ABSTRAK
Perang saudara yang melanda semenanjung Korea sejak 65 tahun yang lalu mengantarkan
kedua negara Korea pada kondisi yang tidak mudah di era selanjutnya. Sejak itu, Korea
terpisah menjadi dua secara resmi dimana masing-masing menganggap bahwa dirinyalah
pemerintah sah Korea (Ahmad 2020). Saling mengklaim wilayah kekuasaan di semenanjung
oleh kedua pemerintahan Korea, sehingga menyebabkan pecahnya perang Korea yang
diawali dengan Militer Korea Utara Korean’s People Army (KPA) melintasi zona perbatasan
38th parallel untuk menginvansi Korea Selatan pada 25 Juli 1950. Korea Utara memutuskan
untuk menutup semua komunikasi dengan Korea Selatan setelah para pemimpin mereka
meminta para pembelot untuk berhenti menyebarkan informasi propaganda di perbatasan.
Korut mengecam Korea Selatan dan mengancam akan menutup kantor perhubungan internal
antar-Korea dan semua fasilitas saluran telepon setelah beberapa selebaran propaganda
dilaporkan masuk ke perbatasan Korea Utara. Jalinan hubungan Korea Selatan dan Korea
Utara perlahan pulih. Membuka kembali jalur komunikasi secara langsung menjadi awal dari
upaya memperbaiki hubungan kedua negara bersaudara itu. Hubungan keduanya sempat tak
akur dan memburuk tahun lalu. Namun, Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut
Kim Jong Un terus mengupayakan berbaikan dengan saling berkirim surat sejak April
lalu.Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deksriptif analisis, yaitu suatu metode
dengan mengungkapkan masalah yang ada, mengolah data, menganalisis, meneliti,
menginterprestasikan serta membuat kesimpulan.
PENDAHULUAN
Perang saudara yang melanda semenanjung Korea sejak 65 tahun yang lalu mengantarkan
kedua negara Korea pada kondisi yang tidak mudah di era selanjutnya. Kedua Negara
tersebut sebelumnya pernah berada dalam satu kesatuan dimasa Pemerintahan Dinasti
Choson pada tahun 1392-1910. Posisi geografi Korea yang stratrategis, dihempit oleh tiga
Negara besar yaitu Cina, Jepang, Uni Soviet dan daerah penguhubung Asia Timur Laut
dengan dunia luar. Membuat Korea berkali-kali mendapat serangan, terutama dari Jepang
yang sebagai Negara dengan kekuatan terbesar di Asia yang selalu berekpansi memperluas
daerah jajahannya termasuk ke Korea yang sebagai daerah terdekat. Saat perang Pasifik,
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hirosima pada tanggal 6 dan 9
Agustus 1945. Perjalanan panjang Jepang untuk menguasai Asia terhenti pada 15 Agustus
1945 saat menyerahkan diri atas kekalahannya terhadap Amerika Serikat dan Sekutunya pada
Perang Dunia II. Seluruh Negara jajahan Jepang mendeklarasikan kemerdekaannya, termasuk
Korea (Djelantik, 2015). Setelah merdeka atas kejatuhan Jepang saat perang Dunia II,
membuat Amerika Serikat dan Uni Soviet merebut wilayah yang pernah di kuasai oleh
Jepang. Perebutan Korea dan penyebaran ideologi, Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt
memutuskan bahwa Korea akan di kelola secara bersama-sama melalui perwakilan
multilateral (multilateral trusteeship) antara Uni Soviet, Amerika Serikat dan Inggris.
Amerika Serikat melihat situasi perwalian multilateral ini sebagai cara pintas untuk
membendung Uni Soviet dari pengaruhnya di semenanjung Korea. Berhubung perundingan
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak membawa hasil hingga Mei 1947, Amerika
Serikat menyerahkan masalah Korea ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Majelis Umum
PBB mengakui hak Korea untuk mendapatkan kemerdekaannya serta membentuk komisi
khusus untuk mengawasi pemilihan umum. Pemilihan umum dilaksanakan pada tanggal 10
Mei 1948 dan Sygman Rhee terpilih sebagai Presiden dan membentuk pemerintahan yang
mewakili seluruh Korea. Pada bulan Oktober 1948, Majelis Umum PBB mengakui berdirinya
Republic of Korea, namun Uni Soviet memveto untuk mencegah bergabungnya Korea
dengan AS. Sehingga mengadakan pemilihan umum sendiri di Korea Utara. Sejak itu, Korea
terpisah menjadi dua secara resmi dimana masing-masing menganggap bahwa dirinyalah
pemerintah sah Korea (Ahmad 2020). Saling mengklaim wilayah kekuasaan di semenanjung
oleh kedua pemerintahan Korea, sehingga menyebabkan pecahnya perang Korea yang
diawali dengan Militer Korea Utara Korean’s People Army (KPA) melintasi zona perbatasan
38th parallel untuk menginvansi Korea Selatan pada 25 Juli 1950. Situasi perang yang tidak
memungkinkan, mendorong diadakannya perundingan dan gencatan senjata pada 27 Juli
1953, Amerika Serikat, RRC dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata.
