


hubungan pendekatan dari persamaan (2.20) sebagai berikut:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


61
(3.27)

Persamaan (3.27) dapat disederhanakan dengan mengabaikan es


terhadap p. Dan jika dibagi dengan T, diperoleh:

(3.28)

atau

(3.29)

Persamaan (3.28) merupakan basis pseudoadiabat (kurva


pseudoadiabatik) pada peta termodinamika. Dengan memakai
persamaan (2.26) untuk udara kering, diperoleh:
dr
 L s  c p d n θ  (3.30)
T
Karena drs negatif (kondensasi) selama ekspansi, maka
temperatur potensial () tidak tetap, melainkan menjadi panas, akibat
pelepasan panas laten. Untuk kondensasi yang terjadi selama proses
pseudoadiabatik maka temperatur aktual (T) sampel terus turun, tetapi
kecepatan penurunan temperatur dengan ketinggian tempat (susut
temperatur) lebih kecil dibandingkan dengan udara tak jenuh.

Selama kenaikan sampel udara, biasanya dapat dibenarkan untuk


mengabaikan perbedaan kecil antara proses adiabatik jenuh dan
pseudoadiabatik. Dengan memakai diagram aerologi (tephigram atau
skew T - n p) dianggap bahwa kecepatan menjadi dingin (penurunan
temperatur) parsel udara jenuh yang naik dalam proses pseudoadiabatik
pada dasarnya sama dengan kecepatan pendinginan dalam proses
adiabatik jenuh yang sebenarnya.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


62
Gambar 3.3, menunjukkan proses ekspansi pseudoadiabatik. Dalam
ekspansi adiabatik, temperatur berkurang sepanjang adiabatik kering
sampai titik kondensasi isentropik P tercapai. Ekspansi selanjutnya
dibarengi dengan pelepasan panas laten dan temperatur mengikuti
kurva pseudoadiabatik dari P.

Gambar 3.3. Ekspansi sampel udara lanjutan (gambar 3.2) di luar titik kondensasi
isentropik P. Garis titik-titik adalah pseudoadiabat melalui P. Diagram
ini menunjukkan penentuan beberapa temperatur teoritis penting (Tsw, w,
dan sebagainya) yang mencirikan sampel udara.

Beberapa tambahan temperatur khusus yang dapat didefinisikan


oleh diagram termodinamika adalah :

a. Temperatur basah adiabatik Tsw diperoleh dengan mengikuti


pseudoadiabat dari titik P ke bawah ke tekanan mula-mula. Hasilnya
mempunyai ketelitian sekitar 0,5 0C dari temperatur bola basah yang
dihitung dengan persamaan (3.22), lihat gambar 3.3.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


63
b. Temperatur potensial bola basah w didefinisikan sebagai
perpotongan kurva pseudoadiabatik melalui P dengan isobar p =
1000 mb, lihat gambar 3.2.

c. Temperatur eqivalen Te (definisi adiabatik) diperoleh dengan


mengikuti pseudoadiabat ke atas dari titik P ke tekanan yang sangat
rendah, jadi semua uap air mengondensasi, kemudian kembali ke
tekanan semula sepanjang adiabatik kering. Temperatur ini dengan
mengintegrasi persamaan (3.28) dari temperatur mula T ke
temperatur final Te, dan dapat didekati oleh persamaan berikut:
 Lr 
Te  T exp  s  (3.31)
 c p Tc 

d. Temperatur potensial ekivalen e, didefinisikan sebagai temperatur


parsel udara yang akan dimiliki jika diambil dari temperatur
ekivalennya ketekanan 1000 mb dalam proses adiabatik, lihat
gambar 3.3. Formula semi empiris dengan ketelitian 0,5 K adalah:

 2675r 
e   exp   (3.32)
 Tc 

Mikrofisika Awan Dan Hujan


64
Gambar 3.4. Tephigram yang memuat pseudoadiabat dan garis uap.

Ada hubungan satu-satu antara e dan w , keduanya ditentukan


oleh proses pseudoadiabatik yang mencirikan sampel udara baik
konservatif (kekal) dalam proses adiabatik kering atau proses
pseudoadiabatik.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


65
Gambar 3.4, menunjukkan Tephigram dengan pseudoadiabat dan
garis uap. Pseudoadiabat adalah garis dengan w konstan dan dinyatakan
dalam 0C pada posisi antara 500 – 600 mb. Garis uap adalah garis-garis
dengan rs konstan dan dinyatakan dalam g/kg.

Dalam proses pseudoadiabatik fasa terkondensasi tidak ditinjau


untuk menghitung perubahan temperatur udara. Jumlah bahan
terkondensasi ini dapat ditentukan sebagai berikut. Misalnya udara pada
titik kondensasi isentropik terdiri dari 1 kg udara kering dan rs kg uap air.
Ketika udara ini berekspansi secara pseudoadiabatik, maka
perbandingan campuran jenuh rs berkurang sejumlah drs. Jika udara
tetap berada dalam keadaan jenuh, maka jumlah air yang sama harus
dikondensasikan yaitu sebesar dX, jadi berlaku:
dX   d rs (3.33)
Persamaan (3.33) menyatakan hubungan antara perbandingan
campuran jenuh dan jumlah bahan yang terkondensasi.

3.5. Proses Adiabatik Udara Jenuh


Jika udara jenuh berekspansi secara adiabatik, maka uap air akan
mengondensasi menjadi air cair atau es karena temperaturnya turun.
Proses kondensasi ini akan melepaskan panas laten yang akan
memberikan sebagian energi untuk melakukan ekspansi. Akibatnya
kecepatan penurunan temperatur dengan penurunan tekanan (kenaikan
ketinggian) lebih kecil dari pada dalam ekspansi adiabatik kering.
Dalam kasus ekspansi adiabatik kering, seluruh energi yang dipakai
untuk kerja ekspansi berasal dari energi internal gas.

Untuk sistem secara keseluruhan proses tersebut adalah


adiabatik. Tetapi, hal itu tidak adiabatik untuk unsur-unsur individu

Mikrofisika Awan Dan Hujan


66
(udara kering, uap air dan produk kondensasi) yang membentuk sistem.
Ada beberapa kemungkinan dalam mendefinisikan proses fisis ini,
tetapi hanya akan ditinjau dua kasus ekstrim di atmosfer, yaitu:

a. Proses terbalikan (reversible process) dimana semua produk-produk


kondensasi (tetes air atau kristal es) tersimpan dalam sampel udara.

b. Proses tak terbalikan (irreversible process) dimana produk-produk


kondensasi jatuh keluar dari sampel udara segera setelah partikel
presipitasi tersebut terbentuk.

Situasi dalam atmosfer nyata (riil) sering terletak antara kedua


kasus ekstrim tersebut. Beberapa produk kondensasi dapat jatuh keluar,
sedang yang lain tetap mengapung sebagai partikel-partikel awan dalam
udara. Untungnya perbandingan campuran udara adalah kecil dan
produk-produk kondensasi yang jatuh keluar tidak banyak membawa
panas, sehingga kehilangan panas juga kecil.

a. Proses terbalikan

Jika semua produk-produk kondensasi (tetes air dan kristal es)


tetap mengapung di dalam udara, maka sampel udara selalu terdiri dari
material yang sama. Karena itu transformasi sampel udara adalah
reversible (terbalikan).

Panas laten kondensasi yang dilepaskan akan memanasi uap air


dan produk-produk kondensasi dari sampel udara. Proses demikian
adalah adiabatik dalam pengertian tidak ada panas ditambahkan dari
luar, meskipun panas laten tampak sebagian panas terasa (sensible) di
dalam sampel udara. Kasus ini disebut proses adiabatik basah atau
proses adiabatik jenuh.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


67
Dalam proses adiabatik jenuh terbalikan, air terkondensasi
berada bersama udara dan kapasitas panasnya diperhitungkan. Dari
persamaan (3.33), rasio campuran air total Q didefinisikan sebagai:
Q  rs  X (3.34)
adalah kekal dalam parsel udara jenuh. X adalah perbandingan campuran
air cair adiabatik. Dengan asumsi bahwa parsel udara adalah sistem
termodinamika tertutup, maka perubahan temperatur akan terbalikan,
adiabatik dan isentropik.

Entropi spesifik udara berawan diberikan oleh ekspansi berikut:


   d  rs  v  X  w (3.35)
Keterangan:
d, v, w : entropi spesifik udara kering, uap, dan cair.

Dari persamaan (3.4): L  T 2  1 atau L  T v  w ,


L
maka v  w  dan persamaan (3.35) dapat ditulis sebagai:
T
L
  d  w Q  rs (3.36)
T
Karena itu dalam proses isentropik ( : konstan), maka
Lr 
d  0  d d  d w Q   d  s  (3.37)
 T 
tetapi dd  c p d n T  R d d n p d

dan dw  c w d n T

Keterangan:
cw : panas spesifik air cair
Q = x + rs : rasio campuran air total
-1 -1
Rd = 287 J kg K : konstanta gas individu untuk udara kering.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


68
Sehingga:
Lr 
c p  Q c w d n T   R d d n p d   d  s   0 (3.38)
 T 

Beda utama antara persamaan (3.38) dan (3.28) adalah bahwa


panas laten yang diserap oleh zat (bahan) air diperhitungkan dalam proses
adiabatik jenuh terbalikan. Integrasi persamaan (3.38) memberikan:

T  rs L 
exp    konstan (3.39)
 T c p  c w Q 
R
pd d  cw Q
cp

b. Proses tak terbalikan

Dalam proses tak terbalikan produk-produk kondensasi jatuh


keluar dari sampel udara segera setelah terbentuk. Jadi perubahan massa
dan komposisi sampel udara serta transformasi adalah tidak terbalikan.
Tinjau sebuah sampel udara jenuh yang mula-mula naik dan
berekspansi akibat penurunan tekanan udara lingkungan. Panas laten
akan dilepaskan karena produk-produk kondensasi terbentuk dan jatuh
keluar. Kasus ini mengurangi kecepatan pendinginan sampai suatu nilai
yang lebih kecil dari pada susut temperatur (lapse rate) adiabatik kering.
Karena itu sampel menjadi dingin dari pada susut temperatur adiabatik
jenuh yang sesuai.

Misalkan arah gerak sekarang berubah kebawah dan sampel udara


mulai turun. Karena sampel turun ke paras yang lebih bawah dimana
tekanannya lebih besar maka sampel akan dikompresi. Energi internal
partikel akan meningkat dan temperatur akan naik. Pemanasan ini tidak
dapat diubah kembali menjadi panas laten, karena air (atau es) tidak lama

Mikrofisika Awan Dan Hujan


69
lagi akan menguap. Jadi sampel udara akan meningkat temperaturnya
pada susut temperatur adiabatik kering ketika sampel udara turun.

Karena itu, perubahan dimana sampel udara menjadi dingin pada


susut temperatur adiabatik jenuh ketika udara naik, tetapi menjadi panas
pada susut temperatur adiabatik kering ketika udara turun adalah tidak
terbalikkan. Sampel tidak dapat kembali pada keadaan asalnya tanpa
perubahan-perubahan pada lingkungannya. Karena air (atau es) yang
mengondensasi jatuh keluar akan membawa panas, maka proses ini tidak
benar-benar adiabatik. Hal ini dinyatakan sebagai proses pseudo
adiabatik. Pada waktu sampel mengalami penurunan, maka panas laten
yang dilepaskan selama dalam proses akan dipakai untuk memanasi
udara kering dan uap air yang tersisa, tetapi tidak memanasi produk-
produk kondensasi.

Akan ditinjau kemudian bahwa garis adiabatik jenuh pada


diagram skew T – n p menyatakan perubahan temperatur dalam sampel
udara jenuh yang naik secara pseudoadiabatik. Dianggap bahwa semua
uap air dikondensasikan menjadi air cair dan diendapkan (jatuh) segera
setelah terbentuk. Dalam hal ini, garis adiabatik jenuh pada diagram
aerologi kadang-kadang dinyatakan sebagai garis pseudoadiabatik.
Tetapi dalam praktek, perbandingan campuran udara adalah kecil dan air
kondensasi yang jatuh keluar tidak sanggup membawa banyak panas.

3.6. Resumé
Perubahan fasa uap air memainkan peranan penting dalam
mikrofisika awan dan hujan. Udara basah (udara kering dan uap air)
mengalami pendinginan sampai di bawah temperatur titik embunnya

Mikrofisika Awan Dan Hujan


70
melalui ekspansi adiabatik udara yang naik, pendinginan radiatif dan
percampuran udara yang berbeda sifat fisisnya (temperatur dan
kelembapan). Perubahan tekanan uap jenuh terhadap temperatur
dinyatakan oleh persamaan Clausius–Clapeyron. Persamaan
Clausius–Clapeyron dapat diaplikasikan secara pendekatan pada
tekanan uap jenuh di atas air (es) dan di atas es (ei) dengan menyesuaikan
konstanta A dan B.
Parameter udara basah dinyatakan dalam berbagai besaran
meteorologis seperti tekanan uap (e), perbandingan campuran (r) dan
kelembapan : kelembapan mutlak atau densitas uap air (v), kelembapan
spesifik (q) dan kelembapan relatif (RH). Ada beberapa proses udara
basah dapat mencapai kejenuhan (saturation), misalnya dengan
memasukkan temperatur baru yang mencerminkan kadar air di udara
seperti temperatur titik embun (Td), temperatur bola basah (Tw),
temperatur ekivalen (Te), temperatur kondensasi isentropik (Tc) dan
lain-lain.
Jika ekspansi udara terus berlanjut maka terjadi kondensasi
yang melepaskan panas laten untuk memanasi udara, sehingga susut
temperatur lebih lambat setelah terjadi kondensasi dari pada sebelum
kondensasi. Kasus dimana air kondensasi (condensate) dianggap
sebagai air yang segera menjadi tetes-tetes hujan yang keluar dari awan
disebut proses pseudoadiabatik. Kasus ini sangat sederhana karena
kadar panas kondensasi tidak diperhatikan dalam perhitungan
perubahan temperatur udara. Dalam udara jenuh ada dua proses fisis
ekstrim di atmosfer yaitu proses terbalikan dimana produk kondensasi
(tetes air atau kristal es) berada dalam sampel udara, dan proses tak
terbalikan dimana produk kondensasi jatuh keluar dari sampel udara
segera setelah partikel presipitasi terbentuk.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


71
BAB 4

Aeorosol Atmosferik

Untuk memahami proses pembentukan awan diperlukan


pengetahuan karakteristik fisis dan kimia aerosol atmosfer. Aerosol
adalah partikel padat atau cair dalam medium udara yang mempunyai
kecepatan jatuh sangat kecil. Dari perspektif seorang mikrofisikawan
awan, partikel awan terbentuk oleh aerosol dengan ukuran 0,01 m
melalui pengintian, dan untuk membentuk tetes-tetes hujan maka massa
partikel-partikel awan harus ditingkatkan satu juta kali atau lebih.
Sekarang mikrofisika awan ditandai oleh saling mempengaruhi antara
laboratorium, lapangan dan kajian teoritis.

Aerosol atmosferik tidak hanya penting dalam mikrofisika awan


tetapi juga pada polusi udara, karena visibilitas (jarak pandang)
ditentukan oleh distribusi massa dan ukuran aerosol atmosferik. Aerosol
mempunyai ukuran lebih besar dibandingkan ukuran molekul, tetapi
masih cukup kecil sehingga dapat melayang di dalam atmosfer. Aerosol
atmosferik dapat berasal dari sumber alami, misalnya letusan gunung api,
permukaan darat atau laut, dan dapat berasal dari sumber buatan manusia,
seperti pembakaran bahan fosil dari industri atau kendaraan bermotor.
Aerosol atmosferik dapat turun kepermukaan melalui gaya gravitasi

Mikrofisika Awan Dan Hujan


73
untuk yang berukuran besar dan dibersihkan oleh curah hujan atau curah
salju terutama untuk aerosol yang berukuran kecil.

4.1. Sumber Aerosol


Partikel-partikel aerosol atmosferik diinjeksikan ke atmosfer dari
sumber alam (natural) dan sumber antropogenik atau sumber buatan
manusia. Partikel-partikel ini kebanyakan berasal dari permukaan bumi,
tetapi sebagian berasal dari dalam bumi melalui kegiatan vulkanik,
sedangkan partikel lainnya masuk ke atmosfer dari ruang angkasa.
Konsentrasi partikel aerosol atmosferik sangat bervariasi dengan waktu
dan lokasi yang sangat bergantung pada keterdekatan sumber, pada
kecepatan emisi, pada kekuatan konvektif dan kecepatan alih difusif
golakan, pada efisiensi berbagai mekanisme pembersihan atau
pemindahan partikel, dan pada parameter meteorologis yang
mempengaruhi distribusi vertikal dan horisontal juga mekanisme
pembersihan.
Observasi menunjukkan bahwa konsentrasi partikel aerosol
atmosferik berkurang dengan ketinggian dari permukaan bumi. Faktanya,
sekitar 80% massa partikel aerosol total berada pada troposfer paling
bawah. Konsentrasi partikel aerosol juga berkurang dengan
bertambahnya jarak horisontal dari pantai ke arah laut terbuka, karena
daratan sumber partikel-partikel aerosol lebih efisien dari pada osean
(lautan). Diperkirakan bahwa 61% partikel aerosol total berada di belahan
bumi utara (BBU) dibandingkan di belahan bumi selatan (BBS) yang
mencakup massa darat lebih kecil. Di BBU kebanyakan massa partikel
aerosol diinjeksikan ke dalam atmosfer yang terletak pada daerah lintang
geografis antara 300 dan 600 U, karena pada daerah lintang ini terdapat
sekitar 88% sumber-sumber partikulat. Partikel aerosol yang berasal dari

Mikrofisika Awan Dan Hujan


74
bumi terbentuk oleh dua mekanisme utama yaitu konversi (pengubahan)
gas–ke–partikel, dan disintegrasi (kehancuran) mekanis atau kimia
permukaan bumi padat dan cair.

Aerosol usul dan komposisi partikel-partikel aerosol atmosferik


dapat diringkas sebagai berikut :

i. Proses pembakaran : kebakaran hutan, pembakaran dalam industri


yang menghasilkan partikel berbentuk garam, karbon dan jelaga.

ii. Reaksi fasa gas, termasuk fotokimia, misalnya pembentukan sulfat


dan nitrat. Jika SO2 dioksidasi menjadi SO3 dalam fasa gas, maka
beberapa transformasi akan terjadi dengan segera. SO3 menyerap
uap air dari udara dan membentuk sebuah tetes H2SO4 dalam larutan.
Tetes ini dapat menyerap NH3 dan membentuk alumunium sulfat
(NH4)2SO4. Juga jika H2SO4 muncul dalam tetes-tetes awan baik
dengan tangkapan atau dengan pembentukan dalam tetes itu sendiri,
dan jika tetes ini mengandung partikel garam NaCl maka reaksi
berikut dapat terjadi.
H2SO4 + 2 NaCl  Na2SO4 + 2HCl (4.1)
dimana HCl menguap dalam udara dan sodium sulfat tinggal sebagai
residu. Sulfat yang mengandung partikel juga dihasilkan secara
langsung dari percikan laut dan dari erosi tanah.

Nitrit dan nitrat NO3 dapat dihasilkan dan memberikan
kontribusi pada aerosol atmosferik. Reaksi yang terjadi dapat
ditunjukkan secara bagan berikut:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


75
iii. Dispersi partikel-partikel padat. Reaksi kimia di dalam tanah yang
diikuti oleh erosi air dan erosi angin dapat menyebabkan pemasukan
partikel-partikel dari batu-batuan mineral ke dalam udara : garam
sodium (Na), kalsium, potasium dan sebagainya.
iv. Dispersi larutan. Percikan gelembung kecil di laut menyebabkan
masuknya partikel ke dalam udara. Di atas lautan aerosol raksasa
(giant aerosol) terdiri dari garam laut yang berasal dari tetes-tetes
yang terpercik ke udara bila gelembung udara dalam gelombang
pecah di permukaan laut. Beberapa tetes ini menguap dan
meninggalkan partikel garam laut sebagai partikel raksasa, lihat
gambar 4.1. Kebanyakan tetes-tetes yang lebih kecil dihasilkan bila
bagian atas sebuah selaput gelombang udara pecah pada permukaan
laut. Jika gelembung dengan diameter lebih dari 2 mm pecah, maka
setiap pancaran (eject) kira-kira terjadi dua ratus tetes masuk ke
dalam udara. Setelah mengalami penguapan, tetes ini meninggalkan
partikel garam laut dengan diameter kurang dari 0,3 m. Kecepatan
produksi partikel garam di atas lautan secara rata-rata diperkirakan
-2 -1
berorde 100 cm s .

Gambar 4.1. Diagram skematik yang menggambarkan cara tetes berselaput (film
droplets) dan tetes pancaran (jet drops) terbentuk jika gelembung udara
pecah pada permukaan laut. Beberapa tetes akan menguap dan
meninggalkan partikel garam laut di dalam udara.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


76
v. Sumber lain dari aerosol atmosfer adalah dari gunung berapi
(vulkanik).

Berdasarkan konvensi, aerosol dapat digolongkan menurut


diameternya (D) sebagai berikut :
D < 0,2 m, disebut partikel Aitken
0,2 m < D < 2 m, disebut partikel besar
D > 2 m, disebut partikel raksasa

Nama partikel Aitken berasal dari fisikawan Scotlandia yaitu John


Aitken (1839–1919) yang mengembangkan instrumen untuk
mengamati partikel aerosol dua abad yang silam. Salah satu teknik yang
tertua dan tidak rumit dengan berbagai bentuk modifikasi dan masih
banyak dipakai untuk mengukur konsentrasi aerosol atmosferik adalah
penghitung inti Aitken.

Aerosol yang paling kecil (inti Aitken) terutama berasal dari


proses pembakaran yang kemungkinan berkaitan dengan aktivitas
manusia, meskipun kebakaran hutan dan aktivitas vulkanik juga turut
berkontribusi. Dengan demikian jumlah inti Aitken yang berlimpah
terdapat pada kota-kota besar dan konsentrasi aerosol yang tinggi
dengan diameter di bawah 0,2 m terdapat dalam udara tercemar di atas
kota. Kenyataannya inti Aitken juga berasal dari udara darat dan laut
yang menunjukkan bahwa adanya sumber lain ketimbang hanya dari
proses pembakaran. Salah satu sumber demikian adalah konversi gas
perunut dalam atmosfer kedalam aerosol, disebut konversi
gas–ke–partikel yang dapat terjadi melalui pengintian aerosol dari gas
kelewat jenuh dan oleh reaksi fotokimia yang dikaitkan dengan absorpsi
radiasi matahari oleh molekul-molekul.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


77
Jika konsentrasi tinggi bahan kimia berada dalam atmosfer, maka
reaksi fotokimia dapat membentuk kabas (smog), seperti yang terjadi di
Cekungan Los Angeles. Hidrokarbon, oksida nitrik, dan ozon memainkan
peranan sangat penting dalam pembentukan kabas. Konversi
gas–ke–partikel dapat ditingkatkan oleh kelembapan relatif tinggi dan
kehadiran air cair. Sebagai contoh, kecepatan oksidasi sulfur dioksida
menjadi sulfat meningkat dengan faktor sekitar delapan ketika
kelembapan relatif meningkat dari 70% menjadi 80%. Sulfat dapat juga
diproduksi oleh reaksi sulfur dioksida dan ammonia dalam butiran-
butiran awan (cloud droplets), kemudian ketika butiran-butiran menguap
maka partikel-partikel sulfat ditinggalkannya.

Aerosol mungkin juga berasal dari permukaan bumi ketika debu


keanginan (terutama pada daerah kering), oleh emisi tepung sari dan
spora dari tanaman, dan di atas laut oleh ledakan gelembung-gelembung
udara. Tetapi sumber-sumber ini menjadi penting untuk aerosol besar dan
raksasa dari pada sebagai sumber inti Aitken. Di atas laut aerosol raksasa
dipancarkan ke dalam udara ketika gelembung-gelembung pecah pada
permukaan laut, lihat gambar 4.1.

4.2. Spektra Ukuran Aerosol


Partikel aerosol atmosferik mempunyai jangka (range) ukuran
-4
dari sekitar 10 m sampai 10 mikrometer, bergantung pada jangka
ukuran partikel yang ditinjau dan lokasi pengukuran. Jangka
konsentrasinya dari sekitar 107 sampai 10-6 per cm3. Distribusi ukuran
aerosol di darat, di laut dan di daerah kota yang udaranya tercemar
dN
ditunjukkan pada gambar 4.2, dimana ordinatnya adalah
dlog D 

Mikrofisika Awan Dan Hujan


78
yang di plot dengan skala logaritma, dan sebagai absis adalah log D.
Notasi N menunjukkan konsentrasi aerosol dengan diameter lebih besar
D, untuk mudahnya dianggap aerosol berbentuk bola. Pada gambar 4.2
juga diplot persamaan (4.2) dengan  = 3, tetapi garisnya digeser dari
kurva lainnya supaya menjadi jelas.

Beberapa konklusi menarik dapat ditarik dari gambar 4.2, yaitu:

i. Konsentrasi aerosol turun secara tajam dengan bertambahnya ukuran


aerosol. Karena itu, jumlah total konsentrasi didominasi oleh aerosol
yang lebih kecil, untuk aerosol dengan diameter kurang dari 0,2 m
disebut inti Aitken.

ii. Bagian kurva distribusi ukuran yang merupakan garis lurus


diekspresikan dalam bentuk:
 dN 
log    konstanta  β log D
 d log D 
atau dengan mengambil antilog diperoleh:
dN
 C D β (4.2)
d log D 

dimana C adalah konstanta yang dikaitkan dengan konsentrasi


aerosol dan – adalah nilai kemiringan (slope) kurva distribusi
ukuran, nilai  biasanya terletak antara 2 dan 4. Aerosol kontinental
dengan diameter lebih dari sekitar 0,2 m mengikuti persamaan (4.2)
yang sangat dekat dengan nilai  = 3.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


79
Gambar 4.2. Distribusi jumlah aerosol dalam pengukuran udara kontinental (–),
udara laut (---), dan udara kota tercemar (…).

iii. Distribusi jumlah (ukuran) yang diamati menguatkan pengamatan


penghitung inti Aitken yang menunjukkan bahwa konsentrasi total
aerosol secara rata-rata, paling besar dalam udara kota yang
tercemar dan yang paling kecil dalam udara laut.
iv. Konsentrasi aerosol dengan diameter lebih dari sekitar 2 m (disebut
aerosol raksasa) secara rata-rata agak serupa baik di kontinental, laut
maupun di kota yang tercemar.

Pengertian lain dalam distribusi ukuran aerosol dapat diperoleh


dengan mengeplot distribusi luas permukaan atau volume aerosol.
dS
Dalam distribusi luas permukaan, ordinat adalah dan absis
d log D 
adalah log D, dimana S adalah luas permukaan total aerosol dengan
dV
diameter lebih besar D. Dalam distribusi volume, ordinat adalah
d log D 
dan absis log D, dimana V adalah volume total aerosol dengan diameter
lebih besar D.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


80
Jika distribusi jumlah aerosol diberikan oleh persamaan (4.2),
dengan dN menyatakan konsentrasi jumlah aerosol dalam interval d (log
D), maka dapat diturunkan persamaan-persamaan berikut :
a. dN/dD
Persamaan (4.2) :
dN
 CD 
d log D 

karena itu
dN dD
 CD  ,
dD d log D 

atau

dN d log D CD  d n D CD  1
 CD    .
dD dD n 10 dD n 10 D
Jadi

dN C
 D  1 (4.3)
dD n 10
Catatan
e e
log D  log 10 . 10 log D  n 10 . log D
Jadi,
n D n 10 . log D
atau
n D
log D 
n 10

Mikrofisika Awan Dan Hujan


81
b. dS/d(log D) : distribusi luas permukaan aerosol.

Luas permukaan aerosol total dengan diameter lebih besar D.


1
S  4r 2 N , r  D : jejari aerosol
2
2
1 
S  4  D  N  D 2 N
2 
dS  D 2 dN
karena itu
dS dN
 D 2  D 2 . CD 
d log D  d log D 
jadi
dS
 CD 2 (4,4)
d log D 

c. dV/d(log D) : distribusi volume aerosol.


Volume aerosol total dengan diameter lebih besar D
3
4 3 4 1   3
V  r N    D . N  D N
3 3 2  6
 3
dV  D dN
6
karena itu
dV  3 dN  3
 D  D . CD 
d log D  6 d log D  6
Jadi,
dV 
 CD 3 (4.5)
d log D  6

Mikrofisika Awan Dan Hujan


82
Dari persamaan yang diturunkan dalam persamaan (4.4), terlihat
bahwa dS/d (log D) adalah sebuah fungsi D yang menaik untuk  < 2 dan
fungsi D yang menurun untuk  > 2. Karena itu distribusi permukaan
aerosol akan mencapai nilai puncak jika  lebih besar nilai 2. Distribusi
volume aerosol dalam persamaan (4.5) akan mencapai nilai puncak jika
 lebih besar nilai 3, mirip dengan distribusi permukaan aerosol, lihat
Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Distribusi permukaan (a) dan volume aerosol (b) berdasarkan
pengukuran ukuran aerosol di Denver, Colorado, ..... : udara kota
tercemar, — : udara kontinental, dan --- : udara kontinental dari abu
gunung (Wallace, 1977).

Kenyataan bahwa fluktuasi kecil dalam kemiringan (slope)


distribusi jumlah aerosol disekitar nilai – 2 dan – 3 (yaitu = 2 dan 3)
tampak sebagai maksima dan minima lokal masing-masing dalam
distribusi permukaan dan volume aerosol yang merupakan keistimewaan-
keistimewaan sehingga lebih bermanfaat dalam beberapa hal
dibandingkan kurva distribusi jumlah aerosol.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


83
4.3. Aerosol Gara m Laut
Aerosol garam laut (AGL) mempunyai pengaruh besar pada
bidang geofisika secara luas. Dalam pembahasan buku ini, AGL sangat
mempengaruhi pada mikrofisika awan dan hujan, terutama karena AGL
dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA). Partikel-partikel
aerosol garam laut berinteraksi dengan gas atmosferik dan unsur pokok
aerosol yang lain melalui perannya sebagai pencuci gas yang dapat
mengondensasi dan menindas pembentukan partikel baru, sehingga
mempengaruhi distribusi ukuran aerosol-aerosol lain tersebut. Perlu
dibedakan antara partikel AGL (yang berkaitan dengan bahan fasa cair,
padat atau fasa campuran) dan AGL yang terdiri dari partikel-partikel
tersebut yang mengapung dalam atmosfer.
Aerosol garam laut (AGL) didefinisikan sebagai komponen
aerosol yang terdiri dari tetes air laut dan partikel garam laut kering (dry
sea salt particles). Jejari partikel AGL berjangka dari kurang 0,1 m
sampai lebih besar 1000 m (1mm). AGL adalah sebuah komponen
penting dari aerosol laut (marine) yang tidak terganggu oleh lingkungan
laut, jauh dari sumber-sumber kontinental dan antropogenik. Lagipula,
garam laut adalah salah satu kontributor terbesar pada massa bahan
partikulat yang diinjeksikan kedalam atmosfer secara global dengan
12 12
perkiraan kontribusi tahunan dari 0,3 x 10 kg sampai 30 x 10 kg yang
sebanding dengan fluks massa garam laut 0,03 x 10-6 g m-2 s-1 sampai 3 x
-6 -2 -1
10 g m s pada osean (lautan). Fluks massa garam ini setara dengan
perpindahan (pelenyapan) harian lapisan air setebal 0,07 m sampai
7 m, evaporasinya menghasilkan fluks panas laten sebesar 0,002 Wm-2
-2
sampai 0,2 Wm . Sangat berbeda dengan evaporasi air global rata-rata
tahunan di atas lautan adalah 100 cm atau lebih besar yang sesuai
dengan perpindahan harian rata-rata lapisan air sekurang-kurangnya

Mikrofisika Awan Dan Hujan


84
setebal 0,3 cm dengan disertai fluks panas laten sebesar 80 Wm-2 atau
lebih. Jadi, produksi aerosol garam laut meskipun berkontribusi besar
pada massa bahan partikulat yang diinjeksikan kedalam atmosfer, tidak
berkontribusi cukup besar pada pertukaran air global atau panas laten
antara osean dan atmosfer.
Partikel aerosol garam laut sangat penting untuk berbagai alasan
: partikel AGL (aerosol garam laut) bertindak sebagai inti kondensasi
awan (IKA) untuk membentuk tetes awan, pertukaran gas dengan
atmosfer dan mengikutsertakan reaksi kimia, menghamburkan cahaya,
pertukaran kebasahan (moisture) dengan atmosfer, dan berpartisipasi
dalam daur geokimia unsur-unsur. Pentingnya partikel AGL dalam
proses-proses di atmosfer bergantung pada ukuran, konsentrasi dan
waktu tinggal partikel, dan bergantung pada sejauh mana partikel-
partikel ini dapat bercampur secara vertikal di atmosfer. Hal ini
dikendalikan oleh faktor-faktor meteorologis dan lingkungan yang
mempengaruhi pembentukan dan pemecahan gelombang-gelombang
laut; sifat dan cakupan areal puncak ombak putih; produksi, dinamika,
dan ledakan pecah gelembung-gelembung; pembentukan tetes,
kelakuan atmosfer, dan angkutan (transport); proses-proses yang
bertindak untuk memindahkan tetes-tetes ini.
Partikel aerosol garam laut sangat berpengaruh pada awan
dalam atmosfer laut karena bertindak sebagai inti kondensasi awan
dalam pembentukan tetes-tetes awan. Distribusi ukuran konsentrasi
jumlah aerosol garam laut (AGL) mempengaruhi distribusi ukuran
konsentrasi jumlah tetes awan-awan maritim yang mempengaruhi
pembentukan hujan dan kemungkinan memainkan peranan dalam
pencucian udara unsur-unsur antropogenik. Kemampuan partikel AGL

Mikrofisika Awan Dan Hujan


85
untuk membentuk sebuah tetes awan ditentukan oleh ukurannya, oleh
kondisi meteorologis terutama kecepatan arus udara keatas yang
mempengaruhi kelewat jenuh lingkungan (kelembapan relatif lebih
besar dari 100%) serta oleh komposisi dan distribusi ukuran konsentrasi
kehadiran partikel aerosol lain.
Jika parsel udara (air parcel) naik dalam atmosfer, maka akan
menjadi dingin secara adiabatik yang bergantung pada kecepatan arus
udara keatas. Penurunan temperatur menyebabkan kenaikan kelembapan
relatif (RH) lingkungan yang diberikan oleh persamaan Clausius –
Clapeyron. Karena kelembapan lingkungan meningkat, maka uap air
mengondensasi pada partikel aerosol yang ada dan menjadi tetes dengan
kecepatan yang dikendalikan oleh temperatur lingkungan dan oleh beda
antara nilai RH lingkungan dan RH keseimbangan tetes. Kelembapan
relatif (RH) sebuah tetes tertentu sama dengan perbandingan tekanan uap
air keseimbangannya dengan tekanan uap jenuh massa air murni (pure
bulk water) pada temperatur lingkungan, dan bergantung pada komposisi
dan ukuran tetes. RH keseimbangan pada umumnya berbeda dari RH
massa air murni (yaitu 100%), karena adanya zat larut (efek larutan) yang
menurunkan RH keseimbangan dan kelengkungan tetes dalam
hubungannya dengan tegangan permukaan (efek kelengkungan) yang
meningkatkan RH keseimbangan ini. Kedua efek larutan dan
kelengkungan tetes dinyatakan dalam persamaan Köhler yang akan
dibahas pada bab 5.
Indonesia sebagai benua maritim yang mempunyai luas laut
sekitar 70% dan darat 30%, peranan aerosol garam laut sangat penting
dalam pembentukan tetes awan. Indonesia sebagai wilayah ekuatorial
yang konveksinya paling aktif dibandingkan wilayah ekuatorial Amerika

Mikrofisika Awan Dan Hujan


86
dan Afrika sangat berperan dalam pembentukan awan dan hujan
konveksional. Awan konvektif jenis cumulus (Cu) terutama
cumulonimbus (Cb) merupakan jalur maut bagi penerbangan. Awan Cb
dapat menghasilkan hujan sangat lebat, batu es, bahkan dapat
menghasilkan petir (kilat dan guruh) dan puting beliung. Hari guruh di
Indonesia sekitar 100 atau lebih per tahun sedang di daerah subtropis
sekitar 50 per tahun.

