Anda di halaman 1dari 188

BAB 1

PENDAHULUAN

Desa Kertabumi merupakan salah satu Desa di


Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis Jawa Barat yang
terbagi dalam empat Dusun, yaitu Dusun Sukamulya di
sebelah utara, Dusun Nagrog di sebelah barat, Dusun Desa
di sebelah selatan dan Dusun Bunder di tenggara. Batas
wilayah administratif Desa Kertabumi dengan Desa lainnya
di Kecamatan Cijeungjing yaitu Desa Karangkamulyan di
sebelah timur, Desa Karanganyar di sebelah barat, Desa
Danasari di sebelah utara, Desa Bojong dan Desa
Cijeungjing di sebelah Selatan. Sedangkan batas
Kecamatan Cijeungjing yaitu Kecamatan Sukadana di utara,
Kecamatan Cimaragas di sebelah selatan, Kecamatan
Cisaga di sebelah timur dan Kecamatan Ciamis di sebelah
barat.
Sumber daya manusia dari data Potensi Desa Dan
Kelurahan keluaran tahun 2018 tercatat jumlah penduduk
Desa Kertabumi 2816 orang, dengan kepadatan
475,59/Km. Sedangkan luas wilayah Desa Kertabumi yang
digunakan untuk tanah sawah, tanah kering, tanah basah,
tanah perkebunan, tanah hujan dan fasilitas umum
mencapai 609,94 Ha. Tanah Hutan yang merupakan suaka
alam luasnya 9 Ha. Sedangkan tingkat kemiringan tanah
mencapai 15 derajat. Iklim Desa Kertabumi suhu hariannya
rata-rata 35 derajat celcius dengan curah hujan 30 mm.
Bentang alam Desa Kertabumi merupakan daerah

1 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


perbukitan yang terbentuk dari batuan breksi vulkanik
dengan ketinggian rata-rata 123 mdpl1.
Desa Kertabumi dilalui oleh aliran Sungai Cimuntur,
Sungai Cileueur serta Sungai Cibuyut. Sungai Cibuyut
mengalir dari barat laut ke tenggara, dan bermuara di
Cileueur. Sedangkan Sungai Cileueur yang berhulu di
Gunung Sawal dan melintasi jantung Kota Ciamis akhirnya
bertemu dengan Cimuntur di timur laut kaki Gunung
Susuru. Pertemuan kedua sungai tersebut disebut
Patimuan, Selanjutnya, aliran Cimuntur yang berhulu di
Kecamatan Panjalu meneruskan aliran Cileueur ke arah
tenggara dan bertemu dengan Citanduy, yaitu di patimuan
bojong Situs Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan,
Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Dalam bahasa sunda istilah tempuran disebut
patimuan, yaitu titik pertemuan dua atau lebih aliran
sungai. Biasanya nama sungai yang digunakan dari
tempuran tersebut merujuk sungai yang lebih lebar dan
panjang alirannya. Dalam Bahasa Sunda juga ditemukan
beberapa istilah sungai seperti walungan, wahangan, dan
susukan. Hal tersebut untuk membedakan sungai menurut
ukuran, panjang, kedalaman dan debitnya. Walungan dan
wahangan terbentuk secara alamiah, sedangkan solokan
atau susukan dibuat oleh manusia dan digunakan sesuai
kepentingannya.
Citanduy termasuk bengawan atau sungai besar
yang alirannya tidak terputus dari hulu sampai hilir dan
bermuara ke laut. Alirannya menjadi batas wilayah baik

1
Laporan Potensi Desa dan Kelurahan, Desa Kertabumi Kecamatan
Cijeungjing, Ciamis tahun 2018.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 2


Desa, Kecamatan, Kabupaten maupun Provinsi. Sungai
Citanduy berhulu di Gunung Cakrabuana (Desa Guranteng,
Pagerageung Tasikmalaya) mengalir sepanjang 178 km
dan bermuara di Samudra Hindia. Muaranya disebut Muara
Citanduy terletak di Segara Anakan, yaitu diantara Desa
Pamotan di Kecamatan Kalipucang, Kabupaten
Pangandaran (Jawa Barat) dengan Kampung Laut dan Desa
Tambakreja Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah).
Sedangkan Cimuntur dan Cileueur terputus pada
patimuan. Patimuan antara Cileueur dan Cimuntur
menandai berakhirnya aliran Cileueur di patimuan Gunung
Susuru dan selanjutnya aliran sungai tersebut disebut
Sungai Cimuntur. Sungai Cimuntur kemudian dilanjutkan
oleh Citanduy sehingga Cimuntur disebut Sub DAS Citanduy

Patimuan Cimuntur dan Cileueur (dok Tapkkaruhun)

3 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


bagian hulu. 2 Walaupun demikian Cimuntur dan Cileueur
memenuhi syarat sebagai walungan atau sungai besar.
Sedangkan Cibuyut yang melintasi Desa Kertabumi
termasuk wahangan yang alirannya tidak begitu panjang.
Dari wahangan Cibuyut dibuatlah susukan atau solokan
untuk mengairi sawah dan balong (kolam) terutama di
kawasan Dusun Nagrog dan sekitarnya.
Aliran Sungai Cimuntur dan Cileueur termasuk
sungai meandering atau sungai yang berkelok-kelok.
Beberapa kelokannya membentuk tapal kuda (oxbow)
sehingga daratan yang berada di daerah aliran sungainya
membentuk bojong. Bojong adalah daratan yang menjorok
ke sungai. Istilah bojong juga banyak dijadikan nama
tempat atau kawasan di tatar sunda yang topografinya
memiliki karakteristik tersebut. Di Desa Kertabumi terdapat
beberapa nama tempat yang menggunakan kata bojong.
Yang paling dikenal adalah Bojong Gunung Susuru.
Kawasan Bojong Gunung Susuru merupakan
tonjolan bukit yang menjorok dan diapit oleh Sungai
Cileueur dan Cimuntur yang bertemu di timur laut Bojong
Gunung Susuru. Di bagian barat laut Bojong Gunung
Susuru juga terdapat tempat bernama Bojong Gandu.
Selanjutnya di timur laut Bojong Gunung Susuru terdapat
tempat yang disebut Bojong Jati atau disebut juga
2
DAS Citanduy terbagi tiga bagian yaitu DAS bagian hulu, DAS
Bagian Tengah dan DAS Bagian Hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai
kawasan penyangga daerah tengah dan hilir. Das bagian hulu dicirikan
sebagai daerah dengan tutupan lahan pegunungan dengan variasi
topografi dengan slope rata-rata 0,035 (curam), dan mempunyai curah
hujan tinggi. Yang termasuk DAS Bagian hulu yaitu, Sub DAS Citanduy
hulu, Sub DAS Cimuntur dan Sub DAS Cijolang, lihat Ali Nurdin, DAS
Citanduy.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 4


Balandongan yang menjorok di aliran sungai Cimuntur.
Tepat di arah tenggara Bojong Jati atau di timur laut
Gunung Susuru terletak patimuan Cimuntur dan Cileueur.
Meandering sungai juga menyebabkan terjadinya
gosong (bar longitudinal) atau pulau di tengah sungai.
Dalam bahasa sunda gosong disebut juga nusa. Di Kawasan
Desa Kertabumi terdapat beberapa nusa kecil di tengah
Sungai Cimuntur, salah satunya disebut érétan. Penyebutan
ini berasal dari fungsi tempat tersebut dimasa lalu sebagai
lokasi penyebrangan perahu dari Bojong Gunung Susuru ke
Balandongan. Érétan merupakan tempat penyebrangan di
sungai dengan menggunakan perahu atau rakit yang diéret
atau ditarik melalui bentangan tali dari tepi sungai sampai
ke sebrang sunagai.
Selain berfungsi sebagai penyebrangan sungai,
érétan merupakan budaya sungai yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya sebagai bagian dari sarana
transportasi sungai. Seiring berkembangnya waktu,
terutama meningkatnya sarana transportasi, yaitu
pembuatan jalan baru dan pembangunan jembatan serta
bergesernya wilayah pemukiman, maka eretan yang berada
di Kertabumi mulai ditinggalkan, hanya menjadi toponimi
dari tempat yang pernah difungsikan sebagai perlintasan di
masa lampau.
Sungai merupakan salah satu pangkal terciptanya
sejarah kebudayaan dan peradaban. Manfaat sungai tidak
saja dijadikan sebagai sarana lalulintas, irigasi dan
transportasi, namun daerah alirannya juga memberi ruang
terbentuknya pemukiman-pemukiman penduduk dengan
berbagai aktivitasnya, baik sebagai pusat
perdagangan,kebudayaan, keagamaan, dan pusat

5 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


pemerintahan. Cimuntur merupakan anak Sungai Citanduy
yang mengalir sepanjang 48,03 km melintasi Kecamatan
Kawali, Lumbung, Sukadana, Cipaku, Ciamis, dan
Cijeungjing. Sumber aliran Cimuntur berasal dari mata air di
Gunung Sawal di ketinggian 1600 mdpl dan hulunya
diantaranya berada di kawasan pegunungan Desa Bahara
Panjalu.
Tempat-tempat yang dilalui oleh aliran Cimuntur,
dari hulu sampai muaranya di Citanduy, merupakan
kawasan-kawasan kuno yang banyak meninggalkan jejak
sejarah. Desa Bahara Panjalu sebagai hulu Cimuntur
merupakan salah satu kawasan sakral yang memiliki kaitan
erat dengan Kerajaan Panjalu. Salah satu hulu Cimuntur
lainnya juga terdapat di daerah Tajur, Maparah Panjalu,
yang dikenal dengan nama Curug Go’ong. Di atas Curug
Go’ong merupakan kabuyutan tempat berkedudukannya
salah satu Batara Salapan Panjalu yang bernama Sri
Pakentila.
Kawali yang dilintasi Cimuntur merupakan pusat dari
Kerajaan Sunda Galuh pada abad 14-15 Masehi. Di Kawali,
Cimuntur juga melintasi Desa Winduraja, yaitu tempat yang
disebut-sebut dalam beberapa naskah kuna sebagai tempat
mokteng3beberapa raja yang memerintah kerajaan Sunda,

3
Mokteng berasal dari kata moksa yang bermakna kebebasan dari
ikatan duniawi, lepas dari reinkarnasi, sebagai bagian dari konsep Hindu-
Buddha. Moksa mendapat akhiran ing yang bermakna di. Sehingga Sang
mokteng berarti Ia yang moksa di. Selain Mokteng, juga dikenal istilah
Lumahing yang berasal dari kata lumah yang berarti telentang, mati atau
tempat. Sang Lumahing dapat diartikan Ia yang mati di. Sebutan Sang
Mokteng dan Sang Lumahing banyak digunakan sebagai anumerta untuk
raja-raja yang sudah meninggal.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 6


Galuh dan Galunggung dari abad 10-11 Masehi.4 Demikian
pula daerah-daerah di lintasan aliran Cimuntur dari Cipaku
sampai ke Cijeungjing merupakan kawasan-kawasan yang
banyak meninggalkan jejak sejarah dari masa ke masa.
Peranan sungai sebagai penyimpan data budaya
peradaban manusia merupakan keniscayaan. Berbagai
temuan arkeologi yang membuka cakrawala sejarah banyak
ditemukan di daerah aliran sungai. Selain melintasi daerah-
daerah yang sarat dengan data sejarah, disepanjang
daerah aliran Cimuntur juga banyak ditemukan berbagai
situs sejarah. Situs-situs tersebut berupa makam-makam
kuna maupun situs religi dari masa klasik. Masyarakat
menyebutnya kabuyutan, karamat, tabet, pamujaan,
pamunjungan dan patilasan.

4
Menurut naskah-naskah Pangeran Wangsakerta, Prabu
Brajawisesa, Prabu Darmaraja dan Prabu Darmakusumah adalah
penguasa-penguasa Sunda,Galuh dan Galunggung yang disebut sebagai
Sang Moteng atau Sang Lumahing Winduraja.

7 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


BAB II
DARI MUNTUR MENUJU KERTABUMI

A. Muntur Di Abad 7 Masehi

Salah satu kawasan yang memiliki konteks sejarah


dengan Cimuntur adalah Desa Kertabumi di Kecamatan
Cijeungjing, Ciamis. Pada tahun 1585 Masehi di kawasan
yang dilintasi Cimuntur ini berdiri Kerajaan Kertabumi.
Penguasanya bernama Rangga Permana atau lebih dikenal
sebagai Prabu Di Muntur. Sebutan Prabu Di Muntur
menjelaskan bahwa kawasan Muntur merupakan wilayah
kekuasaan Rangga Permana yang dipusatkan di Kertabumi
sehingga nama kerajaan lebih dikenal sebagai Kertabumi.
Berdirinya Kertabumi sebagai salah satu pusat
pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari sejarah Galuh
yang terbentang panjang. Eksistensi Galuh Kertabumi di
abad 16 Masehi menjadi salah satu periode transisi dari
masa Hindu-Budha ke masa perkembangan Islam.
Penggunaan nama Muntur sebagai wilayah
kekuasaan merujuk kepada Sungai Cimuntur yang mengalir
dari Kecamatan Panjalu sampai Kecamatan Cijeungjing
Kabupaten Ciamis. Arti kata muntur memiliki persamaan
dengan gemuruh. Hal tersebut disebabkan suara sungai
yang terdengar bergemuruh, terutama saat musim hujan
dan banjir. Karena adanya Cimuntur sebagai sungai yang
cukup besar dan memiliki peranan penting dalam berbagai
kebutuhan religi dan budaya, maka berkembanglah sistem
pemerintahan di kawasan Sungai Cimuntur.
Namun kawasan Muntur sebagai wilayah
pemerintahan mengalami dinamika dalam

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 8


perkembangannya karena terjadinya perubahan-perubahan,
baik itu suksesi di pusat kekuasaan yang membawahi
Muntur, maupun orientasi religi yang berubah. Pada suatu
waktu Muntur berada di bawah kekuasan Galunggung
namun di masa berikutnya berada di bawah kekuasaan
Galuh. Demikian pula orientasi religi yang berubah, dari
wilayah yang bercorak Hinduisme menjadi wilayah yang
dominan Islam. Untuk menyelidiki sejak kapan eksistensi
kesejarahan Muntur maka diperlukan beberapa tinjauan
dari sumber sejarah yang menyebut tentang Muntur.
Sejauh ini sumber sejarah primer seperti prasasti yang
menyebut Muntur belum ditemukan. Maka penelusuran
tentang Muntur sampai saat ini hanya mengandalkan
sumber sekunder yaitu naskah-naskah kuna yang terbatas
menyinggung tentang Muntur.
Dari beberapa sumber naskah seperti naskah Carita
Parahyangan, Carita Pararatwan I Bumi Jawakulwan,
Nagarakretabhumi, Babad Galuh dan Babad Galuh
Imbanagara, disebutkan bahwa jauh sebelum Kertabumi
berdiri, Muntur sudah disebut sebagai salah satu
kabupatian di bawah kekuasan Galunggung di abad 7
Masehi sampai kemudian menjadi kabupatian di abad 16
Masehi. Abad 16 merupakan masa perubahan Muntur dari
masa klasik ke masa Islam. Demikian pula naskah
Bujanggamanik, Warugan Lemah dan Naskah Swawarcinta
hanya memberi gambaran umum dalam mendeskripsikan
konsep kabuyutan yang berada di Muntur.
Sebagai satu kawasan pemerintahan di masa lalu,
Muntur merupakan bagian dari Kerajaan Galuh dan
disebutkan karena adanya sebab dan akibat yang terjadi
dalam peristiwa-peristiwa sejarah di Galuh. Menurut

9 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


naskah Carita Parahyangan sebagai sumber tertua yang
ditulis abad 16 Masehi, menyebutkan bahwa putra sulung
Wretikandayun yang bernama Rahiyang Sempakwaja
diangkat menjadi Danghiyang Guru di Galunggung.
Sedangkan dua orang adiknya yaitu Rahyangta Kidul
menjadi Batara Hyang Buyut di Denuh dan Rahiyangtang
Mandiminyak menjadi penguasa di Galuh. Kalimat lengkap
dari naskah Carita Parahyangan berbunyi :

Disilihan ku Rahiyangtang Mandiminyak. Seuweu


Rahiyangta ri Menir, teluan sapilanceukan; anu cikal
nya Rahiyang Sempakwaja, adeg Batara Dangiyang
Guru di Galunggung; Rahiyangtang Kedul, adeg
Batara Hiyang Buyut di Denuh; Rahiyangtang
Mandiminyak adeg di Galuh.5

Menurut naskah-naskah Wangsakerta baik itu


Nagarakretabhumi, Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara
maupun Pustaka Pararatwan i Bumi Jawa Kulwan,
Sempakwaja lahir tahun 620 M. Sedangkan Rahyangta
Kidul alias Jantaka lahir tahun 622 M, dan Mandiminyak
alias Amara lahir tahun 624 Masehi. Ketiga putra
Wretikandayun ini lahir dari Dewi Candraresmi, permaisuri
sang Wretikandayun. Pada saat itu kekuasaan
Wretikandayun masih menjadi raja di Kendan dibawah
kekuasaan Tarumanagara. Beberapa penguasa
Tarumanagara yang pernah menjadi jungjungan
Wretikandayun yaitu Sang Kretawarman, Sang

5
Atja, Tjarita Parahjangan, Jajasan Kebudajaan Nusalarang
Bandung, 1968

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 10


Sudawarman, Sang Dewamurti, Sang Linggawarman, dan
Sang Tarusbawa. Tahun 670 M Wretikandayun sebagai
penguasa Galuh akhirnya memisahkan diri dengan
Tarumanagara yang saat itu sudah berganti nama menjadi
Kerajaan Sunda dibawah kekuasaan Maharaja Tarusbawa.
Peristiwa pemisahan Kerajaan Sunda dan Galuh itu
berlangsung dengan damai. Tarusbawa sebagai penguasa
Kerajaan Sunda menyadari bahwa pamor Tarumanagara
semakin turun dan memiliki keterbatasan untuk mengelola
kekuasaanya yang luas. Untuk menghindari terjadinya
perselisihan antar saudara maka tuntutan Wretikandayun
yang ingin memisahkan diri disetujui oleh Tarusbawa.
Dalam kesepakatan tersebut yang menjadi batas dua
kerajaan adalah Sungai Citarum. Wilayah timur Citarum
menjadi kekuasaan Kerajaan Galuh dan wilayah barat
Citarum menjadi wilayah Kerajaan Sunda. Maka sejak 670
Masehi, Galuh menjadi kerajaan merdeka yang membawahi
sebagian besar kerajaan-kerajaan di wilayah timur Citarum.
Galunggung sebagai bagian dari Kerajaan Galuh
oleh Wretikandayun diwariskan kepada Sempakwaja. Putra
sulung Wretikandayun ini tidak mewarisi takhta Galuh dari
ayahnya, demikian pula adiknya yang bernama Jantaka
yang menjadi resi di Denuh hanya menjadi penguasa
Wanayasa. Yang menjadi putra mahkota adalah
Mandiminyak yaitu putra ketiga Wretikandayun yang
diangggap lebih pantas. Tidak cacat jasmani seperti
Sempakwaja dan Jantaka. Maka Mandiminyak naik takhta
tahun 702 Masehi, menggantikan ayahnya yang wafat
dalam usia 111 tahun. Pernikahan Sempakwaja dengan
Pwah Rababu dari Kendan melahirkan dua orang putra

11 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


yaitu Purbasora yang lahir tahun 643 Masehi dan
Demunawan lahir tahun 646 Masehi.
Ketika Galuh merdeka tahun 670 Masehi, usia
Sempakwaja yang lahir tahun 620 adalah 50 tahun. Dan
ketika ayahnya wafat tahun 702 Masehi usia Sempakwaja
adalah 82 tahun. Pada saat itu Sempakwaja sudah menjadi
Batara Danghyang Guru di Galunggung. Demikin pula
dengan Jantaka yang sudah menjadi Resiguru Wanayasa di
Denuh. Dari gelarnya yaitu Batara Danghyang Guru dan
Resiguru, kedua putra Wretikandayun ini lebih
mengutamakan keagamaan dalam memimpin wilayahnya.
Sehingga Galunggung pun dikenal sebagai Kabataraan.
Nama Muntur disebut dalam naskah Carita
Parahyangan manakala terjadi konflik peperangan antara
keturunan Wretikandayun. Bibit persoalan perebutan
kekuasaan di Galuh muncul ketika terjadi perselingkuhan
antara Pwah Rababu, istri Sempakwaja dengan Sang
Mandiminyak pada saat diselenggarakan pesta perjamuan
(utsawakarma) di Galuh. Pwah Rababu datang menghadiri
perjamuan tersebut mewakili suaminya yang sakit. Kedua
putranya yaitu Purbasora dan Demunawan tidak ikut ke
Galuh karena mengurus ayahnya. Ketampanan dan rayuan
Mandiminyak yang sepertinya sudah menaruh hati kepada
kakak iparnya itu akhirnya membuat Pwah Rababu yang
masih muda dan cantik itu menjadi tergoda.
Naskah Carita Parahyangan menceritakan hal
tersebut dengan narasi
... Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa
parungon, tatabeuhan di Galuh. Pulang ka Galuh
teter nu ngigel. Sadatang ka buruan ageung, carék
Rahiyangtang Mandiminyak, "Sang Apatih, na saha

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 12


éta?" "Béjana nu ngigel di buruan ageung." "Éta
bawa sinjang saparagi, iweu kéh pamalaan aing.
Téhér bawa ku kita keudeukeudeu!" Leumpang sang
apatih ka buruan ageung, dibaan ka kadatwan na
Pwah Rababu. Dipirabi ku Rahiyangtang
Mandiminyak, dirabi kasiahan na Pwah rababu.
Diseuweu patemuan, dingaranan Sang Salah.

Terjemahan :
Mendengar bunyi gamelan ramai bergemuruh, tak
menentu kedengarannya, gamelan di Galuh. Maka
Pwah Rababu kembali ke Galuh, penuh dengan
orang yang menari. Ketika Ia tiba di halaman besar,
Kata Rahyangtang Mandiminyak ; “Sang patih, siapa
itu?”. “Kata orang ada yang menari di halaman
besar.” “Nih, bawa kain seperangkat. Selesaikanlah.
Ini tanggungjawabku. Lalu bawa olehmu. Paksa !”.
Pergilah Sang Patih ke halaman besar. Dibawalah
Pwah Rababu ke keraton. Diperistri oleh
Rahyangtang Mandiminyak. Dikawin karena sangat
cintanya kepada Pwah Rababu. Beranak dari
pergaulan ini, dinamai Sang Salah.6

Dari perselingkuhan itu lahirlah Sang Sena alias


Sang Salah tahun 661 Masehi. Dengan demikian Sena
adalah adik tiri Purbasora dan Demunan, satu ibu beda
ayah. Sempakwaja yang mengetahui peristiwa tersebut
tetap memaafkan dan menerima kembali Pwah Rababu di

6
Ma’mur Danasasmita, Wacana Bahasa Dan Sastra Sunda Lama,
STSI Press Bandung (2001), hlm. 96-97

13 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Galunggung.Sedangkan Sena diserahkan kepada
Mandiminyak. Skandal itu diketahui dan menggemparkan
kalangan keluarga kerajaan. Untuk meredam pergunjingan
dikalangan keraton maka Wretikandayun menjodohkan
Mandiminyak dengan Dewi Parwati, putri Raja Kalingga
bernama Prabu Kartikeyasingha dan Ratu Sima. Dari
perkawinan Mandiminyak dengan Dewi Parwati maka
lahirlah Putri Sanaha. Baik Sena maupun Sanaha adalah
kakak beradik, putra-putri Mandiminyak lain ibu.
Tahun 670 Masehi, kekuatan Sriwijaya tengah
berkembang pesat. Dan Tahun 676 Masehi Sriwijaya yang
awalnya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Melayu
Sribuja mulai memberontak dan menguasai separuh
wilayah Melayu Sribuja. Dibawah kepemimpinan Dapunta
Hyang Sri Jayanasa berturut turut kerajaan Pali dan
Mahasin diserang dan ditaklukan. Tahun 682 Masehi, sisa
kerajaan Melayu Sribuja di Minangkabau yang dikuasai oleh
uwaknya Prabu Kartikeyasingha menjadi sasaran serangan
Dapunta Hyang. Melihat hal tersebut Maharani Sima
menggalang kekuatan dengan kerajaan-kerajaan
sahabatnya, diantaranya Cina dan Galuh. Maharani Sima
tidak menggalang persekutuan dengan Sunda karena
Tarusbawa maupun Dapunta Hyang Srijayanasa memiliki
hubungan kekerabatan yaitu sama-sama menantu Sang
Maharaja Linggawarman, penguasa terakhir Tarumanagara.
Maka untuk memperkuat kedudukan Kalingga
dengan Galuh, Maharani Sima menikahkan cucunya yaitu
Sanaha dengan Sena. Perkawinan sesama saudara tersebut
disebut perkawinan manu atau perkawinan dengan belahan
sendiri. Dari perkawinan Sanaha dengan Sena lahirlah
Sanjaya pada 683 Masehi. Tahun 702 Masehi Sang

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 14


Wretikandayun wafat, maka Mandiminyak pulang ke Galuh
dan menjadi penguasa di Galuh. Sementara istrinya, Ratu
Parwati tetap di Kalingga. Untuk menjalin kembali
hubungannya dengan Kerajaan Sunda, maka Mandiminyak
menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan cucu Prabu
Tarusbawa yang bernama Teja Kancana Ayupurnawangi.
Skandal antara Mandiminyak dan Pwah Rababu
menimbulkan dampak yang tidak harmonis di keluarga
Kerajaan Galuh. Kehadiran Mandiminyak di Galuh kurang
disukai oleh pihak keluarga keraton yang lebih menyukai
keluarga Sempakwaja dan Jantaka. Kedudukan
Sempakwaja saat menjadi penguasa Galunggung semakin
berkembang ketika putranya yang bernama Purbasora
menikahi Citra Kirana, putrinya Sang Padmahariwangsa
penguasa Kerajaan Indraprahasta. Sedangkan adik
Purbasora yaitu Sang Demunawan menikah dengan Dewi
Sangkari, putri Sang Pandawa alias Sang Wiragati, Raja
Kuningan tahun 671 Masehi. Karena hubungan pernikahan
tersebut kekuasaan Galunggung yang membawahi 12
kerajaan kecil bertambah kuat dengan masuknya
Indraprahasta dan Kuningan menjadi bagian dari keluarga
Galunggung.
Sang Mandiminyak wafat tahun 709 Masehi, maka
naiklah Sang Sena menjadi penguasa Galuh. Sama halnya
dengan ayahnya, dirinya juga tidak disukai oleh keluarga
keraton Galuh. Apalagi oleh Purbasora yang merasa lebih
berhak atas takhta Galuh. Maka tahun 716 Masehi Sang
Sena dikudeta oleh Purbasora. Serangan Purbasora dengan
melibatkan pasukan Indraprahasta dan dibantu Sang
Bimaraksa putra Sang Jantaka di Denuh. Akibat serangan
itu, Sena terusir dari keraton Galuh melarikan diri ke Sunda

15 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


dan tinggal di Bumi Mataram. Sena dan Sanaha kemudian
menjadi penguasa Bumi Mataram setelah Dewi Parwati
menyerahkan takhta kerajaan kepada Sena dan Sanaha.
Melihat keadaan ayahnya yang terusir dari Galuh membuat
Sanjaya menjadi marah dan mulai menyusun rencana untuk
merebut kembali takhta Galuh dari Purbasora.
Tahun 723 Masehi menjadi tahun yang penuh
dinamika bagi Kerajaan Galuh, Sunda dan Indraprahasta.
Pada tahun itu tercatat beberapa peristiwa penting, yaitu
wafatnya Prabu Tarusbawa sang penguasa Kerajaan Sunda
sekaligus naik takhtanya Sanjaya dan Teja Kancana
menjadi penguasa Sunda. Di tahun yang sama Sanjaya
berhasil membalas dendam dan membunuh Prabu
Purbasora di Galuh dalam sebuah penyerangan dimalam
hari. Sanjaya juga menamatkan eksistensi Kerajaan
Indraprahasta dengan membumihanguskan kerajaan itu
tanpa sisa.
Ketika terjadi serangan Sanjaya ke Galuh yang
mengakibatkan Purbasora tewas, Danghyang Guru
Sempakwaja sudah berusia 103 tahun. Tokoh sepuh Galuh
dan Galunggung ini masih menyaksikan gejolak pertikaian
di Galuh. Galunggung tidak diserang oleh Sanjaya karena
masih menghormati kakek uwaknya itu. Kepada Danghyang
Sempakwaja, Sanjaya menawarkan takhta Galuh kepada
Demunawan, adik Purbasora. Namun Sempakwaja menolak
dan secara halus menantang Sanjaya menguji dirinya untuk
membuktikan keperkasaannya jika ingin diakui di Galuh.
Diantaranya harus menundukan tri tunggal galuh yang juga
merupakan kerabat dari Galunggung, yaitu Sang Pandawa,
Raja Kuningan (mertua Demunawan), Sang Wulan, Raja

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 16


Kajoran dan Sang Tumanggal Penguasa Kalanggara di
Balamoha.
` Tantangan itu segera dijawab oleh Sanjaya dengan
melakukan penyerangan terhadap penguasa andalan
Danghyang Sempakwaja. Namun karena tergesa-gesa dan
kurangnya persiapan, pasukan Sanjaya mengalami
kekalahan dan dipukul mundur dalam pertempuran di dekat
Cikuningan. Oleh karena itu, Sanjaya akhirnya tunduk
kepada Danghyang Sempakwaja dengan menyetujui
keputusan Danghyang Sempakwaja yang mengangkat
Premana Dikusumah, putra Patih Wijayakusumah sekaligus
cucu Sang Purbasora sebagai penguasa di Galuh. Sanjaya
kemudian menunjuk putranya yaitu Tamperan Barmawijaya
sebagai wakil dirinya sekaligus patih di Galuh. Tamperan
Barmawijaya adalah putra Sanjaya dengan Teja Kancana.
Kisah Sanjaya dalam upaya nyandoge maneh
(membuktikan diri) kepada Danghyang Guru Sempakwaja
tercatat dalam naskah Carita Parahyangan sebagai berikut :
... "Rahiyang Sanjaya! Lamun kawisésa ku siya Sang
Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring
Kuningan, aing nurut carék siya. Ja beunang ku aing
kawisésa, turut carékéng! Ja aing wenang nuduh
tan katuduh. Ja aing anak déwata." Sang Wulan,
Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan
kawisésa ku Batara Dangiyang Guru. Sang Wulan
dijieun Guruhaji Kajaron. Sang Tumanggal dijieun
Guruhaji Kalanggara di Balamoha. Sang Puki jadi
Guruhaji Pagerwesi. Sang Manisri dijieun
Buyuthadén Rahaséa, di Puntang. Buyuthadén
Tunjungputih di Kahuripan. Buyuthadén Sumajajah
di Pagajahan. Buyuthadén Pasugihan di Batur.

17 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Buyuthadén Padurungan di Lembuhuyu. Buyuthadén
Darongdong di Balaraja. Buyuthadén Pager gunung
di Muntur. Buyuthadén Muladarma di Parahiyangan.
Buyuthadén Batutihang di Kuningan7.

Isi Naskah Carita Parahyangan tersebut masih


dikisaran tahun 723 Masehi. Pada saat itu Demunawan
diangkat oleh Sempakwaja menjadi penguasa Saunggalah
(Kuningan). Demunawan alias Seuweukarma atau dikenal
juga sebagai Rahyangta Kuku juga mewarisi kerajaan-
kerajaan bawahan dari Galunggung dari Danghyang Guru
Sempakwaja sebagai upaya untuk mengimbangi kekuasaan
Sanjaya Di Galuh. Pada periode ini muncul nama Muntur
sebagai daerah yang berada di bawah kekuasaan
Demunawan yang tinggal di Saunggalah Kuningan. Dari
teks Carita Parahyangan disebutkan empat penguasa
bergelar Guruhaji, yaitu Sang Pandawa di Layuwatang,
Sang Wulan di Kajaron, Sang Tumanggal di Kalanggara
Balamoha, Sang Puki di Pagerwesi dan keempatnya
kawisesa oleh Danghyang Sempakwaja. Kawisesa
bermakna diberi kekuasan atau diangkat jabatanya yaitu
dari ratu menjadi guruhaji. Sedangkan sisanya bergelar
buyuthaden.
Gelar guru haji yang memiliki arti raja guru memiliki
setara lebih tinggi dari buyuthaden. Kemungkinan, guruhaji
merupakan sebutan setingkat gubernur, sedangkan
buyuthaden adalah gelar setingkat bupati. Hal tersebut
terlihat dari kedudukan Kajaron, Kalanggara Balamoha, dan
Layuwatang yang sejak jaman Danghyang Guru

Atja, Op. Cit., wacana 10


7

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 18


Sempakwaja merupakan kerajaan atau karatuan yang
menginduk ke Galuh. Dalam naskah Nagarakretabhumi
karangan Pangeran Wangsakerta, istilah guruhaji memiliki
padanan ratu. Sehingga Sang Wulan, Sang Pandawa, Sang
Tumanggal disebut sebagai ratu. Sedangakn buyuthaden
dalam Nagarakretabhumi disebut juga kyai ageng yang bisa
di maknai gelar jabatan setingkat bupati.
Ada dua kemungkinan yang terjadi dari konteks
peristiwa diatas. Pertama, status daerah ini kemudian
menjadi istimewa setelah para tokohnya mengalahkan
Sanjaya sehingga gelarnya dinaikan dari ratu menjadi
guruhaji yang bermakna rajaguru. Kedua, terjadi
pengangkatan para penguasa di wilayah-wilayah tersebut
setelah Sanjaya dikalahkan Pandawa, Wulan dan
Tumanggal yaitu dari gelar ratu menjadi guruhaji. Saat
menghadapi Sanjaya, keempat tokoh andalan Danghyang
Sempakwaja tersebut dibantu oleh para tokoh-tokoh
lainnya yang selanjutnya dijieun atau dijadikan buyuthaden
oleh Danghyang Sempakwaja.
Sebagai perbandingan, mengenai tingkatan jabatan
pemerintahan kerajaan di Majapahit mengatur sistem
pemerintahan berpusat pada kebijakan Raja dan
keluarganya. Sedangkan yang menjalankan roda
pemerintahan dikuasakan kepada Patih Amangkubumi.
Untuk menjalankan administrasi pemerintahan
dipercayakan kepada lima pembesar yang disebut sang
panca ri Wilwaktikta, yaitu patih seluruh Negara yang
disebut : demung, kanuruhan, rangga dan tumenggung.
Kebijakan di pusat kemudian diturunkan oleh patih ke
tingkat dibawahnya secara bertahap sampai tingkat paling
bawah. Yaitu, wedana (semacam pembesar distrik), akuwu

19 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


(pembesar kelompok desa), buyut (pembesar desa), dan
sampailah kepada warga. (Muljana, 2006; 163,164).
Jabatan buyut jika melihat dari sistem administrasi
pemerintahan di Majaphit merupakan tingkatan pembesar
Desa atau kepala Desa. Namun bisa saja hal tersebut
berbeda dengan di Sunda mengingat latar belakang
kebudayaan yang berbeda antara Jawa dan Sunda.
Sumber paling tua yang menyebut Muntur adalah
naskah Carita Parahyangan dan fragmen Carita
Parahyangan. Naskah lainnya yang menyebut Muntur dalam
konteks yang sama dengan Carita Parahyangan adalah
naskah-naskah Wangsakerta seperti Nagarakretabhumi,
Pustaka Rajya-rajya I bumi Nusantara dan Pustaka
Pararatwan I Jawa Kulwan. Penguasa di Muntur disebut
Buyuthadén Pagergunung. Nama Pagergunung
kemungkinan nama sebuah daerah yang berada di Muntur.
Bukan nama tokoh yang berkuasa di Muntur. Hal ini terlihat
juga dari nama-nama buyuthaden lainnya yang disebutkan
di naskah Carita Parahyangan seperti Rahaséa di Puntang,
Tunjungputih di Kahuripan, Sumajajah di Pagajahan,
Pasugihan di Batur, Padurungan di Lembuhuyu,
Darongdong di Balaraja, Muladarma di Parahiyangan, dan
Batutihang di Kuningan, semuanya merupakan nama-nama
tempat.
Jika dikaitkan dengan keadaam geografis dimasa
kini, belum dapat dipastikan kepastian letak daerah
bernama Pagergunung di Muntur seperti yang dimaksud
dalam Carita Parahyangan tersebut karena bentang alam
sungai Cimuntur yang cukup luas. Namun setidaknya Ada
dua tempat yang diduga sebagai Pagergunung, yaitu :
Pertama, Pagergunung disinyalir berada di wilayah

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 20


Kertabumi saat ini. Hal ini dikaitkan bahwa di tahun 1618-
1641 Masehi ada salah seorang cucu Prabu Di Muntur
bernama Apun Pagergunung menjadi Bupati Kertabumi
dengan gelar Raden Adipati Singaperbangsa II. Apun
merupakan sebutan untuk bangsawan yang berkuasa di
suatu tempat. Apun Pagergunung berarti penguasa di
Pagergunung. Sehingga diduga bahwa Pagergunung berada
di kawasan Kertabumi, terutama di wilayah situs Gunung
Susuru, Patimuan dan Bojongjati. yang dilingkari aliran
Sungai Cimuntur juga dikelilingi dinding tebing yang tinggi.
Situs Gunung Susuru telah dikenal sebagai kawasan sakral
dengan tinggalan punden berundak dan jejak-jejak arkais
lainnya. Demikian pula dengan Bojong Jati yang
memendam tinggalan sejarah yang belum terungkap
sepenuhnya. Dari kontur alamnya, Seolah-olah kawasan
sakral tersebut dipagari oleh gunung. Maka di duga kuat
bahwa berdirinya Kerajaan Kertabumi di abad 16 Masehi
merupakan kelanjutan dari eksistensi Pagergunung yang
sudah ada sejak abad 7 Masehi.
Kedua, Pagergunung yang dimaksud dalam naskah
Carita Parahyangan merujuk Blok Pagergunung, di Dusun
Susuru, Desa Kertajaya (pemekaran Desa Kertayasa),
Kecamatan Panawangan. Di blok tersebut terdapat bukit
kecil yang dikeramatkan oleh penduduk kampung dan
disebut Kabuyutan Pagergunung, di puncak Pagergunung
ini terdapat batu satangtung (lingga). Kabuyutan
Pagergunung berjarak 800 ke Cimuntur yang melintasi
perbatasan Kecamatan Panawangan dan Desa Sadewata di
Kecamatan Lumbung. Keberadaan Kabuyutan Pagergunung
sebagai tempat yang disakralkan memiliki konteks dengan
masyarakat sekitarnya yaitu dengan adanya pemukiman

21 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


kuno yang disebut Dayeuhlandeuh, terletak di bawah bukit
Pagergunung, Dusun Susuru. Sampai tahun 1978 masih
banyak rumah panggung beratap daun kirai 8 dan
penduduknya mayoritas menganut ajaran Sunda Wiwitan.
Warga Dayeuhlandeuh kemudian pindah ke Dayeuhtonggoh
tempat yang agak tinggi dan tidak jauh dari
Dayeuhlandeuh. Saat ini, rumah yang tersisa di
Dayeuhlandeuh sekitar 4 rumah. Masyarakat di Dusun
Susuru sampai saat ini menganut Sunda Wiwitan, Islam dan
Kristen, yang hidup berdampingan dengan harmonis dan
penuh toleransi.9
Kelemahan dari pendapat pertama tidak
menegaskan adanya Pagergunung di kawasan Cimuntur
Kertabumi. Nama Pagergunung sebagai sebutan untuk
Apun Pagergunung tidak meyakinkan adanya hubungan
dengan Buyuthaden Pagergunung. Selain jarak waktu
kedua tokoh itu terpaut 9 abad, nama Pagergunung juga
terdapat dibeberapa tempat, seperti di Cisaga, Kawasen
dan di Pangandaran. Pendapat kedua lebih mendekati
konteks tentang Pagergunung di abad 8 Masehi karena
Pagergunung yang berada dikawasan Cimuntur telah
menjadi nama kabuyutan yang disakralkan masyarakatnya.
Termasuk keyakinan Sunda Wiwitan yang masih
dipertahankan di Dusun Susuru dan keberadaan sisa
pemukiman kuno yang menjadi bagian dari Kabuyutan

8
Pohon Nipah (Metroxylonrumphii) daunnya bisa dibuat atap.
9
tahun 1978 masih banyak rumah panggung beratap kirai seperti
di Kampung Kanekes Badui. Kabuyutan Pagergunung oleh masyarakat
sekitar disebut juga Makam Gede dan disekitarnya bertebaran
kabuyutan-kabuyutan lainnya. Hasil wawancara dengan R.Rustam
Effendi, Warga Sadewata.(2018)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 22


Pagergunung. Sayangnya, dugaan kedua ini belum
didukung oleh hasil penelitian arkeologi di Kabuyutan
Pagergunung dan sekitarnya sehingga tidak dapat
diperkirakan kesejarahannya. Namun kedua tempat
berbeda kecamatan itu memiliki persamaan penamaan
tempat yaitu Susuru dan Pagergunung, seolah adanya
reduplikasi nama dari hulu ke hilir. Hal itu seolah
mengesankan bahwa eksistensi kawasan Muntur di abad 7
Masehi di Dusun Susuru Panawangan dengan Buyuthaden
Pagergunung sebagai tokohnya, dan berakhir di Muntur
Kertabumi pada abad 16-17 dengan Raja Cita sebagai raja
terakhir Kertabumi di Muntur.
Selanjutnya keterangan Carita Parahyangan
menjelaskan bahwa pada masa tersebut kedudukan
Saunggalah tidak berada di bawah kekuasaan Galuh.
Karena Saunggalah dibawah kekuasaan Sang Demunawan
disiapkan oleh Sempakwaja untuk menjadi tandingan
Kerajaan Galuh yang berada dalam kekuasaan Sanjaya
melalui Permanadikusumah yang menjadi raja saat itu.
Sedangkan keletakan geografis antara wilayah Muntur di
Kertabumi dengan situs Karangkamulyan, yang diduga kuat
sebagai purasaba Kerajaan galuh, hanya berjarak beberapa
kilometer saja. Posisi geografis tersebut memberi gambaran
bahwa wilayah Pagergunung di Muntur idealnya berada di
wilayah Galuh, bukan di bawah Saunggalah.
Demikian pula Pagergunung di Dusun Susuru,
keletakannya berdekatan dengan Kuningan yang menjadi
pusat kekuasaan Saunggalah sehingga masuk akal jika
berada di bawah kekeuasaan Sang Demunawan. Pada abad

23 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


14-15 Masehi,10 Wilayah Pagergunung di Kampung Susuru
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda yang
berpusat di Kawali, berbatasan dengan Talaga dan
Kuningan.
Secara umum, batas teritorial wilayah-wilayah
kerajaan pada masa klasik cenderung abu-abu. Walau
Citarum disebutkan sebagai batas Kerajaan Sunda dan
Galuh, namun wilayah-wilayah karatuannya tidak memiliki
batas yang jelas. Naskah Bujanggamanik pun hanya
menyebutkan batas-batas alam seperti gunung atau sungai
untuk menggambarkan batas wilayah kekuasaan suatu
karatuan, tidak merinci secara jelas. Walaupun kekuasaan
Galuh secara umum membawahi semua wilayah di timur
Citarum namun tidak semua wilayah mutlak tunduk kepada
Galuh. Beberapa kerajaan berdiri sendiri termasuk
diantaranya Kabataraan Galunggung yang dibangun oleh
Sempakwaja memiliki otokrasi keagamaan yang kuat dan
independen. Oleh karena itu kekuasaannya dihormati oleh
para penguasa Galuh.
Andai Sempakwaja memiliki hati yang keras bagai
baja (waja) dan tidak mengalah (sempak) maka dialah
sesungguhnya yang berhak menjadi penguasa Galuh.
Namun karena sikapnya yang religius dan lebih mendalami
keagamaan maka kekuasaan kerajaan diserahkan kepada
adik bungsunya. Sebagai anak tertua, Sempakwaja
mewarisi wilayah Galunggung dari ayahnya, sama halnya

10
Kabuyutan Pagergunung masih berada di jajaran Gunung
Bitung bagian tenggara. Gunung Bitung awalnya merupakan padepokan
agama Buddha yang didirikan oleh Sang Sudhayosa di abad 14 Masehi
dan bernaung dalam Kerajaan Sunda Galuh yang berpusat di Kawali.
Gunung Bitung kemudian dikenal sebagai cikal bakal Kerajaan Talaga

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 24


dengan Jantaka atau Resi Wanayasa yang mewarisi Denuh.
Namun karena memegang teguh pikukuh tritangtu dan
ajaran purbatisti yang disusun Wretikandayun berdasarkan
Sanghyang Watangageung karya Sang Kandiawan (ayah
Wretikandayun), keturunan Wretikandayun mampu
mengikat persaudaraan yang kuat di Tatar Galuh.
Hal tersebut juga dipahami dan ditaati oleh Sanjaya
yang menuruti amanat ayahnya, Sang Sena, agar Sanjaya
selalu menghormati sesepuh Galuh dan Galunggung saat
menuntut haknya atas Galuh. Maka walaupun Muntur saat
itu berdekatan dengan pusat kekuasaan Galuh
kedudukannya tetap independen dalam kekuasaan
Galunggung atau Saunggalah.

