Anda di halaman 1dari 9

1) FATMAWATI

Fatmawati, wanita asli pribumi ini lahir di Bengkulu pada tanggal 5 Februari 1923 dengan nama asli
Fatimah. Nama Fatimah merupakan pemberian dari kedua orang tuanya. Fatmawati merupakan
keturunan dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah yang mana kedua orangtuanya adalah keturunan
Puti Indrapura atau biasa disebut seorang keluarga raja dari kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan,
Sumatra Barat. Ayah Fatmawati juga terkenal sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Fatmawati dididik dan dibesarkan kedua orangtuanya di Bengkulu.

Ketika beranjak dewasa, Fatmawati menikah dengan Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada
tanggal 01 Juni 1943, saat itu Fatmawati berusia 20 tahun. Dari pernikahan tersebut, secara otomatis
Fatmawati menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967.

Fatmawati merupakan istri yang ketiga dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Pasangan
Pemimpin Negara Indonesia tersebut dikaruniai lima orang putra dan putri, di antaranya adalah Guntur
Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan
yang terakhir Guruh Soekarnoputra.

Ibu Negara Indonesia Pertama ini terkenal sebagai wanita yang berjasa dalam menjahit bendera Sang
Saka Merah Putih yang dengan tegas dikibarkan pada upacara pertama Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia di Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Fatmawati meninggal pada tanggal 14 Mei 1980 pada usia 57 tahun di Kuala Lumpur, Malaysia karena
serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekkah. Fatmawati dimakamkan di Karet
Bivak, Jakarta. Saat ini nama Fatmawati dijadikan sebuah nama Rumah Sakit di Jakarta, nama
Fatmawati Soekarno juga dijadikan sebuah nama Bandara Udara di Indonesia tepatnya di Bengkulu,
kota kelahiran Fatmawati
2) SOEKARNI KARTODIWIRJO

Sukarni lahir pada tanggal 14 Juli 1916, di Desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar,
Jawa Timur. Ia anak keempat dari Sembilan bersaudara. Ayahnya adalah Kartodiwirjo dan ibunya
bernama Supiah. Pekerjaan ayahnya pedagang di Pasar Garum.

Sukarni mengikuti pendidikan di sekolah Mardisiswo, Blitar y ang didirikan oleh para pejuang
kemerdekaan. Sekolah ini didirikan oleh tokoh pergerakan dari Banyumas yang bernama Ir. Anwari,
seorang tokoh Partai Indonesia (Partindo). Pada tahun 1930 ia bergabung dengan Indonesia Muda yang
merupakan organisasi kepemudaan Partindo. Anwari mengirimnya ke Bandung untuk mengikuti kursus
pengkaderan. Diantara pengkadernya adalah Ir. Soekarno yang baru saja dibebaskan dari penjara oleh
pemerintah kolonial Belanda.

Setelah mengikuti kegiatan pengkaderan Partindo, Sukarni mendirikan organisasi Persatuan Pemuda
Kita dan menjadikan rumahnya yang dikenal kemudian sebagai Rumah Garum, sebagai sekretariatnya.
Ia menyatukan organisasi yang dibentukny sebagai bagian dari Indonesia sehingga Persatuan Pemuda
Kita menjadi Indonesia Muda cabang Blitar. Indonesia Muda merupakan organisasi pemuda yang
dibentuk setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan merupakan peleburan dari organisasi-
organisasi pemuda yang bersifa kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Sumatera, Jong
Sulawesi, Jong Minahasa dan Jong Ambon.

Karir Sukarni dalam gerakan Indonesia Muda meningkat dari Ketua Cabang Blitar menjadi Ketua
Umum Pengurus besar Indonesia Muda pada tahun 1935. Dua tahun kemudian Politieke Inlichtingen
Dienst (PID) melakukan serangkaian penangkapan terhadap pimpinan Indonesia Muda. Untuk
menghindari penangkapan ini Sukarni dan beberapa temannya menyelamatkan diri ke luar Batavia.
Sukarni lari ke Jawa Timur. Ia sempat bersembunyi di Pondok Pesantren di Kediri, kemudian di
Pondok Pesantren di Banyuwangi. Kepemimpinan PB Indonesia Muda dialihkan kepada Ruslan
Abdulgani.