4.4. Mekanisme Pemindahan Partikel AGL dari Atmosfer


Mekanisme yang bertindak untuk mengangkut partikel-partikel
AGL (aerosol garam laut) dari atmosfer ke permukaan bumi dalam
konteks lautan digolongkan menjadi deposisi (endapan) basah dan
deposisi kering.

a. Deposisi basah

Deposisi basah partikel berkenaan dengan alih partikel dari


atmosfer ke permukaan oleh presipitasi baik dalam–awan (in–cloud) atau
penyapuan bawah–awan (below–cloud). Di dalam awan, partikel
membentuk tetes awan yang kemudian dipindahkan oleh curah hujan
melalui deposisi gravitasional atau tangkapan dan penggabungan oleh
hidrometeor yang jatuh. Penyapuan bawah–awan terdiri dari partikel-
partikel yang tertangkap oleh tetes-tetes yang jatuh dan karenanya
partikel lepas dari atmosfer dan jatuh ke permukaan bumi. Faktor kunci
yang mempengaruhi kecepatan deposisi basah partikel adalah ukuran,
bentuk dan higroskopisitasnya; konsentrasi partikel-partikel lain,
ukurannya dan higroskopisitasnya; kelembapan atmosfer, kecepatan arus
keatas, dan temperatur; frekuensi curah hujan, distribusi ukuran tetes
hujan dan intensitas hujan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


87
Karena partikel AGL (aerosol garam laut) mempunyai
konsentrasi rendah, higroskopisitas tinggi dan ukuran besar dibandingkan
partikel-partikel lain yang ada dalam atmosfer laut maka partikel AGL
sangat efektif sebagai (IKA). Penyapuan dalam–awan diduga sangat
penting untuk pemindahan partikel AGL kecil yang tercampur di seluruh
lapisan batas laut. Sedangkan tangkapan oleh tetes-tetes hujan yang jatuh
(penyapuan bawah–awan) diyakini merupakan mekanisme pemindahan
yang efisien untuk partikel AGL yang lebih besar. Deposisi basah
diharapkan memindahkan dari atmosfer partikel AGL berbagai ukuran
dalam jumlah besar selama peristiwa hujan dengan intensitas cukup besar
dan durasi cukup lama.

b. Deposisi kering

Deposisi kering bahan gas dan partikulat berkenaan dengan alih


bahan-bahan ini kepermukaan bumi (laut, darat, termasuk permukaan
tanaman) oleh mekanisme tanpa melibatkan presipitasi. Faktor kunci
yang mempengaruhi kecepatan deposisi kering partikel adalah ukuran,
bentuk, densitas, dan higroskopisitasnya; kelembapan, kecepatan angin,
turbulensi dan stabilitas atmosfer; dan sifat-sifat permukaan dimana gas
dan partikel terjadi. Di atas osean (lautan), mekanisme utama deposisi
kering partikel adalah sedimentasi gravitasional, alih turbulen, difusi
Brownian, tangkapan oleh gelombang dan penyapuan oleh percikan air
laut. Untuk partikel AGL, kecepatan deposisi kering sangat bergantung
pada ukuran partikel dan kecepatan angin.

Deposisi kering disebabkan oleh aliran (flux) kebawah partikel-


partikel AGL. Fluks deposisi kering antar–muka–partikel AGL dengan r80
didefinisikan sebagai fluks partikel yang diendapkan ke permukaan laut,

Mikrofisika Awan Dan Hujan


88
yang sama dengan beda antara fluks produksi dan fluks vertikal neto
antar–muka partikel AGL melalui permukaan laut. Definisi ini tidak
samar, karena semburan tetes dari permukaan laut dan deposisinya ke
permukaan merupakan proses yang sangat berbeda. Massa larutan sebuah
partikel AGL dapat dinyatakan secara unik (khusus) oleh jejari partikel
dalam keseimbangan dengan atmosfer pada kelembapan relatif (RH)
tertentu. Dengan mengambil kelembapan relatif baku 80% maka jejari
partikel dinyatakan oleh r80. Demikian juga, r98 menyatakan jejari sebuah
partikel AGL dalam keseimbangan dengan atmosfer pada RH = 98%.

4.5. Inti Kondensasi dan Inti Es Atmosferik


Cara menggambarkan kecenderungan populasi aerosol yang
membentuk awan ialah dengan spektrum aktivitasnya yaitu jumlah
partikel per satuan volume yang diaktifkan menjadi tetes-tetes awan,
dinyatakan sebagai fungsi kelewat jenuh (s). Spektra demikian diukur
dengan memakai ruang awan (cloud chamber) dimana kelewat jenuh
dapat dicapai dan dikendalikan secara teliti. Sampel udara dimasukkan ke
dalam ruang awan dan kelewat jenuh ditetapkan pada nilai rendah yang
berorde persepuluh persen (s = 0,1% = 0,001). Dengan bantuan optik
maka jumlah inti yang tumbuh pada ukuran pengaktifan (activation size)
dapat diamati dan dihitung. Perhitungan dilakukan pada langkah-langkah
kenaikan kelewat jenuh, biasanya pada jangka dari sekitar 0,3 sampai 1
persen. Inti yang diaktifkan dengan cara ini disebut inti kondensasi awan
(IKA). Ada sebagian kumpulan populasi aerosol total yang dapat
menyebabkan formasi awan-awan natural.

Penghitungan jumlah IKA sering didekati dengan hubungan


hukum pangkat (Rogers and Yau, 1989) :

Mikrofisika Awan Dan Hujan


89
Nc = Csk, dengan s = (S – 1) x 100% (4.6)

Keterangan :
s : kelewat jenuh dalam persen
S : rasio jenuh
Nc : jumlah inti per satuan volume yang diaktifkan pada
kelewat jenuh kurang dari s.
C, k : parameter yang bergantung pada tipe massa udara.

Nilai tipik untuk udara maritim : C = 30 – 300 cm-3 dan k = 0,3 – 1,0.
-3
Sedangkan untuk udara kontinental : C = 300 – 3000 cm dan k = 0,2 – 2,0.

Dengan menganggap spektrum aktivitas berbentuk seperti


persamaan (4.6), maka konsentrasi tetes N yang terbentuk dalam udara
ke atas (updraft) dengan kecepatan w dapat dinyatakan dalam suku-
suku w, C, dan k. Untuk k antara 0,4 dan 1,0 secara pendekatan dapat
diekspresikan dengan persamaan (Twomey, 1959 dalam Rogers and
Yau, 1989):
k
3 k  2 
Smaks ~ 3,6 1,6 x 10 3 w 2 C (4.7)
-3
dengan N (jumlah tetes per satuan volume) dalam cm dan w (kecepatan
vertikal) dalam cm s-1. Twomey (1959) juga menemukan persamaan
untuk kelewat jenuh maksimum dalam udara ke atas yang dapat didekati
oleh persamaan:
k
2 3

N ~ 0,88 C k  2   7 x 10 2 w 2  k  2  (4.8)


 
Perbandingan spektra aktivitas dengan spektra tetes yang diamti
memberikan konfirmasi eksperimental hubungan erat antara populasi inti
dan tetes-tetes awan yang dihasilkan. Perkembangan awan setelah tingkat

Mikrofisika Awan Dan Hujan


90
pembentukannya, terutama jumlah dan karakteristik presipitasi yang
dihasilkan lebih dikendalikan oleh fenomena skala besar seperti
kecepatan arus udara ke atas dan perbekalan uap air daripada oleh struktur
mikrofisika awannya. Tetapi mikrostruktur menentukan bagaimana
kemampuan sebuah awan untuk menghasilkan presipitasi, dan berapa
lama waktu yang diperlukan agar presipitasi terbentuk.

Dari pertimbangan beberapa faktor, termasuk deposisi kering,


waktu tinggal di atmosfer, konsentrasi dan gradien fluks dekat
permukaan laut, dan waktu tanggap terhadap kelembapan relatif dan
kecepatan angin maka partikel-partikel AGL diklasifikasikan menjadi
tiga jangka ukuran berdasarkan sifatnya di atmosfer dan pada fluks
antar–muka. Partikel dengan jejari r80 < 1 m dinyatakan sebagai
partikel AGL kecil, 1m < r80 < 25 m sebagai partikel AGL medium,
dan r80 > 25 m sebagai partikel AGL besar.

Ada banyak nama telah dipakai untuk menggolongkan partikel


aerosol kedalam jangka ukuran, termasuk (IKA) seperti Aitken, halus,
kasar, sangat halus (ultrafine), sangat kecil, raksasa, sangat besar,
beberapa diantaranya dipakai pada jangka ukuran partikel-partikel
AGL. Sebagai contoh, partikel dengan ukuran 0,1 m < r < 1 m disebut
inti besar dan r > 1 m disebut inti raksasa. Partikel garam laut raksasa
di atmosfer mempunyai jejari r80 > 1 m, sedangkan partikel halus
mempunyai jejari r < 1 m dan partikel kasar r > 1 m. Agar terhindar
dari kekacauan maka untuk partikel AGL seharusnya memakai
klasifikasi kecil, medium, dan besar (Junge, 1956; Whitby, 1978
dalam Lewis and Schwartz, 2004)

Persamaan Clausius–Clapeyron memberikan keadaan


keseimbangan sistem termodinamika yang terdiri dari badan air dan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


91
uapnya. Saturasi (kejenuhan) didefinisikan sebagai situasi keseimbangan
dimana kecepatan penguapan dan kondensasi sama besar. Dalam
kenyataannya tetes-tetes air mulai mengondensasi dalam uap air murni
hanya jika kelembapan relatif mencapai beberapa ratus persen, kecuali
jika ada partikel-partikel berukuran kecil yang mempunyai gaya gabung
untuk air dan sebagai pusat-pusat kondensasi. Partikel-partikel ini disebut
inti kondensasi awan. Proses dimana fasa uap menjadi tetes-tetes air
melalui inti kondensasi disebut pengintian heterogen. Sedangkan
pembentukan tetes dari uap dalam lingkungan murni yang memerlukan
kelewat jenuh tinggi dan tidak penting di dalam atmosfer disebut
pengintian homogen.

Konsentrasi inti es (IES) sedikit berubah terhadap ruang dan


waktu, dan bahwa gambaran tipik (khusus) adalah satu inti per liter pada
temperatur – 20 0C. Konsentrasi itu biasanya sangat bergantung pada
temperatur. Ketergantungan temperatur rata-rata ditunjukkan pada
gambar 4.4. Pada gambar ini sebenarnya ada deviasi yang lebar terhadap
garis lurus (Rogers, 1977).
100

10
IES per liter udara

0,1

0,01
– 10 – 20 – 30 0C
Gambar 4.4. Ketergantungan konsentrasi inti es (IES) pada temperatur.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


92
Konsentrasi inti es (IES) atmosfer dari metode deteksi ini
mengandung ketidakpastian karena banyak pengaruh seperti sejarah
aerosol, kelembapan ruang awan, dan peubah-peubah eksperimental
lainnya. Ketika kelewat dingin meningkat, maka konsentrasi inti
meningkat. Konsentrasi inti es juga meningkat dengan kenaikan
kelewat jenuh yang kuantitasnya tidak selalu terkendali atau terukur
dalam eksperimen. Selanjutnya ada kejelasan bahwa beberapa peristiwa
pengintian tidak terjadi dengan segera, tetapi penampakan inti
memerlukan waktu yang lama pada kondisi kelewat dingin. Akibatnya,
hanya sebagian inti yang berada dalam sampel udara dapat diaktifkan
selama waktu percobaan.
4 -3
Dengan mengambil 10 cm sebagai konsentrasi partikel aerosol
0
tipik, dapat dilihat bahwa satu inti per liter aktif pada temperatur – 20 C.
Meskipun masih ada ketidakpastian, tetapi ada kejelasan bahwa mineral
lempung terutama kaolinite (tanah lempung) sebagai komponen utama
inti es (IES) atmosferik, material yang banyak dijumpai dalam banyak
0
tipe tanah dengan ambang batas pengintian adalah – 9 C. Keping-
keping salju yang jatuh ke tanah biasanya dijumpai mengandung
partikel yang menjadi pusat pertumbuhan kristal. Partikel-partikel ini
didefinisikan oleh mikroskop elektron yang menunjukkan koalinite
dengan ukuran antara 0,1 dan 4 m. Bagaimana kaolinite dapat
menerangkan kejadian es dalam awan lebih panas dari – 9 0C yang
kadang-kadang diamati, jawabannya masih belum jelas.

Sumber lain dari inti es (IES) adalah bakteria dalam material daun
tanaman rusak yang dapat menjadi inti yang efektif pada temperatur
panas. Telah diketahui bahwa partikel tanah biasanya dapat menjadi aktif
pada temperatur lebih panas dari pada batas ambang untuk kaolinite yang

Mikrofisika Awan Dan Hujan


93
mungkin dijelaskan dengan inti-inti berukuran submikron dari beberapa
bahan organik minor. Perak iodida (AgI) mempunyai temperatur
pengintian relatif panas (– 4 0C) adalah bahan IES yang banyak dipakai
dalam pembenihan awan buatan. Bahan perak iodida dapat dibuat dalam
bentuk partikel-partikel yang sangat halus oleh pembakaran senyawa
perak khusus.

Material meteor telah dipikirkan kemungkinannya sebagai


sumber inti es atmosferik, pada awalnya ketika Bowen menemukan
korelasi antara kejadian curah hujan ekstrim dengan hujan meteor, dan
yang lebih baru karena meteorit submikron yang diproduksi oleh
penguapan akan mengondensasi kembali menjadi material meteoritik
sebagai inti es (IES) yang agak efektif. Tetapi dari observasi selanjutnya
jelas tampak bahwa sumber bumi banyak mengandung inti-inti es.
Pengukuran pada situs pantai (coastal sites) menunjukkan lebih banyak
inti dalam udara di atas darat dari pada di atas osean (lautan). Konsentrasi
inti juga berkurang dengan ketinggian di atas tanah yang konsisten
dengan sumber pada permukaan. Bahkan pada Kutub Selatan, partikulat
dalam keping-keping salju yang dijumpai adalah mineral lempung.

4.6. Resumé
Aerosol adalah partikel padat atau cair yang mengapung di
udara. Beberapa partikel aerosol bersifat higroskopis dan bertindak
sebagai inti kondensasi awan (IKA). Aerosol terbentuk oleh pemadatan
gas atau oleh disintegrasi cairan atau material padat. Untuk
memudahkan, maka semua jenis aerosol digambarkan berbentuk sferis
(bola). Jangka (range) diameter partikel aerosol dari 10 nm untuk

Mikrofisika Awan Dan Hujan


94
molekul-molekul sampai lebih dari 10 m untuk garam, debu dan
partikel-partikel pembakaran.

Partikel aerosol dalam atmosfer berasal dari sumber-sumber


primer natural dan antropogenik (aktivitas manusia) seperti debu angin
(20%), percikan laut (40%), kebakaran hutan (10%), serta operasi
pembakaran dan industrial lain (5%). Sisanya (25%) dikaitkan dengan
sumber-sumber sekunder yang melibatkan konversi gas–ke–partikel
melalui proses fotokimia dan kimia lain. Diantara gas, maka reaksi
pembentuk partikulat yang utama adalah SO2, NO2, dan NH3. Tanpa
memandang mekanismenya, aerosol atmosferik secara kontinu
mengalami banyak transformasi kimia dan fisika, termasuk kongulasi
(pemadatan), kondensasi, awan, sedimentasi, dispersi, percampuran
dan mengalami deposisi kering di dalam–awan (in–cloud) yang
bertindak sebagai inti kondensasi atau deposisi basah di bawah–awan
(below–cloud) melalui penyapuan curah hujan.

Pertikel aerosol dapat dinyatakan sebagai distribusi jumlah


dN 
(ukuran) aerosol: d log D   CD , distribusi luas permukaan aerosol:
dS dV 
  CD 2 dan distribusi volume aerosol: .  CD 3
d log D  d log D  6

Aerosol garam laut (AGL) dapat bertindak sebagai inti


kondensasi awan (IKA) sehingga mempengaruhi mikrofisika awan
dan hujan. AGL adalah komponen aerosol yang terdiri dari tetes air
laut dan partikel garam laut kering. Jejari partikel AGL berkisar dari
kurang 0,1 m sampai lebih besar 1 mm. Partikel AGL turun ke
permukaan bumi melalui deposisi basah atau deposisi kering.
Deposisi basah adalah alih partikel dari atmosfer ke permukaan oleh

Mikrofisika Awan Dan Hujan


95
presipitasi, baik sebagai IKA dalam–awan (in–cloud) atau melalui
penyapuan bawah–awan (below–cloud). Deposisi kering adalah alih
partikel ke permukaan bumi tanpa melibatkan presipitasi.

AGL sangat penting dalam interaksi udara – laut, dan


memainkan peranan dominan dalam banyak aspek kimia atmosfer,
radiasi atmosfer, geokimia (termasuk daur geokimia berbagai unsur),
meteorologi, klimatologi, mikrofisika awan, oseanografi dan ekologi
pantai. Peranan aerosol garam laut (AGL) dalam pembentukan awan di
atas Indonesia sangat penting, karena sebagai benua maritim
mempunyai luas perairan 70%. Sebagai wilayah ekuatorial yang
konveksinya paling aktif diantara wilayah ekuatorial lainnya, awan
konvektif jenis cumulus mendominasi tumbuh di atas wilayah
Indonesia. Awan cumulonimbus dapat menghasilkan hujan deras, batu
es dan petir.

Partikel dengan susunan molekuler dan kristalografik seperti


yang dimiliki es yang mempunyai struktur heksagonal cenderung
mempunyai kemampuan pengintian es yang baik. Kebanyakan inti es
(IES) yang baik sebenarnya tidak larut dalam air. Beberapa partikel
tanah inorganik (terutama tanah liat) dapat mengintikan es pada
temperatur di atas – 15 0C dan partikel ini kemungkinan memainkan
peranan penting pada pengintian es dalam awan. Dari kajian 87%
kristal salju yang dikumpulkan pada tanah mempunyai partikel-partikel
mineral lempung pada pusatnya dan lebih dari separo partikel-partikel
ini adalah jenis kaolinite. Baru-baru ini diamati bahwa daun-daun
tanaman yang rusak banyak yang bertindak sebagai inti es, beberapa
0
inti ini aktif pada temperatur – 4 C. Perak iodida (AgI) adalah inti es
yang banyak dipakai dalam pembenihan awan artifisial.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


96
Bab 5

Pembentukan Awan

Faktanya uap air murni tidak dapat mengondensasi menjadi


tetes air di troposfer yaitu lapisan atmosfer bawah dimana proses cuaca
terjadi. Fakta juga menunjukkan bahwa atmosfer mengandung partikel
berukuran mikron yang mempunyai gaya gabung terhadap air dan
bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA). Di troposfer tidak terjadi
pengintian homogen, sebaliknya terjadi pengintian heterogen yaitu
proses pembentukan tetes awan melalui inti kondensasi awan.

Awan terbentuk jika udara menjadi kelewat jenuh terhadap air


cair atau dalam beberapa kasus terhadap es. Kebanyakan kelewat jenuh
terjadi di atmosfer akibat kenaikan parsel udara melalui konveksi,
konvergensi, orografi atau front yang menyebabkan ekspansi udara dan
pendinginan adiabatik. Di bawah kondisi ini, uap air mengondensasi
pada beberapa aerosol di udara untuk membentuk sebuah awan dengan
butiran-butiran air. Jika tekanan uap air di udara adalah e, maka es adalah
tekanan uap jenuh di atas permukaan datar air cair dan ei adalah tekanan
0
uap jenuh di atas es. Untuk temperatur di bawah 0 C, tekanan uap jenuh
di atas air kelewat dingin lebih besar dari pada tekanan uap jenuh di atas
es (es > ei).

Mikrofisika Awan Dan Hujan


97
5.1. Aspek General Pembentukan Awan dan Hujan
Banyak ragam jenis inti kondensasi yang berada dalam atmosfer.
Beberapa menjadi berair (wetted) pada kelembapan relatif (RH) kurang
dari 100% dan memberikan haze (kabur) yang menghalangi visibilitas.
Inti kondensasi yang relatif besar, yang mungkin akan tumbuh menjadi
ukuran tetes awan. Karena udara menjadi dingin dalam kenaikan
adiabatik, maka kelembapan relatif mendekati 100%. Inti yang
higroskopis kemudian bertindak sebagai pusat kondensasi. Jika kenaikan
udara diteruskan, maka kelewat jenuh akan terjadi karena pendinginan.
Kelewat jenuh diartikan sebagai kelebihan kelembapan relatif di atas
nilai keseimbangannya (100%). Jadi udara dengan RH = 101,5%
mempunyai kelewat jenuh 1,5%. Karena awan terus naik, maka
0
puncaknya menjadi dingin di bawah temperatur 0 C. Tetes-tetes air yang
kelewat dingin di dalam awan mungkin membeku atau mungkin tidak,
bergantung pada ada atau tidaknya inti pembeku (inti es). Untuk tetes air
murni, pembekuan homogen tidak akan terjadi sampai temperatur sekitar
0
– 40 C tercapai. Tetapi jika inti yang sesuai terdapat, maka pembekuan
dapat terjadi hanya pada beberapa derajat di bawah temperatur 0 0C.
Awan adalah sekumpulan tetes yang mempunyai konsentrasi
3
berorde 100 per cm dan mempunyai jejari sekitar 10 m. Tetes hujan
akan tumbuh jika populasi awan menjadi tidak stabil. Pertama tumbukan
langsung dan penangkapan tetes-tetes air. Kedua interaksi antara tetes
air dan kristal es yang terbatas pada awan yang puncaknya di atas paras 0
0
C. Jika sebuah kristal es berada bersama sejumlah tetes air kelewat
dingin, maka situasi menjadi tidak stabil. Keseimbangan tekanan uap di
atas es lebih kecil daripada di atas air pada temperatur yang sama,
karenanya kristal es tumbuh dengan difusi uap dan tetes menguap untuk
mengimbanginya.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
98
Alih uap bergantung pada perbedaan keseimbangan tekanan uap
di atmosfer air dan es yang sangat efisien pada temperatur sekitar – 15 0C.
Sekali kristal es tumbuh lebih besar daripada tetes air, maka kristal es
mulai jatuh relatif terhadap tetes air sehingga tumbukan mungkin terjadi.
Jika tumbukan terjadi antara kristal es dengan kristal es lain, maka
keping-keping salju (snowflakes) akan terjadi dan jika tetes-tetes air
terkumpul, maka batu es mungkin terbentuk. Jika partikel jatuh melalui
0
paras 0 C, maka terjadi peleburan dan keluar dari dasar awan sebagai
tetes hujan yang terbentuk dari koalisensi. Bila cuaca dingin, atau bila
batu-batu es besar terjadi, maka partikel tersebut yang dalam perjalannya
mencapai permukaan tanah mungkin tidak meleleh, dan akan tetap
menjadi batu es hujan.

Tabel 5.1. Ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh terminal komparatif


beberapa partikel dalam proses pembentukan awan.
Partikel Jejari (r) Konsentrasi Kecepatan
(n) per liter jatuh
terminal (v)
-1
Inti kondensasi khusus 0,1 m 106 -1 0,001 mm s

Tetes awan khusus 10 m


6
10 
-1
1 cm s-1

Tetes awan besar 50 m


3
10 
-1
27 cm s-1
-1
Batas tetes awan dan hujan 100 m – 70 cm s
-1
Tetes hujan khusus 1 mm 1-1 6,5 m s

Partikel-partikel yang menarik di dalam awan mempunyai jangka


(range) yang besar mengenai ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


99
Tabel 5.1, membandingkan sifat-sifat tersebut untuk beberapa partikel
awan dan presipitasi. Perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan yang besar
antara ukuran inti kondensasi khusus dan sebuah tetes awan atau antara
tetes awan dan tetes hujan.

Tinggi awan (dasar dan puncak awan) adalah jarak vertikal dari
lokasi pengamatan sampai dengan ketinggian awan. Ketinggian awan
diukur dari daerah pegunungan atau dari permukaan laut. Ketinggian
awan adalah faktor penting untuk menentukan jenis awan. Pengamat
melaporkan ketinggian awan biasanya dari permukaan laut, sehingga
perlu adanya koreksi untuk data dari tempat-tempat lain.

Observasi menunjukkan bahwa tinggi awan bervariasi dari


dekat permukaan laut sampai ketinggian 8 km di daerah kutub, 14 km di
daerah lintang menengah dan 18 km di daerah tropis. Dengan perjanjian,
ketinggian troposfer dimana awan terbentuk dibagi menjadi tiga lapisan
yaitu lapisan tinggi, menengah, dan rendah. Lapisan-lapisan ini
mempunyai beda ketinggian bergantung pada lintang geografis. Tabel
5.2, menunjukkan tinggi awan menurut lintang geografis, dan tabel 5.3,
menunjukkan jenis presipitasi awan hujan.

Tabel 5.2. Tinggi awan berdasarkan lintang geografis.

Paras (level) Daerah Kutub Daerah Subtropis Daerah Tropis


Tinggi 2 – 8 km 5 – 14 km 6 – 18 km

Menengah 2 – 4 km 2 – 7 km 2 – 8 km

Rendah dari permukaan sampai ketinggian 2 km

Mikrofisika Awan Dan Hujan


100
Tabel 5.3. Jenis presipitasi dari awan hujan.

Presipitasi Tipe Awan


As Ns Sc St Cu Cb
Hujan lebat – – – – V V

Hujan V V V – – –

Gerimis – – – V – –

Keping-keping salju – – V – V V

Salju V V V V V V

Batu es hujan – – – – – V

Catatan: Salju terjadi di daerah yang mempunyai temperatur di bawah 0 0C, misalnya
dalam musim dingin

Tinggi dasar awan dapat dihitung dari beda antara temperaur


permukaan dan temperatur titik embun. Jika udara dianggap bercampur
secara sempurna dari permukaan tanah sampai dasar awan (terutama
dalam hal Cumulus termal), maka tinggi dasar awan dapat ditentukan
dari pertimbangan termodinamik. Temperatur udara yang naik akan
menjadi dingin lebih cepat dari pada temperatur titik embunnya.
Ketinggian paras kondensasi di atas permukaan dapat ditulis dengan
ekspresi :
(5.1)
Keterangan :
T : temperatur permukaan (0F)
0
Td : temperatur titik embun ( F)
Z : tinggi paras kondensasi (kaki)

T dan Td dapat diukur dengan psychrometer (termometer bola basah

Mikrofisika Awan Dan Hujan


101
dan bola kering). Tinggi dasar awan adalah 100 – 200 kaki lebih tinggi
daripada paras kondensasi yang dihitung.
Balon pandu (pilot) yang masuk ke awan dapat menentukan
tinggi dasar awan. Balon ini mempunyai massa 8 – 10 gram dan naik
-1
dengan kecepatan antara 2,3 dan 2,5 ms (antara 460 dan 490 kaki per
menit). Waktu yang diperlukan balon dari permukaan sampai dasar awan
dicatat dan dikalikan dengan kecepatan naik balon menghasilkan
ketinggian dasar awan:
Z = v.t (5.2)
Keterangan :
v : kecepatan naik balon
t : waktu balon dari permukaan ke dasar awan

5.2. Genus Awan


Tiap genus (golongan utama) awan dibagi menjadi jenis awan,
dan tiap jenis awan dibagi lagi menjadi varitas awan. Awan dapat
digolongkan menjadi sepuluh genus yaitu Cirrus (Ci), Cirrocumulus (Cc),
Cirrostratus (Cs), Altocumulus (Ac), Altostratus (As), Nimbostratus (Ns),
Stratocumulus (Sc), Stratus (St), Cumulus (Cu), dan Cumulonimbus
(Cb), Cirrus (Ci) didefinisikan sebagai awan yang tampak tersusun dari
serat lembut dan halus, berwarna putih mengkilap seperti sutra. Di langit,
Ci tampak seperti kumpulan serat halus yang jaraknya relatif jarang atau
yang jaraknya rapat. Genus awan Ci mempunyai jenis awan : fibratus,
unsinus dan spisatus. Cirrus terdiri dari kristal-kristal es. Awan Ci
tumbuh berkembang dari kristal es yang jatuh dari Cirrocumulus, atau
dari bagian Cumulonimbus, atau dari penguapan bagian yang tipis dari
Cirrostratus, lihat foto 1.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


102
Cirrocumulus (Cc) adalah lapisan awan yang tampak terdiri dari
unsur sangat kecil menyerupai butir padi-padian yang berwarna putih.
Masing-masing unsur dapat saling bersambung atau terpisah. Genus
awan Cc mempunyai jenis awan : lentikularis dan undulatus. Cc hampir
seluruhnya terdiri dari kristal es. Mungkin ada tetes sangat kelewat dingin
tetapi biasanya segera menjadi kristal es. Cc dapat terbentuk dalam udara
cerah, atau dari Cirrus dan Cirrostratus. Jenis lentikularis (Cc berbentuk
lensa) dapat terbentuk karena pengangkatan orografik lokal dari udara
lembap; lihat foto 2.

Cirrostratus (Cs) adalah awan yang tampak seperti tirai kelembu


halus keputih-putihan yang menghasilkan gejala halo yaitu gejala optis
yang tampak seperti lingkaran yang mengelilingi matahari atau bulan.
Halo disebabkan oleh refraksi dan refleksi cahaya dari kristal es di
atmosfer. Genus awan Cs mempunyai jenis awan : fibratus dan
nebulosus. Cs terutama terdiri dari kristal es. Cs dapat terbentuk dari
Cirrus atau Cirrocumulus yang membentang, dapat juga Cs terbentuk dari
kristal es yang jatuh dari Cumulonimbus, lihat foto 3.

Altocumulus (Ac) adalah lapisan awan berwarna putih atau


kelabu, terdiri dari unsur-unsur berbentuk bulatan pipih. Jenis awan Ac
adalah Stratiformis dan lentikularis. Ac terutama terdiri dari tetes air,
tetapi pada temperatur sangat rendah dapat berbentuk kristal es. Ac
terbentuk karena adanya turbulensi atau konveksi di lapisan atmosfer
menengah. Dapat pula Ac terbentuk dari Cirrocumulus yang menebal dan
dari transformasi Stratocumulus, Altostratus dan Nimbostratus, atau
terbentuk dari pembentangan awan Cumulus dan Cumulonimbus. Dalam
bentuk lensa (lentikularis), Ac terbentuk karena efek orografik lokal udara
lembap, lihat foto 4.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


103
Altostratus (As) adalah lapisan awan yang tampak berserat,
berwarna keabu-abuan atau kebiru-biruan menutupi sebagian atau
seluruh langit. As menyerupai Cirrostratus yang tebal, tetapi tidak
menimbulkan halo. As tidak mempunyai jenis awan. As dapat
berbentuk awan tipis sehingga matahari dan bulan yang berada dibaliknya
kelihatan samar-samar seperti berada dibelakang kaca buram, dapat pula
berbentuk awan sangat tebal dan gelap, sehingga matahari dan bulan yang
berada dibaliknya tidak terlihat. As terdiri dari tetes air dan kristal es. As
mengandung tetes hujan yang dapat menimbulkan gejala virga yaitu
hujan yang tidak sampai ke permukaan bumi karena tetes-tetes hujan
yang jatuh menguap di atmosfer. As dapat terbentuk dari Cirrostratus
yang menebal, kadang-kadang dari Nimbostratus yang menipis. Dapat
pula As terbentuk dari lapisan Altocumulus yaitu dari kristal es yang jatuh
dari Altocumulus, oleh pembentangan bagian tengah atau atas
Cumulonimbus, lihat foto 5.

Ninbostratus (Ns) adalah lapisan awan yang luas berwarna


kelabu tua. Ns cukup tebal sehingga matahari yang berada dibaliknya
tidak terlihat. Ns tidak mempunyai jenis awan. Ns terdiri dari tetes awan
dan hujan. Curah hujan dapat mencapai permukaan atau berbentuk virga.
Curah hujan yang terjadi adalah hujan kontinu (terus menerus). Ns
terbentuk dari pembentangan Cumulus besar atau Cumulonimbus. Ns
dapat pula terbentuk dari Altostratus yang menebal, kadang-kadang dari
Stratocumulus atau Altocumulus, lihat foto 6.

Stratocumulus (Sc) adalah lapisan awan yang terdiri dari unsur


berbentuk bulatan pipih atau bulatan panjang pipih berwarna kelabu.
Langit yang seluruhnya tertutup Sc tampak berombak. Jenis awan Sc

Mikrofisika Awan Dan Hujan


104
adalah stratiformis, lentikularis dan undulatus. Sc dapat berbentuk
sangat tipis sehingga matahari yang berada dibaliknya dapat terlihat, dan
dapat berbentuk sangat tebal sehingga matahari yang berada dibaliknya
tidak terlihat sama sekali. Sc terdiri dari tetes awan, kadang-kadang tetes
hujan yang menghasilkan hujan dengan intensitas kecil. Sc dapat
dihasilkan dari Altocumulus yang bertambah besar ukuran unsurnya. Sc
dapat pula terbentuk dari pembentangan bagian tengah dan atas awan
Cumulus atau Cumulonimbus, lihat foto 7.

Stratus (St) adalah awan rendah tetapi tidak menyentuh


permukaan bumi dan umumnya berwarna kelabu. Jenis awan St adalah
nebulosus, fraktus. Dasar awan St sering sangat rendah sehingga
menutupi puncak lereng gunung disebut kabut gunung (atau kabut bukit)
atau menyentuh permukaan bumi disebut kabut. Matahari yang berada
dibaliknya tidak terlihat jika St tebal, tetapi matahari dapat terlihat jika St
tipis. St terdiri dari butiran awan atau tetes awan kecil dan tidak
menimbulkan halo. St yang tebal terdiri dari tetes hujan yang dapat
menghasilkan gerimis. St terbentuk oleh pendinginan atmosfer bawah
atau oleh tetes-tetes hujan yang jatuh dari awan Altostratus, Nimbostratus,
Cumulus atau Cumulonimbus. Gerimis adalah hujan yang terdiri dari
tetes air yang mempunyai diameter lebih kecil 0,5 mm, lihat foto 8.

Cumulus (Cu) adalah awan yang tampak mampat dan berbentuk


gumpalan yang menjulang. Bagian atasnya terdiri dari tonjolan-tonjolan
seperti bunga kol dengan garis batas tajam atau tegas. Dasar awannya
horisontal, biasanya berwarna kelabu. Bagian awan yang kena matahari
berwarna putih cemerlang. Jika matahari berada dibalik awan, maka awan
tampak gelap dengan pinggirnya bercahaya. Jenis awan Cu adalah

Mikrofisika Awan Dan Hujan


105
humilis, congestus, mediokris, dan fraktus. Cu terutama terdiri dari
tetes air. Kristal es dapat terjadi pada bagian awan yang temperaturnya di
bawah 0 0C. Jika ukuran vertikal awan Cu besar, maka Cu dapat
menghasilkan hujan lebat tiba-tiba dengan durasi sekitar satu jam. Cu
tumbuh dalam arus konveksi akibat pemanasan permukaan bumi oleh
radiasi matahari, lihat foto 9 dan 10.

Cumulonimbus (Cb) adalah awan yang tampak mampat dan


berat, menjulang sangat tinggi berbentuk gumpalan besar. Dalam
pertumbuhannya yang berasal dari Cu, maka Cb mulai kehilangan
tonjolan dan ketajaman garis batas pada puncaknya. Cumulonimbus
mempunyai jenis awan kalvus, kapilatus dan bentuk tambahan
presipitasio. Cb terdiri dari tetes awan dan bagian atasnya terdapat kristal
es. Cb juga mengandung tetes hujan besar. Awan Cb dapat menghasilkan
hujan deras tiba-tiba yang disertai dengan batu es, kilat dan guruh. Nama
Cumulonimbus diberikan jika paling sedikit sebagian dari bagian atas
awan tampak tidak tegas atau tampak berserat. Jika ciri ini tidak terlihat,
maka ciri lain dari awan Cb adalah batu es dan petir, lihat foto 11 dan 12.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


106
1 2

3 4

5 6

Gambar 5.1a. Foto genus awan: 1. Cirrus, dan 2. Cirrocumulus, 3. Cirrostratus, 4.


Altocumulus, 5. Altostratus, dan 6. Nimbostratus.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


107
1 2

3 4

5 6

Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus kabut gunung,
9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus, 11. Cumulonimbus
kapilatus, dan 12.Cumulonimbus presipitasio.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


108
5.3. Pengintian Air Cair
Tetes akan stabil jika ukurannya melampaui nilai kritis tertentu.
Tetes yang lebih besar ukuran kritis akan tumbuh dan tetes yang lebih
kecil akan melenyap (meluruh). Ukuran kritis ditentukan oleh
keseimbangan antara kecepatan pertumbuhan dan peluruhan yang
berlawanan. Kecepatan ini bergantung pada apakah butiran terbentuk
dalam ruang bebas (pengintian homogen) atau bersentuhan dengan benda
lain (pengintian heterogen). Untuk pengintian homogen air murni,
kecepatan pertumbuhan bergantung pada tekanan parsial uap air
lingkungan yang menentukan kecepatan pada mana molekul-molekul air
yang mengenai butiran. Proses peluruhan, penguapan, sangat bergantung
pada temperatur butiran dan tegangan permukaannya. Molekul-molekul
pada permukaan tetes harus memperoleh energi cukup untuk mengatasi
gaya ikat agar tidak lepas.
Jika keseimbangan terjadi antara cair dan uapnya maka kecepatan
kondensasi dan penguapan seimbang dan tekanan uap sama dengan tekanan
uap jenuh atau tekanan uap keseimbangan. Tekanan uap jenuh di atas
permukaan tetes bergantung pada kelengkungannya dan ditulis sebagai:
 2 
es r   es ~  exp   (5.3)
 r R v L T 
Keterangan :
es(r) : tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes berbentuk bola
r : jari-jari tetes
 : tegangan permukaan tetes
L : densitas tetes
T : temperatur
Rv : konstanta gas untuk uap air
es (~) : tekanan uap jenuh di atas air datar (bulk water)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


109
Persamaan (5.3) pertama kali diturunkan pada tahun 1870 oleh
Baron pertama Lord Kelvin (William Thomson, 1824 – 1907) ahli fisika
dan matematika Scotlandia. Thomson masuk Universitas Glasgow pada
usia 11 tahun, dan pada usia 22 tahun menjadi Profesor Filosofi Natural di
Universitas yang sama.

Tegangan permukaan () adalah kerja per satuan luas yang


diperlukan untuk memperluas cairan pada temperatur tetap. Pada daerah
temperatur meteorologis maka tegangan permukaan air sekitar 7,5 x 10-2
N/m = 75 dyne/cm. Jika ukuran tetes (r) berkurang maka tekanan uap
yang diperlukan untuk menjadi jenuh akan menjadi besar.

