Anda di halaman 1dari 24

KEGIATAN BELAJAR 2

PENDEKATAN DAN METODE


PENAFSIRAN AL-QUR’AN

CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN


PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Menganalisis konsep tafsir bi al ma’tsur dan tafsir bi al ra’yi
2. Menganalisis konsep tentang tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan tafsir bi al ma’tsur
2. Mahasiswa mampu mengkategorikan tafsir bi al ra’yi
3. Mahasiswa mampu meyimpulkan konsep tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i
4. Mahasiswa mampu membandingkan kitab tafsir maudhu’i
POKOK-POKOK MATERI
1. Karakteristik tafsir bi al ma’tsur
2. Karakteristik tafsir bi al ra’yi
3. Konsep tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i
4. Contoh kitab tafsir maudhu’i

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 2
URAIAN MATERI .................................................................................................................. 3
A. Urgensi Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur’an ...................................... 3
B. Pendekatan Penafsiran Al-Qur’an ............................................................................ 3
1. Pengertian Pendekatan Penafsiran ....................................................................... 3
2. Jenis Pendekatan Penafsiran Beserta Contohnya ............................................... 4
C. Metode Penafsiran Al-Qur’an ................................................................................. 13
1. Pengertian Metode Penafsiran ............................................................................ 13
2. Jenis Metode Penafsiran beserta Contohnya .................................................... 14
REFLEKSI ............................................................................................................................... 20
CONTOH SOAL ................................................................................................................... 21
TINDAK LANJUT BELAJAR .............................................................................................. 22
GLOSARIUM ......................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

2
URAIAN MATERI
A. Urgensi Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur’an
Sebelum mempelajari secara mendalam tentang pendekatan dan metode
penafsiran Al-Qur’an, kita perlu mengetahui terlebih dahulu latar belakang para
ulama menyusun pendekatan dan metode penafsiran Al-Quran. Sebenarnya,
pada zaman Nabi Saw umat Islam pada generasi awal tidak membutuhkan suatu
pendekatan atau metode khusus dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini
karena segala permasalahan terkait pemahaman Al-Qur’an langsung ditanyakan
kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan. Demikian juga
sepeninggal Nabi saw yakni pada masa sahabat, mereka tidak memerlukan
perangkat pendekatan dan metode karena mereka adalah orang-orang yang
mengetahui bagaimana Al-Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw
menjelaskannya.
Namun, ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para
sahabat, sementara penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk Al-Qur’an semakin
dibutuhkan, maka para ulama di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-
masing untuk melakukan penafsiran Al-Qur’an. Adapun sumber informasi yang
digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an adalah riwayat-riwayat yang
dianggap dapat dipercaya baik dari hadis Nabi Saw maupun atsar. Dalam
melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama menggunakan riwayat-riwayat tersebut
sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama mufassir yang lain
menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berpikir yang
kemudian dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena
itu ditinjau dari pendekatan dan metodenya, penafsiran terbagi menjadi beberapa
jenis sebagaimana akan dijelaskan berikut.

B. Pendekatan Penafsiran Al-Qur’an


1. Pengertian Pendekatan Penafsiran
Pendekatan dalam bahasa Arab disebut dengan manhaj dan dalam bahasa
Inggris dengan approach secara umum adalah suatu rangkaian tindakan yang

3
terpola secara baik berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang terarah secara
sistematis pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang dimaksud
pendekatan dalam penafsiran adalah contoh, acuan, ragam, macam (W.J.S.
Poerwadarminta 1991: 653) atau cara pandang yang terdapat dalam bidang
ilmu tafsir yang selanjutnya digunakan dalam memahami Islam (Abudin Nata
1998: 28). Secara lebih spesifik, pendekatan di sini adalah acuan atau dasar dan
paradigma yang digunakan dalam proses menafsirkan Al-Quran baik bersifat
riwayat, pendapat maupun intuisi.
Dalam literatur lain, pendekatan yang dimaksud ini disebut dengan istilah
metode. Memang, kedua istilah ini ditambah dengan istilah corak dalam ilmu
tafsir seringkali digunakan secara bergantian bahkan tumpang tindih sesuai
kecenderungan penggunanya. Namun, yang jelas disepakati bahwa ragam
pendekatan ini kemudian melahirkan berbagai jenis penafsiran.

