551.6
i
Prakata
Buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat dibaca dan
dimanfaatkan oleh para peneliti di bidang sains atmosfer dan
meteorologi, serta dapat dipakai sebagai buku ajar dalam kuliah-kuliah
program Sarjana, Magister dan Doktoral di bidang Sains Atmosfer,
Fisika Atmosfer, Meteorologi Fisis, Modifikasi Cuaca,
Agrometeorologi, Teknik Lingkungan, dan lain-lain. Konsentrasi buku
ini adalah pada aspek mikrofisis awan terutama yang melibatkan
proses-proses pembentukan tetes awan, kristal es dan tetes hujan. Di
Indonesia, presipitasi dimaksudkan sebagai hujan, karena faktanya
yang diukur adalah tetes-tetes air, meskipun kadang-kadang terjadi batu
es (hail) tetapi segera meleleh sehingga menjadi tetes air ketika diukur
oleh penakar hujan.
Buku Mikrofisika Awan dan Hujan, membahas sejarah
perkembangan mikrofisika awan dan hujan, proses fisis uap air yaitu
perubahan fasa uap yang memainkan peranan penting dalam
mikrofisika awan. Aerosol atmosferik sebagai inti kondensasi awan
sangat penting dalam proses pengintian heterogen. Formasi tetes awan
yaitu pertumbuhan tetes dengan kondensasi. Pertumbuhan tetes awan
melalui benturan–tangkapan menjadi tetes hujan. Pertumbuhan kristal
es dengan difusi dan “akresi”. Modifikasi cuaca, modifikasi awan dan
presipitasi, melenyapkan kabut, menindas batu es hujan dan mereda
siklon tropis.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika melalui Pusat
Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG yang telah
mensponsori dan mendanai penyusunan buku Mikrofisika Awan dan
ii
Hujan sampai selesai. Kepada Prof. Dr. Mezak A. Ratag yang
mengevaluasi naskah buku ini kami mengucapkan terima kasih. Kepada
Bapak Maman Sanukman yang telah membantu pengetikan dan Bapak
Otang yang membuat gambar-gambar naskah buku ini, serta kepada
semua pihak yang mendukung penyelesaian buku ini, kami
mengucapkan terima kasih. Tidak pernah ada waktu yang ideal untuk
menulis buku semacam ini. Karena itu kekurangan-kekurangan harap
dimaklumi dan kritik membangun akan kami terima dengan senang hati.
Akhirnya kami berharap semoga buku Mikrofisika Awan dan Hujan
mencapai sasaran dan bermanfaat bagi pembacanya.
iii
Pengantar
Mikrofisika Awan dan Hujan
iv
jika kehilangan cairan tubuh lebih dari 1%, dan tanpa atmosfer hanya
dapat bertahan hidup beberapa menit saja.
Awan adalah kumpulan butiran air dan kristal es yang sangat
kecil atau campuran keduanya dengan konsentrasi berorde 100 per
centimeter kubik dan mempunyai radius sekitar 10 mikrometer. Awan
terbentuk jika volume udara lembap mengalami pendinginan sampai di
bawah temperatur titik embunnya. Dalam lapisan atmosfer di atas benua
maritim Indonesia, pendinginan sangat sering disebabkan oleh ekspansi
adiabatik udara yang naik melalui konveksi, orografi dan konvergensi.
Jenis awan yang terbentuk disebut awan konvektif, awan orografik dan
awan konvergensi. Pendinginan dapat juga disebabkan oleh proses
radiatif atau percampuran udara yang berbeda temperatur dan
kelembapannya.
Presipitasi (endapan) adalah bentuk air cair (hujan) atau bentuk
air padat (salju) yang jatuh sampai permukaan tanah. Jika sebelum
mencapai permukaan, partikel air atau kristal es menguap, disebut virga
atau stalaktit. Bentuk presipitasi adalah hujan, gerimis, salju, dan batu
es hujan. Hujan adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai di bumi
dan di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah curah
hujan. Presipitasi berasal dari awan dan asal usul awan merupakan studi
khusus. Di atmosfer tidak terjadi pengintian homogen tetapi sebaliknya
terjadi pengintian heterogen, karena atmosfer bebas selalu mengandung
partikel aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA)
atau inti es (IES).
Kondensasi uap air terjadi dalam bentuk tetes air, tetapi jika
temperatur awan di bawah 0 C maka di dalam awan terdapat campuran
kristal es dan tetes awan kelewat dingin sampai temperatur awan
mencapai – 40 C. Di bawah temperatur ini (< -40 C), tetes awan
kelewat dingin spontan membeku menjadi kristal es. Awan dengan
temperatur > – 10 C, pada umumnya berisi tetes-tetes air, disebut
awan panas, sedangkan awan yang sebagian atau seluruhnya
v
mempunyai temperatur < – 10 C berisi campuran tetes air kelewat
dingin dan kristal es, disebut awan dingin atau awan campuran.
Penggolongan ini didasarkan bahwa inti es mulai aktif pada temperatur
sekitar – 10 C. Bagian awan yang mempunyai temperatur di atas 0 C
seluruhnya berisi tetes-tetes air, bagian awan yang mempunyai
temperatur antara 0 C dan – 40 C berisi tetes air kelewat dingin dan
kristal es bagi yang menemukan inti es (IES), dan bagian awan dengan
temperatur di bawah – 40 C berisi seluruhnya kristal es.
Partikel presipitasi (tetes hujan dan kristal es) akan tumbuh jika
populasi awan menjadi tidak stabil. Kelabilan mikrostruktur awan
panas disebabkan oleh perbedaan ukuran tetes awan atau perbedaan
kecepatan jatuh terminal tetes. Sedangkan mikrostruktur awan dingin
tidak stabil akibat beda tekanan uap di atas air kelewat dingin (es) dan
tekanan uap di atas es (ei), dimana es > ei pada temperatur di bawah 0 C
yang sama. Ada dua mekanisme pertumbuhan partikel presipitasi.
Pertama, mekanisme Bowen – Ludlam atau proses kolisi –
koalisensi. Dalam hal ini tetes (drop) membentur dan menangkap
butiran (droplet) awan, jadi tetes awan tumbuh menjadi tetes hujan
(raindrops), sedangkan butiran awan melenyap. Kedua, mekanisme
Bergeron – Findeisen atau proses kristal es. Karena tekanan uap di
atas air kelewat dingin (es) lebih besar dari pada tekanan uap di atas es
(ei), maka tetes air kelewat dingin berdifusi ke kristal es, sehingga kristal
es akan tumbuh dengan mengorbankan tetes air kelewat dingin.
Pertumbuhan butiran awan melalui kondensasi sangat lambat
sehingga tidak dapat menjelaskan terbentuknya tetes hujan. Dari butiran
awan mula-mula yang terbentuk oleh pengintian heterogen melalui inti
kondensasi menjadi ukuran tetes dengan jari-jari 50 m diperlukan
waktu lebih dari 10 jam, sedangkan waktu hidup awan pada umumnya
berkisar dua jam. Dalam awan panas yang mengandung tetes
berukuran heterogen akan menjadi labil akibat beda kecepatan jatuh
vi
terminal di antara tetes-tetes awan. Pertumbuhan awan panas
melibatkan fasa cair melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Tetes yang
mempunyai kecepatan terminal lebih cepat, akan menumbuk dan
menangkap butiran (tetes kecil) yang mempunyai kecepatan terminal
lambat dalam proses koleksi sehingga tetes awan tumbuh menjadi tetes
hujan sedangkan butiran awan akan melenyap.
Jadi pertumbuhan tetes awan panas menjadi hujan adalah
pertumbuhan gabungan, pertama oleh kondensasi melalui difusi
molekul-molekul uap air, kemudian oleh koleksi butiran-butiran awan.
Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu
juta butiran awan melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Pertumbuhan
tetes dalam awan panas bergantung pada ukuran tetes dan butiran awan,
kecepatan jatuh terminal tetes relatif terhadap butiran awan, kadar air
awan, dan efisiensi koleksi yaitu hasil kali efisiensi kolisi dan efisiensi
koalisensi.