Jika tekanan uap lingkungan e > es(r) maka tetes dengan jari-jari r
akan tumbuh, sebaliknya jika e < es(r) maka tetes akan lenyap. Ukuran
kritis tetes (rc) dapat ditentukan dengan persamaan :
e  es rc  0
atau
e  es rc
Substitusikan pada persamaan (5.3), maka diperoleh :
 2 
e  es ~ exp  
 rc R v  L T 
atau rasio jenuh S, adalah :

e  2 
S   exp  
es ~  R  r
 v L c T

2
n S 
R v  L rc T

Mikrofisika Awan Dan Hujan


110
atau
2
rc  (5.4)
R v  L T n S

Agar tetes yang terbentuk menjadi stabil maka tetes harus tumbuh
pada jari-jari lebih besar rc. Dalam atmosfer, tetes awan terbentuk pada
aerosol yang disebut inti kondensasi. Menurut gaya gabungnya untuk air
maka aerosol diklasifikasikan menjadi higroskopis, netral atau hidrofobik.
Pengintian pada aerosol netral memerlukan kelewat jenuh kira-kira sama
seperti pengintian homogen. Pada aerosol hidrofobik yang tahan basah
(air) pengintian menjadi sulit karena memerlukan kelewat jenuh tinggi.
Tetapi pada aerosol higroskopis yang dapat larut dan mempunyai gaya
gabung untuk air maka pembentukan tetes hanya memerlukan kelewat
jenuh lebih rendah dari pada nilai pengintian homogen.

5.4. Pengaruh Zat Larut


Efek zat larut yang tidak mudah menguap menurunkan tekanan
uap keseimbangan di atas tetes, akibatnya tetes larutan dapat berada
dalam keseimbangan dengan lingkungan pada kelewat jenuh jauh lebih
rendah dari pada tetes air murni dengan ukuran sama. Untuk permukaan
air datar, penurunan tekanan uap karena adanya zat larut yang tidak
mudah menguap dapat diekspresikan menurut hukum Raoult:
e' n0
 (5.5)
es ~  n  n0

dimana e adalah tekanan uap keseimbangan di atas larutan yang terdiri


dari n0 molekul air dan n molekul zat larut. Untuk larutan encer
dengan n0 >> n, maka persamaan (5.5), menjadi :

Mikrofisika Awan Dan Hujan


111
e' n
 1
es ~  n0
Karena n << n0, maka n dapat diabaikan terhadap n0, sehingga:
e' n0
 1 (5.6)
es ~  n  n0

Untuk larutan dimana molekul-molekul terlarutnya dapat


diuraikan maka persamaan (5.6) harus dimodifikasi dengan mengalikan
n oleh faktor derajat disosiasi ionik i. Faktor i yang disebut faktor Van't
Hoff dapat ditentukan dari koefisien aktivitas ionik besaran
fundamental yang ditentukan oleh data eksperimental. Low, 1989
(dalam Rogers and Yau, 1989) membuat tabel nilai-nilai i untuk delapan
konsentrasi elektrolit (zat elektrolisa) termasuk klorida sodium (NaCl)
dan ammonium sulfat yang sangat penting sebagai inti kondensasi.
Untuk kedua zat ini, nilai i ~ 2 merupakan pendekatan yang pantas untuk
dipakai dalam perhitungan, sebelum ada informasi yang lebih persis.

Jumlah ion-ion efektif dalam zat larut dengan massa ms adalah:


i N 0 ms
n  (5.7)
Ms

dimana :
N0 : bilangan Avogadro yaitu jumlah molekul per mol
Ms : berat molekuler zat larut
i : faktor Van't Hoff, untuk klorida sodium dan ammonium
sulfat i ~ 2
ms : massa zat larut
n : jumlah ion dalam zat larut

Mikrofisika Awan Dan Hujan


112
Jumlah molekul-molekul air dengan massa mw dapat ditulis
serupa dengan persamaan (5.7) yaitu:
N0 mw
n0  (5.8)
Mv

Keterangan:
Mv : berat molekuler uap air
mw : massa air
n0 : jumlah molekul-molekul air
4 3
Dengan menulis massa air m w  r  L dimana r adalah jari-jari
3
tetes dan L adalah densitas tetes air, maka persamaan (5.6) dapat
diekspresikan menjadi:
e' b
 1 3 (5.9)
es ~  r

Keterangan:
3i m v m s
b 
4  L M s

Jika persamaan Kelvin (5.3) dan efek larutan (5.9) digabung, memberikan
persamaan tekanan uap keseimbangan tetes larutan es' r sebagi berikut:
es' r  b
 1  3  e a / r (5.10)
es ~   r 
dengan:
2
a 
L R v T
L adalah densitas tetes

Mikrofisika Awan Dan Hujan


113
Jika jari-jari tetes larutan r tidak terlalu kecil maka persamaan (5.10)
dapat didekati dengan baik oleh:
es' r a b
 1  3 (5.11)
es ~  r r

Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang terbentuk pada
sebuah inti kondensasi ammonium sulfat dengan massa 10-16 gram.

Dalam bentuk persamaan pendekatan ini, a/r dapat disebut suku


lengkungan yang menyatakan kenaikan rasio jenuh sebuah tetes
3
terhadap permukaan datar. Suku b/r disebut suku larutan yang
menunjukkan penurunan tekanan uap akibat adanya zat terlarut. Secara
numerik, nilai a dan b masing-masing adalah:
3,3 x 10 5
a  cm 
T
4,3i m s
b 
Ms

cm 3

Mikrofisika Awan Dan Hujan


114
Untuk nilai-nilai T, ms dan Ms tertentu, maka persamaan (5.11)
menggambarkan ketergantungan rasio jenuh pada ukuran sebuah tetes
larutan. Kurva paduan persamaan Kelvin dan efek larutan disebut kurva
Köhler yang dilukiskan pada gambar 5.2.

Kurva dalam gambar 5.2, menunjukkan bahwa efek larutan


mendominasi untuk radius tetes kecil, sehingga sebuah tetes larutan yang
sangat kecil berada dalam keseimbangan dengan uap pada kelembapan
relatif kurang dari 100%. Jika kelembapan relatif meningkat, maka tetes
akan tumbuh sampai mencapai keseimbangan sekali lagi. Proses
kenaikan kelembapan lingkungan dan pertumbuhan tetes sampai pada
ukuran keseimbangan dapat dilanjutkan sampai pada kelembapan relatif
*
100% dan sedikit diatasnya. Akhirnya rasio jenuh kritis S tercapai yaitu
pada puncak kurva Köhler. Dalam contoh ini (Gambar 5.2) pada kelewat
*
jenuh (s) = 0,6% yang sesuai dengan jari-jari kritis r = 0,13 m. Sampai
*
titik ini (S = 1,006 atau s = 0,006 = 0,6%), agar tetes menjadi tumbuh
maka kelembapan relatif harus dinaikan. Perlu dicatat bahwa sekali tetes
*
tumbuh di atas radius kritis r maka rasio jenuh keseimbangannya turun di
*
bawah nilai rasio jenuh kritis S . Sehingga uap akan berdifusi ke tetes dan
tetes akan tumbuh tanpa menaikan rasio jenuh lingkungan.

Inti kondensasi dikatakan aktif jika tetes yang terbentuk disekitar


* *
inti mencapai ukuran kritis r . Sekali tetes melewati ukuran r maka tetes
terus tumbuh sampai pada ukuran tetes awan jika rasio jenuh lingkungan
pada sebuah nilai di atas kurva keseimbangan. Kenyataannya,
pertumbuhan terus menerus tidak akan terjadi karena banyak tetes yang
hadir untuk bersaing mendapatkan uap air yang ada dan cenderung
menurunkan rasio jenuh ketika kondensasi menjadi lebih cepat dari pada
produksi kelewat jenuh.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


115
Nilai jari-jari kritis r* dan rasio jenuh kritis S* dapat diturunkan
dari ekspresi pendekatan (5.11) dengan mendeferensir S terhadap r
kemudian disamadengankan nol;
dS a b
 0 dengan S  1 
dr r r3
diperoleh
3b
r* 
a
dan
* 4a 3
S  1 (5.10)
27 b
Tabel 5.4, memberikan contoh jejari dan kelewat jenuh kritis untuk tetes
yang terbentuk pada inti klorida sodium (NaCl).

Tabel 5.4. Nilai-nilai jejari kritis r* dan kelewat jenuh (S* – 1) sebagai fungsi
jejari dan massa inti; dengan menganggap bola (butiran) NaCl pada
temperatur 273 K (Rogers and Yau 1989).
Massa garam Jejari butiran NaCl rs Jejari kritis tetes Kelewat jenuh
terlarut (g) (m) r* (m) (S* – 1) (%)
-16
10 0,0223 0,19 0,42
-15
10 0,0479 0,61 0,13
-14
10 0,103 1,9 0,042
-13
10 0,223 6,1 0,013
-12
10 0,479 19,0 0,0042

5.5. Mikrostruktur Awan


Meskipun kelembapan relatif (RH) awan dan kabut mendekati
100%, tetapi dalam observasi banyak dijumpai penyimpangan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


116
kelembapan relatif dari nilai tersebut. Laporan dari berbagai lokasi
geografis berbeda menunjukkan bahwa kelembapan relatif kabut telah
ditemukan mempunyai jangka (range) dari 81 sampai 100%. Kadang-
kadang penyimpangan kecil kejenuhan biasanya diamati pada bagian
dalam awan.

Warner, 1968 (dalam Pruppacher and Klet, 1980) secara tidak


langsung mendeduksi nilai-nilai kelembapan relatif dalam awan
Cumulus kecil sampai moderat berdasarkan pengukuran kecepatan
vertikal dan ukuran tetes. Hasilnya ditunjukkan dalam gambar 5.3 yang
dapat disimpulkan bahwa dalam awan-awan tersebut, kelembapan
relatif jarang melewati 102% (atau kelewat jenuh 2%) dan jarang lebih
rendah 98% (atau kelewat jenuh – 2%). Kasus ini menunjukkan bahwa
perubahan fasa uap air menjadi tetes atau kristal es terjadi dalam
kelembapan relatif disekitar 100%.

Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang dari nilai yang
diberikan, untuk semua 338 sampel (garis tebal) dari ketinggian 150 –
2100 m di atas dasar awan dan untuk 86 sampel (garis tipis) diambil
dalam 300 m dari dasar awan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


117
Dari beberapa lintasan pesawat melalui awan-awan Cumulus,
diperoleh bahwa pada bagian luar awan, udara biasanya mempunyai
kelembapan relatif antara 95 dan 100 persen, kemudian menukik turun
serendah 70% dekat ujung-ujung awan dimana percampuran turbulen
bertanggung jawab masuknya udara kering dari luar awan. Pada bagian
awan yang lebih dalam dijumpai kelembapan relatif yang berjangka dari
100% sampai 107%.

Awan-awan cair dan kabut sering dijumpai dalam atmosfer pada


0
temperatur di bawah 0 C, karena air dengan segera menjadi kelewat
dingin, terutama partikel-partikel yang kecil. Kurva 1 dan 2 pada
gambar 5.4, menunjukkan kecenderungan ini. Kurva-kurva tersebut
didasarkan pada sejumlah pengamatan pesawat yang dilakukan oleh
Peppler (1940) di atas Jerman, dan oleh Borovikov et. al. (1963) di atas
teritori Eropa Uni Soviet. Kurva-kurva tersebut menunjukkan bahwa
awan-awan kelewat dingin sangat biasa terjadi di dalam atmosfer,
0
terutama jika temperatur puncak awan lebih panas dari – 10 C. Tetapi
dengan menurunnya tempartur, kemungkinan peningkatan es
sedemikian sehingga pada – 20 0C kurang dari 10% awan terdiri dari
tetes-tetes kelewat dingin. Hanya dalam kasus-kasus yang jarang terjadi
awan kelewat dingin diamati pada temperatur serendah – 35 0C di atas
Jerman, dan serendah – 36 0C di atas teritori Eropa Uni Soviet.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


118
Gambar 5.4. Variasi frekuensi awan kelewat dingin dan awan yang mengandung kristal
es. Kurva 1 dan 2 memakai ordinat sebelah kiri. Kurva 3 dan 4 memakai
ordinat sebelah kanan. Kurva 1 : Peppler (1940), Jerman, untuk awan-
awan cair; kurva 2 : Borovikov et. al. (1963), Teritori Eropa Uni Sovjet,
untuk awan-awan cair; kurva 3 : Moskop et. al. (1970), Tasmania, untuk
awan-awan campuran; kurva 4 : Morris and Braham (1968), Minnesota,
untuk awan-awan campuran.
Sumber Pruppacher and Klet, 1980.

Jika sebuah awan tumbuh secara kontinu, maka puncak awan


melewati isoterm 0 0C. Meskipun begitu sebagian tetes-tetes awan
berbentuk cair dan disebut tetes awan kelewat dingin, dan sebagian lagi
berbentuk padat atau kristal es bila tetes bertemu inti pembeku. Tetes-
tetes kelewat dingin yang tidak menemukan inti pembeku (inti es) akan
menjadi beku pada temperatur sekitar – 40 0C atau lebih rendah. Di
0
bawah ketinggian isoterm 0 C semua tetes awan berbentuk cair. Bagan
mikrostruktur awan dapat dilihat pada gambar 5.5.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


119
Gambar 5.5. Penyajian skematik mikrostruktur awan campuran.
O : tetes awan, X : kristal es, : tetes kelewat dingin

5.6. Resumé
Fakta menunjukkan bahwa atmosfer mengandung aerosol
higroskopis yang bertindak sebagai inti kondensasi awan. Proses
dimana tetes air dari fasa uap air terbentuk pada inti kondensasi disebut
pengintian heterogen. Partikel-partikel yang membentuk awan (inti,
tetes awan dan tetes hujan) mempunyai jangka yang lebar mengenai
kecepatan jatuh terminal, konsentrasi dan ukurannya. Awan adalah
sekumpulan tetes yang berjejari sekitar 10 m dan mempunyai
3
konsentrasi berorde 100 per cm . Awan terbentuk jika udara menjadi
kelewat jenuh terhadap air cair atau terhadap es. Di atmosfer, kelewat
jenuh terjadi jika udara mengalami ekspansi dan pendinginan adiabatik
melalui kenaikan parsel udara, misalnya konveksi, orografi atau
konvergensi.

Awan dibagi menjadi sepuluh golongan utama (genus). Tiap


genus awan dibagi menjadi beberapa jenis awan dan setiap jenis awan
masih dapat dibagi lagi menjadi varitas awan. Pembagian jenis awan
didasarkan pada keistimewaan yang terdapat pada bentuk, dimensi dan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


120
perbedaan struktur dalam setiap genus awan. Misalnya awan genus
tertentu berbentuk lonjong atau seperti lensa maka jenis awannya
lentikularis. Jenis lentikularis terdapat pada genus awan Cc, Ac, dan Sc.
Pembagian varitas awan didasarkan pada tata letak unsur makroskopik
awan dan pada sifat transparansi atau kejernihan. Misalnya unsur
makroskopik awan dapat tersusun dalam beberapa baris sejajar
menyerupai gulungan ombak pantai, maka varitas awan ini disebut
undulatus, yang berarti ombak. Kejernihan awan dapat dibedakan
antara yang tipis dan yang tebal. Jika melalui awan, posisi matahari
masih dapat ditentukan, maka varitas awan dinamakan translusidus,
yang berarti transparan dan jika tidak dapat ditentukan, maka varitas
awan disebut opakus, yang berarti rapat atau gelap (tidak tembus
cahaya).

Tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes bergantung pada


kelengkungannya. Efek zat larut adalah menurunkan tekanan uap
keseimbangan di atas tetes, sehingga tetes larutan berada dalam
keseimbangan dengan lingkungan pada kelewat jenuh yang lebih
rendah dibandingkan dengan tetes air murni pada ukuran yang sama.
Tetes awan akan stabil jika ukurannya melampaui nilai kritis tertentu.
Tetes yang ukurannya lebih besar nilai kritis akan tumbuh dan yang
lebih kecil nilai kritis akan meluruh. Gabungan persamaan tekanan uap
jenuh karena efek kelengkungan dan efek larutan disebut kurva Köhler.
Meskipun awan tumbuh melewati isoterm 0 0C, tetapi sebagian partikel
awan berbentuk cair, disebut tetes awan kelewat dingin dan sebagian
lagi berbentuk padat atau kristal es. Tetes awan kelewat dingin yang
tidak menemukan inti es akan menjadi beku pada temperatur sekitar
0
– 40 C atau lebih rendah.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


121
Bab 6

Pertumbuhan Tetes Hujan


Dalam Awan Panas

Awan yang terletak di bawah isotherm – 10 0C disebut awan


panas. Dalam awan panas hampir seluruhnya terdiri dari butiran-butiran
0
air cair (liquid water droplets) karena sampai temperatur – 10 C butiran
awan tidak spontan membeku. Butiran-butiran awan panas dapat tumbuh
melalui kondensasi dalam lingkungan kelewat jenuh, kemudian melalui
tumbukan – tangkapan dengan butiran-butiran awan lain. Pada bab 5
telah dijelaskan bagaimana butiran awan terbentuk. Jika butiran awan
telah melampaui puncak kurva Köhler atau melampaui jari-jari kritis r*,
maka butiran tersebut dapat terus tumbuh melalui kondensasi uap air
tanpa penambahan rasio jenuh S. Jadi agar sebuah butiran larutan tumbuh
menjadi tetes awan maka rasio jenuh S* dan jejari kritis butiran r* harus
dilampaui. Dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana pertumbuhan
butiran awan selanjutnya sampai terbentuk tetes awan (cloud drop) dan
tetes hujan (raindrop).

6.1. Pertumbuhan Difusional Butiran Awan


Sebelum dan sesudah butiran awan mencapai ukuran kritis, maka
butiran awan tumbuh melalui difusi molekul-molekul uap air di atas
permukaannya. Jika butiran terbentuk pada inti higroskopis, misalnya
NaCl, maka efek larutan terhadap rasio jenuh adalah penurunan tekanan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


123
uap. Untuk massa larutan yang konstan, makin kecil jari-jari tetes berarti
3
makin tinggi konsentrasi dengan faktor 1/r .

Tinjau butiran mempunyai jari-jari r dan terletak dalam medan


uap air dengan konsentrasi molekul-molekul uap pada jarak R dari
pusat butiran yang dinyatakan dengan n(R). Medan uap dapat juga
digambarkan dalam suku-suku densitas (kerapatan) uap air atau
kelembapan mutlak v(R), dimana:
ρ v  n m0
Keterangan:
m0 : massa satu molekul air
n : onsentrasi molekul-molekul uap air

Bila dianggap difusi isotropi, sehingga n(R) atau v(R) tidak bergantung
pada arah keluar dari butiran. Pada setiap titik di dalam medan uap, maka
konsentrasi molekul dianggap memenuhi persamaan difusi berikut:

n
 D 2 n (6.1)
t
dimana D adalah koefisien difusi molekuler. Dalam kondisi mantap
(steady state) atau stasioner, dianggap bahwa n/t = 0, sehingga
persamaan (6.1) menjadi:
1   2 n 
 2 n R   0  R  (6.2)
R 2 R  R 

R adalah jarak n(R) dari pusat butiran. Solusi umum persamaan (6.2)
adalah:
C2
n R   C1  (6.3)
R

Mikrofisika Awan Dan Hujan


124
Konstanta-konstanta C1 dan C2 diperoleh dengan menerapkan syarat
batas berikut:
Pada jarak R, maka nn : nilai konsentrasi uap lingkungan atau tak
terganggu
n = C1 – C2/ atau konstanta C1 = n
Pada jarak Rr, maka nnr : konsentrasi uap pada permukaan butiran
nr = n – C2/r atau konstanta C2 = r(n – nr)
Dengan syarat batas di atas maka solusi persamaan (6.3) menjadi:
r
n R   n   n   n r  (6.4)
R
 n 
Fluks molekul pada permukaan butiran sama dengan D   ,
 R  R  r
sehingga kecepatan pertambahan massa butiran adalah:
dm  n 
 4  r2 D   m0 (6.5)
dt  R  R  r
Keterangan :
m : massa butiran
r : jari-jari butiran
m0 : massa satu molekul air
D : koefisien difusi molekuler

nR  n   r R 1 n   n r
 n 
   r R n   n r 
2

 R 
 n 
   r . r  2 n   n r 
 R  R  r
 r 1 n   n r

Mikrofisika Awan Dan Hujan


125
Dengan menggabung persamaan (6.4) dan (6.5), diperoleh:
m 1
 4  r 2 D . n   n r  m 0
t r
atau
m
 4  r D n   n r  m 0 (6.6)
t
Jika dinyatakan dalam densitas uap, maka:
m
 4  r D ρ v  ρ vr  (6.7)
t
Keterangan :
v = n m0 : densitas uap lingkungan
vr = nr m0 : densitas uap pada permukaan butiran dengan jari-
jari r

Persamaan (6.7) menyatakan pertumbuhan difusional untuk


sebuah butiran yang terisolasi di dalam medan uap. Terlihat bahwa tetes
akan tumbuh jika v > vr dan menguap jika v < vr. Biasanya v
ditentukan dari kondisi lingkungan tertentu. Sedangkan vr bergantung
pada ukuran butiran, komposisi kimia dan temperatur. Temperatur
butiran biasanya tidak sama dengan temperatur lingkungan, sehingga
harus ditentukan dengan meninjau alih (transfer) panas antara butiran
dan lingkungannya.

Dalam proses kondensasi, dilepaskan panas laten yang


cenderung meningkatkan temperatur butiran di atas temperatur
lingkungan. Difusi panas keluar dari tetes diberikan oleh persamaan
analogi pada (6.7), yaitu:
Q
 4  r K Tr  T  (6.8)
t
Mikrofisika Awan Dan Hujan
126
Keterangan :
T : temperatur lingkungan
Tr : temperatur pada permukaan butiran
K : koefisien konduktivitas panas udara

Dari persamaan (6.7) dan (6.8), maka kecepatan perubahan


temperatur pada permukaan butiran adalah:
dTr dm dQ
mc  L
dt dt dt
4 3 dT dm dQ
π r ρL c r  L 
3 dt dt dt (6.9)

Keterangan:
m  4 3 π r 3 ρ L : massa butiran
L : densitas air
c : kapasitas panas spesifik
L : panas laten kondensasi

Jika dianggap proses pertumbuhan keadaan mantap (steady


state) maka dTr/dt = 0, sehingga persamaan (6.9) menghasilkan:
dm dQ
L 
dt dt
Dari persamaan (6.7) dan (6.8), diperoleh:

L 4 π r D ρ v  ρ vr  4 π r K Tr  T
atau
ρ v  ρ vr K
 (6.10)
Tr  T LD

Mikrofisika Awan Dan Hujan


127
Dalam persamaan (6.10) perbandingan K/LD sedikit bergantung pada
temperatur dan tekanan, dan kondisi lingkungan dinyatakan oleh v dan
T. Biasanya temperatur tetes Tr dan densitas uap pada permukaan
permukaan tetes vr tidak diketahui, tetapi dari persamaan (5.11) dan
persamaan keadaan uap air, biasanya Tr dan vr dapat dinyatakan dengan:
es r  a be T
ρ vr   1   3  s r (6.11)
R v Tr  r r  R v Tr
dimana es (Tr) adalah tekanan uap keseimbangan (jenuh) di atas sebuah
permukaan air datar pada temperatur Tr dan diberikan oleh persamaan
Clausius – Clapeyron. Persamaan (6.10) dan (6.11) terdiri dari sebuah
sistem simultan yang dapat dipecahkan secara numerik untuk Tr dan vr
sehingga diperoleh evaluasi kecepatan pertumbuhan tetes dengan
kondensasi.

6.2. Persamaan Pertumbuhan Butiran Melalui


Kondensasi
Sebagai sebuah alternatif pada metode solusi numerik, didekati
secara analitik untuk menghitung kecepatan pertumbuhan sebuah tetes
dengan kondensasi. Dalam sebuah medan uap jenuh, perubahan densitas
uap dihubungkan dengan perubahan temperatur oleh persamaan Mason
(1971):
dρ v L dT dT
  (6.12)
ρv R v T2 T
dimana v adalah densitas uap air, Rv adalah konstanta gas individu
untuk uap air, dan L adalah panas laten kondensasi.

Jika persamaan ini diintegrasi dari temperatur Tr sampai


temperatur T, dan menganggap T/Tr ~ 1, maka diperoleh:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


128
ρ vs  L 1
n  T  Tr    (6.13)
ρ vrs  R v Tr T Tr 
Keterangan :
vs: densitas uap jenuh lingkungan
vrs : densitas uap jenuh permukaan tetes dengan jari-jari r

Subskrip ”s” menunjukkan densitas uap jenuh. Karena vs/vrs ~ 1, maka


persamaan (6.13) secara pendekatan menghubungkan:

ρ vs   vrs  T  Tr   L 
    1 dengan T ~ Tr (6.14)
ρ vrs  T   Rv T 
2
Secara pendekatan juga dapat dilakukan bahwa TTr ~ T .
Substitusi dari persamaan (6.8) untuk (T – Tr) dan persamaan (6.9) dalam
 dT 
proses pertumbuhan keadaan mantap  r  0  , maka persamaan (6.14)
 dT 
menjadi:
ρ vs  ρ vrs  L  L  dm
 1    
ρ vrs  R v T   4 π r K T  dt

dQ dm
dengan L (6.15)
dt dt

Dari persamaan (6.7), diperoleh:


ρ v  ρ vr
 4 π r D ρ vr 1 dm (6.16)
ρ vr dt

Mikrofisika Awan Dan Hujan


129
4 3
Jika massa butiran m  π r ρ L , hubungan kecepatan
3
dm dr
pertumbuhan massa tetes dan jejari tetes adalah  4 π r 2 ρL .
dt dt
Dengan mengurangi persamaan (6.15) dari (6.16) dan menganggap
bahwa vr = vrs maka diperoleh persamaan pendekatan kecepatan
pertumbuhan sebuah tetes melalui kondensasi sebagai berikut:
dr S 1
r 
dt  L  Lρ ρ R T
  1 L  L v 
 R v T  KT Des T  
atau
dr S 1
r  (6.17)
dt Fk  Fd
 L  L L ρ R T
dengan Fk    1 dan Fd  L v
 Rv T  KT Des T 
e
dimana S  adalah rasio jenuh lingkungan, L adalah densitas
es T 
butiran, dan e = v Rv T adalah tekanan uap air. Jika S < 1 maka dr/dr < 1
dan butiran awan tidak akan tumbuh menjadi tetes, sebaliknya butiran
akan menguap. Bentuk pendekatan persamaan (6.17) mengabaikan efek
larutan dan kelengkungan pada tekanan uap keseimbangan (jenuh) tetes.
Jika efek larutan dan kelengkungan dimasukkan maka persamaan
pendekatan (6.17) menjadi:
a b
dr
S  1   3
r  r r (6.18)
dt Fk  Fd
Dalam penyebut persamaan (6.17), Fk menyatakan suku termodinamika
yang berkaitan dengan konduksi panas, Fd adalah suku yang berkaitan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


130
dengan difusi uap. Dalam suku Fk, dapat ditunjukkan bahwa L/RvT >> 1,
sehingga angka 1 dapat diabaikan secara pendekatan, atau
L2 ρ L
Fk 
R v K T2
Koefisien difusi dan koefisien konduktivitas termal berubah
dengan temperatur, lihat tabel 6.1. Panas laten L dan tekanan uapjenuh es
juga bergantung pada temperatur, ditabelkan pada tabel 3.1. Secara
pendekatan K sebanding dengan viskositas dinamik udara () dan D
sebanding dengan viskositas kinematik ( = /) dengan adalah
densitas udara. Viskositas dinamik hanya bergantung pada temperatur
dan dapat dihitung dengan formula pendekatan sebagai berikut:
3/2
 393   T 
μ T   1,72 x 10 5     (6.19)
 T  120   273 
dimana T dalam K dan dalam kg m-1 s-1.
Persamaan umum (6.18) tidak mungkin diintegrasi secara
analitik. Dengan data temperatur, tekanan, rasio jenuh, massa dan berat
molekuler inti kondensasi, persamaan (6.18) dapat dipecahkan secara
numerik atau grafik untuk menentukan ukuran butiran sebagai fungsi
waktu. Tabel 6.2, mendaftar hasil-hasil butiran awan yang tumbuh pada
inti khlorida sodium (NaCl) pada kelewat jenuh (s) = 0,05%, p = 90 kPa =
900 mb, dan T = 273 K.

Sebuah butiran yang terbentuk pada sebuah inti kondensasi besar


terlihat pada awalnya tumbuh lebih cepat dari pada butiran-butiran
dengan inti kecil, tetapi setelah mencapai jejari tertentu (sekitar 10 m),
kecepatan pertumbuhannya kira-kira sama tanpa memandang massa inti.
Jika sebuah butiran menjadi cukup besar, maka suku a/r dan b/r3 diabaikan
terhadap (S – 1) dan persamaan (6.17) adalah pendekatan yang baik.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


131
Dengan demikian:
dr 1
r   dengan   S  11 dan 1 
dt Fk  Fd  (6.20)
1 disebut parameter pertumbuhan kondensasi normalisasi. Jika
persamaan ini diintegrasi dari jari-jari mula r0 pada saat t = 0 sampai jari-
jari butiran r pada saat t, maka diperoleh jari-jari butiran bertambah
dengan waktu r(t) sebagai berikut:
r t

 r dr   t,
r0 0
r  r0 pada t  0 dan r  r pada t  t
r t
1 2
r  t  r 2  r02  2t
2 r0 0

r t   r02  2  t (6.21)
dimana r0 adalah jejari butiran mula-mula. Grafik pertumbuhan butiran
awan menjadi tetes berbentuk parabola dengan pertumbuhan mula-mula
cepat kemudian menjadi lambat, lihat gambar 6.1. Bentuk parabolik
membatasi distribusi ukuran butiran sebagai hasil pertumbuhan.

r0
0
0 t

Gambar 6.1. Pertumbuhan butiran awan dengan kondensasi dalam lingkungan


konstan. r0 : jejari awal dan t : waktu.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


132
Tabel 6.1. Nilai viskositas dinamik udara (), koefisien konduktivitas termal
udara (K), dan koefisien difusi uap air dalam udara (D), pada p =
1000 mb (Houghton, 1985).
T (0C) -1
 (kg m s )
-1
K (J m-1 s-1 K-1) D (m2 s-1)
-5 -2 -5
– 40 1,512 x 10 2,07 x 10 1,62 x 10
– 30 1,564 x 10-5 2,16 x 10-2 1,76 x 10-5
– 20 1,616 x 10-5 2,24 x 10-2 1,91 x 10-5
– 10 1,667 x 10-5 2,32 x 10-2 2,06 x 10-5
0 1,717 x 10-5 2,40 x 10-2 2,21 x 10-5
10 1,766 x 10-5 2,48 x 10-2 2,36 x 10-5
-5 -2 -5
20 1,815 x 10 2,55 x 10 2,52 x 10
-5 -2 -5
30 1,862 x 10 2,63 x 10 2,69 x 10
Catatan: Nilai D dalam tabel untuk tekanan 100 kPa (1000 mb). Karena D sebanding
dengan /, maka D berbanding terbalik dengan tekanan untuk temperatur
tertentu.

Tabel 6.2. Kecepatan pertumbuhan butiran dengan kondensasi (jejari awal=


0,75 m). Sumber Mason, 1971.

Massa inti 10-14 10-13 10-12


(g)
Radius (m) Waktu (sekon) untuk tumbuh dari radius mula
r(t) r0 = 0,75 m menjadi :
1 2,4 0,15 0,013
2 130 7,0 0,61
4 1000 320 62
10 2700 1800 870
20 8500 7400 5900
30 17500 16000 14500
50 44500 > 12 j 43500 > 12 j 41500 ~ 12 jam

Jelas dari tabel 6.1., bahwa pertumbuhan butiran menjadi tetes awan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


133
melalui kondensasi tidak dapat menjelaskan terjadinya hujan. Untuk
jejari butiran mula 0,75 m menjadi tetes dengan jejari 50 m dibutuhkan
waktu sekitar 12 jam atau lebih, sedang tetes hujan paling kecil dalam
bentuk hujan gerimis mempunyai jari-jari 100 m.

Gambar 6.2. Ketergantungan parameter pertumbuhan 1 = 1/(Fk + Fd) pada temperatur


dan tekanan. Kontur adalah besaran log10 1 yang diplot, dengan 1
dinyatakan dalam satuan m2 s-1. Garis titik-titik adalah pseudoadiabat
dengan w = 0 0C dan 20 0C. Sumber Rogers and Yau, 1989.

Parameter pertumbuhan kondensasi 1 sebagai fungsi temperatur


2 -1
dan tekanan, dan dalam sistem SI mempunyai satuan m s . Karena ukuran
tetes biasanya diukur dalam m, maka lebih baik 1 dinyatakan dalam
2 -1
m s . Gambar 6.2, menyatakan ketergantungan log10 1 pada temperatur
0
dan tekanan. Misalnya, pada p = 80 kPa dan T = 0 C, interpolasi dari
gambar memberikan : log10 1 = 1,834, sehingga 1 = 101,834 = 68,2 m2 s-1.
Garis titik-titik menyatakan temperatur dan tekanan sepanjang garis
0 0
pseudoadiabatik yang sesuai dengan w = 0 C dan 20 C. Hal ini memberi
indikasi adanya variasi paramater pertumbuhan kondensasi yang
dinormalisasikan (1) sepanjang penyebaran vertikal awan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


134
6.3. Kolisi dan Koalisensi
Dalam seksi 6.3 ini, perlu dibedakan antara butiran (droplets) dan
tetes (drop). Kebanyakan presipitasi (endapan) yang jatuh ke permukaan
tanah adalah sebagai hujan yang diproduksi oleh awan-awan yang
0
puncaknya tidak tumbuh sampai temperatur jauh lebih dingin dari 0 C.
Mekanisme yang bertanggung jawab pada pembentukan presipitasi
dalam awan panas (awan yang temperaturnya > – 10 0C) ini adalah
koalisensi (coalescence) di antara butiran awan. Selain koalisensi
berpengaruh dalam proses pembentukan presipitasi di daerah tropis,
koalisensi juga efektif dalam awan-awan cumulus daerah lintang tengah
yang puncaknya tumbuh sampai temperatur di bawah titik beku.

Tugas pokok dari mikrofisika awan dan hujan adalah


menjelaskan bagaimana tetes-tetes hujan (raindrops) dapat terbentuk
oleh kondensasi dan koalisensi (tangkapan) dalam waktu sependek 20
menit. Waktu ini merupakan interval yang diamati pada awan cumulus
antara pertumbuhan awan dan muncul pertama kali sebagai hujan.
Selama waktu ini populasi sebuah awan terdiri dari butiran-butiran
berorde 100 butiran per cm3 dengan jejari rata-rata 10 m, berkembang
3
menjadi populasi tetes hujan dengan 1000 tetes per m yang mempunyai
diameter tipik (khusus) 1 mm. Meskipun masih ada keraguan, tetapi
pada umumnya setuju bahwa kolisi (collision) dan koalisensi butiran-
butiran dapat meningkatkan jejari 50 kali lipat, syangnya peristiwa ini
tidak terjadi dalam jumlah yang signifikan sampai beberapa butiran
tumbuh mencapai jejari sekitar 20 m. Butiran-butiran yang lebih kecil
mempunyai penampang kolisi (tumbukan) kecil dan kecepatan jatuh
lambat, karenanya mempunyai kemungkinan kecil bertumbukan
dengan butiran lain.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


135
Koalisensi hanya dapat menjadi signifikan setelah spektrum
butiran tumbuh menjadi ukuran yang berbeda kecepatan jatuhnya,
dengan beberapa butiran dapat mencapai jejari 20 m atau lebih. Jika
dalam awan yang sedang tumbuh, butiran-butiran mencapai jejari 30
m maka koalisensi lebih dominan dalam proses pertumbuhan.
5
Diameter tetes hujan 1 mm mungkin hasil dari tumbukan berorde 10
butiran.

Dari persamaan pendekatan (6.21), maka dapat ditentukan


bahwa sebuah butiran awan dapat tumbuh oleh kondensasi pada jejari
20 m dalam 10 menit di bawah kondisi rasio jenuh (S) lingkungan
konstan jika kelewat jenuh (s) sekitar 0,5%. Untuk konsentrasi butiran
-1
tipik, kelewat jenuh ini akan memerlukan arus udara ke atas 5 ms atau
lebih. Kondisi khusus demikian hanya akan didekati dalam awan-awan
cumulus yang sedang tumbuh dengan penyebaran vertikal yang meluas.
Dalam awan ini kelihatannya kondensasi dalam kenaikan parsel
berawan secara adiabatik dapat menghasilkan butiran-butiran yang
diperlukan untuk memprakarsai koalisensi dalam waktu realistik.

Pelebaran menuju ukuran-ukuran yang lebih besar akan


meningkatkan kesempatan koalisensi ketika ukuran butiran mendekati 20
m. Pelebaran pada ukuran-ukuran yang lebih kecil mempunyai peluang
kecil untuk berkoalisensi karena penampang kolisi efektif sangat kecil.

Tumbukan terjadi akibat beda tanggap (response) butiran-


butiran terhadap gaya gravitasi, gaya listrik, atau gaya aerodinamik. Efek
gravitasi sangat dominan di dalam awan, butiran besar jatuh lebih cepat
dari pada butiran kecil. Sebuah tetes yang jatuh hanya akan menumbuk
sejumlah butiran yang terletak di dalam lintasan tetes, karena beberapa

Mikrofisika Awan Dan Hujan


136
butiran tersapu kesamping dalam arus udara disekitar tetes. Rasio jumlah
kolisi aktual dengan jumlah yang tersapu keluar disebut efisiensi kolisi
(E1) yang bergantung pada ukuran tetes kolektor dan ukuran butiran-
butiran tertangkap.

Kolisi (tumbukan) bukan jaminan terjadinya koalisensi. Jika


sepasang tetes bertumbukan maka beberapa tipe interaksi mungkin
terjadi:
a. sepasang tetes mungkin melambung terpisah,
b. sepasang tetes mungkin bergabung (coalesce) secara permanen dan
menjadi satu,
c. sepasang tetes mungkin bergabung secara temporer kemudian
berpisah dengan mempertahankan masing-masing identitas awalnya,
d. sepasang tetes mungkin bergabung secara temporer kemudian pecah
menjadi tetes-tetes kecil (small drops).