Presiden Korea Selatan saat itu, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun
berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Sehingga situasi perang tersebut
belum berakhir sampai dengan saat ini. (Setiawati dkk., 2020).
Media Masa Kompas melansir, Korea Utara memutuskan untuk menutup semua
komunikasi dengan Korea Selatan setelah para pemimpin mereka meminta para pembelot
untuk berhenti menyebarkan informasi propaganda di perbatasan. Korut mengecam Korea
Selatan dan mengancam akan menutup kantor perhubungan internal antar-Korea dan semua
fasilitas saluran telepon setelah beberapa selebaran propaganda dilaporkan masuk ke
perbatasan Korea Utara. Para pejabat terkemuka di Korea Utara termasuk adik Kim Jon Un,
Kim Yo Jong, mengatakan, "Upaya kerja terhadap Korea Selatan akan berubah menjadi
perang melawan musuh," demikian sebagaimana dilansir kantor berita KCNA. Dilansir Daily
Mirror, Juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan melaporkan bahwa para pejabat
Korea Utara tidak menjawab panggilan rutin harian dari kantor penghubung ataupun
panggilan dari militer. Panggilan rutin yang dilakukan Korea Selatan dan Korea Utara
seharusnya diatur sebagai komunikasi dasar, sebagaimana dikatakan oleh Kementerian
Unifikasi dari Korea Selatan. Namun begitu, pihak Kementerian Unifikasi Korsel
mengatakan, mereka akan terus mengikuti prinsip-prinsip yang telah disepakati dan berusaha
untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di Semenanjung Korea. Keputusan untuk
tidak memutus komunikasi dari pihak Korsel dalam hubungannya dengan Korut merupakan
upaya untuk mencoba dan membujuk Korea Utara agar negara tertutup itu mau menyerah
atas program nuklirnya, di sisi lain, Korut juga telah mengalami sanksi internasional akan
program tersebut. Korea Utara dan Selatan sebenarnya masih dalam kondisi "perang" karena
akhir dari perang 1950-1953 tidak ditutup dengan perdamaian, tetapi dengan gencatan
senjata. Pakar analis mengatakan, tindakan Korut lebih dari karena masalah para pembelot
karena Korea Utara sedang dalam tekanan ekonomi di tengah krisis wabah corona dan
mendapatkan sanksi internasional.
Melansir Kompas ID, Jalinan hubungan Korea Selatan dan Korea Utara perlahan pulih.
Membuka kembali jalur komunikasi secara langsung menjadi awal dari upaya memperbaiki
hubungan kedua negara bersaudara itu. Hubungan keduanya sempat tak akur dan memburuk
tahun lalu. Namun, Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut Kim Jong Un terus
mengupayakan berbaikan dengan saling berkirim surat sejak April lalu.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deksriptif analisis, yaitu suatu metode
dengan mengungkapkan masalah yang ada, mengolah data, menganalisis, meneliti,
menginterprestasikan serta membuat kesimpulan. Desain penelitian ini melakukan telaah di
sejumlah literatur (library research) yaitu metode berbasis kepustakaan dengan pengumpulan
data berdasarkan buku-buku yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Metode berbasis
internet, dimanfaatkan untuk mengakses materi ilmiah tradisional (seperti artikel, jurnal
ilmiah dan buku), juga dapat dioptimalkan untuk mengumpulkan data atau informasi yang
berkaitan dengan topik penelitian.
TEORI
Konsep Konflik
Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada pengertian yang negatif, konflik
dikaitkan dengan: sifat-sifat kekerasan dan penghancuran. Dalam pengertian positif, konflik
dihubungkan dengan peristiwa: hal-hal baru, pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan.