Dalam awan dingin yang mengandung campuran tetes awan
kelewat dingin dan kristal es, maka pertumbuhan partikel presipitasi
melalui mekanisme kristal es dengan tiga cara : (i) melalui fasa uap air
yaitu pertumbuhan massa kristal es oleh deposisi uap air seperti
pertumbuhan butiran awan oleh kondensasi, (ii) melalui pembekuan
tetes yaitu pertumbuhan partikel es oleh pembekuan tetes awan kelewat
dingin ketika terjadi tumbukan antara partikel es dan tetes awan,
pertumbuhan dengan cara ini dapat menghasilkan batu es hujan (hail
stone) dengan diameter 1 cm atau lebih, (iii) Melalui penggabungan
yaitu partikel es tumbuh melalui tumbukan dan penggabungan satu
sama lain. Tumbukan terjadi karena ada beda kecepatan jatuh terminal
diantara partikel es dan pelekatan terjadi terutama pada temperatur
kristal es di atas – 5 C ketika permukaan es menjadi sangat lengket.
Curah hujan ekuatorial benua maritim Indonesia sangat
penting, di satu sisi sebagai sumber kehidupan tetapi pada sisi lain
vii
sebagai sumber bencana alam banjir dan kekeringan. Curah hujan
Indonesia juga penting dalam cuaca dan iklim global. Dua pertiga
jumlah curah hujan global terjadi di daerah tropis. Energi panas laten
kondensasi yang dilepaskan ketika uap air berubah fasa menjadi tetes
awan sebagian dipakai sebagai energi sirkulasi atmosfer global. Setiap
gram uap air yang berkondensasi menjadi tetes awan melepaskan
energi panas laten sekitar 2450 joule. Karena itu studi distribusi curah
hujan secara geografis mencerminkan pemahaman distribusi sumber
panas global yang menggerakkan mesin atmosfer global. Di Indonesia,
curah hujan merupakan unsur peubah iklim ekuatorial sebagai indikator
kuantitatif yang sangat penting, misalnya jumlah hujan tahunan,
distribusi hujan musiman dan harian, intensitas hujan dan frekuensi hari
hujan yang menunjukkan variasi spasial dan temporal.
Modifikasi cuaca sudah dilakukan sejak lebih dari 60 tahun
yang lalu, yakni sejak percobaan pembenihan es kering yang dipimpin
oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Kemudian
pada tahun 1947, Vonnegut menemukan AgI yang dapat bertindak
sebagai inti es. Sejarah modifikasi cuaca di Indonesia dimulai sejak
percobaan hujan buatan dilaksanakan untuk mengisi air hujan di Waduk
Jatiluhur pada tahun 1979. Dari jumlah curah hujan tahunan yang
secara rata-rata mencapai di atas 2000 mm, terutama di kawasan
Indonesia bagian barat, maka ketersediaan sumber daya air untuk
pertanian berlimpah. Tetapi mengingat variasi curah hujan temporal dan
spasial sangat besar, maka modifikasi cuaca terutama peningkatan
jumlah curah hujan sangat diperlukan. Dalam irigasi modifikasi cuaca
diperlukan untuk mengisi waduk ketika menjelang atau akhir musim
hujan, sehingga periode pengairan untuk persawahan menjadi lama.
Dalam pertanian, modifikasi cuaca diperlukan untuk memperpanjang
jumlah curah hujan yang dibutuhkan tanaman padi sehingga
meningkatkan jumlah dan hasil panenan.
viii
Modifikasi cuaca berdasarkan pada prinsip-prinsip
mikrofisika awan dan hujan dengan memodifikasi awan secara
buatan atas usaha manusia untuk tujuan peningkatan curah hujan,
menindas batu es hujan (hail stone), melenyapkan kabut atau awan
rendah dan melerai siklon tropis. Modifikasi cuaca di Indonesia
sebaiknya tidak dilakukan pada daerah bertekanan udara tinggi atau
pada lereng di bawah angin, karena pada kedua daerah ini terjadi gerak
turun udara (subsidensi) yang mengalami kompresi (lawan dari
ekspansi) sehingga udara menjadi panas dan awan akan buyar.
Modifikasi cuaca juga tidak dilakukan pada musim kemarau karena
kelembapan kritis garam sebagai inti kondensasi awan tidak tercapai
dan atmosfernya kurang labil. Modifikasi cuaca disarankan pada musim
pancaroba dengan tujuan memperpanjang musim hujan dan
memperpendek musim kemarau. Pada musim pancaroba atmosfernya
masih labil dan kelembapan kritis garam masih dapat tercapai.
ix
Daftar Gambar
x
temperatur
Gambar 5.1a. Foto genus awan : 1. Cirrus, 2. Cirrocumulus, 3.
107
Cirrostratus, 4. Altocumulus, 5. Altostratus, dan 6.
Nimbostratus.
Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus
kabut gunung, 9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus,
108
11. Cumulonimbuskapilatus, 12. Cumulonimbus
presipitasio.
114
Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang
terbentuk pada sebuah inti kondensasi ammonium sulfat.
Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang
dari nilai yang diberikan, untuk 338 sampel dari
117
ketinggian 150 – 2100 m di atas dasar awan dan untuk 86
sampel diambil dalam 300 m dari dasar awan.
119
Gambar 5.4. Variasi frekuensi awan kelewat dingin dan awan yang
mengandung kristal es (Pruppacher and Klet, 1980). 120
Gambar 5.5. Penyajian skematik mikrostruktur awan campuran
132
Gambar 6.1. Pertumbuhan butiran awan dengan kondensasi dalam
lingkungan konstan.
134
Gambar 6.2. Ketergantungan parameter pertumbuhan pada
temperatur dan tekanan. 138
Gambar 6.3. Geometri tumbukan
144
Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan j ari-
jari awal R dan akhir R
0
145
Gambar 6.5. Trajektori Bowen yang dihitung dengan kecepatan arus
udara keatas (Rogers and Yao, 1989)
146
Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada
tabel 6.3 dengan menganggap efisiensi koalisensi satu. 147
Gambar 6.7. Diameter tetes untuk trajektori seperti gambar 6.6.
154
xi
Gambar 7.1. Mekanisme pengintian es dan bagan cara-cara inti es
atmosferik dalam pembekuan es (Rogers and Yau, 1989). 161
Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada
keseimbangan kejenuhan relatif terhadap air. 164
Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk utama kristal es (Rogers, 166
1976).
Gambar 7.4. Bagian tipis melalui pusat pertumbuhan batu es.
176
Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air
untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada 179
absis
Gambar 8.2. Spektra dimensional tetes-tetes hujan 180
Gambar 8.3. Distribusi ukuran tetes yang diukur dibandingkan dengan
kurva eksponensial (Marshall and Palmer, 1948)
182
Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku
diameter tetes yang dihasilkan oleh peleburan keping
salju (Gunn and Marshall, 1958) 198
Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin
yang berasal dari IKA dan IES.
203
Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang
mengandung banyak butiran lebih kecil (Moran and
Morgan, 1947).
206
Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan
mengorbankan butiran air kelewat dingin (Moran and
Morgan, 1997).
210
Gambar 9.4. Variasi kelembapan relatif terhadap waktu. Hasil
pengamatan termohigrograf pada tanggal 3–6 Januari
2006, Kampus ITB, Bandung.