Tipe interaksi bergantung pada ukuran tetes dan trajektori


tumbukan, juga dipengaruhi oleh adanya gaya listrik dan faktor-faktor
lain. Untuk tetes dengan jari-jari lebih kecil 100 m, maka interaksi (a)
dan (b) sangat penting. Rasio jumlah koalisensi (tangkapan) dengan
jumlah kolisi (tumbukan) disebut efisiensi koalisensi (E 2 ).
Pertumbuhan sebuah tetes oleh proses kolisi–koalisensi ditentukan oleh
efisiensi koleksi (E) yaitu hasil kali efisiensi kolisi (E1) dan efisiensi
koalisensi (E2). Studi laboratorium menunjukkan bahwa efisiensi
koalisensi mendekati satu (E2 ~ 1) jika tetes-tetes yang bertumbukan
bermuatan atau ada medan listrik. Karena di dalam awan natural medan
listrik lemah dan muatan-muatan jarang, maka studi teoritis
pertumbuhan tetes dengan kolisi – koalisensi biasanya diasumsikan
bahwa efisiensi koleksi sama dengan efisiensi kolisi (E = E1).

Mikrofisika Awan Dan Hujan


137
Sebuah tetes dengan jari-jari R menyusul sebuah butiran dengan jari-jari
r. Jika inersia butiran nol maka butiran akan terhempas ke samping oleh
aliran arus disekitar tetes yang lebih besar sehingga tidak terjadi
tumbukan. Kolisi bergantung pada gaya inersial dan aerodinamik, dan
jarak antara pusat-pusat tetes dan butiran (x). Untuk nilai r dan R tertentu,
ada nilai kritis parameter dampak (x0) di dalam mana tumbukan pasti
terjadi dan di luar itu maka butiran akan disimpangkan keluar jalur tetes.
Hasilnya dinyatakan dalam bentuk efisiensi kolisi yang didefinisikan
sebagai:
x 02
E R , r   (6.22)
R  r 2
Keterangan :
R : jari-jari tetes
r : jari-jari butiran
x0 : parameter dampak (the impact parameter)

Gambar 6.3. Geometri tumbukan.

Efisiensi kolisi (E) sama dengan fraksi dari butiran-butiran


berjejari r dalam jalur yang terhempas keluar dari tetes kolektor yang
sebenarnya menumbuk butiran tersebut atau efisiensi kolisi dapat
ditafsirkan sebagai probabilitas bahwa tumbukan akan terjadi dengan
sebuah butiran yang terletak acak dalam volume sapuan (swept volume).
Tabel 6.3, menunjukkan efisiensi kolisi (E) untuk tetes R dan butiran r.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


138
Makin besar R dan r, makin besar niai E. Karena efisiensi koalisensi (E2)
mendekati satu mka koefisiensi kolisi (E1) sama dengan koefisiensi
koleksi (E) atau E = E1 . E2 = E1 . 1 = E1.

Tabel 6.3. Efisiensi kolisi (E) untuk tetes R dan butiran r.


Sumber Rogers and Yau, 1989.

R (m) r (m)
2 4 8 10 20 25
20 x 0,027 0,12 0,17 – 0,75
40 x 0,020 0,40 0,55 0,75 0,91
60 – 0,13 0,57 0,68 0,86 0,95
80 – 0,23 0,68 0,76 0,92 0,96
100 – 0,32 0,73 0,81 0,94 0,96
200 0,039 0,46 0,81 0,87 0,95 0,97
400 0,098 0,51 0,83 0,88 0,96 ~ 1,0
600 0,17 0,54 0,83 0,88 0,98 ~ 1,0
1000 (1 mm) 0,15 0,52 0,82 0,88 0,98 ~ 1,0
1800 0,08 0,45 0,80 0,86 0,94 ~ 1,0
3000 (3 mm) 0,02 0,33 0,71 0,81 0,94
Catatan ; x : tidak dapat ditentukan secara teliti dari data. – : efisiensi kolisi < 0,01.

Menurut beberapa peneliti, besaran efisiensi kolisi (E) disebut


efisiensi kolisi linier yang didefinisikan sebagai:
x0
yc  (6.23)
R
Dari (6.22) dan (6.23), diperoleh:
y c2
E 
1  p 2
2
y c2  E 1 p (6.24)

dimana p = r/R. Kadang-kadang efisiensi kolisi didefinisikan oleh

Mikrofisika Awan Dan Hujan


139
ekspresi berikut:
2
x 02 y c2 1  p 2
E'   y 2
c  2
 E 1  p  (6.25)
R 2
1  p 
2
Karena E = E (1 + p) , jelas bahwa E dapat bernilai lebih besar satu.

6.4. Persamaan Pertumbuhan Tetes


Misalkan sebuah tetes berjejari R jatuh dengan kecepatan jatuh
terminal u(R) melalui sekumpulan butiran yang lebih kecil berjejari r
dengan kecepatan jatuh terminal u(r). Jelas bahwa u(R) > u(r). Akan
ditinjau posibilitas tetes besar membentur dan menangkap butiran kecil
sehingga ukuran tetes membesar. Dalam awan panas terdapat tetes dan
butiran yang berbeda ukurannya.

Tetes yang jatuh mempunyai kecepatan relatif (u(R) – u(r))


terhadap butiran. Anggap terjadi tumbukan dan penggabungan dalam
satu detik dengan semua butiran yang memenuhi silinder dengan tinggi
(u(R) – u(r)) dan jari-jari (R + r). Gambar 6.4a, menunjukkan trajektori
yang tidak menyimpang sehingga setiap butiran yang pusatnya terletak
di dalam silinder dengan jari-jari (R + r) dan sumbunya melalui pusat
tetes, akan membentur tetes yang selanjutnya bergabung. Gambar 6.4b,
menunjukkan efek aerodinamik yang merubah situasi sehingga butiran
bergerak menjauhi sumbu silinder.

Misalkan W adalah kadar air awan per satuan volume (berorde 1


gram/m3) yaitu massa semua butiran yang terkandung dalam satuan
volume. Pertambahan massa tetes secara empiris dituliskan dengan
ekspresi berikut:
dm 2
 EWπ R  r  u R   u r  (6.26)
dt
Mikrofisika Awan Dan Hujan
140
dimana (R + r) adalah jari-jari silinder dan u(R) – u(r) adalah kecepatan
jatuh tetes relatif terhadap butiran atau tinggi silinder dalam waktu satu
sekon. Dalam satu detik tetes menyapu volume silinder  (R + r) . (u(R)
– u(r)).

E adalah nilai rata-rata efektif efisiensi koleksi atau faktor


koreksi untuk populasi butiran yaitu perkalian efisiensi kolisi (E1) dengan
efisiensi koalisensi (E2). Jika tetes-tetes semuanya lebih kecil sekitar
100 m maka efisiensi koalisensi (tangkapan) dianggap mendekati satu,
sehingga efisiensi koleksi identik dengan efisiensi kolisi, jadi E = E1.

Jika massa tetes m dinyatakan dengan jejari tetes R, maka


persamaan (6.26) menjadi:
2
dR EW  r
 1   u R   u r  (6.27)
dt 4ρ L  R

Catatan:
4
Massa tetes: m  πR 3 . ρ L
3
dm dR dR dm dt
 4ππ 2ρ L atau 
dt dt dt 4ππ 2ρ L
Untuk R >> r maka (u(R) << u(r)) dan u(r) diabaikan terhadap u(R),
sehingga persamaan (6.27) dapat disederhanakan menjadi:
dR EW u R
 (6.28)
dt 4ρ L
dimana L adalah densitas air.

Nilai E (efisiensi koleksi) bergantung pada R dan r. Untuk R dan


r yang besar maka nilai E mendekati satu, sehingga pertumbuhan tetes
menjadi cepat.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


141
Perubahan ukuran tetes dengan ketinggian (z) dapat diperoleh
dari persamaan:
dR dR dt dR 1
  (6.29)
dz dt dz dt w  u R 
Keterangan :
w : kecepatan arus udara keatas (updraft)
u(R) : kecepatan jatuh terminal tetes berjari-jari R
dz/dt : kecepatan vertikal = w – u(R), dan dt/dz = 1/(w – u(R))

Dengan mengganti dR/dt dari persamaan (6.28) maka


persamaan (6.29) yang menyatakan perubahan radius tetes terhadap
ketinggian dapat ditulis sebagai:
dR EW uR
 . (6.30)
dz 4ρ L w  u R 
Jika kecepatan udara keatas sangat kecil dan dapat diabaikan
maka persamaan (6.30) menjadi:
dR EW
 (6.31)
dz 4ρ L
Persamaan (6.31) memerikan pertumbuhan tetes karena proses koleksi
kontinu dengan menganggap awan sebagai kontinum. Pertumbuhan
sebenarnya terjadi karena peristiwa diskrit dari penangkapan butiran.
Tetes membesar ketika tetes turun (–z).

Fluktuasi turbulen akan meningkatkan tangkapan (koalisensi)


dengan meningkatnya kesempatan kolisi butiran-butiran. Meskipun
sangat sulit untuk mempredik efek turbulensi dengan pasti, tetapi dapat
dikenal dua mekanisme dimana turbulensi dapat mempengaruhi proses
koleksi.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


142
Pertama, bahwa tetes-tetes dengan ukuran berbeda mempunyai
respon (reaksi) berbeda terhadap medan kecepatan yang berfluktuasi.
Untuk butiran kecil, waktu relaksasi (pengendoran) reaksi terhadap
fluktuasi kecepatan kira-kira sebanding dengan kuadrat jari-jari tetes.
Mekanisme kedua yang dapat mempengaruhi koalisensi dalam
medium turbulen yang mungkin penting untuk tetes-tetes yang
mempunyai ukuran sama atau ukuran berbeda. Mekanisme ini dikaitkan
dengan struktur olakan (eddy) medan kecepatan turbulen. Olakan
turbulen menyokong pada proses koleksi dan efeknya meningkat dengan
peningkatan intensitas turbulensi, tetapi pengaruhnya pada tingkat
pertumbuhan tetes adalah kecil. Perlu dicatat bahwa efek turbulensi pada
koalisensi belum dimengerti dengan baik. Hasil sementara untuk medan
turbulensi homogen, menunjukkan bahwa koleksi butiran-butiran
ditingkatkan oleh reaksi diferensial pada turbulensi.

6.5. Trajektori Tetes


Trajektori tetes secara sederhana mengikuti kurva seperti pada
gambar 6.4, dimana z = 0 sesuai dengan dasar awan. Jelas bahwa agar
proses ini memungkinkan maka awan harus mempunyai ketebalan tidak
lebih kecil dari z yang sesuai dengan puncak trajektori. Usaha untuk
mengembangkan model yang lebih realistik dari pada komputasi
sederhana (persamaan 6.30) menunjukkan tinjauan dinamika awan
termasuk faktor-faktor rumit seperti struktur arus udara keatas juga
kebawah dan percampuran turbulen dengan lingkungan.
Gambar 6.4, menunjukkan trajektori sebuah tetes yang tumbuh
dalam awan. Tetes dengan jari-jari awal R0 berada pada tinggi referensi 0
(dasar awan) dibawa keatas oleh arus udara kemudian tumbuh

Mikrofisika Awan Dan Hujan


143
bertambah besar. Ketika cukup besar untuk mengatasi arus udara keatas,
tetes akan jatuh kembali dan melintasi paras referensi dengan jari-jari R.
Agar proses ini memungkinkan maka puncak awan harus lebih tinggi
dari z.

Model Bowen menggunakan persamaan (6.30) dalam penilaian


perkembangan hujan awan-awan panas. Bowen (1950) menganggap
bahwa sebuah awan dengan butiran-butiran berukuran uniform (serba
sama) naik dengan arus udara keatas konstan dan tumbuh melalui
kondensasi. Dia meninjau bahwa sebuah tetes dengan dua kali massa
tetes lain hadir sebagai akibat kesempatan koalisensi dan butiran. Tetes
ini dibawa keatas bersama butiran-butiran dan tumbuh melalui
kondensasi dan koalisensi mengikuti persamaan (6.30) dengan
memakai efisiensi kolisi Langmuir dan pendekatan kecepatan jatuh
terminal. Contoh dari peristiwa ini dilukiskan pada gambar (6.5).

Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan jari-jari awal R0 dan
akhir R.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


144
Gambar 6.5. Trajektori Bowen yang dihitung dengan kecepatan arus udara keatas
w = 1 ms-1, kadar air awan W = 1 g m-3. (a) : Udara, (b) : butiran-butiran
awan yang awalnya mempunyai jari-jari 10 m, (c) : tetes yang awalnya
mempunyai massa dua kali massa butiran awan (Rogers and Yau, 1989).

Pada awalnya pertumbuhan tetes dengan koalisensi lambat dan


berorde sama magnitudonya seperti pertumbuhan dengan kondensasi.
Tetapi, u dan E bertambah secara cepat dengan ukuran tetes sehingga
koalisensi secara cepat melebihi kondensasi. Jika tetes tumbuh pada
sebuah ukuran yang segera akan diimbangi oleh arus udara keatas
(updraft), maka tetes tersebut mencapai puncak trajektorinya. Pada
pertumbuhan selanjutnya tetes mulai turun dan terus tumbuh pada
lintasannya kearah bawah yang akhirnya muncul sebagai sebuah tetes
hujan dari dasar awan.
Parameter yang penting dalam model Bowen adalah kecepatan
arus udara keatas dan kadar air awan. Dengan meningkatnya kecepatan
arus udara keatas, tetes akan naik pada paras yang lebih tinggi sebelum
tetes itu mulai turun, dan muncul dari dasar awan dengan ukuran yang
lebih besar. Untuk kecepatan arus udara keatas tertentu, tetes-tetes akan
tumbuh lebih besar tetapi mempunyai trajektori lebih rendah karena
kadar air awan meningkat.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


145
Untuk mengilustrasikan efek arus udara keatas lihat gambar 6.6
dan 6.7 dengan memakai data efisiensi koleksi yang baru. Dalam
-3
perhitungan, Bowen memakai r = 10 m dan W = 1 g m , tetapi untuk
menjamin pertumbuhan beberapa tetes kolektor mempunyai jari-jari
awan 20 m. Gambar 6.6, menunjukkan trajektori untuk kecepatan arus
-1
udara keatas 0,5 dan 1,0 ms , dan gambar 6.6, menunjukkan diameter
tetes sebagai fungsi ketinggian. Pertumbuhan butiran oleh kondensasi
diabaikan.

Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada tabel 6.3 dengan
menganggap efisiensi koalisensi satu. Jari-jari tetes awal 20 m. Kadar
air awan 1 g m-3, semua tetes awan mempunyai jari-jari 10 m.

Perhitungan gabungan antara arus udara keatas, tinggi awan,


waktu untuk produksi hujan, dan ukuran tetes yang dihasilkan secara
kualitatif sesuai dengan observasi. Ketidaksesuaian yang serius antara
prediksi dan observasi terletak pada waktu yang diperlukan.
Perhitungan menunjukkan bahwa sekitar satu jam diperlukan untuk
menghasilkan tetes berukuran milimeter, sedangkan observasi
menunjukkan bahwa tetes seperti itu dapat dibentuk dalam waktu
kurang dari setengahnya.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


146
Gambar 6.7. Diameter tetes untuk trajektori seperti gambar 6.6.

6.6. Resumé
Pertumbuhan tetes melalui kondensasi pada awalnya cepat
tetapi kemudian menjadi lambat. Waktu hidup kebanyakan awan
berkisar satu jam. Pertumbuhan kondensasi dengan difusi molekul-
molekul uap air tidak dapat diharapkan penambahan jejari butiran-
butiran awan lebih dari 20 m. Dari jejari butiran awal 0,75 m
kemudian menjadi butiran dengan jejari 20 m diperlukan waktu
sekitar 2 jam, dan menjadi butiran dengan jejari 50 m diperlukan
waktu sekitar 12 jam.
Di atmosfer, situasi menjadi rumit oleh banyak faktor,
populasi butiran bergantung pada : i). Distribusi ukuran, konsentrasi
dan sifat kimia IKA (inti kondensasi awan). ii). Kecepatan arus udara
keatas yang akan membentuk awan. iii). Percampuran udara berawan
dengan lingkungannya melalui gerak golakan (turbulent). Observasi
menunjukkan bahwa ukuran spektra butiran-butiran awan lebih besar
dari pada yang diperkirakan dari teori.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


147
Pertumbuhan tetes awan melalui kondensasi tidak dapat
menjelaskan terbentuknya tetes hujan. Di dalam awan panas tetes-
tetes berukuran heterogen sehingga awan menjadi labil akibat beda
kecepatan jatuh terminal diantara tetes. Pertumbuhan tetes dalam
awan panas melalui mekanisme Bowen–Ludlam atau mekanisme
kolisi–koalisensi yang melibatkan fasa cair. Tetes akan mempunyai
kecepatan jatuh lebih besar dari pada butiran awan sehingga terjadi
proses tumbukan–tangkapan atau proses koleksi, dan tetes tumbuh
menjadi ukuran tetes hujan (R > 100 m). Jadi pertumbuhan tetes
dalam awan panas adalah pertumbuhan gabungan, pertama oleh
kondensasi kemudian dengan koleksi. Dalam mekanisme kolisi –
koalisensi tetes tumbuh menjadi tetes hujan sedangkan butiran-
butiran awan terkoleksi oleh tetes. Untuk membentuk satu tetes hujan
diperlukan puluhan ribu sampai satu juta butiran awan melalui
mekanisme Bowen – Ludlam.

Pertumbuhan tetes dalam awan panas bergantung pada ukuran


tetes dan butiran, kecepatan jatuh terminal tetes dan butiran, efsiensi
koleksi, dan kadar air awan. Efisiensi koleksi E adalah hasil kali efisiensi
kolisi E1 dan efisiensi koalisensi E2 atau E = E1 . E2. Efisiensi koalisensi
mendekati satu sehingga efisiensi koleksi sama dengan efisiensi kolisi
atau E = E1. Nilai efisiensi kolisi E1 bergantung pada ukuran tetes R dan
butiran r. Untuk R = 80 m dan r = 25 m, maka E1 ~ 0,90.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


148
Bab 7

Pertumbuhan Partikel Es
dalam Awan Dingin

Pengintian spontan uap air menjadi tetes cair tidak akan terjadi di
atmosfer kecuali ada IKA (inti kondensasi awan). Demikian juga
pengintian spontan air di dalam awan tidak akan terjadi kecuali ada IES
(inti es) atau temperatur awan mencapai temperatur – 40 0C. Jadi, jika
sebuah parsel udara awan naik, maka awan akan menjadi es pada
0 0 0
temperatur sekitar – 40 C. Antara temperatur 0 C dan – 40 C tidak
terjadi pengintian spontan. Sejumlah partikel aerosol tertentu
mempunyai sifat memudahkan inisiasi fasa es dalam air, partikel-pertikel
inti disebut inti pembeku atau inti es (IES).

Faktor kendali pertumbuhan massa kristal es adalah deposisi


yaitu perubahan fasa uap air menjadi fasa es, mirip dengan faktor kendali
pertumbuhan massa tetes oleh kondensasi. Dalam awan campuran,
pertumbuhan massa partikel es disebabkan oleh tumbukan dengan tetes-
tetes kelewat dingin yang kemudian membeku pada partikel es
membentuk batu es hujan (hailstone). Partikel es dapat juga tumbuh
melalui mekanisme tumbukan dan gabungan (aggregation) satu sama
lain. Tumbukan partikel es satu sama lain terjadi jika kecepatan jatuh
terminalnya berbeda. Pelekatan kristal-kristal es yang bertumbukan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


149
terjadi terutama pada temperatur sekitar – 5 0C dimana permukaan es
menjadi sangat lengket (sticky).

7.1. Awan Dingin dan Awan Campuran


0
Jika sebuah awan tumbuh di atas paras isoterm 0 C dan
0
temperatur mencapai – 10 C atau lebih rendah disebut awan dingin.
Meskipun temperaturnya di bawah 0 0C, tetapi butiran-butiran air masih
dapat berada dalam awan disebut butiran kelewat dingin, butiran yang
menemukan inti pembeku akan menjadi partikel es. Awan dingin yang
mengandung partikel es dan butiran kelewat dingin disebut awan
campuran, jika awan dingin terdiri seluruhnya es dikatakan awan es.
Dua fasa transisi dapat mengarah pada pembentukan es yaitu pembekuan
sebuah butiran cair atau deposisi langsung dari uap air menjadi fasa es.
Keduanya adalah proses pengintian yang pada dasarnya pengintian
homogen dan heterogen.
Kristal es yang terbentuk dalam awan bersamaan dengan butiran
cair adalah lingkungan yang menguntungkan untuk tumbuh secara cepat
melalui difusi. Uap air dalam awan pada dasarnya relatif jenuh terhadap
air cair dan karenanya relatif kelewat jenuh terhadap es. Dalam beberapa
menit, kristal es tersebut dapat tumbuh pada ukuran beberapa puluh
mikrometer. Sebuah kristal es dengan ukuran ini akan jatuh dengan
kecepatan beberapa puluh centimeter per sekon. Kristal es ini pada
akhirnya terbentuk sebagai kristal individu, atau bertumbukan dengan
butiran-butiran kelewat dingin membentuk kristal embun beku (a rimed
crystal) atau bertumbukan dengan kristal lain membentuk kumpulan
kristal (a crystal aggregate) atau serpih salju (snowflake). Jadi proses
pertumbuhan kristal es sama seperti butiran awan yaitu difusi yang

Mikrofisika Awan Dan Hujan


150
diikuti oleh pembekuan (coagulation). Tetapi untuk kristal es
pertumbuhan difusional lebih signifikan dari pada untuk butiran karena
beda tekanan uap jenuh di atas air dan es.

Akan menguntungkan jika ditinjau transisi fasa homogen yang


menyebabkan pembentukan es. Pembekuan homogen tetes cair murni
terjadi bila fluktuasi statistik aransemen (susunan) molekuler air
menghasilkan struktur es yang stabil seperti yang terjadi dengan inti es.
Hal ini persis sama seperti pengintian homogen cairan dalam uap air. Dua
pertimbanan untuk menentukan kondisi pengintian pembekuan homogen
yaitu : (i) ukuran inti yang stabil dan (ii) probabilitas kejadian inti es
embionik (seperti janin) oleh penyusunan kembali secara acak (random)
molekul-molekul air. Besaran-besaran ini bergantung pada energi bebas
permukaan dari antarmuka sebuah kristal/cairan yang analogi dengan
tegangan permukaan pada antarmuka (interface) sebuah cairan/uap.

Nilai numerik energi bebas permukaan tidak diketahui secara


-2 -2 -2
akurat, tetapi berkisar 2 x 10 Jm atau 20 erg cm . Dengan energi
sebesar ini, maka diperkirakan butiran-butiran yang lebih kecil 5 m
akan membeku secara spontan pada temperatur sekitar – 40 0C.
Sedangkan butiran yang lebih besar diperkirakan membeku pada
temperatur sedikit lebih panas, beberapa tetes diperkirakan berada pada
temperatur sedingin – 40 0C, yang menyatakan bahwa pembekuan
0
heterogen terjadi pada temperatur lebih panas dari – 40 C. Tetapi
kadang-kadang pesawat terbang melaporkan peng–es–an (icing) dalam
awan terjadi pada temperatur sekitar – 40 0C yang menyatakan bahwa
butiran awan kadang-kadang mungkin tidak membeku sampai batas
ambang homogen dicapai.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


151
Deposisi homogen terjadi bila molekul uap membentuk embrio
es yang stabil oleh kesempatan kolisi. Meskipun energi bebas permukaan
antarmuka kristal/uap sulit diketahui, teori memperkirakan bahwa
pengintian deposisi homogen hanya terjadi pada kondisi kelewat jenuh
ekstrim. Lebih dari dua puluh kali lipat kelewat jenuh terhadap es
0
diperlukan pada temperatur beberapa derajat di bawah 0 C, dan kelewat
jenuh tetap lebih tinggi pada temperatur yang lebih dingin. Konfirmasi
eksperimental teori deposisi homogen nampaknya mustahil (tidak
mungkin) karena butiran air cair selalu harus menginti (nucleate) secara
homogen sebelum kelewat jenuh mencapai nilai tingi yang diperlukan
untuk es. Butiran air cair akan membeku secara spontan pada temperatur
0
lebih dingin dari – 40 C yang membuat tidak mungkin untuk mengenali
kristal-kristal es yang mungkin terbentuk oleh deposisi. Meskipun tidak
ada kepastian eksperimental, tetapi jelas bahwa deposisi homogen tidak
dapat terjadi di atmosfer, dimana kelewat jenuh ekstrim yang diperlukan
tidak pernah ada.

Kristal-kristal es biasanya tampak dalam sebuah awan dalam


jumlah lumayan (appreciable) bila temperatur tetes-tetes di bawah
0
temperatur sekitar – 15 C yang menandakan pengintian heterogen. Air
jika kontak dengan bahan (material) asing akan membeku pada
0
temperatur lebih panas dari – 40 C, deposisi terjadi pada permukaan
dengan kelewat jenuh dan kelewat dingin lebih kecil dari nilai pengintian
homogen. Jadi nukleasi (pengintian) es dalam air kelewat dingin atau
lingkungan kelewat jenuh dibantu oleh kehadiran permukaan benda
asing atau partikel yang mengapung di udara (aerosol).

Bahan asing memberikan sebuah permukaan atau lapisan


(substrate) pada mana molekul air dapat bergeseran, melekat (stick),

Mikrofisika Awan Dan Hujan


152
atau mengikat bersama, dan membentuk gabungan (aggregate) dengan
struktur seperti es. Makin besar gabungan partikel es, makin mungkin
menjadi stabil dan kontinu untuk hidup. Probabilitas pengintian
pembekuan heterogen atau deposisi bergantung secara kuat pada sifat-
sifat bahan dasar juga pada kelewat dingin dan kelewat jenuh. Makin
batas itu lebih rapat maka molekul-molekul air akan berada pada
permukaan (lapisan) sehingga makin besar probabilitas pengintian es.
Bahkan jika struktur kristal bahan mirip sekali dengan bidang kristal es
maka akan meningkatkan kesempatan pengintian es. Bila ikatan dan
kesesuaian kisi-kisi kristal baik, maka kelewat jenuh dan kelewat dingin
yang diperlukan untuk mengintikan es pada bahan mungkin jauh lebih
rendah dari pada dalam pengintian es homogen.

Awan-awan kelewat dingin di atmosfer tumbuh dan hidup


(exist) dalam kehadiran sejumlah besar partikel aerosol yang sebagian
kecil bertindak sebagai inti es pada temperatur yang kebanyakan lebih
0
panas dari batas ambang – 40 C untuk pembekuan homogen. Beberapa
mekanisme pengintian adalah mungkin dan ditunjukkan secara bagan
dalam gambar 7.1. Es dapat terbentuk secara langsung dari fasa uap
pada inti deposisi yang sesuai. Ada tiga mode (cara) aktivasi yang
dikenal dalam inti pembekuan. Beberapa inti bertindak pertama sebagai
pusat-pusat kondensasi, kemudian sebagai inti-inti pembekuan.
Beberapa inti meningkatkan pembekuan pada saat bersentuhan dengan
butiran kelewat dingin. Dan inti-inti yang lain menyebabkan
pembekuan setelah melekat atau membenam dalam sebuah butiran.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


153
Gambar 7.1. Mekanisme pengintian es dan bagan cara-cara inti es atmosferik dalam
pembekuan es (Rogers and Yau, 1989).

Sebuah partikel mungkin mengintikan es dalam cara-cara


berbeda, bergantung pada kondisi lingkungan dan sejarahnya di dalam
awan. Sulit membedakan antara penintian deposisi dan pengintian
pembekuan bila es menginti pada permukaan yang tidak mudah larut
dalam lingkungan yang relatif jenuh terhadap air cair. Bahkan dalam
kondisi di bawah kejenuhan air, pengintian tidak harus berarti deposisi,
karena inti tersebut mengandung komponen yang mudah larut. Bahan
yang mudah larut (soluble) mungkin mengintikan fasa cair di bawah
kejenuhan air dan bahan tidak mudah larut (insoluble) mungkin
mengintikan es melalui pembekuan. Karena ada keraguan di antara
mekanisme pembentukannya, maka pengintian es sering dikatakan
sebagai pengganti fenomena yang lebih spesifik yaitu pengintian
pembekuan atau pengintian deposisi.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


154
7.2. Inti Es Atmosferik
Jika butiran air tidak mengandung partikel asing, maka butiran
hanya membeku oleh proses pengintian homogen (atau spontan), dimana
sebuah embrio es dengan ukuran kritis terbentuk oleh gabungan
(aggregation) sejumlah molekul-molekul air dalam butiran. Pengintian
homogen terjadi pada temperatur sekitar – 36 0C untuk butiran-butiran
yang mempunyai jejari antara 20 dan 60 m dan pada temperatur sekitar
0
– 39 C untuk butiran-butiran yang mempunyai jejari beberapa
mikrometer. Karena itu hanya awan-awan tinggi yang dapat terjadi
pembekuan oleh pengintian homogen.

Jika butiran mengandung tipe khusus partikel asing, disebut inti


pembeku, maka butiran dapat membeku oleh proses pengintian
heterogen dimana molekul-molekul air dalam butiran terkumpul pada
permukaan partikel untuk membentuk struktur seperti es (icelike
structure) yang dapat meningkatkan ukuran dan menyebabkan butiran
membeku. Karena pembentukan struktur es dibantu oleh inti pembeku,
pengintian heterogen dapat terjadi pada temperatur jauh lebih tinggi dari
pada pengintian homogen.

Partikel yang mempunyai jarak (spasi) molekuler dan susunan


kristalografik serupa dengan es (yang mempunyai struktur heksagonal)
cenderung mempunyai kemampuan mengintikan es dengan baik.
Kebanyakan inti es yang baik sebenarnya tidak larut dalam air. Beberapa
partikel-partikel tanah anorganik (inorganic) terutama lempung dapat
0
mengintikan es pada temperatur agak tinggi yaitu di atas – 15 C, dan
partikel ini memainkan peranan penting mengintikan es dalam awan.
Banyak bahan (material) organik sebagai penginti (nucleator) es yang

Mikrofisika Awan Dan Hujan


155
baik. Baru-baru ini diamati bahwa daun-daun tanaman yang busuk
banyak mengandung inti es, beberapa inti es aktif pada temperatur
0 0
setinggi – 4 C. Inti es yang aktif pada temperatur – 4 C juga ditemui
dalam air laut yang kaya plankton.

Konsentrasi inti es atmosferik dipengaruhi oleh banyak faktor


seperti sejarah aerosol, kelembapan, dan peubah-peubah lainnya.
Ketika kelewat dingin meningkat, maka konsentrasi inti es meningkat.
Konsentrasi inti es juga meningkat dengan kenaikan kelewat jenuh.

Tabel 7.1, meringkas temperatur ambang batas pembekuan


(pembentukan es) dari bahan murni dan bahan alam tertentu. Perak
iodida (AgI) mempunyai temperatur pengintian relatif panas – 4 0C. AgI
adalah bahan yang banyak dipakai dalam pembenihan awan buatan.
Bahan perak iodida dapat dibuat dalam bentuk partikel yang sangat
halus oleh pembakaran senyawa perak khusus.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


156
Tabel 7.1. Sifat pengintian partikel berbagai bahan (Houghton, 1985).

Ambang
Bahan nukleasi
0
Komentar
( C)
1. Bahan murni
Es 0 –
AgI –4 tidak larut
Pb I2 –6 sedikit larut
Cu S –7 tidak larut
Cu O –7 tidak larut
Hg I2 –8 tidak larut
Ag2 S –8 tidak larut
Cd I2 – 12 larut
I2 – 12 larut

2. Mineral
Vaterite –7
Kaolinite (tanah liat) –9 Silikat
Abu vulkanik – 13
Halloysite – 13
Vermiculite – 15
Cinnabar – 16

3. Organik
Testosteron –2
Chloresterol –2
Metaldehyde –5
– Naphthol – 8,5
Phloroglucinol – 9,4
Bactterium “Pseudomonas Syringae” – 2,6 Bakteria dalam
jamur daun

Mikrofisika Awan Dan Hujan


157
Meskipun masih ada ketidakpastian, tetapi ada kejelasan bahwa
mineral lempung (clay) terutama kaolinite (lihat tabel 7.1) sebagai
komponen utama inti es atmosferik, material yang banyak dijumpai
dalam banyak tipe tanah dengan temperatur ambang untuk pembekuan
adalah – 9 0C. Keping-keping salju yang jatuh ketanah biasanya dijumpai
mengandung partikel yang menjadi pusat pertumbuhan kristal es. Partikel
ini didefinisikan oleh mikroskop elektron yang menunjukkan kaolinete
dengan ukuran yang berjangka dari 0,1 sampai 4 m. Bagaimana
kaolinete dapat menerangkan kejadian es dalam awan lebih panas dari
– 9 0C yang kadang-kadang diamati, jawabannya masih belum jelas.

Sumber lain dari inti es adalah bakteria dalam material daun


tanaman busuk dapat menjadi inti yang efektif pada temperatur panas
0
(– 2,6 C). Telah diketahui bahwa partikel tanah biasa dapat menjadi aktif
pada temperatur lebih panas dari pada batas ambang untuk kaolinite yang
mungkin dijelaskan dengan inti berukuran submikron dari beberapa
bahan organik minor. Bakterium Pseudomonas syringae dapat bertindak
sebagai inti es pada temperatur sepanas – 1,3 0C, meskipun kemampuan
pengintiannya bersifat aneh dan mudah berubah. Tetapi signifikansi inti-
inti biogenik dalam atmosfer belum terbukti dan masih perlu penelitian
lebih lanjut.

Material meteor kemungkinan sebagai sumber inti es


atmosferik, pada awalnya karena ditemukan korelasi antara kejadian
curah hujan ekstrim dengan hujan meteor (meteor showers), dan yang
lebih baru karena meteorit submikron yang diproduksi oleh penguapan
dan mengondensasi kembali menjadi material meteoritik adalah inti es
yang agak efektif. Tetapi dari observasi selanjutnya jelas tampak bahwa
sumber bumi banyak mengandung inti-inti es. Pengukuran pada situs

Mikrofisika Awan Dan Hujan


158
pantai (coastal sites) menunjukkan lebih banyak inti dalam udara dari
trajektori di atas darat ketimbang di atas osean. Konsentrasi inti es
berkurang dengan ketinggian di atas tanah, konsisten dengan sumber inti
pada permukaan. Bahkan pada Kutub Selatan, partikulat dalam keping-
keping salju yang dijumpai adalah mineral lempung.
Kejadian kristal es dalam awan dikaitkan dengan tipe awan,
temperatur, dan umur awan. Pengamatan menegaskan bahwa temperatur
awan yang lebih dingin, mempunyai kemungkinan lebih besar kristal es
hadir bersama-sama dengan butiran air kelewat dingin. Konsentrasi
kristal es yang diukur di dalam awan berjangka sekitar 0,01 per liter
sampai 100 per liter. Konsentrasi yang tinggi terdapat pada awan cirus
dan masih cukup tinggi dalam kabut es yang terbentuk di bawah kondisi
daerah kutub utara (arctic) yang sangat dingin.
Kristal-kristal pertama yang tampak dalam sebuah awan harus
terbentuk pada inti es. Perkecualian dari generalisasi ini mungkin terjadi
pada awan-awan cirus yang terbentuk pada temperatur sedemikian
dingin sehingga pembekuan homogen dapat terjadi sesegera mungkin
ketika fasa air tampak. Kristal es tambahan kemudian diproduksi oleh
proses sekunder dimana kristal-kristal primer dimultiplikasikan
(dilipatgandakan).
Dua mekanisme dikenal sebagai pendukung produksi partikel es
sekunder : pecahan kristal-kristal es dan pemecahan atau penyerpihan
tetes-tetes yang membeku. Mekanisme produksi partikel sekunder
kadang-kadang disebut serpihan embun beku (rime–splintering) yang
menyebabkan konsentrasi kristal es tinggi. Peristiwa ini kadang-kadang
diamati dalam awan-awan cumulus maritim dengan temperatur tidak
0
lebih dingin dari pada – 10 C. Tidak ada keraguan bahwa kristal-kristal

Mikrofisika Awan Dan Hujan


159
es diproduksi oleh proses sekunder, tetapi karena pemahaman tentang
proses ini sangat terbatas maka banyak observasi konsentrasi kristal es
tidak dapat dijelaskan secara kuantitatif.