B. Muntur di Abad 16 - 18 Masehi


Pasca kekuasaan Demunawan di Saunggalah, nama
Muntur tidak terdengar lagi. Sampai kemudian tahun 1523
Masehi, Muntur disebut kembali sebagai salah satu
keratuan yang memberontak terhadap Kerajaan Pajajaran.
Walau eksistensinya tidak banyak diceritakan, yaitu sebagai
bagian dari karatuan yang terlibat dalam suksesi kekuasaan
terhadap Kerajaan Pajajaran, namun latar belakang dari
peristiwa tersebut memberi gambaran luas tentang
dinamika sejarah Tatar Sunda yang terjadi di abad 16
Masehi. Kiprah Muntur kemudian berlanjut sampai abad 18
Masehi pada masa sistem kerajaan sudah berubah menjadi
kabupatian akibat menguatnya pengaruh Islam yang
mempengaruhi sistem kekuasaan di Tatar Sunda.
Kisah tentang Muntur di abad 16 Masehi
disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan berikut ini :

25 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


“.....Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu
surup ka Padaré n, kasuran, kadiran, kuwamén.
Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun
bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah.
Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi.
Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka
Simpang. Prangrang ka Gunungbatu. Prangrang ka
Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka
Gunung. Prangrang ka Gunung Banjar. Prangrang
ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka
Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka
Pagerwesi. Prangrang ka Medangkahiyangan. Ti
inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan
deui, panteg hanca di bwana. Lawasniya ratu
opatwelas tahun11.”

Keterangan dalam teks Carita Parahyangan diatas


memberi gambaran tentang suatu konflik peperangan yang
dilakukan oleh Prabu Surawisesa terhadap wilayah-
wilayahnya yang memberontak. Naskah Carita Parahyangan
yang ditulis akhir abad 16 Masehi merupakan naskah yang
sejaman dengan peristiwa tersebut, yaitu setelah Pajajaran
runtuh oleh serangan Banten tahun 1579 Masehi. Carita
Parahyangan tidak mengisahkan secara detail mengenai
peristiwa diatas, maka naskah yang dapat digunakan untuk
mengkolaborasi peristiwa tersebut diantaranya Naskah-
Naskah Wangsakerta seperti Pararatwan I Bhumi Jawa

11
Atja, Op. Cit., wacana 20

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 26


Kulwan, 12 dan Negarakertabhumi yang di susun tahun
1670-1692 Masehi. Latar belakang terjadinya konflik di
Pajajaran berikut ini dijelaskan panjang lebar oleh Naskah
Pararatwan I Bumi Jawakulwan, karya Pangeran
Wangsakerta dalam sargah 4 pupuh 52-61 :
(52) Witan raja pajajaran gumawe mitra samaya
lawan wwang Patege, pirang sang adipati
mapasah sakeng maharaja. Tan panut maning
ring pakwan Pajajaranmakadi, adipati-adipati,
ikang wus mekulagame slama, yateki, Adipati
Kelapa Kulon, Adipati Tanjung, Ancol,
Wahanten Girang, mwang pirang adipati
lenyamanih, mapan mangkaneka pinaka rajya
Pajajaran meweh mwang, harista. Rehning
upajiwa janapada gumanti dumadi sangsara.
Yata butari rajya malaka, mwang rajya lenya
ring barata warsa bang kidul.
(53) sawarsa tumuli, yateng sewu patangatus
patang puluh pat ikang sakakala, duta-duta
patege prapteng rajya pajajaran mwang gawe
serat mitra samaya. Pantarani rajya pajajaran
lawan patege. Kumwa juga sira gumawe
serating lingga watu, pika kalingga ning mitra
samaya. Sira karwanya, anyerat ngaranira ring
serat mitra samaya, yatiku, sakeng patege
sang grahaka nira wwang wwalu, wwang
sakeng rajya sunda patang wwang,
pantaranya yatiku, raja sunda pajajaran prabu
12
Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan disebut juga Carita
Parahiyangan karya Pangeran Wangsakerta, yang isinya tentang kisah
para ratu di bumi Jawa Barat.

27 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


surawisesam neher mantri nagara, sang mantri
brataningrat
(54) sang adhipati jaya manggala, mwang sang
adhipati surakerta. Witan nika, akwah ta ratu-
ratu mandhala, tan panut ring raja
sunda.mwang mapasa sakeng pakwan
pajajaran, ikang patege hana ta satruning
rajya Demak mwang rajya-rajya muslim
haneng swarna bumi. Matangyan raja
DemakCirebon lawan pwa ngislam haneng
banten rumakut rajya pajajaran mwang
wadyabala patege. Akaran nem welas ratu-
ratu mandala, i bumi jawa kulwan andaga ring
pakwan pajajaran madepati wani yan pinarep
mwang linurug
(55) dening wadyabala ning prabu surawisesa sira
kabeh wus sangkep wadyabala nira. Ratu-ratu
mandhala kang wus mekulagame slam mwang
santri-santri nira sakeng pondok pasantren
kabeh wus sangkep, kumwa juga wadyabala
ning ratu-ratu mandhale kang andaga tan
panut, karana tan suka ninghali raja sunda
pajajaran metreya lawan patege. Towi ratu
mandhala itani wisaya wusakeh singhyun
rumakut purasaba pajajaran, tatapi sang prabu
surawisesa tan wedi ring sira kabeh, denika
sang prabu wu-
(56)s angemplaken mwang manunggalaken
wadyabala ning ratu-ratu mandhale kang satya
bakti ring pakwan pajajaran,kumwa juga
wadyabala patege haneng malaka, pase

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 28


mwang barata warsa bang kidul lawan
sangkep sanjata nira wus samaya, ahyun
wineh saha karyya ring prabu surawisesa, yan
kinala desa dening wadya bala muslim atawa
satru lenya, matangyan tambaya ning sewu
patangatus patang puluh pat tkaningsewu
patangatus patangpuluh pitu, ikang sakakala,
prabu surawisesa lawan
(57) mahabala nira rumakut rumuhun ring ratu-ratu
mandhale kang tan panut ring pajajaran, sira
ratu-ratu mandhala tut sawiji-wiji kinala desa.
Mwang salawasing telung warsa nem welas
ratu-ratu mandhala mwa ngadhipati, i bumi
jawa kulwan kalindih mwang kasoran
yuddhanya. Kinarana wadyabala geng rajya
sunda pajajaran hana ta panunggalan sakeng
pirang ratu mandhale kang satya bakti ring
sang prabu surawisesa. I sedeng ratu-ratu
mandhala, yudha nira lawan wadyabalaya
akedik tan sapira. Juga sanjata nira tan
sangkep, mwang wadyabala lawan ratu-ratu
(58) mandhale kang pada kasoran atawa sire kang
sesaning pejah lumayu ring pakungwati
Cirebon, i sedeng wadyabala pakwan pajajaran
tan wantun rumakut ring Cirebon, hetunya,
ring Cirebon rinaksa dening wadyabala Demak
mwang wadyabala muslim atawa lenya manih,
juga wadyabala pakungwati Cirebon ikang wus
sangkep sanjata nira tan wani ring wadyabala
pajajaran, hana pirang ratu mandhala, ikang
kasoran yuddha nira, ateher sang ratu lawan

29 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


kabeh sang grahaka mwang wadya balanira
atawan, tatapi neher inasraya –
(59) ken manih lawan samaya satya bakti ring raja
pajajaran, lawan mangkanasansaya kweh ta
wadyabala mwang sang wasatkara sakeng
pirang mandhale kang tamola hing Cirebon,
ateher sunan jati, angutus duta ring sultan
Demaklawan prayojana nira, yata, marapwan
nira sultan Demak agyata angrebut kabeh
mandhale kang haneng tut sagara tira ning
jawa kulwan bang lwar, karana tan sowe
manih wadyabala patege ahyun teka wineh
sasha karyya ring prabu pajajaran.
(60)hana pwe kang ratu-ratu mandala mwang sang
wasatkara mandhala, adhipati, ikang, kasoran
yuddha nira, lawan wadyabala ning prabu
surawisesa, sowang-sowang pantaranya yatiku
kalapa dalem atawa, kalapa kulwan yatiku kye
aryya baroh, Tanjung, kye wudhubasu raga.
Ancol yatiku nye ngaji rasa. Wahanten girang,
dhipati suranggana, nye bagus molana.
Simpang, sang aryya suraprasa. Gunung batu
aryya pulunggana, ngaranira. Saung agung,
ratu hyang banaspati.
(61) Rumbut aryya sukara, gunung ageng,
tumenggung linggageni.padang, sang adhipati
patala. Pagawok, prabu yasanagara. Muntur,
sang arya wirasakti. Hanum, aryya senapati
bimajaya. Pagerwesi, sang aryya wulunggada.
Gunung banjar, sang prabu walahar,
matangyan sira sultan Demak kumon

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 30


rayipenira yata, senapati bintoro, yatikupadilah
ngaranira, pinaka, andutacarani ring
Terjemahan :
(52) Sejak Raja Pajajaran melakukan mitra bersama
dengan orang Portugis, beberapa adipati
berpisah dari Maharaja. Tidak patuh lagi
kepada Pakwan Pajajaran. Seperti adipati-
adipati yang sudah memeluk agama Islam,
yakni Adipati Kalapa Kulon, Adipati Tanjung
Ancol, Wahanten Girang, dan beberapa adipati
lainnya lagi. Sebab demikian itu selaku
Kerajaan Pajajaran memberi penghidupan
penduduk berganti menjadi sengsara. Seperti
telah terjadi dahulu kepada kerajaan Malaka
dan kerajaan-kerajaan lainnya di India sebelah
selatan.
(53) setahun kemudian, yaitu pada seribu empat
ratus empat puluh empat tarikh saka, duta-
duta Portugis tiba di Kerajaan Pajajaran
membuat surat kemitraan bersama antara
Raja Pajajaran dengan Portugis. Termasuk
juga mereka tuliskan di tonggak batu. Sebagai
tanda kemitraan bersama. Mereka berdua
menuliskan nama di surat kemitraan bersama
yaitu, dari Portugis penasehat mereka delapan
orang. Orang dari Kerajaan Sunda empat
orang, diantaranya yaitu : Raja Sunda
Pajajaran Prabu Surawisesa, Lantas Menteri
Negara Sang Mantri Brataningrat.
(54) Sang Adipati Jayamanggala, dan Sang Adipati
Surakerta. Sejak itu banyaklah ratu-ratu

31 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


daerah tidak tunduk kepada Raja Sunda dan
berpisah dari Pakwan Pajajaran, Portugis itu
adalah musuh Kerajaan Demak dan kerajaan-
kerajaan muslim yang ada di Swarnabumi.
Oleh karenanya Kerajaan Demak, Cirebon
dengan orang Islam yang ada di Banten
bersepakat menyerang Kerajaan Pajajaran dan
bala tentara Portugis. Sekitar enam belas ratu-
ratu daerah di Jawa Barat memberontak ke
Pakwan Pajajaran dengan berani melawan jika
diserang dan diserbu
(55) oleh bala tentara Prabu Surawisesa. Mereka
semuanya sudah bersiap bala tentaranya.
Ratu-ratu daerah yang telah memeluk Islam
dan santri-santri mereka dari pondok
pesantren semuanya sudah bersiap. Demikian
juga bala tentara di ratu-ratu daerah yang
melawan dan tidak patuh. Karena tidak suka
melihat Raja Sunda Pajajaran bermitra dengan
Portugis. Bahkan Ratu daerah sudah banyak
yang ingin memberontak ibukota Pajajaran,
Tetapi Sang Prabu Surawisesa tidak takut
kepada mereka semua. Saat itu Sang Prabu su

(56) dah mengumpulkan dan mempersatukan bala
tentara ratu-ratu daerah yang setia mengabdi
kepada Pakwan Pajajaran. Termasuk juga bala
tentara Portugis yang ada di Malaka, Pasai dan
India Selatan dengan bersenjata lengkap
mereka sudah bersama-sama ingin memberi
bantuan kepada Prabu Surawisesa. Jika

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 32


wilayahnya terkalahkan oleh bala tentara
muslim atau musuh lainnya. Karena di awal
seribu empat ratus empat puluh empat hingga
seribu empat ratus empat puluh tujuh tarikh
saka, Prabu Surawisesa dengan
(57) angkatan perangnya menyerang lebih dahulu
ke ratu-ratu daerah yang tidak patuh kepada
Pajajaran. Mereka ratu-ratu daerah satu
persatu dapat dikalahkan daerahnya. Dan
selama tiga tahun sudah enam belas ratu-ratu
daerah dan adipati di bumi Jawa Barat
ditundukan dan kalah perangnya. Karena bala
tentara agung Kerajaan Sunda Pajajaran adalah
penyatuan dari beberapa ratu daerah yang
setia berbakti kepada Sang Prabu Surawisesa.
Sedangkan ratu-ratu daerah, mereka berperang
dengan bala tentara sedikit, tidak seberapa.
Juga senjata mereka tidak lengkap, dan
balatentara lawan, ratu-ratu
(58) daerah yang terkalahkan atau mereka yang
tersisa dari yang gugur lari ke Pakungwati
Cirebon. Sedangkan bala tentara Pakwan
Pajajaran tidak berani menyerang Cirebon.
Penyebabnya di Cirebon dijaga oleh bala
tentara Demak dan bala tentara muslim atau
lainnya lagi. Juga balatentara Pakungwati
Cirebon yang sudah bersenjata lengkap
mereka tidak berani kepada bala tentara
Pajajaran. Ada beberapa ratu daerah yang
kalah perangnya lantas sang ratu dengan

33 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


semua perangkatnya dan balatentaranya
ditawan. Tetapi lalu dibebas-
(59) kan lagi dengan bersama-sama setia berbakti
kepada Raja Pajajaran. Dengan demikian
semakin banyaklah bala tentara dan pemimpin
dari beberapa daerah yang menetap di
Cirebon. Kemudian Sunan Jati mengutus duta
ke Sultan Demak dengan tujuan ialah agar
Sultan Demak segera merebut semua daerah
yang ada di sepanjang pesisir laut Jawa Barat
sebelah utara. Karena tidak lama lagi tentara
Portugis akan datang memberi bantuan
kepada Prabu Pajajaran.
(60) Adapun ratu-ratu daerah dan pimpinan daerah,
adipati yang kalah melawan bala tentara Prabu
Surawisesa, masing-masing diantaranya yaitu :
Kalapa Dalem atau Kalapa Barat yaitu, Kyai
Arya Baroh. Tanjung, Kyai Wudhubasuraga.
Ancol, yaitu Nyai Ngaji Rasa. Wahanten
Girang, Dipati Suranggana, Nyai Bagus
Maulana. Simpang, Sang Arya Suraprasa.
Gunung Batu, Arya Pulunggana namannya.
Saung Agung, Ratu Hyang Banaspati.
(61) Rumbut, Arya Sukara, Gunung Ageng,
Tumenggung LinggaGeni. Padang, Sang
Adipati Patala. Pagawok, Prabu Yasanagara.
Muntur, Sang Arya Wirasakti. Hanum, Arya
Senapati Bhimajaya. Pagerwesi, Sang Arya
Wulunggada, Medang Kahiyangan, Prabu
Dharmayana. Gunung Banjar, Sang Prabu
Walahar. Oleh karenanya, Sultan Demak

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 34


mengutus adik iparnya ialah Senapati Bintoro
yaitu Fadilah namanya. Selaku penyelidik ....13

Muntur dalam dua naskah diatas disebut sebagai


salah satu wilayah yang membangkang terhadap Pakuan
Pajajaran. Alasan ke 16 daerah yang tidak patuh ke
Pajajaran disebabkan terjalinnya kerjasama dan
persahabatan antara Pajajaraan dan Portugis akibat
keputusan Sri Baduga Maharaja di tahun 1512 Masehi yang
mengutus putranya Ratu Sanghyang Surawisesa menemui
Portugis di Malaka untuk menjalin kerjasama. Saat itu Ratu
Sanghyang Surawisesa baru diangkat sebagai Adipati Sunda
Kalapa dengan gelar Surawisesa Jayengrana atau
Surawisesa Jayaperkosa, menggantikan Adipati Krandha
yang meninggal dunia.
Yang menjadi alasan Sri Baduga Maharaja menjalin
kerjasama dengan Portugis diantaranya karena Demak
dengan angkatan lautnya yang semakin besar dan kuat
menjadi ancaman Pajajaran di laut nusantara. Hubungan
Demak dengan Cirebon semakin erat dengan jalinan
pernikahan putra-putri Raden Patah dengan Susuhunan
Jati. Dukungan Demak dan para wali juga dianggap
mempengaruhi Cirebon dalam menegakan kedaulatannya.
Secara tidak langsung, Sri Baduga menganggap Demak
melalui Cirebon akan menjadi ancaman bagi kedaulatan
Pajajaran.

13
Muhamad Mukhtar Zaedin.,dkk. Pangeran Wangsakerta,
Carita Parahyangan Sakeng Bumi Jawa Kulwan, alih bahasa dan aksara,
(Cirebon :2016), Hlm.41-18

35 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Berkembangnya ajaran Islam di Pajajaran
sesungguhnya tidak merisaukan Sri Baduga. Pengaruh
Islam yang masuk ke wilayah pedalaman Pajajaran
berkembang harmonis dengan agama lainnya. Dan hal itu
sudah berlangsung sejak jaman Prabu Niskala Wastu
Kancana. Ajaran Islam juga berkembang dilingkungan
kerabat kerajaan.
Bratalegawa, salah sorang putra Bunisora Suradipati
merupakan haji pertama di Sunda sehingga dikenal sebagai
Haji Purwa Galuh. Bahkan Dewi Subanglarang, salah satu
istri Sri Baduga adalah seorang muslimah. Kebijaksanaan
Sri Baduga dalam menjaga keharmonisan agama disebut
oleh Pangeran Wangsakerta sebagai rasika dharmika ring
pamekul agami rasul (Ia bertindak adil terhadap pemeluk
agama Rasul). 14 Salah sorang putra Sri Baduga, yaitu
Pangeran Walangsungsang yang muslim memiliki peranan
besar terciptanya toleransi antara Islam dan agama lainnya
seperti agama Budha berkembang pesat di Talaga maupun
agama Jati Sunda (yang bersinkretis dengan Budha dan
Hindu) yang dominan dipeluk oleh masyarakat Pajajaran
Pengaruh politik Demak untuk mendorong Cirebon
berdaulat terbukti kemudian. Cirebon yang asalnya berada
di bawah kekuasan Galuh dibawah pengawasan Adipati
Palimanan akhirnya melepaskan diri dan menjadi
Kesultanan Islam yang merdeka pada dwa dasi sukla pakca
cetra masa sahasra patangatus papat ikang sakakala,
bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482
Masehi ditandai dengan diangkatnya Syarif Hidayatullah

14
Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat Yuganing Raja Kawasa
(Bandung : Geger Sunten : 2005, Cet.5, hlm. 262.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 36


diangkat sebagai Sultan Cirebon dengan gelar Susuhunan
Jati.15
Peristiwa itu tanpa persetujuan Pajajaran, sehingga
Sri Baduga mengutus pasukan yang dipimpin Tumenggung
Jagabaya untuk mentertibkan Cirebon. Namun pasukan itu
disergap oleh pasukan gabungan Demak Cirebon. Bahkan
Tumenggung Jagabaya dan pasukannya akhirnya memeluk
Islam. Peristiwa itu sempat membuat Sribaduga murka dan
berniat menyerang Cirebon dengan pasukan perang
Pajajaran yang besar. Namun kemarahan Sribaduga
berhasil diredam dan disadarkan oleh para pemuka galuh,
terutama oleh Ki Purwakalih sebagai Purohita Kerajaan
Pajajaran.
Maka untuk menjaga dan meningkatkan kedaulatan
Pajajaran, Sri Baduga mencari mitra koalisi yang sejalan
dengan Kerajaan Pajajaran. Maka dipilihlah Portugis yang
berkuasa di Malaka yang berseteru dengan Kerajaan-
kerajaan Islam. Rupanya Sri Baduga Maharaja tidak
menyadari bahwa rencana dan tindakannya bersahabat
dengan Portugis itu tidak disukai oleh ratu-ratu wilayah di
Kerajaan Pajajaran, terutama yang sudah memeluk Islam.
Portugis dianggap lambat laun akan menjajah Kerajaan
Pajajaran, seperti yang terjadi terhadap Malaka yang
dikuasai Portugis tahun 1511 Masehi. Demikian pula
kerajaan lainnya di India Selatan. Penderitaan rakyat
Malaka dan kerajaan yang dijajah Portugis menjadi
gambaran bagi rakyat Pajajaran untuk menentang
persahabatan dengan Portugis. Beberapa kali Demak

15
Ibid., 261

37 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


mencoba membebaskan Malaka dari Portugis namun selalu
gagal.
Akibat keputusan Sri Baduga maka beberapa ratu
wilayah yang sudah Islam menyatakan keluar dari
kekuasaan Pajajaran. Mereka adalah Kyai Arya Baroh yang
menjadi Adipati Kalapa Kulon, Kyai Wudhubasuraga (Adipati
Tanjung), Nyai Ngaji Rasa (Adipati Ancol), dan Kyai
Suranggana (Adipati Wahanten Girang). Dari dua naskah
tersebut, yaitu Carita Parahyangan dan Pararatwan I Bhumi
Jawa Kulwan terdapat keterangan yang saling melengkapi
mengenai konteks peristiwa di tahun 1522 Masehi, yaitu
datangnya utusan Portugis yang ingin menindaklanjuti
perjanjian persahabatan dengan Pakwan Pajajaran.
Pada pertemuan tersebut Pajajaran diwakili 4 orang
yaitu Prabu Surawisesa, Sang Mantri Brataningrat selaku
menteri negara, Sang Adipati Jayamanggala sebagai adipati
di Pakuan dan Sang Adipati Surakerta sebagai adipati di
Kelapa pesisir (dalam sumber lain disebut juga
syahbandar). Dari pihak Portugis dipimpin oleh Henrique
de Leme yang didampingi oleh Fernando de Almeide,
Fransisco Anes, Manuel Mendes, Joao Coutinho, Gil
Barboza, Tome Pinto, Sebastian Do Rego dan Fransisco
Diaz. 16 Perjanjian tersebut terjadi pada 21 Agustus 1522
Masehi, setahun setelah Surawisesa naik takhta di
Pajajaran.
Dalam perjanjian tersebut disepakati : pertama,
Portugis dapat mendirikan sebuah benteng di sekitar
Banten ; kedua, Raja Sunda akan memberikan lada
sebanyak yang dibutuhkan oleh Portugis sebagai penukaran

16
Nina Lubis, et al., Sejarah Sunda, jilid 1 (Bandung : Cahya
Historika) Cet.1, hlm.90-91

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 38


barang-barang kebutuhan Kerajaan Sunda yang dibawa
oleh Portugis ; ketiga, Portugis bersedia membantu
Kerajaan Sunda apabila di diserang oleh Kerajaan Demak
atau kerajaan lainnya ; keempat, sebagai tanda
persahabatan Kerajaan Sunda akan menghadiahkan seribu
karung lada ( sekitar 350 kuintal) setiap tahunnya kepada
Raja Portugis sejak pembangunan benteng dimulai.17
Akibat perjanjian tersebut maka 16 ratu-ratu
wilayah yang sudah memeluk Islam menyatakan tidak
tunduk kepada Raja Sunda dan berpisah dari Pakwan
Pajajaran. Melihat perpecahan di wilayah Pajajaran, maka
Tahun 1522 Masehi, Prabu Surawisesa bersama
pasukannya, yang terdiri dari prajurit-prajurit Pajajaran,
dibantu oleh pasukan ratu-ratu wilayah yang setia
terhadap Pajajaran melakukan penyerangan terhadap ratu-
ratu wilayah yang memberontak. Prabu Surawisesa tidak
gentar dan percaya diri karena akan mendapat dukungan
dari Portugis. Akhirnya ke 16 ratu-ratu wilayah itu satu
persatu dapat ditundukan. Beberapa ratu daerah yang
kalah perang ditawan bersama balatentaranya namun
kemudian dibebaskan setelah menyatakan tunduk kepada
Pajajaran.
Peristiwa menaklukan ratu-ratu wilayah berlangsung
3 tahun yaitu sampai tahun 1525 Masehi. Dari keterangan
tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Muntur saat
dipimpin oleh Sang Arya Wirasakti dan 16 karatuan yang
memberontak sudah memeluk Islam sebagaimana
disebutkan dalam Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan dalam
kalimat “….. Ratu-ratu mandhala kang wus mekulagame

17
Ibid., 91.

39 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


slam mwang santri-santri nira sakeng pondok pasantren
kabeh wus sangkep” (….ratu-ratu daerah yang telah
memeluk Islam dan santri-santri mereka dari pondok
pesantren semuanya sudah bersiap).18
Dari kisah yang disebutkan Carita Parahyangan
tentang penyerangan pasukan Pajajaran ke setiap karatuan
yang membangkang terkesan dilakukan secara berurutan
dan Prabu Surawisesa tidak pulang ke Pajajaran sebelum
semuanya ditundukan. Setelah Muntur ditundukan pasukan
Surawisesa bergerak ke Hanum.19 Hanum yang pimpin oleh
Arya Senapati Bhimajaya ini kemungkinan wilayah Pajajaran
paling luar yang ditundukan Prabu Surawisesa. Setelah
semua karatuan yang membangkang dapat ditundukan,
Prabu Surawisesa kembali pulang ke Pakuan. Hal tersebut
disebutkan dalam Carita Parahyangan “... Ti inya nu pulang
ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di
bwana. Lawasniya ratu opatwelas tahun.”20
Pada saat melakukan penyerangan ke wilayah
Galuh, Prabu Surawisesa tentu mendapat bantuan dari
Prabu Jayaningrat penguasa Kerajaan Galuh yang setia
terhadap Pajajaran. Wilayah Muntur, Hanum dan Gunung
Ageng21 kemungkinan tiga keratuan yang berada di bawah

18
Muhamad Mukhtar Zaedin.,dkk. Op. Cit., 57.
19
Bekas karatuan Hanum adalah Desa Hanum, Kecamatan
Dayeuh Luhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, Pandu
Radea,dkk.,Pendataan Situs-situs Di Dayeuh Luhur, Yayasan
Tapakkaruhun Nusantara (2015)
20
Atja, Loc Cit.
21
Gunung Ageung terletak di Desa Cipasung, Kecamatan
Lemahsugih, Majalengka. Di kawasan ini terdapat lebih dari 30 situs yang
bertebaran., Pandu Radea,dkk.,Pendataan Situs-situs Talaga, Yayasan
Tapakkaruhun Nusantara (2018)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 40


kekuasaan Kerajaan Galuh yang memberontak terhadap
Pajajaran. Secara politis saat itu Gunung Ageung berada di
wilayah Kerajaan Talaga yang menginduk ke Galuh.
Prabu Jayaningrat sebagai penguasa Galuh naik
takhta tahun 1501 Masehi menggantikan ayahnya yaitu
Prabu Ningratwangi yang wafat ditahun tersebut. Prabu
Ningratwangi adalah adik dari Jayadewata atau Sri Baduga
Maharaja Pajajaran. Keduanya merupakan putra Sang
Ningrat Kancana atau Prabu Dewaniskala yang mewarisi
kerajaan Galuh di Kawali dari ayahnya, Prabu Niskala Wastu
Kancana. Saat Jayadewata mewarisi kerajaan Galuh dan
Sunda dan kemudian menyatukannya menjadi Kerajaan
Pajajaran, maka Kerajaan Galuh dan Sunda menginduk
kepada Pajajaran. Jayadewata yang semula adalah
penguasa Kerajaan Galuh kemudian mengangkat
Ningratwangi sebagai raja di Galuh sekaligus mewakili
dirinya membawahi karatuan-karatuan di Galuh.
Hal tersebut juga terjadi di Kerajaan Sunda.
Walaupun Susuktunggal mewarisi Kerajaan Sunda dari
Prabu Niskala Wastu Kancana. Namun sampai tahun 1382
Masehi tampuk Kerajaan Sunda di pegang oleh Prabu
Surendrabuanaloka yang menginduk kepada kekuasaan
Prabu Niskala Wastukancana sebagai Raja Sunda Galuh.
Prabu Surendrabuanaloka berkuasa dari tahun 1367-1382
masehi. Ayahnya adalah Prabu Linggatunggal yang menjadi
ratu wilayah Sunda tahun 1375-1367 Masehi. Prabu
Linggatunggal meneruskan takhta kakaknya yaitu Prabu
Pulasara yang berkuasa tahun 1350-1357 Masehi. Baik
Prabu Pulasara dan Prabu Linggatunggal adalah adik dari
Dewi Lara Lingsing yang merupakan istri dari Prabu
Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat. Ketiganya

41 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


(Lara Lingsing, Pulasara dan Linggatunggal) adalah putra
raja wilayah sunda bernama Prabu Arya Kulon dari istrinya
yang bernama Dewi Kirana. Prabu Arya Kulon memerintah
Sunda dari 1332-1357 Masehi adalah putra Prabu Ganapati
yang memerintah Kerajaan Sunda tahun 1321-1332 Masehi.
Prabu Ganapati putra Prabu Suryanagara dari Dewi Sutirta,
penguasa Sunda tahun 1287-1321 Masehi. Prabu
Suryanagara mewarisi Sunda karena istrinya yaitu Dewi
Sutirta adalah putri Prabu Windujaya penguasa Sunda
sebelum Prabu Suryanagara naik takhta. Kembali ke Prabu
Arya Kulon, istrinya yang bernama Dewi Kirana adalah adik
dari Prabu Ragamulya Luhur Prabawa yang menjadi
penguasa Sunda dan Galuh tahun 1340-1350 Masehi.
Ragamulya Luhur Prabawa adalah ayah dari Prabu
Linggabuana dan Bunisora Suradipati.
Prabu Linggabuana diangkat menggantikan ayahnya
menjadi penguasa Sunda dan Galuh pada 22 Pebruari 1350
Masehi dan wafat di Bubat pada 4 September 1357 Masehi.
Kelak putranya yang bernama Niskala Wastu Kancana juga
menjadi Maharaja Sunda Galuh yang terkenal. Dari istrinya
yaitu Dewi Ratna Sarkati (putri Resi Susuk Lampung)
Niskala Wastu Kancana memiliki putra bernama
Susuktunggal. Sedangkan dari Dewi Mayangsari (putri
Bunisora Suradipati) memiliki beberapa putra yaitu 1. Dewa
Niskala (penerus takhta Galuh), 2. Ki Gedeng Sindang
Kasih, 3. Surawijaya Sakti alias Ki Gedeng Singapura, dan
4. Ki Gedeng Tapa.
Kembali ke Prabu Prabu Surendrabuanaloka, dari
istrinya yang bernama Dewi Parwati memiliki putri bernama
Dewi Bramucilarang. Saat ayahnya meninggal,
Bramucilarang masih berusia 7 tahun, sehingga belum

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 42


saatnya menjadi penguasa Sunda. Maka Maharaja Niskala
Wastukancana mengangkat putranya Susuktunggal yang
berusia 13 tahun menjadi Rajamuda Kerajaan Sunda.
Karena usianya masih muda maka pemerintahan sehari-hari
dijalankan oleh kakeknya, Resi Susuk Lampung. Ketika
Dewi Bramucilarang berusia 17 tahun, maka dinikahi oleh
Prabu Susuktunggal dan memiliki beberapa putra,
diantaranya : 1). Surabima atau Amuk Murugul kelak
menjadi penguasa di Japura, 2). Kentring Manik Mayang
Sunda kelak menjadi istri Jayadewata atau Sri Baduga
Maharaja, 3). Dipati Kranda kelak menjadi bupati di Sunda
Kalapa (Jakarta).
Tidak banyak sejarah tentang Muntur yang
terungkap. Sebagai Karatuan yang setingkat kabupaten,
wilayah Muntur mengalami eksistensi yang cukup panjang.
Setidaknya, nama Muntur mencuat sejak abad 7 Masehi
sebagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Galunggung dan Saunggalah, selanjutnya sampai abad 16
Masehi, Muntur tidak disebut dalam sejarah di Galuh.
Namanya muncul kembali di abad 16 Masehi sebagai salah
satu karatuan wilayah yang memberontak terhadap
hegemoni Pajajaran dan dilanjutkan sampai abad 17
masehi dimasa kabupatian. Transisi Muntur dari masa
karatuan ke masa kabupatian terjadi di abad 16 Masehi,
yaitu ketika di daerah Muntur berdiri Kerajaan Kertabumi
dan berubah menjadi Kabupatian karena pengaruh
Mataram Islam dan Cirebon di abad 17 Masehi.
Sang Arya Wirasakti di Muntur bersama Arya
Tumenggung Bhimajaya di Hanum dan Tumenggung
Linggageni di Gunung Ageung, merupakan tiga orang bupati
di Tatar Galuh yang memeluk Islam. Ketiga ratu wilayah ini

43 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


membangun jalinan kerjasama dengan 13 karatuan lainnya
yang juga sudah Islam sehingga mereka berani menentang
Pajajaran yang bekerjasama dengan Portugis.
Prabu Surawisesa menyadari bahwa ketidak setujuan
16 bupatinya itu bukan karena agama Islam berkembang
pesat di Pajajaran, toh Islam sudah diayomi sejak Sri Baduga
Maharaja berkuasa, namun orientasi religi yang menginduk
ke Cirebon sedikit banyak mempengaruhi pandangan politik
para ratu wilayah Pajajaran yang sudah Islam untuk
mendukung Cirebon yang memerdekakan diri dari Galuh
sejak tahun 1482 Masehi. Portugis saat itu adalah musuh
Demak. Dilain pihak Pajajaran melalui dirinya telah
menyepakati kerjasama yang bertujuan untuk mencari
sekutu dalam menghadapi Demak yang semakin kuat.
Sedangkan Cirebon ikut mendukung Demak selain tidak
setuju dengan perjanjian Pajajaran dengan Portugis, juga
karena hubungan kekerabatan Raden Patah dan Susuhunan
Jati.
Bagi Prabu Jayaningrat, sang penguasa Galuh,
lepasnya Cirebon dari kekuasaannya bukan saja menjadi
persoalan Galuh, namun juga menjadi persoalan Pajajaran.
Prabu Jayaningrat belum berani mengambil tindakan
terhadap Cirebon karena Sri Baduga saat itu masih
jumeneng. Selain itu, dirinya juga menghormati Pangeran
Cakrabuwana yang tak lain adalah kakak sepupunya. Sejak
muda, Pangeran Walangsungsang sudah dikenal akrab di
lingkungan Keraton Kawali, bahkan Pangeran
Walangsungsang menikahi Indang Geulis putri Resi
Danuwarsih di Maraapi Rajadesa yang menjadi Purohita
Kerajaan Galuh Kawali. Keletakan Gunung Maraapi ini dalam
Pustaka Nagarakretabhumi Parwa 1 sargah 4 termasuk

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 44


parahyangan bang wetan.22 Dirinya juga membiarkan ketika
Islam pelan-pelan dikembangkan di Rajadesa 23 oleh
Walangsungsang. Padahal Rajadesa merupakan salah satu
pusat religi Hindu-Buddha yang penting bagi Kawali karena di
tempat itu terletak Kabuyutan Samida dan Talaga
Rancamaya 24 yang dilindungi oleh Kawali. Maka lepasnya
Cirebon dari Galuh, diserahkan sepenuhnya oleh Prabu
Jayaningrat kepada Sri Baduga Maharaja selaku jungjunan
Galuh di Pajajaran, sekaligus uwaknya.
Ketika Prabu Surawisesa berkuasa di Pajajaran maka
ia perlu menegakkan kembali kedaulatan Pajajaran dengan
menundukan karatuan-karatuan yang berpotensi tidak setia.
Karena jika dibiarkan maka pengaruh politik Cirebon
terhadap wilayah kekuasaannya akan semakin luas dan
menjadi ancaman bagi keutuhan Pajajaran. Setelah 16 ratu
diserang secara serentak dan berkelanjutan, maka wilayah

22
Nagarakertabumi tidak menyebutkan nama tempat Resi
Dawuarsih. Yoseph Iskandar dalam bukunya Yuganing Rajakawasa
menduga yang dimaksud parahyangan bang wetan adalah Dieng.
Namun situs Maraapi di Rajadesa sebagai tempat Resi Danuwarsih
dikenal luas oleh masyarakat Rajadesa dan keletakannya berada di
parahyangan bang wetan
23
Di Rajadesa sampai Rancah banyak makam-makam kuno para
ulama yang mengembangkan islam di kawasan tersebut.
24
Samida merupakan salah satu jenis Kabuyutan Sunda berupa
kawasan hutan lindung yang dibuat untuk kegiatan ritual Hindu Budha.
Biasanya berdampingan dengan talaga dan gugunungan sebagai simbol
religi-kosmologi. Pohon yang ditanam bernilai sakral dan berbau wangi
yang digunakan untuk kegiatan religi. Di dalam Samida dibangun pula
beberapa tatanan bebatuan dengan cara dibalay, sebagai lambang dan
sarana peribadatan. Samida yang dibuat Sri Baduga Maharaja disebut
dalam Prasasti Batutulis. Saat ini Kabuyutan Samida yang masih tersisa
diantaranya di Kecamatan Rajadesa.