212
Gambar 9.5. Kecepatan terminal sebuah partikel yang jatuh melalui
udara sebagai fungsi ukuran partikel (Moran and
Morgan, 1997). 221
xii
Gambar 10.1. Kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur
untuk garam NaCl 233
Gambar 10.2. Penyajian skematik modifikasi kabut panas oleh
penyemaian partikel higroskopis. 233
Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut
sebagai fungsi temperatur udara dan kadar air awan. 239
Gambar 10.4. Diagram skematik yang menunjukkan efek hipotesis
pembenihan awan-awan cumulus dalam hurricane.
xiii
Daftar Tabel
xiv
Tabel 9.1. Variasi tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran
jenuh dengan temperatur pada tekanan 1000 mb (Moran and
Morgan, 1997) 208
Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes
(Gunn and Kinzer, 1949) 215
Tabel 10.1. Diameter tetes hujan dikaitkan dengan berbagai diameter
partikel aerosol (Rosinski, 1973). 221
xv
Padanan Kata
Indonesia – Inggris
air cair kelewat dingin supercooled liquid water
adiabatik gadungan pseudoadiabatic
aerosol garam laut sea salt aerosol
aerosol raksasa giant aerosol
air cair liquid water
aliran flux
angin tenang calm
antar muka interfacial
awan dingin cold cloud
awan panas warm cloud
awan kembang kol cauliflower cloud
badai guruh thunderstorm
bahan material
baku standard
basah moist
batu es hailstone
batu es hujan hailstone
berdampingan, bersamaan coexist
xvi
bola basah wetbulb
butiran droplet
cairan liquid
cekungan basin
cuaca buruk (bengis) severe weather
cuaca lalu past weather
cuaca sekarang present weather
curah hujan rainfall
daur, siklus cycle
demikian juga likewise
deposisi (endapan) basah wet deposition
deposisi kering dry deposition
endapan, presipitasi precipitation
embun dew
embun beku frost
gadungan / palsu pseudo
garis badai guruh line of thunderstorm
garis awan badai squall lines
gas perunut trace gases
gaya gabung affinity
gelembung air water bubble
gerimis drizzle
geser angin wind shear
golakan turbulent
halus fine
hujan rain
hujan amat lebat (torensial) torrential rains
xvii
hujan buatan rain making
hujan campur salju sleet
hujan deras shower
hujan lebat heavy rains
hujan rangsangan stimulation of rain
idaman ideal
inti kondensasi awan (IKA) cloud condensation nucleus
inti pembekuan, inti es (IES) ice nucleus
jalur track
jambul, bulu plume
jangka range
jelas, tidak samar unambiguous
jenis, golongan genus, plural : genera
kabas smog
kabas (kabut – asap) smog (smoke – fog)
kajian study
kasar coarse
keadaan mantap steady state
keanginan wind blown
kebasahan moisture
kebingungan, kekacauan confusion
kehancuran disintegration
kelembapan humidity
kelewat jenuh supersaturation
kelistrikan, elektrisitas electricity
kilap, kemilau sheen
kilat, halilintar lightning
xviii
kristal embun beku rimed crystal
kristal es ice crystal
khas, unik unique
kumpulan kristal crystal aggregate
landasan, paron anvil
laut terbuka open ocean
lempung, tanah liat clay
lengket sticky
lereng di atas angin windward side (slope)
lereng di bawah angin leeward side
limpasan run off
lingkungan laut marine environment
meringkas summarize
mudah terbakar combustible
mutlak absolute
nyata real
paras level
paras kondensasi terangkat lifting condensation level (LCL)
paras kondensasi konvektif convective condensation level (CCL)
paras peleburan melting level
peleburan melting
pelenyapan dissipation
pembakaran combusition
pembekuan freezing
pengentalan coagulation
pembekuan tetes riming
pembersihan, pemindahan removal
xix
pemuatan listrik, elektrifikasi electrification
penakar hujan raingage
penakar hujan pencatat recording raingage
penampakan, keterbukaan exposure
pengembunan, kondensasi condensation
pengendapan, deposisi deposition
penguapan, evaporasi evaporation
penggabungan aggregation
penguapan evaporation
pengubahan conversion
penimbunan accumulation
penting sekali, gawat crucial
per–awan–an cloudiness
perkembangan, evolusi evolution
permulaan initiation
perpindahan, pelenyapan removal
pertambahan accreation
peubah variable
proses terbalikan reversible process
proses tak terbalikan irrreversible process
puncak ombak putih whitecap
puting beliung tornado
ruang, kamar chamber
salju snow
samar, berarti dua ambiguous
sel konveksional convectional cell
semburan ejection
xx
serpih (keping) salju snowflake
sublimasi sublimation
susut temperatur lapse rate
tambalan, potongan patch
tanah beku frozen soil
tanggap response
tangkapan coalescence
terhadap with respect to
tetes drop
tetes hujan raindrop
titik beku frost point
titik embun dew point
tudung, selubung veil
tumbukan, benturan collision
udara basah moist air
udara kering dry air
ukuran tampak visible size
unsur pokok constituent
variasi ruang dan waktu spatial and temporal variations
zona konvergensi antar tropis intertropical convergence zone (ICZ)
xxi
Daftar Isi
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia 2
1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan 5
1.3. Klasifikasi Awan 8
1.4. Bentuk Utama Awan 12
1.5. Awan Dalam Berita Sinop 15
1.6. Resumé 21
xxii
2.2. Persamaan Keadaan Udara Kering 29
2.3. Bentuk Alternatif Persamaan Energi dan Entropi 31
2.4. Persamaan Keadaan Udara Basah 33
2.5. Peubah Kebasahan 37
2.6. Resumé 42
Bab 3. Proses Fisis Uap Air 45
3.1. Persamaan Clausius – Clapeyron 46
3.2. Aplikasi Persamaan Clausius – Clapeyron 50
3.3. Kejenuhan Udara Basah 55
3.4. Proses Pseudoadiabatik 60
3.5. Proses Adiabatik Udara Jenuh 66
3.6. Resumé 70
xxiii
5.4. Pengaruh Zat Larut 111
5.5. Mikrostruktur Awan 116
5.6. Resumé 120
Bab 6. Pertumbuhan Tetes Hujan Dalam Awan Panas 123
6.1. Pertumbuhan Difusional Butiran Awan 123
6.2. Persamaan Pertumbuhan Butiran Melalui
Kondensasi 128
6.3. Kolisi dan Koalisensi 135
6.4. Persamaan Pertumbuhan Tetes 140
6.5. Trajektori Tetes 143
6.6. Resumé 147
xxiv
8.6. Resumé 192
Bab 9. Modifikasi Cuaca : A. Prinsip Dasar Modifikasi
Awan 195
9.1. Latar Belakang Modifikasi Cuaca 196
9.2. Proses Mikrofisis Presipitasi 199
9.3. Proses Pertumbuhan Partikel Presipitasi 202
9.4. Kecepatan Terminal Partikel Awan dan
Presipitasi 211
9.5. Resumé 216
xxv
Bab 1
Pendahuluan
Penamaan awan juga memakai gabungan dua dari tiga kata dasar
cirrus, stratus, cumulus. Sebagai contoh cirrocumulus (Cc) gabungan
dari kata cirrus dan cumulus, cirrostratus (Cs) gabungan dari kata cirrus
dan stratus, dan stratocumulus (Sc) gabungan dari kata stratus dan
cumulus. Cirrocumulus adalah awan berbentuk gumpalan kecil-kecil
yang terdiri dari serat yang lembut. Cirrostratus adalah awan lapisan
yang tampak berserat. Stratocumulus (Sc) adalah awan lapisan yang
unsur-unsurnya berbentuk gumpalan dengan ukuran horisontal jauh
lebih besar dari pada ukuran vertikalnya.
Proses awan kebanyakan pada skala jauh lebih kecil yaitu skala
yang sebanding dengan dimensi partikel awan dan presipitasi. Proses-
proses ini adalah pembentukan, pertumbuhan butiran awan, dan
interaksinya dengan lingkungan. Tujuan dari fisika awan adalah untuk
menjelaskan bagaimana sebuah butiran awan dapat terbentuk dari fasa
uap, tumbuh menjadi ukuran tampak, kemudian berinteraksi dengan
partikel-partikel awan lain membentuk presipitasi. Penggabungan aspek-
aspek fisika awan ini dinamakan mikrofisika awan dan presipitasi, tetapi
di Indonesia pada umumnya presipitasi (endapan) berbentuk cair atau
hujan, sehingga judul buku ini menjadi Mikrofisika Awan dan Hujan.
Cumulonimbus Biasanya dasar air dan es Awan lebat dan padat. Bagian atas terdiri
(Cb) awan rendah. pada bagian dari es, yang menunjukkan serat-serat dan
Pertumbuhan atasnya biasanya menyebar horisontal dalam
vertikal sampai bentuk sebuah landasan (anvil) atau
tropopause jambul (plume), sering terjadi hujan lebat,
hujan batu es (hail), kilat dan guruh.