Dalam pelariannya, Sukarni dari Banyuwangi menyebrang ke Pulau Kalimantan pada tahun 1938. Ia
menggunakan nama samaran Maidi. Pada tahun 1941, ia tertangkap PID di Balikpapan. Dari penjara
Balikpapan, Sukarni dipindahkan ke penjara Samarinda, Surabaya dan Batavia. Di pengadilan, ia
divonis hukuman pembuangan ke Boven Digul. Untuk sementara ia ditahan di penjara Garut. Namun
amar putusan pembuangan ke Boven Digul tidak dapat dilaksanakan karena pemerintah Hindia
Belanda dikalahkan oleh pasukan Jepang pada bulan Maret 1942.

Pemerintah pendudukan militer Jepang membebaskan seluruh tahanan politik, termasuk Sukarni dan
direkrut sebagai pegawai Sendenbu (Departemen Propaganda) dengan pangkat Yong-te Gyoseikan
(pegawai tinggi tingkat empat). Para tokoh muda Indonesia kemudian direkrut pemerintah Jepang
dengan membentuk Angkatan Baru Indonesia dengan secretariat di Jalan Menteng 31. Rekrutmen para
tokoh muda dilakukan oleh Hitoshi Shimizu. Di antara tokoh muda yang bergabung ke dalam
Angkatan Baru Indonesia adalah Sukarni, Supeno dan Chaerul Saleh. Pemerintah Jepang mengangkat
Sukarni sebagai Ketua Asrama Menteng 31.
Para aktivis pemuda Menteng 31 sering kali mengadakan kegiatan yang mengundang para tokoh
pemuda dengan menhadirkan penceramah dari para tokoh perjuangan kemerdekaan. Diantaranya
adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Sultan Sjahrir. Sejak awal tahun 1945 mereka sudah
membahas perkembangan perang Asia Timur Raya yang dimenangkan pasukan Sekutu. Pada tanggal
15 Agustus 1945 mereka mendapat kabar tentang penyerahan tanpa syarat pemerintah Jepang.
Berdasarkan berita itulah mereka mendesak pimpinan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI); Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Namun kedua tokoh PPKI ini menolak desakan mereka sehingga tercipta ketegangan yang
kemudia dikenal sebagai pertentangan pendapat antar golongan tua yang diwakili PPKI dan golongan
muda yang diwakili kelompok muda dari Menteng 31

Sukarni bersama para tokoh muda akhirnya merencanakan penculikan terhadap Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta. Keduanya diculik dari rumahnya masing-masing pada dini hari tanggal 16 Agustus
1945, bertepatan dengan pembukaan sidang PPKI. Penculikan berjalan lancer karena mendapat
dukungan dari komandan PETA di Jakarta dan Purwakarta. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke
luar dari Jakarta menuju Rengasdengklok yang merupakan wilayah komando PETA Purwakarta.

Penculikan yang dilakukan golongan muda terhadap Soekarno dan Hatta berakhir pada malam harinya
setelah mencapai kesepakatan antara Mr. Achmad Subardjo (golongan tua) dan Wikana (golongan
muda) untuk menyiapkan proklamasi kemerdekaan secepatnya. Berdasarkan kesepakatan inilah
Subardjo dikawal oleh golongan muda untuk menjemput Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok.
Mereka langsung kembali ke Jakarta dan tiba di pada tengah malam.

Namun rencana proklamasi tidak berjalan sesuai rencana karena tidak mendapatkan izin dari penguasa
militer Jepang tertinggi di Pulau Jawa, Mayor Jenderal Nishimimura. Para tokoh Indonesia yang
ditemani Laksamana Muda Tadashi Maeda ini kembali dengan kecewa. Mereka menuju rumah
kediaman Maeda di Jalan Imam Bonjol I (sekarang Museum Proklamasi). Seluruh tokoh golongan tua
dan golongan muda sudah menantinya, termasuk Sukarni. Mereka mengadakan rapat tanpa dihadiri
Maeda. Di dalam rapat itu Sukarni mengusulkan agar Proklamasi hanya ditanda-tangani Soekarno dan
Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Proklamasi dilaksanakan di halaman rumah Soekarno pada pagi harinya. Rencananya proklamasi
dilaksanakan di lapangan Ikada (seberang Taman Monas) karena tidak mendapatkan izin dari penguasa
militer Jepang, Mayor Jenderal Nishimimura.