45 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Pajajaran termasuk Galuh menjadi utuh kembali. Ajaran
Islam yang disebarkan para ulama dari Cirebon rupanya
menarik hati beberapa pemimpin wilayah di Galuh seperti
Gunung Ageung, Muntur dan Hanum. Keletakan Muntur lebih
dekat dengan Rajadesa dan merupakan pusat religi Hindu-
Buddha yang besar saat Arya Wirasakti atau leluhurnya
menganut Hindu-Buddha di Muntur Cijeungjing. Sedangkan
Hanum berada di wilayah Dayeuh Luhur yang masuk ke
Cilacap saat ini juga terpengaruh saat Arya Senapati
Bhimajaya masuk Islam. Demikian pula yang terjadi dengan
Tumenggung Linggageni di Gunung Ageung di Lemah Sugih
yang keletakan wilayahnya lebih dekat ke Talaga dan Cirebon
sehingga pengaruh Islam lebih dulu diterimanya.
Dari pertanggalan keramik di Kertabumi, diketahui
kawasan Muntur Cijeungjing yang berada di kekuasaan
Kertabumi setidaknya sudah eksis sejak abad 10 Masehi.
Nama Muntur sudah disebut sejak abad 8 Masehi sebagai
karatuan yang berada di bawah kekuasaan Sempakwaja di
Kabataraan Galunggung. Gunung Susuru dengan bukti
arkeologisnya menunjukan sebagai kawasan religi yang
penting. Di Sunda tempat-tempat sakral dikenal dalam
beberapa sebutan. Salah satunya adalah yang disebut lemah
dewasasana yang memiliki makna, tempat para dewa yang
mengacu kepada tempat yang digunakan para wiku maupun
resi untuk aktivitas religi. Oleh karenanya lemah dewasasana
dilindungi oleh raja atau penguasa wilayahnya. Di jawa,
lemah Dewasasana memiliki konotasi yang sama dengan
sima atau daerah perdikan yang diistimewakan karena
statusnya dilindungi oleh raja. Di Sunda, sumber primer yang
menyebut dewasasana adalah prasasti Kabantenan I, II, III
dan IV serta prasasti Sanghyang Tapak I dan II. Ke 6

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 46


prasasti tersebut menyebut tentang batas-batas dewasasana
yang harus dijaga, dipelihara, dan dibebaskan dari pajak. 25
Dewasasana juga merupakan sanggar bagi raja yang di urus
oleh para wiku dan resi. 6 prasasti tersebut menyebut
tempat-tempat suci yang dilindunginya dengan nama
Kabuyutan, Lemah dewasasana dan Tepek. Dari 39 prasasti
yang ada di Tatar Sunda, hanya satu yang tegas menyebut
kata sima yaitu Prasasti Mandiwunga yang ditemukan di Desa
Cipadung, Kecamatan Cisaga. 26 Dari keletakan Gunung
Susuru, situs
Karangkamulyan yang
pernah eksis sebagai
pusat keraton Galuh dan
sima Mandiwunga di
Cisaga menunjukan
gejala kuat adanya
hubungan yang berkaitan
dalam kontek religi 27
Tidak menutup
kemungkinan bahwa
Gunung Susuru
merupakan lemah
Dewasasana yang
dilindungi oleh Galuh.
Prasasti Mandiwunga (dok Puslit Arkenas)
25
Agustijanto Indrajaya, Beberapa Masalah Perubahan Status
Tanah di Jawa Barat Menurut Sumber Prasasti, Dalam Dinamika Budaya
Asia Tenggara-Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. (Bandung: IAAI, 1998)
26
Ibid
27
Jika ditarik garis lurus Gunung Susuru dengan Cisaga berjarak
sekitar 7 km. Dan situs Karangkamulyan tepat berada diantaranya
dengan jarak yang sama.

47 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Gunung Susuru di Muntur Cijeungjing sampai abad 15 Masehi
masih merupakan kawasan peribadatan yang tetap eksis
sebelum Islam berkembang di Muntur.
Demikian pula Gunung Ageung di Lemah Sugih
Majalengka adalah kawasan bukit yang kaya dengan
tinggalan arkeologis berupa struktur-struktur batuan yang
disakralkan. Para ratu wilayah di Galuh yang masuk Islam,
rata-rata berkedudukan di kawasan yang kuat anasir religi
Hindu-Buddha. Maka dengan berubahnya orientasi

Salah satu situs di Gunung Ageung (Dok Tizi Rakyan,Tapak Karuhun)

keagamaan para pemimpinnya, ajaran Islam semakin


berkembang pesat.
Istilah Hindu-Buddha sebenarnya lebih merujuk
kepada ajaran Sunda Kuno yang lebih dominan dianut oleh
masyarakat saat itu. Ajaran Sunda Kuno dalam Siksa
Kandang Karesian disebut Jati Sunda, merupakan ajaran asli

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 48


yang kemudian bersinkretis dengan Hindu dan Buddha.
Unsur Jati Sunda lebih dominan dengan tetap meletakan
Sanghyang Tunggal sebagai sosok adikodrati diatas dewa-
dewa agama Hindu maupun Buddha. Maka di kawasan Galuh
sedikit sekali ditemukan peninggalan bangunan yang murni
anasir Hindu atau Buddha. Sejauh ini candi yang ditemukan
di Tatar Galuh seperti Candi Rajegwesi di Banjar, Candi
Ronggeng di Pamarican dan Candi Batu Kalde di Pananjung
Pangandaran, merupakan candi-candi kecil, jumlahnya
sangat sedikit dibanding keberadaan kabuyutan-kabuyutan
yang bernafas Jati Sunda. Bukti kuatnya unsur Jati Sunda
sebagai religi yang dominan di Kerajaan Galuh Sunda tertera
di Kabuyutan Astana Gede Kawali dalam prasasti Kawali V
dan VI dengan kalimat Sanghyang Lingga Hyang dan
Sanghyang Lingga Bingba.
Pasca 16 wilayah karatuan diserang dan ditundukan
oleh Pajajaran tahun 1525 Masehi, Muntur oleh Prabu
Surawisesa diserahkan pengawasannya kepada Prabu
Jayaningrat di Galuh. Ketika terjadi penyerangan oleh
Surawisesa, tidak sedikit yang lari dan berlindung ke
Cirebon yang saat itu di pimpin oleh Susuhunan Jati.
Setelah Surawisesa menertibkan wilayahnya maka tahun
1526 Masehi, Susuhunan Jati mengutus seseorang pergi ke
Demak untuk memberi tahu Sultan Demak agar segera
merebut wilayah-wilayah pesisir utara Jawa Barat yang
dikuasai Kerajaan Sunda sebelum Portugis datang.
Sultan Demak segera mengutus Fadhilah Khan
untuk menyelidiki situasi di pesisir utara Jawa Barat dan
menerima laporan lengkap termasuk adanya kerusuhan
yang di buat oleh Pangeran Sabakingkin (putra Susuhunan
Jati) dan santri-santrinya terhadap kekuasaan Sunda.

49 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Fadhilah Khan yang sudah bertemu Pangeran Sabakingkin
kemudian diutus oleh Sultan Demak memimpin pasukan
untuk bergabung dengan Cirebon yang sudah siap sedia.
Maka ditahun 1526 Masehi, pasukan gabungan Cirebon dan
Demak dipimpin oleh Panglima besar Fadhilah Khan dengan
jumlah 1.967 prajurit menuju Banten. Pasukan Cirebon
dipimpin oleh Pangeran Cirebon, Dipati Keling dan Dipati
Cangkuang.
Perang pun pecah, berkecamuk dengan hebatnya.
Pasukan Gabungan Demak, Cirebon dan Banten menyerbu
Banten yang dipimpin oleh Sang Arya Surajaya. Pasukan
Banten lambat laun terdesak dan akhirnya kalah. Sang
Adipati Banten bersama kerabat keluarganya melarikan diri
ke Pakuan Pajajaran. Runtuhnya Banten menandai
berakhirnya kekuasaan Dipati Arya Surajaya yang
memerintah sejak 1519 Masehi. Setelah Banten dikuasai
oleh pasukan gabungan muslim, Susuhunan Jati
mengangkat Pangeran Sabakingkin menjadi Sultan Banten
dengan gelar Sultan Hasanudin.
Serangan pasukan Muslim kemudian dilanjutkan ke
Sunda Kelapa tahun 1527 Masehi. Sebanyak 1452 prajurit
muslim menggempur karatuan Pajajaran di Sunda Kalapa
yang saat itu di pimpin oleh Adipati Arya Surakerta. Perang
kembali berkecamuk dahsyat di darat dan laut. Pihak Sunda
Kalapa yang jumlahnya sedikit dan kurang persiapan
lambat laun kewalahan. Akhirnya Adipati Arya Surakerta
yang berkuasa di Sunda Kalapa sejak 1521 Masehi, beserta
prameswari dan pengiringnya gugur dalam pertempuran
tersebut. Arya Surakerta kemudian dijuluki Sang Lumahing
Kalapa (Yang meninggal di Kalapa).

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 50


Setelah Sunda Kalapa ditundukan, Panglima
Fadhilah Khan diangkat menjadi Bupati Sunda Kalapa. Tak
lama kemudian sebuah brigantine 28 armada Portugis yang
dipimpin oleh Duarte Coelho merapat terlalu dekat di Sunda
Kalapa untuk melindungi Arya Surakarta. Armada Portugis
ini sebelumnya bergabung dengan Armada Francisco de Sa
yang gagal membantu Kerajaan Pajajaran di Banten karena
wilayah itu sudah dikuasai Sultan Hasanudin, Duarte Coelho
rupanya belum mengetahui bahwa Sunda Kalapa juga
sudah dikuasai oleh pihak muslim. Perangpun berkobar
antara Portugis dengan pasukan muslim di Sunda Kalapa.
Lambat laun Portugis semakin terdesak. Banyak tentara
Portugis yang tewas. Dan akhirnya armada Portugis cerai
berai. Pasukan yang selamat melarikan diri naik kapal untuk
kembali ke Pasai.
Melihat kekuatan Pajajaran di pesisir utara semakin
lemah, Prabu Jayaningrat sang penguasa Galuh merasa
bahwa penyebabnya adalah pengaruh Cirebon. Maka untuk
meredam semakin meluasnya pemberontakan, Cirebon
harus ditindak tegas. Jika Cirebon yang sudah merdeka
tahun 1482 Masehi dapat dikuasai kembali, maka para
penguasa wilayah yang sudah muslim dapat diredam
melalui Susuhunan Jati Cirebon. Kemungkinan besar Prabu
Surawisesa sebagai penguasa Pajajaran memberi
tanggungjawab kepada Prabu Jayaningrat untuk
menyelesaikan persoalan Cirebon.
Pasukan Galuh berperan besar membantu Prabu
Surawisesa saat meredam dan menertibkan pemberontakan

28
Kapal dengan dua tiang layar utama. Tiang depan
menggunakan layar persegi sedangkan tiang belakang menggunakan
layar yang bisa diputar.

51 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


beberapa ratu wilayah di Galuh dianggap dapat diandalkan
untuk melaksanakan penegakan kedaulatan Pajajaran
melalui Galuh terhadap Cirebon. Sehingga konsolidasi
pasukan Pajajaran di Pakuan dipersiapkan menjaga
wilayah-wilayah penting Pajajaran dan menghadapi
kekacauan dari wilayah pesisir utara yang ditimbulkan oleh
Fadhilah Khan.
Tahun 1528 Masehi atau satu tahun setelah
Sunda Kalapa jatuh ketangan Fadhilah Khan, Prabu
Jayaningrat segera mengambil tindakan dengan mengirim
surat kepada Susuhunan Jati agar mengirimkan kembali
upeti sebagai pengakuan Cirebon kepada Galuh. Jika tidak
mengirimkan upeti maka Galuh akan menggempur Cirebon.
Permintaan itu ditolak oleh Susuhunan Jati, Ia segera
menyuruh Fadhilah Khan untuk membawa pasukan Demak
ke Cirebon. Saat itu Fadhilah Khan sudah menjadi menantu
Susuhunan Jati karena menikahi Putri Ayu, janda Pangeran
Sabrang Lor alias Sultan Yunus Abdul Kadir, penguasa
Demak yang gugur di laut saat menyerang Portugis tahun
1521 Masehi.
Putri Ayu adalah putra tertua Susuhunan Jati,
adiknya bernama Pangeran Muhammad Arifin alias
Pangeran Pasarean yang tewas oleh Arya Penangsang
(Bupati Jipang) dalam huru hara perebutan takhta di
Demak tahun 1546 Masehi. Fadhilah Khan juga menikahi
Ratu Pembayun, putri dari Raden Patah. Saat dinikahi
Fadhilah Khan (Fatahilla atau Faletehan), Ratu Pembayun
berstatus janda karena suaminya yang pertama yaitu
Pangeran Bratakelana (Jayakelana) wafat. Dengan
demikian, Fadhilah Khan adalah menantu Sultan Demak
sekaligus menantu Susuhunan Jati. Sehingga memiliki

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 52


peranan penting di Demak dan Cirebon dalam menghadapi
Pajajaran.
Rupanya ancaman Prabu Jayaningrat tidak main-
main. Untuk mempersiapkan serangan kepada Cirebon,
Penguasa Galuh ini bersama keluarga dan balatentaranya
eksodus dari Kawali ke Raja Galuh untuk fokus membangun
kekuatan bersama Arya Kiban, Adipati Raja Galuh di
Palimanan yang setia kepada Galuh. Dengan balatentara
yang besar, Pasukan Galuh kemudian bergerak menuju
Cirebon. Namun dihadang oleh Adipati Suranggana dari
Kuningan yang ditugasi Susuhunan Jati menjaga keamanan
perbatasan Cirebon dan Galuh, terutama keamanan
pondok-pondok pesantren. Namun pasukan Adipati
Suranggana yang jumlahnya lebih sedikit tak mampu
membendung gelombang kekuatan balatentara Galuh dan
akhirnya terdesak mundur. Tak lama kemudian bantuan
pasukan dari Cirebon dan 700 prajurit Demak yang
dipimpin langsung oleh Pangeran Walangsungsang dan
didampingi oleh Fadhilah Khan segera datang.
Akhirnya Perang pun pecah dengan dahsyat di
Gunung Gundul Palimanan. Lambat laun balatentara Galuh
mulai terdesak dan semakin kacau balau ketika pasukan
Cirebon dan Demak mulai menggunakan meriam yang
dibawa Fadhilah Khan. Akhirnya Pasukan Galuh dipukul
mundur dan bertahan di Talaga yang saat itu merupakan
pendukung dari Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Mundurnya
Pasukan Galuh ke Talaga menjadikan Rajagaluh dibawah
kekuasaan Cirebon. Peristiwa peperangan antara Kerajaan
Galuh yang dipimpin oleh Prabu Jayaningrat dengan
Cirebon terjadi tahun 1528 Masehi banyak dikisahkan dalam

53 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


naskah-naskah kuna Cirebon. Naskah Carita Pararatwan I
Jawa Dwipa sargah 4, pupuh 70-7429 mengisahkan :
(70) ….ateher ing sewu patangatus limang puluh ikang
sakakala, wadyabala muslim sakeng sunda kalapa,
yata wadyabala
(71) Demak lawan Cirebon juga wadyabala sakeng
kuningan rumakut wadyabala galuh ikang wus
kempeling mandhaka raja galuh, ateher matangkep
tekeng prang pantara ning wadyabala muslim
sakeng DemakCirebon kuningan mwang ratu-ratu
mandhale kang wus mekulagame slam yuddha ta
sira lawan wadyabala galuh ikang ninaya dening
prabu galuh Jayaningrat mwang, dhipati mandhala
raja galuh sang aryya kiban kasoran ta yuddha
nira. witanika, mandhala galuh lwarira soring,
kawasaning pakungwati Cirebon,ring samangkana
pangeran
(72) pasareyan dening ra-ma nira, yata susuhunan jsti
dinadyaken sang wasatkara ning rajya Cirebon
pinaka sang pa-tih Cirebon ikang pangawaka
susuhunan jati. kinarana ratu mandhala talaga
dumadi panggwananing ratu-ratu mandhale kang
nyatroni Cirebon mwang, ung-gwaning, kempelira
wadya bala galuh ikang sesaning pejah, ateher
rajya talaga kinala desa dening wadyabala
CirebonDemak mwang kuningan, matangkep
tekang prang. wadyabala talaga kasoran mwang,
kalindih te-kang mandhala ri soring cer-

29
Muhamad Mukhtar Zaedin.,dkk. Op. Cit., 56-59

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 54


(73) bon ika ngapatting sewu patangatus limang puluh
punjul rwa, ikang sakakala. towi, tkaning sewu
patangatus limang puluh telu, ikang sakakala
pirang ratu-ratu mandhala ring jawa kulwan
rinebutta dening wadyabala muslim, ateher ikang
yuddha ning wadyabala muslim lawan pakwan
pajajaran wekasan siddha tawinekasi lawan
pagostyan pantaraning raja pak-wan pajajaran
lawan susuhunan jati. ateher karwanya gawe
kretamaya tan silih rumakut silih sih a-tuntunan
tangan karana
(74) kita sanak pakadangan kita haywa ta tugel, ikang
samanya ning winekasi prang, ing catur dasi sukla
paksa, asadha masa, sewu patangatus limang
puluh telu, ikang sakakala.

Terjemahan :
(70) Kemudian pada seribu empat ratus lima puluh
tarikhSaka, bala tentara muslim dari Sunda Kalapa,
ialah bala tentara
(72) Demak dengan Cirebon, juga bala tentara dari
Kuningan menyerbu bala tentara Galuh yang sudah
berkumpul di daerah Rajagaluh. Kemudian
matangkeplah yang berperang, antara bala tentara
muslim dari Demak, Cirebon, Kuningan dan ratu-
ratu daerah yang sudah memeluk agama Islam.
Berperanglah mereka melawan balatentara yang
dipimpin oleh Prabu Galuh Jayaningrat dan Adhipati
Wilayah Rajagaluh Sang Arya Kiban, kalahlah
pertempuran mereka. Semenjak itu daerah Galuh

55 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


utara di bawah kekuasaan dari Pakungwati Cirebon.
Pada saat itu Pangeran
(73) Pasarean oleh ayahnya, ialah Susuhunan Jati
dijadikan pimpinan di Kerajaan Cirebon selaku Patih
Cirebon yang melaksanakan tugas mewakili
Susuhunan Jati. Karena Ratu Daerah Talaga menjadi
tempat ratu-ratu daerah yang memusuhi Cirebon
dan tempat berkumpulnya balatentara Galuh sisa
dari yang tewas itu. Kemudian Kerajaan Talaga,
dikepung daerahnya oleh bala tentara Cirebon,
Demak, dan Kuningan. Matangkeplah yang
berperang. Bala tentara Talaga kalah dan
ditaklukanlah daerah itu di bawah Cer-
(74) bon. Peristiwa penting itu terjadi pada seribu empat
ratus lima puluh lebih dua tarikh Saka. Bahkan
hingga seribu empat ratus lima puluh tiga tarikh
Saka, beberapa ratu-ratu daerah di Jawa barat
direbut oleh bala tentara muslim. Kemudian
peperangan antara bala tentara Muslim dengan
Pakwan Pajajaran akhirnya berakhirlah, diakhiri
dengan perundingan antara Raja Pakwan Pajajaran
dengan Susuhunan Jati, Kemudian keduanya
membuat perjanjian, tidak saling menyerang, saling
mengasihi, bergandengan tangan, karena
(75) kita bersaudara, persaudaraan kita janganlah putus.
Perjanjian itu mengakhiri perang, pada empat belas
paruh terang, bu-lan Asadha, seribu empat ratus
lima puluh tiga tarikh Saka.

Dalam pertempuran antara Galuh dan Cirebon,


Prabu Jayaningrat gugur tahun 1528 masehi. Dengan

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 56


gugurnya Parbu Jayaningrat maka Kerajaan Galuh berada
di bawah kekuasaan Cirebon. Naskah Carita Pararatwan I
Jawa Dwipa sargah 4, pupuh 48 -49 menyebutkan :

(48) …ateher prabu ningrat wangi, manak ta sira pirang


siki,
(49) rwang siki pantaranya, yata, pratama prabu
Jayaningrat ngaranira, madeg ratu mandhala galuh
salawas pitu likur warsa, yateng sewu patangatus
telu likur tkaning, sewu patangatus limang puluh
ikang saka-kala.rasika pejahing yuddha kala lawan
wadyabala pakung wati Cirebon, witanika rajya
galuh ri soring rajya Cirebon,30
Terjemahan :
(48) Kemudian Prabu Ningrat Wangi, beranaklah dia
beberapa oramg.
(49) Dua orang diantaranya ialah: Pertama, Prabu
Jayaningrat namanya. Menjadi Ratu Daerah Galuh
selama dua puluh tujuh tahun.Yaitu pada seribu
empat ratus dua puluh tiga hingga seribu empat
ratus lima puluh tarikh Saka. Beliau gugur kala
bertempur dengan bala tentara Pakungwati Cirebon.
Semenjak itu Kerajaan Galuh di bawah Kerajaan
Cirebon.

Kisah pertempuran antara Galuh dan Cirebon yang


terjadi di Gunung Gundul Palimanan menjadi episode yang
menarik untuk dikisahkan. Sengitnya pertempuran menjadi
inspirasi para pujangga untuk menuliskannya kembali

30
Ibid, hlm.38-39

57 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


dalam kisah-kisah babad. Beberapa naskah babad yang
usia tulisannya lebih muda dari naskah Wangsakerta,
seperti Babad Cirebon Naskah Sindang dan Babad Cirebon
Carang Satus, Prabu Jayaningrat disebut juga Prabu
Cakraningrat. Saat menghadapi Cirebon, selain didampingi
oleh Arya Kiban, Prabu Jayaningrat juga didampingi oleh
Sangyang Sutem, Sangyang Gempol, Sangyang Igel,
Sangyang Bugel, Arya Satiyaka, Dipati Pande Wewangsi,
Patih Bangong, dan Arya Mangkubumi
Babad Cirebon Naskah Sindang yang ditulis sekitar
abad 19-20 Masehi, menyebut Bupati Ciamis dengan istilah
Regent Ciyamis yang memimpin pasukan elit Prabu
Jayaningrat. Disebutkan juga ketika satu persatu senapati
Galuh gugur, sang Prabu Jayaningrat yang ditulis dalam
naskah tersebut sebagai Prabu Cakraningrat, berjanji akan
memberikan tanah Ciamis kepada senapati yang tersisa jika
mampu mengalahkan Cirebon. Dalam naskah babad yang
bersifat prosais tersebut juga terselip alasan yang
menyebabkan peperangan terjadi.
Sebagai gambaran bagaimana situasi proses
terjadinya pertempuran di Gunung Gundul Palimanan maka
terjemahan Babad Cirebon Naskah Sindang 31 menuliskan
seperti ini :
Setelah selesai mengadakan jamuan besar,
kemudian Sang Prabu kembali duduk di singgasana.
Sementara itu para kawula ageng juga berkumpul,
duduk rapih berbaris-baris sesuai kastanya. Sang
Prabu kemudian menjelaskan maksud dan
tujuannya mengumpulkan para abdi kerajaan.

31
Alih Aksara ,Tarka Sutaraharja.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 58


Bahwa ia telah mendengar berita dari hasil
penyamaran telik sandi Galuh, sekarang telah
jumeneng Ratuning Wali linuwih yang berkedudukan
di Negara Carebon yang dahulu merupakan negeri
bawahannya. Sang Waliyullah itu telah mengajarkan
agama baru dengan sebutan Islam, yaitu agama
rasulullah dari negeri Arab dan dianuti oleh para raja
Negara bawahannya. (h. 315)
Mendengar penuturan dari Prabu
Cakraningrat itu, para pengageng / pembesar
negara dan kawula alit terdiam seribu basa. Namun
akhirnya sesepuh Sanghyang pun menerangkan
bahwa apa yang sedang terjadi itu benar adanya.
Bahkan tidak sedikit dari orang-orang sunda sendiri
yang berguru ilmu kepada Kanjeng Sinuhun Jati.
Dengan demikian situasi seperti ini jika tidak
dibendung maka akan merupakan suatu ancaman
atas keutuhan Kerajaan Galuh.
Atas dasar kejadian itu berkatalah Sang
Narapati, “Baiklah, kalau begitu segeralah bersiap-
siap untuk membumi hanguskan Negara Carbon
yang telah berani memisahkan diri dari Galuh dan
telah bertindak sewenang-wenang mengembangkan
agama baru yang bertentangan dengan leluhur
Galuh”. Para Adipati bawahan Galuh, Para
Sanghyang, abdi ageng dan kawula alit menyatakan
sumpah kesetiaan kepada Sang Prabu. Mereka
semua siap membela keagungan dan keutuhan
Kerajaan Galuh. Kemudian mereka memohon pamit
keluar dari Pasowanan Dalem untuk mempersiapkan
segala sesuatunya.

59 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Suara Bende pertanda perang terdengar
bertalu-talu, sebagai tanda agar para wadyabala
Galuh supaya segera berkumpul dan siaga. Dalam
sekejap terjadilah hiruk pikuk para prajurit, mereka
semua segera mempersiapkan diri masing-masing.
Pasukan berkuda, barisan panah, tombak, pedang
dan keris segera membentuk formasi. Demikian pula
ada barisan prajurit yang mempersiapkan
perbekalan; Beras, kelapa, kerbau, sapi, arak,
anggur, brendi, jenewer, dan pokak bali telah
disiapkan. (h. 316) Ada juga yang mempersiapkan
peralatan untuk membuat perkemahan agung dan
prajurit, demikian juga ada yang mengadakan
sarana hiburan gamelan waranggana, dan lain
sebaginya.
Setelah semuanya siaga segeralah pasukan
prajurit Galuh diberangkatkan, para Gegeden berada
dibarisan paling depan sambil mengiring dan
mengerumuni Sang Prabu. Dalem Kiban dari
Palimanan sebagai Panglima menaiki Gajah Oga
yang dihiasi dengan pernak-pernik bersinar
berkilauan, didepannya Ki Suradipa, Ki Dipasara
menaiki kuda. Sementara itu dibelakangnya Regen
Ciyamis dengan pasukan elit yang menandu Sang
Prabu Galuh Cakraningrat yang sedang duduk
didalam tandu Malige Rukmin.
(h.317) Dibelakangnya ribuan pasukan
dengan sikep masing-masing. Pemandangan
disepanjang jalan sungguh menarik, rakyat
disepanjang perjalanan menuju lapangan perang
sesak berjubel menonton dan mengelu-elukan para

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 60


pengagung dan prajurit Galuh. Demikian pula
tambur, terompet, kendang, gong dimainkan
disepanjang perjalanan hingga menjadi sangat
meriahlah suasana. Prajurit terlihat sangat
bersemangat berorak-sorai bagaikan laut banjir, ada
juga yang berteriak-teriak bersahutan, tepuk tangan
dan lain-lain hingga suaranya bagaikan langit mau
runtuh dan membuat mencekam musuhnya.

Kerajaan Talaga merupakan basis Kerajaan Galuh


yang mendukung Prabu Jayaningrat. Ketika Arya Kiban
memimpin prajurit Galuh mundur untuk bertahan di Talaga
maka saat itu Prabu Jaya Asmara penguasa kerajaan Pasir
Gula Sagandu yang
menikahi Tanduran Gagang
32
adik dari Rangga Mantri
datang membantu pasukan
Galuh yang tersisa. Saat itu
penguasa Talaga adalah
Prabu Rangga Mantri yang
baru dilantik menggantikan
mertuanya dan bergelar
Pucuk Umun Talaga.

Arca Dari Talaga (dok KTLIV Leiden)

32
Yoseph Iskandar., Op.Cit., hlm 275

61 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


C. Rangga Mantri
Dalam naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa
Kulwan disebutkan bahwa Rangga Mantri adalah putra
Munding Surya Ageung. Sedangkan ibunya menurut Salinan
Rundayan Talaga bernama Putri Mayangsari Karuna. 33
Mundingsari Ageung adalah putra Sri Baduga Maharaja dari
istrinya yang bernama Ratu Istri Rajamantri 34 atau Ratu
Ratnasih, selir ke 12 35 Sri Baduga Maharaja. Ayah Rangga
Mantri dituliskan Naskah Pustaka Pararatwan I bhumi Jawa
Kulwan :
(88) …hana pwa raden parung ngangsa, putraning raden
munding surya
(89) ageng, atawa raden munding wangi ngaranira waneh,
sedeng raden munding surya ageng putraning raja
pajajaran sang ratu jaya dewa-ta, atawa sri baduga
maha raja sakeng stri nire kangrwa welas,…
Terjemahan :
(88) …Adapun Raden Parung Gangsa putra dari Raden
Munding Surya
(89) Ageng atau Raden Mundingwangi namanya yang lain.
Sedangkan Raden Muding Surya Ageng putra dari
Raja Pajajaran, Sang Ratu Jaya Dewata atau Sri
Baduga Maha-raja dari istrinya yang kedua belas….

33
Naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan hanya
menyebut Mundingsari Ageung sebagai ayah dari Rangga Mantri. Tidak
menyebut nama ibunya.
34
Muhamad Mukhtar Zaedin.,dkk. Op. Cit., hlm. 78
35
Istilah selir ke 12 juga terdapat dalam Naskah Negarakertabumi,
tanpa menyebutkan nama selir tersebut.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 62


Sedangkan Mayang Karuna diterangkan dalam Salinan
Serat Rundayan Talaga trah Ratu Laubarangsari saking
Pangeran Ariya Satjanata/ Bupati Panjalu 36 (selanjutnya
ditulis Salinan Serat Rundayan Talaga) Rundayan Talaga
pada pasal kaping nem, Caremnipun Kaprabon Alas
Talaga:

Sang Katong Prabu Dharmasuci Abirawa (1146 tug


dugi 1219) puputra kalih: Purwayana
Kancanadewa/RadenPanglurah. Saparantos ngagem
Budhamahayana nami nira katelah Kang
sarwatiwasda Dharmasakiya Dang Purwayana;
sadurungna maguron hing Nalanda Sriwijaya
hanggarbeni marang Ratu Mayangsari saking
Kaputren Baruhjaksi wanoja Cantrika ti Adjar
Garasiyang nurunkeun putri nami Mayangkaruna
nulad nami pernah uyut; dirorok ti sabarang brol ku
Bagawan Garasiyang.

Rangga Mantri berkuasa di Talaga tahun 1452 saka


atau 1530 Masehi. Ia naik takhta mewarisi kekuasaan dari
mertuanya yaitu Batara Sakawayana alias Sunan Parung
atau Sunan Corendra, ayah dari Ratu Dewi Sunyalarang.
Sebelumnya, Rangga Mantri adalah penguasa Maja, yang
mewarisi kekuasaan dari ayahnya, Munding Surya Ageung
yang ditugaskan oleh Sri Baduga Maharaja sebagai ratu di
Maja. Rangga Mantri naik takhta tepat ketika Cirebon

36
Ditulis Raden Demang Kramadinata yaitu cucu Pangeran Ariya
Wiradipa (putra Arya Sacanata), dituangkan dalam kertas daluwang
menggunakan aksara Sunda cacarakaan. Sampulnya dari kulit mencek
yang masih ada bulunya. Naskah tersebut kemudian dilengkapi dari
sumber lain dan ditulis ulang oleh R.Suparman Sastrawijaya.

63 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


menyerbu Talaga. Setelah Talaga di kuasai Cirebon,
Rangga Mantri menghadap ke Pakungwati Cirebon. Oleh
Susuhunan Jati Cirebon, Rangga Mantri dijadikan Bupati
Talaga dengan gelar Sang Pucukumum 37 dan berkuasa
sampai 1534 Masehi.
Dalam naskah Sejarah Galuh 38 atau turunannya
seperi Babad Galuh Imbanagara, dikisahkan bahwa Prabu
Siliwangi dari istri ke 12 yang bernama Ratu Raja Inten
Kedaton mempunyai putri bernama Baliklayaran yang
menikah dengan Sunan Kabuaran. Dari pernikahan itu
menurunkan Prabu Pucuk Umun (Rangga Mantri). Pucuk
Umun mempunyai anak bernama Prabu Haur Kuning yang
kemudian akan menurunkan Bupati-bupati Galuh (Ciamis).39
Hubungan Sunan Kabuaran dengan Balik Layar juga
disebutkan dalam naskah Nagarakretabhumi karangan
Pangeran Wangsakerta. Namun didalamnya tidak
menyebutkan Rangga Mantri sebagai putra Sunan Kabuaran
dan Baliklayaran, namun hanya menjelaskan bahwa Sunan

37
Istilah Pucuk Umun bermakna raja yang disembah digunakan
oleh beberapa penguasa wilayah Pajajaran. Sedangkan Pucuk Umum,
merupakan gelar yang digunakan setelah masuk Islam memiliki makna
pemimpin Umat
38
Naskah Sejarah Galuh adalah koleksi Raden Angga
Kusumasumbada, patih pengsiunan di Galuh (Ciamis) dengan no Katalog
Lor.7399 (4). Lihat Ensiklopedi Sastra Sunda, Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan (1997)
39
Raden Padmadikusumah, adalah penyusun Naskah Sejarah
Galuh berdasarkan tiga buah naskah lainnya yang merupakan milik
Bupati Galuh R.A.A Kusumahdiningrat (1836-1886), Bupati Galuh
R.T.Wiradikusumah (1815-1819) dan R.A.Sukmandara (1819), Lihat
Ensiklopedi Sastra Sunda, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
(1997)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 64


Kabuaran alias Sanghyang Montel dari perkawinannya
dengan Ratna Kedaton Balik Layar, memiliki putri bernama
Nyi Sekarwangi yang diperistri oleh Sang Prabu Sanghyang.
Yang dimaksud Sang Prabu Sanghyang ini adalah Prabu
Surawisesa. Sunan Kabuaran atau Sanghyang Montel
adalah putra Banyak Catra. Selanjutnya Nagarakretabhumi
menyebut bahwa Banyak Catra adalah putra Sang Prabu
Mundingkawati. Sang Prabu Mundingkawati putra Prabu
SanghyangTunggal. 40 Banyak Catra memiliki 4 orang adik
yang bernama Banyak Ngampar yang menjadi Bupati Galuh
di Dayeuh Luhur, Ratna Ayu Kirana yang diperistri oleh
Raden Baribin dari Majapahit dan yang terakhir adalah
Kusumalaya atau Ajar Kutamangu.
Jika Rangga Mantri adalah putra Sunan Kabuaran
dari Ratna Kedaton Balik Layar, maka hubungannya dengan
Nyi Sekarwangi adalah kakak beradik. Maka hubungan
Rangga Mantri dengan Surawisesa menjadi ipar. Hal ini
menjelaskan kenapa Rangga Mantri memihak kepada
Pajajaran saat pasukan Galuh bertahan di Talaga. Nama
Baliklayaran juga disinggung dalam naskah Carita Ratu
Pakuan yang ditulis oleh pertapa Kai Raga di Sutanangtung,
Gunung Larang Srimanganti pada abad 18 Masehi. Dalam
naskah tersebut tercatat nama Baliklayaran dalam bait
berikut :
Saha nu ngapit joliyan/tebéh katuhu mama nu
geulis Baliklayaran/putri ti Kalapa Girang/tebéh
ké(n)ca Baliklarangan/Seuweu Susuhunan urang
kalapa/putri ti Kalap Hilir/ tebéh tukang Mayang

40
T.D. Sudjana, Naskah Nagara Kretabhumi, Dwitya Sarga
(Cirebon:2007), terj. hlm.33

65 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Pangabar/seuweuna purwa Pulo Sagara/putri ti
Kandanghaur..41

Terjemahan :
Siapa gerangan yang mengapit kereta kencana, di
sebelah kanan ibunda yang cantik Baliklayaran, putri
dari Kalapa Girang, disamping kiri Baliklarangan,
putri pemimpin masyarakat Kalapa, putri dari Kalapa
Hilir. Dibelakang Maya Pangabar, putra sulung Pulau
Sagara, putri dari Kandang Haur.