2. Jenis Pendekatan Penafsiran Beserta Contohnya


Ditinjau dari segi pendekatannya, tafsir terbagi menjadi tiga, yaitu tafsir bi
al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’y dan tafsir bi al-isyari. Berikut penjelasan masing-
masing secara rinci.
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah pendekatan yang digunakan dalam
menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan kepada penjelasan-penjelasan
yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadis maupun
atsar, termasuk ayat-ayat Al-Qur’an yang lain. Oleh karena itu, tafsir bi
al-ma’tsur disebut juga tafsir bi al-riwayah.
Selain hadis Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat
Al-Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang
banyak mengetahui Al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw.
Demikian juga para ulama di masa tabi’in yang dianggap sebagai orang
yang bertemu langsung dan berguru kepada sahabat. Oleh karena itu,

4
penafsiran bi al-riwayah ini dinilai sebagai penafsiran terbaik terhadap Al-
Qur’an sebab diasumsikan lebih terjaga dari kekeliruan dan
penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Secara rinci, pendekatan tafsir bi al-ma’tsur memiliki beberapa cara dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1) Penafsiran ayat dengan ayat Al-Qur’an yang lain
Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu
kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan
berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al-Ikhlas ayat pertama
yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat
berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat
pertama surat al-Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan lagi
oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al
Hasyr (QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:

‫) ُه َو ه‬٢٢( ‫حَ ُن الهرِح ُيم‬ َٰ ْ ‫هه َادةِ ۖ ُه َو الهر‬ ِ ‫اَّللُ اله ِذي ََل إَِٰلَهَ إِهَل ُهو ۖ َع ِاِلُ الْغَْي‬
ُ‫اَّلل‬ َ ‫ب َوالش‬ َ ‫ُه َو ه‬
ْ ِ‫ُّوس ال هس ََل ُم الْ ُم ْؤِم ُن الْ ُم َهْي ِم ُن الْ ََ ِ ُز‬ ِ ِ
ِ
ُِّ‫اََّْه ُاُ الْ ُمََ ََ ر‬ ُ ‫ك الْ ُقد‬ ُ ‫الهذي ََل إَِٰلَهَ إِهَل ُه َو الْ َمل‬
‫اْلُ ْس َ ََٰن‬
ْ ُ‫َْسَاء‬ ْ ‫ص رِوُُ ۖ لَهُ ْاْل‬
َ ‫ئ الْ ُم‬ ُ ُِ ‫اْلَالِ ُق الََّْا‬ ‫) ُه َو ه‬٢٢( ‫اَّللِ َع هما زُ ْش ِرُكو َن‬
ْ ُ‫اَّلل‬ ‫ُسَّْ َحا َن ه‬
)٢٢( ‫اْلَ َِ ُيم‬ ْ ِ‫ض ۖ َوُه َو الْ ََ ِ ُز‬ ِ ‫زسَِّح لَه ما ِِف ال هسماو‬
ِ َُْ ‫ات َو ْاْل‬ ََ َ ُ ُ ‫ُ َر‬
Artinya:
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah
Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw

5
Ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak yang bersifat global (mujmal)
daripada yang terperinci (tafshil). Untuk dapat memahami
kandungannya tidak bisa hanya dari ayat tersebut. Oleh karena itu, di
sinilah hadis Nabi Saw berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an. Misalnya, ayat tentang perintah salat disampikan dalam Al-
Qur’an secara umum tanpa menyertakan penjelasan tata caranya.
Berikut bunyinya:

ِِ ِ
َ َ‫ص ََلةَ َوآتُوا الهَِكاةَ َو ْاَُكَُوا َم َع الهراك‬
)٢٢( ‫ني‬ ‫يموا ال ه‬
ُ ‫َوأَق‬
Artinya:
"Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang

yang ruku”. (QS. Al-Baqarah: 43)


Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadis Nabi Saw:

‫ َولْيَ ُؤهم َُ ْم‬،‫َح ُد ُك ْم‬ ِ ِ ‫ فَِإذَا حضر‬،‫صلُّوا َكما ُأَز َُم ِوِن أُصلِري‬
َ ‫صَلةُ فَ ْليُ َؤذر ْن لَ َُ ْم أ‬
‫ت ال ه‬ ََ َ َ ُ َْ َ َ
ُّ ُِ ‫(َُواهُ الَُّْ َخا‬
)‫ي‬ َ ‫أَ ْك َُُِّك ْم‬
Artinya:
“Salatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu
sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan
orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.” (HR. al-Bukhari)
3) Penafsirat ayat Al-Qur’an dengan keterangan sahabat Nabi saw dan
tabi’in.
Setelah mendapatkan penjelasan melalui riwayat hadis,
kemudian bisa diperkaya dengan penjelasan para sahabat dan tabi’in.
Keterangan dari para sahabat atau tabi’in penting karena mereka
adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat
memahami situasi dan kondisi bagaimana Al-Qur’an itu diturunkan.