Pada tanggal 3 September 1945, Sukarni memprakarsai pengambil-alihan Jawatan Kereta Api, Bengkel
Manggarai dan stasiun-stasiun kereta api menjadi milik pemerintah Republik Indonesia. Pada saat itu
kereta api merupakan alat transportasi yang sangat penting. Disamping kereta api, ia mengambil alih
bus angkutan umum dalam kota. Dengan demikian alat transportasi darat sepenuhnya dikuasai
pemerintah Republik Indonesia.

Dalamr angka penyebar-luasan berita Proklamasi, Sukarni mengambil alih kantor berita radio.
Pengambil-alihan ini ternyata juga sangat berguna untuk menyiarkan kebijakan pemerintah dan rencana
kegiatan organisasi Komite van Aksi yang didirikannya. Pada awal September 1945 terdengar kabar
bahwa pasukan Inggris dan Belanda akan tiba di Jakarta. Mereka menolak untuk mengakui proklamasi
kemerdekaan dan pemerintah Indonesia karena tidak didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Untuk
membuktikan bahwa proklamasi kemerdekaan dan pemerintah Indonesia mendapat dukungan rakyat,
Sukarni melalui Komite van Aksi menghimpun rakyat untuk hadir dalam rapat raksasa di Lapangan
Ikada. Rapat ini sekaligus memperingati satu bulan proklamasi. Rencana mereka tidak mendapatkan
izin dari penguasa militer Jepang dan pimpinan pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda). Namun para
pemuda tetap melaksanakannya, meskipun mundur dua hari, yakni pada tanggal 19 September 1945.

Rapat Ikada pada 19 September 1945 merupakan penggalangan massa terbesar pertama untuk
memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia sehingga mengoyahkan penilaian pimpinan
Sekutu bahwa proklamasi kemerdekaan dan pemerintah Indonesia tidak mendapatkan dukungan luas.
Pihak Sekutu bertambah yakin setelah mereka mengalami sendiri kesulitan mejalankan tugasnya tanpa
bantuan dari pemerintah Indonesia.
Sukarni terpilih sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang
merupakan parlemen pertama Repubik Indonesia. Ia termasuk kelompok penentang jalur perundingan
dengan Belanda. Pada awal tahun 1946, kelompok penentang membentuk Persatuan Perjuangan di
Purwokerto, Jawa Tengah. Persatuan Perjuangan dipimpin tokoh senior perjuangan Tan Malaka. Dan
beranggotakan puluhan organisasi perjuangan. Mereka menentang jalur perundingan yang ditempuh
Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Dalam kongres pertamanya di Solo pada pertengahan Januari 1946,
kelompok Persatuan Perjuangan mengeluarkan pernyataan politik yang mendesak BPKNIP untuk
membatalkan perundingan yang dilakukan pemerintah. Akhirnya kabinet pemerintahan Sutan Sjahrir
berakhir. Presiden Soekarno membentuk kabinet pemerintahan yang dipimpin kembali oleh Sutan
Sjahrir.

Persatuan Perjuangan melanjutkan pertentangannya terhadap kabinet pemerintahan Sjahrir yang kedua.
Mereka menculik Perdana Menteri Sjahrir. Aksi penculikan ini dikecam Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Hatta. Akhirnya mereka melepaskan kembali Sutan Sjahrir. Pemerintah menangkap Tan
Malaka dan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan lainnya. Sukarni juga termasuk ditangkap karena dinilai
sebagai pendukung Persatuan Perjuangan di BPKNIP. Namun kesalahannya tidak terbukti sehingga
pemerintah melepaskannya pada pertengahan tahun 1947. Setahun kemudian ia terpilih sebagai Ketua
Umum Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) yang berdasarkan Sosialisme. Mewakili Murba, ia
kembali mejadi anggota KNIP.