Dalam Carita Ratu Pakuan, Baliklayaran adalah putri dari


Kalapa Girang, dan karena naskah tersebut bercerita calon-
calon istri Ratu Pakuan (Sri Baduga Maharaja) maka
Baliklayaran kelak menjadi istri Sri Baduga Maharaja. Nama
Sunan Kabuaran dan Baliklayaran disebut pula dalam
naskah Babad Tjirebon pada bagian Bab Burak Pajajaran
yang menceritakan putri Prabu Siliwangi yang bernama
Dewi Baliklayaran bersama suaminya, putra Raja Galuh,
mendirikan kerajaan dengan ibukota diluar ibukota
Pajajaran, dan rajanya dikenal sebagai Sunan
42
Kabuaran. Naskah ini juga rupanya tidak menyebut

41
Dalam catatanya, Atja membagi Carita Ratu Pakuan dalam
dua bagian. Pertama, mengenai gunung-gunung pertapaan para pohaci,.
Kedua, kisah mengenai Putri Ngambetkasih diperistri oleh Ratu Pakuan,
lihat “Menyelamatkan Alam Sunda Dan Beberapa Kajian Mengenai
Sunda” , Sundalana (2007)
42
Babad Tjirebon bertuliskan arab pegon berbahasa Cirebon
Madya dialih aksarakan oleh Pangeran Sulendraningrat diberi judul baru
Babad Tanah Sunda

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 66


Rangga Mantri sebagai anaknya dan sepertinya merujuk
kepada Naskah Nagarakretabhumi.
Mencermati silsilah orang tua Rangga Mantri dari
sumber-sumber naskah diatas akan terasa "plot less"
(simpang siur). Keterangan silsilah yang tumpang tindih itu
tentu menjadi bias untuk mencari pendekatan mengenai
orang tua Rangga Mantri. Naskah babad selain ditulis lebih
muda usianya juga rentan oleh distorsi karena mengalami
proses salin ulang dari naskah sebelumnya atau hanya
ingatan sejarah yang diinterpretasikan dalam bentuk
tulisan. Termasuk juga naskah yang mengandung silsilah di
dalamnya rata-rata hanya menuliskan rundayan
kekeluargaan yang berkembang di daerahnya saja,
sehingga satu tokoh sejarah terkadang memiliki nama
berbeda sesuai sebutan yang berkembang di daerahnya.
Hal itu terjadi dalam kasus orang tua Rangga
Mantri, dalam Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan
ayah Rangga Mantri adalah Mundingsari Ageung,
sedangkan naskah babad yang berasal dari Galuh, ayah
Rangga Mantri adalah Sunan Kabuaran. Menurut sumber
Talaga ibunya adalah Mayang Karuna, sedangkan catatan
naskah di Galuh, ibunya adalah Baliklayaran. Manakah yang
paling mendekati kebenaran? Apakah Mundingsari Ageung
identik dengan Sunan Kabuaran dan Mayang Karuna identik
dengan Baliklayaran? Untuk mendapat jawabannya masih
dibutuhkan sumber-sumber yang lain yang lebih mantap.
Diantara naskah-naskah diatas yang lebih mendekati
terhadap eksistensi Rangga Mantri, Mundingsari Ageung,
Baliklayaran dan Sunan Kabuaran adalah Pustaka
Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan yang mulai disusun tahun
1670, dan Nagarakretabhumi hasil dari Gotrasawala yang

67 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


ditulis tahun 1692 Masehi. Keduanya sama-sama disusun
oleh tim Pangeran Wangsakerta. Kisah tentang Rangga
Mantri maupun Sunan Kabuaran dan Baliklayaran
sebetulnya tidak bertentangan,namun keduanya juga tidak
berhubungan. Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan
tegas menulis bahwa ayah Rangga Mantri adalah
Mundingsari Ageung namun tidak menuliskan ibunya.
Nagarakretabhumi dan Bababd Tjirebon menuliskan bahwa
Sunan Kabuaran adalah Suami dari Baliklayaran namun
tidak menyebutkan Rangga Mantri sebagai salah satu
anaknya.
Maka dari pendekatan terhadap tahun penulisan
naskah Wangsakerta yang mendekati periode Rangga
Mantri, hanya bisa disimpulkan bahwa Rangga Mantri
adalah putra Mundingsari Ageung. Demikian pula dari
Nagarakretabhumi, disimpulkan Sunan Kabuaran dan
Baliklayaran adalah suami istri dari Pajajaran namun bukan
orang tua Rangga Mantri. Adapun ibunya Rangga Mantri
lebih condong kepada Mayang Karuna, karena sumber
naskahnya, baik itu Salinan Serat Rundayan Talaga maupun
naskah Babad Galuh dan turunannya sama-sama naskah
salinan yang usianya lebih muda. Sumber-sumber di Galuh
kemungkinan merujuk kepada Babad Tjirebon yang
selanjutnya ditafsir ulang dari penulisnya sehingga muncul
Rangga Mantri sebagai putra Sunan Kabuaran dan
Baliklayaran. Selain itu, tokoh Baliklayaran memiliki banyak
tafsir berbeda antara Carita Ratu Pakuan dan
Negarakertabumi mengenai hubungannya dengan Sri
Baduga Maharaja.
Dari keterangan teks-teks naskah diatas, terutama
naskah-naskah Wangsakerta maka Rangga Mantri dengan

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 68


Prabu Jayaningrat sama-sama cucu dari Sri Baduga
Maharaja. Demikian pula dengan Susuhunan Jati, Ia juga
cucu Sri Baduga Maharaja dari Neneknya, Subanglarang.
Sehingga pertempuran antara Cirebon dan Galuh bisa
disebut pertempuran para cucu Sri Baduga Maharaja.
Kemudian Naskah Pustaka Pararatwan I bhumi Jawa
Kulwan sargah 4 juga meyebutkan bahwa :
(87)…satuluynya sunan parung mastri lawan ratu
mayangsari ngaranira putrining raja kuningan
prabu langlang buwana. ing pasa-nggamanira
sunan parung lawan ratu mayangsari maputra
pirang siki, salah tunggal pantaranya yata, ratu
parung, atawa ratu wulansari ngara-
(88) nira waneh pinaka stri dening ratu mandhala
maja yata, raden parung gangsa, atawa rangga
mantri, ngaranira waneh madeg raja talaga,
yateng sahasra patangatus limang puluh rwa,
ikang sakakala.
(90)…ateher kata manih, prabu cakrawati raja
kuningan maputra prabu langlang bu-
(91) wana. ateher prabu langlang buwana maputra
pirang siki. telung siki pantaranya yata. pratama,
ratu mayang kuning ngaranira, pinaka stri
dening raden suralaya, atawa rangga mantri
ngaranira waneh ratu mandhala maja. dwitiya,
dalem dungkut ngaranira, pinaka ratumandhala
kawali. tritiya, ratu mayangsari ngaranira pinaka
stri dening sunan parung.
Terjemahan :

69 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


(87)…Selanjutnya Sunan Parung menikah dengan
Ratu Mayangsari namanya, putri dari Raja
Kuningan Prabu Langlang Bhuwana. Dalam
perkawinannya Sunan Parung dengan Ratu
Mayangsari berputra beberapa orang. Salah satu
diantaranya ialah, Ratu Parung atau Ratu
Wulansari nama-
(88) nya yang lain. Diperistri oleh Ratu Daerah Maja
ialah, Raden Parung Gangsa atau Rangga Mantri
namanya yang lain. menjadi raja Talaga, yaitu
pada seribu empatratus lima puluh dua tarikh
Saka.
(90) ,,,Kemudian lagi menurut kisah legenda,Prabu
Cakrawati Raja Kuningan, berputra Prabu
Langlang Bhu-
(91)wana. Kemudian Prabu Langlang Bhuwana
berputra beberpa orang. tiga orang diantaranya
ialah: Pertama, Ratu Mayang Kuning namanya.
Diperistri oleh Raden Suralaya atau Rangga
Mantri namanya yang lain, Ratu Daerah Maja.
Kedua, Dalem Dungkut namanya. Selaku Ratu
Daerah Kawali. Ketiga, Ratu Mayangsari
namanya. diperistri oleh Sunan Parung.43
Dalam 4 pupuh terdapat keterangan yang agak unik
tentang hubungan pernikahan dua orang putri Prabu
Langlangbhuwana. Yaitu Ratu Mayang Kuning yang dinikahi
Rangga Mantri alias Raden Suralaya, dan Ratu Mayang Sari
yang dinikahi oleh Sunan Parung alias Sunan Corendra. Jika
diilihat dari jalur kekeluargaan Prabu Langlangbhuwana,

Muhamad Mukhtar Zaedin.,dkk. Op. Cit., 69.


43

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 70


maka hubungan Rangga Mantri dan Sunan Parung adalah
ipar, sama-sama menantu Prabu Langlangbhuana. Namun
dilihat dari jalur Talaga, maka Sunan Parung adalah mertua
dari Rangga Mantri karena dalam silsilah Talaga disebutkan
bahwa Sunan Parung dan Mayang Sari adalah ayah ibu dari
Ratu Parung Sunyalarang (Wulansari) yang dinikahi oleh
Rangga Mantri.
Pandangan politik Rangga Mantri pada saat itu
adalah condong membela Pajajaran sehingga ia bersedia
menjadikan Talaga sebagai basis pertahanan pasukan
Galuh yang tersisa. Bagaimanapun juga, dalam
keyakinannnya Rangga Mantri memiliki hubungan lebih
dekat dengan Jayaningrat dan Surawisesa. Saat Cirebon
akan melanjutkan menggempur Talaga, Pangeran
Walangsungsang meninggal dunia di tahun 1529 Masehi.
Maka peperangan terhenti sesaat untuk menghormati
sesepuh utama Cirebon sekaligus putra Sri Baduga
Maharaja yang kiprahnya dihormati dan disegani di Tatar
Sunda.
Tahun 1530 Masehi, setahun setelah kepergian
Pangeran Walangsungsang atau lebih dikenal sebagai
Pangeran Cakrabuana, Cirebon kembali menggempur
Talaga dengan kekuatan penuh. Serangan tersebut
membuat pasukan Galuh dan Talaga terdesak. Patih Talaga
yang bernama Montas tertangkap. Rangga Mantri yang
baru berkuasa di tahun itu berusaha melarikan diri bersama
Tanduran Gagang. Namun hanya Tanduran Gagang yang
berhasil meloloskan diri sedangkan Rangga Mantri jatuh
terkilir dan akhirnya dihadapkan kepada Susuhunan Jati.
Pada saat itulah Rangga Mantri yang menganut agama
Buddha beralih memeluk Islam setelah mendapat

71 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


pengertian dari Susuhunan Jati. Tanduran Gagang 44 ini
sering disamakan namanya dengan Tanduran Ageung, istri
dari Prabu Di Muntur penguasa Kertabumi. Padahal mereka
adalah tokoh berbeda namun masih memiliki hubungan
kekerabatan.
Dalam beberapa bagian Naskah Salinan Serat
Rundayan Talaga sejalan dengan Naskah Pararatwan I
Bhumi Jawa Kulwan karya Pangeran Wangsakerta.
Terutama yang menyinggung peristiwa di Talaga pada saat
Rangga Mantri berkuasa. Naskah Salinan Serat Rundayan
Talaga Juga menuliskan hal yang tidak dikisahkan dalam
naskah Wangsakerta, juga terdapat perbedaan tahun dan
eksistensi tokoh yang terlibat dalam perjanjian damai
antara Talaga dan Cirebon.
Misalnya Tokoh Pangeran Walangsungsang, dalam
Salinan Serat Rundayan Talaga dikisahkan masih hidup dan
turut mengislamkan Prabu Rangga Mantri. Sedangkan
dalam Naskah Wangsakerta, Pangeran Walangsungsang
sudah meninggal dunia sebelum Talaga diserang Cirebon.
Tokoh Jayaningrat ternyata tidak disebutkan dalam naskah
Salinan Serat Rundayan Talaga. Padahal dalam Naskah
Wangsakerta, tokoh ini memegang peran penting dalam
peristiwa perang di Gunung Gundul Palimanan, yang
menyebabkan Talaga juga kemudian diserang oleh Cirebon.

44
Kisah Tanduran Gagang dapat ditemui dalam naskah
Mertasinga pada Pupuh LIX 02-20, Sedikit berbeda dengan keterangan
Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan. Menurut Naskah Mertasinga
Dewi Mandhapa adalah adik Rangga Mantri, Ia juga Ibu dari Tanduran
Gagang. Sedangkan dalam Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan,
Tanduran Gagang adalah adik dari Rangga Mantri dan Istri dari Prabu
Jaya Asmara.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 72


Gelar Pucuk Umun yang bermakna Pemimpin yang
utama/disembah, kemudian diganti menjadi Pucuk Ummum
yang bermakna Pemimpin ummat setelah Rangga Mantri
dinobatkan oleh Susuhunan Jati di Cirebon. Agama Islam
yang dibawa oleh Pangeran Walangsungsang ketika
mengislamkan Rangga Mantri baru merupakan Islam
syahadat, belum diajarkan Islam secara syariat. Sehingga
tata kehidupan beragama saat itu masih mengacu kepada
agama Hindu-Buddha.
Dengan Islamnya Rangga Mantri atau juga dikenal
sebagai Susuhunan Parung Gangsa maka Talaga pun
menjadi wilayah kekuasaan Cirebon. Islam semakin banyak
di anut masyarakat Talaga setelah Sunan Wanaperih atau
Raden Arya Kikis alias Sunan Ciburang berkuasa di Talaga.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, 45 daerah-daerah
lainnya yang di Islamkan oleh Susuhunan Jati selain yang di
pesisir utara diantaranya Kertabumi, Kuningan, Talaga,
Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntungbantar, Pagadingan,
Indralaya, Imbanganten, Batulayang, Sumedang dan Galuh.
Pangeran Walangsungsang berperan besar dalam
mengislamkan wilayah-wilayah di Priangan Selatan,
sedangkan Pangeran Makhdum mengislamkan daerah Pasir
Luhur
Dengan tunduknya Talaga, maka sejak 1531 Masehi
wilayah Galuh berada di bawah kekuasaan Pakungwati
Cirebon. Di tahun itu pula terjadi perjanjian damai antara
Prabu Surawisesa sang penguasa Pajajaran dengan Sunan
Gunung Jati untuk saling mengakui kedaulatan dan tidak

45
Purwaka Caruban Nagari ditulis oleh Pangeran Aria Tjirebon
tahun 1720 Masehi, Lihat P.S. Sulendraningrat, Penanggung Djawab
Sedjarah Tjirebon, Keprabonan Lemah Wungkuk Tjirebon (1971)

73 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


saling menyerang serta mempererat rasa persaudaraan
sebagai sesama keturunan Sri Baduga Maharaja Pajajaran
atau yang mashur dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Dalam
kondisi damai Prabu Surawisesa membuat prasasti untuk
mengenang kebesaran Sri Baduga Maharaja tahun 1533
Masehi. Dua tahun berselang yakni tahun 1535 Masehi
Prabu Surawisesa wafat dan dipusarakan di Padaren.
Semangat untuk mempertahankan kebesaran
Pajajaran dengan religi leluhurnya masih tumbuh di para
keturunan Prabu Siliwangi. Walau Talaga dikuasai Cirebon
namun eksistensi Kerajaan Galuh setelah Prabu Jayaningrat
gugur dilanjutkan kembali oleh keturunan Rangga Mantri
yang bernama Ujang Ayem alias Prabu Haur Kuning. Tokoh
ini dikenal sebagai penerus Kerajaan Galuh dari masa
Hindu-Buddha dan dilanjutkan oleh keturunannya tatkala
perkembangan Islam semakin kuat dan diiringi perebutan
wilayah kekuasaan antara Mataram, Cirebon dan Sumedang
di tatar sunda. .

D. Prabu Haur Kuning


Kisah tentang Muntur setelah diserang Prabu
Surawisesa tahun 1525 Masehi tidak terdengar lagi sampai
tahun 1585 M. Ada tiga kemungkinan yang terjadi setelah
peristiwa itu. Pertama, Muntur hancur akibat serangan
tersebut dan tamat riwayatnya di Bumi Galuh. Kedua, Arya
Wirasakti dan sebagian masyarakatnya berhasil melarikan
diri ke Cirebon untuk meminta perlindungan. Ketiga, Arya
Wirasakti dan Karatuan Muntur diampuni oleh Prabu
Surawisesa namun harus kembali setia terhadap Pajajaran.
Semua kemungkinan itu bisa terjadi terhadap Muntur.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 74


Setelah diserang Pajajaran, Muntur cukup terjepit
untuk melakukan hubungan dengan Cirebon. Letak
geografis tidak strategis untuk melakukan konsolidasi
dengan Cirebon karena terhalang oleh kekuasaan Prabu
Jayaningrat yang berpusat di Kawali. Jalur lainnya adalah
melintasi Cijolang untuk mencapai Kuningan yang menjadi
perbatasan Galuh dan Cirebon. Di Kuningan yang
merupakan wilayah Cirebon banyak pesantren-pesantren
yang dikembangkan oleh para kyai yang berguru ke
Cirebon. Namun jalur itu juga terhalang oleh kekuasaan
Talaga di Darma yang berkiblat kepada Galuh.
Islam semakin berkembang pesat setelah Galuh dan
Talaga berada di bawah kekuasaan Cirebon tahun 1531
masehi. Maka Kawali sebagai bekas pusat kekuasaan Galuh
kemudian diperintah oleh Pangeran Dungkut sebagai Bupati
Kawali dari tahun 1532-1545 Masehi. Keadaan Muntur
setelah diserang Prabu Surawisesa menggeliat kembali
ketika Rangga Permana mendirikan Kerajaan Galuh
Kertabumi di Kawasan Gunung Susuru tahun 1585 Masehi.
Kertabumi menjadi bagian dari pembabakan sejarah Galuh
yang didirikan oleh dinasti Prabu Haur Kuning.
Nama Prabu Haur Kuning sebagai tokoh sejarah
ditulis dalam beberapa naskah, diantaranya Naskah Babad
Galuh, Naskah Salinan Serat Rundayan Talaga dan Naskah
Babad Galuh Imbanagara. Naskah-naskah tersebut
sementara ini dapat dijadikan pembanding untuk
mendapatkan gambaran tentang Prabu Haur Kuning. Dalam
Naskah Babad Galuh yang merupakan koleksi naskah kuno
Keraton Kasepuhan, Prabu Haur Kuning disebut juga Prabu

75 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Ardikuning. Teks Babad Galuh. 46 yang menyebut Prabu
Ardikuning dan keturunannya terdapat dalam pupuh
xlviiiDhandhanggula, bait 4,5,6,7 dan 11. :

(04) Pucuk umun agagarwa, Inten Kadhaton putren


titilaring, sang Prabu Ciyungwanara. Careming jodho
ika mutrani,

(05) Prabu Ardikuning namanira, anuli puputra roro,


Sangyang Sarepan Agung, lan Maraja Cipta kang
linggoh, ing Galuh apuputra, Santohan Kolelet nuli
sisiwi, kyai Gedheng utama.

(06) Gedheng Utama puputra dalem Japati, nuli


puputra ji Japatingora, nuli puputra ing mangke,
nama ki Pati ika sisiwi, kyai Wiranegara, dupi ika mau,
Maraja Cipta puputra, ya tetelu kang dhingin istri
anami, Maraja Dalem Agengan.

(07) Jujuluke Tanduran Ageng Asri, kapindhone nama


Sangyang Pramana, Yang Dhigaluh jujuluke, kaping
telune ya iku, Cipta Pramana kang linggih, aneng
Kakarasuka, ya Prabu Dhigaluh, mangka mau mraja
dalem agen laki, ing Susunan Batuganda.

(11) Dupi Cipta Pramana kang niti, ing Dhigaluh ing


Kakarsuka, anuli Miyos putrane, ingkang paparabipun,
ki Dhipati Panahekan yakti, nuli ika puputra, nengga

46
Kumitir,Alangalang, Babad Galuh.
alangalangkumitir.wordpress.com. 9 Maret 2018

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 76


naminipun, Akimas Imbanegara, nuli puputra ki
Gedhe ana ing, Cohaka ning Sorpura.

Terjemahan :
(04)…..Adapun Prabu Pucuk Umun memperistri Nyi
Inten Kadaton, seorang putri yang ditinggalkan oleh
Sang Prabu Ciyungwanara.

(05) Dari perkawinannya itu melahirkan putra yang


bernama Prabu Ardi Kuning, kemudian menurunkan
dua orang putra bernama Sangyang Sarepan Agung
dan Maraja Cipta yang berkedudukan di Galuh,
menurunkan putra Santohan Kolelet. Selanjutnya
menurunkan putra bernama Gedheng Utama.

(06) Gedheng Utama menurunkan Dalem Japati,


kemudian berputra Japatingora, kemudian berputra Ki
Pati yang menurunkan putra bernama Kyai
Wiranegara. Adapun Maraja Cipta menurunkan tiga
orang putra ; yang pertama perempuan bernama
Maraja Dalem Agengan.

(07) Nama sebutannya adalah Nyi Tanduran Ageng


Asri, putra kedua bernama Sangyang Pramana
disebut dengan Hyang Dhigaluh. Putra ketiga yaitu
Cipta Pramana yang berkedudukan di Kakarasuka.
Prabu Dhigaluh menyuruh kepada Maraja Dalem agar
bersuamikan Susunan Batuganda.

(11) Adapun Cipta Pramana yang memerintah di


Dhigaluh Kakarsuka, kemudian menurunkan putra
bernama Ki Dipati Panahekan, berputra Aki Mas

77 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Imbanegara, berputra ki Gedhe Ana [di] Cohaka
(Godhaka) di Sorpura.

Sumber-sumber di Galuh seperti buku Sedjarah


Galoeh yang di susun oleh R Gun Gun Gurnadi menuliskan
bahwa putra Prabu Haur Kuning berjumlah tiga orang yaitu
Maharaja Upama, Maha Radja Tjiptapermana dan
Sareuseupan Agung. Sedangkan dalam Babad Galuh tokoh
Maharaja Upama tidak disebutkan. Namun selanjutnya Babad
Galuh memunculkan nama Ki Gedeng Utama sebagai putra
Santohan Kolelet. Dalam buku Sedjarah Galoeh maupun
Salinan Serat Rundayan Talaga dan Naskah Babad Galuh
Imbanagara Ki Gedeng Utama adalah putra Maharaja
Upama.
Sumber yang menyebutkan kiprah Prabu Haur Kuning
berbunyi selanjutnya adalah Naskah Salinan Serat Rundayan
Talaga:

Pasal kaping sanga : terah pakuan padjadjaran hing


nagari walangsudji. XXI… Ratu Suniya Larang/Ratu
Subanglarang saking Kraton Parung Champaga,
Hanggarbeni marang Raden Ranggamantri putrane
Raden Pamanahrasa puputra nem: 1. Prabu
Haurkoneng kaping telu (Ratu Galuh Panyocok
kuayana Galugu Citanduy karajaan kerem robih jadi
Rawa Lakbok ),(1550-tug dugi 1560).Nalika anjeuna
jadi Narpati di Talaga, karajaan Talaga jadi Vazal
Kasultanan Demak kaereh ku Dipati Carbon
nurutkeun eusi babadamian Karaton Ciburang
(1557). 2). Ariya Kikis (Sunan Wanaperih).(1560 tug
dugi ka 1565). 3). Ariya Tjutjuk /Dalem Lumaju
Agung (Bupati Majaagung). 4). Pangeran

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 78


Singalodra/Dalem Santoan Luar Singandaru (Sunan
Umbul Luar). 5) Dalem Panungtung /Santoan Patra
Djenar (Girilawungan).6)Dalem Panaekan./Siriwati.47

Teks diatas menceritakan bahwa Raden Rangga Mantri


adalah putra Raden Mundingsari Ageng, menikah dengan
Ratu Sunyalarang yang di Islamkan oleh uwaknya yaitu
Pangeran Walangsungsang tahun 1469 Masehi. Dijelaskan
dalam naskah tersebut bahwa Prabu Rangga Mantri
memiliki beberapa orang putra yaitu : 1) Susuhunan Haur
Kuning (Susuhunan Talaga di Darma, 2) Ariya Kikis (Sunan
Wanaperih), 3.Ariya Tjutjuk /Dalem Lumaju Agung (Bupati
Majaagung), 4. Pangeran Singalodra/Dalem Santoan Luar
Singandaru (Sunan Umbul Luar), 5. Dalem Panungtung
/Santoan Patra Djenar (Girilawungan), dan 6. Dalem
Panaekan/Siriwati.
Kekuasan Talaga setelah Rangga Mantri menurut
Salinan Serat Rundayan dilanjutkan oleh Prabu Haur Kuning
III yang memerintah dari taun 1514 – 1540 Masehi, Haur
Kuning ini disebut pemimpin Sunda Galuh terakhir di
Ciburang. Naskah tersebut juga menjelaskan pada tahun
1541 terjadi perjanjian damai antara Sunda Galuh dengan
Syeh Syarif Hidayatullah, Sultan Cirebon, yang dilaksanakan
di Keraton Ciburang, Maniis. Maka Prabu Haur Kuning III
mewakili Talaga dan Sunda Galuh. Adapun isi perjanjian
damai tersebut :1) Tidak akan saling serang antara
kekuasaan Demak-Cirebon dengan Sunda-Galuh, 2). Pihak
Cirebon setuju menjual kembali garam ke Tatar Sunda

Sastrawijaya, et al., Loc.Cit.


47

79 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Galuh, 3) Raja-raja Sunda Galuh harus membayar upeti
taunan kepada Sultan Cirebon dalam bentuk hasil pertanian
(parabon), dan 4) Jika kelak ada perselisihan antara dua
pihak maka Gusti Sinuhun (Sunan Gunung Jati)
berkewajiban turun untuk mendamaikan. Angka tahun 1541
yang menjadi titimangsa perjanjian Ciburang mungkin
maksudnya adalah tahun 1531 seperti disebut dalam
naskah Wangsakerta.
Adanya tambahan dari Salinan Serat Rundayan
Talaga mengenai peristiwa perjanjian damai seperti
potongan puzzle yang melengkapi peristiwa dalam naskah
Pustaka Pararatwan I bhumi Jawa Kulwan. Hal yang
menarik adalah peranan Prabu Haur Kuning yang tampil
sebagai wakil Talaga dalam perjanjian damai dengan
Cirebon. Hal tersebut bisa difahami karena dalam beberapa
silsilah, Prabu Haur Kuning adalah putra tertua dari Rangga
Mantri sehingga paling berhak atas takhta Talaga. Namun
kiprahnya sebagai penguasa Talaga tidak disebutkan dalam
Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Kulwan. Naskah tersebut
menyebut Sunan Wanaperih sebagai bupati Talaga setelah
Rangga Mantri. Kalimat …rikala sunan Wanaperih madeg
bupati telaga, janapada rat mandhala 48 memiliki pengertian
bahwa salah satu putra Rangga Mantri yang bernama
Sunan Wanaprih ketika menjadi Bupati Talaga maka
penduduk diseluruh wilayahnya memeluk agama Islam.
Sehingga jika dilihat dari konteks kalimat sebelumnya,
terkesan bahwa penguasa Talaga setelah Rangga Mantri
adalah Sunan Wanaprih, bukan Haur Kuning.

48
Zaedin, dkk., Op. Cit., Hlm. 70.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 80


Jika dikonfirmasi dengan Salinan Serat Rundayan
Talaga, kemungkinan besar Sunan Wanaperih berkuasa
setelah menggantikan Prabu Haur Kuning yang pindah ke
wilayah Galuh yaitu Rawa Lakbok atau ke Ciputrapinggan,
menjadi Ratu Sunda Galuh terakhir. Hal itu diungkapkan
dalam kalimat : …Haur Koneng Ratu Sunda Galuh Panyocok
kuayana Galugu Citanduy karajaan kerem robih jadi Rawa
Lakbok 49 . Rawa Lakbok maupun Putrapinggan merupakan
daerah di Galuh selatan, masuk wilayah Pangandaran saat
ini. Keterangan tersebut menjadi benang merah yang
berkaitan dengan cerita di Galuh, bahwa Prabu Haur Kuning
mendirikan pusat kekuasaan di Putrapinggan dan
selanjutnya dikembangkan oleh para keturunannya.
Salinan Serat Rundayan Talaga juga menyebutkan
juga bahwa Prabu Haur Kuning berkuasa di Talaga 1534-
1540 Masehi. Setelah itu Haur Kuning menjadi Narpati
Sunda Galuh sampai tahun 1560 Masehi. Dari
kedudukannya itu terkesan Haur Kuning juga membawahi
Talaga dengan Wanaperih sebagai bupatinya. Dialinea lain
dari naskah tersebut Haur Kuning mulai berkuasa tahun
1514 masehi, kemungkinan tahun itu adalah awal Haur
Kuning berkuasa sebagai Susuhunan Darma dan tahun
1534 diangkat menjadi penguasa Talaga (yang juga
membawahi Darma) sampai tahun 1540 masehi.
Selanjutnya dari tahun 1540 Masehi sampai 1560 Masehi ia
menjadi Narpati Sunda Galuh dan mengembangkan
kekuasaan di Putrapinggan. Penulis atau penyalin naskah
tersebut sepertinya keliru dalam menyebut Sunda Galuh

49
Sastrawijaya, Loc. Cit.

81 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


sebagai kekuasaan Haur Kuning karena saat itu Sunda
Galuh telah menjadi Pajajaran. Dan yang berkuasa saat itu
adalah Ratu Dewatabuana yang berkuasa tahun 1534
sampai 1551 Masehi.
Selanjutnya dalam naskah Pustaka Pararatwan I
Bhumi Jawadwipa disebutkan peristiwa perjanjian damai
antara Talaga dan Cirebon terjadi 1531 Masehi. Sedangkan
dalam Salinan Serat Rundayan Talaga peristiwa itu terjadi
tahun 1541 Masehi. Karena naskah Salinan Serat Rundayan
adalah naskah salinan kemungkinan terjadi kekeliruan
dalam menyalin atau menuliskan angka tahun. Walaupun
demikian peristiwa tampilnya Haur Kuning dalam
perundingan tersebut juga dapat diterima. Alasannya bisa
disebabkan Rangga Mantri pada saat itu dalam kondisi sakit
karena kakinya terkilir ketika gagal melarikan diri sehingga
Ia tidak dapat hadir dalam pertemuan untuk merumuskan
perjanjian damai di Ciburang.
Dalam Salinan Serat Rundayan Talaga sebutan Haur
Kuning adalah gelar yang sudah digunakan oleh 2 tokoh
sebelumnya yang eksistensinya berbeda periode sehingga
digunakan angka dibelakang gelar tersebut untuk
membedakan periodenya. Dua tokoh itu yaitu Prabu
Adhimulya alias Haur Kuning I dan Pabu Banyak Wide atau
Haur Kuning II. Sedangkan Haur Kuning III adalah yang
disebut raja panutup Sunda Galuh. Adanya perbedaan
tahun dan penulisan tokoh yang campur aduk diantara
kedua naskah diatas dapat dimaklumi. Namun keterangan
yang disajikan dalam Naskah Pangeran Wangsakerta untuk
saat ini dapat dijadikan rujukan sebagai sumber sejarah,
karena selain tahun penulisan atau penyusunannya
mendekati konteks peristiwa yang terjadi, juga naskah

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 82


tersebut disusun secara sistematis dengan motede ilmiah
dizamannya. Pangeran Wangsakerta dengan gotrasawala di
tahun 1677 masehi bisa disebut sebagai peletak dasar
penulisan sejarah ilmiah di Nusantara. Keilmiahan penulisan
Naskah Wangsakerta karena merujuk pada cara penulisan
hadist yang ketat sanadnya oleh karenanya isi naskah-
naskah Wangsakerta juga dibubuhi dengan referensi yang
lengkap. Terlepas dari banyak ahli sejarah yang meragukan
keotentikan naskah-naskah Wangsakerta, isinya telah
membuka cakrawala sejarah di Tanah Sunda menjadi
terang.
Naskah lainnya yang menuliskan eksistensi Prabu
Haur Kuning adalah naskah Babad Galuh Imbanagara yang
ditulis oleh Wiradikusumah yang bersumber dari catatan-
catatan yang ditulis oleh Bupati Galuh Raden Aria Adipati
Kusumahdiningrat, Bupati Galuh ke III (1839 – 1886) dan
catatan Raden Aria Natadiredja alias Soekmandara yaitu
Jaksa Kabupaten Galuh Imbanagara, putra Raden Adipati
Natadikusumah, Bupati Imbanagara tahun 1801-1806.
Naskah tersebut ditulis tangan (sambung) menggunakan
hurup latin ejaan Van Ophuijsen.
Hal yang menyangkut silsilah Prabu Haur Kuning
tertulis :
Soenan Kaboearan migarwa Maha Raja
Ratna Kadaton, poetra Praboe Siliwangi ti garwa nu
djenengannana Radja Inten Kadaton. Kagoengan
poetra Praboe Poetjoek Oemoem. Poeportra Praboe
Haoerkoening, kagoengan poetra : 1. Maharadja
Oepama, makamna di Goenoeng Krikil, district
Manondjaja noe toeroen toemoeroen ka Dalem
Djangpati Boepati Ciamis. 2.Maha Radja

83 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Tjiptapermana I, ngahiang di Poetrapinggan
bawahan Kalipoetjang kabupaten Tasikmalaja. 3.
Sareupeun Agoeng ngahiyang di Tjidjolang,
bawahan district Tjidjoelang (Tasikmalaja) . Ieu noe
toeroen toemoeroen ka Gayam Canggong boepati
Rantjah (Tjiamis).
Ari Maha Radja Tjiptapermana I tea
kagoengan poetra 3 : 1) istri Tandoeran Ageung
atanapi Tandoeran Gagang, digarwa koe Praboe
Dimentoer, Boepati Kertaboemi I, poetrana Geusan
Oeleon Soemedang. Ieu noe toeroen toemoeroen ka
Boepati Kertaboemi II Djenengan Maharadja Tjita.
Poepoetra Dalem Singaperbangsa I, II, III, teroes
ka Dalem Wirasoeta noe migarwa Nji Mas Adjeng
Galoeh, Poetra R.A.P Djajanagara.
Eta Dalem Wirasoeta, dialihkeun djadi
boepati. kawitan di Oedoeg-oedoeg tanah Karawang
dina taoen 1678. Sarta digentos djenenganana R.
Adipati Panatajoeda I. toeroen toemoeroen ka para
boepati Karawang djeng Brebes, Boepati Singasari
Panatajoeda. 2) Sanghyang Permana, noe
noeroenkeun para boepati di Bodjonglopang,
Tjiantjang (Oetama) djeung Tjiamis oge. 3) Maha
Praboe Tjiptapermana II Radja di Galoeh
Imbanagara ka I. Djoemenengna radja di taoen
1610 nepi ka 1618, nelah oge Ratoe Kamana,
kagoengan garwa ka Tandoeran Diandjung poetra
R.Loengkoet boepati Kawali. Geus jadi kabiasaan di
oenggal-oenggal karadjaan, kaboepaten, masing
masing aja sadjarah toereonanana. Di Galoeh

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 84


Imbanagara oge kawitna ngan aja 4 toeroenan
boepati. 50

Pada waktu kecil Prabu Haur Kuning disebut Ujang


Ayem, putra Pucuk Umum dari Kembang Tanjung. Dalam
suatu kisah diceritakan bahwa waktu kecil Ujang Ayem
dibawa dalam pengungsian. Karena adanya serangan,
Ujang Ayem tertinggal oleh orang tuanya dan ditemukan
sedang menyusu pada seekor kerbau betina. Dikisahkan
pula, pada waktu kecil Ujang Ayem pernah diculik oleh
orang-orang dikaki Gunung Ceremai yang ingin mempunyai
pimpinan keturunan Prabu Siliwangi. Sebab orang-orang
hindu di sekitar kaki Ciremai diserang terus oleh pasukan
Islam dari Cirebon, tetapi akhirnya Ujang Ayem bisa
selamat ditolong oleh ayahnya. Dan sebagai kenangan
tempat penculikan itu disebut Rajagaluh.51
Keterangan tersebut melengkapi konteks peristiwa
tentang terjadinya serangan dari Cirebon seperti dalam
naskah-naskah diatas. Terdapat keterangan bahwa ibu dari
Prabu Haur Kuning bernama Kembang Tanjung yang
kemungkinan merupakan nama julukan yang bisa ditujukan
untuk Wulansari atau Mayangkuning. Keduanya adalah istri
Rangga Mantri. Namun karena dasar penulisan Buku
Naratas Sejarah Galuh, khususnya mengenai Sunan
Kabuaran sepertinya mengacu kepada naskah Sejarah
Galuh, Babad Tjirebon dan babad-babad lainnya di Galuh
yang kadung merujuk Baliklayaran sebagai ibu Haur Kuning

50
Ibid.
51
H.Djadja Sukardja Naratas Sejarah Galuh Ciamis yang
(Kandepdikbud : 1999), hlm. 57

85 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


maka Kembang Tanjung kemungkinan nama lain dari
Baliklayaran. Sedangkan penyebutan Rajagaluh sebagai
titimangsa tempat penculikan Ujang Ayem tentu tidak tepat
karena nama Rajagaluh sudah eksis sebelum Ujang Ayem
lahir.52

52
Penyebutan Rajagaluh sebagai kenangan tempat diculiknya
Haur Kuning merupakan salah satu versi lokal tentang asal-usul nama
tempat (sasakala) bernama Rajagaluh disesuaikan dengan konteks cerita
yang mendasarinya.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 86


BAB III
Kekuasaan Galuh dari Putrapinggan

Walaupun Rangga Mantri sudah menganut Islam,


namun belum tentu Haur Kuning mengikuti keyakinan baru
itu. Selain itu setelah Talaga ditaklukan Cirebon, Susuhunan
Jati masih memberi kelonggaran bagi pemeluk agama
Hindu-Buddha untuk menjalankan keyakinannya. Maka
setelah Haur Kuning memimpin perjanjian di Keraton
Ciburang dan berkuasa beberapa saat di Talaga, ia mencari
tempat yang dianggap jauh dari jangkauan Cirebon. Haur
Kuning ingin mendirikan kerajaan penerus Pajajaran yang
terancam runtuh, sekaligus membawa misi untuk
membangkitkan kembali pamor Galuh setelah Prabu
Jayaningrat gugur.
Rencana tersebut sebetulnya sudah dilakukan oleh
Rangga Mantri sebelum Talaga diserang Cirebon. Lokasi
pertama yang dipilih Rangga Mantri adalah tempat antara
Sungai Cisanggarung dan Cipamali. Namun lokasi tersebut i
ternyata tidak aman dan masih dapat dijangkau oleh
Cirebon. Kemungkinana ketika Talaga diserang dan
terdesak, ketempat itulah Rangga Mantri dan Tanduran
Gagang akan berlindung. Namun Rangga Mantri tertangkap
karena terkilir kakinya sedangkan Tanduran Gagang
berhasil meloloskan diri.
Rencana itu kemudian dilanjutkan oleh Prabu Haur
Kuning. Setelah melepaskan kekuasaanya di Talaga dan
menyerahkannya kepada Sunan Wanaperih, Prabu Haur
Kuning menuju Galuh selatan dan mendirikan kekuasaan di
Rawa Lakbok. Namun wilayah Rawa Lakbok kurang
mendukung karena sering banjir. Lokasi yang dipilih

87 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


akhirnya bergeser semakin ke selatan yaitu di
Putrapinggan, sebuah kawasan pesisir Pangandaran.
Letaknya dianggap strategis karena berada antara pinggir
pantai dan wilayah pegunungan yang dianggap jauh serta
aman dari jangkauan Cirebon dan Demak. Lokasi ini
diharapkan menjadi tempat bernaung bagi wilayah-wilayah
lainnya yang tidak tunduk kepada Cirebon. Dalam cerita
tutur di Galuh Pakidulan, tempat yang dikembangkan oleh
Haur Kuning disebut Pangauban 53 sehingga dikenal Galuh
Pangauban
Kawasan yang dipilih untuk dijadikan pangauban
adalah di tengah hutan dan hanya berjarak sepenyirihan
dari laut. Luasnya sekitar 100 deupa 54 persegi atau seluas
3 km persegi. Sekelilingnya dipagari tanaman haur kuning
yang berduri 55. Sebelah utara dibuat alun-alun dengan luas
50 deupa persegi (1,5 km persegi), sebelah selatan adalah
tanah kosong seluas 50 deupa persegi. 56
Bangunan keratonnya sangat sederhana, rangka
bangunan terbuat dari kayu campur bambu. Atapnya dari
daun kirai. Di sebelah barat terdapat mata air yang jernih

53
Dari bahasa sunda. aub artinya ikut atau gabung. Pangauban
artinya tempat untuk diikuti atau tempat bergabung.
54
Deupa atau depa adalah jarak yang diukur dari ujung jari
tangan kanan sampai ujung jari tangan kiri dengan kedua tangan
terentang lurus horizontal . 1 deupa sekitar 150 cm. Maka 100 deupa
persegi = 1.500 cm x 2 = 30.000 cm = 3 km persegi.
55
Pohon Bambu Haur berduri disunda disebut Haur Cucuk atau
Awi Duri, tumbuh merumpun dan padat. Pangkal rumpun dapat
dilingkuni oleh cabang dan ranting-ranting berduri, warnanya hijau
mengilap.
56
H. Djadja Sukardja, Kerajaan Galuh, Raja dan Bupati Galuh
Keturunan Prabu Haur Kuning (1999).