1. Awan tetes
Awan tetes sering disebut awan panas, awan ini sebagian partikelnya
terdiri dari tetes air. Tetes air dalam awan berasal dari kondensasi uap
air melalui inti kondensasi awan (IKA) yang ada di atmosfer bawah.
Pertambahan kelembapan sampai ke suatu nilai yang diperlukan
terjadinya kondensasi di atmosfer terutama disebabkan oleh
pendingin adiabatik udara yang mengalami pengangkatan secara
termal atau secara mekanis. Selain oleh kelembapan, pertumbuhan
tetes hasil kondensasi ini ditentukan oleh sifat higroskopis yaitu
kemampuan inti kondensasi seperti garam dapur NaCl dan oleh jejari
tetes (r) atau kelengkungan tetes (1/r). Tetes-tetes awan kebanyakan
berjejari sekitar 10 m (10 mikron), tetapi dengan mekanisme
benturan – tangkapan tetes-tetes awan dapat menjadi tetes hujan
yang berjejari sekitar 1000 m atau 1 mm.
2. Awan es
Awan yang sebagian partikelnya terdiri dari kristal es disebut awan es,
sering disebut awan dingin atau awan campuran. Pada ketinggian
atmosfer tertentu, temperatur mulai lebih rendah dari titik beku, di
Indonesia temperatur titik beku dicapai pada ketinggian atmosfer
antara 4 dan 5 kilometer di atas permukaan laut (d.p.l). Pada ketinggian
atmosfer dengan temperatur di bawah titik beku, tetes awan kelewat
dingin tidak langsung membeku menjadi kristal es semuanya, hanya
Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong, (b) cumulus
dempak.
Arti dari simbol dalam berita sinop yang terdiri dari lima digit
adalah sebagai berikut :
(1) Kelompok IIiii:
II = nomor blok, tiap negara mempunyai satu nomor blok atau
lebih. Indonesia mempunyai dua nomor blok yaitu Indonesia
bagian barat = 96 dan Indonesia bagian timur = 97.
iii = nomor stasiun, contoh: 96743 = stasiun meteorologi Jakarta,
dan
97180 = stasiun meteorologi Ujung Pandang.
(2) Kelompok Nddff :
N : perawanan
dd : arah angin, contoh: dd = 18 angin selatan,
dd = 36 angin utara,
dd = 00 angin tenang (calm),
dan seterusnya
-1
ff : kecepatan angin dalam knot (1 knot ~ 0,5 ms )
Contoh : ff = 22, berarti kecepatan angin 2 knot
ff = 05, berarti kecepatan angin 5 knot
dan seterusnya.
Catatan : Jika kecepatan angin > 100 knot, maka ff diberi sandi
sebagai kecepatan angin yang dikurangi 100 knot, dan sebaliknya
dd ditambah 50.
(6) Kelompok Td Td 9 RR
Kelompok ini hanya berlaku untuk daerah tropis saja termasuk
Indonesia
Td Td : temperatur titik embun dalam F atau C.
9 : angka pengenal.
RR : jumlah hujan dalam 12 jam yang lalu.
Contoh : RR= 00 berarti tidak ada hujan (0 mm).
= 01 berarti hujan 1 mm.
= 02 berarti hujan 2 mm, dan seterusnya.
Berita sinop dan sandi cuaca internasional yang lebih jelas dan
lengkap dapat dibaca pada setiap stasiun meteorologi utama, Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Indonesia, atau dapat dibaca
pada Bab 19, buku Klimatologi, (Bayong Tjasyono, 2004. Tabel 1.2,
menunjukkan sandi-sandi awan rendah (CL), menengah (CM) dan tinggi
(CH).
Termodinamika Udara
tetap.
Syarat perlu untuk gas ideal adalah:
I. Persamaan keadaan gas ideal harus diterapkan, yaitu:
p = R . T (2.8)
ii. Energi internal hanya fungsi temperatur, yaitu:
du = cv.dT
Tinjau kasus dimana panas ditambahkan pada gas dengan volume
dijaga tetap yaitu d = 0, maka persamaan (2.6) dapat direduksi menjadi:
dq = du (2.9)
Makin kecil tekanan (p) atau makin besar volume spesifik (),
maka gas nyata (real) makin mendekati hukum gas ideal.
Dalam hal gas ideal, maka cv konstan, tetapi untuk gas nyata
(2.16)
Keterangan :
R = konstanta gas spesifik
cp = panas spesifik udara pada tekanan konstan
atau :
(2.17)
(2.21)
(2.22)
dq
adalah diferensial eksak, artinya jika diintegrasi sepanjang lintasan
R
tertutup, misalnya pada diagram (, –p), maka hasilnya nol untuk
setiap lintasan tertutup yang dipilih, yaitu:
(2.23)
dq
Entropi spesifik (s) atau entropi
d persatuan massa
T
menghubungkan besaran dq dan T atau . Diferensial dq
menyatakan jumlah panas yang ditambahkan pada satuan massa gas
dengan temperatur T. Entropi spesifik bertambah jika panas diserap oleh
gas dan berkurang jika panas dipindahkan.
(2.25)
(2.26)
atau
(2.28)
Keterangan :
V : volume campuran gas ideal
mn : massa komponen ke–n
Mn : berat molekuler gas komponen ke–n
, volume spesifik gas komponen ke–n
(2.31)
(2.32)
dengan atau
atau
(2.33)
(2.34)
campuran gas, maka menurut persamaan (2.33) untuk dua jenis gas
adalah:
(2.35)
dimana :
M : berat molekuler rata-rata campuran gas (uap air dan udara
kering)
Md : berat molekuler udara kering
Mv : berat molekuler uap air
Diketahui bahwa : R*
Rv
Mv
dan (2.36)
Dengan memasukkanRke R
persamaan 1 maka:
(2.35),
1
m d d* m v *v *
m d R d m v R v
R R R
M md m v md m v
atau
(2.37)
: perbandingan campuran
(2.38)
a. Tekanan uap
Karena air menguap ke dalam udara kering, maka uap
melakukan tekanan, sehingga didefinisikan, tekanan uap atau tekanan
parsial uap air (e) adalah bagian tekanan atmosfer yang dilakukan oleh
b. Kelembapan mutlak
Densitas uap air (rv) disebut kelembapan mutlak (absolute) yang
dihubungkan dengan persamaan keadaan uap air sebagai berikut:
atau
(2.39)
Keterangan :
v : volume spesifik uap air
Rv : konstanta gas spesifik uap air
T : temperatur
c. Perbandingan campuran
Perbandingan campuran kelembapan (the humidity mixing
ratio) udara basah biasanya disebut perbandingan campuran (r), yaitu
perbandingan massa uap air (mv) yang ada terhadap massa udara kering
(md) dalam sampel tersebut, diekspresikan sebagai:
, dengan pd = p – e
Keterangan :
pd : tekanan udara kering
p : tekanan udara basah
Karena ρv εe e
r tekanan uap (e) ~sangat
ε kecil dibanding tekanan udara
ρ pe p
basah (p), maka: v
Rd 287 J kg -1 K 1 (2.41)
ε 0,622
Rv 461,5 J kg 1 K 1
dengan :
d. Kelembapan spesifik
Mv ρv ρv e e
q Kelembapan
spesifik εperbandingan massa
(q) adalah ~ ε uap air
M ρ ρd ρ v p 1 ε e p
dengan massa udara lembap.
(2.42)
(2.43)
q hanya fungsi dari temperatur dan tekanan, dan tidak bergantung pada
s
e. Kelembapan relatif
Kelembapan relatif (relative humidity) adalah rasio
perbandingan campuran dengan nilai jenuhnya pada temperatur dan
tekanan yang sama:
(2.44)
f. Temperatur virtual
Tinjau dua sampel udara, satu basah dan yang lain kering pada
temperatur (T) dan tekanan (p) yang sama. Dengan memakai persamaan
keadaan udara basah dan udara kering secara terpisah, diperoleh:
,udara basah
1 , udara kering
ρm ρ
1 0,61r d
(2.45)
Jadi densitas udara basah (m) lebih kecil daripada densitas udara kering
(d).