Sedangkan dalam pengertian yang netral, konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari
keanekaragaman individu manusia dengan sifatsifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang
tidak sama. (Kartini Kartono, 1998 ) Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Konflik adalah
pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna
memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan
kekerasan. Oleh karena itu konflik diidentikkan dengan tindakan kekerasan. (Soerjono
Soekanto, 1992)
PEMBAHASAN
Korea Selatan laporkan Korea Utara tembakkan misil saat utusan Pyongyang untuk PBB
membela hak negaranya lakukan uji senjata. Korut saat ini berada di bawah sanksi PBB yang
melarang segala uji coba senjata.
Pada September lalu, Korea Utara menembakkan dua rudal balistik ke laut, yang merupakan
uji coba rudal balistik pertamanya sejak Maret 2021, tanpa menghiraukan sanksi PBB.
Penembakkan itu terjadi hanya beberapa hari setelah Korea Utara menguji rudal jelajah yang
mampu mencapai target hampir di mana saja di wilayah kedaulatan Korea Selatan atau
Jepang.
Tanggapan negara tetangga
Saat ini tidak jelas jenis proyektil apa yang diluncurkan pada Selasa (28/09) pagi. Namun,
pejabat pertahanan Jepang mengatakan kepada beberapa kantor berita bahwa proyektil itu
"tampaknya seperti rudal balistik."
Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan menyatakan kekecewaannnya atas uji coba rudal
baru dari Korea Utara. Kantor berita Yonhap melaporkan, uji coba hari Selasa (28/09) bisa
menjadi upaya Pyongyang untuk menguji apakah Seoul masih akan memberikan cap
peluncuran serupa sebagai provokasi.
Korea Utara dan Korea Selatan Membuka Komunikasi Kembali Tahun 2021
CNN Indonesia melansir, Korea Utara dan Korea Selatan resmi membuka kembali jalur
telepon untuk komunikasi lintas perbatasan mereka setelah terputus hampir 14 Bulan. Petugas
dari kedua negara sudah berkomunikasi melalui telepon pertama pada Senin pagi. Dengan
pemulihan jalur komunikasi Korsel-Korut, pemerintah mengevaluasi fondasi untuk
pemulihan hubungan inter-Korea yang sudah ada. Pemerintah berharap dapat kembali
melanjutkan dialog dan memulai diskusi praktis untuk memulihkan hubungan antar-Korea.
Kabar pemulihan jaringan telepon ini datang tak lama setelah pemimpin tertinggi Korea
Utara, Kim Jong-un, mengutarakan niatnya untuk memulihkan jalur komunikasi Korut-
Korsel yang terputus. Media propaganda Korut, KCNA, melaporkan bahwa menurut Kim,
upaya ini merupakan salah satu cara untuk mewujudkan "perdamaian abadi" di Semenanjung
Korea.
Dengan pemulihan jalur komunikasi Selatan-Utara, pemerintah mengevaluasi bahwa
landasan untuk memulihkan hubungan antar-Korea telah ada. Jalur komunikasi kedua belah
pihak telah terputus dan dipulihkan beberapa kali. Pada tahun 2020, setelah pertemuan
puncak antar-Korea yang gagal, Korea Utara meledakkan kantor penghubung Korea Utara-
Selatan yang telah dibangun untuk meningkatkan komunikasi. Pada tahun tersebut, Korea
Utara juga memutuskan semua jalur komunikasi dengan Selatan termasuk hotline kedua
pemimpin maupun saluran komunikasi militer setelah ketegangan memburuk. Sempat
dilakukan pemulihan pada jalur komunikasi di bulan Agustus, tetapi terputus lagi setelah
Seoul berpartisipasi dalam latihan militer bersama dengan Amerika Serikat. Baik Korea Utara
dan Korea Selatan saat ini dapat dikatakan masih berperang secara teknis, dengan tidak
tercapainya kesepakatan damai ketika Perang Korea berakhir pada tahun 1953.