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 88


sekali sedangkan di sebelah tenggara didirikan tujuh rumah
untuk para menteri dan pegawai penting kerajaan. Disekitar
rumpun haur dikelilingi oleh perumahan rakyat yang setia
sebanyak 100 orang ditambah oleh rakyat Bagolo dan
rakyat Kamulyan Maratama, Maradua, dan Maratiga yang
setia kepada Haur Kuning. 57 Haur Kuning memerintah di
Putrapinggan namun dimasa tuanya Prabu Haur Kuning
pulang ke Darma. Akhirnya Ia meninggal tahun 1580
Masehi dan dipusarakan di Kadugede, Nusaherang, Darma.
Prabu Haur Kuning adalah sosok yang konsisten dengan
tetap setia kepada Pajajaran namun tetap menghormati
Cirebon. 66 tahun dirinya memegang kekuasaan dari gelar
Susuhunan di Darma, kemudian menjadi Raja Talaga dan
terakhir menjadi penguasa di Galuh. Ia laksana sindunata
yang mengalirkan kembali darah Galuh di nadi
keturunannya kelak.
Kiprah Prabu Haur Kuning di Putrapinggan juga
terekam dalam cerita tentang asal muasal Seni Ronggeng
Gunung. Walaupun sumber lisan seperti mitos, legenda,
folklor dianggap lemah sebagai data sejarah namun masih
merupakan sumber sejarah yang layak dipertimbangkan
untuk mengkoroborasi sumber yang ada. Dari folklor
tersebut setidaknya nama Prabu Haur Kuning disebutkan
dalam sejarah terciptanya Ronggeng Gunung. Hal ini
mengindikasikan bahwa Prabu Haur Kuning pernah
berkiprah di daerah Pangandaran. Beberapa tokoh penting
yang disebutkan dalam kisah terciptanya Ronggeng gunung
diantaranya adalah Anggalarang sebagai putra Prabu Haur
Kuning, Dewi Siti Samboja (permaisuri Anggalarang),

57
Ibid.

89 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Sawung Galing sebagai Patih Prabu Haur Kuning, dan
Kidang Pananjung sebagai Penasehat Kerajaan.
Peninggalan arkeologis di Kecamatan Lakbok yang
mungkin berkaitan dengan Prabu Haur Kuning adalah situs
Kelapa Kuning di Dusun Kelapa Kuning, Desa Sukanagara.
Di wilayah ini ditemukan beberapa arca, lingga, dan yoni.
Sejauh ini belum bisa dipastikan situs ini peninggalan siapa.
Namun dari jenis arca dan adanya lingga yoni dapat
disimpulkan diduga bahwa tinggalan di Kalapa Kuning
memiliki ciri adanya pengaruh Hindu-Buddha yang telah

Arca Tipe Pajajaran dari Lakbok


(Foto Balai Arkeologi Jawa Barat)
mengalami percampuran dengan kepercayaan asli atau
disebut juga arca tipe Pajajaran.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 90


Berdasarkan Babad Galuh Imbanagara, Prabu Haur
Kuning memiliki tiga orang putra. Yaitu Maharadja Oepama,
Maharaja Sanghyang Cipta dan Sareuseupan Agung.
Naskah tersebut tidak menjelaskan kedudukan Maharadja
Oepama, hanya menyebutkan makamnya di Gunung Karikil,
Cineam Manonjaya, Tasikmalaya. Namun dalam penulisan
sumber sejarah lokal di Ciamis sering disebutkan Maharadja
Oepama berkedudukan di Putrapinggan. Sejauh ini belum
dapat dipastikan apakah kedudukannya di Putrapinggan itu
menggantikan Prabu Haur Kuning karena ia dianggap anak
pertama yang paling berhak meneruskan Prabu Haur
Kuning dibanding dua saudaranya.
Maharaja Upama berputra 2 orang yaitu Tanduran
Kuning dan Ki Gedeng Upama. Tanduran Kuning kelak
menikah dengan Ujang Ngoko alias Adipati Panaekan. Ki
Gedeng Upama berputra Santowaan Kolelet yang
menurunkan Dalem Djangpati Djangbaja. Pernikahan
Dalem Djangpati Djangbaja dengan Ni Rd. Tjaweri 58
melahirkan : 1. Dalem Sutabaya, Bupati Bojonglopang
Ciamis (1668-1676), 2.Rd. Asrinagara, dan 3. Dalem
Djangpati I. Kelak keturunan dari Maharaja Upama adalah
bupati-bupati yang berkuasa di Ciamis.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Maharaja
Upama adalah putra kedua Haur Kuning. Oleh karena itu
kekuasaan Haur Kuning di Putrapinggan turun kepada

58
Dalam Buku Silsilah Sedjarah Galoeh yang disusun oleh Gun
Gun Gurnadi, disebutkan Prabu Haur Kuning berputra Maharaja
Sanghyang Cipta, berputra Sanghyang Permana (Bupati Cobodas Hilir),
berputra Dalem Wirabraja, berputra Ni Rd, Tjaweri.

91 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Maharaja Sanghyang Cipta. 59 Naskah lain yang menyebut
para putra Haur Kuning adalah Babad Galuh, yang berbunyi
Prabu Ardikuning namanira, anuli puputra roro, Sangyang
Sarepan Agung, lan Maraja Cipta kang linggoh, ing Galuh
apuputra, Santohan Kolelet nuli sisiwi, kyai Gedheng utama .
Dari teks diatas, Maharaja Upama bahkan tidak disebut
sebagai putra Haur Kuning (Ardikuning). Namun yang
disebut adalah Santowaan Kolelet yang menurunkan Kyai
Gedheng Utama. Hal tersebut bertolak belakang dengan
keterangan Babad Galuh Imbanagara seperti yang telah di
sebutkan diatas. Perbedaan tersebut hal yang umum dalam
naskah babad karena adanya perbedaan informasi yang
mempengaruhi penafsiran penulisannya.
Putra kedua yang bernama Maharaja Sanghyang
Cipta (disebut juga Maharaja Cipta Permana I) berkuasa di
Galuh Gara Tengah (Cimaragas). Setelah meninggal ia
disebut ngahiyang di Putrapinggan. Istilah ngahiyang
menujukan bahwa Maharaja Sanghyang Cipta sampai akhir
hayatnya masih menganut agama leluhurnya. Wilayah
Putrapinggan yang disebut sebagai tempat ngahiyang
Maharaja Sanghyang Cipta mengindikasikan adanya
kemungkinan ia juga berkuasa di Putrapinggan sebelum
pindah ke Gara Tengah Cimaragas. Atau, ia memang ingin
setelah wafat abunya di larung di Ciputrapinggan
mengingat daerah itu adalah cikal bakal galuh yang di
didirikan oleh ayahnya.

59
beberapa peristiwa sejarah di Galuh-Sunda menunjukan
kedudukan anak pertama tidak mutlak menjadi pewaris takhta. Seperti
halnya Mandiminyak, adalah putra ke 3 Wretikandayun, yang menjadi
penguasa Galuh.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 92


Hal lainnya yang mendukung bahwa Maharaja
Sanghyang Cipta meneruskan takhta Prabu Haur Kuning
dilihat dari tahun wafatnya Prabu Haur Kuning tahun 1580
Masehi, karena ditahun yang sama Maharaja Sanghyang
Cipta naik takhta di Gara Tengah. Walau kemungkinan
pergantian kekuasaan juga bisa terjadi terhadap Mahardja
Oepama, namun sumber sejarah lokal di Galuh tidak
mencantumkan awal tahun kekuasaan Mahardja Oepama di
Putrapinggan sehingga sulit untuk diperkirakan periode
kekuasaanya
Maharaja Sanghyang Cipta memiliki 3 orang putra
yaitu : 1. Tanduran Ageung, 2. Maharaja Cipta Permana,
dan 3. Sanghyang Permana. Tanduran Ageung menikah
dengan Rangga Permana, putra Geusan Ulun dari Nyi Mas
Cukang Gedeng Waru. Pernikahan Tanduran Ageung
dengan Rangga Permana melahirkan Sang Raja Cita,
Singadireja, dan Raden Turgina (Dalem Bujang) yang
meninggal waktu kecil. Maharaja Sanghyang Cipta
meninggal tahun 1595 Masehi merupakan raja Hindu
terakhir yang jasadnya dikremasi dan abunya dilarung di
Sungai Ciputrapinggan. Perahu yang membawa abu
jenazahnya diantar perahu-perahu lainnya sampai ke Laut
Selatan (Pangandaran).
Sareusepan Agung dikenal putra Prabu Haur Kuning
ke 3 versi Babad Galuh Imbanagara namun ia putra pertama
versi Babad Galuh. Sareusepan Agung berkedudukan di
Cobodas Cijulang, sehingga dijuluki pula Susuhunan Cibodas.
Tidak banyak keterangan tentang Sareuseupan Agung.
Namun dirinya menurunkan bupati-bupati yang berkuasa
Rancah. Sareuseupan Agung memiliki putra bernama

93 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Susuhunan Cihideung yang menurunkan Adipati Gayam
Canggong (susuhunan Cihideung II) dan menjadi Bupati
Rancah pertama. Adipati Gayam Canggong berputra 4 orang,
yaitu ; 1. Ni Rd. Ratna Wulan, diperistri oleh Susuhunan
Senarasa (bupati Rajadesa), 2. Adipati Djanglapa, 3.
Susuhunan Cihideung III, dan Ni Mas Bara Hideung yang
menikah dengan Adipati Panaekan. Setelah meninggal
disebut ngahiyang 60 di Cijulang. Sareuseupan Agung
kemungkinan meninggal lebih dahulu dari Maharaja
Sanghyang Cipta. Dan patut diduga jasadnya di kremasi dan
abunya di larung ke laut. Alasannya karena raja Hindu
terakhir yang jasadnya dikremasi dan abunya dilarung adalah
Maharaja Sanghyang Cipta.
Setelah Prabu Haur Kuning meninggal tahun 1580,
maka Maharaja Sanghyang Cipta menjadi penguasa Galuh
yang berpusat di Gara Tengah Cimaragas. Ia berkuasa
selama 15 tahun yaitu tahun 1580 sampai 1595 Masehi.
Semasa hidupnya Maharaja Cipta Sanghyang bertekad
membendung pengaruh Islam di Galuh dan bersumpah
akan mengangkat anaknya Sanghyang Cipta Permana
sebagai Prabu di Galuh jika mampu menghentikan
pengaruh Islam yang disebarkan oleh Cirebon. Dengan
tekadnya itu dirinya pergi ke arah timur61 untuk mencegah
masuknya Islam yang dibawa oleh Mataram. Akan tetapi,
60
Ngahiyang bermakna bersatu dengan hiyang, istilah yang
lebih muda digunakan setelah sang mokteng atau sang lumahing.
61
Maharaja Cipta Sanghyang Pergi ke arah timur untuk
membendung pengaruh Islam mengindikasikan perpindahan pusat
pemerintahan dari Putrapinggan ke Gara Tengah yang merupakan
gerbang depan wilayah timur Galuh yang berhadapan dengan kekuasan
Islam Cirebon. sehingga yang disinyalir kuat yang menjadi penerus Prabu
Haur Kuning adalah Maharaja Cipta Sanghyang.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 94


Sanghyang Cipta Permana tidak kuasa untuk mencegah
masuknya Islam. Ia sendiri kemudian memeluk Islam
karena menikahi Tanduran Di Anjung, putri Maharaja
Kawali. (Wildan, 2005).

Lingga yoni dari Lakbok


(Foto Balai Arkeologi Jawa Barat)

95 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


BAB IV
Galuh Kertabumi

A. Dari Raja Ke Adipati


Wilayah Galuh di Kalipucang ketika Prabu Haur
Kuning berkuasa merupakan daerah yang merdeka, tidak
berada di bawah kekuasaan Cirebon, Sumedang dan
Mataram. Bahkan lambat laun lepas dari pengaruh Pajajaran.
Pengembangan agama Islam oleh Cirebon sulit menembus
Galuh saat Prabu Haur Kuning berkuasa sampai
meninggalnya Maharaja Cipta Sanghyang. Sehingga di Tatar
Sunda bisa disebut ada 5 kekuasaan yang berdiri sendiri.
Yaitu Pajajaran, Banten, Cirebon, Sumedang dan Galuh.
Diantara lima kekuasaan tersebut, Pajajaran dan Galuh yang
masih mempertahankan keyakinan lama. Maka Cirebon
berusaha melakukan pendekatan terhadap Galuh melalui
jaringan pernikahan.
Sejak 1529 Islam sudah berkembang di Sumedang
melalui Maulana Muhamad alias Pangeran Palakaran (putra
Pangeran Panjunan). Putra Pangeran Palakaran yang
bernama Pangeran Santri kemudian berjodoh dengan Ratu
Satyasih (Pucuk Umun Sumedang) dan dinobatkan sebagai
penguasa Sumedanglarang tahun 1530. Dari pernikahan itu
lahir Angkawijaya atau Geusan Ulun tahun 1558 Masehi.
Wilayah kekuasaan Sumedang saat itu adalah Sumedang,
Garut , Tasikmalaya dan Bandung. Wilayah Galuh Pakidulan
merupakan daerah ambigu sehingga dipilih oleh Haur Kuning
untuk dijadikan kerajaan yang mandiri. Selepas Pajajaran
runtag tahun 1579, maka tinggal 4 kekuasaan di Tanah
Sunda yang berdiri sendiri yaitu : Sumedanglarang sebagai

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 96


penerus Pajajaran, Banten, Cirebon dan Galuh di
Putrapinggan
Perlahan lahan melaui proses pewarisan, wilayah
kekuasaan Prabu Haur Kuning yang luas mulai terbagi
menjadi wilayah-wilayah kecil. Kertabumi lahir ditanah
kekuasaan Maharaja Sanghyang Cipta yang diwariskan
kepada Tanduran Ageung. Luasnya meliputi sebelah timur
alun-alun Ciamis yang terdiri dari Kecamatan Ciamis,
Cijeungjing, Rancah, Banjar, sampai ke wilayah selatan.62
Dari Babad Galuh diketahui nama lain dari Tanduran
Ageung yaitu Maraja Dalem Agengan atau disebut juga Nyi
Tanduran Ageng Asri adalah putri tertua Maha Radja
Tjiptapermana. Namun Babad Galuh tidak menyebutkan
Rangga Permana sebagai suami Tanduran Ageung. Naskah
tersebut menyebutkan bahwa Prabu Di Galuh menyuruh
kepada Maraja Dalem (Tanduran Ageung) agar bersuamikan
Susunan Batuganda.
Rangga Permana alias Kyai Rangga Patra Kelana
dalam silsilah Sumedang dituliskan sebagai putra Geusan
Ulun dari Nyi Mas Cukang Gedeng Waru. Dibawah ini
gambaran lengkap keluarga Prabu Geusan Ulun dari tiga
istrinya. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri
Sunan Arya Pada /Prabu Seda), menurunkan 14 anak.
kedua Ratu Harisbaya, putri putera Adipati Katawengan
menurunkan 1 orang anak, ketiga dari Nyi Mas Pasarean
menurunkan 5 orang anak. Dari ketiga istri tersebut Geusan
Ulun dikaruniai 20 orang putra.

62
Gambaran mengenai wilayah Kertabumi terdapat dalam
catatan R.Yusuf Suriadiputra (Bupati Ciamis 1945-1958).

97 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Dari isteri pertama yaitu Nyi Mas Cukang Gedeng
Waru, berputra : 1. Pangeran Rangga Gede / Kusumadinata
IV, 2. Raden Aria wirareja I, 3. Kyai Kadu Rangga Gede, 4.
Kyai Rangga Patra Kelana /Kalasa/Pangeran Rangga
Permana, 5. Kyai Aria Rangga Pati, 6. Kyai Ngabehi
Watang, 7. Nyi Mas Demang Cipaku, 8. Nyi Mas Ngabehi
Martajoeda, 9. Nyi Mas Rangga Wiratama, 10. Nyi Mas
Nitinagara, 11. Nyi Mas Rangga Pamade, 12. Nyi Mas Dipati
Oekoer, 13. Pangeran Tumenggung Tegal Kalong, dan 14.
Kyai Demang Tjipaku. Dari istreri kedua, Harisbaya,
berputra :1. Pangeran Rangga Gempol I/Kusumadinata
III/Pangeran Aria Soeriadiwangsa. Dan putra Geusan Ulun
dari isteri ketiga yaitu Nyi Mas Pasarean, berputra : 1. Rd.
Kartadjiwa, 2. Rd. Mangoenrana, 3. Rd. Tampangkil, 4. Nyi
Raden Soemalintang, dan 5. Nyi Raden Noestawijah. 63
Tahun 1585 Masehi hubungan Sumedang dengan
Cirebon memburuk gara-gara Geusan Ulun menculik Ratu
Harisbaya dari Panembahan Ratu. Ratu Harisbaya
dinikahinya tahun 1587 masehi. Maka Geusan Ulun merasa
perlu mencari “sekutu” untuk menandingi pengaruh Cirebon
yang semakin berkembang di Galuh. Salah satu upayanya
yaitu dengan mengikat kekerabatan dengan keturunan
Haur Kuning saat itu, yaitu Maharaja Sanghyang Cipta yang
menjadi penguasa gagang di Galuh. Maka dilamarlah
Tanduran Ageung64 anak tertua Maharaja Sanghyang Cipta
untuk Rangga Permana.

64
Tanduran Ageung kadang disebut Tanduran Gagang,
sepertinya untuk menunjukan bahwa Ia anak tertua Maharaja
Sanghyang Cipta, bukan merujuk Tanduran Gagang adik Rangga
Permana

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 98


Lamaran Geusan Ulun diterima oleh Maharaja
Sanghyang Cipta, karena ia berkerabat dekat dengan Geusan
Ulun. Dari garis silsilah diketahui bahwa putra Simbarkancana
yang bernama Sunan Corendra memiliki dua istri. Yang
pertama adalah Nyi Mas Patuakan (Sintawati) dan yang
kedua adalah Mayangsari (putri Prabu Langlangbhuwana).
Dari Nyi Mas Patuakan menurunkan Satyasih alias Ratu Inten
Dewata (Pucuk Umun Sumedang) yang diperistri oleh
Pangeran Santri dan melahirkan Angkawijaya alias Geusan
Ulun. Sunan Corendra dengan Mayangsari melahirkan Putri
Wulansari yang diperistri oleh Rangga Mantri yang kemudian
menurunkan beberapa orang putra diantaranya adalah Haur
Kuning dan Sunan Wanaperih. Maka, Geusan Ulun adalah
uwaknya Maharaja Sanghyang Cipta. Dengan kedekatan
silsilah tersebut maka masuk akal jika dalam Babad Galuh
disebutkan Prabu Di Galuh menyuruh kepada Maraja Dalem
Agengan agar bersuamikan Susuhunan Batuganda, karena
kemungkinan yang dimaksud Susuhunan Batuganda adalah
Rangga Permana.
Selain itu Maharaja Sanghyang Cipta memandang
bahwa Geusan Ulun adalah penerus Pajajaran. Secara prinsip
maupun kekerabatan dirinya lebih dekat dengan Sumedang
dibandingkan ke Cirebon yang dianggap telah
menghancurkan Talaga. Maka akhirnya Rangga Permana
kemudian berjodoh dan menikah dengan Tanduran Ageung.
Sebagai hadiah perkawinan, Maharaja Sanghyang Cipta
memberikan wilayah Muntur kepada Tanduran Ageung.
Peristiwa tersebut terjadi tahun 1585 Masehi, menandai
berdirinya Kerajaan Galuh Kertabumi dengan Rangga
Permana sebagai penguasanya dengan gelar Prabu Di

99 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Muntur. 65 Nekas pusat pemerintahan Kertabumi berada di
Blok Sukama, Dusun Bunder. 66 Selain memperistri Tanduran
Ageung, Prabu Di Muntur juga menikahi Nyi Mas Sukama
atau dikenal Tanduran Sari.
Rangga Permana adalah raja muslim pertama ditanah
kekuasaan Haur Kuning, sehingga Tanduran Ageung juga
memeluk Islam. Kawasan Muntur sejak Sang Arya Wirasakti
berkuasa sudah bercorak Islam maka tidak sulit bagi Rangga
Permana untuk mengembangkan Islam di Kertabumi.
Rupanya hal itu terlambat disadari oleh Maharaja Cipta
Sanghyang yang sejak awal berniat membendung pengaruh
Islam di Galuh. Kedua anak lelaki yang diharapkan
meneruskan jejaknya menganut agama leluhur, akhirnya
malah memeluk agama Islam mengikuti Tanduran Ageung.
Ketika Prabu Di Muntur dan Tanduran Ageung
berkuasa di Kertabumi, dua adiknya juga mewarisi kekuasaan
ditempat lain. Maharaja Cipta Permana meneruskan
takhtaGara Tengah (Nagara Tengah) di Cimaragas. Ia
diangkat tahun 1595 masehi setelah Maharaja Sanghyang
Cipta ngahiyang di Putrapinggan. Sedangkan Sanghyang
Permana menjadi penguasadi Kawasen dan berkedudukan di
Cibodas. Maharaja Cipta Permana yang bernama Ujang
Ngekel rupanya tidak mampu mempertahankan ajaran
leluhurnya, Ia terpikat dan jatuh cinta kepada Tanduran Di

65
Sebutan Prabu Di Muntur untuk Rangga Permana seperti
halnya sebutan Prabu Di Galuh untuk Cipta Permana.
66
Kawasan Sukama adalah bekas pemukiman kuno dengan
banyaknya ditemukan limbah pemukiman masa lalu seperti pecahan
gerabah dan keramik. Blok Sukama ini masih berada di Bojong Gandu
menurut cerita setempat adalah tempat kediaman Prabu Di Muntur atau
keraton Kertabumi.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 100


Anjung67, putri Pangeran Mahadikusumah68 penguasa Kawali
(1592-1643).
Maka oleh Pangeran Mahadikusumah, Ujang Ngekel
disuruh menghadap ke Cirebon dan setelah itu Ujang ngekel
bersedia masuk Islam menikahlah ia dengan Tanduran Di
Anjung. Dan sejak itu Islam berkembang di Gara Tengah
menggantikan Hindu-Buddha. 69 Pernikahan Maharaja Cipta
Permana dengan Tanduran Di Tanjung melahirkan Ujang
Ngoko. Sejak tahun 1595 pengaruh politik Mataram dibawah
kekuasan Panembahan Senopati semakin kuat di Galuh hal
tersebut karena Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil
memaksa Cirebon tunduk kepada Mataram. 70 Namun
Panembahan Senopati belum intensif mengeksplorasi
kekuasaan politiknya di Kerajaan Galuh. Ia masih mengakui
kedudukan penguasa Galuh sebagai raja yang memerintah
wilayah kekuasaannya tidak atas nama Mataram.71
Rangga Permana Sang Prabu Dimuntur atau Bupati
Kertabumi I meninggal tahun 1602 dan dimakamkan di
Dusun Bunder, Desa Kertabumi. Komplek makamnya

67
Anjung perubahan kata dari Tanjung, merujuk pada wilayah
di Desa Selamaya, Kecamatan Lumbung Kawali.
68
Disebut Juga Maharaja Kawali, Putra Pangeran Bangsit atau
Mas Palembang yang berkuasa tahun 1575-1592. Pangeran Bangsit
putra Pangeran Dungkut bupati pertama kawali yang diangkat Cirebon
tahun 1528-1575 Masehi. Lihat H.Djadja Sukardja, Astana Gede Kawali
(Ciamis : 1998) cet.1, hlm.32-33
69
Dadan Wildan.,et-al, Sejarah Ciamis,
(Bandung:Humaniora),2005), hlm.71.
70
F.de Haan, Priangan: De Preanger Regentschappen onder het
Nederlandsch Bestuur tot 1818 lihat Yuliani Sopiani, R.A.A.
Kusumahdiningrat & R.A.A. KusumasubrataGaya Hidup Bupati-bupati
Galuh ombak (2012), hlm.20.
71
Wildan, et-alOp.cit, hal 72.

101 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


menempati bagian teratas sebuah bukit kecil yang dikelilingi
pesawahan penduduk, di sebelah timurnya mengalir Sungai
Cimuntur. Di Komplek utama makam Prabu Di Muntur
terdapat empat makam lainnya. Yang pertama adalah
makam Prabu Di Muntur, sebelah kanannya makam
Tanduran Ageung, dibagian kirinya adalah makam kecil milik
Dalem Bujang (R.Turgina) 72 dan dibagian selatan adalah
makam Sang Raja Cita73
Penguasa Kertabumi berikutnya adalah Sang Raja
Cita, putra Prabu Dimuntur bergelar Kertabumi II yang
berkuasa dari 1602 dan wafat tahun 1608 masehi. Raja Cita
dimakamkan di Kampung Bunder satu komplek dengan
ayah dan ibunya. Putri Raja Cita bernama Natabumi
diperistri oleh Ujang Ngoko alias Adipati Panaekan, putra
Prabu Di Galuh Cipta Permana. Sedangkan putra kedua
Raja Cita yang bernama Wiraperbangsa menggantikan
kedudukan ayahnya dengan gelar Adipati Singaperbangsa I
(1608-1618). Singaperbangsa I kemudian memindahkan
pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru ke
Banjar Patroman (Desa Banjar Kolot). Penyebab
perpindahan tersebut disebabkan perselisihan paham
antara Singaperbangsa I dengan Adipat Panaekan (kakak
iparnya) dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di
Batavia.
Mataram menunjukan taringnya di Galuh saat Mas
Rangsang yang dikenal dengan gelar Sultan Agung menjadi

72
Keterangan Jejen Nurjana, Juru Kunci Makam Prabu Di
Muntur (2018)
73
Makam Sang Raja Cita dalam komplek makam Prabu Di
Muntur berdasarkan identifikasi R.H. Gun Gun Gurnadi penyusun buku
Silsilah Sedjarah Galoeh.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 102


penguasa Mataram tahun 1613-1645 Masehi. Ketika
Maharaja Cipta Permana wafat tahun 1618 Masehi, hadir
pula utusan Mataram disertai utusan Sumedang. Selain turut
belasungkawa, mereka juga menyampaikan keputusan resmi
Sultan Agung bahwa Galuh Gara Tengah harus menyerah
tanpa syarat kepada Mataram. Maka ketika Ujang Ngoko
ditasbihkan sebagai penguasa Gara Tengah tahun 1618
Masehi, gelarnya diturunkan menjadi adipati. Dan itu berlaku
untuk semua penguasa lainnya di Galuh, para penguasa yang
asalnya bergelar raja, susuhunan, prabu, diganti menjadi
setingkat adipati atau bupati yang mengepalai kabupaten-
kabupaten.74 Dipati Panaekan kemudian oleh Sultan Agung di
jadikan wedana Mataram di Galuh (mancanagara barat) dan
berkuasa atas 960 cacah.75 Ia disebut sebagai De oudste der
Wedana’s In de Wester Ommelanden van Mataram. Tahun
1618 Masehi menjadi titimangsa berakhirnya sistem kerajaan
di Galuh yang dibangun oleh Wretikandayun di abad 7
Masehi sampai Maharaja Cipta Permana di abad 17 Masehi.
Maka sejak itu dimulainya masa kabupatian di Galuh sebagai
vassal Mataram di bawah tangan besi Sultan Agung. 76
Demikian pula di Kertabumi, gelar raja sebetulnya
hanya sampai di Sang Raja Cita tahun 1608. Karena
pengaruh Mataram sejak tahun 1595 sudah terasa oleh Sang
Raja Cita. Sehingga sebelum ia diturunkan gelarnya oleh
Mataram maka Raja Cita memutuskan turun takhta tahun
1608. Di tahun itu pula Geusan Ulun di Sumedang wafat,

74
Dalam sumber Belanda disebut wasterlanden.
75
Yuliani Sopiani, R.A.A. Kusumahdiningrat & R.A.A.
Kusumasubrata Gaya Hidup Bupati-bupati Galuh (Ombak : 2012), hlm.
68
76
Ibid.

103 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


kekuasaan Geusan Ulun dilanjutkan oleh Aria Suriadiwangsa
I.
Kekuasaan di Kertabumi diteruskan oleh
Wiraperbangsa sebagai Bupati Kertabumi III. Ketika
penobatan itu, utusan Mataram dan Sumedang turut hadir
dan dengan pengaruh Mataram, yang saat itu masih
diperintah oleh Mas Jolang, Wiraperbangsa yang seharusnya
bergelar raja diturunkan menjadi adipati, penurunan gelar
jabatan tersebut tidak secara resmi, hanya terjadi dikalangan
internal Kertabumi. Sedangkan di Gara Tengah kedudukan
Prabu Cipta Permana sebagai prabu tidak diganggu sampai
tahun 1618, yaitu disaat penguasa mataram sudah beralih
dari Mas Jolang ke Mas Rangsang.
Peristiwa Wiraperbangsa bergelar adipati sejak tahun
1608 menjembatani paradigma perubahan kekuasaan di
Galuh. Karena dalam beberapa catatan sejarah di Galuh
disebutkan bahwa tahun 1618 adalah masa perpindahan
bentuk pemerintahan di Galuh dari kerajaan ke kabupaten.
Namun jika dicermati, perpindahan kekuasaan di Kertabumi
terjadi tahun 1608 dari Raja Cita ke Wiraperbangsa. Maka
jika mengacu ke tahun 1618 sebagai masa kabupatian, yaitu
ketika setiap penguasa harus bergelar adipati atau bupati,
maka terdapat masa 10 tahun bagi Wiraperbangsa menjadi
raja sebelum diturunkan tahun 1618. Namun kenyataanya
Wiraperbangsa sudah bergelar Adipati sejak naik takhta
tahun 1608 dan berakhir tahun 1630.
Latar belakang lainnya adalah walau Rangga Permana
menyandang gelar prabu, maka sebagai putra Geusan Ulun,
ia adalah bupati yang mewakili Sumedang di Kertabumi.
Maka Rangga Permana disebut juga Bupati Kertabumi ke I.
Gelar prabu didapatkan Rangga Permana karena menikahi

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 104


Tanduran Agung yang merupakan putri Maharaja Cipta
Sanghyang. Gelar Tanduran Agung adalah Maraja Dalem
Agengan maka ketika menikah dengan Rangga Permana,
suaminya berhak menyandang gelar prabu mengikuti galur
gelar dari Prabu Haurkuning.

B. Perbedaan Pandangan Politik Antara Kertabumi


Dan Nagara Tengah
Ketika Maharaja Cipta Sanghyang meninggal tahun
1595 Masehi jasadnya kemudian dilarung di Sungai
Ciputrapinggan. Perahu yang membawa abu jenazahnya
diantar perahu-perahu lainnya sampai ke Laut Selatan
(Pangandaran). Pada upacara ngalarung itu, dihadiri oleh
keluarga besar keturunan Haur Kuning, sahabat dan
kerabat kerajaan. Diantaranya Mahaprabu Cipta Permana
bersama putranya yang bernama Ujang Ngoko, Tanduran
Agung bersama kedua cucunya yaitu Nyi Natabumi (putri
Sang Raja Cita) dan Nyi Arwita (putri Singadireja, adik Sang
Raja Cita), Prabu Lembu Alas77 penguasa Ukur yang datang
dengan anaknya yaitu Ujang Taris (Wangsanata).
Dari pertemuan itu, Ujang Taris kemudian
bersahabat karib dengan Ujang Ngoko. Kedua pemuda itu
memiliki faham yang sama mengenai perkembangan politik
yang terjadi saat itu terutama tentang semakin
berkembangnya Islam di Galuh dan Mataram yang mulai
mengangkangi Tatar Sunda. Ternyata pada kesempatan itu
Ujang Taris jatuh hati pada pandangan pertama kepada
Nyi Arwita. Gayung bersambut dan hati Nyi Arwita pun

77
Dipati Ukur Ageung alias Wangsajaya, Penguasa Ukur
pertama yang masuk Islam dan mengakui kekuasaan Matarm. Berkuasa
sekitar 1587.

105 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


tertaut. Sang Raja Cita awalnya kurang mendukung
hubungan anaknya dengan Ujang Taris karena dirinya
bersebrangan dengan Penguasa Ukur. Namun beberapa
tahun kemudian Ujang Taris menikahi Nyi Arwita.
Pernikahan keduanya dilaksanakan di tempat neneknya
yaitu Tanduran Ageung. Sementara itu Ujang Ngoko sudah
menikah lebih dulu dengan Nyi Natabumi.
Seperti halnya Ujang Taris dan Ujang Ngoko
hubungan ayah mereka berdua yaitu Lembu Alas Dan Cipta
Permana pun dekat. Kedua tokoh Galuh dan Ukur ini sering
berdiskusi. Pernikahan Ujang Taris dengan Nyi Arwita
ternyata merupakan siasat Lembu Alas untuk membendung
pengaruh Sumedang di Kertabumi agar tidak lepas dari
Galuh. Lembu Alas merasa bahwa saat itu masing-masing
wilayah saling mencari keunggulan derajat dengan saling
memojokan. Yang kuat bisa menguasai wilayah dan yang
lemah akhirnya harus tunduk.
Menurut Lembu Alas, Cirebon merupakan
kesultanan yang rakyatnya sudah memeluk Islam diikuti
juga oleh Banten. Kedua kekuatan Islam itu memiliki faham
yang sama dalam syiar Islam namun berbeda dalam siasat
kenegaraan. Banten maju dalam perniagaan dengan
pedagang asing, membeli senapan dengan murah dan
menjualnya dengan mahal untuk mendapatkan keuntungan
besar. Termasuk menjual barang-barang impor yang
menggiurkan bagi yang suka kemewahan.
Sumedang juga tidak tinggal diam menyebarkan
pengaruhnya namun tidak mampu menyaingi Banten dan
Cirebon. Oleh Sebab itu Sumedang mencoba menjauhi
Cirebon dan Banten seandainya terjadi bentrokan. Maka
ditempatkanlah anak Geusan Ulun di Kertabumi sebagai

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 106


cara Sumedang mencari sekutu dengan Galuh. Setelah
Lembu Alas menikahkan Ujang Taris dengan Nyi Arwita
maka gerak Sumedang terhambat oleh Ukur. Sumedang
dan Ukur memang tidak akur kala itu. Menurut Lembu
Alas tidak ada wilayah yang paling menonjol, maka harus
bekerja sama membangun kekuatan dengan kawan yang
sejalan. Bagi Lembu Alas, hubungan Galuh dan Ukur saat
itu sudah terjalin tanpa rasa saling merendahkan dan saling
menguasai, menjadi jalan yang tepat untuk membangung
kesatuan.
Kondisi sosial politik dari pernyataan Lembu Alas
tersebut menceritakan keadaan wilayah Kesultanan Cirebon
yang sejak tahun 1530 sudah meliputi separuh provinsi
Jawa Barat dengan jumlah penduduk 600.000 jiwa yang
sebagian besar non Islam. Tahun 1552 Banten yang
asalnya kadipaten (keadipatian) ditingkatkan menjadi
Kesultanan Banten yang mandiri. Sultan pertamanya adalah
Pangeran Adipati Hasanudin, putra Syarif Hidayatullah dari
Dewi Kawunganten. Wilayah kesultanan Banten meliputi
Lebak, Pandeglang, Serang, Tanggerang, dan Sunda
Kalapa. Tujuan Banten dimerdekakan oleh Syarif
Hidayatullah untuk mempersempit ruang gerak Pajajaran
dan mengefektifkan wilayah kekuasaan Cirebon yang
semakin luas.
Sebagai seorang pemimpin dan ulama besar, Syarif
Hidayatullah telah menjadikan Cirebon sebagai pusat
pemerintahan yang kokoh di tatar sunda serta menjadi
pusat penyebaran Islam yang terus dilakukan sampai
daerah daerah pedalaman seperti Kuningan, Kertabumi,
Rajagaluh, Talaga, Galuh, Sumedang, Cangkuang Garut,
Tatar Ukur (bandung), Batulayang, Timbanganten dan

107 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Cianjur. Penyebaran Islam juga dibantu oleh Banten
meliputi Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Banten Selatan. 78
Para ponggawa dan bangsawan Kerajaan Pajajaran yang
ditaklukan tahun 1579 oleh Banten dibantu Cirebon,
semakin mempermudah syiar Islam. Banyak para penguasa
daerah bawahan Pajajaran yang kemudian menganut Islam
dan dibiarkan memegang jabatannya sehingga mampu
mempengaruhi masyarakatnya untuk menerima Islam.
Kemahiran niaga Sultan Banten juga diakui oleh
Sultan Agung Mataram. Di tahun 1614, kepada utusan
kompeni, Sultan Agung mengatakan bahwa kompeni boleh
berniaga bebas di Mataram tanpa membayar cukai apa-apa.
Sebab dirinya bukan seorang ahli perniagaan seperti halnya
Raja Banten.79 Islamisasi di Banten disebutkan dalam Babad
Banten, bahwa Setelah Sultan Hasanudin dianggap cukup
menguasai ilmu Agamanya, maka ia disuruh oleh ayahnya,
yaitu Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam
di Wilayah Banten. Diantaranya ke Gunung Pulosari,
Gunung Karang, Gunung Lor sampai Pulau Panaitan di
Ujung Kulon. Sultan Hasanudin akhirnya berhasil
mengislamkan kawasan Banten yang di dalamnya terdapat
800 orang resi. Kekuasaan Banten pun meluas sampai ke
Jayakarta, Lampung dan Bengkulu.80
Kerajaan Sumedang sebagai penerus Pajajaran
merupakan salah satu kekuatan yang muncul bersama
Cirebon di Utara, Banten di Barat dan Mataram di Timur.
Dari sisi keagamaan Cirebon menjadi pusat penyebaran
yang diakui oleh semua wilayah di Tatar Sunda. Dilain pihak

78
Nina Lubis, et al, Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, hlm 192
79
Ibid, hlm.209
80
Ibid,hlm.211

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 108


Cirebon pun mengakui kedudukan Geusan Ulun sebagai
Nalendra Sumedang. Galuh sebagai kerajaan kecil merdeka
berada di tengah-tengah 4 kekuasaan tersebut, sehingga
kemudian muncul istilah Nagara Tengah. Dampak dari
keletakannya itu menjadikan Galuh terjepit oleh pengaruh
politik Sumedang, Cirebon dan Mataram.
Namun gara-gara melarikan Ratu Harisbaya,
hubungan Sumedang dan Cirebon menjadi rusak. Persoalan
itu kemudian bisa diselesaikan setelah Majalengka
diserahkan oleh Sumedang ke Cirebon sebagai pengganti
Ratu Harisbaya. Namun sejak itu Sumedang menjadi lemah
dan tidak mempunyai kekuatan dari ancaman Mataram.
Ketika Aria Suradiwangsa I alias Rangga Gempol berkuasa
di Sumedang menggantikan Geusan Ulun, Ia akhirnya
menyerah kepada Mataram tahun 1620.Wilayah yang
dikuasai Sumedang kemudian disebut Priangan.
Maka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang
mengganggu keamanan wilayahnya, Prabu Cipta Permana
mendirikan kelompok Jagabaya di Cibodas yang
beranggotakan pemuda-pemuda dari setiap daerah untuk
dilatih berbagai keterampilan seperti olah keprajuritan,
olah raga, kerumahtanggaan, tatakrama, dan pertanian.
Pendidikan tersebut paling lama sampai satu tahun. Mereka
yang sudah lulus harus melatih para pemuda di daerahnya
masing-masing. 81
Yang menjadi pelatih utama Jagabaya diantaranya
Ujang Ngoko, dibantu oleh Wiranangga dan Brajakasep
(Putra Sanghyang Permana penguasa Kawasen),
Wiraperbangsa dari Kertabumi dan Ujang Purba, putra

81
Djadja Sukardja, Rajapati Dipati Panaekan Dan Dipati
Imbanagara (2003) hlm. 17

109 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Ujang Ngoko dari Gara Tengah.82 Konsep tersebut mengacu
kepada Cirebon yang sudah mengembangkan kejagabayaan
dengan anggota yang banyak tersebar dan tertata.
Komandan tertinggi dipegang oleh seorang tumenggung
bergelar tumenggung jagabaya.83
Ujang Taris kemudian menjadi penguasa Ukur
Sasanga bergelar Dipati Ukur, Kemudian diangkat oleh
Sultan Agung menjadi Wedana bupati Priangan tahun 1625
menggantikan Rangga Gempol I. Pengangkatan tersebut
setelah dirinya menyatakan sanggup mengusir VOC dari
Batavia kepada Sultan Agung. Selain itu ketika Rangga
Gempol mendapat tugas dari Sultan Agung untuk
menaklukan Sampang di Madura, maka kekuasaan di
Sumedang diserahkan kepada adik tirinya yaitu Rangga
Gede. Rangga Gempol ternyata tidak bisa pulang ke
Sumedang sampai akhirnya meninggal tahun 1625 di Desa
Bembem Mataram. Maka putranya yang bernama Aria
Suradiwangsa II menuntut takhta Sumedang dari Rangga
Gede, namun ditolak oleh Rangga Gede. Akhirnya Aria
Suriadiwangsa II meminta bantuan Banten. Permintaan itu
dipenuhi oleh Banten dengan tujuan agar Sumedang bisa
menjadi sekutunya menghadapi Mataram yang saat itu
menjadi saingan Banten. Maka Banten kemudian
menyerang Sumedang dan Rangga Gede tak dapat
bertahan. Namun Pasukan Banten di Sumedang dipukul
mundur oleh Dipati Ukur. Maka tahun 1625 Dipati Ukur
mengganti Rangga Gempol sebagai Wedana Bupati
Priangan.