2.6.Resumé
Udara kering terdiri dari gas utama (nitrogen, oksigen, argon
dan karbon dioksida) dan gas minor (neon, helium, ozon, kripton, dan
lain-lain). Udara basah terdiri dari udara kering dan uap air. Udara
natural terdiri dari udara basah dan aerosol. Udara basah ditentukan
oleh kombinasi antara termodinamika udara kering dan uap air.
Pengetahuan termodinamika udara basah dipakai untuk memahami
proses-proses fisis yang terjadi di atmosfer. Dalam meteorologi udara
kering dan uap air diperlakukan sebagai gas ideal. Panas spesifik pada
volume dan tekanan konstan dapat ditulis:
Udara lembap adalah campuran dari udara kering dan uap air.
Dalam mikrofisika awan dan hujan, uap air sangat penting dengan
beberapa alasan. Pertama, uap air dapat menjadi partikel awan melalui
kondensasi, dan partikel awan dapat menjadi tetes hujan melalui
mekanisme benturan – tangkapan (awan tetes) atau menjadi kristal es
melalui difusi tetes kelewat dingin ke kristal es (awan es). Kedua, uap air
dapat menyerap radiasi gelombang pendek matahari maupun radiasi
gelombang panjang bumi. Ketiga, uap air mengandung panas laten
Mikrofisika Awan Dan Hujan
45
(terselubung) yang dapat dilepaskan menjadi energi ketika uap air
mengondensasi. Panas laten ini merupakan sumber energi gangguan
atmosfer. Keempat, uap air dapat mempengaruhi kecepatan evaporasi
(penguapan) dan evapotranspirasi. Kelima, uap air di atmosfer dapat
berubah fasa. Keenam, kadar uap air dan distribusi vertikalnya
mempengaruhi kestabilan atmosfer.
Keterangan:
e : tekanan uap
v : densitas uap air
v : volume spesifik (per satuan massa) uap air
Rv : konstanta gas individu untuk uap air
= 0,4615 J g-1 K-1 = 461,5 J kg-1 K-1
A
Gambar 3.1. Uap air dalam keseimbangan dengan permukaan cair.
L dq du pdα u 2 u1 es α 2 α1 (3.3)
q1 u1 α1
Karena fungsi Gibbs G sama untuk kedua fasa maka, dG1 = dG2
dan persamaan (3.8) menjadi :
α1 des 1 dT α 2 des 2 dT
atau
des α 2 α1 dT 2 1
atau
des 2 1
dT α 2 α1
L
dari persamaan (3.4): 2 1
T
des L
(3.9)
dt T α 2 α1
(3.10)
Keterangan :
L : panas laten penguapan
Ls : panas laten sublimasi
2 : volume spesifik uap air
es : tekanan uap jenuh
Rv : konstanta gas uap air
0
Pada temperatur lebih dingin 0 C, persamaan (3.10)
menggambarkan tekanan uap jenuh dari air cair kelewat dingin. Es juga
dapat berada dalam keseimbangan dengan uap pada temperatur di bawah 0
0
C (temperatur beku). Perubahan tekanan uap jenuh es terhadap
temperatur diberikan oleh persamaan Clausius – Clapeyron (3.10), dengan
L diganti oleh Ls yaitu panas laten sublimasi. Pada temperatur lebih panas
0 0C, hanya air cair yang berada dalam keseimbangan dengan uap air.
dengan es0 adalah tekanan uap jenuh pada temperatur T0, yaitu sebuah
konstanta yang harus ditentukan melalui eksperimen. Diperoleh bahwa
0
es0 = 611 Pa = 6,11 mb pada T0 = 0 C. Panas laten penguapan pada
0 6
temperatur sekitar 0 C mendekati 2,50 x 10 J/kg.
es T A eB T (3.12)
dL c pv c dT
L0 T0
L L0 c pv c T T0
atau
LT L 0 c c pv T T0 (3.14)
Gambar 3.2. Tephigram untuk mencari temperatur titik embun (Td) dan temperatur
kondensasi isentropik (Tc).
c
1 r vv
dq
c v r c vv
cv
cv c 1 1,96 r
v
dT 1 r 1 r 1 r
Panas spesifik pada volume konstan untuk udara basah (moist
air) adalah :
dq
c vm ~ c v 1 r , karena : dq c vm dT
dT
c vv 1410 J kg 1 K 1
dengan memasukkan nilai 1,96
cv 718 J kg 1 K 1
Dan panas spesifik udara basah pada tekanan konstan adalah:
c pm c p 1 0,9r (3.19)
dq c pm dT c p dT 1 0,9r (3.20)
L
Tw T rs r
cp
atau
T Tw L
(3.22)
rs p, T r cp
L ε B
Tw T A e Tw r (3.23)
cp p
8
yang dapat dipecahkan dengan iterasi. Konstanta A = 2,53 x 10 k Pa dan
B = 5,42 x 103 K.
c. Temperatur ekivalen
Proses isobarik lain dalam udara basah terjadi ketika uap airnya
mengondensasi pada tekanan tetap. Dalam kasus ini, panas laten yang
dilepaskan selama kondensasi uap air dipakai untuk memanasi udara.
Temperatur yang tercapai ketika semua uap air dalam sampel udara
telah mengondensasi disebut temperatur ekivalen. Secara praktis tidak
ada mekanisme dalam atmosfer yang mencapai pada temperatur
ekivalen. Tetapi dimungkinkan menentukan temperatur ekivalen
pseudo (Tse) dari diagram skew T - np atau tephigram yang secara
pendekatan Tse sama dengan temperatur ekivalen (Te).
Sebenarnya, hal itu tidak jelas bahwa kondensasi akan terjadi bila
ekspansi berlanjut di luar titik kejenuhan.
(3.28)
atau
(3.29)
Gambar 3.3. Ekspansi sampel udara lanjutan (gambar 3.2) di luar titik kondensasi
isentropik P. Garis titik-titik adalah pseudoadiabat melalui P. Diagram
ini menunjukkan penentuan beberapa temperatur teoritis penting (Tsw, w,
dan sebagainya) yang mencirikan sampel udara.
2675r
e exp (3.32)
Tc
a. Proses terbalikan
dan dw c w d n T
Keterangan:
cw : panas spesifik air cair
Q = x + rs : rasio campuran air total
-1 -1
Rd = 287 J kg K : konstanta gas individu untuk udara kering.
T rs L
exp konstan (3.39)
T c p c w Q
R
pd d cw Q
cp
3.6. Resumé
Perubahan fasa uap air memainkan peranan penting dalam
mikrofisika awan dan hujan. Udara basah (udara kering dan uap air)
mengalami pendinginan sampai di bawah temperatur titik embunnya
Aeorosol Atmosferik
Gambar 4.1. Diagram skematik yang menggambarkan cara tetes berselaput (film
droplets) dan tetes pancaran (jet drops) terbentuk jika gelembung udara
pecah pada permukaan laut. Beberapa tetes akan menguap dan
meninggalkan partikel garam laut di dalam udara.
karena itu
dN dD
CD ,
dD d log D
atau
dN d log D CD d n D CD 1
CD .
dD dD n 10 dD n 10 D
Jadi
dN C
D 1 (4.3)
dD n 10
Catatan
e e
log D log 10 . 10 log D n 10 . log D
Jadi,
n D n 10 . log D
atau
n D
log D
n 10
Gambar 4.3. Distribusi permukaan (a) dan volume aerosol (b) berdasarkan
pengukuran ukuran aerosol di Denver, Colorado, ..... : udara kota
tercemar, — : udara kontinental, dan --- : udara kontinental dari abu
gunung (Wallace, 1977).
a. Deposisi basah
b. Deposisi kering
Keterangan :
s : kelewat jenuh dalam persen
S : rasio jenuh
Nc : jumlah inti per satuan volume yang diaktifkan pada
kelewat jenuh kurang dari s.
C, k : parameter yang bergantung pada tipe massa udara.
Nilai tipik untuk udara maritim : C = 30 – 300 cm-3 dan k = 0,3 – 1,0.
-3
Sedangkan untuk udara kontinental : C = 300 – 3000 cm dan k = 0,2 – 2,0.