Partai Murba adalah salah satu peserta pemilu 1955. Sukarni mewakili kepentingan Murba di dalam
Badan Konstituante, suatu badan yang dibentuk untuk menyusun konstitusi baru menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Ia mendukung Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959
yang membubarkan Badan Konstituante.

Pada tahun 1960, Presiden Soekarno mengangkat Sukarni sebagai Duta Besar Penuh Indonesia untuk
Republik Rakyat Cina dan Mongolia. Tugas utamanya mendapatkan dukungan politik dan bantuan
militer dari pemerintah RRT terhadap program pemerintah Indonesia merebut Irian Barat dari
pemerintah Belanda. Ia menjalankan tugasnya dengan sangat baik sehingga pemerintah Cina
memberikan dukungan penuh kepada pemerintah Indonesia.

Sukarni mengakhiri tugasnya sebagai Duta Besar pada bulan Maret 1964. Ia menentang kebijakan
Presiden Soekarno yang membubarkan partai Murba yang dipimpinnya. Akibat penentangan ini
Presiden Soekarno memenjarakannya. Ia dibebaskan dari penjara oleh Jenderal Soeharto pada bulan
Oktober 1966 dan diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ia meninggal dunia
pada 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
3) LATIEF HENDRADININGRAT

Beliau bernama asli Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat. Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15
Februari tahun 1911 dan meninggal meninggal pada umur 72 tahun yaitu pada tanggal 14 Maret tahun
1983 di Jakarta. Latief dilahirkan dari keluarga RM Said Hendraningrat.

Abdul Latief Hendraningrat terbilang orang yang beruntung karena walaupun dilahirkan pada zaman
penajajahan Belanda, dia bisa memperoleh pendidikan yang layak. Pertama kali dia sekolah di
Europese Ingere School (ELS) yang berada diJakarta, Pasuruan dn Cianjur. Setelah lulus tingkat
sekolah dasar, dia melanjutkan Sekolah menengah MULO di Bandung dn Surabaya. Kemudian setelah
lulus disana, dia melanjutkan kembali sekolahnya di AMS-B (setara dengan SMA) di kota Malang.
Kemudian setelah menamatkan pendidikan menengah atas, dia melanjutkan kuliah di sekolah tinggi
hokum yaitu Rechts Hooge School yang berada di Jakarta. Selain itu, 6 tahun seblum proklamasi
kemerdekaan, Dia juga pernah sekolah di Teacher College di Columbia University New York.

Sejak masih muda, Latief selalu aktif sebagai anggta dari perkumpulan Indonesia Moeda dn
Soeryawirawan (sebuah kelompok kepanduan Partai Indonesia Raya). Bahkan pada tahun 1939, dia
dipercaya untuk memimpin rombongan kesenian dari Hindia Belanda (Indonesia) dalam event New
York World Fair I di Amerika serikat.

Di dalam bidang pemerintahan, Latief pernah dipercaya untuk menjabat sebagai Wedana Betawi.
Selain itu, sesuai dengan profesinya, dia juga pernah menjadi guru bahasa Inggris di Perguruan Rakyat
dan Muhamadiyah di Jakarta. Kemudian saat penjajahan Jepang berlangsung, dia masuk dalam
organisasi Chou Zeinen Kurunzo se pulau Jawa, dan pada tahun 1943 dia ikut dalam PETA di Jakarta
sebagai Chu Dancho.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 di Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta. Soekarno didampingi
oleh Mohammad Hatta membacakan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Abdul Latif
Hendraningrat yng pada saat pembacaan teks proklamasi Kemerdekaan RI, merupakan anggota PETA
dengan pangkat Cudacho (komandan Kompi). Oleh karena pangkatnya tersebut, beliau dipervaya untuk
menjadi penanggung jawab keamanan upacara penaikan bendera pusaka. Dan pda kesempatan tersebut,
beliau dipercaya untuk mengibarkan Bendera pusaka dengan di dampingi oleh Soehoed Sastro
Koesoemo, seorang pemuda yang berasal dari barisan pelopor.