82
Ibid, hlm.17
83
Lubis, et.al, Op.Cit. Hlm.189

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 110


Di Galuh Kertabumi, setelah Raja Cita wafat tahun
1608 maka yang berkuasa adalah putranya yang bernama
Wiraperbangsa dengan gelar Singaperbangsa I sebagai
Bupati Kertabumi ke III. Sedangkan di Gara Tengah
berkuasa Ujang Ngoko alias Adipati Panaekan yang dilantik
tahun 1618 oleh Mataram. Adipati Panaekan kemudian oleh
Mataram dijadikan Wedana Mataram di Galuh dan diberi
960 cacah.
Tahun 1625 Dipati Ukur yang baru diangkat
Mataram merencanakan menyerang VOC di Batavia
sebelum kekuatan VOC makin besar. Rencana tersebut
disampaikan kepada Adipati Panaekan saat pulang dari
Mataram dan mampir ke Gara Tengah. Adipati Panaekan
yang sejak muda sudah akrab dengan Dipati Ukur
mendukung rencana tersebut untuk menyerang
secepatnya. Rencana itu kemudian berkembang di vassal-
vassal Mataram dan mendapat tanggapan berbeda.
Singaperbangsa I lebih sependapat dengan rencana
Rangga Gempol yang ingin membangun kekuatan dengan
mempersatukan wilayah Priangan terlebih dulu dan
membangun kekuatan bersama. Hal yang wajar jika
Singaperbangsa lebih memihak Rangga Gempol karena
selain memiliki pandangan yang sama tentang politik,
mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan dari garis Prabu
Di Muntur, putra Geusan Ulun.
Walau berbeda pendapat, hubungan kekerabatan
antara Singaperbangsa I dengan Adipati Panaekan sangat
dekat. Ni Raden Natabumi adalah Kakak Singaperbangsa I
yang dinikahi Adipati Panaekan, kemudian dari garis
Maharaja Sanghyang Cipta, Adipati Panaekan adalah paman
Singaperbangsa I. Selain menikah dengan Ni Raden

111 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Natabumi, Adipati Panaekan memeperistri pula Tanduran
Kuning putri Maharaja Upama dan Ni Bara Hideung putri
Adipati Gayam Canggong. Dua istrinya itu dari garis
keturunan Maharaja Utama dan Sareupeun Agung. Dengan
demikian Adipati Panaekan memiliki istri dari keturunan 3
orang putra Haur Kuning .
Dari Ni Raden Natabumi Adipati Panaekan memiliki
anak : 1. Dalem Lokasana, 2. Tandoeran Sindangheula, 3.
Njai Pagandan Maha radja Djoemanten, dan 4. Dalem
Tjageur. Dari Tanduran Kuning berputra : 1. Ni Mas
Nengah, 2. Mas Dipati Imbanagara, dan 3. Ki Mas Muji. Dari
Ni Bara Hideung berputra 1. Ni Mas Cilayung, 2 .Ni Mas
Malari, 4 .Mas Sahat, 5. Tanduran Anom. Adipati Panaekan
tinggal di Panaekan bersama Tanduran Kuning dan Bara
Hideung. Sedangkan Ni Natabumi tinggal di Kertabumi,
tidak mau berkumpul dengan madunya.
Perbedaan pendapat itu bagai api dalam sekam dan
puncaknya terjadi di tahun 1625, ketika keduanya berburu
bersama di sebuah tanah yang terletak di Desa Ciharalang
tidak jauh dari Citanduy. Setelah mereka bertemu
Singaperbangsa I yang dikenal berwatak keras ini tiba-tiba
menikam Adipati Panaekan sampai meregang nyawa.
Mayatnya digusur dan dibuang ke Citanduy dan terbawa
hanyut sampai kemudian diangkat di Patimuan
Karangkamulyan oleh pengawal Adipati Panaekan. Karena
Jenazah Adipati Panaekan yang sudah rusak dan sulit untuk
dibawa ke Gara Tengah maka kemudian dimakamkan di
Karangkamulyan. Akibat peristiwa tragis itu membuat
Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Kertabumi,
sehingga atas saran Sultan Mataram akhirnya ia pindah ke
Banjar Patroman. Singaperbangsa I tidak mendapat

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 112


hukuman atas tindakannya, karena saat itu hukum yang
menyangkut persoalan internal di setiap kabupaten belum
diterapkan oleh Mataram. Penerus Dipati Panaekan adalah
putranya yang bernama Mas Dipati Imbanagara
Peristiwa penting yang terjadi saat Singaperbangsa I
berkuasa adalah penyerangan VOC di Batavia oleh pasukan
Sultan Agung tahun 1628 yang dipimpin oleh Dipati Ukur
dari Priangan dan Tumenggung Bahureksa dari Mataram
ditahun 1629. Mas Dipati Imbanagara dari Galuh, yang
menggantikan Adipati Panaekan di Gara Tengah tahun
1625 memberikan bantuan pasukan yang dipimpin oleh
Bagus Sutapura, putra Ki Gedeng Kalimanggis (cucu
Sanghyang Permana, Kawasen) dari Tanduran Anom (putri
Adipati Panaekan). 84 Namun serangan ke Batavia gagal
karena kurangnya kordinasi antara pasukan Mataram dan
Dipati Ukur. Dipati Ukur malah berbalik memberontak
terhadap Mataram dan berhasil dipadamkan setelah Dipati
Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura.
Tahun 1630 Singaperbangsa I wafat dan di
kuburkan di Kedung Astana, Dusun Cikadu, Desa
Karangpanimbal, Purwaraja, Banjar. Kekuasan Kertabumi di
Banjar dilanjutkan oleh putra Singaperbangsa I yaitu
Adipati Singaperbangsa II berkuasa sebagai Bupati
Kertabumi IV tahun 1630-1641. Ia memindahkan
kekuasaan dari Pataruman ke Liunggunung karena ia

84
Dari Buku Silsilah Sedjarah Galoeh, yang disusun oleh R.H.
Gun Gun Gurnadi. Buku ini menjadi rujukan utama bari beberapa buku
yang menulis silsilah galuh. Seperti buku Silsilah Rundayan Prabu Haoer
Koening yang disusun oleh AT. Soedradjat (1997) dan buku-buku sejarah
tentang galuh ciamis oleh H Djadja Sukardja

113 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


berhasil membangun tambak di Liunggunung yang
digunakan untuk mengolah pertanian. Oleh karena itu
Singaperbangsa II dijuluki Dalem Tambakbaya. 85
Singaperbangsa II pensiun tahun 1640 dan wafat setahun
kemudian. Singaperbangsa II menikah dengan Nyai Mas
Raja, putri Dalem Wiramantri dari Rajadesa. Dari
pernikahan dengan Nyai Mas Raja menurunkan 3 orang
anak, yaitu 1. Singaperbangsa III, 2. Nyi Ajeng Kirtanaya
alias Ni Gedeng Patimuan, 3. Singarate alias Dalem Teluk
Ipis dan, 4. Singabaya alias Dalem Sumilir.
Di tahun 1633 Dalem Tambakbaya dan Ki Wirasaba
dari Banyumas oleh Sultan Agung diangkat sebagai
wedana yang harus menjaga perbatasan Wilayah
kekuasaan Mataram di sebelah barat (bila ada musuh).
Dalem Tambakbaya dan Ki Wirasaba ditempatkan di
Tanjungpura dan Waringinpitu, Karawang. Tugasnya untuk
mengawasi 2000 orang Jawa yang dibawa Ki Yudabangsa
dan Wangsataruna ke karawang. Ki Wirasaba bertugas
mengawasi pengolahan sawah sedangkan Tambakbaya
mengawasi pengangkutan hasil panen. 86 Dalem
Tambakbaya wafat di Galuh sepulang dari Mataram setelah
mendapat penghargaan dari Sultan Agung. Ia kemudian di
kebumikan di Kokoplak Banjar.
Bupati Kertabumi ke V adalah Dalem Wirabaya alias
Singaperbangsa III atau dikenal juga Dalem Pagergunung
berkuasa tahun 1640. Ia menikah dengan Ni Rd.
Asrinagara, putri Dalem Jangpati Jangbaya dari Ni Rd.
Caweri. Dari pernikahaanya itu memiliki putra yaitu 1.

85
Djadja Sukardja, Naratas Sejarah Galuh Ciamis, Kebudayaan
Kandep Dikbud Ciamis (1999). Hlm.105
86
Wildan, et.al.Op. Cit., 75-76

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 114


Dalem Candramerta alias Adipati Singanagara, 2. Dalem
Wirasuta alias Singaperbangsa IV, dan 3. Dalem Apun
Dipareja alias Anggawacana.
Tahun 1641 Sultan Agung membuat kebijakan
dalam pembagian wilayah di Galuh yang menjadi 5
kabupaten, yaitu Utama dibawah Sutamanggala,
Bojonglopang di bawah Dipati Kertabumi, Imbanagara
dibawah R,P.A.A Jayanagara, Kawasen oleh Bagus
Sutapura, dan Banyumas. 87 Tak lama Kabupaten Utama
saat di pimpin Angganaya digabung ke Bojonglopang.
Maka pusat kekuasaan Kertabumi kemudian
berpindah ke Bojonglopang. Pada waktu ayahnya menjadi
bupati Kertabumi di Liunggunung. Apun Pagergunung
diangkat oleh Mataram menjadi wedana di Tanjungpura
meneruskan pembangunan yang telah dirintis oleh ayahnya
diantaranya membawa 1000 cacah dari Jawa. 88 Dan
menjadi cikal bakal para bupati Karawang.
Masuknya karawang sebagai ajeg merupakan
keputusan Amngkurat I di tahun 1645 yang memecah
mancanagara barat menjadi 12 ajeg (setingkat kabupaten)
yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura,
Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Galuh),
Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Maka Dalem
Wirabaya menjadi bupati di dua wilayah yaitu di
Bojonglopang dan Karawang. Sehingga Karawang sering
disebut disatukan dengan Bojonglopang. Dalem Wirabaya
wafat tahun 1668 dan dimakamkan di Kedungampel Cisaga.

87
Lihat Nina Lubis, et.al, Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat.
(Alqaprint : 2000), hlm.19-20
88
Ibid, Hlm 20

115 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Tahun 1668 Kanjeng Dalem Wirasuta alias Mas
Galak menjadi Bupati Kertabumi VI. Ia menikah dengan Ni
Rd Ajeng Galuh, putri dari R.A.A. Panji Jayanagara Bupati
Imbanagara I. Dari pernikahannya itu menurunkan 5 orang
anak, yaitu 1. Rd. Ayu Rajakusuma yang diperistri oleh
Tumenggung Wiramantri, 2. Tumenggung Wiranagara alias
Warganata, 3. R. Adipati Jayanagara atau Panatayuda II
(Bupati Karawang 1721-1732), 4. R.Tumenggung
Puspanagara, dan 4. Ni Rd Uyang.
Karir Dalem Wirasuta termasuk menonjol karena
pernah menjadi bupati di beberapa wilayah. Yaitu Bupati
Bojonglopang tahun 1668-1675 dan memindahkan pusat
pemerintahan kertabumi dari Bojonglopang ke Ciancang
yang terletak di sebelah barat Kertabumi. Dalem Wirasuta
menjadi Bupati Ciancang tahun 1675-1679. Setahun di
Ciancang, dirinya diangkat menjadi Bupati Karawang
pertama oleh Amangkurat II tahun 1680-1721. Ketika
menjadi Bupati Karawang ia ditugaskan menangkap Dipati
Nagaragung89 yang sering mengganggu wilayah Karawang
dan diberi gelar R.A. Panatayuda I. Kedudukannya di
Ciancang digantikan oleh kakaknya yaitu R.Tumenggung

89
Istilah dalam pembagian empat wilayah Mataram.
Pertama, Nagara, yaitu pusat yang mutlak mengendalikan
seluruh wilayah, Kedua, nagaragung yaitu wilayah di sekitar
nagara, tempat kedudukan pejabat tinggi yang tinggal di istana.
Ketiga, Mancanagara yaitu wilayah di luar nagaragung, yaitu
negara-negara kecil yang ditaklukkan oleh Mataram dan
diperintah oleh bupati. Keempat yaitu pasisir adalah wilayah
pantai utara dari mancanagara yang terbentang dari Cirebon ke
Surabaya, lihat Moertono Soemarsaid, State and- Statecraft in Old
Java : A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century,
1968

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 116


Candramerta tahun 1676-1685 lalu putranya yaitu Dalem
Apun Candranagara melanjutkan menjadi bupati Ciancang
tahun 1685-1690 di dampingi ke dua putranya yaitu R.
Imbapraja dan R. Imbanata sebagai patihnya.
Adanya perubahan-perubahan politik yang
menyangkut penetapan wilayah baik yang dimekarkan
maupun yang digabungkan berdampak terhadap para
vassal Mataram. Hal itu terjadi setiap pergantian penguasa
di Mataram yang menguasai Mancanagara Barat.
Kekuasaan Mataram berakhir atas Priangan pada tanggal
19-20 Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705. Dalam perjanjian
pertama Mataram menyerahkan Priangan timur kepada
VOC. Sedangkan pada perjanjian kedua, Mataram
menyerahkan Priangan Tengah dan Barat kepada VOC.
Penyerahan Tatar Priangan dilakukan Mataramsebagai
imbalan karena VOC membantu menyelesaikan kekuasaan
di Mataram. (Wildan,2005:82)
yang Demikian pula terjadinya perubahan-
perubahan wilayah yang tumpang tindih ketika Mataram
menyerahkan wilyah Cirebon dan Priangan yang meliputi
Imbanagara, Sukapura dan Galuh kepada VOC tanggal 5
Oktober 1705. Tahun 1805 kabupaten Imbanagara dihapus
sebagai kabupaten disebabkan dampak dari pemukulan
yang dilakukan Bupati Imbanagara kala itu yaitu R.A.
Natadikusumah terhadap Ajun Kumetir Lawick van Pabst
yang dikenal kasar. Maka tiga kabupaten di Priangan timur
yaitu Imbanagara, Ciamis dan Utama digabung menjadi
Kabupaten Galuh yang diperintah oleh seorang bupati yaitu
Surapraja dari Limbangan, menantu R.A. Natadinigrat.
Surapraja memerintah atas Kabupaten Galuh sampai
tahun 1806-1811 dan digantikan oleh Bupati Ciamis yaitu

117 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Jayengpati Kartanagara. Setelah pensiun dilanjutkan oleh
Tumenggung Natanagara yang kemudian diganti oleh
Pangeran Sutajaya dari Cirebon dengan didampingi 3 orang
patih yaitu Wiradikusumah dari Imbanagara, Wiratmaka
dari Utama dan Jayadikusumah dari Ciamis. Namun
Pangeran Sutajaya tidak akur dengan ketiga patihnya,
maka ia kembali ke Cirebon. Dari hasil kesepakatan 3
orang patih galuh, dengan pertimbangan faktor usia maka
naiklah Wiradikusumah sebagai Bupati Galuh karena ia
yang paling tua.

C. Kisah Rajapati Adipati Panaekan Menurut Babad


Galuh Imbanagara
Bagaimanakah kisah rajapati Adipati Panaekan
menurut naskah Babad Galuh Imbanagara ? Setidaknya
terdapat beberapa versi cerita yang melatar belakangi
peristiwa tersebut. Selain adanya perbedaan pandangan
politik antara adipati Panaekan dan Singaperbangsa I, juga
dipicu oleh hal-hal lainnya yang bersipat internal dan
pribadi. Maka dibawah ini beberapa kisah yang mengerucut
kepada terbunuhnya Adipati Panaekan.

Babad Galuh Imbanagara90


Katjaritakeun Sang Adipati Panaekan, geus lami
pisan teu kilir-kilir ka garwana noe di Kertaboemi tea.
Kotjapkeun Nji Mas Kertaboemi, katjida andjeunna djaheut
manahna ka tjarogena koe lantaran geus sakitoe lawasna
teu dikiliran. Tina geus teu tiasa nahan kasabaran koe

90
Alih Aksara Tizi Rakyan, Yayasan Tapak Karuhun Nusantara

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 118


kanjerian, ngarasa di momorekeun koe noe djadi pameget
andjeunna njarios ka raina, djenengan Dalem
Singaperbangsa I, Boepati Kertaboemi III, bari nangis
njarioskeun ka teuraosan koe tjarogena nya eta diteler-teler
geus lawas teu dikiliran. Tina andjeunna katjida bendoena
koe tina kanjerian, geus teu dimanah pandjang-pandjang
deui, nepi ka iklas moendoet toelang ka raina, soepaja
tjarogena ditelasan.

Djawab raina : Naha atjeuk teh, parantos tega, oepami


Kang Dipati ditelasan teh? Naha teu ngemoetkeun ka para
poetra noe bakal kaleungitan rama?”

Djawab Nji Mas Kertaboemi : Atjeuk teh geus lawas boga


pikiran kitoe teh, tapi geus weleh madoean napsoe atjeuk,
teu tahan bae; geus teu pindo gawe deui, nepi ka waktoe
ieu mah(?), tetep bae pamenta atjeuk ka raji, ktoe teh”.

Dalem Singaperbangsa njaoer deui : Ari atjeuk parantos


loewas manah sarta tega katjaroge mah, nja teu djadi
sawios-wios. Koe raji bade diseratan, soepanten toeang
raka soemping ka dieu sarta disoehoenkeun
katangtosanana dintenna pikeun soempingna ka dieu, ari
petana atawa tarekahna pikeun nohonan pamoendoet
atjeukhal eta mahAtjeuk teu perloe oeninga”.

Tidinja Nji Mas Kertaboemi kalawan paroman mesoem tina


keuheul ka tjaroge, teras moelih ka boemina.
Sasoempingna ka boemi toeloej bae ebog ka
pangkoelemanana bari nangis balilihan. Ari Dalem
Singaperbangsa I, saeunggeus lantjeukna moelih
ngahoeleng bae ngaraoskeun kanjeri lantjeukna noe

119 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


disakitoekeun koe noe djadi tjaroge, toengtoengna
andjeunna oge karaos katjiwit kabawa daging da
boeboehan ka saderek, djadi timboel bendoena. Harita
keneh oge toeloej bae andjeunna ngadamel soerat keur ka
Sang Adipati Panaekan, noe maksoedna sakoemaha noe
geus ditjaritakeun ka Nji Mas Kertaboermi tea.

Nya eta atoeh boeboehan mahloek sok owah gingsir tea.Ari


geus karandjingan koe napsoesetaniah mah sok poho kana
pibahlaeunana di ahir.Toer geus djadi oemoemna tiap-tiap
noe ngalakoekeun kagorengan awal ahir geus tangtoe
kapanggih wawalesna koe goreng deui. Mangga koe para
noe maosmangke dina ieu tjariosan, dilenyepan tangtos
kapendak noe soeroep kana wawalesna eta kalakoean.

Katjaritakeun sanggeus Dalem Singaperbangsa I ngadamel


soerat tea andjeunna toeloey ngoetoes hidji ponggawa
njanggakeun eta soerat ka Sang Adipati Panaekan. Teu
ditjaritakeun lalampahananaoetoesan keur madjoe sarta
balikna ti Panaekan, ngan katjaritakeun soerat walonanana
ti Sang Adipati Panaekan geus katampana bae koe Dalem
Singaperbangsa I sarta maksoedna eta soerat walonan
netepkeun poena Sang Adipati Panaekan baris soemping ka
Kertaboemi.

Katjaritakeun dina poe noe geus ditetepkeun baris


soempingna Sang Adipati Panaekan tea, Dalem
Singaperbangsa I djengkar ti Kertaboemi di iring koe para
ponggawana karsana rek mapagkeun, tapi para
ponggawana mah teu aja noe dipasihan terang rasiahna
(maksudna) andjeunna rek hianat.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 120


Gantjanging tjarita, eta doea boepati geus patipoeng
dilebah tanah desa Tjiharalang anoe henteu djaoeh
pernahna ka kali Tjitandoej Sang Adipati Panaekan toeloej
loengsoer tina koeda kersana bade moendjoengan ka ipar.
Dalem Singaperbangsa I oge nja kitoe deui loengsoer tina
koedana sadjeroning manah andjeunna manteng danget
ieu bakal ngarogahala ka Sang Adipati Panaekan, njorojoy
rek moendjoengan, Dalem Singaperbangsa I ninggalkeun
permata noe djadi ratoe, nandangan kanistaan, bet lain
nampanan salamna raka koe panangan, tapi dibalesna koe
keris ditodjokeun kana dadana Sang Adipati Panaekan,
keuna kana hoeloe angeunna pisan. Atoeh harita keneh oge
Sang Adipati teh sirna sampoerna moelih ka djati moelang
ka asal.

Tina kagemesanana Dalem Singaperbangsa I ka Sang


Adipati ngarasa koerang poeas, eta majit di timbalan
dipalidkeun ka Tjitandoej. Saeunggeus majit dipalidkeun
toeloey bae Dalem Singaperbangsa moelih ka Kertaboemi
sarta sasoemping-soemping teroes bae hatoeran ka Nji Mas
Kertaboemi jen tjarogena geus ditilasan. Tapi Nji Mas
Kertaboemi, lain boengah koe lantaran maksoedna geus
laksana, ngan timboel nalangsa kamanah kapingboeri,
deudeuh ka para poetrana kaleungitan rama, wapat teu
kalawankaloeginaan. Toengtoengna andjeunna nangis
balilihan ngaraos handjakalngadjoedjoer napsoe
kahewanan.

Katjaritakeun Sang Asipati Panaekan rek angkatna ka


Kertaboemi teh ngan njandak rentjang doewaan. Atoeh
keur waktoe Sang Adipati di tjerek teh, eta doea
pandakawan tina teu njana ngan bati olohok bae, rek

121 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


noeloengan teu karengkol, da Dalem Singaperbangsa I mah
loba baladna. Pandakawanana Sang Adipati Panaekan noe
njekelan koeda toengganganana tina kasima koe nendjo
katjilakaan doenoenganana, nepika koeda leupas teu
kanjahoan. Ari ras eling kana koeda, geus teu aja, eta doea
pandakawan boeroe-boeroebaralik karep rek njoesoel
koeda, bari niat hatoeran ka djoeragan patih tina hal
wapatna Sang Adipati Panaekan.

Koetjapkeun koeda toenggangan Sang Adipati geus datang


ka karaton Panaekan bari hihieuman rek asoep kana
gedoganana. Atoeh oerang karaton karaget narendjo koeda
datang sorangan, njarangka tangtoe Sang Adipati manggih
katjilakaan ragrag tina koeda. Sabot keur goejoer-goejoer
koe datangna koeda, djol daratang pandakawan noe
doewaan tea sarta teroes oendjoekan ka djoeragan patih,
sakoemaha noe geus kajadian tadi tea. Djoeragan patih
teroes ngoeninga ka prameswari. Atoeh barang prameswari
ngadangoe hatoeranana patih kitoe-kitoe, djerit bae
andjeuna nangis maratan langit ngotjeak maratan djagat.

Tjitandoej kapanggih lajonna Sang Dipati njangsang dina


sedong noe aja akar kai njodor ka tjai. Lebah eta
tepoengna doea waloengan tea, sok disareboet Patimoean.
Eta lajon geus boengkeng sarta baoena mabek djeung
dagingna letoj. Teroes digotong ka darat. Koelantaran eta
majit geus sakitoe roeksakna soesah pikeun dibawa ka
Panaekan, Patih toeloej babadamian djeung para
poenggawa sarta poetoesanana moefakat, pikeun
dipendem didinja bae di Bodjong Galoeh; sabab patih geus
sangkep mawa sapoeratina bahan moelasara majit.
Gantjangna toeloej bae majit teh dipoelasara sakoemaha

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 122


tali parantina sarta toeloej dipendem didinja. Saeunggeus
dipendem, teroes boebaran.

Kotjapkeun patih sasoempingana ka karaton teroes


oendjoekan ka ka prameswari sakoemaha noe geus
ditjaritakeun tadi tea. Prameswari teu sabaraha runtuh
galihna sabab kahartoseun sakoemaha hatoeranana patih
tea. Ngan tjeuk sakaoel di Panaekan oge ngadamel deui
koeboeran, eta mah eta mah meureun keur pangeling-
ngeling oerang dinja bae. Sanggeus kitoe Toeloej hadjat
njoesoer tanah sakoemaha biasana.

Katjaritakeun prameswari katoet para poetrana njaoer ka


sakabeh noe karoempoel, saoerna;” Koe lantaran kang
Dipati marhoem angkatna ti dieu rek ka Kertaboemi,
toenggang koeda dawoek bang sarta make apoes tina
kanteh beureum, ahir-ahir njorang balai, ditelasan nepi ka
wapatna. Tina asoep ka kari-kari, kaoela menta disaksian
ka sakabeh noe karoempoel, jen kaoela toeroen tjadoe
satoeroen kang Dipati marhoem toempak atawa ngabogaan
koeda dawoek bang sarta make apoes tina kanteh
beureum.”

Nja nepi ka ajeuna oge, oerang Galoeh Imbanagara mah,


masih keneh tetep tigin kana eta patjadoean. Sawapatna
Sang Adipati Panaekan, diganti koe poetrana noe
djenengan Mas Dipati Imbanagara djadi Boepati ka III ti
taoen 1635.

123 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


BAB V
PENINGGALAN SEJARAH DI KERTABUMI

Bagi para penghayat sejarah dan kearifan lokal,


hikayat-hikayat sejarah dimasa lalu yang sangat kaya
dengan nilai- nilai moral merupakan pusaka pengetahuan
sebagai pijakan hidup dimasa kini dan masa depan. Sejarah
mencatat bahwa dari kearifan lokal lahir kepemimpinan
yang gemilang, pemikiran yang cemerlang dan
kebijaksanaan yang religius. Di masa klasik, tercatat tokoh-
tokoh sejarah sunda yang dikenal karena kebijakan dan
kepemimpinannya seperti Wretikandayun, Darmasiksa,
Sempakwaja, Linggabuana, Bunisora Suradipati,
Wastukancana, dan Jayadewata. Pada masa
perkembanganIslam, nama Cakrabuana dan Syarif
Hidayatulah merupakan tonggak penting bagi penyebaran
Islam di Jawa Barat.
Peninggalan sejarah merupakan jejak dan bukti
(tertulis maupun tidak tertulis) dari peristiwa-peistiwa,
perbuatan, kegiatan, hasil fikiran-fikiran manusia dalam
masyarakat pada masa lampau. Dari bukti-bukti tersebut
yang kemudian disebut sumber sejarah maka budaya dan
peradaban di masa lalu dapat dipelajari dan direkontruksi
melalui bidang-bidang ilmu yang terlibat dalam menelaah
sejarah. Desa Kertabumi adalah kawasan yang telah eksis
dari masa klasik, telah terbukti menyimpan kekayaan
sejarah yang masih menuntut untuk diteliti dan dikaji.
Eksistensi Kerajaan Galuh Kertabumi tidak saja
berada Gunung Susuru, namun juga dari beberapa
tempatlainnya yang masih disakralkan oleh warga Desa
Kertabumi. Tempat-tempat yang dikeramatkan tersebut

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 124


diantaranya terdiri dari makam-makam kuno, mata air,
patilasan, dan lain sebagainya yang memiliki hubungan
dengan Gunung Susuru. Sebagian besar situs-situs itu
belum diteliti secara intensif sehingga terancam hilang atau
rusak oleh orientasi pembangunan dan ketidakfahaman
masyarakat terhadap nilai sejarah yang melatar
belakanginya.
Salah satu lokasi penting selain situs Gunung Susuru
yang sudah terdaftar sebagai cagar budaya dalam naungan
BPCB Serang, adalah makam Prabu Di Muntur yang
berjarak sekitar 2 km dari Gunung Susuru. Komplek
pemakaman itu menunjukan bukti keberadaan tokoh-tokoh
sejarah yang berkiprah di Kertabumi seperti yang ditulis
dalam sumber-sumber sekunder. Beberapa objek berupa
struktur batu dan mata air yang disakralkan juga memiliki
kaitan erat dengan perkembangan religi yang mewarnai
kawasan Kertabumi.
Situs-situs sejarah di sunda secara umum disebut
kabuyutan sebagai salah satu bukti penting yang
menyimpan rekam jejak masa lampau. Semakin banyak
kabuyutan maka semakin kaya data yang dapat digali untuk
melakukan pendekatan sejarah. Maka dari sebaran
kabuyutan di Kertabumi akan menjadi mata rantai dalam
pembabakan sejarah di Ciamis. Kabuyutan dalam beberapa
hal dianggap sebagai indikator munculnya pemukiman.
Sedangkan salah satu syarat bagi kabuyutan adalah
sumber air. Maka wilayah Kertabumi yang dilintasi
Cimuntur, Cileueur dan Cibuyut memenuhi syarat sebagai
kawasan kabuyutan.
Pengertian kabuyutan diperlukan untuk memahami
religi dan kosmologi sunda kuna dalam konteks tinggalan-

125 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


tinggalan arkeologi yang masih banyak ditemukan di
kawasan tatar Sunda. Kabupaten Ciamis adalah salah satu
yang banyak meninggalkan jejak kabuyutan. Nyaris disetiap
kecamatan terdapat kabuyutan yang disakralkan oleh
masyarakatnya. Hal tersebut bisa dimengerti bahwa Ciamis
pada masa klasik pusat dari kerajaan Galuh dan Sunda
yang tentu saja meninggalkan banyak jejak sejarah dalam
bentuk kabuyutan.

A. Melacak Arca Lenggo Kertabumi

Sebelum ditemukan adanya bukti arkeologi di


Gunung Susuru, Kertabumi telah terdata dalam laporan
Belanda di tahun 1915, yang mencatat beberapa objek
benda sejarah yang ditemukan atau tersimpan di
Kertabumi. Endang Widyastuti mengutip Krom
menjelaskan bahwa kawasan Kertabumi yang merupakan
salah satu kawasan yang diketahui berasal dari masa klasik.
Krom(1915:93) dalam Rapporten van den Oudheidkundigen
Dienst in Nederlandsch – Indie (ROD) menyebutkan adanya
temuan berupa patung tipe Pajajaran di daerah Lenggo,
Distrik Ciamis, Kabupaten Galuh. Daerah yang disebut
Lenggo sekarang termasuk wilayah Kertabumi.
Keberadaan patung tipe Pajajaran di Kertabumi yang
disebutkan oleh Krom serta keterangan bahwa Lenggo
berada di wilayah Kertabumi merupakan informasi yang
penting untuk ditelusuri. Dua keterangan tersebut memiliki
konteks dengan tinggalan arkeologi di Situs Gunung
Susuru. Maka berdasarkan penelusuran penulis bersama
Yayasan Tapak Karuhun Nusantara berhasil
mengidentifikasi dan melacak keberadaan Patung Lenggo

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 126


yang dimaksud oleh N.J. Krom diatas. ROD yang memuat
catatan DR.R.D.M.Veerbek (1845-1926) yaitu seorang
geolog dan naturalis yang banyak meneliti tentang gunung
juga menginventarisir berbagai peninggalan bersejarah
yang di pulau jawa.
Dalam ROD yang diterbitkan bagian pertama terdapat
catatan peninggalan-peninggalan sejarah dari masa hindu
di Afdeeling Galoeh, District Tjiamis. Kata Lenggo dituliskan
pada nomer 286 atau Veerbeck nomer 84 dengan
keterangan adanya twee beeldjes van Padjadjaran-type de
Kabojoetan is thans ontredderd. Yang berarti dua patung
jenis Padjadjaran : Kabuyutan sekarang rusak.Dibawahnya
tercantum adanya dokumen foto hasil Isidore Van
Kinsbergen dengan nomor 42 dan 43.
Maka disimpulkan bahwa antara akhir abad 19 dan
awal abad 20, Veerbek dan Van Kinsbergen pernah
berkunjung ke Kertabumi. Mereka kemudian
mendokumentasikan dua arca di suatu kabuyutan yang
sudah rusak di Lenggo. Kesimpulan tersebut menjadi
acuan untuk mencari foto Van Kinsbergen yang terkait
dengan catatan Veerbek. Dari penelusuran foto koleksi
KITLV maka didapat dua foto hasil Isidore van Kinsbergen
no 87626 dan 87627 dengan judul Sculptures at Lenggo
near Tjiamis, Before 1900. Objek dalam foto pertama
adalah dua patung sederhana yang dipotret tegak
berdampingan, ukuran patung sebelah kiri lebih tinggi dan
besar dibandingkan yang kanan. Kondisi kedua patung
tampak berbeda, dimana yang kiri masih tampak lebih jelas
figurnya dibandingkan yang kanan. Di foto terlihat juga
penomoran objek untuk menandai data catatan Veerbek

127 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


tentang objek tersebut. Poret dua patung itu diberi nomer
42.
Sedangkan foto nomor 87627 dalam koleksi KTLV
adalah foto lumpang batu yang dikelilingi beberapa batu
lainnya yang lebih kecil. Di belakangnya objek foto juga
terdapat angka 43 yang ditulis pada secarik kertas peregi
dengan angka 43. Dalam catatan Veerbek diatas disebutkan
tentang foto patung Lenggo nomor 42 dan 43 dan dua foto
hasil jepretan kamera van Kinsbergen, sesuai dengan
nomor yang ditulis bersama objek foto. Maka disimpulkan
bahwa keterangan foto van Kinsbergen dan catatan Verbek
di ROD adalah objek yang sama. Dan dari foto itu bisa
didapatkan gambaran tentang patung tipe pajajaran yang
ada di suatu kabuyutan di Lenggo.
Setelah mendapat gambaran perupaan patung itu
maka selanjutnya adalah menelusuri keberadaannya. Hasil
pencarian mulai mengerucut pada situs Jambansari yang
memang sudah sejak lama menyimpan berbagai artefak
sejarah termasuk tinggalan dari masa klasik. Banyaknya
artefak seperti ganesha, patung, lingga dan yoni yang
tersimpan di Situs Jambansari merupakan siasat bupati
Galuh R.A.A. Kusumadiningrat atau Kanjeng Prebu untuk
mengikis kepercayaan hinduisme yang masih ada di
masyarakat Galuh. Saat itu kanjeng Prebu mengajak
masyarakat yang belum menganut Islam atau yang masih
menjalankan ibadah agama leluhur untuk menyimpan
benda-benda sarana ritualnya di Jambansari, agar bisa
bersama-sama beribadat di jambansari. Ketika mereka
berkumpul untuk beribadah maka pelan-pelan Kanjeng
Prebu memberi syiar pemahaman tentang Islam. Ia

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 128


mencontoh apa yang dilakukan oleh Adipati Singacala di
Kabuyutan Linggahyang Astana Gede Kawali.91
Kenyataannya sampai saat ini di Situs Jambansari
masih tersisa beberapa batu yang dulunya merupakan
media ritual yang masih tersimpan dalam rimbunan pohon
Waregu yang berada di sebelah barat halaman luar
bangunan makam Kanjeng Prebu. 92 Sebelum tahun 2010 di
komplek makam Kanjeng Prebu terdapat bangunan yang
menyimpan ratusan jenis benda-benda sejarah, diantaranya
adalah beberapa arca tipe Pajajaran, lingga hindu dan batu-
batu simbol religi.
Penelitian terhadap arca-arca di Ciamis kemudian
dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung dan dimuat dalam
jurnal arkeologi berjudul Penelitian Arca-arca Di Ciamis
Kaitannya Dengan Ragam Pengarcaan oleh Endang
Widyastuti. 93 Dari hasil penelitan terhadap arca-arca
Jambansari dijelaskan bahwa di lokasi situs Jambansari
terdapat 13 buah arca. Menurut keterangan juru kunci
makam, arca-arca yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan
oleh R.A.A Kusumadiningrat. Pengumpulan ini dilakukan
dalam rangka dakwah agama Islam sehingga bagi yang
mempunyai arca atau berhala diharuskan untuk
dikumpulkan di lokasi tersebut.
13 arca yang diteliti oleh Balai Arkeologi Bandung
dalam jurnal tersebut diberi kode JBSR 94 1 sampai 13
namun dalam kajiannya tidak disebutkan asal muasal setiap

91
H.Djadja Sukardja, Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat,
(2003)
92
Julukan masyarakat Ciamis kepada R.A.A Kusumadiningrat
93
Diterbitkan Dalam buku “Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan”, hlm. 55 – 72. Editor Prof. Dr. Edi Sedyawati. Bandung:
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2006.
94
Singkatan dari Jambansari

129 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


arca Jambansari. Maka dari hasil identifikasi penulis
berdasarkan foto van Kinsbergen dengan foto arca-arca
Jambansari,dapat dipastikan bahwa arca berkode JBSR 1
adalah arca Lenggo Kertabumi. Sedangkan 2 objek lainnya
yang ada di foto van Kinsbergen sampai saat ini belum
dapat ditemukan jejaknya.
Deskripsi penelitian dari arca JBSR 1 : Bahan arca
berupa batuan sedimen. Arca digambarkan berupa manusia
tanpa kaki. Tangan digoreskan bersilangan di dada. Muka
arca berbentuk oval. Bagian-bagian muka digambarkan
secara lengkap dengan mata, hidung dan mulut. Sebagian
rambut disanggul di bagian atas kepala, dan sisa rambut
terurai di bagian belakang. Jenis kelamin arca tidak jelas. 95
Dari perbandingan dua foto yang berjarak 1 abad itu,
kondisi arca Lenggo saat diteliti Balar Bandung tampak
sedikit aus, namun figur arca tidak mengalami perubahan
yang drastis sehingga masih dapat dikenali persamaan dari
perbandingan foto van Kinsbergen. Kini arca Lenggo dan
artefak lainnya yang berasal dari Jambansari sebagian
besar dipindahkan ke Musium Galuh Pakuan yang
diresmikan tahun 2010.