10
IES per liter udara
0,1
0,01
– 10 – 20 – 30 0C
Gambar 4.4. Ketergantungan konsentrasi inti es (IES) pada temperatur.
Sumber lain dari inti es (IES) adalah bakteria dalam material daun
tanaman rusak yang dapat menjadi inti yang efektif pada temperatur
panas. Telah diketahui bahwa partikel tanah biasanya dapat menjadi aktif
pada temperatur lebih panas dari pada batas ambang untuk kaolinite yang
4.6. Resumé
Aerosol adalah partikel padat atau cair yang mengapung di
udara. Beberapa partikel aerosol bersifat higroskopis dan bertindak
sebagai inti kondensasi awan (IKA). Aerosol terbentuk oleh pemadatan
gas atau oleh disintegrasi cairan atau material padat. Untuk
memudahkan, maka semua jenis aerosol digambarkan berbentuk sferis
(bola). Jangka (range) diameter partikel aerosol dari 10 nm untuk
Pembentukan Awan
Tinggi awan (dasar dan puncak awan) adalah jarak vertikal dari
lokasi pengamatan sampai dengan ketinggian awan. Ketinggian awan
diukur dari daerah pegunungan atau dari permukaan laut. Ketinggian
awan adalah faktor penting untuk menentukan jenis awan. Pengamat
melaporkan ketinggian awan biasanya dari permukaan laut, sehingga
perlu adanya koreksi untuk data dari tempat-tempat lain.
Menengah 2 – 4 km 2 – 7 km 2 – 8 km
Hujan V V V – – –
Gerimis – – – V – –
Keping-keping salju – – V – V V
Salju V V V V V V
Batu es hujan – – – – – V
Catatan: Salju terjadi di daerah yang mempunyai temperatur di bawah 0 0C, misalnya
dalam musim dingin
3 4
5 6
3 4
5 6
Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus kabut gunung,
9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus, 11. Cumulonimbus
kapilatus, dan 12.Cumulonimbus presipitasio.
Jika tekanan uap lingkungan e > es(r) maka tetes dengan jari-jari r
akan tumbuh, sebaliknya jika e < es(r) maka tetes akan lenyap. Ukuran
kritis tetes (rc) dapat ditentukan dengan persamaan :
e es rc 0
atau
e es rc
Substitusikan pada persamaan (5.3), maka diperoleh :
2
e es ~ exp
rc R v L T
atau rasio jenuh S, adalah :
e 2
S exp
es ~ R r
v L c T
2
n S
R v L rc T
Agar tetes yang terbentuk menjadi stabil maka tetes harus tumbuh
pada jari-jari lebih besar rc. Dalam atmosfer, tetes awan terbentuk pada
aerosol yang disebut inti kondensasi. Menurut gaya gabungnya untuk air
maka aerosol diklasifikasikan menjadi higroskopis, netral atau hidrofobik.
Pengintian pada aerosol netral memerlukan kelewat jenuh kira-kira sama
seperti pengintian homogen. Pada aerosol hidrofobik yang tahan basah
(air) pengintian menjadi sulit karena memerlukan kelewat jenuh tinggi.
Tetapi pada aerosol higroskopis yang dapat larut dan mempunyai gaya
gabung untuk air maka pembentukan tetes hanya memerlukan kelewat
jenuh lebih rendah dari pada nilai pengintian homogen.
dimana :
N0 : bilangan Avogadro yaitu jumlah molekul per mol
Ms : berat molekuler zat larut
i : faktor Van't Hoff, untuk klorida sodium dan ammonium
sulfat i ~ 2
ms : massa zat larut
n : jumlah ion dalam zat larut
Keterangan:
Mv : berat molekuler uap air
mw : massa air
n0 : jumlah molekul-molekul air
4 3
Dengan menulis massa air m w r L dimana r adalah jari-jari
3
tetes dan L adalah densitas tetes air, maka persamaan (5.6) dapat
diekspresikan menjadi:
e' b
1 3 (5.9)
es ~ r
Keterangan:
3i m v m s
b
4 L M s
Jika persamaan Kelvin (5.3) dan efek larutan (5.9) digabung, memberikan
persamaan tekanan uap keseimbangan tetes larutan es' r sebagi berikut:
es' r b
1 3 e a / r (5.10)
es ~ r
dengan:
2
a
L R v T
L adalah densitas tetes
Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang terbentuk pada
sebuah inti kondensasi ammonium sulfat dengan massa 10-16 gram.
Tabel 5.4. Nilai-nilai jejari kritis r* dan kelewat jenuh (S* – 1) sebagai fungsi
jejari dan massa inti; dengan menganggap bola (butiran) NaCl pada
temperatur 273 K (Rogers and Yau 1989).
Massa garam Jejari butiran NaCl rs Jejari kritis tetes Kelewat jenuh
terlarut (g) (m) r* (m) (S* – 1) (%)
-16
10 0,0223 0,19 0,42
-15
10 0,0479 0,61 0,13
-14
10 0,103 1,9 0,042
-13
10 0,223 6,1 0,013
-12
10 0,479 19,0 0,0042
Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang dari nilai yang
diberikan, untuk semua 338 sampel (garis tebal) dari ketinggian 150 –
2100 m di atas dasar awan dan untuk 86 sampel (garis tipis) diambil
dalam 300 m dari dasar awan.
5.6. Resumé
Fakta menunjukkan bahwa atmosfer mengandung aerosol
higroskopis yang bertindak sebagai inti kondensasi awan. Proses
dimana tetes air dari fasa uap air terbentuk pada inti kondensasi disebut
pengintian heterogen. Partikel-partikel yang membentuk awan (inti,
tetes awan dan tetes hujan) mempunyai jangka yang lebar mengenai
kecepatan jatuh terminal, konsentrasi dan ukurannya. Awan adalah
sekumpulan tetes yang berjejari sekitar 10 m dan mempunyai
3
konsentrasi berorde 100 per cm . Awan terbentuk jika udara menjadi
kelewat jenuh terhadap air cair atau terhadap es. Di atmosfer, kelewat
jenuh terjadi jika udara mengalami ekspansi dan pendinginan adiabatik
melalui kenaikan parsel udara, misalnya konveksi, orografi atau
konvergensi.
Bila dianggap difusi isotropi, sehingga n(R) atau v(R) tidak bergantung
pada arah keluar dari butiran. Pada setiap titik di dalam medan uap, maka
konsentrasi molekul dianggap memenuhi persamaan difusi berikut:
n
D 2 n (6.1)
t
dimana D adalah koefisien difusi molekuler. Dalam kondisi mantap
(steady state) atau stasioner, dianggap bahwa n/t = 0, sehingga
persamaan (6.1) menjadi:
1 2 n
2 n R 0 R (6.2)
R 2 R R
R adalah jarak n(R) dari pusat butiran. Solusi umum persamaan (6.2)
adalah:
C2
n R C1 (6.3)
R
nR n r R 1 n n r
n
r R n n r
2
R
n
r . r 2 n n r
R R r
r 1 n n r
Keterangan:
m 4 3 π r 3 ρ L : massa butiran
L : densitas air
c : kapasitas panas spesifik
L : panas laten kondensasi
L 4 π r D ρ v ρ vr 4 π r K Tr T
atau
ρ v ρ vr K
(6.10)
Tr T LD
ρ vs vrs T Tr L
1 dengan T ~ Tr (6.14)
ρ vrs T Rv T
2
Secara pendekatan juga dapat dilakukan bahwa TTr ~ T .