Pada kurun waktu antara tahun 1952 sampai dengan tahun 1957, Latief dipercaya untuk menjabat
sebagai Atasan Militer Republik Indonesia di Manila dan Washington. Kemudian pada tahun 1957
sampai dengan tahun 1958 dia dipercaya untuk memegang jabatan sebagai direktur Sekolah Staf
Komando Angkatan Darat (Seskoad). Dan pada tahun 1959 dia dipercaya menjadi sekretaris Militer
Presiden.

Selain dalam dunia militer, ternyata karier Latief juga berkembang di dunia pilitik. Pada periode tahun
1960 sampai dengan tahun 1965, Latief menjabat sebagai anggota DPRGR. Dan pada tahun 1965
sampai dengan tahun 1966, dia kembali ke bidangnya semula yaitu dunia pendidikan. Pada periode
tersebut dia dipercaya menjadi rector IKIP Rawamangun Jakarta.
Kehidupan dunia pendidikan dan Dunia militer serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan telah
melekat dalam dirinya. Hal ini mengakibatkan walaupun sudah tidak lagi menjalankan Tugas Negara,
dia selalu menyumbangkan tenaga dn pikiran nya bersama teman-teman angkatan 45 di Markas
Komando Djawa (MBRD) dn diapun dipercaya menjabat sebagai ketua umum yayasan 19 Desember
1948.

Kemudian, yayasan yang dipimpin nya tersebut berhasil merampungkan pembangunan dua monument
Perang Rakyat Semesta, yaitu yang bertempat di Boro Kulon progo (Yogyakarta) yng diresmikan oleh
Wakil Presiden Adam Malik pada tahun 1982 dan yang satunya bertempat di Kepurun Menisrenggo,
Klaten (Jawa Tengah).

Pada tangal 14 Maret tahun 1983 sekitar pukul 21.00 WIB tepat pada hari Senin malam, Latief
Hendraningrat meninggal di usia 72 tahun. Dia meninggal di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Dimana
sebelumnya dia telah diarawat selama dua minggu karena penyakit usus buntu. Latief Hendraningrat
meninggalkan seorang istri dan seorang putra serta tiga orang putri.
4) ACHMAD SOEBARDJO

Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo adalah Menteri Luar Negeri Pertama Indonesia, ia
mempunyai gelar Meester in de Rechten yang diperoleh dari menempuh pendidikannya di Universitas
Leiden, Belanda setelah sebelumnya menempuh pendidikan di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini
setara dengan Sekolah Menengah Atas). Lahir di Karawang, Jawa Barat pada 23 Maret 1896.

Nama Achmad Soebardjo adalah nama pemberian ibunya setalah sebelumnya ia mempunyai nama
Teuku Muhammad Yusuf, pemberian dari ayahnya yang masih mempunyai keturunan bangsawan
Aceh dari Pidie, nama belakang Djojoadisoerjo ia tambahkan sendiri saat dewasa.

Bersama Mohammad Hatta, ia menjadi perwakilan Indonesia untuk menghadiri persidangan antar
bangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan
kemudian di Jerman. Sekembalinya di Indonesia, Achmad Soebardjo yang pernah aktif dalam
organisasi Jong Java melanjutkan perjuangannya dengan menjadi anggota organisasi Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).

Di kediaman Laksamana Muda Maeda, ia juga ikut serta dalam menyusun naskah proklamasi bersama
Soekarno dan Muhammad Hatta yang kemudian naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Pada
tanggal 18 Agustus 1945 ia dilantik sebagai Menteri Luar Negeri, itu menjadikannya Menteri Luar
Negeri pertama di Republik Indonesia. Ia juga menjadi Duta Besar di Switzerland antara tahun 1957 -
1961.