95
Ibid, hlm. 55 – 72.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 130


Arca Lenggo

Sculptures at Lenggo near Tjiamis, Before 1900,Isidore van


Kinsbergen (foto koleksi KITLV no 87626)

131 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Arca Jambansari 1

Sumber foto : Penelitian Arca-arca Di Ciamis Kaitannya


Dengan Ragam Pengarcaan (dokumentasi Balai Arkeologi
Jawa Barat)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 132


B. Situs Gunung Susuru

a. Riwayat penemuan kesejarahan Gunung Susuru


Nama Gunung Susuru mencuat ke permukaan tidak
lepas dari peranan H. Djaja Sukardja saat menjabat kepala
seksi Kebudayaan Depdiknas Ciamis tahun 2000 yang
sedang menyusun buku ‘Sejarah Kota Banjar’. Gunung
Susuru sebagai patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi
dijadikan dasar pertimbangan bahwa Singaperbangsa I
yang merupakan cicit Prabu Dimuntur di Kertabumi adalah
tokoh yang memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh
Kertabumi ke Banjar Pataruman. Sehingga Singaperbangsa
I dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.
Maka Untuk memenuhi kelengkapan data yang tengah
dikumpulkan, H. Djaja Sukardja menugaskan Penilik
Kebudayaan Cijeungjing yang bernama Deni SIP untuk
terjun langsung ke lokasi dibantu oleh Bah Adang sebagai

Punden Berundak Gunung Susuru ( foto Pandu Radea)

133 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


sesepuh setempat yang mengetahui keadaan Gunung
Susuru sejak masih kecil.
Sebelum Belanda menerapkan Cultuurestelsel di
Galuh, Gunung Susuru merupakan kawasan hutan lebat
yang sudah disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Bagian
kaki bukit Gunung Susuru dikelilingi rapat oleh pohon
susuru, yaitu sejenis kaktus yang tumbuh merambat dan
setiap batangnya saling menjalin sehingga membentuk
pagar yang sulit ditembus. Maka masih banyak binatang liar
di kawasan Gunung Susuru seperti babi hutan, Rusa,
Kijang, Landak, Monyet dll. Sebagai kawasan yang
disakralkan, masih masyarakat yang melakukan ritual
pemujaan walau saat itu agama Islam sudah berkembang
pesat.
Kebiasaan muja dan munjung dalam pemahaman
religi sunda kuno memiliki makna berbeda dengan saat ini
yang dianggap berkonotasi bersekutu dengan makhluk
halus untuk mendapatkan keinginan dengan cara cepat.
Muja dan munjung96 pada ajaran wiwitan pada hakekatnya
merupakan kegiatan spiritual kepada Sanghyang Tunggal.
Oleh karena itu ketika Kanjeng Prebu berkuasa dan syiar
islam semakin ditingkatkan, tradisi religi yang dianggap
bersebrangan dengan akidah Islam dikikis secara perlahan
dengan pendekatan yang bijak.
Saat tanam paksa diberlakukan abad 19, maka
Gunung Susuru dijadikan perkebunan jati oleh belanda

96
Ada peribahasa yang berkembang saat itu yaitu ulah
munjung ka gunung ulah muja ka talaga tapi munjung kudu ka indung
muja mah ka bapa, merupakan bentuk sindiran terhadap kegiatan
munjung dan muja gunung dan talaga sebagai kawasan yang disakralkan
dalam keyakinan sunda kuno.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 134


untuk menyuplai kebutuhan kayu di Galuh yang saat itu
tengah membangun berbagai sarana umum. Namun karena
pertumbuhan jati di Gunung Susuru kurang berkembang
karena dianggap lambat pertumbuhannya maka kemudian
terbengkalai tidak terurus. Veerbek dan van Kinsbergen
yang berkunjung di sekitar awal abad 20 kemungkinan
melihat Gunung Susuru dalam keadaan rusak sehingga ia
menyebutnya Kabojoetan is thans ontredderd.
Pohon-pohon jati yang tumbuh dimasa berikutnya
tumbuh dari tunas dari pohon yang sudah ditebang
sehingga kawasan tersebut rimbun kembali. Keadaan itu
masih berlangsung sampai 1960. Dan kegiatan muja
sebagai media ngalap berkah leluhur bertransformasi dalam
konsep jiarah dari Gunung Susuru ke makam Prabu Di
Muntur. Beberapa lokasi yang dikenal sebagai batu
patapaan masih terjaga sebagai tempat sakral dan
digunakan sebagai bagian dari kebiasaan jiarah yang masih
disebut dengan kata muja.
Kegiatan ritual ditempat-tempat sakral yang
dianggap sebagai petilasan, makam keramat atau tempat
lainnya yang dikeramatkan merupakan warisan lama yang
tidak dapat diubah begitu saja, bahkan terwarisi sampai di
abad milenium. Kegiatan ritual sebagai ketradisian memiliki
tata caranya berbeda-beda sesuai kebiasaan yang
berlangsung turun temurun, namun walau demikian
konsepnya tetap sama, yaitu ngalap berkah. Di Gunung
Susuru ritual yang dilakukan disebut Ngabungbang yang
dilaksanakan pada malam Jumat dan Senin Kliwon, siang
harinya dilanjutkan dengan mandi di patimuan, sumur
taman, Sumur Cikahuripan dan tawasulan di Makam Prabu
Dimuntur. Beberapa tempat lain yang disakralkan dan

135 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


menjadi bagian dari kegiatan ritual diantaranya Sumur
Malati, Sumur Batu, Cibeji, Curug Dengdeng, dan
kabuyutan Jalaksana. Semua tempat-tempat sakral tersebut
tersebar di 4 dusun, yaitu Nagrog, Sukamulya, Desa dan
Bunder.
Setelah tahun 1960, Hutan Jati di Gunung Susuru
mulai berkurang karena kayunya dimanfaatkan untuk
pembangunan desa. Seiring itu marak terjadi penebangan
liar. Bah Adang kemudian berinisiatip meminta izin ke Desa
untuk membuka lahan Gunung Susuru menjadi lahan
perkebunan dengan alasan daripada kayunya dicuri lebih
baik tanahnya digunakan oleh warga yang belum memiliki
lahan garap. Akhirnya Bah Adang bersama warga
menebang semua Pohon Jati di Gunung Susuru dan
tanahnya dibagi menjadi 75 kapling dengan total luas tanah
9 hektar. Oleh 75 orang petani lahan tersebut ditanami padi
huma, palawija dan kelapa. Penanaman Palawija dilakukan
selama 3 tahun dan dihentikan setelah pohon kelapa
tumbuh besar.
Saat pembukaan lahan tanah pertanian di Gunung
Susuru, para penggarap lahan banyak menemukan struktur
batu berupa balay dan berbagai artefak berupa gerabah
dan keramik yang berlimpah. Struktur balay yang masih
utuh membentuk teras yang berundak-undak ditemukan di
barat daya Gunung Susuru, yaitu di bobojong yang
menjorok ke Curug Cipinang. Dikawasan ini Bah Adang saat
itu masih menyaksikan adanya struktur balai setinggi 1
meter membentuk ruang persegi dengan panjang sekitar 3
x 4 meter namun kemudian dibongkar. Sampai saat ini
struktur batu balayyang masih asli terdapat di kawasan
barat daya Gunung Susuru.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 136


Karena para penggarap tidak mengetahui tentang
nilai sejarah maka banyak struktur balay yang rusak parah
karena dibongkar untuk kepentingan lahan tanam. Namun
Batu patapaan 1 sampai 4 tidak dibongkar karena
sebelumnya sudah dikenal sebagai tempat-tempat yang
disakralkan sejak dulu.
Kandungan artefak yang melimpah di kertabumi
mulai terlacak setelah Deni SIP mendata berbagai benda
sejarah yang menjadi koleksi Ma Elah, istrinya Bah Adang,
yang dikenal sebagai indung beurang 97 . Ma Elah banyak
memiliki benda pusaka yang diantaranya didapat dari
Gunung Susuru. Maka penelusuran Deni SIP berlanjut ke
Gunung Susuru dan hasilnya dilaporkan ke Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan melalui H. Djadja Sukardja,
Kasi Kebudayaan Dikbud Ciamis yang kemudian meninjau
lokasi tanggal 6 Oktober tahun 2000.
Kunjungan pertama para peneliti yaitu tanggal 7
Nopember 2000, Dr. Tony Djubiantoro sebagai Kepala Balar
Bandung bersama timnya diantaranya Ir. Agus meninjau
Gunung Susuru didampingi H.Memet Slamet Asda II dari
setda Ciamis. 27 Desember 2000, kembali berkunjung Dr.
Tony Djubiantoro didamping Ir. Agus dan Drs. Nanang
Saptono mengantar Dr. Mike Morwood Arkeolog untuk riset
di Gunung Susuru. Mike Morwood adalah dosen Australian
Archaelogy yang terkenal karena menemukan Homo
Floresiensis yang dirilis tahun 2004.Kemudian dari Februari
sampai Agustus berturut-turut datang peneliti dan
sejarawan, diantaranya R. Gun Gun Gurnadi kemudian Ir.
Agus, Dra. Endang Widyastuti dan Dra. Sudarti dari Balar

97
Paraji atau bidan tradisional.

137 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Bandung. Di Bulan Mei Dr. Rchadiana Kartakusumah dari
Puslit Arkeologi Departemen kebudayaan datang meninjau
penelitian yang dipimpin oleh Ir. Agus.98
Dari tinjauan para ahli sejarah, terutama para
arkeolog terhadap berbagai temuan di Gunung Susuru
maka tahun 2000 pengolahan tanah pertanian Gunung
Susuru dihentikan. Karena pentingnya Gunung Susuru bagi
kesejarahan di Ciamis, Bah Adang meminta pihak desa
untuk mencabut izin pengolahan tanah. Akhirnya semua
tanaman di Gunung Susuru yang didominasi pohon Kelapa
kemudian ditebang habis, sehingga gunung tampak gundul.
Masyarakat Kertabumi pun semakin peduli dan antusias
untuk menghijaukan kembali Gunung Susuru yang gundul
dan gersang.
Maka saat dilaksanakan reboisasi pada 11 Oktober
2000 sekitar seribu orang warga bergerak membantu
pemerintah untuk memulihkan Gunung Susuru.Di
sepanjang 2000-2003 Gunung Susuru berubah total, dari
lahan pertanian akhirnya menjadi ladang penelitian sejarah.
Hasilnya kini Gunung Susuru menjadi tempat yang nyaman
untuk dikunjungi. Pohon-pohon Jati yang ditanam saat
penghijauan kini sudah merindangi Gunung Susuru. Saat ini
Gunung Susuru sudah dikembangkan dan ditata sebagai
salah satu objek wisata sejarah Kabupaten Ciamis.
Beberapa bangunan fisik didirikan dikawasan situs ini.

98
Tercatat dalam buku tamu yang disimpan di Abah Adang.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 138


b. Keletakan Situs Di Gunung Susuru dan Gambarannya
1. Batu Patapan I
Situs ini terletak di dekat gerbang masuk dan
berada di puncak bukit. Area ini merupakan lokasi inti yang
merupakan punden berundak. Setiap undakan ditandai
balay batu sebagai penahan tanah dari teras undakan. Saat
ini area utama dilindungi pagar besi. Situs Patapaan I
berada di kordinat S 07°20’42.80” dan E 108°27’49.26” di
ketinggian 112mdpl. Area situs ditumbuhi beberapa pohon
jati dan hanjuang,

Patapaan 1, Gunung Susuru ( foto Pandu Radea)

Struktur batu yang tampak terdari dari 4


undakan;Teras pertama : panjang balay bagian selatan
20.2 m, panjang kiri 23.5 m, lebar depan 8.6 m, dan
panjang kanan 29.5 m.Teras kedua : lebar teras bagian
barat 3.3 m, lebar teras selatan 10.4 m dan terdapat batu
monolit besar dengan tinggi 71 cm. Teras puncak : struktur
balai batu membentuk bidang segitiga dengan ukuran lebar

139 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


10.7 m, panjang bagian barat 10.7 m, panjang bagian timur
11 m, dan ujung utara 368cm.

2. Batu Patapan II
Struktur balai tersusun dari batu andesitis. Di teras
atas terdapat batu besar persegi berukuran panjang 182
cm, lebar 180 cm, dan tebal 53 cm. Teras paling bawah :
panjang 7.14 m, lebar 5.70 m, dan tinggi balai 29 cm.
Teras kedua : panjang 6.18 m, lebar 4 m, dan tinggi balai
23 cm. Teras ketiga : panjang 5 m, lebar 2.5 m dan tinggi
balai 30 cm
Lokasi ini berada di kordinat S 07°20’48.80” da E
108°27’42.39” di ketinggian 95 mdpl. Ke arah timur laut
terdapat struktur punden lainnya yang tersusun oleh 5
undakan dengan luas area 3 m². Lingkungannya ditumbuhi
pohon Jati (Tectona grandis), Kanyere (Bridelia stipularis),
Heras (Vitex vinata), Hanjuang (Cordyline fruticosa),
Hanjuang (Cordyline fruticosa) dan Imba (Azadirachta
indica).

Patapaan 2, Gunung Susuru ( foto Pandu Radea)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 140


3. Batu Patapan III
Batu Patapaan III merupakan Punden yang tersusun 5
undak. Balainya merupakan tatanan batu andesit, di antara
teras 4 dan puncaknya terdapat batu altar dengan kondisi
pecah. Panjang batu altar tersebut 2 m, lebar 1.5 m dan
tebal 25 cm. Batu Patapan III berada di kordinat S
07°20’49.80” dan E 108°27’41.27” diketinggian 94 mdpl.
Luas area situs 2.3 m². Sekelilingnya ditumbuhi pohon
Heras (Vitex vinata), Kelapa (Cocos nucifera), Jati (Tectona
grandis), Kihiang (Albizia procera), Johar (Senna siamea),
Beringin (Ficus benjamina), Jeungjing (Paraserianthes
falcataria),Hanjuang(Cordyline fruticosa) dan
Kalikiria(Gliricidia sepium).
Struktur punden tersebut terdiri dari 3 teras.
Teraspertama : panjang 7.5m, lebar 5.6 m, dan tinggi balai
34cm. Teras kedua :
panjang 8.8 m, lebar 8.8 m,
dan tinggi balai 26cm.
Teras ketiga : panjang
10m, lebar 2.3 m, dan
tinggi balai 12cm. Teras
keempat : panjang 10m,
lebar 1. m, dan tinggi balai
22cm. Teras kelima :
panjang 10.4m dan tinggi
balai 37cm.

141 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


4.Batu Patapan IV
Area ini dilindungi pagar bambu dengan panjang 24 m,
lebar kanan 7.5 m, lebar kiri 1.7 m, panjang bagian dalam
15 m. Dekat pintu masuk terdapat batu altar yang disusun
oleh batu-batu berbagai ukuran membentuk bidang persegi
dengan Panjang 1.7 m, lebar 1.6 m, dan tebal 24 cm. Di
sekitarnya terdapat batu besar berkelompok-kelompok.
Lokasi situs ini berada di kordinat S 07°20’44.30” dan E
108°27’48.92” di ketinggian 103 mdpl. Disekitar situs masih
bisa ditemukan fragmen keramik.

5. Goa Kamuning
Goa ini berada di sebelah selatan dari Batu Patapan I, di
tebing yang berhadapan dengan Sungai Cileueur. Goa
Kamuning berada di kordinat S 07°20’46.05” dan E
108°27’47.71” dan berada di ketinggian 83 mdpl. Di atas

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 142


mulut goa terdapat Pohon Hampelas (Ficus ampelas),
dengan lebar muka goa 550cm, tinggi muka goa 170 cm
dan tinggi dalam goa 71 cm. Terdapat teras di depan muka
goa dengan ukuran jarak dari muka goa 5,6 m dan lebar
4,5 cm.

Goa Kamuning ( foto Pandu Radea)

Di dalam gua, penduduk menemukan tinggalan yang


menunjukan adanya aktivitas manusia. Jejak – jejak
aktivitas manusia tersebut berupa pecahan tembikar, gigi
Bovidae (kerbau purba), gigi Sus (babi), fragmen tulang,
dan geraham manusia. Fragmen tulang dan gigi yang

143 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


ditemukan di lokasi tersebut sudah mengalami proses
pemfosilan (sub – fosil) (Agus: 156 – 157).99

6. Batu Tangga
Lokasi Batu Tangga berada di kordinat S
07°20’48.23” dan E 108°27’44.48” di ketinggian 76 mdpl.
Batu Tangga tersusun oleh dua buah batu besar persegi
yang bertumpuk membentuk umpak batu seperti tangga. Di
sekitarnya ditumbuhi oleh pohon Heras (Vitex vinata), Kiara
(Fellicium Decipiens), Kelapa(Cocos nucifera), dan tanaman
perdu. Di area tersebut masih bisa ditemukan fragmen
gerabah. Ukuran batu paling bawah panjangnya 2.8 m,
lebar 2.6 m, dan tebal 96 cm, sedangkan batu diatasnya
memiliki panjang 2.5 m, lebar 1.6 m, dan tebal 85 cm.
Letak batu tangga berada di teras tanah dengan jarak ke

Batu Tangga ( foto Tizi Rakyan)

99
Endang Widyastuti, Jenis-Jenis Tinggalan Arkeologi Di Kawasan
Kertabumi, dalam buku Dimensi Arkeologi Kawasan Ciamis, Editor Endang sSri
Hardiati, IAAI, Bandung (2006)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 144


pinggir jurang 1.6 m .
Selain Gua Kamuning, pada tebing Gunung Susuru
terdapat 4 buah gua lainnya. Ke empat gua tersebut
terbentuk dari batuan breksi vulkanik. Berdasarkan keadaan
fisiknya, terlihat gua – gua tersebut merupakan gua buatan
(artificial caves) yang ditoreh pada tebing di tepi Sungai
Cimuntur dan Cileueur dengan kemiringan lereng 75⁰. Di
dalam gua, penduduk menemukan tinggalan yang
menunjukan adanya aktivitas manusia. Jejak – jejak
aktivitas manusia tersebut berupa pecahan tembikar, gigi
Bovidae (kerbau purba), gigi Sus (babi), fragmen tulang,
dan geraham manusia. Fragmen tulang dan gigi yang
ditemukan di lokasi tersebut sudah mengalami proses
pemfosilan (sub – fosil) (Agus: 156 – 157).100

c. Makna Kabuyutan
Pemukiman-pemukiman yang masih memiliki jejak
sejarahnya biasanya ditandai dengan adanya kabuyutan-
kabuyutan yang masih dilestarikan oleh masyarakat
pendukungnya. Dari kabuyutan-kabuyutan tersebut maka
dapat dipelajari tentang perkembangan kawasan tersebut.
Pemakaman-pemakaman kuna pada masa Islam terkadang
tidak berdiri sendiri, namun banyak meninggalkan jejak
lapisan budaya dari masa pra Islam ke masa Islam.
Demikian pula kabuyutan berupa struktur berundak,
patapaan, mata air keramat, bukit, danau, dan sungai bisa
menjadi indikator adanya lapisan budaya. Tidak saja dari
kisah-kisah yang menyertainya, namun dari semua yang
ada di dalam dan lingkungannya, baik itu yang bersifat

100
Ibid, hlm.47

145 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


arkeologis maupun nilai-nilai lainnya yang berkaitan dengan
masa lalu. Tinggalan yang bersifat arkeologis umumnya
meninggalkan artefak, ekofak maupun fitur yang memiliki
pendekatan realistis terhadap periode sejarah. Sedangkan
Kabuyutan yang kental dengan kosmologis cenderung
muncul dari konsep religi yang kemudian dijewantahkan
dalam bentuk folklore, mitologi, legenda dan budaya
tradisi 101 yang turut mendukung latar belakang
kesejarahannya.
Situs Gunung Susuru merupakan kabuyutan dengan
konsep punden berundak yang puncaknya terdapat batu
monolit. Kabuyutan Gunung Susuru sebagai peninggalan
masa klasik pada masanya merupakan tempat sakral yang
memiliki kedudukan istimewa dan dilindungi oleh penguasa.
Beberapa sumber primer dan sekunder di bawah ini
menegaskan pentingnya kabuyutan sebagai wilayah yang
disakralkan oleh kerajaan, sehingga menjadi wasiat yang
harus dipatuhi. Naskah Amanat Galunggung menyebutkan
:
“….jaga dapetna, pretapa dapetna pegengon sakti,
bonangna(ku) Sunda, Jawat La(m)pung, Baluk,
banyaga nu dek ngarebutna kabuyutan
Galunggung,…”

(Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemulyaan


(kewibawaan, kekuasaan) dan pegangan kesaktian
(kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para

101
Pandu Radea, Penelusuran Arsip Sejarah Di Kecamatan
Sindangkasih Ciamis, Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Daerah
(2017).Hlm.4

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 146


pedagang (orang asing) yang akan merebut
Kebuyutan Galunggung. (Atja-Saleh, 1981:1).
Kemudian transliterasi Prasasti Citatih, Cibadak
dengan nomor kode D 73, D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga
batu pertama (menurut Pleyte):

D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi
dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri-
ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri
jayabhupati jayamana-henwisnumurtti
samarawijayashaka-labhuwanamandaleswaranindita
harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway
denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan
hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan
pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang
tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia
sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong
kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti
pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

(Selamat) Dalam tahun Saka 952 bulan


Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang,
Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja
Sunda Maharaja Sri Jayabupati
JayamanahenWisnumurtiSamarawijayaSakalabuwan

147 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


amandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah
timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati
Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar
ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang)
menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu.
Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan
Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar.
Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang
dikukuhkan dengan Sumpah. (c.m. Pleyte, TBGLVLL,
1915).

Prasasti Kabantenan (Bekasi) yang terdiri dari 6


lembar lempeng kuningan ditemukan di Bekasi isinya
merupakan pesan Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran
juga menuliskan pesan kepada siapapun bahwa lemah
dewasanana yang bernama Sunda Sembawa di Gunung
Samaya merupakan tempat bagi raja. Tidak boleh ada
yang mengganggu dan mengubahnya. Pada isi Prasasti
Kabantenan E.43 dan E.44 tertera kalimat :
“Pun ini piteket nu seba ka Pajajaran, miteketan
kabuyutan di Sunda Sembawa.” 102
Selanjutnya Dalam prasasti Kabantenan disebutkan pula
bahwa kabuyutan di Sunda Sembawa ini merupakan
kawikuan sebagaimana tertera dibagian akhir Prasasti E.44
“…lamun aya nu kodo pa (am) bahna lurah su(n)da
sembawa, ku aing dititah dipaehan. Kena eta lurah
kawikuan.” (Boechari,1985/1986;106).

102
Danasasmita.,Op.Cit, hlm.43

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 148


(Jika ada yang memaksa memasuki daerah Sunda
Sembawa aku perintahkan agar dibunuh, karena
daerah itu tempat kediaman para wiku)
Sama halnya dengan Prasasti Cicatih, Isi prasasti yang
dititahkan oleh Sri Baduga Maharaja ini juga berisi supata
dan ancaman kepada yang berniat melanggar perintahnya.
Kabuyutan merupakan sebutan umum bagi tempat-
tempat dengan sejumlah tinggalan dari masa lalu baik
berupa sisa-sisa bangunan suci atau bukan (makam, mata
air, gunung) yang dianggap suci sebagai tempat
memuja.(Lubis, 2003 ;108;109). Sumber-sumber tertulis
berupa prasasti dan naskah-naskah Sunda kuno seperti
Prasasti Cicatih, Prasasti Gegerhanjuang, Naskah Amanat
Galunggung, Carita Parahyangan, Bujangga Manik, Carita
Pantun, Kawih Paningkes dan Jatisunda menyebut tempat-
tempat suci tersebut dengan nama kabuyutan, lemah
dewasanana, kawikuan, mandala dan parahyangan.
Dalam Carita Parahyangan terdapat kalimat … nu
ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti
sang disri, ti sang tarahan tina parahyangan … Kabuyutan
merupakan persemayaman para leluhur yang telah
meninggal dunia (hyang). Istilah kabuyutan dalam
masyarakat Sunda Kuna mengacu pada tempat atau
struktur bangunan tertentu yang berbeda dengan
bangunan-bangunan suci pada umumnya masyarakat Jawa
Kuna (Munandar, 1992). Pada hakekatnya bangunan
kabuyutan dapat disejajarkan dengan candi yang umum
dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komplek

149 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


kabuyutan di Jawa Barat misalnya dapat dijumpai di situs
Astanagede, Kawali dan komplek Karangkamulyan. 103
Secara fisik konsep kabuyutan dilatari sistem religi.
Pada awalnya, keagamaan yang melatari kerajaan Sunda
adalah Hindu. Dalam perkembangannya agama Hindu
bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya
unsur kepercayaan asli muncul. Sistem religi yang demikian
itu, dalam ekspresi bangunan suci dimunculkan dalam
bentuk bangunan berundak yang juga diwarnai ciri-ciri
klasik seperti adanya lingga, yoni, nandi, serta arca
dewa.Meskipun bangunan kabuyutan lebih akrab dengan
masa klasik Jawa Barat tetapi tidak berarti bangunan candi
sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak
dijumpai di Jawa Barat. Penelitian yang pernah dilakukan di
kawasan timur Jawa Barat telah menemukan bangunan
candi.
Masyarakat sunda kuna mengenal adanya lima
macam tempat suci, yaitu (a) dewasasana, (b) Kawikuan,
(c) Kabuyutan, (d) pertapaan dan (c) sakakala. Lemah
dewasasana secara mudah diartikan arca tempat dewa
bersemayam. Dalam lingkungan ini bukan saja pemujaan
terhadap dewa(Hindu-Budha) melainkan juga kepada
Hyang (leluhur gaib yang disucikan). Di lemah dewasasana
selain terdapat bangunan-bangunan pemujaan, juga
terdapat tempat patapaan dan tempat monument suci
untuk memperingati tokoh leluhur yang telah mangkat atau
symbol konsep yang bersifat supernatural yang dinamakan
sakakala. 104

103
Radea,Op.Cit. Hlm.8
104
Agus Aris Munandar, Tatar Sunda Masa Silam (Jakarta :
Wedatama Widya Sastra, 2010) hlm. 58;59.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 150


Kabuyutan dan kawikuan termasuk dalam lemah
dewasanana. Kabuyutan yang berasal dari kata buyut
memiliki arti keramat. Sehingga sangat mungkin sebagai
tempat yang dihormati dan diampu kekeramatannya oleh
kaum agamawan. Adapun kawikuan yang berasal dari kata
wiku, biku, bhiksu, adalah sebutan untuk pendeta budha
yang kemudian juga digunakan untuk kaum agamawan
Hindu-Budha. Kawikuan sangat mungkin merupakan
perkampungan khusus kaum agamawan seperti halnya
mandala atau kadewaguruan dalam kebudayaan jawa kuna
zaman Majapahit. 105
Lemah Dewasanana merupakan area tempat dewa
bersemayam. Namun dalam lingkungan dewasanana selain
melakukan pemujaan kepada dewa (Hindu-Budha) juga
kepada Hyang (leluhur gaib yang disucikan. Hal tersebut
terjadi karena sinkretisme religi yang berkembang pada
saat itu. Tempat suci yang disebut kawikuan merujuk
kepada kawasan sakral berupa perkampungan khusus
kaum agamawan. Kata kawikuan berasal dari kata wiku
yang berarti bhiksu yaitu kaum agamawan Budha yang
kemudian dijadikan penyebutan umum untuk agamawan
Hindu-Budha. Penyebutan Lurah Kawikuan dalam Prasasti
Kabantenan, menunjukan bahwa Sunda Sembawa
merupakan pusat dari kawikuan-kawikuan yang ditetapkan
oleh Sri Baduga sebagai lemah dewasanana. 106
Sejauh ini identifikasi mengenai jenis-jenis tempat
suci masih belum ada rumusan yang tepat untuk
mengklasifikasikan tempat religi yang disebut kabuyutan.
Berubahnya tatanan kabuyutan akibat perkembangan

105
Radea,Lok.Cit.
106
Radea, Op.Cit, Hlm 9

151 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


budaya dimasa berikutnya telah merubah ciri-ciri aslinya.
Beberapa sumber naskah kuno dapat dijadikan rujukan
untuk mendapatkan yang mendekati Gunung Susuru.

d. Konsep Ruang Kabuyutan Gunung Susuru


Dalam beberapa bagian dari isi naskah Bujangga
Manik yang bernafaskan agama jati sunda (a sunda kuno)
terdapat beberapa bait yang menjelaskan tentang
gambaran kabuyutan saat ia tiba di Gunung Sembung dan
hulu Cisokan. Selain itu disebutkan pula tata cara ritual
yang memuja adi kodrati berjuluk Jati Niskala, Sang Hyang
Taya, Sang Hyang Manon atau lainnya.

(1280)“Sacu(n)duk ka gunung Se(m)bung, eta hulu


na Citarum, di inya aing ditapa, sa(m)bian
ngeureunan palay, Tehering puja nyangraha,

(1285)puja (nya)pu mugu-mugu. Tehering


na(n)jeurkeun li(ng)ga,
tehering nyian hareca, teher nyian sakakala. Ini
tu(n)jukeun sakalih

(1290) tu(n)jukeun ku na pa(n)deuri, maring aing


pa(n)teg hanca //O// A(ng)geus aing puja nyapu,
Linyih beunang aing nyapu, Ku/macacang di buruan

(1295) Nguliling asup ka wangun, ngadungduk di


palu(ng)guhan, Dibiwi samadi Ku ngaing
dirarasakeun, Ku ngaing dititineungkeun
……………………….

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 152


(1395) satahun deung sataraban. Sadiri aing [ti i] ti
inya, sacu(n)duk ka gunung Ratu, sanghiang Karang
Carengcang. Eta hulu na Cisokan,

(1400) la(n)deuhan bukit Patuha,heuleut Li(ng)ga


Payung, nu / awas ka Kreti Haji. /25v/ Momogana
teka waya:neumu lemah kabuyutan,

(1405) na lemah ngali(ng)ga manik, teherna dek sri


ma(ng)liput, ser manggung ngali(ng)ga payung,
nyanghareup na Bahu Mitra.Ku ngaing geus
dibabakan,

(1410) Dibalay diu(n)dak-u(n)dak, dibalay


sakulili(ng)na, ti ha(n)dap ku mu(ng)kal datar, ser
manggung ku mu(ng)kal bener, ti luhur ku batu
putih,

(1415) diawuran manik asra.Carenang heuleut-


heuleutna, Wangun tujuh guna aing, padangan
deung pakayunan, deungan la(m)bur pameupeuhan,

(1420) roma hiang patengtongan.La(m)bur ta dua


ngadengdeng. Taman mihapitkeun dora, tajur eukeur
ngara(m)pesan, eukeur dek sereng dibuah.

(1425) na keke(m)bangan sariang. Na wangun teu


acan bobo,balay ha(n)teu / acan urug / 0 / 26r /
Sate(m)bey datang ka masa,datang ka ukur-ukuran,

(Noorduyn & A Teeuw 2009: 309).107

107
Noorduyn, J & A.Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta :
Pustaka Jaya. (2009)

153 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Terjemahan :
(sampailah ke Gunung Sembung, itu merupakan hulu
Sungai Citarum, di tempat itu aku bertapa, seraya
menghentikan segala keinginan. Kemudian aku
membangun pemujaan puja nyapu dengan sungguh-
sungguh. Lalu kudirikan lingga, terus membuat Arca
kemudian membuat bangunan suci. Ini untuk
menunjukkan kepada mereka pertanda untuk mereka
kelak bahwa aku telah menyelesaikan tugas. Setelah
kutuntaskan puja nyapu, bersihlah sudah kusapu,
bolak- balik di halaman, berkeliling masuk ke dalam
bangunan, lalu berdiam diri di tempat duduk, berdoa
sambil tafakur. Kuhayati semua itu, Kurenungi
segalanya)

(sesampainya di hulu Sungai Cisokan, di kaki


Gunung Patuha, Bujangga manik menemukan lokasi
yang keramat, lalu menghadap ke Bahu Mitra Telah
kubangun sebagai pedusunan, disusun batu
berundak-undak disusun batu sekelilingnya, dari
bawah dengan batu datar, menjulang ke atas dengan
batu tegak, di puncaknya dengan batu putih, ditaburi
batu permata indah, Gemerlap berderet-deret tujuh
bangunan untuk keperluanku, tempat makan dan
kayu bakar, dan juga tempat menumbuk, terapian
menyala-nyala, Dua lumbung berdampingan, taman
mengapit pintu gerbang)

Dari bait 1280-1295 diketahui beberapa hal yang


dilakukan oleh Lingga Manik dalam membangun sebuah
pamujaan sebagai sarana ritualnya, yaitu mendirikan

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 154


lingga,membuat Arca, membuat bangunan suci. Kemudian
bait 1395 sampe 1425 Bujangga Manik ketika telah
menemukan sebuah tanah yang cocok untuk dijadikan
kabuyutan, maka ia mulai membangun tempat pemujaan
yang tersusun berundak-undak. Dibawahnya adalah batu
datar sedangkan diatasnya adalah batu tegak. Dipuncaknya
batu putih.
Tanah yang cocok untuk kabuyutan disebutkan lemah
ngalingga manik Menjelaskan tentang kontur tanah yang
memenuhi syarat untuk dijadikan kabuyutan. Hal itu
dijelaskan dalam naskah Warugan Lemah dengan kalimat :
Lamunna ngalingga manik ma na lemah kahaupan ku
déwata. Panyudana ha(n)tiga tikukur tulis , tanem di buda
hireng di tengah dalem. Ajina: “Ong Sri … Séda
sohah!”(Jika tanah ngalingga manik maka akan
diperhatikan oleh dewata. Untuk mensucikannya telur
burung perkutut tulisi, kemudian tanam pada hari Rabu
Wage di tengah wilayah bagian dalam. Ajiannya:Ong Sri …
108
Séda sohah!).
Secara harfiah, ngalingga manik berarti ‘membentuk
puncak permata’. Mungkin dapat diartikan topografi tanah
yang membentuk puncak dengan lahan pemukiman berada
di puncaknya. Termasuk topografi tanah yang baik, karena
menjadikan penduduknya diperhatikan oleh dewata. Pada
tanah seperti inilah Bujangga Manik (BM), seorang peziarah
Sunda abad 16, mengakhiri kehidupannya. Dalam teks BM
(baris 1404-1406), rahib kelana ini berharap menemukan

108
Aditia Gunawan, Warugan Lemah : Pola Permukiman Sunda
Kuna. (Sundalana : PSS,2010).

155 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


tanah kabuyutan, yaitu tanah yang menyerupai puncak
permata (ngalingga manik).109
Dari isi naskah Bujangga Manik maupun Warugan
Lemah, maka Gunung Susuru sesuai dengan kabuyutan
yang digambarkan Bujangga Manik sebagai kabuyutan
dengan struktur yang berundak-undak. Dan ada di puncak
bukit yang memiliki syarat sebagai puncak permata. Hal itu
tergambar dari situs Patapaan 1 sampai 4. Patapaan 2
sampai 4 tersusun dari teras yang berundak-undak namun
dalam area yang lebih kecil dibandingkan patapaan 1 yang
lebih tinggi dan luas.
Menurut Anis Djatisunda, dalam cerita Pantun Gede
mengisahkan Curug Sipada Weruh, salah satu bangunan
suci utama dinamakan Balay Pamunjungan yang
merupakan tempat untuk memuliakan Hyang Agung. 110
“ari wangunan yang disebut Balay Pamunjungan
ceuk tadi tea, nyaeta dijieunna di hiji pasir (Pasir Kihara
Hyang), salah sahiji lampingna disengkedan, diundak-undak
samodel undak-undakan kotakan sawah anu lobana aya 12
undak, kaasup undak nu pangluhurna. Lahan eta puncak
pasir diratakeun, diraratana sakalian dibatuan ku batu
laleutik jeung batu-batu galede dalemprak. Tah nya lahan
ieu pisan nu disebut “balay”teh.
Undak-undak anu sawelas handapeunana, ieu oge
dirarata make babatuan siga di puncakna. Undak-undakan
ieu mah dingaranan “babalayan” anu hartina kira-kira
nyaruaan balay. Pasir sagemblengna disebut Balay
Pamunjungan Kihara Hyang..”(Djatisunda 2008: 8-9).111

109
Ibid.
110
Munandar, Loc. Cit.
111
Ibid

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 156


Disebutkan juga perbedaan Balay Pamunjungan dan
Balay Pamujaan. Tentang hal ini Anis Djatisunda
mengungkapkan sebagai berikut.
“…Balay Pamunjungan tea, nu di Pakuan Pajajaran
harita mah ngan wungkul di Kihara Hyang. Ari ditempat-
tempat sejen, aya oge wangunan kitu sabangsa Balay
Pamunjungan anu undak-undakna tujuh atau salapan
undak. Nu kieu mah disebutna lain Balay Pamunjungan tapi
“Balay Pamujaan” anu diurusna oge cukup ku para Puun
atawa Kokolot Lembur”(Djatisunda 2008: 10)112
Bujangga Manik menyebutkan tentang membuat
arca juga menempatkan lingga sebagai sarana pemujaan.
Lingga dalam tradisi Sunda Kuna, tidak harus berarti lingga
yang lengkap dengan bagian Rudrabhaga, Brahmabaggha,
dan Wisnubhaga sebagai mana terdapat dalam kebudayaan
Hindu Budha di Jawa bagian tengah dan timur. Artinya,
batu tegak itu dipandang sebagai lingga sebenarnya,
walaupun bentuknya hanya batu alami agak pipih dan
lonjong yang ditancapkan berdiri di tanah. 113
Adapun arca-arca yang dibuat oleh Bujangga Manik
sangat mungkin berbentuk arca-arca sederhana yang
umum didapatkan di dekat kelompok menhir di berbagai
situs di Jawa Barat. Arca-arca demikian sering dinamakan
arca tipe Polynesia. Arca-arca sederhana itu memang
banyak dijumpai. Beberapa diantaranya terlihat adanya
pengaruh agama Hindu-Buddha, karena ada yang berwujud
pantheon Hindu dalam bentuk sederhana, ada juga yang
menggambarkan tokoh dengan busana seperti dewa-dewa

112
Munandar, Op.Cit.131
113
Ibid, hlm.132

157 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Hindu-Buddha, ada pula yang digarap secara sederhana
saja hanya menunjukkan adanya bagian kepala, badan, dan
kaki (Mulia, 1980, 66608-615, dan 635).114
Arca Lenggo memiliki konteks dengan Gunung
Susuru sebagai gambaran tentang hareca yang dibuat oleh
Bujangga Manik. Arca dan lingga menyimbolkan yang
wujud dan yang tidak wujud. Lingga adalah sarana memuja
sesuatu yang adikodrati sedangkan arca merupakan
pengejewantahan sanghyang di marcapada yang ditujukan
kepada sosok-sosok yang disakralkan dan dikeramatkan
alias leluhur atau buyut.
Kawasan yang dimaksud Bujangga Manik dengan
ngababakan dapat ditemukan di Kawasan Gunung Susuru,
yaitu berada di blok Bojong Gandu (Sukama) babakan ini
merupakan wilayah pemukiman yang diisi kemudian oleh
para cantrik atau endang yang mempelajari keagamaan
dibawah bimbingan resi atau wiku. Kawasan itu
digambarkan Warugan lemah dengan kalimat La(m)unna
motong pasir ma na lemah ngara(n)na Singha Purusa. Awét
juritan, pameunangna. Panyudana bubura muliya tane(m)
di buruan. Ajina: “Ong /1v/ déwa manusa mrewasa
sohah!”(Jika tanah memotong bukit dinamakan singha
purusa. Unggul dalam peperangan bawaannya. Untuk
mensucikannya tanam bubura muliya di halaman rumah.
Ajiannya: “Ong déwa manusa mrewasa sohah!”)115
Singha Purusha menggambarkan Topografi tanah
(lahan) memotong pasir, berada di antara puncak dan kaki
bukit. Termasuk topografi tanah yang baik, karena
mendatangkan kemenangan dalam berperang. Blok

114
Ibid.hlm.134
115
Gunawan,Loc.Cit.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 158


BojongGandu sebagai kawasan pemukiman dibuktikan
dengan banyaknya temuan artefak berupa gerabah dan
keramik.
Temuan tembikar dari Gunung Susuru sejumlah 19
keping, dengan tebal bervariasi antara 3, 55 – 10 mm. Dari
seluruh temuan tersebut 17 tidak dapat diketahui
bentuknya karena terlalu kecil, sedangkan 2 keping yang
lain berasal dari bentuk periuk dan mangkuk. Berdasarkan
orientasi bagian bibir, berdiameter 9 cm. bahan yang
digunakan bertekstur halus, dengan temper berupa pasir.
Pembuatan menggunakan teknik roda putar. Proses
pembakaran sempurna dengan suhu tinggi, terlihat dari
warna tembikar yang kemerahan.116

C. Situ Makam Prabu Di Muntur


Lokasi makam berada di hutan lindung dengan luas
situs ±800 m². hutan ini didominasi tumbuhan Kiara (Ficus
benjamina L), Ki Calung (Diospyros truncata Z.&.M), Ki
Tambaga (Eugenia cupre), Beringin(Ficus benjamina),
Kenari (Canarium ovatun), Kemuning (Murraya paniculata),
Ki Endog (Geniustoma haemospermum), Kawung (Arengan
pinnata), Bambu (Bambuseae), Heras(Vitex vinata), Bungur
(Lagerstroemia), Benda (Artocarpus elasticus), Ki Getih
(Hemigraphis colorata), dan Imba(Azadirachta indica).
Sedangkan luas area yang menjadi pemakaman adalah
229.22 m².
Di dalam situs terdapat 5 makam yang menjadi
tujuan para peziarah. Situs ini berada pada titik kordinat S

116
Endang Widyastuti, Tembikar Dan Keramik Dari Kawasan
Kertabumi, dalam Buku Tapak-Tapak Budaya, hlm 98. Penyunting
Dr.Endang Sri Hardiati, IAAI. Banten (2002)

159 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Makam Prabu Dimuntur ( foto Tizi Rakyan)

07°19’53.40” dan E 108°27’03.93” di ketinggian 465mdpl.