Keputusan untuk membuka kembali saluran diplomasi ini difasilitasi serangkaian
pertukaran surat sejak April antara Presiden Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim
Jong Un, kedua negara memilih membuka kembali komunikasi bertepatan dengan perayaan
gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea pada 1953. Korut memutus semua saluran
komunikasi dengan Korsel pada Juni tahun lalu, di mana saat itu beralasan tidak perlu
melanjutkan komunikasi dengan negara yang dianggap “musuh”. Sejak saat itu, Korut
menolak mengangkat telepon ketika pejabat Korsel melakukan panggilan rutin di saluran
telepon militer dan lainnya. Beberapa hari setelah komunikasi terputus, hubungan kedua
negara mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir ketika Korut mengebom kantor
penghubung bersama antar-Korea di kota Kaesong, Korut, dekat perbatasan, di mana pejabat
dari kedua negara memiliki kantor. Seluruh bangsa Korea ingin melihat hubungan Utara-
Selatan pulih dari kemunduran dan stagnasi secepat mungkin. Hubungan kedua negara
membaik pada 2018 ketika Presiden Moon dan Kim Jong Un bertemu tiga kali, meredakan
ketegangan langka di Semenanjung Korea yang berlangsung bertahun-tahun yang dipicu oleh
uji coba nuklir dan rudal jarak jauh Korut. Tetapi hubungan segera memburuk setelah KTT
kedua Kim dengan mantan Presiden AS Donald Trump berakhir di Hanoi, Vietnam, pada
awal 2019 tanpa kesepakatan bagaimana menghentikan program senjata nuklir Korut atau
meringankan sanksi PBB pada Korut. Setelah Kim kembali ke negaranya dengan tangan
kosong, Korut menyalahkan Korsel. Pemerintah Korut memerintahkan komunikasi diputus
dan kantor penghubung di Kaesong dihancurkan.
Namun pemerintahan Presiden Moon tetap berusaha mengajak Korut kembali ke meja
perundingan. Salah satu prioritasnya adalah membuka kembali saluran komunikasi.
Korea Selatan telah lama menekankan pentingnya saluran telepon lintas batas untuk
mencegah bentrokan yang tidak diinginkan antara kedua militer. Kedua negara juga
menggunakan saluran tersebut untuk mengajukan dialog dan membahas bantuan
kemanusiaan dan sikap damai lainnya, seperti mengatur reuni keluarga yang telah lama
terpisah oleh Perang Korea. Pemerintah Moon juga membantu memberlakukan undang-
undang baru yang melarang pengiriman selebaran propaganda ke Korut. Korut sejak lama
marah soal selebaran ini, yang biasanya menggambarkan Kim sebagai diktator kejam yang
mempermainkan senjata nuklir. Korut menyebut pengiriman selebaran ini sebagai salah satu
alasan pemutusan komunikasi tahun lalu.
Korea Utara dan Korea Selatan resmi membuka kembali jalur telepon untuk komunikasi
lintas perbatasan mereka pada Senin (4/10), setelah terputus sejak Agustus lalu.
Kabar pemulihan jaringan telepon ini datang tak lama setelah pemimpin tertinggi Korea
Utara, Kim Jong-un, "mengutarakan niatnya untuk memulihkan jalur komunikasi Korut-
Korsel yang terputus."
Media propaganda Korut, KCNA, melaporkan bahwa menurut Kim, upaya ini merupakan
salah satu cara untuk mewujudkan "perdamaian abadi" di Semenanjung Korea.
Pada tahun 2020, setelah pertemuan puncak antar-Korea yang gagal, Korea Utara
meledakkan kantor penghubung Korea Utara-Selatan yang telah dibangun untuk
meningkatkan komunikasi.
Pada tahun tersebut, Korea Utara juga memutuskan semua jalur komunikasi dengan Selatan
termasuk hotline kedua pemimpin maupun saluran komunikasi militer setelah ketegangan
memburuk.
Sempat dilakukan pemulihan pada jalur komunikasi di bulan Agustus, tetapi terputus lagi
setelah Seoul berpartisipasi dalam latihan militer bersama dengan Amerika Serikat.
Baik Korea Utara dan Korea Selatan saat ini dapat dikatakan masih berperang secara teknis,
dengan tidak tercapainya kesepakatan damai ketika Perang Korea berakhir pada tahun 1953.
Dibukanya kembali jalur komunikasi ini pun menandai hal positif untuk peningkatan hubungan
antar-Korea.
Park Soo-hyun, sekretaris senior Cheong Wa Dae untuk komunikasi publik, mengumumkan
bahwa Seoul dan Pyongyang memutuskan untuk melanjutkan komunikasi melalui hotline
langsung mereka mulai pukul 10.00 pagi waktu setempat, seperti dilansir Yonhap News
Agency, Selasa (27/7/2021).
Dimulainya kembali komunikasi antar-Korea adalah hasil dari kesepakatan antara
Presiden Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, kata Cheong Wa Dae.