7.3. Pertumbuhan Partikel Es dari Fasa Uap


Dalam awan campuran yang didominasi oleh tetes-tetes kelewat
dingin, udara mendekati jenuh terhadap air cair, karenanya kelewat
jenuh terhadap es. Misalnya, udara jenuh terhadap air cair pada
0
temperatur – 10 C menjadi kelewat jenuh terhadap es sebesar 10% dan
pada temperatur – 20 0C menjadi kelewat jenuh terhadap es sebesar
21%. Nilai-nilai ini jauh lebih tinggi dari pada kelewat jenuh udara
berawan terhadap air cair yang jarang melebihi 1%. Akibatnya, dalam
awan campuran kristal es tumbuh dari fasa uap lebih cepat dari pada
yang dilakukan oleh tetes awan.
Sekali janin (embrio) es terbentuk baik oleh deposisi secara
langsung dari uap air atau oleh pembekuan sebuah butiran kelewat dingin
maka terjadi pertumbuhan difusional, karena janin es pada hakekatnya
berada dalam lingkungan yang jenuh terhadap air. Persamaan
pertumbuhannya analogi dengan pertumbuhan tetes awan tetapi dengan
perbedaan yang penting yaitu kristal es biasanya tidak sferis.
Bila kristal-kristal es pertama menginti dalam sebuah awan, maka
kristal-kristal tersebut menemukan lingkungan dimana tekanan uapnya
sama dengan atau sedikit lebih besar dari pada tekanan uap keseimbangan
di atas air cair (es). Rasio jenuh relatif terhadap es dapat ditulis:
e e es e
Si   .  S. s (7.1)
ei es ei ei
dengan S menunjukkan rasio jenuh terhadap air dan ei adalah tekanan
uap keseimbangan di atas es. Rasio kelewat jenuh yaitu [(es/ei) – 1]

Mikrofisika Awan Dan Hujan


160
dirajah (diplot) dalam gambar 7.2 dari data dalam tabel 3.1. Ini
menunjukkan bahwa air jenuh di dalam sebuah awan mempunyai
kelewat jenuh tinggi relatif terhadap es dan merupakan lingkungan yang
menguntungkan untuk pertumbuhan cepat melalui difusi dan deposisi.
Lingkungan ini akan tetap menguntungkan untuk pertumbuhan kristal
selama butiran-butiran cair yang ada menguap dan menjaga tekanan uap
pada keseimbangan relatif terhadap air. Jika butiran-butiran pada
akhirnya melenyap oleh penguapan atau pembekuan, maka rasio jenuh
akan turun pada keseimbangan relatif terhadap es.

Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada keseimbangan
kejenuhan relatif terhadap air.

Masalah yang menentukan pertumbuhan sebuah kristal melalui


difusi adalah analogi dengan masalah pertumbuhan sebuah butiran air
melalui kondensasi tetapi lebih rumit karena bentuk kristal nonsferis (tidak
bulat). Maxwell dalam teorinya termometer bola basah memecahkan
persamaan-persamaan alih panas dan massa dengan mengambil analogi
antara persamaan difusi dan persamaan elektrostatik yang menggambarkan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


161
distribusi potensial di sekitar sebuah konduktor bermuatan. Analogi
elektrostatik adalah titik awal dari teori pertumbuhan kristal es melalui
difusi. Dengan memakai persamaan elektrostatik Poisson dan teorema
Green, dapat ditunjukkan bahwa integral sekeliling permukaan sebuah
konduktor komponen normal –, (dimana  adalah potensial
elektrostatik) adalah sama dengan 4Cs, dimana s adalah potensial
konduktor dan C kapasitannya. Jika diidentifikasi – Dn yang adalah fluks
molekul-molekul air dengan – , maka aliran total air yang keluar dari
kristal es analogi dengan 4CD (ns – n~), dimana ns adalah densitas jumlah
uap pada permukaan kristal dan n~ adalah nilainya pada jarak yang jauh dari
permukaan kristal. Asumsi bahwa 2n = 0 dan bahwa ns sama pada seluruh
titik di permukaan adalah diperlukan agar melengkapi analogi tersebut.
Jadi persamaan pertumbuhan massa kristal es melalui difusi dapat ditulis
mengikuti analogi persamaan (6.7) sebagai berikut:
dm
 4π C ρ v  ρ vr  (7.2)
dt
dimana C menunjukkan kapasitan elektrik dengan satuan panjang, yaitu
sebuah fungsi ukuan dan bentuk partikel. Untuk sebuah bulatan, maka C
= r sehingga persamaan (7.2) menjadi persamaan pertumbuhan sebuah
tetes. Untuk sebuah piringan lingkaran dengan jari-jari r, yang dapat
dipakai sebagai pendekatan bagi kristal es bentuk pelat (piringan), maka
C = 2r/. Pada persamaan 7.2, D adalah koefisien difusi molekuler, v
adalah densitas uap lingkungan, dan vr adalah densitas uap pada
permukaan kristal es. Kristal es bentuk jarum (ice needles) dapat didekati
dengan formula untuk sebuah sferoid prolate (prolate spheroid) dengan
setengah sumbu panjang dan setengah sumbu pendek masing-masing
adalah a dan b, sebagai berikut :

Mikrofisika Awan Dan Hujan


162
A
C  A  a 2  b2
n a  A  b dengan
Untuk sferoid oblate (oblate spheroid) maka:
aε b2
C  dengan eliptisitas   1
arcsin ε a2

Kristal-kristal es yang sebenarnya mempunyai bentuk lebih


rumit dari pada bulatan, piringan, dan elipsoid yang memakai formula
teoritis di atas (persamaan 7.2). Tetapi tipe-tipe kristal es umum seperti
dendrite bidang dan pelat dapat didekati oleh piringan lingkaran dengan
luas yang sama. Demikian juga kristal berbentuk jarum dapat didekati
dengan prolate panjang.

Ketika kristal es tumbuh, permukaannya dipanasi oleh panas laten


sublinasi (Ls) dan nilai vr akan naik. Di bawah kondisi pertumbuhan
stasioner, nilai vr ditentukan oleh keseimbangan antara suku panas laten
dan alih panas menjauhi dari permukaan kristal es, dinyatakan oleh
ekspresi:
ρ v  ρ vr K
 (7.3)
Tr  T Ls D
Menurut argumen termodinamika pada bab 6, maka persamaan
(7.2) dan (7.3) dapat digabung yang memberikan ekspresi analitik
pertumbuhan kristal es. Formula ini secara persis sama seperti yang
berlaku untuk tetes-tetes air jika r diganti dengan C, es (T) dengan ei (T)
dan L dengan Ls panas laten sublimasi:
dM 4C Si  1

dt  L s  L Rv T 
  1 s   (7.4)
 R v T  KT ei T  D 

Mikrofisika Awan Dan Hujan


163
Dalam persamaan (7.4) seperti pada persamaan (6.17) bahwa efek-efek
kinetik dan ventilasi diabaikan. Efek-efek ini belum dipahami baik untuk
kristal es maupun butiran air. Molekul-molekul uap tidak dapat menyatu
dengan sebuah kristal es dalam cara serampangan, melainkan harus
mengikat molekul per molekul sehingga dengan cara seperti itu pola
kristal dipertahankan. Akibatnya, mungkin tidak teliti untuk
mengidentifikasi vr dengan densitas uap keseimbangan es, dan dalam
kenyataannya vr mungkin tidak sama pada semua titik permukaan
kristal. Karena efek-efek ini maka kecepatan pertumbuhan sebuah kristal
es akan cenderung lebih lambat dari pada yang diberikan oleh persamaan
(7.4). Kerena pertumbuhan awal kristal-kristal es biasanya terjadi dalam
sebuah awan air, maka Si = es/ei dalam persamaan (7.4) sangat bergantung
pada temperatur seperti ditunjukkan pada gambar (7.2).

Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk-bentuk utama kristal es: a). kolom, b). pelat,
c). dendrite (Rogers, 1976).

Kondisi lingkungan tidak hanya menentukan kecepatan


pertumbuhan, tetapi juga bentuk sebuah kristal yang sedang tumbuh.
Semua bentuk ini secara dasar merupakan struktur heksagonal, tetapi
dengan rasio sumbu berbeda lebar. Gambar 7.3, mengilustrasikan tipe-
tipe kristal utama, yaitu kolom, pelat, dan dendrite. Ketika sebuah kristal
Mikrofisika Awan Dan Hujan
164
yang sedang tumbuh bergerak melalui sebuah awan, bentuk kristalnya
akan berubah menurut kondisi lingkungan yang berubah.

7.4. Pertumbuhan Partikel Es dari Pembekuan Tetes


Dalam awan campuran, partikel es meningkat massanya ketika
bertumbukan dengan butiran air kelewat dingin yang kemudian
membeku padanya. Proses ini mengacu pada pertumbuhan melalui
pembekuan yang menghasilkan pembentukan berbagai struktur beku
misalnya jarum beku ringan, kolom beku padat uniform, pelat beku
padat, dan kristal bintang beku padat. Bila pembekuan berlanjut di luar
bentuk tertentu maka pembekuan menjadi sulit untuk melihat bentuk
kristal es aslinya. Partikel beku ini disebut graupel, misalnya graupel
bongkah dan graupel kerucut. Graupel adalah batu es lembek (soft hail)
atau tetes hujan beku (frozen raindrop).
Batu es hujan (hailstone) menyatakan kasus ekstrim
pertumbuhan partikel es dengan pembekuan. Batu es terbentuk dalam
awan konvektif yang kuat dengan kadar air cair tinggi. Di bawah kondisi
ekstrim telah diamati batu es dengan diameter sebesar 13 cm dan massa
lebih dari 0,5 kg. Tetapi batu es dengan diameter sekitar 1 cm lebih
banyak ditemukan. Jika sebuah batu es mengumpulkan butiran-butiran
air kelewat dingin dengan jumlah sangat besar maka temperatur
permukaannya meningkat sampai 0 0C dan beberapa air yang terkumpul
tidak akan membeku. Dengan demikian permukaan batu es menjadi
diliputi oleh lapisan air cair dan dikatakan batu es menjadi basah. Di
bawah kondisi semacam ini beberapa air cair dapat terlepas dalam jalur
olakan batu es, tetapi beberapa air cair dapat juga tergabung kedalam
tautan (hubungan) air – es untuk membentuk apa yang dikenal sebagai
batu es bunga karang (spongy hail).

Mikrofisika Awan Dan Hujan


165
Jika sebagian tipis batu es dipotong dan dilihat dalam cahaya,
maka sering terlihat lapisan-lapisan gelap dan terang secara bergantian,
lihat gambar 7.4. Lapisan gelap adalah es buram (opaque) yang terdiri
banyak gelembung-gelembung air kecil dan bagian terang adalah es
cerah (bebas gelembung air). Terlihat dari gambar 7.4 bahwa permukaan
sebuah batu es dapat mengandung cuping-cuping (lobes) besar.
Pertumbuhan cuping tampak lebih jelas bila butiran-butiran yang
terkumpul adalah kecil dan pertumbuhannya mendekati batas basah.
Pertumbuhan cuping-cuping dapat disebebkan oleh kenyataan bahwa
setiap jendol-jendol (bumps) kecil pada sebuah batu es adalah area
peningkatan efisiensi koleksi butiran-butiran air.

Gambar 7.4. Bagian tipis melalui pusat pertumbuhan batu es.

Pertumbuhan melalui pertambahan (accretion) terjadi bila setiap


partikel presipitasi besar menyusul dan menangkap sebuah partikel yang
lebih kecil. Tetapi dalam pemakaian yang umum, akresi (pertambahan)
kadang-kadang diartikan sebagai penangkapan butiran-butiran kelewat
dingin oleh sebuah partikel presipitasi fasa es. Sebuah kristal es yang jatuh

Mikrofisika Awan Dan Hujan


166
melalui awan dengan butiran-butiran air kelewat dingin dan kristal-kristal
es dapat tumbuh melalui pertambahan air atau melalui penggabungan
(aggregation) dengan kristal-kristal lain. Pertumbuhan akresional
mengarah pada struktur embun beku (rime) dan graupel sedangkan
agregasi mengarah pada keping-keping salju. Kristal-kristal yang jatuh
paling cepat adalah partikel-partikel graupel yaitu partikel yang bukan
kristal-kristal sebenarnya, melainkan gabungan dari butiran-butiran beku.

Dalam proses pertumbuhan melalui akresi (pertambahan) yang


muncul adalah efisiensi koleksi. Pertama, ada masalah aerodinamik
efisiensi kolisi, kemudian masalah apakah terjadi pelekatan pada waktu
tumbukan. Karena kristal es jatuh lebih lambat daripada butiran air
dengan massa sama, maka masuk akan jika efisiensi kolisi menjadi lebih
besar. Karena pembekuan terjadi akibat kontak dengan butiran-butiran
air kelewat dingin, maka efisiensi koalisensi dapat diperkirakan satu.

Dalam proses penggabungan (aggregation) kristal, efisiensi


koleksi kurang baik dipahami. Indikasinya adalah bahwa struktur
terbuka seperti dendrite lebih memungkinkan melekat pada waktu
tumbukan ketimbang kristal-kristal bentuk lain, dan bahwa dalam setiap
kasus pelekatan lebih memungkinkan pada temperatur relatif panas.
Dari pengamatan ukuran keping-keping salju sebagai fungsi
temperatur, dapat disimpulkan bahwa penggabungan hanya mungkin
0
signifikan terjadi pada temperatur lebih panas dari – 10 C. Dalam
pertumbuhan akresional (pertambahan) yang menghasilkan graupel,
maka pendekatan analogi pada persamaan (6.28) dapat dilakukan:

dm
 E W π R 2 u R  (7.5)
dt

Mikrofisika Awan Dan Hujan


167
Keterangan :
m : massa partikel
W : kadar air cair awan
R : jari-jari partikel
u(R) : kecepatan jatuh partikel yang jejarinya R
E : efisiensi koleksi rata-rata

Pendekatan yang sama dapat dilakukan dalam menganalisa proses


penggabungan. Karena semua keping salju jatuh dengan kecepatan sekitar
1 ms-1 dan kristal-kristal es jatuh pada kecepatan sekitar 0,4–0,5 ms-1, maka
persamaan pertumbuhan untuk keping salju (snowflake) adalah:
dm
 E W π R 2 u (7.6)
dt
dimana u adalah beda kecepatan jatuh antara keping salju dan kristal-
kristal es yang pada hakekatnya suatu konstanta. Kadang-kadang
populasi kristal es lebih mudah ditandai oleh jumlah densitas (the number
density) N dari pada oleh densitas air beku W, yang hubungannya adalah:
W N υρ
dimana  adalah volume (rata-rata) kristal-kristal es dan  adalah
densitasnya. Jika keping salju dianggap mempunyai densitas sama, maka
m = V dimana V menunjukkan volumenya. Persamaan pertumbuhan
yang dinyatakan oleh volume menjadi:
dV
 B E V 2 / 3 N υ u (7.7)
dt
dimana B3 = 9/16. Jelas bahwa persamaan (7.7) harus dipahami
sebagai pendekatan kasar pada proses pertumbuhan aktual. Perhitungan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


168
berdasarkan pada persamaan (7.7) menunjukkan hasil yang sesuai
dengan pengamatan graupel dan keping-keping sajlu (Fletcher, 1962).

7.5. Pertumbuhan Partikel Es dari Penggabungan


Mekanisme ketiga yang menyatakan pertumbuhan partikel-
partikel es di dalam awan adalah melalui tumbukan dan penggabungan
(aggregation) satu sama lain.Partikel-partikel es dapat bertumbukan satu
sama lain akibat beda kecepatan jatuh terminalnya. Kecepatan jatuh
terminal kristal es berbentuk prisma tanpa pembekuan butiran,
meningkat sesuai dengan peningkatan panjang kristal, misalnya
kecepatan jatuh kristal es berbentuk jarum (needles) dengan panjang 1
-1
dan 2 mm masing-masing adalah sekitar 0,5 dan 0,7 ms . Berbeda
dengan kristal es berbentuk pelat tanpa pembekuan butiran, mempunyai
kecepatan jatuh terminal yang tidak bergantung pada diameternya. Sifat
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Ketebalan sebuah kristal es berbentuk pelat pada dasarnya tidak


bergantung pada diameter, sehingga massanya bervariasi secara linier
dengan penampang luas. Karena gaya seret (drag force) yang bekerja
pada sebuah kristal pelat juga bervariasi dengan penampang luas kristal,
maka kecepatan jatuh terminal yang ditentukan oleh keseimbangan
antara gaya seret dan gravitasi yang bekerja pada kristal es, adalah tidak
bergantung pada diameter pelat. Akibatnya, kristal pelat tanpa
pembekuan butiran tidak mungkin (unlikely) bertumbukan satu sama lain
kecuali kristal-kristal es bergerak cukup dekat sehingga dipengaruhi oleh
efek jalur olakan. Kecepatan jatuh terminal kristal dan graupel tanpa
pembekuan butiran bergantung dengan kuat pada tingkat pembekuan dan
dimensinya. Misalnya partikel graupel dengan diameter 1 dan 4 mm

Mikrofisika Awan Dan Hujan


169
mempunyai kecepatan jatuh terminal masing-masing sekitar 1,0 dan 2,5
ms-1. Dari diskusi ini terlihat bahwa kolisi partikel-partikel es di dalam
awan bertambah besar jika terjadi beberapa pembekuan butiran.

Faktor kedua yang mempengaruhi pertumbuhan dengan agregasi


(penggabungan) adalah apakah dua partikel es akan melekat bersama
(adhere together) ataukah tidak bilamana terjadi tumbukan. Probabilitas
pelekatan (adhesion) ditentukan terutama oleh dua faktor yaitu tipe
partikel es dan temperatur. Kristal-kristal es ruwet (berbelit-belit) seperti
dendrite, cenderung melakat bersama karena kristal-kristal menjadi
terlilit pada kolisi, sebaliknya dua kristal pelat padat cenderung
mengambul (rebound). Terlepas dari ketergantungan pada kebiasaan
(sifat), probabilitas pelekatan dua kristal yang brtumbukan meningkat
dengan meningkatnya temperatur pelekatan, terjadi terutama pada
0
temperatur di atas sekitar – 5 C dimana permukaan es menjadi sangat
lengket.

Tidak seperti pertumbuhan melalui deposisi, kecepatan


pertumbuhan sebuah partikel es melalui pembekuan butiran air dan
penggabungan dengan kristal es lain meningkat bila ukuran partikel es
meningkat. Perhitungan sederhana menunjukkan bahwa sebuah kristal
es berbentuk pelat dengan diameter 1 mm jatuh melalui sebuah awan
yang mempunyai kadar air cair 0,5 gm-3, dapat tumbuh menjadi sebuah
partikel graupel sferis (berbentuk bola) dengan diameter sekitar 1 mm
dalam waktu sekitar 10 menit. Sebuah partikel graupel dari ukuran ini,
dengan densitas 100 kgm-3, mempunyai kecepatan jatuh terminal sekitar
-1
1 ms dan akan meleleh menjadi sebuah tetes dengan diameter sekitar
460 m. Diameter sebuah keping salju dapat meningkat dari 1 mm
sampai 1 cm dalam waktu sekitar 30 menit oleh penggabungan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


170
(aggregation) dengan kristal es yang memberikan kadar es awan adalah
-3
sekitar 1 gm . Sebuah kristal salju gabungan dengan diameter 1 cm
mempunyai massa sekitar 3 mg dan kecepatan jatuh terminal sekitar 1
-1
ms . Dalam peleburan, sebuah kristal salju dengan massa ini (3 mg)
akan membentuk sebuah tetes dengan diameter sekitar 2 mm. Jadi,
pertumbuhan kristal-kristal es dalam awan campuran, pertama oleh
deposisi dari fasa uap, kemudian oleh pembekuan dan/atau oleh
penggabungan, dapat menghasilkan partikel-partikel berukuran
presipitasi dalam periode waktu yang layak (sekitar 40 menit).

7.6. Resumé
Sekali awan tumbuh mencapai ketinggian yang mempunyai
0
temperatur lebih dingin dari 0 C, maka kristal-kristal es mungkin
terbentuk. Dua fasa transisi dapat mengarah pada pembentukan es yaitu
pembekuan butiran air kelewat dingin atau deposisi langsung dari uap
air menjadi fasa es. Pengintian spontan dari uap air menjadi butiran-
butiran air tidak akan terjadi di atmosfer, demikian juga tidak akan
terjadi penginian spontan menjadi kristal es tanpa kehadiran partikel
asing yang disebut inti kondensasi awan (IKA) dan inti es (IES).

Pengintian spontan air menjadi es dapat terjadi jika butiran-


butiran awan mencapai temperatur sekitar – 40 0C. Jadi, ketika parsel
awan naik, maka awan akan mengandung seluruhnya partikel es pada
0 0 0
temperatur – 40 C. Lapisan awan antara 0 C dan – 40 C tidak terjadi
pengintian spontan, sehingga pada lapisan awan ini terdapat campuran
kristal es dan tetes kelewat dingin, disebut awan campuran. Pada
0 0
lapisan awan antar 0 C dan – 40 C tetes dapat membeku jika

Mikrofisika Awan Dan Hujan


171
menemukan IES atau inti pembeku yang mempunyai sifat
memudahkan inisiasi fasa es dalam air.

Pertumbuhan partikel es dalam awan dingin atau awan


campuran melalui tiga cara :
i). melalui fasa uap air. Faktor yang mengendalikan pertumbuhan
massa kristal es oleh deposisi uap air serupa dengan pertumbuhan
butiran awan oleh kondensasi. Tetapi masalah pertumbuhan
kristal es lebih rumit karena kristal es tidak berbentuk bola (bulat),
sehingga titik-titik dengan densitas uap air sama tidak terletak
pada pusat kristal es, sedangkan pada butiran awan (berbentuk
bola) terletak pada pusatnya.
ii). melalui pembekuan tetes. Dalam awan campuran, partikel es
tumbuh oleh pembekuan tetes kelewat dingin pada waktu terjadi
tumbukan antara partikel es dan tetes. Pertumbuhan partikel es
dengan pembekuan tetes dapat menghasilkan batu es hujan
(hailstone). Batu es dengan diameter 1 cm lebih sering dijumpai,
tetapi pernah diamati batu es yang mempunyai diameter sebesar
13 cm dengan massa lebih dari 0,5 kg.
iii). melalui penggabungan. Partikel es tumbuh melalui tumbukan
dan penggabungan satu sama lain. Tumbukan dapat terjadi jika
ada beda kecepatan jatuh terminal diantara partikel-partikel es.
Kemungkinan pelekatan ditentukan oleh dua faktor yaitu jenis
partikel dan temperatur es. Pelekatan terjadi terutama pada
temperatur di atas sekitar – 5 0C ketika permukaan es menjadi
sangat lengket. Pertumbuhan partikel es melalui pembekuan dan
penggabungan meningkat jika ukuran kristal es juga meningkat.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


172
Bab 8

Proses Presipitasi

Dalam meteorologi, presipitasi menyatakan endapan air


(aqueous) berbentuk cair atau padat (es) yang berasal dari atmosfer dan
jatuh ke permukaan bumi. Masalah utama dalam proses presipitasi adalah
penjelasan cara pertumbuhan tetes dari ukuran partikel awan (jejari
sekitar 10 m) menjadi bentuk-bentuk presipitasi melalui pertumbuhan
langsung kondensasi dan deposisi pada inti yang memerlukan waktu lama
atau sangat lambat. Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan
terjadinya presipitasi yaitu proses kolisi – koalisensi untuk awan panas
dan proses kristal es yang melibatkan awan dingin atau awan campuran.

Bentuk-bentuk presipitasi adalah : Gerimis, biasanya berasal dari


awan stratus yang terdiri dari tetes-tetes air kecil dengan diameter 0,2
sampai 0,5 mm dan intensitas hujannya kurang dari 1mm/jam. Hujan,
biasanya jatuh dari awan nimbostratus dan cumulonimbus, diameter
tetesnya lebih dari 0,5 mm dan intesitas hujannya lebih dari 1,25 mm/jam.
Salju, gumpalan kristal-kristal es dalam bentuk serpih-serpih. Ukuran
serpihan bergantung pada kadar air dan kelembapan disekitar kristal.
Pelet es (ice pellet), biasanya disebut sleet yaitu tetes hujan yang
membeku dengan diameter 5 mm atau kurang. Batu es (hail) terdiri dari

Mikrofisika Awan Dan Hujan


173
bongkahan es bulat atau bergerigi, sering ditandai oleh lapisan konsentris
menyerupai struktur bawang, dan mempunyai diameter lebih dari 5 mm.
Di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah hjan. Hujan
adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai di bumi, tetapi dalam bab 8
akan dibahas hujan dan salju.

8.1. Proses Kristal Es Lawan Koalisensi


Agar tetes hujan atau keping salju (partikel presipitasi) mencapai
ukuran yang cukup besar, maka diperlukan agregasi (penggabungan) dan
akresi (pertambahan) dalam kasus pertumbuhan fasa es atau koalisensi
dalam proses fasa air. Kondensasi – difusi sendiri tidak dapat
menjelaskan pembentukan tetes hujan dengan radius 2 dan 3 mm dalam
waktu selama pertumbuhan awan. Tetapi proses ini lebih efektif untuk
kristal es dari pada untuk butiran air, karena kenyataan bahwa lingkungan
berawan cenderung jenuh terhadap air dan kelewat jenuh terhadap es.
Pengalaman menunjukkan bahwa presipitasi ringan dapat terjadi dalam
bentuk kristal es individu yang menunjukkan bahwa agregasi atau akresi
tidak pernah terjadi. Dapat diduga bahwa beberapa presipitasi yang
mencapai permukaan dalam bentuk gerimis (drizzle) atau hujan sangat
ringan disebabkan oleh kristal es yang tidak teragregasi dan melebur
sebelum mencapai tanah. Sebaliknya dalam awan panas, pertumbuhan
difusional sangat lambat untuk menghasilkan tetes-tetes gerimis dalam
waktu yang memadai, sehingga koalisensi (tangkapan) selalu diperlukan
untuk menghasilkan hujan dari awan tersebut.

Banyak awan cumulus yang awalnya tumbuh pada temperatur


lebih panas dari pada 0 0C atau cukup panas sehingga butiran-butiran
tidak memungkinkan membeku, kemudian tumbuh secara vertikal

Mikrofisika Awan Dan Hujan


174
sampai paras (level) yang cukup tinggi di atas isoterm 0 0C dimana
pembentukan kristal es memungkinkan terjadi. Dalam awan-awan
demikian dapat terjadi kedua mekanisme presipitasi, mula-mula proses
koalisensi diantara butiran air, kemudian proses kristal es. Proses mana
yang dominan, bergantung terutama pada temperatur puncak awan,
kadar air cair awan, dan tingkat konsentrasi butiran. Proses koalisensi
cenderung akan menonjol dalam awan yang relatif panas dengan kadar
air cair tinggi dan konsentrasi butiran rendah.

Gambar 8.1, mengilustrasikan waktu yang diperlukan sebuah


kristal es yang tumbuh dengan difusi dan sebuah tetes yang tumbuh
dengan koalisensi untuk mencapai massa tertentu.Kristal es dalam
gambar 8.1 adalah sebuah dendrite berbentuk bintang yang tumbuh
dalam lingkungan jenuh terhadap air pada temperatur – 15 0C dan
-8
tekanan 80 kPa dengan massa awal 10 gram. Kapasitan (capacitance)
bentuk ini diambil 2/r, dengan r jejari piringan lingkaran. Massa dan
jari-jari dihubungkan dengan formula empiris, yaitu : m = 3,8 x 10-3 r2,
dengan m dalam gram dan r dalam cm (Houghton, 1985). Tetes air
berawal dengan jejari 25 m dan tumbuh oleh koleksi terus menerus
dalam awan yang mengandung butiran-butiran yang semuanya
-3
mempunyai jejari 10 m, dengan kadar air cair 1 gm . Dalam hal ini
diambil efisiensi koleksi yang realistik.

Kristal tumbuh secara cepat oleh difusi melebihi ukuran awal


tetes yang lebih besar pada 75 sekon dan berlanjut untuk sementara
melebihi tetes tersebut yang pertumbuhan awalnya dihalangi oleh
efisiensi koleksi yang kecil. Kurva strip-strip menunjukkan kecepatan
fraksional penambahan massa (1/m . dm/dt) untuk tetes dan kristal es.
Besaran ini pada awalnya lebih besar untuk kristal, tetapi berkurang

Mikrofisika Awan Dan Hujan


175
ketika kristal tumbuh mengikuti garis (hampir) lurus yang menyatakan
ketergantungan hukum pangkat dm/dt pada massa kristal. Untuk tetes,
penambahan massa fraksional mula-mula rendah dan meningkat secara
monoton sampai pada nilai asimptotik (asymptotic), dalam contoh ini 5 x
-3
10 sekon. Sampai waktu 7 menit kristal es tumbuh relatif lebih cepat dari
pada tetes. Dengan waktu ini tetes akhirnya mengalami kolisi yang cukup
untuk mencapai sebuah ukuran dimana efisiensi koleksi tidak lagi kecil.
Tetes hanya mencapai massa kristal es pada waktu 30 menit bila jejarinya
160 m. Ukuran ini adalah tetes gerimis yang jatuh dengan kecepatan
-1
sekitar 1,3 ms .

Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air (kurva kontinu)
untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada absis. Skala atas
menunjukkan jejari tetes. Kurva strip-strip adalah untuk kecepatan
pertambahan massa fraksional yang ditunjukkan pada skala sebelah
kanan.

Presipitasi dapat dikatakan dimulai jika terbentuk partikel-


partikel yang mempunyai massa sekitar 4 g. Untuk air ukuran ini sesuai
dengan jejari ambang 0,1 mm. Perhitungan menunjukkan bahwa dalam

Mikrofisika Awan Dan Hujan


176
kondisi yang baik presipitasi dapat dimulai oleh proses kristal es dalam
waktu sekitar 10 menit atau oleh koleksi air terus menerus dalam waktu
dua kalinya. Dalam awan-awan cumulus di lintang tengah, presipitasi
kemungkinan diawali oleh proses kristal es karena kelambatan
pertumbuhan koalisensi awal.

8.2. Distribusi Ukuran Tetes


Presipitasi dapat dimulai melalui proses koalisensi atau proses
kristal es. Koalisensi lebih didukung dalam awan-awan yang relatif panas
dengan kadar air cair tinggi. Setelah partikel-partikel presipitasi terbentuk,
kemudian partikel tumbuh terutama oleh penyapuan butiran-butiran awan
(akresi) atau oleh penggabungan satu sama lain. Pertumbuhan lanjutan
menghasilkan tetes hujan, keping salju, atau batu es hujan.

Tanpa memandang bagaimana awalnya presipitasi di sebagian


besar di dunia turun ke tanah sebagai hujan. Biasanya diukur pada
permukaan sebagai jumlah curah hujan dalam satuan mm atau intensitas
hujan dalam mm/jam. Deskripsi hujan yang lebih lengkap diberikan
dalam bentuk fungsi distribusi ukuran tetes yang menyatakan jumlah tetes
per satuan interval ukuran (biasanya diameter) per satuan volume ruang.
Distribusi demikian telah diukur dengan berbagai metode dikebanyakan
daerah iklim dunia. Meskipun distribusi ini berubah terhadap waktu dan
ruang, tetapi biasanya menunjukkan penurunan cepat konsentrasi tetes
dengan bertambahnya ukuran, sekurang-kurangnya untuk diameter
melampau sekitar 1 mm. Juga distribusi tersebut biasanya menunjukkan
variasi sistematik dengan intensitas hujan, jumlah relatif tetes besar
cenderung meningkat dengan intensitas hujan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


177
Gambar 8.2, menunjukkan spektra dimensional tetes-tetes hujan
yang diperoleh pada waktu Campagne Front 77 pada bulan Oktober –
November 1977 dengan disdrometer. Data yang disajikan pada gambar
8.2 adalah salah satu contoh Campagne Front 77 dalam sistem
depresioner frontal tanggal 22 Oktober 1977 pukul 18.01.43 sampai
dengan 18.10.43 waktu lokal. Pada perkemahan (camp) ini, dilakukan
pengukuran granulometri hujan dengan alat disdrometer yang
dikembangkan oleh Joss and Waldvogel (1967) yang memberikan
spektra dimensional tetes-tetes dengan asumsi bahwa tetes hujan jatuh
dalam udara dengan kecepatan terminalnya.

Selama perkemahan (Campagne Front 77), disdrometer


ditempatkan di Houdan (50 km sebelah barat kota Paris) berdekatan
dengan radar milimetrik yang mempunyai panjang gelombang 8,6 mm
milik ’ Institut et Observatoire de Physique du Globe du Puy de Dôme,
Clermont – Ferrand, Prancis. Disdrometer mempunyai luas tangkapan 50
2
cm , diameter tetes minimum dan maksimum yang dapat dianalisa
masing-masing adalah antara 0,3 mm dan 5,0 mm.

Contoh gambar 8.2, menunjukkan bahwa distribusi ukuran tetes


mendekati bentuk eksponensial negatif, terutama dalam hujan yang
konstan (steady rain). Gambar 8.3 membandingkan spektra tetes pada
tiga nilai intensitas hujan dengan aproksimasi eksponensial yang sangat
baik, yaitu garis lurus pada koordinat semilogaritmik. Jadi distribusi
ukuran tetes (kecuali untuk ukuran yang sangat kecil), dapat didekati
oleh ekspresi berikut:

ND  N 0 e  D (8.1)

Mikrofisika Awan Dan Hujan


178
Gambar 8.2. Spektra dimensional tetes-tetes hujan. Ordinat adalah jumlah tetes per
satuan volume N(D), sedangkan absis adalah diameter tetes D.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


179
Gambar 8.3. Distribusi ukuran tetes yang diukur (garis titik-titik) dibandingkan
dengan kurva eksponensial (garis lurus) dan distribusi yang dilaporkan
oleh peneliti lain (garis strip-strip). Sumber Marshall and Palmer, 1948.

dimana N(D) dD adalah jumlah tetes per satuan volume dengan diameter
antara D dan D + dD. Marshall and Palmer (1948) mendapatkan bahwa
faktor kemiringan  hanya bergantung pada intensitas hujan dan ditulis
sebagai:
λR  41 R 0, 21 (8.2)

dimana  mempunyai satuan cm-1 dan R (intensitas hujan) diukur dalam


mm/jam. Parameter perpotongan N0 adalah sebuah konstanta yang
besarnya sama dengan:

N0  0,08 cm 4 (8.3)

Tidak semua distribusi ukuran tetes mempunyai bentuk


eksponensial yang sederhana. Sekalipun begitu pengukuran dari banyak

Mikrofisika Awan Dan Hujan


180
daerah berbeda menunjukkan bahwa sampel-sampel individual yang
dirata-ratakan cenderung membentuk eksponensial yang terbatas. Untuk
hujan konstan pada lintang tengah kontinental, nilai Marshall – Palmer
tentang  dan N0 sering diperoleh dengan pendekatan yang memadai.

8.3. Distribusi Ukuran Keping Salju


Karena keping-keping salju adalah agregasi (penggabungan)
kristal-kristal atau keping-keping salju yang lebih kecil, maka tidak
mudah untuk mengukur dimensi liniernya. Akibatnya, data ukuran
keping-keping salju pada umumnya dinyatakan dalam suku-suku massa
partikel atau diameter tetes air yang terbentuk jika keping salju meleleh.

Distribusi ukuran gabungan keping-keping salju diukur oleh


Gunn and Marshall (1958) dan diplot pada koordinat semilogaritmik
seperti pada tetes-tetes hujan, lihat gambar 8.4.

Data untuk intensitas presipitasi tertentu dapat disesuaikan


dengan memadai oleh sebuah fungsi eksponensial dalam bentuk
persamaan (8.1). Untuk salju, parameter-parameter tersebut
dihubungkan dengan intensitas presipitasi sebagai berikut:
λ cm 1  25,5 R 0, 48 (8.4)
dan
N 0 cm 4  3,8 x 10 2 R 0,87 (8.5)
Dalam persamaan ini, intensitas presipitasi R (mm/jam) dinyatakan
dalam suku-suku ketebalan air ekivalen dari salju yang terakumulasi.
Kajian teoritis pertumbuhan presipitasi perlu menghitung
momen-momen distribusi ukuran tetes. Misalnya, fluks presipitasi
melalui bidang horisontal, massa presipitasi per satuan volume, dan
Mikrofisika Awan Dan Hujan
181
refleksivitas radar presipitasi yang semuanya secara sederhana
dihubungkan dengan momen-momen tertentu N(D). Karena momen-
momen diketahui secara analitik maka hal ini menguntungkan dalam
karya teoritis, untuk momen ke n diberikan oleh:
~
 n 1
0 D NDdD  N 0 λ n 1
n
(8.6)

dimana menunjukkan fungsi gamma. Untuk n bilanan bulat (integer)


maka (n + 1) = n!. Hasil analitik ini yang memerlukan batas atas
integrasi tak terhingga (infinite), pada uumnya pendekatan yang baik
untuk distribusi reel yang mempunyai batas atas diameter terhingga
(finite). Bentuk eksponensial N(D) turun secara cepat dengan D,
sehingga partikel-partikel besar tidak realistis dinyatakan oleh batas tak
terhingga yang memberi sedikit kontribusi pada integral.

Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku diameter tetes yang
dihasilkan oleh peleburan keping salju.
Sumber Gunn and Marshall, 1958.

Analisa kembali data dari Gunn and Marshall (1958) dan peneliti lain.
Sekhan and Srivastava (1970) menentukan bahwa fungsi eksponensial

Mikrofisika Awan Dan Hujan


182
negatif persamaan (8.1) memberikan penyesuaian yang memadai untuk
semua observasi dengan hasil-hasil yang lebih konsisten jika nilai-nilai
parameter mengikuti ekspresi berikut:
λ cm 1  22,9 R 0, 45 (8.7)
dan
N 0 cm 4  2,5 x 10 2 R 0,94 (8.8)
Karena ketidaktentuan dalam metode-metode pengukuran N(D)
untuk keping-keping salju maka ada beberapa perbedaan dalam hasil-
hasil yang diharapkan. Pengukuran yang diperoleh dari pengamatan
sejumlah keping-keping dengan ukuran tertentu yang jatuh pada sebuah
permukaan horisontal selama waktu eksposur (penampakan) tertentu.
Untuk menduga dari observasi konsentrasi N(D) keping-keping salju
dalam ruang, maka distribusi yang diamati dibagi dengan kecepatan
jatuh keping-keping salju dalam setiap interval ukuran. Kecepatan jatuh
ini tidak secara unik bergantung pada ukuran, tetapi bergantung juga
pada densitas dan kemungkinan bentuk kristal yang membentuk keping-
keping salju. Karena ada variabilitas dalam struktur keping salju maka
sangat mungkin ada variabilitas dalam ketergantungan N(D) pada
intensitas presipitasi.