Kompleks Makam Prabu Di Muntur terbagi dalam 3
ruangan yang dibatasi oleh balai batu.
Makam-makam yang berada di puncak undakan
adalah makam Prabu Di muntur, Tanduran Ageung, Raja
Cita, dan Dalem Turgina. Juga terdapat 1 batu tegak.
Bagian kedua juga terdapat batu tegak dan di bagian
bawah di tempati makam Kyai Cipta Di Muntur. Area
makam Prabu Di Muntur dibagi dalam dua bagian yang
membentuk struktur berundak dan tiap sisi terasnya dibalai
dengan batu alam membentuk persegi. Panjang balai
bagian luar 8,3 m dengan lebar 700 cm, sedangkan
panjang bagian dalam 4,7 m dan lebar 4,6 m. Di pintu

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 160


masuk terdapat tangga batu dengan panjang 2,76 m dan
jarak tangga ke bagian balai terluar makam utama 1,37 m.
Tembikar dari Kompleks Makam Prabu Di Muntur
sejumlah 1 keping berasal dari bentuk periuk. Keramik dari
Kompleks Makam Prabu Di Muntur seluruhnya berjumlah 7
keping terdiri dari 2 keping berasal dari Cina masa Dinasti
Qing dari abadXVII-XXdan 5 keping keramik Eropa. 117

a. Makam Prabu Di Muntur


Makam ini berorientasi utara-selatan, dengan tipe
nisan DemakTroloyo tanpa diberi jirat. Tinggi nisan 39cm,
lebar nisan 20cm, tebal nisan 6cm, dan kaki nisan 11cm. Di
bagian bawah nisan terdapat hiasan geometris tumpal
bolak-balik dengan jarak antar nisan 2,12 m. Tiap nisan
diberi batu-batu alam yang mengelilingi kaki nisan dengan
diameter batu keliling 94 cm.

b. Makam Tanduran Ageung


Makam ini
berorientasi utara-selatan,
dengan tipe nisan Demak
Troloyo tanpa diberi jirat.
Tinggi nisan 51 cm, lebar
nisan 22 cm, tebal nisan 8
cm dengan tampak kaki 20
cm. Tiap nisan diberi batu-
batu alam yang
mengelilingi kaki nisan
dengan diameter
kelilingnya 94 cm. Jarak

117
Ibid., hlm 102,104,

161 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


antar nisannya adalah 2,17 m dan nisan memiliki medalion
dengan kaligrafi yang dipahat timbul.

c. Makam Sang Raja Cita


Nisan makam berorientasi utara-selatan, dengan
tipe nisan Demak Troloyo polos tanpa jirat. Tinggi nisan
36cm, kaki nisan 11 cm, lebar nisan 15 cm, tebal nisan 5,5
cm. Tiap nisan diberi batu-batu alam disekeliling kaki nisan
dengan jarak antar nisan 1,39 cm.

Makam Sang Raja Cita ( Tizi Rakyan)

d. Makam Dalem Turgina (Dalem Bujang).


Nisan makam berorientasi utara-selatan, dengan
tipe nisan maek(lingga) terbuat dari batu andesit

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 162


membentuk segitiga tak beraturan. Nisan utara dengan
tinggi 15 cm, tebal 9 cm,dan diameter 52 cm, tinggi nisan
bagian selatan 29 cm, lebar 19 cm, dan tebal 7 cm.
Sedangkan jarak antar nisan 22 cm tanpa diberi jirat.
Pintu masuk ke makam utama terdapat rana 118
terbuat dari bambu dengan tinggi 1 m dan jarak antara
tiang 1,37 m. Sedangkan di pintu masuk terdapat 2
undakan dengan ukuran; undakan pertama panjang 1,69 m
dengan jarak 38 m dan undakan kedua panjang 2,83 m
dengan jarak 66cm.

e. Batu tegak
Pada bagian ini terdapat batu tegak berbentuk
segitiga dengan ujung berbentuk kotak. Tinggi batu 30 cm,
lebar 20 cm, dan diameter 47 cm. Disekeliling batu terdapat
batu-batu alam yang mengelilinginya.

f. Eyang Kyai Cipta Di Muntur.


Di pelataran paling bawah terdapat makam Eyang
Kyai Cipta Di Muntur. Beliau termasuk salah satu kasepuhan
dari Prabu Di Muntur. Nisan bagian utara memiliki tinggi 16
cm, lebar 40 cm, dan tebal 10 cm. Nisan terbuat dari batu
alam persegi empat tak beraturan dan beberpa batu terlihat
rebah. Sedangkan nisan bagian selatan memiliki lebar 38
cm, dan panjang 65 cm terbuat dari batu alam pipih
membentuk segitiga tak beraturan.
Dibagian belakang nisan terdapat batu lainnya
dengan tinggi 15 cm, lebar 22 cm, dan panjang 41 cm. Dari
batu tersebut terdapat batu bata dengan ukuran tebal 4

118
Penutup atau aling-aling

163 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


cm, panjang 22 cm, dan lebar 11 cm. Dengan jarak antar
nisan 215 cm. makam tersebut tidak memiliki jirat.

D. Lingga Kolelet
Area ini termasuk ke dalam wilayah RT09 RW04 Dsn
Bunder Desa Kertabhumi. Lingga Kolelet merupakan sebuah
batu alam tegak berbentuk pipih dengan ujung bulat,
berukuran tinggi 50 cm, lebar 31 cm, dan diameter 78 cm.
batu tersebut berada di perkebunan warga dekat bantaran
sungai Cileueur, sedangkan ke arah utara merupakan leuwi
kulelet. Titik kordinatnya S 07°20’36.73” dan E
108°27’14.24” di ketinggian 94 mdpl.

E. Kolam Cikahuripan (Cimuris)


Kolam ini berada di kordinat S 07°19’51.45” dan E
108°26’54.30” di ketinggian 120 mdpl. Lokasinya berada di
pesawahan milik warga dengan bentuk setengah lingkaran,

Cikahuripan ( foto Pandu Radea)

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 164


dengan ukuran panjang 3,50 m dan diameter setengah
lingkaran 7 m.
Kolam ini memiliki kedalaman sekitar 2,5 meter dan
tidak pernah kering karena berada di lahan sawah. Ci
Kahuripan memiiliki kontek dengan kompleks pemakaman
Prabu Di Muntur yaitu sebagai bagian dalam tata cara
berjiarah. Selain itu airnya dipercaya berkhasiat untuk
menyembuhkan penyakit.

F. Situs Jalaksana
Lokasi berada di wilayah Dusun Nagrog Desa
Kertabhumi dengan titik kordinat S 07°19’30.44” dan E
108°25’17.30” berada di ketinggian 127 mdpl. Terdapat
batu alam dengan ukuran panjang 1,60 m, lebar 1,20 m
dan ketebalan 35 cm. Kemudian diatasnya terdapat batu
yang disebut dengan batu pamangkonan.
Objek yang disakralkan disini adalah batu monolit
dan pamangkonan yang dianggap peninggalan leluhur
Dusun Nagrog. Berada di samping bendungan DAS Cibuyut.
Ditempat ini sering diselenggarakan marak lauk Cibuyut
dengan memanfaatkan bendungan Cibuyut.

165 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


G. Cimalati
Lokasinya berada di Blok Ciniru Desa Kertabhumi
ditepi DAS Cibuyut. Mata air ini tidak terawat dengan
ditumbuhi pohon kawung dan bambu ampah (aur). Ukuran
kolam yang tersisa saat ini adalah 3 x 3 m. Titik
kordinatnya berada di S 07°20’04.73” dan E 108°26’07.69”
di ketinggian 124 mdpl.
Cimalati merupakan mata air yang pernah
disakralkan oleh warga pada waktu lampau. Kini nilai
kesakralan tempat ini sudah semakin pudar. Konon Cimalati
airnya dipercaya berkhasiat.

H. Makam Tanduran Sari


Lokasinya berada di Blok Sukama RT.09 RW.04
Dusun Bunder Desa Kertabhumi dengan titik kordinat S
07°20’26.98” dan E
108°27’36.40” di
ketinggian 115 mdpl.
Area situs ditumbuhi
pohon heras,
rambutan, imba,
puring, dan campaka.
Orientasi makam
adalah utara-selatan
yang menjadi ciri dari
makam islam. Secara
keseluruhan struktur
batu makam
membentuk persegi
panjang, tersusun
dari batu-batu alam

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 166


berbagai ukuran. Nisan utara terbuat dari batu alam andesit
berbentuk lonjong pipih dengan tinggi 25 cm, lebar 16 cm,
dan berdiameter 50 cm. sedangkan nisan selatan terbuat
dari batu andesit berbentuk persegi tak beraturan dengan
tinggi 12cm, lebar 13 cm, dan tebal 11 cm. Di belakangnya,
dengan jarak 21 cm terdapat tambahan nisan berbentuk
pipih dengan panjang 21 cm, tinggi 17 cm, dan tebal 7 cm.
Dibelakangnya lagi, dengan jarak 14 cm ada nisan
berbentuk kotak persegi dengan atas membulat dengan
tinggi 12 cm, lebar 14 cm, dan panjang 16 cm. Jarak antara
nisan utara dan selatan adalah 1.41 m. Ukuran jirat 2.5 m
x 70 cm dengan jarak bagian dalam 48 cm. Jirat bagian luar
berukuran 3 m x 1.5m dengan jarak 38 cm dan jirat terluar
ukurannya 3.7 m x 3.4 m. Sekeliling makam dilindungi
pagar terbuat bambu membentuk persegi panjang dengan
ukuran panjang 6.34 m, lebar 4.7 m, dan tinggi 1 m.
Tanduran Sari adalah istri kedua Prabu Di Muntur
yang dimakamkan di Blok sukama. Diperkirakan di kawasan
makam ini adalah tempat tinggalnya. Nama blok Sukama
diambil dari nama kecil Dewi Tanduran Sari. Blok Sukama
ini masih berada dikawasan Bojong Gandu.

I. Bojong Gandu
Walau masih satu kawasan dengan Gunung Susuru
namun Bojong Gandu yang keletakannya berada di sebelah
barat laut situs Gunung Susuru merupakan situs terpisah
dari Gunung Susuru. Bojong Gandu dalam ingatan kolektif
warga setempat merupakan bekas pasar kuno dan bekas
kediaman Prabu Di Muntur atau keraton Kertabumi.
Keadaan lahan di Situs Bojong Gandu relatif datar.
Ditempat ini petani saat mengolah tanah banyak

167 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


menemukan pecahan gerabah keramik dan tembikar.
Banyaknya temuan limbah kuno di situs ini menunjukan
bahwa sejak masa klasik sudah terdapat pemukiman di
lokasi yang saat ini telah menjadi kebun.
Dari hasil ekskavasi dan penelitian oleh Balai
Arkeologi Bandung maka didapat pecahan tembikar,
keramik, terakot dan gerabah. Temuan tembikar di Bojong
Gandu berjumlah 112 keping yang jenis asalnya adalah
wadah, terdiri dari 30 periuk, 4 mangkuk, 15 tempayan, 2
pasu, 7 tutup, 3 kendi, 1 wajan, dan 1 belanga. Tembikar
yang berasal dari bukan wadah terdiri dari jenis 7 tungku, 1
vas, 3 bata, dan 32 terakota. Terakota yang ditemukan di
lokasi ini berbentuk pipih panjang dengan penampang
lintang berbentuk segi empat, setengah lingkaran, elips,
dan trapesium. Pada sisi - sisinya terdapat hiasan yang
berbeda – beda. Pembuatan hiasan menggunakan teknik

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 168


gores dan tekan. Oleh penduduk setempat, terakota
tersebut biasa dinamakan “kue”.119
Sampai saat ini fungsi kue Bojong Gandu belum
diketahui dengan pasti. Padahal terakota berbentuk kue ini
ditemukan juga di situs Gunung Wingka, Bantul,
Yogyakarta. Pernah juga ditemukan di situs
Karangkamulyan, Gunung Raja (Tasikmalaya), dan Benteng
Sabut, Tulangbawang Barat, Lampung. Selain terakota kue,
di Bojong Gandu juga ditemukan pecahan kibu (kendi)
dan tumang (tungku berkaki tiga khas lampung) yang juga
ditemukan di Lampung dan temuan kibu Trowulan.
Tinggalan arkeologi lainnya di Situs Bojong Gandu
berupa sisa benteng yang terbuat dari susunan batu.
Sekarang situs tersebut dimanfaatkan sebagai areal
perkebunan penduduk yang ditanami singkong dan pisang.
Berdasarkan hasil survei dan eksvakasi, di Situs Bojong
Gandu banyak ditemukan tinggalan – tinggalan yang
bersifat artefaktual, yaitu berupa fragmen keramik, fragmen
tembikar, dan kerak besi. 120 Fragmen keramik yang
ditemukan di Situs Bojong Gandu secara tipolod\gis berasal
dari bentuk mangkuk, oiring, cawan, cepuk, pasu, buli –
buli, tempayan dan vas. Fragmen keramik tersebut berasal
dari Cina, Thailand, Vietnam, dan Eropa. Temuan fragmen
keramik yang terbanyak berasal dari Cina masa Dinasti
Ming dan Qing (Widyastuti, 2002: 104).121
Berdasarkan bentuk lahan dan ragam temuannya
lokasi ini memungkinkan untuk menjadi pemukiman.

119
Widyastuti, Op.Cit, Hlm 100
120
Widyastuti, Jenis-Jenis Tinggalan Arkleologi Di Kawasan Kertabumi,
hlm. 102
121
Widyastuti, Op.Cit. hlm.104

169 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Pemukiman di Situs Bojong Gandu berdasarkan analisis
keramik diperkirakan berawal sejak abad ke-10 – 13
Masehi, selanjutnya mengalami perkembangan sampai
abad 17 – 20 Masehi.122

J. Lulumpang
Tembikar dari Lulumpang berasal dari wadah terdiri
dari jenis 16 periuk, 4 mangkuk, 2 tempayan, 1 tutup, 4
kendi, 1 belanga, dan 1 cawan. Dari pengamatan tampak

Lumpang Batu dalam foto van Kinsbergen (KITLV no 87627 Lenggo


near Tjiamis )

122
Widyastuti, Op.Cit. hlm.109-110

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 170


bahwa teknik pembuatan dengam menggunakan roda putar
dan tatap pelandas. Pada beberapa tembikar terlihat
adanya jelaga yang menunjukan jejak pemakaian
menggunakan api. Seluruh tembikar berbentuk wadah dari
Lulumpang merupakan tembikar polos. Sedang tembikar
yang berasal dari bukan wadah terdiri dari jenis 7 tungku, 1
cobek, 2 bata, 1 gacuk, dan 3 terakota. 123
Keramik yang ditemukan di Lulumpang berasal dari
Cina sejumlah 23 keping terdiri dari 2 keping berasal dari
masa Dinasti Song, dari Dinasti Yuan 7 keping, dari Dinasti
Ming 5 keping, dan dari Dinasti Qing 9 keping. Selain itu
ditemukan juga 6 keping keramik Thailand, keramik
Vietnam 4 keping, keramik Eropa 23 keping, dan keramik
yang berasal dari Jepang 1 keping. 124
Dinamakan blok lulumpang kemungkinan karena
pernah ditemukan lulumpang di kawasan ini. Dalam
keterangan foto van Kinsbergen yang dirilis KITLV dengan
no 87627 disebutkan Lenggo near Tjiamis. Foto tersebut
juga disebutkan dalam laporan Veerbek dengan kode objek
foto no 43.

K. Sumur Batu
Sumur ini merupakan batu besar memiliki tinggi
2,05 m, berdiameter 4 m, dan berada di ketinggian 1,85 m
dari dasar sungai. Lokasinya berada di aliran Sungai
Cimuntur dekat Leuwi Baru dengan titik kordinat S
07°20’23.82” dan E 108°27’26.46” di ketinggian 74 mdpl.
Keletakan Sumur batu berada di sebelah barat Gunung
Susuru. Lobang Sumur terletak di sisi batu bagian selatan,

123
Ibid. hlm.104
124
Ibid. hlm 104

171 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


lebar 80 cm, kedalaman lobang 60 cm, dan diameter
lingkaran 60cm.
Lobang batu itu terbentuk secara alami karena
dampak ablasi di sungai melalui proses pengikisan oleh
putaran batu atau kerikil yang terjebak pada lobang di batu
akibat terbawa arus air yang deras. Proses itu terus
menerus berlangsung saat air sungai mencapai ketinggian
lobang batu tersebut. Putaran kerikil di dinding dalam
lobang batu seperti putaran kelereng di dalam gelas, maka
lobang yang kecil lama-lama kian membesar dan
terbentuklah lobang di permukaan batu dengan lingkaran
simetris. Oleh karena itu maka permukaan batu yang
berlobang dengan lingkaran yang simetris ini menyerupai
sumur yang terkesan
dibuat oleh tangan
manusia. Dalam
geologi proses tersebut
dinamakan potholes
atau jublegan. Sumur
batu dan airnya
disakralkan dan
menjadi bagian dari
Kabuyutan Gunung
Susuru. Batu sumur
akan terlihat jelas saat
musium kemarau.

L. Situs Bojong Jati/Balandongan


Lokasi situs berada disebrangnya Gunung Susuru
dengan batas Sungai Cimuntur. Areanya ditumbuhi pohon
heras, bambu, hanjuang, kamboja, imba dan puring. Titik

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 172


kordinatnya S 07°20’37.31” dan E 108°27’54.87” di
ketinggian 63 mdpl. Menurut keterangan Juru Kunci Jejen
hanya 3 makam yang diketahui namanya, dan sisanya tidak
diketahui. Ketiga makam itu Mbah Kyai Braja Sakti, Mbah
Jambrong, dan Mbah Muda. Struktur makam sudah
berubha kareba desakan akar pohon yang tumbuh besar..
Area makam diberi pagar pelindung dari bambu. Di Area
pemakaman ini terbagi dalam dua kelompok makam.
Dinamakan Balandongan karena lokasi ini berada
pada ujung bojong yang berhadapan langsung dengan
tempuran sungai Cimuntur dan Cileueur. Sehingga pada
masa lalu digunakan olehpara gegeden dan menak untuk
kegiatan marak baik di leuwi bagian Cimuntur maupun
Cileueur. Untuk menunjang kegiatan tersebut maka setiap
kegiatan marak selalu didirikan balandongan untuk
menyambut dan menempatkan gegeden yang datang.

a. Kelompk makam pertama di Situs Bojong Jati


Area makam dilindungi pagar bambu membentuk
ruang persegi panjang. Panjang pagar utara 9 m, lebar
pagar timur 7.8 m, panjang pagar selatan 7.4 m, lebar
pagar barat 7.3 m dan tinggi pagar 90cm. komplek ini
mengalami peninggian yang tersusun dari 3 teras undakan
dan terdapat 5 makam yang tersebar. Di samping pagar
bambu terdapat balai batu sebagai pembatas. Dengan
ukuran panjang balai utara 9 m, balai timur 6.3 m, balai
selatan 5 m, dan balai barat 6 m. Jarak teras pertama ke
teras kedua 1.5 m.Diteras kedua terdapat 3 struktur
makam.
Di teras puncak terdapat 2 struktur makam yaitu
makam Mbah Kyai Braja Sakti, berorientasi utara-selatan

173 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


dengan jarak nisan 95cm, nisan dari batu alam andesitis.
Sedangkan struktur makam kedua telah rusak, karena
desakan akar pohon heras. Mbah Brajasakti, Mbah
Jambrong dan Mbah Muda adalah tokoh dan sesepuh desa
pada masanya.

b. Makam Tak Dikenal


Di sebalah barat ada satu makam yang dilindungi
pagar bambu, dengan panjang pagar 3.8 m dan lebar 1. 6
m. Posisi batu nisan telah rebah dan memiliki jirat dengan
panjang 1.4m dan lebar 86cm.

c. Bukit Bojong Jati


Ke arah baratlaut, bagian puncak bukit dari area
Balandongan terdapat struktur batu yang mengelompok.
besar yang berkelompok dipuncaknya terdapat batu monolit
yang besar. Di area ini ditemukan struktur balay yang
tampak dipermukaan tanah, panjangnya sekitar 5
meterdengan orientasi utara-selatan di kordinat S
07°20’35.97” dan E 108°27’52.64” dengan ketinggian
75mdpl. Dilihat dari gejala adanya balay batu di permukaan
diduga kuat di puncak bukit ini terdapat struktur lainya
yang masih tersembunyi.Lokasi batu monolit berada dititik
kordinat S 07°20’35.06” dan E 108°27’52.65” di ketinggian
82mdpl.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 174


BAB VI
KEARIFAN LOKAL DI KERTABUMI

Istilah kearifan lokal diperkenalkan pertama kali oleh


Quaritch Wales pada tahun 1948-1949 sebagai hasil
terjemahan dari local genius yang berarti kemampuan
kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh
kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu
berhubungan (Rosidi, 2011:29). Definisi kearifan lokal
menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Beberapa pendapat mainstream tentang kearifan lokal
- Menurut Permana (2010:20), Kearifan lokal adalah
jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis,
historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan
lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka.
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan
berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu
yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Kata lokal, yang
berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu
tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin
berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu
tempat yang bernilai yang mungkin berlaku setempat
atau mungkin juga berlaku universal (Fahmal, 2006:30-
31).

175 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


- Menurut Sedyawati (2006:382), Kearifan lokal diartikan
sebagai kearifan dalam kebudayaan tradisional suku-
suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya
berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan
juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi
pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika.
Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk
sebagai penjabaran kearifan lokal adalah berbagai pola
tindakan dan hasil budaya materialnya.
- Menurut Nasiwan dkk (2012:159), Kearifan lokal adalah
kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi,
petatah-petitih dan semboyan hidup.
Di masa klasik, tercatat tokoh-tokoh sejarah sunda
yang dikenal karena kebijakan dan kepemimpinannya
seperti Wretikandayun, Darmasiksa, Sempakwaja,
Linggabuana, Bunisora Suradipati, Wastukancana, dan
Jayadewata. Pada masa perkembanganIslam, nama
Cakrabuana dan Syarif Hidayatulah merupakan tonggak
penting bagi penyebaran Islam di Jawa Barat.
Kearifan lokal yang melandasi ketradisian dalam
kehidupan masyarakatnya disatu sisi telah teruji oleh waktu
namun beberapa fungsinya, seperti yang ditulis Ayat
Rohaedi (1986:40-41) yaitu mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar, mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli dan memberi arah pada perkembangan budaya
juga berdampak terkikisnya nilai-nilai tersebut. Hal tersebut
terjadi manakala masyarakat pendukungnya semakin
renggang dari ketradisian dan akibat dampak dari
pembangunan modern yang mengesampingkan kearifan
lokal. Kearifan lokal akhirnya termarjinalkan bahkan

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 176


semakin pudar dan dilupakan oleh generasi berikutnya.
Termasuk diantaranya adalah hilang dan hancurnya
peninggalan-peninggalan sejarah. Dari mata rantai tradisi
yang terputus berimbas pada kegamanangan akan jati diri.
Kearifan lokal akhirnya hanya jargon semu tanpa makna.
Kearifan lokal dalam beberapa aspek memiliki
keterkaitan dengan pelestarian peninggalan sejarah yaitu
yang berwujud nyata ( tangible) dan yang tidak berwujud
(intangible). Yang berwujud nyata diantaranya bersifat
tekstual, arsitektural (bangunan) dan benda cagar budaya.
Sedangkan yang berisfat tangible mencakup (1)
pengetahuan lokal, (2) norma-norma lokal yang
dikembangkan, (2) ritual dan tradisi masyarakat serta
makna di baliknya, (3) lagu-lagu rakyat, legenda, mitos,
dan cerita rakyat yang biasanya mengandung pelajaran
atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh
masyarakat setempat, (4) informasi data dan pengetahuan
yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, pemimpin
spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat lokal, (7) cara-cara
komunitas lokal masyarakat Jawa dalam memenuhi
kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan yang
dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi
sumber daya alam atau lingkungan yang biasa
dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
(Sartini, 2004).
Kearifan lokal akan senantiasa berdenyut kuat jika
tradisi sebagai system pewarisan yang masih dilaksanakan
secara komunal tetap terjadi. Untuk merasakan daya hidup
kearifan lokal secara lengkap diantaranya dapat ditemukan
di daerah-daerah yang masih kuat dalam menjaga dan

177 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


menjalankan adat istiadat sebagai ketradisian seperti
kampung-kampung adat ataupun daerah-daerah yang
masih mupusti peninggalan-peninggalan buhun baik benda
maupun tak benda.
Kendati nilai-nilai kearifan lokal masih dapat telusuri
secara umum, namun di Sunda, keberadaan kampung adat
seperti kampung Kuta, Kampung Naga, Kanekes,
Ciptagelar, Dukuh dll seolah menjadi sumber penting untuk
mengkaji nilai-nilai luhung. Termasuk didalamnya kawasan
yang dulunya merupakan pusat kekuasaan pemerintah
seperti halnya Cirebon yang masih ajeg dengan
kesultanannya. Pun demikian dengan kabuyutan-kabuyutan
yang masih disakralkan oleh masyarakatnya.
Pelestarian sejarah dalam kegiatan kearifan lokal
merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Adanya
berbagai kegiatan ritual adat tradisi di berbagai daerah
turut menyelamatkan peninggalan-peninggalan sejarah
terutama yang bersifat benda sebagai bukti masa lampau
yang masih tersisa. Peninggalan sejarah yang bersifat
benda umumnya tak dapat diperbaharui. Maka berbagai
kegiatan adat tradisi yang didalamnya menyertakan benda-
benda pusaka seperti ritual jamasan, Nyangku di Panjalu,
Merlawu di Kertabumi dan Wanasigra, Panjang Jimat di
Cirebon, Seba di Kabuyutan Ciburuy Garut, Siraman di
Talaga Majalengka dll, menjadi salah satu cara konservasi
budaya secara tradisional terhadap benda-benda yang
menjadi bukti sejarah.
Ritual merupakan prilaku dari kearifan lokal. Kamus
Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa ritual
berkenaan dengan ritus. Secara umum ritual merupakan
kegiatan yang sarat dengan makna simbolis dan terikat

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 178


oleh aturan-aturan yang menyertainya. Ritual keagamaan
maupun ritual adat menjadi kebiasaan atau tradisi yang
dikerjakan dalam waktu tertentu, baik oleh perseorangan
maupun kelompok masyarakat pada dasarnya merupakan
ungkapan rasa syukur sekaligus pendekatan kepada Sang
Pencipta atas berkah keselamatan, kesejahteraan hidup,
termasuk juga bentuk penghormatan kepada leluhurnya.
Di Tatar Sunda, berbagai kegiatan ritual masih dapat
disaksikan nyaris di berbagai daerah. Walau penamaan
berbeda-beda namun menunjukan essensi yang sama, yaitu
ungkapan syukur. Adanya perbedaan nama merupakan ciri
dari dimensi kearifan lokal di mana setiap daerah memiliki
kekhasan tersendiri. Seperti misalnya istilah Jamasan,
Nyangku, Seba, Merlawu dan Siraman, selain ungkapan
rasa syukur kepada Sang Pencipta, pada prakteknya adalah
kegiatan membersihkan benda-benda pusaka dan tempat
peninggalan leluhur sebagai bentuk penghormatan.

1. Tradisi Merlawu di Kertabumi


Tradisi Merlawu merupakan kearifan lokalyang masih
terpelihara di Desa Kertabumi. Merlawu artinya berbagi
lawu(h) yang dijewantahkan dalam bentuk suguhan
makanan yang dinikmati bersama sebagai tanda syukur
kepada yang Maha Kuasa setelah masyarakat yang terikat
oleh tradisi saling bekerjasama membersihkan kampung
termasuk tempat-tempat sakral yang didalamnya memiliki
kaitan sebagai cikal bakal dari sejarah kampung. Dari
bentuk ekspresi yang sederhana kemudian berkembang
mengikuti jaman maka terbentuklah rangkaian prosesi
budaya sesuai berdasarkan musyawarah Desa. Maka, kini
Merlawu di Kertabumi menjadi rangkaian acara dari

179 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


beberesih, ziarah dan makan bersama yang dilaksanakan
menjelang bulan puasa dan berkorelasi dengan kebiasaan
munggahan. Berbeda dengan tradisi Merlawu di Gandoang
Wanasigra Sindangkasih Ciamis yang dilaksanakan pada
Bulan Mulud setelah Panjang Jimat di Cirebon selesai
dilaksanakan. Dan disinyalir Kegiatan Merlawu juga pernah
hidup di beberapa desa lainnya di Kabupaten Ciamis.
Namun yang dikenal saat ini adalah Merlawu di Kertabumi
dan Wanasigra.
Merlawu berasal dari kata mer dan lawu. Mer
bermakna bagi, seperti halnya makna pada kata merdua
(dibagi dua) dan mertelu (dibagi tiga). Lawu dengan
imbuhan h bermakna lauk pauk. Merlawu pada awalnya
sesuai dengan pengertian diatas yaitu berbagi lauk pauk.
Hal ini dilakukan manakala masyarakat bersama-sama
membersihkan makam keramat Prabu Di Muntur sebagai
leluhur lembur yang ngababakan dan menyebarkan Ajaran
Islam di Kertabumi. Mereka membawa makanan dan
lawuhnya dari rumah untuk disantap bersama setelah
kegiatan beberesih selesai. Pada saat itulah interaksi sosial
untuk saling berbagi makanan berlangsung..
Dalam kegiatan Merlawu di Gunung Susuru tidak
menyertakan kegiatan mencuci benda-benda pusaka
peninggalan sejarah sebagai salah satu elemen sakral
seperti yang dilakukan di Merlawu Desa Wanasigra. Namun
tradisi masyarakat Kertabumi untuk tetap merawat dan
mengaktualkan nilai tradisi dan sejarah merupakan cara
menghormati leluhur dan tanda syukur kepada Sang
Pencipta.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 180


2. Tradisi Jamasan Pusaka
Jamasan Pusaka 125 merupakan kegiatan mencuci benda
pusaka disertai dengan tata cara yang terikat oleh aturan-
aturan adat. Istilah Jamasan umum dikenal di beberapa
daerah. Kegiatan ini diantaranya menjadi tradisi yang
dilaksanakan di Kertabumi terutama oleh keluarga Juru
Kunci Situs Makam Prabu Di Muntur.
Keluarga Juru Kunci melaksanakan jamasan
mengikuti kebiasaan turun temurun sesuai amanat yang
terdapatdalam buku Dongdonan Kakuncenan yang selalu
dipegang oleh juru kunci yang sedang mancén. 126 Juru
Pelihara Situs Prabu Di Muntur saat ini adalah Jejen Nurjana
yang melanjutkan generasi sebelumnya. Juru Kunci makam
Prabu Di Muntur secara turun temurun telah diwariskan
kepada 7 juru kunci yaitu sejak Buyut Karnanti, Buyut
Atmawi, Buyut Atmari, Abah Eman, Ny. Entin, Abah Atang
dan Jejen. Tiga juru kunci terakhir merupakan putra putri
dan menantu Abah Eman. Tugas utama mingguan yang
harus dilaksanakan juru Kunci Makam Prabu Di Muntur
adalah sasapu atau beberesih setiap hari Kamis.
Jejen Nurjaman menjadi Juru Kunci sejak tahun
2017. Pada saat itu juga ia menjadi jupel Situs Prabu Di
Muntur dan mendapat Surat Keputusan Jupel dari Provinsi.
Sebagai Juru Kunci, Jajang mewarisi beberapa pusaka
kakuncenan, yaitu Keris Cékér Embe, Baju keré, iket buhun,
tombak, pedang bedog panjang, dan goong yang
merupakan simbol kakuncenan dan diantaranya adalah
125
Wancara dengan keluarga Juru Kunci Situs Makam Prabu
Dimuntur : Ny. Omih (Istri Juru Kunci Eman alm), Jejen Nurjaman, dan
Tati Haryati (juru pelihara Situs Gunung Susuru) putra tertua Juru Kunci
Eman) pada Sabtu, 20 Agustus 2018
126
Mengemban tugas

181 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


peninggalan Prabu Di Muntur. Selain benda-benda
kakuncenan, Jajang juga mewarisi sekitar 50 pusaka
lainnya dari Abah Eman ayahnya.
Maka untuk menghormati benda-benda peninggalan
leluhurnya itu, keluarga Juru Kunci secara tradisi
melaksanakan Jamasan pada bulan rewah, seminggu
sebelum Merlawu. Kegiatan ini walau diselenggarakan oleh
keluarga juru kunci namun diketahui sejak turun temurun
oleh masyarakat Kertabumi. Penyelenggaraan yang bersifat
internal itu belum bisa dilaksanakan dengan terbuka karena
adanya keterbatasan penyelenggaraan secara terbuka.
Jamasan yang diselenggarakan keluarga Juru Kunci
sama halnya dengan jamasan yang berlangsung di tempat
lain, yaitu memandikan dan membersihkan pusaka-pusaka
yang bernilai sejarah peninggalan leluhur yang dihormati.
Kegiatan Jamasan di Jambansari dilaksanakan pada bulan
Mulud sekaligus menjadi sarana memperingati maulid Nabi
Muhammad SAW.
Menurut Jajang Nurjaman, setiap pusaka
kakuncenan memiliki sesajen tersendiri yang terdiri dari
beuleum ulén, kupat tangtang angin, beuleum
bawang,beuleum tarasi, bubur beureum bubur bodas,
tumpeng, cokok endog, surutu, bako tampang, kopi godog,
goreng cau raja, berbagai jenis rurujakan, seupaheun dan
kupat salamet.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 182


Daftar Pustaka :

Atja, Drs., Tjarita Parahjangan, 1968, Jajasan Kebudajaan


Nusalarang Bandung.
Abdurahman,dkk.,TerjemahanCarita Parahyangan, (Jakarta
: Yayasan Pembangunan Jawa Barat 1991).
Cholisin, M.Si & Nasiwan, M.Si. 2012. Dasar Dasar Ilmu
Politik. Yogyakarta: Ombak.
Djafar, Hasan., Kompleks Percandian Batujaya, Rekontriksi
Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa
Barat, 2010, Kiblat Buku
Danasasmita, makmur., Wacana Bahasa Dan Sastra Sunda
Lama, 2001, STSI Press, Lembaga Penerbitan Unit
Litmas STSI Bandung.
Desa Kertabumi, Laporan Potensi Desa dan Kelurahan,
Kertabumi Kecamatan Cijeungjing, Ciamis tahun
2018.
Ekadjati, Edi S., Prof.Dr., Kebudayaan Sunda Suatu
Pendekatan Sejarah, 1995, Pustaka Jaya
Fahmal, Muin. 2006. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih. Yogyakarta: UII Press.
Gunawan, Aditia, Warugan Lemah : Pola Permukiman
Sunda Kuna. (Sundalana : PSS,2010)
Gurnadi, Gun Gun, R.H, Buku Silsilah Sejarah Galoeh, tanpa
angka tahun dan tidak diterbitkan.
Indrajaya, Agustijanto,Beberapa Masalah Perunahan Status
Tanah di Jawa Barat Menurut Sumber Prasasti,
Dalam Dinamika Budaya Asia Tenggara-Pasifik
Dalam Perjalanan Sejarah. (Bandung: IAAI, 1998)
Iskandar, Yosep,Drs. Sejarah Jawa Barat, Yuganing Raja
Kawasa, 1997, Geger Sunten
Lubis, Nina.,(Ed)., Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, 2003, Pusat
penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Univerrsitas Pajajaran &

183 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Masyarakat Sejarawan Inddonesia Cabang Jawa
Barat, CV Satya Historika.
---------Lubis, Nina.,(Ed)., Sejarah Kota-Kota Lama
di Jawa Barat. Alqaprint (2000)
Munandar, Agus Aris., Tatar Sunda Masa Silam, 2010,
Penerbit Wedatama Wudya Sastra
---------Ibukota Majapahit Masa Jaya dan
Pencapaian, 2008., Komunitas Bambu.
Muljana, Slamet, Prof.dr., Tafsir Sejarah Negara
Kretagama,2006, LKIS
Noorduyn, J & A.Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta :
Pustaka Jaya. (2009)
Padmadikusumah,Raden.,Naskah Sejarah Galuh dalam
Ensiklopedi Sastra Sunda, Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan (1997)
Permana, Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat
Baduy dalam Mengatasi Bencana. Jakarta:
Wedatama Widia Sastra.
Radea,Pandu., Konteks Sejarah Naskah Kuno Gandoang,
2015., Artikel Budaya Harian Umum Kabar Priangan
---------Membaca Kabuyutan Gandoang, 2015.,
Artikel Budaya Harian Umum Kabar Priangan
---------Pendataan Situs-situs Di Dayeuh Luhur,
Yayasan Tapakkaruhun Nusantara (2015), tidak
diterbitkan.
--------- Radea,Pandu dkk.,Pendataan Situs-situs
Talaga, Yayasan Tapakkaruhun Nusantara (2018).
tidak diterbitkan.
--------- Radea, Pandu, Buku Penelusuran Arsip
Sejarah Di Kecamatan Sindangkasih Ciamis, 2017,
Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Daerah
Kabupatern Ciamis.
Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya
Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 184


--------- Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius).
Jakarta: Pustaka Jaya. 1986.
S.U. Riana, I Ketut, Prof.Dr.Drs., Kakawin Desa Warnana
Uthawi Nagara Krtagama : Masa Keemasan
Majapahit, 2009., Penerbit Buku Kompas.
Sartini,S., Menggali Kearifan Lokal Nusantara, Sebuah
Kajian Filsafat., dalam Jurnal Filsafat jilid 37 No 2,
111-120, vol I. Agustus, 2004, Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Sedyawati, Edy. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi,
Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sofiani, Yulia R.A.A. Kusumahdiningrat & R.A.A.
Kusumasubrata Gaya Hidup Bupati-bupati Galuh
ombak (2012)
Sudjana. T.D., Naskah Nagara Kretabhumi, Dwitya Sarga
(Cirebon:2007),
Sukardja Djadja H. Kerajaan Galuh, Raja dan Bupati Galuh
Keturunan Prabu Haur Kuning (1999).
---------. Naratas Sejarah Galuh Ciamis
(Kandepdikbud : 1999),
Sulendraningrat,P.S., Purwaka Tjaruban Nagari,
Penanggung Djawab Sedjarah Tjirebon
dan staf Kaprabonan Lemahwungkuk
Tjirebon, 1972, Bharata.
Widyastuti, Endang., Penelitian Arca-arca Di Ciamis
Kaitannya Dengan Ragam Pengarcaan“Arkeologi
dari Lapangan ke Permasalahan”,. Editor Prof. Dr.
Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2006.
--------- Jenis-Jenis Tinggalan Arkeologi di Kawasan
Kertabumi DalamDimensi Arkeologi Kawasan
Ciamis.,Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.2006.
----------Tembikar Dan Keramik Dari Kawasan

185 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


Kertabumi, dalam Buku Tapak-Tapak Budaya, hlm
98. Penyunting Dr.Endang Sri Hardiati, IAAI. Banten
(2002)
Wildan, Dadan, Sejarah Ciamis, Penyunting Usin.S. Artyasa.
Humaniora Bandung, 2005
Zaedin, Muhamad Mukhtar., Sutarahardja, Tarka., Yulianto,
Doddie., Alih Aksara dan Bahasa Carita
Parahyangan Sakeng Jawa Kulwan, 2016.

Website :
R.Suparman Sastrawijaya.Naskah Salinan Serat Rundayan
Talaga trah Ratu Laubarangsari saking Pangeran
Ariya Satjanata/ Bupati Panjalu.
www.sunantalagamanggung.wordpress.com , diunduh 3
Mei 2017
Ali Nurdin, DAS Citanduy., www.academia.edu, diunduh 11
April 2017
Alang-Alang Kumitir,Babad Galuh.
alangalangkumitir.wordpress.com.diunduh 9 Maret
2018

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 186


Narasumber :

1. R.H. Gun Gun Gurnadi


Jl. Pirus Galuh 1 No 05. RT.08.RW01, Cisaranten Kulon,
Arcamanik, Bandung 40293
- Sejarawan dan Budayawan Sunda
- Pembina Yayasan Tapak Karuhun Nusantara
- Pembina Yayasan Musium Galuh Ciamis

2. Abah Adang
Dusun Bunder Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing,
Kabupaten Ciamis.
Sesepuh dan Pelestari Sejarah di Desa Kertabumi

3. Jejen Nurjana
Ciamis, 24 Pebruari-1972
Alamat Dusun Bunder RT 10/05
Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis
Juru Kunci dan Juru Pelihara Situs Makam Prabu Di Muntur

4. Teti Haryati
Ciamis, 8 Juli 1970
Dusun Bunder Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing,
Kabupaten Ciamis.
Juru Pelihara Situs Gunung Susuru

5. Yuyu Mulyani
Ciamis 10 Juli 1981
Dusun Bunder Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing,
Kabupaten Ciamis.
Juru Pelihara Situs Gunung Susuru.

187 | Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018


6. Kuswandi
Ciamis 19 April 1966
RT.07/02, Dusun Desa, Karangkamulyan, Kecamatan
Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Juru Pelihara Situs Gunung Susuru.

7. HR. Rustam Effendi Sastrawidjaya,S.H.


Dusun Tenjolaya, RT.001/RW.002, Desa Sadewata,
Kecamatan Lumbung, Kabupaten Ciamis.
Pemerhati Sejarah Lokal Galuh Ciamis

Tim Pendataan Situs Sejarah Kertabumi :


Kordinator : Tizi Rakyan
Anggota : Abah Adang, Teti Haryati,Jejen Nurjana, Yuyu
Mulyani, Balung Karuhun, Ato Qios, Acem
Mudawangi, Tirta Mandala Rasa, Iman
Purbawisesa, Dede Rahmat, Okik Taufik.

Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 2018 | 188

Anda mungkin juga menyukai