"Kedua pemimpin tersebut telah bertukar surat pribadi pada beberapa kesempatan sejak April
2021, untuk dimulainya kembali dan berbagi pandangan tentang isu-isu memajukan
rekonsiliasi antar-Korea," jelas Park Soo-hyun.
"Kedua pemimpin Korea Selatan dan Korea Utara juga berbagi pemahaman untuk
memulihkan rasa saling percaya dan sekali lagi mendorong hubungan kedua negara ke
depan," tambahnya.
Langkah itu dilakukan setelah 13 bulan berlalu ketika Korea Utara memutuskan semua jalur
komunikasi dengan Korea Selatan sebagai protes atas kegagalan Seoul untuk menghentikan
para aktivis mengirim selebaran propaganda anti-Pyongyang ke wilayah mereka.
KESIMPULAN
Konflik Korea Utara dan Korea Selatan telah berlangsung selama 65 tahun. Denuklirisasi
menjadi pokok utama permasalahan yang hingga kini belum menemui titik terang dari
berbagai upaya untuk menciptakan perdamaian antara kedua Korea. Dalam perjalanannya
konflik yang dilatari belakangi oleh dua ideologi besar, yaitu: sosialis - komunis dan kapitalis
- demokarasi yang hingga kini telah menjelma sebagai kepentingan besar Amerika Serikat
untuk mempertahankan daerah kekuasaanya (sekutu) di wilayah Pasifik, sementara di sisi lain
Cina yang sebagai Negara sosialis – komunis, kini menjadi Negara super power setelah
Amerika Serikat melebihi kekuatan Rusia, sehingga memainkan peran yang sama seperti AS
di wilayah pasifik dengan membantu Korea Utara yang langsung berbatasan dengannya
untuk menghadang pengaruh atau ancaman Amerika Serikat dan sekutunya di wilayah pasifik
melalui Korea Selatan, telah menjadikan konflik Korea semakin rumit. Bahkan menjadi
sebaliknya, masa depan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan terlihat akan tetap
dalam kondisi konflik dan sangat berpeluang untuk pecah kembali perang besar antara kedua
Korea. Hal tersebut di karenakan Korea Utara telah memiliki senjata pemusnah masal antara
benua yang membuatnya tidak takut dan tunduk kepada siapapun. Produk nuklir Korut
hingga kini tidak dapat diinterfensi dan diberhentikan sekalipun ancaman dan sangsi bertubi-
tubi di jatuhkan kepada Korut.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal :
Ahmad, A. (2020). Prospek Penyelesaian Konflik Korea Selatan Dan Korea Utara. Author:
Fahrin Umarama.
Djelantik, S. (2015). Asia Pasifik : Konflik, Kerja Sama, Dan Relasi Antarkawasan. Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Setiawati, N., Mangku, D.G.S. And Yuliartini, N.P.R., 2020. Penyelesaian Sengketa
Kepulauan Dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Kasus Sengketa
Perebutan Pulau Dokdo Antara Jepang-Korea Selatan). Jurnal Komunitas
Yustisia, 2(3), Pp.168-180.
Kim, E., 2019. Dinamika Diplomasi Internasional Dan Pengopersaian Kawasan Industri
Kaesong (Doctoral Dissertation, Universitas Pelita Harapan).
Atmojo, H.D., Widianingrum, M.S. And Utomo, D.K., 2015. Peranan Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Krisis Nuklir Korea Utara. Belli Ac Pacis,
1(2), Pp.35-49.
Resmi, M.G., 2018. Pengaruh Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara Terhadap
Stabilitas Keamanan Regional Asia Timur (Doctoral Dissertation, Perpustakaan).
L Laimeheriwa, O. And Wicaksono, A., 2017. Analisis Motif Penyerangan Rudal Balistik
Korea Utara Terhadap Korea Selatan (Periode 2010-2015).
Rosyidin, M., 2011. Kebijakan Cina Dalam Krisis Semenanjung Korea: Perspektif
Konstruktivis. Global & Strategis, 6(1).
Web Resmi :
https://www.kompas.com/global/read/2020/06/10/082114270/setelah-ancaman-korea-utara-
putuskan-semua-komunikasi-dengan-korea?page=all
https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/07/28/korsel-dan-korut-kembali-buka-jalur-
komunikasi-langsung
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211004084918-113-702911/korut-dan-korsel
resmi-buka-lagi-jalur-telepon-khusus