Distribusi ukuran keping salju, seperti halnya tetes-tetes hujan


ditentukan oleh proses pertumbuhan dan patahan, pertumbuhan populasi
keping salju adalah lebih sulit untuk menganalisa secara teoritis. Bentuk
kristal adalah signifikan dalam menentukan kecepatan pertumbuhan
difusional, dan dapat mempengaruhi kecenderungan untuk menggumpal
(clumping). Patahan keping-keping salju (snowflakes) mungkin karena
induksi kolisi yang bergantung pada tipe dan temperatur kristal.
Persamaan umum untuk pertumbuhan kristal es oleh akresi dan agregasi

Mikrofisika Awan Dan Hujan


183
telah diformulasikan pada persamaan (7.5), (7.6), dan (7.7), tetapi masih
banyak ketidakpastian tentang pembentukan kristal es dan interaksinya
yang tidak mungkin untuk segera mengembangkan model komprehensif
evolusi distribusi ukuran salju.

8.4. Teori Presipitasi


Intensitas presipitasi adalah fluks presipitasi melalui permukaan
horisontal, dinyatakan dalam fluks volume air. Dalam satuan SI
dinyatakan dalam m3m-2s-1 = ms-1, tetapi menurut konvensi (perjanjian)
biasanya dinyatakan dalam mm/jam.
Intensitas presipitasi dapat ditulis dalam suku fungsi distribusi
N(D) sebagai:
~
π
R   ND  D 3 u  U dD (8.9)
6 0
dimana u(D) adalah kecepatan jatuh partikel yang berukuran D, dengan
konvensi bahwa D menyatakan diameter leleh (melted diameter) dan R
ekivalen dengan intensitas hujan. Persamaan (8.9) dapat dipakai untuk
salju dan hujan.

Pada paras di atas tanah kemungkinan ada gerak udara vertikal


sehingga interpretasi intensitas presipitasi sebagai fluks menjadi kabur
(ambiguous). Dengan adanya arus udara keatas dengan kecepatan U,
maka fluks presipitasi menjadi:
~
π
R  ND  D 3 u D dD
6 0
(8.10)

Jelas besaran ini dapat menjadi negatif untuk U cukup besar. Sebuah
ukuran jumlah presipitasi yang tidak bergantung kecepatan arus udara
keatas adalah kadar air presipitasi L, yang didefinisikan sebagai:

Mikrofisika Awan Dan Hujan


184
~
π
L  ρ L  ND  D 3 dD (8.11)
6 0
Nilai-nilai R pada permukaan dapat bervariasi dari jumlah sedikit
sampai beberapa ratus mm/j. Intensitas presipitasi lebih dari sekitar 25
mm/j selalu dikaitkan dengan awan-awan konvektif. Pada kebanyakan
intensitas presipitasi berbagai tempat dalam bentuk curah hujan
(snowfall) cenderung mempunyai besaran lebih kecil dari pada dalam
bentuk curah hujan.

Presipitasi dari awan stratiform tumbuh melalui proses kristal es.


Awan ini mempunyai kadar air cair relatif rendah, sehingga koalisensi
sepertinya tidak efektif. Awan stratiform berakhir dalam waktu yang lama,
dan jika awan berlangsung pada ketinggian dimana temperaturnya sekitar
– 15 0C maka proses kristal es dapat menyebabkan presipitasi. Survei
pertumbuhan presipitasi menjelaskan bahwa setiap paras (level) dalam
awan stratiform mempunyai peran khusus untuk memainkan proses
presipitasi. Paras-paras atas yang dingin (T ~ – 20 0C) menyediakan
kristal-kristal es yang bertindak sebagai embrio-embrio untuk
pertumbuhan presipitasi pada paras-paras bawah. Awan pada paras-paras
tengah (T ~ – 15 0C) memberikan lingkungan yang tepat untuk
pertumbuhan difusional cepat. Kebanyakan pertumbuhan presipitasi
terjadi pada paras-paras paling bawah.

Dalam awan konvektif waktu pertumbuhan presipitasi lebih


pendek, tetapi kadar air cair lebih tinggi dari pada stratiform sehingga
koalisensi sangat berperan dalam menghasilkan hujan. Dari observasi
diperoleh bahwa waktu hidup sebuah unsur konvektif (sekitar 20 menit)
adalah juga waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan presipitasi. Proses
pembentukan presipitasi harus dimulai pada awal pertumbuhan awan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


185
yaitu pada paras bawah. Sedangkan presipitasi dapat diawali oleh
koalisensi atau proses kristal es, bergantung terutama pada temperatur dan
kadar air awan, sebagian besar pertumbuhan presipitasi melalui akresi.
Jadi mekanisme pembentukan presipitasi sangat berbeda antara
awan stratiform dan awan konvektif. Sebagian pendekatan, hujan kontinu
sering dapat dipandang sebagai proses keadaan mantap (steady–state
process) dimana besaran awan dapat berubah dengan ketinggian tetapi
konstan terhadap waktu pada ketinggian tertentu. Sebaliknya, hujan deras
(shower) dapat didekati sebagai sistem dimana sifat-sifat awan berubah
dengan waktu tetapi konstan terhadap ketinggian pada waktu tertentu.
Sebagai contoh pemakaian pendekatan untuk hujan deras akan
dipecahkan (dicari jawabannya) untuk evolusi (perkembangan) distribusi
ukuran tetes hujan terhadap waktu dengan menganggap pertumbuhan
melalui akresi butiran-butiran awan. Dalam kasus ini, bentuk elementer
persamaan pertumbuhan kontinu diberikan oleh persamaan (6.28):
dR EWu R

dt 4ρ L
Untuk tetes-tetes yang jangka ukurannya menengah (intermediate)
hukum kecepatan jatuh linier (persamaan 9.12) dapat dipakai, dan jika
EW dapat dipandang sebagai konstanta maka solusi persamaan
pertumbuhan menjadi:
Rt  R 0 e at (8.12)
dengan a  k 3 EW 4ρ L

Misalkan n (R, t) dan n (R, 0) = n0 (R) menunjukkan, masing-


masing spektrum ukuran tetes hujan pada waktu t dan pada waktu awal
(inisial). Karena hanya akresi yang dipandang sebagai mekanisme
pertumbuhan, maka jumlah tetes hujan dalam interval dR0 pada

Mikrofisika Awan Dan Hujan


186
distribusi awal sama seperti jumlah tetes-tetes interval dR dalam
distribusi pada waktu t, yaitu:
n R, t dR  n 0 R 0 dR 0 (8.13)
Dari persamaan (8.12) diperoleh:
n R, t  e  at n 0 Re  at (8.14)
yang menyatakan distribusi pada setiap waktu t dalam suku distribusi
inisial (awal).
Dalam pendekatan hujan kontinu jumlah fluks tetes-tetes hujan
konstan dengan tinggi, selain itu distribusi ukuran tetes akan berubah
dengan waktu. Karena itu distribusi awan dan distribusi setelah jatuh
sejarak h dihubungkan dengan ekspresi:
n R, h u R dR  n 0 R 0 u R 0 dR 0 (8.15)
Dengan menganggap kecepatan arus keatas dapat diabaikan dan
memakai kecepatan jatuh pada persamaan (9.12), diperoleh:
 bh 
n R, h   1   n 0 R  bh  (8.16)
 R
dengan b  EW 4ρ L
Meskipun hanya pendekatan kasar, tetapi persamaan (8.14) dan
(8.16) memberikan indikasi perbedaan antara dua proses presipitasi
ideal. Sebenarnya, hasil-hasil ini menyatakan perluasan persamaan
akresi pertumbuhan kontinu pada populasi tetes.
Sebagai contoh kemanfaatan pendekatan ini, misalnya
menyelesaikan intensitas presipitasi yang diproduksi dalam hujan deras
yang sedang tumbuh. Kadar air hujan pada waktu t diberikan oleh
ekspresi: ~
Lt   4 3  n 0 R 0  R 3 dR 0
0

Mikrofisika Awan Dan Hujan


187
Dari persamaan (8.13), untuk proses hujan deras (shower), L dapat
dinyatakan dalam suku-suku distribusi ukuran tetes awal:

Jika sekarang dipakai asumsi kecepatan jatuh, R dan R0 dikaitkan


dengan persamaan (8.12) maka diperoleh:

dengan:
~
L0  4 3  n 0 R 0  R 30 dR 0
0
-3
adalah kadar air hujan inisial. Jika misalnya EW = 1gm , kemudian
a = 2,0 x 10-3 s-1, maka kadar air cair sebesar lipat dua (2 L0), memerlukan
waktu t = (n 2)/3a = 116 sekon = 1,93 menit.

8.5. Efisiensi Presipitasi


Awan memberikan langkah lanjutan dalam mengubah uap air
atmosferik menjadi presipitasi. Tidak semua awan hujan sama
efektifnya dalam menyelesaikan konversi ini. Misalnya awan-awan
cumulus kecil sering tumbuh secara cepat tetapi mulai melenyap tepat
ketika presipitasi tumbuh. Akibatnya sebagian besar air awan tidak
diubah menjadi presipitasi tetapi tetap berada di atas yang pada akhirnya
akan menguap. Kebanyakan awan-awan stratiform juga tidak efektif
dalam memproduksi presipitasi. Meskipun waktu hidupnya berjam-
jam, tetapi awan-awan ini tidak mempunyai kadar air cair tinggi yang
memungkinkan proses koalisensi maupun proses temperatur dingin
yang diperlukan untuk memulai proses kristal es. Karena itu presipitasi
kecil terjadi sungguhpun awan mungkin kelewat dingin di bagian atas
akibat secara mikrofisis tidak stabil terhadap proses kristal es. Konsep

Mikrofisika Awan Dan Hujan


188
efisiensi presipitasi dipakai untuk memerikan (describe) bagaimana
sebuah awan secara efektif dapat mengubah uap atau material
terkondensasi menjadi presipitasi.

Braham (1952) menentukan anggaran air badai-badai guruh kecil


dengan menganalisa data awan di Florida dan Ohio. Untuk pemasukan
uap air rata-rata kedalam badai-badai ini diperoleh 8,9 x 108 kg. Dari
8
jumlah ini, maka sebesar 5,3 x 10 kg mengondensasi, dan sisanya 3,6 x
8
10 kg tinggal dalam badai tanpa kondensasi. Dari air yang
mengondensasi, hanya sekitar 108 kg yang mencapai tanah sebagai hujan,
sisanya menguap dalam arus udara turun (downdraft) atau pada pinggir-
pinggir awan. Efisiensi presipitasi didefinisikan sebagai rasio massa
hujan yang mencapai tanah dengan massa uap yang masuk ke awan.
Dengan definisi ini maka efisiensi presipitasi hanya 11%. Jika efisiensi
presipitasi didefinisikan sebagai fraksi air terkondensasi yang akhirnya
mencapai tanah, maka nilai efisiensi menjadi 19% suatu nilai yang sering
dijumpai pada badai-badai guruh. Wexler (1960) mendefinisikan
efisiensi presipitasi agak berbeda, sebagai rasio jumlah presipitasi yang
jatuh dengan air yang terbentuk oleh kondensasi dalam kenaikan
pseudoadiabatik. Ia menemukan bahwa awan-awan yang sangat efisien
adalah cumulus yang tertanam dalam awan stratus yang menyebar luas.

Hardy (1963) membuat perhitungan dengan bentuk distribusi


ukuran tetes hujan N(D) berbeda, untuk menentukan mana yang lebih
efektif dalam pengosongan atau penyapuan butiran-butiran awan.
Disimpulkan bahwa distribusi yang curam atau nilai  besar dalam
formula eksponensial, persamaan (8.1) adalah paling efektif.
Berdasarkan pada pengamatan radar dalam hujan orografik Hawaii yang
mengandung banyak tetes-tetes kecil, Rogers (1967) mendukung

Mikrofisika Awan Dan Hujan


189
gagasan Hardy, dengan mencatat bahwa penurunan reflektivitas radar
terhadap ketinggian yang cepat secara eksponensial menyatakan
penyapuan yang efisien.

Formasi presipitasi asam dapat dipahami melalui langkah-


langkah berikut :
i). Emisi ke lapisan atmosfer prekursor asam (acid precursors),
terutama sulfur dan nitrogen oksida yang terjadi secara alamiah,
juga oleh produk pembakaran bahan bakar dan aktivitas industri.
ii). Transport polutan (zat pencemar) oleh gerak atmosfer.
iii). Transformasi polutan oleh proses-proses fisis dan kemis, seperti
oksidasi, hidrolisis, dan koagulasi (pengentalan).
iv). Deposisi polutan pada permukaan bumi melalui presipitasi
sebagai larutan asam sulfurik dan nitrik yang encer.

Awan merupakan mata rantai yang penting dalam fenomena


hujan asam bukan hanya karena sebagai sumber presipitasi tetapi juga
karena sebagai perantara dimana terjadi reaksi-reaksi utama yang
mengarah pada formasi zat-zat asam.

Pengukuran keasaman (acidity) larutan yang biasa dilakukan


adalah konsentrasi ion hidrogen, biasanya dinyatakan dalam besaran pH
+ +
= log (1/[H ]) dimana [H ] adalah konsentrasi hidrogen dalam mole per
liter. Air murni mempunyai pH = 7. Jika asam ditambahkan, maka kadar
hidrogen akan naik dan pHnya akan turun. Air dan presipitasi awan
natural mencapai keseimbangan dengan karbon dioksida atmosferik
untuk membentuk asam karbonik lemah dengan pH = 5,6 pada paras laut.
Oleh konvensi (perjanjian), presipitasi dengan pH < 5,6 dinyatakan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


190
asam. Sulfat (SO2) yang terjadi secara alamiah dapat bereaksi dengan gas
perunut, dan cenderung menurunkan pH sampai 5,0 yang lebih pantas
sebagai latar belakang (background) terhadap efek-efek polusi. Daerah
latar belakang natural sebenarnya bervariasi, bergantung pada hadirnya
sumber-sumber lokal material aktif secara kimia, seperti partikel-partikel
tanah yang dapat mempengaruhi asiditas (keasaman) presipitasi. Ada dua
daerah besar didunia, yaitu Eropa bagian barat dan Amerika Utara bagian
timur (keduanya daerah industri besar) yang mempunyai presipitasi
dengan nilai pH rata-rata kurang dari 5 dan nilai tengahnya sekitar 4.

ua senyawa kimia yaitu sulfur dioksida dan oksida nitrogen dapat


diubah menjadi presipitasi asam. Keduanya memerlukan oksidasi
sebagai suatu langkah dalam pembentukan asam yang dapat mudah larut.
Salah satu cara terdiri atas oksidasi fasa gas yang diikuti oleh
pengambilan dalam awan atau air hujan. Langkah lain adalah pertama
penguraian gas yang kemudian diikuti oleh oksidasi fasa cair. Reaksi-
reaksi ini sangat dipengaruhi oleh hadirnya gas perunut (trace gas) yang
mengoksidasi seperti ozone (O3) dan hidrogen peroksida (H2O2). Amonia
atmosferik (NH3) cenderung agak menawarkan keasaman.

eaksi fasa gas dapat mengarah pada pembentukan asam sulfurik


gas (H2SO4) yang segera berubah menjadi bentuk aerosol oleh
penggabungan dengan aerosol yang ada atau oleh pengintian dengan uap
air. Oksida nitrik (NO) dengan cepat mengoksidasi menjadi nitrogen
dioksida (NO2) dalam kehadirannya sejumlah perunut O3. Oksidasi fasa
gas NO2 cenderung mengarah pada gas asam nitrik HNO3 yang dengan
cepat diambil oleh air cair dalam awan untuk membentuk asam nitrik
cair.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


191
Lintasan fasa air secara potensial menjadi penting karena sebuah
awan dengan butiran-butiran cair merupakan medium yang
menguntungkan untuk reaksi air dengan gas. Studi laboratorium
menunjukkan bahwa reaksi fasa air (aqueous–phase) yang paling
signifikan adalah oksidasi SO2 oleh H2O2 dan O3. Kecepatan reaksi
dengan O3 membatasi sendiri dan menjadi tidak penting bila pH di bawah
sekitar 4,5. Karena itu reaksi dengan H2O2 dapat menjelaskan produksi
awan dan air hujan yang mempunyai pH < 4,5.
Beberapa masalah yang belum terselesaikan dalam kimia
atmosfer adalah mengenai kecepatan produksi dan destruksi
(pembinasaan) gas-gas perunut. Misalnya hidrogen peroksida (H2O2)
tampak menjadi perlu untuk oksidasi fasa air yang menuju pada
pembentukan H2SO4) tetapi H2O2 dipakai oleh proses ini. Jelas H2O2
diproduksi oleh reaksi fasa gas yang memerlukan hidroksil radikal (OH).
Model awan yang dikembangkan yaitu memasukkan gabungan kimia
gas perunut dengan proses-proses pertumbuhan butiran dan
perkembangan presipitasi.

8.6. Resumé
Partikel presipitasi dalam bentuk cair terbatas ukurannya
karena gangguan akan meningkat dngan ukuran tetes hujan. Ketika
diameter tetes mencapai sekitar 6 mm maka tegangan permukaan
tidak dapat lagi menahan tetes. Sebuah tetes dengan diameter sebesar
6 mm menjadi labil dan hanya hidup singkat sebelum mengawali
perpecahan. Pada waktu terjadi perpecahan maka dihasilkan sejumlah
tetes yang lebih kecil. Patahan keping-keping salju mungkin terjadi
oleh kolisi yang bergantung pada jenis dan temperatur kristal es.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


192
Dalam awan cumulus yang tumbuh secara vertikal sampai
0
paras yang cukup tinggi di atas isoterm 0 C, dapat terjadi kedua
mekanisme, pertama proses koalisensi dinatara butiran air dan kedua
proses kristal es. Proses mana yang lebih dominan, bergantung pada
temperatur puncak awan, kadar air cair awan, dan konsentrasi butiran
air. Presipitasi disebagian besar tempat-tempat di dunia turun
kepermukaan bumi sebagai hujan yang biasanya diukur sebagai jumlah
curah hujan dalam satuan mm atau intensitas hujan dalam mm/jam.
Deskripsi hujan dinyatakan dalam bentuk fungsi distribusi ukuran tetes
yang menyatakan jumlah tetes per satuan interval ukuran (biasanya
dalam diameter) per satuan volume.

Spektra tetes hujan mendekati bentuk eksponensial yaitu garis


lurus pada koordinat semilogaritmik yang dapat didekati oleh ekspresi :
0,21 -4
N(D) = N0 exp (– D), dimana (R) = 41 R dan N0 = 0,08 cm .
Distribusi ukuran gabungan keping-keping salju juga didekati oleh
eksprsi : N(D) = N0 exp (– D), dimana (cm-1) = 22,9 R-0,45 dan N0
(cm-1) = 2,5 x 10-2 R-0,94. Karena tidak ada ketentuan dalam metode
pengukuran N(D) untuk keping-keping salju maka ada beberapa
perbedaan hasil-hasil yang diharapkan.

Tidak seperti pertumbuhan melalui deposisi, kecepatan


perumbuhan sebuah partikel oleh pengembunan beku (riming) dan
penggabungan sebuah partikel es meningkat jika ukuran partikel es
meningkat. Sebuah kristal es berbentuk pelat dengan diameter 1 mm
-3
yang jatuh melalui awan dengan kadar air cair 0,5 gm dapat tumbuh
menjadi sebuah partikel graupel sferis dengan diameter sekitar 1 mm
dalam waktu sekitar 10 menit. Ukuran partikel graupel ini dengan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


193
densitas 100 kg m-3 mempunyai kecepatan jatuh terminal sekitar 1 ms-1
dan akan meleleh menjadi sebuah tetes dengan jejari sekitar 230 m.
Pertumbuhan kristal-kristal es dalam awan campuran pertama oleh
deposisi fasa uap, kemudian oleh pembekuan butiran kelewat dingin
(riming) dan/atau oleh penggabungan yang menghasilkan partikel
ukuran presipitasi dalam waktu sekitar 40 menit.

Hujan asam adalah masalah lingkungan yang agak rumit.


Sejak tahun 1950, perkara hujan asam menjadi menarik perhatian
terutama ketika terjadi pengasaman danau di Scandinavia dan
Kanada. Hujan asam adalah istilah yang lebih populer dari pada
deposisi basah senyawa sulfur dan nitrogen. Pengukuran keasaman
+ +
larutan dinyatakan dalam besaran pH = log (1/[H ]), dimana [H ]
adalah konsentrasi hidrogen dalam mole per liter. Air murni
mempunyai pH = 7. Oleh konvensi, presipitasi dengan pH < 5,6
dinyatakan asam. Dua senyawa kimia yaitu sulfur dioksida dan oksida
nitrogen dapat diubah menjadi presipitasi asam.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


194
Bab 9

Modifikasi Cuaca

Bagian A : Prinsip Dasar Modifikasi Awan


Modifikasi cuaca dimaksudkan sebagai modifikasi awan dan
presipitasi secara buatan atas usaha manusia, dengan tujuan ;
meningkatkan jumlah curah hujan, melenyapkan awan, menindas batu es
dan mereda siklon tropis. Salah satu tujuan modifikasi cuaca di Indonesia
adalah hujan buatan yaitu usaha membantu proses yang ada di atmosfer
sehingga pembentukan butiran awan dan tetes hujan dipercepat.
Proses curah hujan bergantung pada uap air yang masuk
kedalam sistem awan dan bergantung pada efisiensi bagaimana uap air
dapat diubah menjadi tetes hujan. Secara fisis, setiap kondensasi dan
konversi tetes kelewat dingin menjadi partikel es akan meningkatkan
gaya apung awan akibat pelepasan panas laten ketika uap berubah fasa
menjadi tetes atau air menjadi partikel es awan. Teknologi modifikasi
cuaca (TMC) sangat diperlukan di Indonesia mengingat variasi curah
hujan secara temporal dan spasial sangat besar.
Manfaat teknologi modifikasi cuaca di Indonesia adalah
memperpanjang musim hujan atau memperpendek musim kemarau,
meningkatkan pembangkit listrik tenaga air untuk kelangsungan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


195
produksi listrik yang disalurkan ke masyarakat luas dan meningkatkan
suplai irigasi untuk persawahan. Dalam pertanian, teknologi modifikasi
cuaca diperlukan untuk memperpanjang periode jumlah curah hujan
sehinga jmlah panenan meningkat. Dalam irigasi, teknologi modifikasi
cuaca diperlukan untuk mengisi waduk ketika menjelang atau akhir
musim hujan sehingga periode pengairan untuk persawahan menjadi
lama, dengan demikian hasil panenan meningkat.

9.1. Latar Belakang Modifikasi Cuaca


Presipitasi adalah bentuk air cair (tetes hujan) atau air padat
(partikel es) yang jatuh dari awan ke permukaan bumi. Bentuk presipitasi
yang dikenal adalah hujan dan salju. Di Indonesia lebih dikenal dengan
curah hujan. Sering awan cumulonimbus menghasilkan batu es (hail),
tetapi batu es ini cepat melebur sehingga yang diukur oleh penakar adalah
air hujan. Hujan diukur dalam bentuk jumlah curah hujan dalam satuan
milimeter yaitu tinggi air hujan jika tidak menguap atau merembes
kedalam tanah atau intensitas hujan dalam satuan milimeter per jam yaitu
jumlah curah hujan per satuan waktu.

Sejarah modifikasi cuaca sudah mencapai 61 tahun sejak


percobaan pembenihan es kering yang dipimpin oleh Vincent Schaefer
dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Satu tahun kemudian Vonnegut
menemukan perak iodida (AgI), suatu bahan yang dapat bertindak
sebagai inti es dan menyebabkan air kelewat dingin membeku pada
temperatur – 40 0C atau lebih rendah. Sejarah modifikasi cuaca di
Indonesia baru mencapai 28 tahun sejak percobaan hujan buatan
dilaksanakan di wilayah Perum Otorita Jatiluhur pada tahun 1979 oleh
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


196
Karena jumlah penduduk bertambah maka pemakaian air
semakin bertambah. Distribusi hujan yang tidak merata secara temporal
dan spasial menyebabkan pada bulan-bulan atau area tertentu
dikhawatirkan terjadi kekurangan air yang menjurus pada kekeringan.
Pada musim kemarau beberapa daerah memerlukan alat pengangkut
(truk) air untuk menyuplai pasokan air pada area-area yang memerlukan
air. Untuk meningkatkan produksi pertanian, maka diperlukan hujan
buatan agar bercocok tanam padi dapat dilakukan 2 atau 3 kali setahun.
Untuk mengimbangi kebutuhan air yang terus meningkat, maka ahli
meteorologi (meteorologist) telah mencoba selama tiga dekade
meningkatkan jumlah curah hujan melalui modifikasi awan dan
presipitasi buatan.

Telah 30 tahun, teknologi modifikasi cuaca diterapkan dan dikaji


sejak uji coba hujan buatan di Bogor pada tahun 1977. Dahulu hujan
buatan dilakukan tanpa landasan ilmiah, tetapi sekarang hujan buatan
dilakukan dengan pengkajian mikrofisika awan dan hujan. Ada negara
yang meragukan kemampuan dan hasil teknologi modifikasi cuaca
dalam meningkatkan jumlah curah hujan, meskipun demikian sejumlah
negara masih meneruskan pengkajian, penerapan dan pengembangan
teknologi modifikasi awan dan presipitasi. Evaluasi keberhasilan dari
teknologi ini kebanyakan dilakukan dengan cara statistik, sedangkan
evaluasi proses mikrofisis awan dan presipitasi sampai sekarang masih
terus dikajikembangkan.

Proses presipitasi dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu hujan


panas dan hujan dingin. Pembentukan hujan panas adalah proses semua
uap dan air, sedangkan proses hujan dingin melibatkan partikel es.
Evolusi spektrum butiran, tetes atau partikel es di dalam awan, ditentukan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


197
oleh persamaan pertumbuhan partikel. Selama ukuran partikel kecil (jari-
jari < 10 m) maka kecepatan jatuhnya dapat diabaikan dan dianggap
bahwa pertumbuhan partikel awan berasal dari fasa uap yang
dikendalikan oleh proses difusi molekuler massa uap H2O. Proses
kondensasi dan deposisi mengendalikan pertumbuhan butiran dari inti
kondensasi awan (IKA) atau kristal es dari inti es (IES), lihat gambar 9.1.

Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin yang berasal
dari inti kondensasi awan dan inti es. Graupel : batu es lunak (soft hail)
dengan diameter antara 2 dan 5 mm.

Dalam hujan panas, tetes awan tumbuh dengan kondensasi dan


setelah mencapai ukuran 20 – 40 m, kondensasi sangat tidak efisien
dalam pertumbuhan tetes selanjutnya, tetapi probabilitas tumbukan
dengan tetes-tetes lain meningkat. Beberapa tetes awan akan tumbuh
cepat dalam selang waktu pendek melalui koleksi dengan tetes-tetes
awan lain, sementara sebagian tetes mungkin tidak tumbuh sama sekali.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


198
Setelah proses koleksi (tangkapan) dengan tetes yang lebih kecil, maka
tetes memperoleh ukuran, kecepatan dan penampang koleksi yang lebih
besar, sehingga tetes mengalami kesempatan tumbukan selanjutnya jauh
lebih besar dari pada sebelumnya.

Langmuir (1948) menerangkan bahwa tetes hujan tumbuh


dengan batas. Dari pengamatannya ditetapkan 6 mm sebagai diameter
tetes hujan maksimum, ini berarti bahwa kelabilan aerodinamik dari
ukuran ini akan menuju ke perpecahan. Diketahui dari eksperimen
bahwa tumbukan merupakan faktor kunci yang mendukung perpecahan.

Hujan dingin juga terbentuk dalam awan yang terdiri terutama


dari tetes-tetes. Pada bagian awan di atas paras 0 0C, partikel cair ini
adalah kelewat dingin. Seperti halnya dalam hujan panas, ada juga
kemungkinan bahwa tetes awan tumbuh dengan kondensasi, koalisensi
dan perpecahan. Tetapi jika beberapa partikel aerosol bertindak sebagai
inti es, maka kristal es mungkin terbentuk dan tumbuh dengan
mengorbankan tetes-tetes air kelewat dingin yang menunjukkan tekanan
uap lebih besar dari pada tekanan uap di atas es pada temperatur di bawah
0 0C yang sama. Jika tetes-tetes awan kecil (jari-jari < 10 m) maka
proses koalisensi adalah tidak mungkin, tetapi agregasi kristal-kristal es
mungkin menimbulkan formasi salju. Salju dapat jatuh ke permukaan
tanah secara langsung atau meleleh pada waktu turun jika paras 0 0C
berada di atas tanah.

9.2. Proses Mikrofisis Presipitasi


Awan dapat terbentuk jika sekurang-kurangnya syarat berikut
dipenuhi :

Mikrofisika Awan Dan Hujan


199
i. Udara mengandung uap air cukup di atmosfer yang dapat
berubah fasa menjadi air dan es melalui kondensasi dan
deposisi atau sebaliknya, air menjadi uap melalui evaporasi
dan es menjadi uap air melalui sublimasi.
ii. Adanya aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi atau
inti pembeku.
iii. Adanya arus udara ke atas (updraft) akibat konveksi,
orografi, konvergensi atau front.

Sumber aerosol misalnya pembakaran dalam pabrik, percikan


gelembung laut, letusan gunung berapi dan sebagainya. Aerosol buatan
(NaCl, AgI) telah banyak dipakai pada pembenihan awan, dengan tujuan
mempercepat tumbuhnya tetes hujan.

Gerakan arus udara memainkan peranan penting dalam


pembentukan awan dan menentukan karakter serta kuantitas presipitasi
(endapan) yang dihasilkan awan. Dari fasa uap air yang tidak terlihat
menjadi bentuk partikel awan (tetes, kristal es) yang dapat dilihat
kemudian berinteraksi dengan partikel awan lain untuk membentuk
partikel presipitasi disebut proses mikrofisis presipitasi.

Proses dari fasa uap menjadi tetes air melalui inti kondensasi
disebut pengintian heterogen yang memerlukan kelewat jenuh rendah.
Sedangkan proses dari fasa uap menjadi tetes air dalam lingkungan
murni yang memerlukan kelewat jenuh tinggi disebut pengintian
homogen.

Jika awan terus tumbuh maka puncak awan melewati isoterm


0
0 C. Meskipun demikian, ada tetes-tetes awan yang berbentuk cair
disebut tetes awan kelewat dingin dan ada yang membeku jika tetes

Mikrofisika Awan Dan Hujan


200
tersebut menjumpai inti es. Tetes-tetes awan kelewat dingin yang tidak
menjumpai inti pembekuan akan membeku pada temperatur sekitar – 40
0 0
C. Di bawah isoterm 0 C semua tetes terbentuk cair.

Efek larutan menurunkan tekanan uap keseimbangan di atas


sebuah tetes, sehingga tetes larutan dapat berada dalam keseimbangan
dengan lingkungan pada kelewat jenuh jauh lebih rendah dari pada
sebuah tetes air murni dengan ukuran yang sama.

Sebuah inti kondensasi dikatakan menjadi aktif bila tetes yang


*
terbentuk pada inti, dapat tumbuh sampai jejari kritis r . Sekali tetes telah
*
melewati jejari kritis (r ) maka menurut teori pertumbuhan tetes akan
berlanjut. Tetapi dalam awan pertumbuhan lanjutan ini tidak terjadi
karena banyak tetes yang bersaing untuk mendapatkan uap air yang ada
dan cenderung menurunkan rasio jenuh pada waktu kondensasi menjadi
lebih cepat daripada produksi kelewat jenuh oleh kenaikan adiabatik.

Masalah fisis pertumbuhan dengan kondensasi menganggap


bahwa tetes dalam keadaan diam di atmosfer yang mempunyai tekanan
uap air lebih besar daripada tekanan uap keseimbangan tetes. Selanjutnya
uap air akan berdifusi menuju tetes dan mengondensasi padanya. Karena
itu melepaskan panas laten (kondensasi) yang menyebabkan naiknya
temperatur tetes, hal ini mempengaruhi keseimbangan tekanan uap tetes.
Setelah waktu tertentu keadaan mantap semu (quasi – steady) akan
terjadi dimana uap berdifusi menuju tetes sehingga tetes tumbuh secara
lambat.

Ada hubungan erat antara skala dan intensitas gerak vertikal


dengan karakter presipitasi yang dihasilkan. Presipitasi dapat
dikategorikan menjadi dua jenis yaitu :

Mikrofisika Awan Dan Hujan


201
a. Presipitasi kontinu, stratiform, skala luas yang dikaitkan dengan
kenaikan udara skala luas akibat front atau pengangkatan udara oleh
topografi atau akibat konvergensi horisontal udara skala luas.
b. Presipitasi hujan deras (shower precipitation), konvektif, terlokalisasi
yang dikaitkan dengan konveksi udara labil skala – cumulus.
Pola presipitasi stratiform berubah relatif lambat, sedangkan
presipitasi konvektif berubah secara cepat. Hujan stratiform dihasilkan oleh
awan nimbostratus (Ns), meskipun masa pelenyapan awan cumulus (Cu)
dan awan orografik dapat menghasilkan hujan dengan struktur stratiform.
Kebanyakan salju berasal dari awan Ns, tetapi hujan salju tiba-tiba (snow
flurries) dan hujan deras graupel dapat dihasilan oleh awan-awan
konvektif. Hujan deras adalah hujan yang tersusun rapat (compact) dengan
perluasan horisontal secara pendekatan sama seperti perluasan vertikal.

9.3. Proses Pertumbuhan Partikel Presipitasi


Partikel awan harus tumbuh cukup besar untuk dapat melawan
arus udara keatas (updraft) sehingga partikel ini dapat bertahan hidup
(survive) pada waktu jatuh kepermukaan bumi sebagai tetes-tetes hujan
atau keping-keping salju tanpa menguap seluruhnya. Untuk membentuk
satu tetes hujan diperlukan ratusan ribu sampai satu juta butiran awan.
Pertumbuhan melalui kondensasi saja tidak memungkinkan butiran-
butiran awan tumbuh menjadi tetes hujan atau keping salju. Ada dua
proses penting yang menyebabkan partikel-partikel awan tumbuh
menjadi partikel presipitasi, yaitu proses kolisi – koalisensi dalam awan
panas dan proses kristal es dalam awan dingin.
Proses Kolisi - Koalisensi
Dalam awan panas, butiran-butiran awan dapat tumbuh melalui
tumbukan kemudian tangkapan (gabungan) dengan butiran lainnya.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
202
Proses kolisi – koalisensi memerlukan beda ukuran butiran-butiran di
dalam awan. Butiran-butiran yang mempunyai diameter atau jejari serba
sama pada dasarnya mempunyai kecepatan jatuh terminal sama,
sehingga tumbukan (kolisi) antar butiran sangat jarang. Sebaliknya
butiran-butiran awan dengan diameter tidak sama akan mempunyai
kecepatan jatuh terminal juga berbeda, sehingga tumbukan antar butiran
lebih sering. Butiran-butiran awan besar biasanya berasal dari kehadiran
inti garam laut raksasa yang menghasilkan butiran relatif besar dengan
diameter lebih besar dari 40 mm.

Sebuah butiran yang lebih besar (lebih berat) akan turun lebih cepat
dari pada butiran yang lebih kecil (lebih ringan). Ketika turun, sebuah
butiran besar menumbuk dan bergabung dengan butiran-butiran yang lebih
kecil (kecepatan jatuh lebih lambat) dalam lintasannya, lihat gambar 9.2.
Dengan kolisi dan koalisensi berulang, maka sebuah butiran akan tumbuh,
kecepatan jatuh terminalnya meningkat, sehingga kolisi menjadi lebih
sering. Pada akhirnya, butiran-butiran menjadi cukup besar kemudian jatuh
dari awan dan mencapai permukaan bumi sebagai tetes-tetes hujan.

Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang mengandung
banyak butiran yang lebih kecil. Butiran besar menumbuk butiran-
butiran yang lebih kecil dalam lintasannya dan tumbuh melalui
koalisensi.
Sumber Moran and Morgan, 1997.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


203
Pada umumnya tetes awan mempunyai jejari yang berorde 10
sampai 100 m (1 m = 0,001 mm), dan tetes-tetes hujan normal
mempunyai radius 1 sampai 3 mm.

Jika tetes dianggap berbentuk bola (spheric), maka volume


sebuah tetes awan adalah:
4
Va  π R3 (9.1a)
3
dan volume sebuah tetes hujan adalah:
4 3
Vh  πr (9.1b)
3
dimana r dan R masing-masing adalah jejari tetes awan dan jejari tetes
hujan. Dari persamaan (9.1a) dan (9.1b) diperoleh:

(9.2)

Secara fisis persamaan (9.2) dapat diartikan bahwa :


i. Jika jejari tetes awan (r) = 100 m dan jejari tetes hujan (R) = 3
mm, maka:

ii. Jika jejari tetes awan (r) = 10 m dan jejari tetes hujan (R) = 1 mm.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


204
Dari contoh-contoh di atas jelas bahwa puluhan ribu sampai satu juta
tetes awan hanya akan terbentuk satu tetes hujan, melalui mekanisme
kolisi – koalisensi.

Proses Kristal Es
Pertumbuhan butiran melalui kolisi – koalisensi penting
terutama di daerah tropis, tetapi di daerah lintang-lintang menengah dan
tinggi kebanyakan presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi berasal dari
proses kristal es atau proses Bergeron. Proses ini dinamakan sesuai
dengan meteorologiwan Scandinavia Tor Bergeron yang pertama kali
membahas proses kristal es pada tahun 1933. Proses Bergeron
0
diterapkan pada awan dingin yang mempunyai temperatur di bawah 0 C
0
(biasanya < – 10 C). Proses kristal es memerlukan keberadaan bersama
(coexistence) uap air, butiran air kelewat dingin, dan kristal es.