Substitusi dari persamaan (6.8) untuk (T – Tr) dan persamaan (6.9) dalam
dT
proses pertumbuhan keadaan mantap r 0 , maka persamaan (6.14)
dT
menjadi:
ρ vs ρ vrs L L dm
1
ρ vrs R v T 4 π r K T dt
dQ dm
dengan L (6.15)
dt dt
r dr t,
r0 0
r r0 pada t 0 dan r r pada t t
r t
1 2
r t r 2 r02 2t
2 r0 0
r t r02 2 t (6.21)
dimana r0 adalah jejari butiran mula-mula. Grafik pertumbuhan butiran
awan menjadi tetes berbentuk parabola dengan pertumbuhan mula-mula
cepat kemudian menjadi lambat, lihat gambar 6.1. Bentuk parabolik
membatasi distribusi ukuran butiran sebagai hasil pertumbuhan.
r0
0
0 t
Jelas dari tabel 6.1., bahwa pertumbuhan butiran menjadi tetes awan
R (m) r (m)
2 4 8 10 20 25
20 x 0,027 0,12 0,17 – 0,75
40 x 0,020 0,40 0,55 0,75 0,91
60 – 0,13 0,57 0,68 0,86 0,95
80 – 0,23 0,68 0,76 0,92 0,96
100 – 0,32 0,73 0,81 0,94 0,96
200 0,039 0,46 0,81 0,87 0,95 0,97
400 0,098 0,51 0,83 0,88 0,96 ~ 1,0
600 0,17 0,54 0,83 0,88 0,98 ~ 1,0
1000 (1 mm) 0,15 0,52 0,82 0,88 0,98 ~ 1,0
1800 0,08 0,45 0,80 0,86 0,94 ~ 1,0
3000 (3 mm) 0,02 0,33 0,71 0,81 0,94
Catatan ; x : tidak dapat ditentukan secara teliti dari data. – : efisiensi kolisi < 0,01.
Catatan:
4
Massa tetes: m πR 3 . ρ L
3
dm dR dR dm dt
4ππ 2ρ L atau
dt dt dt 4ππ 2ρ L
Untuk R >> r maka (u(R) << u(r)) dan u(r) diabaikan terhadap u(R),
sehingga persamaan (6.27) dapat disederhanakan menjadi:
dR EW u R
(6.28)
dt 4ρ L
dimana L adalah densitas air.
Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan jari-jari awal R0 dan
akhir R.
Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada tabel 6.3 dengan
menganggap efisiensi koalisensi satu. Jari-jari tetes awal 20 m. Kadar
air awan 1 g m-3, semua tetes awan mempunyai jari-jari 10 m.
6.6. Resumé
Pertumbuhan tetes melalui kondensasi pada awalnya cepat
tetapi kemudian menjadi lambat. Waktu hidup kebanyakan awan
berkisar satu jam. Pertumbuhan kondensasi dengan difusi molekul-
molekul uap air tidak dapat diharapkan penambahan jejari butiran-
butiran awan lebih dari 20 m. Dari jejari butiran awal 0,75 m
kemudian menjadi butiran dengan jejari 20 m diperlukan waktu
sekitar 2 jam, dan menjadi butiran dengan jejari 50 m diperlukan
waktu sekitar 12 jam.
Di atmosfer, situasi menjadi rumit oleh banyak faktor,
populasi butiran bergantung pada : i). Distribusi ukuran, konsentrasi
dan sifat kimia IKA (inti kondensasi awan). ii). Kecepatan arus udara
keatas yang akan membentuk awan. iii). Percampuran udara berawan
dengan lingkungannya melalui gerak golakan (turbulent). Observasi
menunjukkan bahwa ukuran spektra butiran-butiran awan lebih besar
dari pada yang diperkirakan dari teori.
Pertumbuhan Partikel Es
dalam Awan Dingin
Pengintian spontan uap air menjadi tetes cair tidak akan terjadi di
atmosfer kecuali ada IKA (inti kondensasi awan). Demikian juga
pengintian spontan air di dalam awan tidak akan terjadi kecuali ada IES
(inti es) atau temperatur awan mencapai temperatur – 40 0C. Jadi, jika
sebuah parsel udara awan naik, maka awan akan menjadi es pada
0 0 0
temperatur sekitar – 40 C. Antara temperatur 0 C dan – 40 C tidak
terjadi pengintian spontan. Sejumlah partikel aerosol tertentu
mempunyai sifat memudahkan inisiasi fasa es dalam air, partikel-pertikel
inti disebut inti pembeku atau inti es (IES).
Ambang
Bahan nukleasi
0
Komentar
( C)
1. Bahan murni
Es 0 –
AgI –4 tidak larut
Pb I2 –6 sedikit larut
Cu S –7 tidak larut
Cu O –7 tidak larut
Hg I2 –8 tidak larut
Ag2 S –8 tidak larut
Cd I2 – 12 larut
I2 – 12 larut
2. Mineral
Vaterite –7
Kaolinite (tanah liat) –9 Silikat
Abu vulkanik – 13
Halloysite – 13
Vermiculite – 15
Cinnabar – 16
3. Organik
Testosteron –2
Chloresterol –2
Metaldehyde –5
– Naphthol – 8,5
Phloroglucinol – 9,4
Bactterium “Pseudomonas Syringae” – 2,6 Bakteria dalam
jamur daun
Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada keseimbangan
kejenuhan relatif terhadap air.
Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk-bentuk utama kristal es: a). kolom, b). pelat,
c). dendrite (Rogers, 1976).
dm
E W π R 2 u R (7.5)
dt
7.6. Resumé
Sekali awan tumbuh mencapai ketinggian yang mempunyai
0
temperatur lebih dingin dari 0 C, maka kristal-kristal es mungkin
terbentuk. Dua fasa transisi dapat mengarah pada pembentukan es yaitu
pembekuan butiran air kelewat dingin atau deposisi langsung dari uap
air menjadi fasa es. Pengintian spontan dari uap air menjadi butiran-
butiran air tidak akan terjadi di atmosfer, demikian juga tidak akan
terjadi penginian spontan menjadi kristal es tanpa kehadiran partikel
asing yang disebut inti kondensasi awan (IKA) dan inti es (IES).
Proses Presipitasi
Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air (kurva kontinu)
untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada absis. Skala atas
menunjukkan jejari tetes. Kurva strip-strip adalah untuk kecepatan
pertambahan massa fraksional yang ditunjukkan pada skala sebelah
kanan.
ND N 0 e D (8.1)
dimana N(D) dD adalah jumlah tetes per satuan volume dengan diameter
antara D dan D + dD. Marshall and Palmer (1948) mendapatkan bahwa
faktor kemiringan hanya bergantung pada intensitas hujan dan ditulis
sebagai:
λR 41 R 0, 21 (8.2)
N0 0,08 cm 4 (8.3)
Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku diameter tetes yang
dihasilkan oleh peleburan keping salju.
Sumber Gunn and Marshall, 1958.
Analisa kembali data dari Gunn and Marshall (1958) dan peneliti lain.
Sekhan and Srivastava (1970) menentukan bahwa fungsi eksponensial
Jelas besaran ini dapat menjadi negatif untuk U cukup besar. Sebuah
ukuran jumlah presipitasi yang tidak bergantung kecepatan arus udara
keatas adalah kadar air presipitasi L, yang didefinisikan sebagai:
dengan:
~
L0 4 3 n 0 R 0 R 30 dR 0
0
-3
adalah kadar air hujan inisial. Jika misalnya EW = 1gm , kemudian
a = 2,0 x 10-3 s-1, maka kadar air cair sebesar lipat dua (2 L0), memerlukan
waktu t = (n 2)/3a = 116 sekon = 1,93 menit.
8.6. Resumé
Partikel presipitasi dalam bentuk cair terbatas ukurannya
karena gangguan akan meningkat dngan ukuran tetes hujan. Ketika
diameter tetes mencapai sekitar 6 mm maka tegangan permukaan
tidak dapat lagi menahan tetes. Sebuah tetes dengan diameter sebesar
6 mm menjadi labil dan hanya hidup singkat sebelum mengawali
perpecahan. Pada waktu terjadi perpecahan maka dihasilkan sejumlah
tetes yang lebih kecil. Patahan keping-keping salju mungkin terjadi
oleh kolisi yang bergantung pada jenis dan temperatur kristal es.
Modifikasi Cuaca
Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin yang berasal
dari inti kondensasi awan dan inti es. Graupel : batu es lunak (soft hail)
dengan diameter antara 2 dan 5 mm.
Proses dari fasa uap menjadi tetes air melalui inti kondensasi
disebut pengintian heterogen yang memerlukan kelewat jenuh rendah.
Sedangkan proses dari fasa uap menjadi tetes air dalam lingkungan
murni yang memerlukan kelewat jenuh tinggi disebut pengintian
homogen.