Dalam usia 82 tahun, di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, ia mengembuskan napas terakhir
dikarenakan flu yang menimbulkan komplikasi. Yang kemudian dimakamkan di Cipayung, Bogor.
Pada tahun 2009 pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
5) JUSUF KUNTO

Jusuf Kunto lahir di Salatiga pada tanggal 8 Agustus 1921. Jusuf Kunto sebenarnya bernama asli
Kunto. Namanya berubah menjadi Jusuf Kunto sejak tahun 1937, diambil dari nama depan keluarga
kakak sepupunya, Mr. Jusuf Suwondo. Jusuf Kunto merupakan salah satu tokoh yang ikut menculik
Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Dia bersama Sukarni dan
beberapa anggota PETA yang menjemput dan membawa Soekarno dan Hatta menuju Rengasdengklok.
Jusuf Kunto pernah tinggal di Pangkalpinang, Bangka, karena ia mengikuti ayahnya yang bekerja
sebagai mantra kesehatan di Tambang Timah Bangka. Ia menempuh pendidikan formalnya di
Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus untuk orang-orang keturunan Cina.

Perkenalannya dengan kaum pergerakan Indonesia dimulai ketika ia bersekolah di Hoogere


Burgerschool (HBS) Semarang pada tahun 1933. Ia pernah menusuk seorang polisi Belanda yang ingin
menangkapnya karena ia sering melakukan pertemuan-pertemuan dengan para kaum pergerakan
lainnya.
Sebelum menjadi tokoh pejuang muda di Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Jusuf
Kunto pernah menjadi seorang tentara Jepang. Hal itu bermula ketika ia diselundupkan ke Jepang
karena ia menjadi buronan Politieke Inlichting Dienst (PID), polisi dinas keamanan negara. Di Jepang,
ia menyelesaikan studinya di Politeknik Waseda University, Tokyo. Ia merupakan rombongan terakhir
pemuda-pemuda Jepang yang direkrut menjadi pilot pesawat tempur Jepang di California, Amerika
Serikat. Bahkan ia pernah masuk dalam skuadron pesawat tempur Jepang dan juga pernah ikut
menyerang kepulauan Hawaii dan beberapa kepulauan lainnya di wilayah Pasifik. Ia juga pernah
terlibat dalam tugas pengintaian dan pemboman Port Moresby, Papua Nugini.

Karir militernya bersama pasukan udara Jepang harus terhenti ketika pesawat yang ditumpanginya
tertembak saat terjadi pertempuran udara di Morotai dan Halmahera, Maluku. Jusuf Kunto menderita
cukup parah dan harus dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Cipto Mangunkusumo.
Ketika dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, ia mulai menjalin hubungan baik dengan para pejuang
Indonesia yang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran di Jakarta. Salah
satu kenalannya dan kemudian menjadi istrinya adalah Prof. dr. Murtiningrum, anak Kunto
Tjokrowidagdo, seorang pegawai tinggi Perumka saat itu.

Jusuf Kunto akhirnya disersi sebagai tentara Jepang dan membantu perjuangan pemuda Indonesia
secara sembunyi-sembunyi. Tahun 1944, ia pernah memasok satu kompi amunisi dan senjata untuk
para pemuda di Bandung dan melatih mereka. Ia juga sangat pintar dalam memecahkan sandi tentara
Jepang karena pengalaman dan kemampuan yang ia dapat selama ia bergabung bersama tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Jusuf Kunto bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat. Ia lebih
memilih terjun dalam bidang intelijen bersama dengan Zulkifli Lubis. Ia pun pernah menjadi Staf
Oemoem I (SO I) pada Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Yogyakarta. Jusuf Kunto
saat itu berpangkat mayor. Mayor Jusuf Kunto sempat memindahkan markas daruratnya dari
Yogyakarta ke Pakem pada saat sebelum Agresi Militer Belanda. Ia melakukan penyamaran ketika itu
untuk dapat menyampaikan informasi atau bahan obat-obatan serta beberapa kebutuhan lainnya untuk
para pejuang di Yogyakarta.

Jusuf Kunto meninggal dunia pada 2 Januari 1949 akibat kelelahan dan sakit radang paru-paru serta
kurangnya bantuan medis terhadap dirinya. Saat itu usianya belum genap 28 tahun. Ia akhirnya
dimakamkan di pemakaman umum Badran, yang terletak di dekat sebuah kuburan Cina di sebelah
barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.
BIOGRAFI TOKOH PAHLAWAN YANG
BERPERAN DALAM PROKLAMASI

DISUSUN OLEH :

ADINDA FAUZIA
SMKN 1 BONTANG
XI FARMASI

Anda mungkin juga menyukai