Kebanyakan inti pembentuk es (IES) tidak aktif pada temperatur


0 0 0
lebih panas dari – 9 C (16 F). Awan pada temperatur antara 0 dan – 9 C
(32 dan 160F) semata-mata terdiri dari butiran-butiran air kelewat dingin,
sedangkan pada temperatur antara sekitar – 10 dan – 20 0C, awan
mengandung campuran sebagian besar butiran-butiran air kelewat dingin
0
dan beberapa kristal es. Di bawah temperatur – 20 C kebanyakan inti
deposisi menjadi aktif, awan biasanya terdiri dari kristal-kristal es. Dan
0
pada temperatur sekitar – 40 C atau lebih rendah terjadi pembekuan
spontan.

Distribusi butiran air kelewat dingin dan kristal es agak lebih


rumit dalam awan yang mempunyai pertumbuhan vertikal signifikan.
Sebagai contoh awan cumulonimbus (Cb) mempunyai komponen
berbeda pada ketinggian berbeda bergantung pada profil temperatur

Mikrofisika Awan Dan Hujan


205
vertikal awan. Secara khusus, dibagian atas awan yang temperaturnya
sangat rendah terdiri dari kristal-kristal es, didekat dasar awan terdiri dari
butiran-butiran air, dan pada bagian antaranya terdapat campuran butiran
air kelewat dingin dan kristal es. Dalam awan Cb dengan arus konveksi
kuat terjadi transport butiran-butiran air cair ke bagian atas dimana
butiran-butiran tersebut membeku. Proses ini merupakan sumber kristal
es yang penting di dalam awan badai guruh.
Proses Bergeron terjadi dalam awan (atau bagian awan) yang
terdiri dari campuran kristal es dan butiran air kelewat dingin, lihat
gambar 9.3. Pada mulanya butiran-butiran air kelewat dingin jauh
melebihi jumlah kristal es karena inti kondensasi awan (IKA) jauh
melebihi inti pembentuk es (IES). Tetapi kristal es tumbuh secara cepat
dengan mengorbankan butiran-butiran air kelewat dingin terutama
disebabkan oleh tekanan uap jenuh di atas air lebih besar dari pada di atas
0
es pada temperatur di bawah 0 C yang sama.

 butiran kelewat dingin


 kristal es

Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiran-
butiran air kelewat dingin. Ketika kristal es membesar, jatuh lebih cepat
kemudian menumbuk butiran-butiran air dan kristal es lain dalam
lintasannya. Pada akhirnya, kristal es tumbuh cukup besar kemudian
jatuh keluar awan sebagai keping salju.
Sumber Moran and Morgan, 1997.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


206
Pada temperatur di bawah titik beku, molekul-molekul air
menguap lebih segera dari permukaan air cair ketimbang dari es padat,
karena molekul-molekul air lebih terikat secara kuat dalam fasa padat
daripada dalam fasa cair. Akibatnya, tekanan uap jenuh lebih besar di atas
air kelewat dingin daripada di atas es. Jadi di dalam awan campuran,
tekanan uap yang jenuh untuk butiran-butiran air menjadi kelewat jenuh
untuk kristal-kristal es. Misalkan di dalam awan pada temperatur – 10 0C
tekanan uap adalah 2,86 mb. Menurut tabel 9.1, tekanan uap ini
diterjemahkan kedalam kelembapan relatif = 100% (jenuh) untuk udara
disekitar butiran-butiran air dan kelembapan relatif = 110% (kelewat
jenuh) untuk udara disekitar kristal-kristal es. Dalam kondisi kelewat
jenuh, uap air mengendap pada kristal es (proses deposisi) sehingga
kristal es tumbuh. Deposisi menyebabkan uap air awan berkurang,
dengan demikian kelembapan relatif udara lingkungan butiran-butiran
air turun di bawah 100%, dan butiran menguap. Jadi, dalam proses
Bergeron, kristal-kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiran-
butiran air.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


207
Tabel 9.1. Variasi Tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran jenuh dengan
temperatur pada tekanan 1000 mb (Moran and Morgan, 1997).

Temperatur Tekanan uap jenuh (mb) Perbandingan campuran jenuh


(0C) Di atas air Di atas es Di atas air Di atas es
40 73,78 49,81
35 56,24 37,25
30 42,43 27,69
25 31,67 20,44
20 23,37 14,95
15 17,04 10,83
10 12,27 7,76
5 8,72 5,50
0 6,11 6,11 3,84 3,84
– 5 *) 4,21 4,02 2,64 2,52
– 10 2,86 2,60 1,79 1,63
– 15 1,91 1,65 1,20 1,03
– 20 1,25 1,03 0,78 0,65
– 25 0,80 0,63 0,50 0,40
– 30 0,51 0,38 0,32 0,24
– 35 0,31 0,22 0,20 0,14
– 40 0,19 0,13 0,12 0,08
– 45 0,11 0,07 0,07 0,05

*) Untuk temperatur di bawah 0 0C, tekanan uap jenuh dan perbandingan


campuran jenuh di atas air kelewat dingin lebih besar dari pada di atas es.

Kelembapan relatif (RH) dapat diekspresikan sebagai berikut:


tekanan uap
RH  x 100% (9.3)
tekanan uap jenuh
atau
perbandingan campuran
RH  x 100% (9.4)
perbandingan campuran jenuh

Kelembapan relatif (RH) membandingkan konsentrasi uap air


aktual di udara dengan konsentrasi uap air dalam udara yang sama pada

Mikrofisika Awan Dan Hujan


208
keadaan jenuh. Jika konsentrasi uap air aktual di udara sama dengan
konsentrasi uap air pada keadaan jenuhnya, RH = 100% yaitu udara
0
jenuh terhadap uap air. Misalkan bahwa temperatur udara = 10 C dan
tekanan uap = 6,1 mb. Dari tabel 9.1, dapat ditentukan bahwa pada
temperatur 10 0C tekanan uap jenuh udara adalah 12,27 mb. Dengan
memakai formula (9.1) diperoleh:
6,1 mb
RH  x 100%  49,7%
12,27 mb
Catatan bahwa kelembapan relatif (RH) berbanding lurus dengan
tekanan uap dan berbanding terbalik dengan tekanan uap jenuh. Karena
tekanan uap jenuh berbanding lurus dengan temperatur udara, maka RH
berbanding terbalik dengan temperatur udara. Ketergantungan
kelembapan relatif pada temperatur udara dapat membingungkan karena
meskipun konsentrasi uap air aktual di udara tidak berubah, RH naik atau
turun bergantung pada bagaimana temperatur udara berubah.

Pada suatu hari tenang dan cerah, temperatur udara biasanya naik
dari minimum sekitar matahari terbit menuju maksimum pada waktu
sekitar pukul 13.00 waktu lokal kemudian turun lagi. Jika tekanan uap
atau perbandingan campuran tidak berubah sepanjang hari, tetapi
kelembapan relatif (RH) berubah secara terbalik dengan temperatur udara
yaitu RH tinggi bila temperatur udara rendah atau sebaliknya. Gambar
9.4, menunjukkan pias termohigrograf pengamatan pada tanggal 3 – 6
Januari 2006, di Kampus ITB, Bandung. Setelah matahari terbit ketika
udara menjadi panas, kelembapan relatif turun, bukan karena udara
menjadi kering tetapi karena temperatur udara naik yang berarti tekanan
uap jenuh meningkat.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


209
Gambar 9.4. Variasi kelembapan relatif terhadap waktu. Kelembapan relatif
berbanding terbalik dengan temperatur udara. Hasil pengamatan
temohigrograf pada tanggal 3–6 Januari 2006, Kampus ITB, Bandung.

Karena kristal es tumbuh lebih besar dan lebih berat, kecepatan


jatuh terminalnya meningkat kemudian menumbuk dan menangkap
butiran air kelewat dingin dan kristal-kristal es yang lebih kecil (lebih
lambat) dalam lintasannya. Pada akhirnya beberapa kristal es menjadi
begitu berat dan jatuh keluar dari dasar awan. Jika temperatur udara
sekurang-kurangnya pada lintasan ke tanah di bawah titik beku maka
kristal es mencapai permukaan bumi sebagai keping salju. Tetapi jika
temperatur udara di bawah awan di atas titik beku maka keping salju
meleleh dan jatuh sebagai tetes hujan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


210
9.4. Kecepatan Terminal Partikel Awan dan Presipitasi
Butiran air atau kristal es awan sedemikian kecilnya sehingga
dapat terus mengapung, kecuali partikel menguap atau mengalami
pertumbuhan besar. Arus udara keatas (updraft) di dalam awan biasanya
cukup kuat untuk menahan partikel-partikel awan sehingga tidak
meninggalkan dasar awan dan tidak jatuh ke permukaan bumi. Bahkan
jika partikel (butiran dan kristal es) turun dari awan, hanyutan (drift)
kearah bawah demikian lambat sehingga partikel hanya menempuh jarak
yang pendek sebelum menguap kedalam udara tak jenuh di bawah awan.

Kecepatan sebuah partikel awan (butiran atau kristal es) atau


partikel lain dalam udara tenang (calm air) diatur oleh dua gaya : (i) gaya
gravitas yang mempercepat partikel jatuh ke bawah, dan (ii) gaya lawan
yang disebabkan oleh hambatan udara melalui mana partikel turun.
Ketika partikel dipercepat kebawah, hambatan (gesekan) udara
meningkat, sementara gaya gravitas pada dasarnya dijaga konstan. Pada
akhirnya gaya gesekan (seret) udara diimbangi oleh gaya gravitas dan
partikel hanyut kebawah pada sebuah kecepatan konstan dikenal sebagai
kecepatan jatuh terminal atau kecepatan terminal.

Agar partikel tetap mengapung di udara, arus udara keatas harus


cukup kuat untuk melawan kecepatan terminal partikel. Pada umumnya
kecepatan terminal meningkat dengan ukuran partikel, lihat gambar 9.5.
Karenanya, makin besar partikel, kecepatan arus udara keatas harus
makin kuat agar partikel tetap mengapung. Partikel awan (butiran dan
kristal es) sedemikian kecil (kebanyakan mempunyai diameter 10
sampai 20 m) sehingga partikel mempunyai kecepatan terminal sangat
rendah, nilai tipiknya 0,3 sampai 1,2 cm s-1.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


211
Gambar 9.5. Kecepatan terminal sebuah partikel yang jatuh melalui udara sebagai
fungsi ukuran partikel. Sumber Moran and Morgan, 1997.

Gaya seret (drag force) fluida viskus yang bekerja pada sebuah
bola dengan jejari r dapat diekspresikan sebagai:
π 2 2
FR  r u ρ CD (9.5)
2
Keterangan :
FR : gaya seret fluida viskus
r : jejari bola
u : kecepatan bola relatif terhadap fluida
 : densitas fluida
CD : koefisiensi seret (drag coefficient) yang memberi sifat aliran
atau
C R 
FR  6 π μ ru  D e  (9.6)
 24 
dimana  adalah viskositas dinamis fluida dan Re adalah bilangan
Reynolds yang didefinisikan sebagai:
Re μ
R e  2 ρ ur μ atau ρ 
2 ur
Mikrofisika Awan Dan Hujan
212
Gaya gravitasional pada bola adalah:
4 3
FG  μr g ρ L  ρ  (9.7)
3
Keterangan :
L : densitas air berbentuk bola
 : densitas udara
g : percepatan gravitasi

Dalam hal tetes air yang jatuh melalui udara maka:


4 3
FG  μ r g ρL (9.8)
3
suatu pendekatan yang baik, karena L >> .

Jika FG = FR maka tetes akan jatuh terhadap udara pada kecepatan


terminalnya.
4 3  C Re 
π r g ρ L  6  μ ru  D 
3 
    24

gaya gravitasi gaya seret

Sehingga kecepatan terminal butiran adalah:


2 r 2 g ρL
u  (9.9)
9 C D Re 24 μ

Untuk bilangan Re yang sangat kecil, maka (CD Re/24) = 1, sehingga:

2 r 2 g ρL 2
u   k1 ,runtuk tetes awan : r ~ 40 m (9.10)
9 μ

k1 ~ 1,19 x 106 cm-1 s-1.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


213
Persamaan (9.10) disebut hukum Stokes dimana kecepatan jatuh
terminal tetes awan bergantung pada kuadrat jari-jarinya. Hukum Stokes
dipakai untuk tetes-tetes awan dengan jejari sampai sekitar 40 m.

Untuk bilangan Re cukup tinggi maka berlaku hukum akar


kuadrat sebagai berikut:
u  k2 r
atau

u  k 2 r1/ 2, untuk tetes hujan : 0,6 mm < r < 2 mm(9.11)

Keterangan: 1/2
3  ρ0 
k2 : 2,2 x 10   cm1/2 s 1
ρ
 : densitas udara
-3 3 -3
0 : densitas udara referensi = 1,2 x 10 g/cm = 1,2 kg m
sesuai dengan udara kering pada tekanan 1013 mb dan
temperatur 20 0C.

Hukum akar kuadrat berlaku untuk tetes hujan dengan jejari 0,6
3 1/2 -1
mm < r < 2 mm dengan k2 ~ 2,01 x 10 cm s , karena secara pendekatan
0/ ~ 1.

Pada jangka (range) ukuran tetes menengah yaitu antara daerah


hukum Stokes dan hukum akar kuadrat, maka formulas pendekatan
yang berlaku:
u  k 3 r , untuk tetes awan 40 m < r < 0,6 mm (9.12)
dengan k3 = 8 x 103 s-1.
Tetes hujan mempunyai bilangan Reynolds tinggi tetapi tidak bulat benar
sehingga hukum akar kuadrat hanya menggambarkan kecepatan terminal

Mikrofisika Awan Dan Hujan


214
tetes hujan dengan baik dalam jangka ukuran terbatas. Kecepatan
terminal tetes hujan telah dihitung oleh Gunn and Kinzer (1949) dengan
0
data pada permukaan laut dengan tekanan 1013 mb dan temperatur 20 C,
hasilnya dicantumkan pada tabel 9.2. Tetes hujan dengan diameter 6,0
mm atau lebih akan pecah menjadi tetes-tetes yang lebih kecil.
Kecepatan jatuh terminal tetes hujan dapat dinyatakan dengan
persamaan empiris berikut:
u  9,65  10,3 e 0, 6 D (9.13)
Keterangan :
-1
u : kecepatan terminal tetes (ms )
D : diameter tetes hujan (mm)

Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes(Gunn
and Kinzer, 1949)
Diameter Kecepatan jatuh Diameter Kecepatan jatuh
(mm) (ms-1) (mm) (ms-1)
0,1 0,27 2,6 7,57
0,2 0,72 2,8 7,82
0,3 1,17 3,0 8,06
0,4 1,62 3,2 8,26
0,5 2,06 3,4 8,44
0,6 2,47 3,6 8,60
0,7 2,87 3,8 8,72
0,8 3,27 4,0 8,83
0,9 3,67 4,2 8,92
1,0 4,03 4,4 8,98
1,2 4,64 4,6 9,03
1,4 5,17 4,8 9,07
1,6 5,65 5,0 9,09
1,8 6,09 5,2 9,12
2,0 6,49 5,4 9,14
2,2 6,90 5,6 9,16
2,4 7,27 5,8 9,17

Mikrofisika Awan Dan Hujan


215
9.5. Resumé
Modifikasi cuaca dimulai pada tahun 1946 oleh Vincent
Schaefer dan Irving Langmuir dengan pembenihan es kering.
Kemudian Vonnegut pada tahun 1947 menemukan perak iodida AgI
sebagai inti es (IES) buatan. Modifikasi cuaca di Indonesia baru dimulai
pada tahun 1977 dengan status uji coba hujan buatan di wilayah Bogor,
Jawa Barat. Operasi percobaan hujan buatan dilakukan pada tahun 1979
oleh instansi BPPT. Modifikasi awan buatan dilaksanakan dengan
penyemaian partikel aerosol higroskopis yang bertindak sebagai inti
kondensasi awan (IKA).
Dari jumlah curah hujan tahunan yang secara rata-rata sekitar
2000 mm atau lebih, terutama dikawasan Indonesia bagian barat, maka
kesediaan sumber daya air berlimpah. Tetapi mengingat variasi curah
hujan secara temporal dan spasial sangat besar, maka teknologi
modifikasi cuaca di Indonesia sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
jumlah curah hujan sehingga sumber daya air yang dipakai pertanian
mencukupi. Dalam pembangkit listrik tenaga air dan irigasi teknologi
modifikasi cuaca diperlukan untuk mengisi waduk.
Awan konvektif jenis cumulus (Cu) dan cumulonimbus (Cb)
banyak dijumpai di Indonesia. Awan jenis ini mempunyai pertumbuhan
vertikal mencapai paras yang tinggi. Di bagian atas awan Cb yang
temperaturnya sangat rendah terdiri dari kristal-kristal es, didekat dasar
awan terdiri dari butiran-butiran air, sedangkan dibagian diantaranya
terdiri dari campuran butiran-butiran air kelewat dingin dengan kristal-
kristal es. Akibat tekanan uap jenuh di atas air lebih besar dari pada di
atas es, maka kristal-kristal es akan tumbuh dengan mengorbankan
butiran-butiran air kelewat dingin.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


216
Jika kristal es tumbuh lebih besar, kecepatan terminalnya
meningkat, kemudian menumbuk butiran air kelewat dingin dan kristal
es yang lebih kecil (lebih lambat) dalam lintasannya. Beberapa kristal es
menjadi begitu besar dan berat, sehingga jatuh keluar dari dasar awan.
Jika temperaur udara di bawah awan sampai ketanah di bawah titik beku
maka kristal es mencapai permukaan tanah sebagai serpih salju,
sebaliknya jika temperatur di bawah awan di atas titik beku maka serpih
salju meleleh dan jatuh sebagai hujan.
Kecepatan jatuh terminal tetes bergantung pada ukuran tetes
awan. Untuk tetes awan dengan jejari sampai sekitar 40 m, kecepatan
jatuh terminalnya mengikuti hukum Stokes. Untuk tetes hujan berjejari
antara 0,6 dan 2 mm, kecepatan jatuh terminalnya mengikuti hukum
akar kuadrat. Untuk tetes berukuran menengah antara 40 m dan 0,6
mm, kecepatan jatuh terminalnya berbanding lurus dengan jejarinya.
Gun and Kinzer (1949) telah menghitung kecepatan jatuh terminal tetes
hujan (u) sebagai fungsi diameter tetes (D) yaitu u = 9,65 – 10,3 e-0,6D.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


217
Bab 10

Modifikasi Cuaca

Bagian B : Modifikasi Awan dan Presipitasi

Modifikasi cuaca dimaksudkan sebagai modifikasi awan secara


buatan atas usaha manusia, dengan tujuan :
i. meningkatkan jumlah curah hujan. Dilakukan oleh banyak negara
untuk mengatasi masalah air hujan yang distribusinya secara
temporal dan local tidak merata, terutama dalam sistem monsun
benua maritim Indonesia.

ii. melenyapkan awan. Awan rendah seperti stratus dan kabut


mengandung resiko di lingkungan bandara. Konsep menghilangkan
awan atau kabut yaitu dengan menginjeksikan inti kondensasi atau
inti es. Kabut panas lebih sulit dihilangkan.

iii. menindas batu es hujan. Tetes kelewat dingin dalam awan


cumulonimbus (Cb) dibekukan dengan partikel AgI, sehingga
pembentukan batu es yang besar dapat dihindari. Dalam awan
0
campuran di bawah 0 C, maka tekanan uap di atas air es lebih besar
dari pada di atas es ei.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


219
iv. melerai siklon tropis. Projek modifikasi siklon untuk mereda banjir
dan angin belum menunjukkan hasil yang signifikan. Prinsipnya
adalah menurunkan gradien temperatur dengan demikian gradien
tekanan dan angin melemah.

10.1. Kelembapan Kritis Garam


Pembentukan awan memerlukan inti kondensasi dimana uap air
mengondensasi padanya dan membentuk tetes awan. Partikel yang
higroskopis hanya menangkap uap air pada temperatur tertentu, mulai
dari kelembapan relatif tertentu yang disebut kelembapan relatif kritis.
Untuk sodium khlorida, RH = 75% dipandang sebagai kelembapan
relatif kritis (RHc). Gambar 10.1, menunjukkan grafik kelembapan
relatif kritis sebagai fungsi temperatur.

Secara alamiah inti kondensasi berada di atmosfer dengan jari-


jari antara 0,1 dan 10m. Dalam percobaan hujan buatan di Indonesia
diinjeksikan partikel garam NaCl dengan diameter 40 – 50 m. Partikel
dengan ukuran ini berpeluang membentuk tetes hujan besar. Partikel
akan memperbesar tetes awan selama kecepatan arus udara keatas di
dalam awan masih dapat menopangnya. Partikel garam yang
berdiameter di atas 100 m kurang berpeluang membentuk tetes hujan,
karena waktu tinggal partikel besar di dalam awan relatif singkat
sehingga menghasilkan tetes hujan yang lebih kecil. Partikel yang
mempunyai diameter lebih besar 40 m yang membentuk tetes hujan
dengan diameter lebih besar 1 mm telah dihitung sekitar 2000 tetes
hujan, dan hasilnya ditunjukkan pada tabel 10.1.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


220
Gambar 10.1. Kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur untuk garam NaCl.

Tabel 10.1. Diameter tetes hujan (D, mm) dikaitkan dengan berbagai diameter
partikel aerosol (d) dalam mikron. (Rosinski, 1973).

Eksperimental D (mm) dihitung


a b c d e
d (m) D (mm) d (m)
(4 m/s) (5 m/s) (6 m/s) (7,5 m/s) (10 m/s)
40 – 50 4–6 40 4,9 5,0 5,7 pecah pecah
50 – 60 4–5 50 5,0 3,3 4,8 ” ”
60 – 75 3,5 – 5 60 4,5 2,6 3,7 5,7 ”
75 – 100 2,5 – 4 70 4,3 2,0 2,9 4,9 ”
100 – 250 1,0 – 3 90 4,2 1,4 2,2 3,5 ”
120 3,5 <1 1,4 2,5 5,4
200 2,7 <1 <1 1,0 2,5
Catatan :
a : masuk melalui muka awan pada ujung utama awan pada kecepatan 4
m/s, kadar air cair 0,3 g/m3.
b, c, d, dan e: masuk melalui dasar awan sel badai guruh pada kecepatan 5; 6; 7,5; dan
10 m/s, kadar air cair 2 sampai 4 g/m3.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


221
Partikel garam dapur (NaCl) bertindak sebagai inti kondensasi
dan jika ditaburkan di dalam awan partikel ini bertindak sebagai tetes
larutan yang dapat menggiatkan mekanisme benturan dan
penggabungan. Jika diameter butir garam 40 m (atau jejarinya 20 m)
maka volume 1 butir garam adalah :
3 -2 3 3
V = 4/3 r = 4/3 x 3,14 x (2.10 ) mm
-6 3 -9 3
~ 32 x 10 mm = 32 x 10 cm
3
misalkan massa jenis garam,  = 1,2 gram/cm , maka massa 1 butir garam:
m = V .  = 32 x 10-9 cm3 x 1,2 gr/cm3
~ 38,4 x 10-9 gram
1000
Jadi dalam 1 kg terdapat  x 109 butir
38,4
~ 26 x 109 butir
Jika pesawat mampu mengangkut 1 ton garam yang setara dengan 26 x
1012 butir garam, biasanya disebar dalam tempo, t = 45 menit = 45 x 60
12
detik = 2.700 detik, maka setiap detik disebarkan = 26 x 10 ~ 1010 butir
2700
garam NaCl. Hasil ini sesuai dengan percobaan hujan buatan di India,
yaitu 1010 butir garam tiap detik disebar dari bawah dengan memakai
generator dan menambah hujan 40% dengan asumsi semua butir garam
masuk melalui dasar awan.

10.2. Teknologi Modifikasi Awan


Mikrostruktur awan dipengaruhi oleh konsentrasi inti kondensasi
dan inti es, sedangkan pertumbuhan partikel presipitasi dipengaruhi oleh
kelabilan di dalam mikrostruktur awan. Ada dua jenis kelabilan :

Mikrofisika Awan Dan Hujan


222
i. Dalam awan panas, tetes besar tumbuh dengan menangkap tetes
kecil oleh mekanisme benturan–tangkapan. Kelabilan awan
disebabkan oleh heterogenitas ukuran tetes.

ii. Jika ada partikel es dalam awan campuran, maka partikel es akan
tumbuh oleh deposisi dengan mengorbankan tetes air kelewat
dingin, kemudian dengan pembekuan (riming) dan koleksi
(aggregation). Kelabilan awan disebabkan tekanan uap di atas air
kelewat dingin lebih besar ketimbang di atas es pada temperatur di
0
bawah 0 C yang sama.

Dari gagasan di atas, disarankan teknik modifikasi awan dan


presipitasi sebagai berikut :

i. Dengan menginjeksikan (membenih) partikel higroskopis besar


atau tetes air kedalam awan panas, agar dapat merangsang
pertumbuhan tetes hujan oleh mekanisme benturan – tangkapan.

ii. Dengan membenih inti-inti es buatan kedalam awan dingin (yang


mungkin kekurangan inti es alam) dalam konsentrasi sekitar satu
per liter, agar dapat merangsang produksi presipitasi oleh
mekanisme kristal es.

iii. Dengan menginjeksikan konsentrasi yang tinggi dari inti es


buatan kedalam awan dingin agar dapat mengurangi secara drastis
konsentrasi tetes kelewat dingin, karenanya menghalangi
pertumbuhan partikel es oleh deposisi dari embun beku (riming).
Hal ini cenderung melenyapkan awan dan menindas pertumbuhan
partikel presipitasi.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


223
a. Teknologi Modifikasi Awan Panas
Teknik yang lebih baik adalah menginjeksikan tetes-tetes air
kecil (r ~ 30 m) atau partikel-partikel higroskopis (misalnya partikel
garam) kedalam dasar awan; partikel ini mungkin tumbuh oleh
kondensasi, kemudian oleh benturan–tangkapan, karena tetes ini
pertama dibawa keatas, kemudian jatuh melalui awan.
Awan cumulus dapat digolongkan sebagai awan panas, jika
0
temperatur awan lebih besar – 10 C, dapat juga digolongkan sebagai
awan dingin, jika awan ini tumbuh jauh ke lapisan beku, sehingga
temperatur awan sebagian atau seluruhnya di bawah – 10 0C. Paras (level)
0 0C disebut paras beku, atau paras peleburan.
Dalam awan panas, jika tetes-tetes awan mempunyai ukuran
serba sama maka kecepatan terminalnya sama, sehingga kemungkinan
benturan dan tangkapan sangat kecil. Dari persamaan (6.26) dan (6.27)
terlihat bahwa jika R = r, maka u(R) = u(r) sehingga u(R) – u(r) = 0 dan
dm/dt = dR/dt = 0, jadi tidak terdapat pertumbuhan ukuran tetes. Secara
alamiah awan ini sulit atau tidak dapat menghasilkan hujan.
Modifikasi awan dapat dilakukan dengan menginjeksikan tetes-
tetes besar kedalam awan sehingga mekanisme benturan dan tangkapan
menjadi lebih aktif. Akibat proses benturan, tetes bertambah besar dan
jatuh lebih cepat yang berarti efisiensi koleksi bertambah besar, dengan
demikian tetes awan makin cepat tumbuh menjadi tetes hujan. Untuk
membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu juta
tetes-tetes awan.
b. Teknologi Modifikasi Awan Dingin
Cumulus yang tumbuh menjulang tinggi jauh ke lapisan atmosfer
0
dengan temperatur di bawah – 10 C, dapat digolongkan sebagai awan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


224
dingin. Pada lapisan awan antara 0 0C dan – 40 0C tidak terjadi pengintian
air secara spontan, kecuali jika tetes menjumpai inti pembeku atau inti es.
Aerosol buatan yang banyak dipakai untuk merangsang presipitasi
adalah perak iodida (AgI). Tetapi di Indonesia dimana banyak radiasi
matahari maka AgI tidak efektif dipakai sebagai inti pembeku, karena itu
sebagai gantinya dapat dipakai es kering (CO2 padat) yang ditaburkan
dari puncak awan. Temperatur keseimbangan sublimasi es kering adalah
0
– 78 C, jauh lebih dingin dari pada temperatur pembekuan homogen air.
Jika diinjeksikan kedalam awan kelewat dingin maka pelet es kering
akan turun dan dalam lintasannya es kering akan membekukan tetes-tetes
yang dilaluinya.

Seperti dibicarakan dimuka, teknologi modifikasi awan dingin


bergantung pada koeksistensi tetes kelewat dingin dan partikel es.
Konsentrasi inti es di dalam udara agak kecil bahkan kadang-kadang
kurang pada temperatur lebih panas. Karena itu perlu menginjeksikan
inti es buatan atau bahan kimia lain kedalam awan agar pertumbuhan
kristal es dapat menghasilkan presipitasi. Ini merupakan dasar ilmiah
untuk kebanyakan uji coba modifikasi awan dan presipitasi yang telah
dilakukan pada awan dingin.

Bernard Vonnegut mulai mencari inti es buatan. Ia menunjukkan


bahwa inti es efektif sebaiknya mempunyai struktur kristalografik yang
serupa dengan struktur es. Pemeriksaan tabel-tabel kristalografik
mengungkapkan bahwa perak iodida (AgI) memenuhi. Uji
laboratorium menunjukkan bahwa perak iodida dapat bertindak sebagai
0
inti es pada temperatur setinggi – 4 C. Banyak bahan pengintian es
buatan yang diketahui misalnya, timah iodida (lead iodide), kuningan
sulfida (cupric sulfide) dan beberapa bahan-bahan organik misalnya,

Mikrofisika Awan Dan Hujan


225
phloroglucinol, metaldehyde lebih efektif sebagai inti es dari pada
peark iodida. Tetapi kebanyakan uji coba modifikasi awan buatan sampai
sekarang masih memakai perak iodida.

10.3. Teknologi Modifikasi Cumulus


Peningkatan jumlah curah hujan dalam awan cumulus dapat
dilakukan dalam dua cara yaitu meningkatkan proses koalisensi dan
meningkatkan pertumbuhan partikel es yang memanfaatkan
keberadaan butiran air kelewat dingin. Puncak awan cumulus di
Indonesia menembus jauh dari paras beku (sekitar 4,5 km), dan
puncaknya mencapai ketinggian 17 km dengan temperatur sekitar – 85
0
C, sering disebut awan campuran.

a. Meningkatkan Proses Koalisensi

Pertumbuhan tetes awan menjadi ukuran presipitasi melalui


koalisensi dalam awan cumulus dikaitkan dengan kecepatan arus udara
keatas (updraft), dimensi awan, kadar air awan, waktu hidup awan, dan
distribusi ukuran tetes awal yang dikendalikan oleh spektrum ukuran inti
kondensasi awan (IKA). Pertumbuhan melalui koalisensi lebih mudah
jika dalam awan ada tetes-tetes diantara banyak butiran-butiran awan
sehingga tetes mampu menumbuk dan mengoleksi butiran-butiran awan.
Di atas lautan (osean) inti garam laut raksasa (jari-jari 1 sampai 10 m)
merupakan faktor utama untuk memulai koalisensi sehingga hujan
cumulus marin lebih segera daripada hujan cumulus di atas darat.

Diduga bahwa dengan memasukkan embrio presipitasi buatan


dapat memperpendek waktu yang diperlukan terjadinya hujan dan dapat
meningkatkan efisiensi presipitasi dalam awan yang waktu hidupnya

Mikrofisika Awan Dan Hujan


226
singkat. Embrio presipitasi buatan yang dimaksud yaitu dengan
menyemprotkan air, dan tepung atau larutan bahan higroskopis.
Kesulitan dalam pendekatan penyemprotan air untuk memodifikasi
koalisensi karena jumlah air yang diinjeksikan kedalam awan cukup
besar agar dihasilkan efek yang nyata. Untuk mengatasi masalah ini,
diganti dengan material higroskopis sebagai agen semai. Dari 1 kg agen
semai yang diinjeksikan kedalam sebuah awan dapat menghasilkan 5
sampai 10 kg air awan menjadi embrio-embrio tetes hujan buatan.

Salah satu bahan utama yang dipakai dalam modifikasi cumulus


adalah tepung halus garam (NaCl). Masalahnya adalah sulit untuk
menggiling garam sesuai dengan spektrum ukuran yang diinginkan dan
sulit mencegah agar partikel garam tidak menggumpal sebelum disebar.
Injeksi inti-inti kondensasi yang terlalu kecil ke dalam awan dapat
menyebabkan efek berlawanan pada pertumbuhan koalisensi. Inti yang
terlalu kecil kemungkinan keluar dari awan oleh arus udara keatas.
Metode lain adalah menyemprotkan material higroskopis seperti
ammonium nitrate dan urea. Teknik ini mempunyai keuntungan karena
partikel yang disemprotkan dengan diameter sekitar 10 m, disebarkan
oleh turbulensi skala kecil dan dibawa sampai kedasar awan oleh
konveksi. Kemanjuran (afficacy) memakai generator permukaan tanah
(ground–based generator) untuk memperoleh jumlah bahan semai
kedalam cumulus masih merupakan persoalan yang belum terpecahkan.
Cara lain adalah larutan urea disemprotkan di atas dasar awan dengan
pesawat. Partikel-partikel ini diharapkan terbawa oleh arus udara keatas,
kemudian menangkap butiran-butiran awan lain ketika partikel turun
mencapai dasar awan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


227
b. Meningkatkan Proses Kristal Es
Jika awan cumulus tumbuh jauh di atas paras beku, sebagian
besar partikel awan tetap berbentuk cair, disebut tetes air kelewat dingin.
Di bawah temperatur sekitar – 40 0C, tetes cair akan membeku secara
homogen artinya membeku tanpa bantuan material asing. Vincent
Schaefer dalam tahun 1946 menginjeksikan es kering (CO2 padat)
kedalam awan cumulus. Es kering berbentuk pelet kecil (small pellet)
yang mempunyai temperatur sekitar – 78 0C. Jika pelet es kering
dimasukkan kedalam awan kelewat dingin, udara disekelilingnya
menjadi kelewat jenuh tinggi dan juga menjadi dingin di bawah
temperatur ambang kritis – 40 0C, sehingga banyak tetes cair terbentuk,
kemudian tetes-tetes ini dan tetes-tetes kelewat dingin yang sebelumnya
sudah terbentuk diubah menjadi kristal-kristal es. Pengukuran
laboratorium menunjukkan bahwa 1 gram es kering dapat menghasilkan
12
sekitar 10 kristal-kristal es dalam sebuah awan kelewat dingin dengan
0
jangka temperatur – 2 sampai – 12 C.

Untuk menyebarkan es kering kedalam menara cumulus kelewat


dingin yaitu dengan menjatuhkannya pada puncak awan dari pesawat
yang tentunya memerlukan biaya mahal. Keuntungan es kering relatif
terhadap metode kristal es buatan adalah bahwa es kering dapat bekerja
pada temperatur yang lebih panas dan menguap di atas tanah tanpa
meninggalkan bekas (residue) yang mungkin dapat berbahaya bagi
manusia maupun merusak lingkungan. Cara lain untuk meningkatkan
proses kristal es dalam awan kelewat dingin, memakai inti pembeku
(IES) buatan, dan yang pertama ditemukan adalah perak iodida (AgI).
Perak iodida pertama dipakai oleh Vonnegut karena strktur kristalnya
sangat menyerupai kristal es. Bahan lain yang jauh lebih murah adalah

Mikrofisika Awan Dan Hujan


228
timah iodida, tetapi struktur kristalnya sedikit kurang sesuai dengan
kristal es. Timah iodida telah banyak dipakai dalam eksperimen
penindasan batu es (hail) di Uni Soviet.

Bagaimana perak iodida dapat bertindak sebagai inti es dalam


awan kelewat dingin. Dapat dijelaskan bahwa karena struktur kristal AgI
mirip dengan kristal es, maka butiran-butiran awan bereaksi seolah-olah
partikel-partikel AgI adalah kristal es, sehingga es terbentuk dan tumbuh
pada partikel AgI sementara tetes awan menguap, kecuali tetes
bersentuhan langsung dengan AgI, akan membeku.
Inti es artifisial (buatan) mempunyai dua kelas efek modifikasi
pada awan cumulus kelewat dingin. Pertama, adalah meningkatkan
efisiensi presipitasi. Partikel es yang bertindak sebagai embrio
presipitasi, tumbuh dengan mengorbankan butiran-butiran air. Embrio-
embrio ini dapat tumbuh cukup besar dan jatuh keluar awan sebagai
hujan atau salju. Konsep pembenihan berdasarkan hanya peningkatan
efisiensi presipitasi disebut pendekatan statik, yaitu pendekatan yang
mengabaikan efek dinamik. Kelas kedua, yang mungkin adalah efek
dinamik. Pembekuan melepaskan panas laten. Karena sumber arus udara
keatas, sebuah awan cumulus adalah gaya apung atau defisiensi
(penurunan) densitas relatif terhadap lingkungannya, kemungkinan
pemanasan udara berawan dapat menurunkan densitasnya sehingga
mempengaruhi geraknya yaitu merubah dinamikanya. Eksperimen
pembenihan dengan memakai konsep ini dikatakan memakai
pendekatan dinamik.
Pembenihan inti es buatan awan konvektif dengan konsentrasi
sekitar 1 per liter dalam usaha meningkatkan efisiensi mekanisme kristal
es untuk menghasilkan presipitasi, tampaknya lebih efektif dalam

Mikrofisika Awan Dan Hujan


229
memodifikasi awan-awan cumulus jenis kontinental dari pada cumulus
jenis marin. Terbatasnya sebaran ukuran tetes dalam awan cumulus
kontinental menyebabkan mekanisme benturan – tangkapan agar
menghasilkan hujan tidak efisien, karena itu formasi presipitasi dalam
awan ini sering bergantung pada mekanisme kristal es. Lagi pula, karena
kurangnya jumlah tetes-tetes besar (radius > 25 m) dalam awan
kontinental, maka mekanisme multiplikasi es mungkin tidak beroperasi.
Akibatnya produksi presipitasi dalam awan cumulus kontinental kadang-
kadang dihalangi oleh kekurangan inti-inti es alam, terutama inti-inti
0
yang efektif pada temperatur di atas sekitar – 16 C.
Uji coba di Israel melalui pembenihan secara acak awan cumulus
musim dingin jenis kontinental dengan perak iodida dari pesawat terbang
menghasilkan peningkatan curah hujan yang berarti. Selama periode
1961–1967 presipitasi (endapan) pada daerah uji coba dalam projek
Israel lebih besar 15% pada hari-hari pembenihan dibandingkan dengan
pada hari-hari tanpa pembenihan. Sebaliknya uji coba di Missouri
dimana awan cumulus musim panas dibenih dengan perak iodida dari
pesawat terbang secara acak, gagal menunjukkan peningkatan curah
hujan yang berarti pada hari-hari pembenihan. Studi fisis menyatakan
bahwa awan-awan di atas Missouri adalah bersifat awan marin.