Sebuah butiran yang lebih besar (lebih berat) akan turun lebih cepat
dari pada butiran yang lebih kecil (lebih ringan). Ketika turun, sebuah
butiran besar menumbuk dan bergabung dengan butiran-butiran yang lebih
kecil (kecepatan jatuh lebih lambat) dalam lintasannya, lihat gambar 9.2.
Dengan kolisi dan koalisensi berulang, maka sebuah butiran akan tumbuh,
kecepatan jatuh terminalnya meningkat, sehingga kolisi menjadi lebih
sering. Pada akhirnya, butiran-butiran menjadi cukup besar kemudian jatuh
dari awan dan mencapai permukaan bumi sebagai tetes-tetes hujan.
Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang mengandung
banyak butiran yang lebih kecil. Butiran besar menumbuk butiran-
butiran yang lebih kecil dalam lintasannya dan tumbuh melalui
koalisensi.
Sumber Moran and Morgan, 1997.
(9.2)
ii. Jika jejari tetes awan (r) = 10 m dan jejari tetes hujan (R) = 1 mm.
Proses Kristal Es
Pertumbuhan butiran melalui kolisi – koalisensi penting
terutama di daerah tropis, tetapi di daerah lintang-lintang menengah dan
tinggi kebanyakan presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi berasal dari
proses kristal es atau proses Bergeron. Proses ini dinamakan sesuai
dengan meteorologiwan Scandinavia Tor Bergeron yang pertama kali
membahas proses kristal es pada tahun 1933. Proses Bergeron
0
diterapkan pada awan dingin yang mempunyai temperatur di bawah 0 C
0
(biasanya < – 10 C). Proses kristal es memerlukan keberadaan bersama
(coexistence) uap air, butiran air kelewat dingin, dan kristal es.
Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiran-
butiran air kelewat dingin. Ketika kristal es membesar, jatuh lebih cepat
kemudian menumbuk butiran-butiran air dan kristal es lain dalam
lintasannya. Pada akhirnya, kristal es tumbuh cukup besar kemudian
jatuh keluar awan sebagai keping salju.
Sumber Moran and Morgan, 1997.
Pada suatu hari tenang dan cerah, temperatur udara biasanya naik
dari minimum sekitar matahari terbit menuju maksimum pada waktu
sekitar pukul 13.00 waktu lokal kemudian turun lagi. Jika tekanan uap
atau perbandingan campuran tidak berubah sepanjang hari, tetapi
kelembapan relatif (RH) berubah secara terbalik dengan temperatur udara
yaitu RH tinggi bila temperatur udara rendah atau sebaliknya. Gambar
9.4, menunjukkan pias termohigrograf pengamatan pada tanggal 3 – 6
Januari 2006, di Kampus ITB, Bandung. Setelah matahari terbit ketika
udara menjadi panas, kelembapan relatif turun, bukan karena udara
menjadi kering tetapi karena temperatur udara naik yang berarti tekanan
uap jenuh meningkat.
Gaya seret (drag force) fluida viskus yang bekerja pada sebuah
bola dengan jejari r dapat diekspresikan sebagai:
π 2 2
FR r u ρ CD (9.5)
2
Keterangan :
FR : gaya seret fluida viskus
r : jejari bola
u : kecepatan bola relatif terhadap fluida
: densitas fluida
CD : koefisiensi seret (drag coefficient) yang memberi sifat aliran
atau
C R
FR 6 π μ ru D e (9.6)
24
dimana adalah viskositas dinamis fluida dan Re adalah bilangan
Reynolds yang didefinisikan sebagai:
Re μ
R e 2 ρ ur μ atau ρ
2 ur
Mikrofisika Awan Dan Hujan
212
Gaya gravitasional pada bola adalah:
4 3
FG μr g ρ L ρ (9.7)
3
Keterangan :
L : densitas air berbentuk bola
: densitas udara
g : percepatan gravitasi
2 r 2 g ρL 2
u k1 ,runtuk tetes awan : r ~ 40 m (9.10)
9 μ
Keterangan: 1/2
3 ρ0
k2 : 2,2 x 10 cm1/2 s 1
ρ
: densitas udara
-3 3 -3
0 : densitas udara referensi = 1,2 x 10 g/cm = 1,2 kg m
sesuai dengan udara kering pada tekanan 1013 mb dan
temperatur 20 0C.
Hukum akar kuadrat berlaku untuk tetes hujan dengan jejari 0,6
3 1/2 -1
mm < r < 2 mm dengan k2 ~ 2,01 x 10 cm s , karena secara pendekatan
0/ ~ 1.
Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes(Gunn
and Kinzer, 1949)
Diameter Kecepatan jatuh Diameter Kecepatan jatuh
(mm) (ms-1) (mm) (ms-1)
0,1 0,27 2,6 7,57
0,2 0,72 2,8 7,82
0,3 1,17 3,0 8,06
0,4 1,62 3,2 8,26
0,5 2,06 3,4 8,44
0,6 2,47 3,6 8,60
0,7 2,87 3,8 8,72
0,8 3,27 4,0 8,83
0,9 3,67 4,2 8,92
1,0 4,03 4,4 8,98
1,2 4,64 4,6 9,03
1,4 5,17 4,8 9,07
1,6 5,65 5,0 9,09
1,8 6,09 5,2 9,12
2,0 6,49 5,4 9,14
2,2 6,90 5,6 9,16
2,4 7,27 5,8 9,17
Modifikasi Cuaca
Tabel 10.1. Diameter tetes hujan (D, mm) dikaitkan dengan berbagai diameter
partikel aerosol (d) dalam mikron. (Rosinski, 1973).
ii. Jika ada partikel es dalam awan campuran, maka partikel es akan
tumbuh oleh deposisi dengan mengorbankan tetes air kelewat
dingin, kemudian dengan pembekuan (riming) dan koleksi
(aggregation). Kelabilan awan disebabkan tekanan uap di atas air
kelewat dingin lebih besar ketimbang di atas es pada temperatur di
0
bawah 0 C yang sama.
a. Pembuyaran Kabut
1. Kabut Panas
Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut sebagai fungsi
temperatur udara dan kadar air awan.
Anthes, R. A., 1982. Tropical Cyclones : Their Evolution, Structure and Effects,
American Meteorological Society.
Battan, L. J., 1973. Radar Observation of the Atmosphere, The University of Chicago
Press, Chicago.
Bayong Tjasyono HK.,1985. Tropical Storm Effect With Respect to Weather Over The
Indonesian Region, Proc. ITB, Vol. 18, No. 2, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., 1997. Kaji Awan Konvektif Berdasarkan Pengukuran
Radiosonde, J. IPTEK Iklim dan Cuaca, No. 1, BPPT, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 2000. Awan Konvektif di atas Benua Maritim Indonesoa, J.
Meteorologi dan Geofisika, Vol. 1, No. 4, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 1995. Peramalan Badai Guruh Berdasarkan Indeks Ancaman
Cuaca Buruk, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan
Meteorologi, ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., and Zadrach L. Dupe, 1996. Same Aspect of Convective
Thunderstorm Deduced from Stability Index, Porc. of
International Symposium on Equatorial Atmospheric Observation
Over Indonesia, RASC – ITB – LAPAN, Bandung
Bayong Tjasyono HK., 1997. Pola Pembentukan Awan Petir di Indonesia, Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Petir, ITENAS, Bandung.
Bayong Tjasyono HK., Atika L., and Hadi T. W., 1993. The structure of Convecture
Clouds based on the Analysis of Upper Air Sounding, Proc. of
International Symposium on Equatorial Atmospheric Observation
Over Indonesia, RASC – BPPT – LAPAN, Jakarta.
1. Abjad Yunani
2. Tekanan Uap Jenuh
3. Daftar Simbol dan Kejelasan
Dalam buku Mikrofisika Awan dan Hujan, dipakai abjad Latin dan
abjad Yunani untuk mengekspresikan sebuah persamaan fisis. Dalam
Lampiran 1, dicantumkan huruf kecil dan huruf besar Yunani. Huruf besar
Yunani yang sama dengan huruf Latin ditandai oleh tanda kurung ( ).