10.4. Aplikasi Modifikasi Cuaca


Kabut dapat mengurangi visibilitas sehingga mengganggu lalu
lintas darat, laut dan udara bahkan dapat menyebabkan kecelakaan akibat
tabrakan antar kendaraan. Pesawat terbang tertunda mendarat atau
tinggal landas jika di atas bandara terjadi kabut. Batu es besar dapat
menimbulkan kerusakan dalam pertanian maupun dalam komunikasi

Mikrofisika Awan Dan Hujan


230
dan pemadaman listrik akibat putusnya saluran (kawat) telekomunikasi
dan listrik. Siklon tropis menyebabkan kerusakan terutama yang
disebabkan oleh angin kencang, hujan lebat dan gelombang badai.
Gelombang badai adalah meningkatnya permukaan laut sepanjang
pantai secara cepat karena angin siklon menggerakannya kepantai.
Meskipun belum sepenuhnya berhasil, tetapi usaha memodifikasi kabut
agar buyar, memodifikasi batu es agar tidak menjadi besar, dan
memodifikasi siklon tropis agar energinya melemah telah dilakukan oleh
para meteorologiwan.

a. Pembuyaran Kabut

1. Kabut Panas

Ada 3 teknik, semuanya dirancang untuk meningkatkan


penguapan butiran-butiran air dan secara efektif telah berhasil untuk
meningkatkan visibilitas dalam kabut panas : (i) percampuran mekanis
kabut dengan udara kering dan panas dari atas, (ii) pengeringan udara
dengan bahan kimia higroskopis, dan (iii) pemanasan udara.

Dasar fisis pencerahan kabut panas (warm fog) dengan helikopter


terutama terletak pada prinsip percampuran pencucian ke bawah
(downwash mixing). Selama operasi pencerahan, helikopter melayang-
layang atau bergerak lambat di muka udara cerah di atas lapisan kabut.
Aksi pencucian kebawah helikopter memaksa udara cerah relatif kering
ini kebawah kedalam kabut. Udara berombak pada penurunan
bercampur dengan kabut. Jika kelembapan relatif udara di atas kabut
mendekati 90% atau kurang, maka campuran udara ini menjadi kurang
jenuh (subsaturated), sehingga butiran-butiran kabut akan menguap.
Dimensi pencerahan yang ditimbulkan oleh olakan helikopter jauh lebih

Mikrofisika Awan Dan Hujan


231
besar daripada helikopter itu sendiri, biasanya dengan faktor 10 sampai
20 kali. Pada kabut dangkal, olakan helikopter besar dapat cukup kuat
untuk mendorong secara fisis udara berkabut kesamping dan diganti oleh
udara cerah dari atas.

Jika bahan higroskopis dalam bentuk partikel kering atau tetes-


tetes larutan dilepaskan kedalam kabut, maka partikel-partikel ini akan
menyerap uap air dan udara menjadi kering, menyebabkan butiran-
butiran kabut menguap. Selama fasa penyemaian partikel-partikel
higroskopis dimasukkan kedalam kabut di atas zona sasaran yang
dimaksud, biasanya landasan kapal terbang. Jika partikel semai
dimasukkan dari tanah, partikel ini harus dihembuskan keatas sampai
ketinggian dimana pencerahan kabut diinginkan. Karena gaya gabung
untuk uap air cukup besar, partikel higroskopis tumbuh secara cepat
melalui kondensasi, kemudian jatuh oleh gravitas. Kebanyakan partikel
higroskopis tumbuh sekitar tiga kali lebih besar sebelum jatuh keluar
lapisan kabut dalam waktu sekitar 5 menit. Visibilitas meningkat karena
butiran-butiran kabut menguap akibat defisit uap yang ditimbulkan
partikel semai. Pencerahan pertama tampak pada paras (level)
penyemaian kemudian meluas ketanah. Peningkatan visibilitas
maksimum pada tanah terjadi dalam waktu sekitar 10 menit setelah
penyemaian. Akhirnya terjadi pengisian kabut kembali oleh
percampuran turbulen (golakan). Jika pencerahan lanjutan zona sasaran
dikehendaki maka diperlukan penambahan material semai. Gambar
10.2 mengilustrasikan empat fasa yang menandai proses pencerahan
kabut buatan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


232
Gambar 10.2. Penyajian skematik modifikasi kabut panas oleh penyemaian partikel
higroskopis.

Salah satu metode tertua yang sangat berhasil membuyarkan


kabut panas adalah dengan pemanasan dari permukaan tanah melalui
pembakaran bahan bakar hidrokarbon. Energi panas yang cukup harus
diberikan untuk menguapkan butiran-butiran kabut dan untuk menaikan
temperatur udara. Besaran panas ini dihitung dari hukum fisika. Gambar
10.3, menunjukkan beberapa jumlah panas yang diperlukan sebagai
fungsi dari temperatur udara dan kadar air cair kabut.

Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut sebagai fungsi
temperatur udara dan kadar air awan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


233
Energi yang ditunjukkan pada gambar 10.3 adalah nilai
minimum teoritis yang diperlukan untuk pembuyaran kabut secara
sempurna. Dalam praktek, energi panas perlu ditambah untuk
menguapkan secara cepat tetes-tetes kabut, uap air tambahan yang
dimasukkan ke udara oleh pembakaran bahan bakar, dan
memperhitungkan distribusi panas spasial yang tidak rata. Agar
menjamin energi panas yang diperlukan memadai dan untuk
memperhitungkan semua ketidakpastian maka nilai-nilai yang
diberikan pada gambar 10.2 pada umumnya dikalikan dengan faktor dua
atau lebih dalam perancangan operasional sistem pembuyaran kabut
panas.

2. Kabut Kelewat Dingin


Modifikasi fenomena cuaca yang paling mudah adalah kabut
atau awan stratus kelewat dingin. Hanya dibutuhkan tambahan jumlah
energi sedikit untuk merangsang transisi butiran-butiran air kelewat
dingin menjadi fasa es yang lebih stabil sehingga terjadi pembuyaran
kabut kelewat dingin (supercooled fog). Proses disipasi buatan
berdasarkan pada fakta fisis bahwa tekanan uap keseimbangan di atas es
lebih kecil dari pada di atas air pada temperatur yang sama. Jika kristal
es berada dalam kabut air jenuh kelewat dingin, maka kristal es tumbuh
oleh deposisi uap sehingga butiran-butiran air menguap. Ketika kristal-
kristal es tumbuh kemudian dijalarkan ke seluruh kabut oleh aksi
percampuran golakan (turbulen) yang menjadi intensif oleh panas laten
pembekuan yang dilepaskan karena perubahan volume akibat
perubahan fasa air menjadi es. Kristal-kristal es disebarkan secara
lateral pada kecepatan sekitar 1 ms-1, dan hanya berhenti jika konsentrasi
kristal es berkurang secara nyata oleh kristal-kristal yang jatuh. Setelah

Mikrofisika Awan Dan Hujan


234
10 sampai 20 menit, kristal mulai mencapai tanah. Jatuhan kristal terus
berlangsung sampai 1 jam atau lebih setelah awal memasukkan kristal-
kristal es. Waktu yang diperlukan untuk pencerahan kabut berkisar 30
sampai 60 menit bergantung pada tebal dan temperatur kabut, serta
kondisi angin.

Dua teknik dapat dipakai agar terbentuk kristal-kristal es yang


diperlukan untuk mengawali proses pembuyaran kabut buatan. Teknik
pertama, didasarkan pada penyemaian partikel sangat kecil berdiameter
sekitar 1 mikrometer yang mempunyai struktur kristal sangat mirip
dengan kristal es. Partikel-partikel ini bertindak sebagai embrio pada
mana es dapat tumbuh, disebut inti pembeku atau inti es (IES) dan
inisiasi proses pertumbuhan es disebut pengintian heterogen. Perak
iodida (AgI) sangat sering dipakai sebagai IES buatan. Timah iodida dan
beberapa bahan organik juga agen pengintian efektif, partikel ini aktif
0
pada temperatur lebih dingin – 5 C. Teknik kedua, dengan memasukkan
kristal-kristal es kedalam kabut kelewat dingin yang melibatkan
pengintian homogen. Kristal es dibentuk oleh pendinginan udara lokal
sampai di bawah – 40 0C, temperatur kritis dimana terjadi pengintian es
secara spontan tanpa bantuan IES. Pendinginan yang diperlukan untuk
mengawali pengintian homogen dihasilkan oleh penyemaian dengan es
kering yaitu karbon dioksida (CO2) padat yang berada pada temperatur
0
serendah – 78 C atau oleh penguapan dan ekspansi pendinginan
(refrigerant) seketika, seperti propane (semacam methane) cair yang
disemprotkan kedalam kabut. Teknik ini efektif dalam pembentukan
0
kristal-kristal es pada temperatur sepanas – 1 C.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


235
b. Penindasan Batu Es
Dua alasan telah dikemukakan untuk mereda batu es hujan (hail)
oleh pembenihan awan dengan inti es. Pertama, melibatkan pembekuan
semua tetes kelewat dingin pada bagian atas Cumulonimbus yang
menghasilkan batu es hujan. Efeknya ialah membasmi proses
pertumbuhan akresional (pertambahan), menghilangkan kemungkinan
pembentukan batu es besar. Meskipun efisiensi dari AgI diduga tinggi,
14 0
dengan perkiraan sekitar 10 inti per gram AgI pada temperatur – 20 C,
tetapi jumlah bahan yang diperlukan untuk peng–es–an awan berlebihan
dan pada waktu sekarang di luar kemampuan sistem pembenihan.
Kedua, adalah lebih sederhana dalam pemakaian bahan
pembenihan dan melibatkan penambahan inti es hanya terbatas dalam
daerah awan dimana batu es diperkirakan mempunyai kecepatan
pertumbuhan maksimum. Ilmuwan Soviet menduga bahwa daerah ini
adalah bagian atas awan dimana reflektivitas maksimum dari radar
teramati. Daerah dengan reflektivitas maksimum kemudian dibenih
dengan ledakan meriam yang bermuatan AgI dan dilaporkan berhasil
melenyapkan batu es hujan. Tetapi penalaran keefektifan teknik ini belum
jelas. Berbagai pendekatan dilakukan dengan menambah inti es dalam
daerah bawah yang diduga merupakan area arus vertikal (updraft) utama.
Daerah ini mengandung inti es alam atau partikel presipitasi yaitu embrio
batu es hujan. Diragukan bahwa dengan memasukkan inti buatan akan
menyebabkan kompetisi yang cukup untuk persediaan air kelewat dingin
yang ada, sehingga tidak ada kemungkinan batu es hujan tumbuh menjadi
besar. Semua usaha pendekatan ini dimaksudkan untuk merubah batu es
besar menjadi sejumlah batu es yang kecil-kecil. Batu es kecil ini
mempunyai kesempatan melebur dengan sempurna pada waktu melewati
0
isoterm 0 C, sehingga sebelum mencapai tanah batu es mencair atau

Mikrofisika Awan Dan Hujan


236
paling tidak akan mengurangi kerusakan dan kerugian yang disebabkan
oleh batu es besar.

c. Melerai Siklon Tropis


Salah satu projek modifikasi cuaca yang sangat ambisius
(berambisi) dan yang pernah dicoba adalah modifikasi siklon tropis.
Meskipun biaya mahal, secara saintifik dan logistik sulit dan diancam
oleh masalah hukum yang menyeramkan tentang keberhasilan
eksperimen modifikasi cuaca, meskipun demikian usaha untuk melerai
atau mengurangi kekuatan angin siklon tropis yang mengerikan itu tetap
diuji cobakan. Sekitar 60 tahun yang lalu, pada tanggal 13 Oktober 1947,
sebuah siklon tropis disemai dengan perak iodida dalam usaha untuk
mengurangi intensitas badai.
Teknologi modifikasi cuaca untuk mereda banjir perlu kajian
pendahuluan (hipotesis dan teoritis) apakah teknologi ini layak (visible)
dan berarti (significant) untuk diterapkan. Projek modifikasi siklon tropis
untuk mereda banjir dan kecepatan angin, belum menunjukkan hasil
yang signifikan. Dalam percobaan, siklon tropis dibenih dengan perak
iodida sehingga terjadi pelepasan panas laten pada waktu terjadi
perubahan fasa dari uap air menjadi partikel-partikel awan. Pelepasan
panas laten ini akan menaikan temperatur sehingga terjadi penurunan
gradien temperatur dalam radius pembenihan. Pelemahan gradien
temperatur akan memproduksi gradien tekanan lemah pada paras rendah
dan menghasilkan angin lemah. Kelemahan teori ini menimbulkan
keraguan apakah tetes awan kelewat dingin berjumlah cukup untuk
menghasilkan jumlah pelepasan panas laten yang signifikan.
Hipotesis yang mengkaitkan siklon tropis dengan hubungan
antara jejari pemanasan maksimum (JPM) dan jejari angin maksimum

Mikrofisika Awan Dan Hujan


237
(JAM). Jika JPM < JAM alasan fisis menunjukkan penurunan jejari
angin maksimum dan peningkatan kecepatan angin maksimum.
Sebaliknya, jika JPM > JAM, bagian udara yang masuk akan dialihkan
keatas dalam awan pada JPM, JAM meningkat dan dengan kekekalan
momentum sudut, kecepatan angin maksimum melemah. Menurut
Anthes (1982) pengalihan sebagian udara keatas pada jejari yang lebih
besar dengan merangsang pertumbuhan awan juga akan merubah
anggaran uap air (moisture). Jika terjadi kenaikan fluks uap air vertikal
atas pengorbanan uap air yang mengalir kedalam dinding mata, panas
laten pada jejari dinding mata akan berkurang secara signifikan.
Gambar 10.4, melukiskan penampang vertikal melalui siklon
tropis. Teori bersandar pada asumsi yang sangat penting bahwa awan-
awan berada pada jejari lebih besar dari pada jejari dinding mata (R2
dalam gambar 10.4a) dan bahwa awan-awan ini mengandung air kelewat
dingin. Menurut hipotesis, penyemaian berulang dan besar-besaran
daerah awan kelewat dingin pada jarak R2 akan memicu pertumbuhan
vertikal awan-awan ini melalui gaya apung yang ditambahkan. Meskipun
energi fusi (fusion) itu sendiri kecil, tetapi peningkatan gaya apung akan
menyebabkan pertumbuhan signifikan awan-awan ini yang kemudian
mendapat tambahan massa dan uap air dari lapisan batas. Perubahan ini
menghasilkan redistribusi (pembagian kembali) massa dan energi.
Dinding mata tua, menghilangkan masukan uap air, memperlemah,
karena subsidensi dalam mata yang dipertahankan oleh energi dalam
dinding mata siklon. Karena panas laten dalam dinding mata dan
subsidensi dalam mata berkurang, maka temperatur dan gradien tekanan
berkurang. Dalam gradien tekanan yang lemah, udara yang mengalir
masuk tidak mampu menembus jejari sedemikian kecil, dan kebanyakan
terjadi kenaikan udara pada jejari (jarak) R2, sehingga terjadi dinding mata

Mikrofisika Awan Dan Hujan


238
baru pada jejari R2 yang berkaitan dengan pelemahan angin maksimum
(Gambar 10.4b).
Jelas bahwa hipotesis STORMFURY (projek modifikasi
hurricane – AS) memakai banyak asumsi. Masalah penting yang harus
dijawab sebelum menerima hipotesis ini antara lain : Apakah ada air
kelewat dingin yang signifikan dalam awan-awan di luar jejari
pemanasan maksimum? Apakah pertumbuhan awan-awan cukup
mengganggu dinding mata dalam arti merusak ? Apakah selama periode
modifikasi awan, medan angin menyesuaikan pada keadaan
keseimbangan mantap semu (quasi steady) baru yang berlangsung cukup
lama agar berdampak positif ?

Gambar 10.4. Diagram skematik yang menunjukkan efek hipotesis pembenihan


awan-awan cumulus dalam hurricane (siklon tropis). Penyemaian air
kelewat dingin (titik-titik) pada jejari R2 dalam gambar 10.4a
menyebabkan pertumbuhan awan pada R2 dan peluruhan dinding mata
tua awan pada R1.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


239
10.5. Resumé
Jika awan panas mempunyai tetes-tetes berukuran sama maka
sulit menghasilkan hujan secara alamiah, karena peluang mekanisme
tumbukan – tangkapan sangat kecil. Modifikasi awan dapat dilakukan
dengan menginjeksikan tetes yang lebih besar, sehingga mekanisme
tumbukan–tangkapan menjadi aktif. Untuk membentuk sebuah tetes
melalui mekanisme tumbukan – tangkapan diperlukan puluhan ribu
sampai satu juta tetes awan. Kebanyakan modifikasi awan dingin
sampai sekarang masih memakai inti es buatan AgI yang aktif pada
temperatur sekitar – 4 0C.

Ada dua cara untuk memodifikasi awan cumulus yaitu


meningkatkan proses koalisensi dan meningkatkan proses kristal es.
Untuk meningkatkan proses koalisensi dipakai embrio presipitasi
buatan, misalnya dengan menyemprotkan air dan tepung atau larutan
bahan higroskopis. Salah satu bahan utama yang dipakai dalam awan
cumulus adalah tepung garam NaCl. Untuk awan cumulus yang
tumbuh jauh di atas paras beku dipakai cara meningkatkan proses
kristal es. Es kering atau CO2 padat diinjeksikan dari puncak awan.
Cara lain untuk meningkatkan proses kristal es pada cumulus dingin
adalah dengan menginjeksikan inti es buatan, biasanya perak iodida.

Ada 3 teknik untuk membuyarkan kabut panas yaitu: (i)


percampuran mekanis antara kabut dengan udara kering dan panas dari
atas kabut, (ii) pengeringan udara dengan bahan kimia higroskopis, dan
(iii) pemanasan udara. Cara tertua untuk membuyarkan kabut panas
adalah melalui pembakaran bahan bakar dari permukaan tanah.
Modifikasi cuaca yang paling mudah adalah membuyarkan kabut

Mikrofisika Awan Dan Hujan


240
kelewat dingin. Perak iodida dan es kering telah banyak dipakai dengan
berhasil untuk mencerahkan mendung dan membuyarkan kabut
kelewat dingin.

Aplikasi modifikasi cuaca yang lain, yaitu :

i. Menindas batu es, prinsipnya adalah mencegah pembentukan


batu es agar tidak tumbuh menjadi besar melalui pembekuan
semua tetes awan kelewat dingin, sehingga batu es tidak
mempunyai kesempatan tumbuh membesar.

ii. Mereda siklon tropis, prinsipnya melemahkan gaya gradien


tekanan melalui pembenihan perak iodida sehingga terjadi
pelepasan panas laten perubahan fasa air yang akan menaikan
temperatur dengan demikian menurunkan gradien temperatur
dalam radius pembenihan.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


241
Daftar Pustaka

Anthes, R. A., 1982. Tropical Cyclones : Their Evolution, Structure and Effects,
American Meteorological Society.
Battan, L. J., 1973. Radar Observation of the Atmosphere, The University of Chicago
Press, Chicago.
Bayong Tjasyono HK.,1985. Tropical Storm Effect With Respect to Weather Over The
Indonesian Region, Proc. ITB, Vol. 18, No. 2, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., 1997. Kaji Awan Konvektif Berdasarkan Pengukuran
Radiosonde, J. IPTEK Iklim dan Cuaca, No. 1, BPPT, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 2000. Awan Konvektif di atas Benua Maritim Indonesoa, J.
Meteorologi dan Geofisika, Vol. 1, No. 4, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 1995. Peramalan Badai Guruh Berdasarkan Indeks Ancaman
Cuaca Buruk, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan
Meteorologi, ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., and Zadrach L. Dupe, 1996. Same Aspect of Convective
Thunderstorm Deduced from Stability Index, Porc. of
International Symposium on Equatorial Atmospheric Observation
Over Indonesia, RASC – ITB – LAPAN, Bandung
Bayong Tjasyono HK., 1997. Pola Pembentukan Awan Petir di Indonesia, Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Petir, ITENAS, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., Atika L., and Hadi T. W., 1993. The structure of Convecture
Clouds based on the Analysis of Upper Air Sounding, Proc. of
International Symposium on Equatorial Atmospheric Observation
Over Indonesia, RASC – BPPT – LAPAN, Jakarta.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


243
Bayong Tjasyono HK., 1979. Comparaison des données du Radar millimetrique et des
données Spectropluviométriques. Document de Travail, 'Institut
de Physique di Glôbe, No. 20, Clermont Ferrand, France.
Bayong Tjasyono HK., 2007. Proses Fisis – Dinamis Awan dan Modifikasinya, Seminar
Monitoring dan Evaluasi Teknologi Modifikasi Cuaca untuk
Pencapaian Peningkatan Produksi Beras 2 Juta ton, BMG, MHI,
Puslitbang SDA, BPPT, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 1987. Tinjauan Teoritis Modifikasi Awan Konvektif dan
Terapannya di Indonesia, Publikasi Khusus Hasil Penelitian,
Lembaga Penelitian ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., 1986. Hubungan Atenuasi Gelombang Mikro dan Curah Hujan,
Majalah LAPAN, No. 41, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 2007. Mikrofisika Awan dan Modifikasi Cuaca, Seminar
Teknologi Modifikasi Cuaca, BPPT, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 2000. Peluang Curah Hujan di Jawa Barat, JTM, Vol. 7, No. 2,
ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., 1991. Penyemaian Awan Sebagai Salah Satu Teknologi
Alternatif dalam Penanggulangan Kemarau panjang, Seminar
Nasional Antisipasi Iklim 1992 dan Dampaknya Terhadap
Pertanian Tanaman Pangan, PERHIMPI, Bogor.
Bayong Tjasyono HK., dan Saryono, 1994. Penentuan Parameter Meteorologis Yang
Tak Terukur Radiosonde Untuk Peramalan Badai Guruh, Lap.
Riset P4M, DPPM, DIKTI, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., and A. M. Mustofa, 2000. Seasonal Rainfall Variation over
Monsoonal Areas, JTM, Vol. VIII, No. 4.
Biltoft, C. A., 1974. Thunderstorm Potential Cold Air Cumulonimbi, J. App. Meteo.,
Vol. 13.
Blith, A., M., and J. Lathan, 1991. A Climatological Parameterization for Cumulus
Clouds, Bul. American Meteor. Soc., Vol. 48.
Bowen, E. G., 1950. The formation of rain by coalesence, Australian J. Sci. Res.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


244
Carlson, T. N., R. A., Anthes, M. Sckwartz, S. G. Benjamin, and D. G. Baldwin, 1980.
Analysis and Predictions of Severe Storms Environment, Bul.
American. Meteor, Soc., Vol. 61.
Douglas V. H., and Kenneth H. S., 1997. The Role of the Sun in Climate Change, Oxford
University Press, Oxford.
Fletcher, N. H., 1962. The Physics of Rainclouds, Cambridge University Press.
Gunn, K. L. S., and Kinzer, G. D., 1949. The Terminal Velocity of Fall for Water Drops
in Stagnant Air. J. Meteor. 6, 243 – 248.
Hess, W. N., Editor, 1974. Weather and Climate Modification John Wiley & Sons, New
York.
Houghton, J. T., 1977. The Physics of Atmosphere, Cambridge University Press,
Cambridge.
Houghton, H. G., 1985. Physical Meteorology, MIT Press, Cambridge, Mass
Massassuset.
Iribarne, J. V., and H. R. Cho, 1980. Atmospheric Physics, D. Reidell Publishing
Company, Dordrecht.
Levin, L. M., and Litvinov, I. V., 1977. Cloud Physics and Weather Modification,
Amerind Publishing Co. PVT. LTD., New York.
Lewis, E. R., and Schwartz, S. E., 2004. Sea Salt Production : Mechanisms, Methods,
Measurements and Model – A Critical Review, Geophysical
Monograph 152, American Geophysical Union Washington, DC.
Moran, J. M., and M. D. Morgan, 1994. Meteorology : The Atmosphere and The
Science of Weather, Prentice Hall, London.
Marshall, J.S., and Palmer, W. McK., 1948. The distribution of raindrops with size. J.
Meteor., Vol. 5.
Mason, B. J., 1971. The Physics of Clouds, Clarendon Press, Oxford.
Mason, B. J., 1975. Clouds, Rain and Rainmaking, Oxford Univ. Press, London.
Matveev, L. T., 1984. Cloud Dynamics, D. Reidel Publishing Company, Dordrecht.
Pruppacher, H. R., and Klet, J. D., 1980. Microphysics of Clouds and Precipitation, D.
Reidel Publishing Company, Boston.
Retallack, H. J., 1981. Physical Meteorology, WMO, NO. 364, Geneva.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


245
Rogers, R. R., 1976. A Short Course in Cloud Physics, Pergamon Press, New York.
Rogers, R. R., and Yau, M. K., 1989. A Short Course in Cloud Physics, Pergamon Press,
New York.
Rosinski, J., 1973. Formation of Raindrops on Large Aerosol Particles. J. Rech. Atmos.,
Vol. 7.
Susilo P., 1996. Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung.
Wallace, J. M., and P. V. Hobbs, 1977. Atmospheric Science, Academic Press, Inc,
London.
World Meteorological Oragnization, 1979. Weather Modification Programme :
Precipitation Enhancement Project, Report No. 13, WMO,
Geneva.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


246
Lampiran

1. Abjad Yunani
2. Tekanan Uap Jenuh
3. Daftar Simbol dan Kejelasan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


247
LAMPIRAN 1
Abjad Yunani

Dalam buku Mikrofisika Awan dan Hujan, dipakai abjad Latin dan
abjad Yunani untuk mengekspresikan sebuah persamaan fisis. Dalam
Lampiran 1, dicantumkan huruf kecil dan huruf besar Yunani. Huruf besar
Yunani yang sama dengan huruf Latin ditandai oleh tanda kurung ( ).

Huruf Kecil Huruf Nama Huruf Huruf Nama


Besar Kecil Besar

 (A) alfa  () nu


 (B) beta   xi
  gama  () omikron
  delta   pi
 (E) epsilon  () rho
 (Z) zeta   sigma
 (H) eta  () tau
  theta   upsilon
 (I) iota   phi
 (K) kappa  (X) chi
  lambda   psi
 (M) mu   omega

Mikrofisika Awan Dan Hujan


248
LAMPIRAN 2
Tekanan Uap Jenuh di atas Air murni dan Es
0 Di atas es Di atas air 0 Di atas air
tc ( C) tc ( C)
ei (mb) es (mb) es (mb)

– 40 0,128 0,189 0 6,11


– 38 0,161 0,232 2 7,05
– 36 0,200 0,284 4 8,13
– 34 0,249 0,346 6 9,35
– 32 0,308 0,420 8 10,72
– 30 0,380 0,509 10 12,27
– 28 0,467 0,613 12 14,02
– 26 0,572 0,737 14 15,97
– 24 0,698 0,883 16 18,17
– 22 0,850 1,05 18 20,63
– 20 1,03 1,25 20 23,37
– 18 1,25 1,49 22 26,43
– 16 1,51 1,76 24 29,83
– 14 1,81 2,08 26 33,61
– 12 2,17 2,44 28 37,79
– 10 2,60 2,86 30 42,43
–8 3,10 3,35 32 47,55
–6 3,68 3,91 34 53,20
–4 4,37 4,54 36 59,42
–2 5,17 5,27 38 66,26
0 6,11 6,11 40 73,77

Mikrofisika Awan Dan Hujan


249
LAMPIRAN 3
Daftar Simbol Huruf Latin dan Yunani
Simbol Kejelasan
B Suku apung, B = T/T – 1
C Suku kondensasi
CD Koefisien seret yang memberi sifat aliran
8 -1
c Kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik = 3 x 10 ms
c Panas spesifik air cair
cp Panas spesifik udara kering pada tekanan konstan
cpm Panas spesifik udara basah pada tekanan konstan
cpv Panas spesifik uap air pada tekanan konstan
cv Panas spesifik udara kering pada volume konstan
cvm Panas spesifik udara basah pada volume konstan
cvv Panas spesifik uap air pada volume konstan
D Diameter leleh (melted diameter) keping salju
D Diameter aerosol, tetes awan, tetes hujan
D Koefisien difusi molekuler
d Diameter bulatan yang membatasi kristal es
E Efisiensi koleksi efektif
E Efisiensi koleksi rata-rata
E1 Koefisien (efisiensi) kolisi
E2 Efisiensi Koalisensi
e Tekanan uap air
e Tekanan uap keseimbangan di atas larutan
ei Tekanan uap jenuh di atas es
es Tekanan uap jenuh di atas air

Mikrofisika Awan Dan Hujan


250
es(r) Tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes sferik
es(~) Tekanan uap jenuh di atas air datar (bulk water)
FB Gaya apung per satuan massa
Fd Suku termodinamika yang berkaitan dengan difusi uap
FG Gaya gravitasional tetes
FK Suku termodinamika yang berkaitan dengan konduksi panas
FR Gaya seret fluida viskus
f Parameter Coriolis
G1 Fungsi Gibbs untuk fasa 1, G1 = u1 + es 1 - T1
g Percepatan gravitas
i Faktor Van't Hoff
K Koefisien konduktivitas panas udara
L Panas laten penguapan
Lf Panas laten peleburan
Ls Panas laten sumblimasi
M Massa udara lembap
Md Massa udara kering
Ms Massa zat larut
Mv Massa uap air
Mw Massa air
m Massa tetes
m Massa kristal es
ms Berat molekuler zat larut
mv Berat molekuler uap air
m0 Massa satu molekul
N(D) Distribusi kumulatif diameter partikel
N(D) Distribusi ukuran tetes

Mikrofisika Awan Dan Hujan


251
N Konsentrasi tetes yang terbentuk dalam updraft dengan
kecepatan w
Nc Jumlah inti per satuan volume yang diaktifkan pada kelewat
jenuh kurang dari s.
N0 Bilangan Avogadro yaitu jumlah molekul per mol
n Jumlah molekul zat larut atau jumlah ion dalam zat larut
n Jumlah partikel per satuan volume udara
n Konsentrasi molekul-molekul uap air
n0 Jumlah molekul air
p Tekanan atmosfer
pd Tekanan udara kering
Q Perbandingan campuran air total, Q = rs + X
QL Panas akibat akresi butiran cair kelewat dingin
Qs Panas yang hilang keudara melalui konduksi
Qv Panas yang diperoleh melalui sublimasi
q Jumlah panas
q Kelembapan spesifik
qs Kelembapan spesifik jenuh
R Intensitas hujan (atau presipitasi)
R Jari-jari batu es
R Jari-jari tetes (drop) awan
RH Kelembapan relatif
Rd Konstanta gas individu untuk udara kering
Re Bilangan Reynold
Rv Konstanta gas individu untuk uap air
r Perbandingan campuran
r Jari-jari butiran awan

Mikrofisika Awan Dan Hujan


252
rc Jari-jari kritis tetes
rs Perbandingan campuran jenuh
r* Jari-jari kritis tetes larutan
S Rasio jenuh
S Efisiensi sapuan
S* Rasio jenuh kritis
S* – 1 Kelewat jenuh kritis (s*)
S(D) Distribusi kumulatif luas permukaan aerosol
s Kelewat jenuh dalam persen
smaks Kelewat jenuh maksimum
T Temperatur parsel udara
T Temperatur udara permukaan
T Temperatur udara lingkungan
Td Temperatur titik embun
Tc Temperatur kondensasi isentropik
Te Temperatur ekivalen
Tr Temperatur pada permukaan tetes
Ts Temperatur batu es
Tsw Temperatur bola basah adiabatik
Tv Temperatur virtual
Tw Temperatur bola basah
u Kecepatan jatuh keping salju
u Energi dalam
u Komponen kecepatan horisontal arah x
u(R) Kecepatan terminal tetes
u(R) Kecepatan jatuh batu es dengan radius R
u(r) Kecepatan terminal butiran

Mikrofisika Awan Dan Hujan


253
V Volume udara
V(D) Distribusi kumulatif volume partikel
v Komponen kecepatan horisontal arah y
W Kadar air awan
w Kecepatan udara vertikal (updraft)
X Massa air cair
x0 Parameter dampak (the impact parameter)
yc Efisiensi kolisi linier
Z Tinggi paras kondensasi
 Volume spesifik, volume per satuan massa
 Kemiringan garis dalam distribusi ukuran aerosol
= Rd/Rv Konstanta yang besarnya sama dengan 0,622
 Entropi spesifik (per satuan massa)
d, v, w Entropi spesifik udara kering, uap air, dan air cair
 Fungsi gamma
 Viskositas kinematik udara
 Perbandingan campuran kondensat dalam parsel udara
 Viskositas dinamik udara
 Perbandingan campuran kondensat dalam udara lingkungan
 Temperatur potensial udara
e Temperatur potensial ekivalen
q Temperatur potensial ekivalen basah
w Temperatur potensial bola basah
 Densitas kristal es
 Densitas parsel udara
 Densitas udara lingkungan
d Densitas udara kering

Mikrofisika Awan Dan Hujan


254
L Densitas tetes
v Densitas uap lingkungan
vR Densitas uap pada permukaan batu es
vr Densitas uap pada permukaan tetes dengan radius r
vrs Densitas uap jenuh permukaan tetes dengan radius r
vs Densitas uap jenuh lingkungan
 Tegangan permukaan tetes
 Parameter pertumbuhan
1 Parameter pertumbuhan kondensasi normalisasi

Mikrofisika Awan Dan Hujan


255
Biodata

Prof. Dr. Bayong Tjasyono HK., DEA., adalah


dosen tetap pada Program Sarjana Meteorologi,
Magister dan Doktoral Sains Kebumian, ITB dan
sebagai dosen luar biasa pada Program Pascasarjana
IPA, UPI, Bandung. Sekarang (2005 - 2007)
menjabat Ketua Kelompok Keahlian Sains
Atmosfer, ITB. Menyelesaikan studinya di ITB dan
memperoleh Sarjana Muda Geofisika dan
Meteorologi (1970), Sarjana Satu Geofisika dan Meteorologi (1971)
danSarjana Geofisika dan Meteorologi (1972). Diplome d’Etudes
Approfondies (DEA), Meteorologi, diraih dari Universite’ de Clermont,
Perancis (1976 - 1977) dan Doktor Meteorologi, dari Uiversitas yang
sama pada tahun (1977 - 1979). Dalam pengajaran, beliau memberi
kuliah di ITB, UPI Program Sarjana, Magister dan Doktoral dalam mata
kuliah Meteorologi, Klimatologi, Geosains, Georiksa (IPBA), Sains
Atmosfer, Meteorologi Monsun, Meteorologi Fisis dan Dinamis,
Modifikasi Cuaca, Mikrofisika Awan dan Hujan, dan Atmosfer
Ekuatorial. Membimbing Skripsi S1, Tesis S2, dan Promotor Disertasi
S3 dibidang Meteorologi dan Sains Atmosfer. Penelitian dalam bidang
Meteorologi dan Sains Atmosfer dibiayai oleh ITB, DPPM - P & K,
Bank Dunia, RUT, BMG, LAPAN, BPPT dan lain-lain. Beliau juga

Mikrofisika Awan Dan Hujan


257
melakukan percobaan dan eksperimen bersama instansi riset lain seperti:
- Peluncuran balon stratosfer di Watukosek, Jawa Timur, LAPAN
- Percobaan Hujan Buatan di Waduk Jatiluhur (Jawa Barat), Waduk
Riam Kanan (Kalimantan Selatan), Gunung Kidul (Yogyakarta),
Soroako (Sulawesi Selatan), BPPT
- Percobaan petir di Ciater, Bandung dan Kebun Teh Gunung Mas,
Bogor, kerjasama Universitas Jepang dan Indonesia (ITB,
LAPAN, PLN).
- Monsoon Experiment, World Meteorological Organization
(WMO).
Hasil-hasil risetnya didesiminasikan melalui Prosiding seminar
nasional dan internasional, Jurnal Ilmiah, Buku Referensi, Buku Ajar
dan Laporan Riset. Pengabdian Pada Masyarakat, misalnya memberi
kursus, lokakarya dibidang meteorologi untuk media massa, instansi
riset dan lain-lain, seperti BMG, LAPAN, BPPT, Pusat Studi
Lingkungan Hidup, dan instansi lain yang terkait (penyiar radio,
Wartawan, Penyiar TV). Kunjunga Kerja (1996) ke Universitas Kyoto,
Universitas Nagoya, Institut Riset Meteorologi dan Badan Meteorologi
Jepang, serta memberi short course (kuliah singkat) di Universitas
Tokyo, tentang Iklim Benua Maritim Indonesia. Pengajar pada
International Summer Course, kerjasama ITB - Universitas
Kyoto,2004.

Mikrofisika Awan Dan Hujan


258

Anda mungkin juga menyukai