Contohnya seperti tafsir terhadap Surat al-Baqarah )QS 2: 3):

ِ ‫اله ِذزن زُ ْؤِمنُو َن ِِبلْغَْي‬


....‫ب‬ َ
Artinya:
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…”

6
Menurut Ibn ‘Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi
Thalhah bahwa tafsir dari kata yu’minuna (mereka mengimani) adalah
yushaddiquuna (mereka membenarkan). Sementara menurut Ma’mar
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zuhri, maksud dari yu’minuna
adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu
Ja’far al-Razi dari Rabi’ Ibn Anas, yang dimaksud dengan yu’miuna
adalah yakhsyauna yang berarti mereka takut (Ibn Katsir, 2006: 43)
Adapun mengenai kitab tafsir yang menggunakan pendekatan
bi al-ma’tsur dalam penafsirannya di antaranya adalah Tafsir Jami’ al-
Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsir Al-
Qur’an al-‘Azim karya Ibnu Katsir. Dua tafsir ini sangat popular dan
menjadi rujukan yang otoritatif dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur.

b. Tafsir bi al-Ra’y atau tafsir bi al-Dirayah


Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra’y adalah
penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya
atau ijtihadnya, di mana penalaran sebagai sumber utamanya. Seorang
mufassir di sini tentu saja adalah orang yang kompeten keilmuannya dan
telah dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
Istilah tafsir bi al-ra’y pada dasarnya muncul untuk
membedakan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Perbedaan tersebut dalam
konteks bahwa bukan berarti secara operasional dalam melakukan
penafsiran Al-Qur’an para sahabat tidak menggunakan nalar,
melainkan karena keistimewaan mereka yang tidak dimiliki oleh
generasi sesudahnya (Shihab, 2013: 363). Sehingga sekalipun para
sahabat sebagai generasi awal penerima Al-Qur’an menafsirkan Al-
Qur’an dengan nalar dan bimbingan nabi, maka ulum al-qur’an tidak
menyebutnya dengan tafsir bi al-ra’y.
Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan tafsir bi
al-ra’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihan

7
pendekatan ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat
mengapresiasi berbagai ide dan melihat Al-Qur’an secara lebih lebar
sehingga dapat memahaminya secara komprehensif.
Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak
mempunyai kelemahan. Kelemahan pendekatan tafsir bi al-ra’y bisa
terjadi ketika terjebak atau secara tidak sadar mufassir mengungkap
petunjuk berdasarkan ayat yang bersifat parsial, sehingga dapat
memberikan kesan makna Al-Qur’an tidak utuh dan pernyataannya
tidak konsisten. Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan ini
juga sangat rentan dengan subjektivitas yang dapat memberikan
pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu sesuai
dengan kecenderungan mufassir. Hal lain yang juga bisa menjadi
kelemahan dari pendekatan tafsir bi al-ra’y ini adalah peluang
masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam
membatasi pemikiran yang berkembang (al-Shabuni, 1999).
Salah seorang mufassir yang menggunakan pendekatan bi al-
ra’y dalam kitab tafsirnya adalah Abd al-Qasim Mahmud al-
Zamakhsari (w. 538 H) pada tafsir al-Kasysyaf. Dalam melakukan
penafsirannya, ia mengemukakan pemikirannya namun tetap didukung
dengan dalil-dalil hadis atau ayat Al-Qur’an, baik riwayat yang
berhubungan dengan sabab al-nuzul atau makna ayat. Meskipun
demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan
kata lain, jika ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan
merujuknya dan jika tidak, ia akan tetap konsisten dengan hasil
penalarannya (Alfiyah, 2018). Selain al-Zamakhsari, mufassir yang juga
menggunakan pendekatan ini adalah Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)
dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb, al-Baidhawi (w. 691 H) dalam Tafsir
Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Mahmud al-Nasafi (w. 701 H) dalam
tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, al-Khazin (w. 741) dalam

8
tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil dan Abu Su’ud (w. 982 H) dalam
tafsir Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim.
Apakah setiap tafsir yang berdasarkan ra’y dapat diterima? Para
ulama membagi dua jenis tafsir ini, yakni tafsir bi al-ra’y al-madzmum
(tercela) dan tafsir bi al-ra’y al-mahmud (terpuji) (Nur, 2020: 50). Jenis
pertama maksudnya adalah tafsir bi al-ra’y yang dapat diterima selama
menghindari hal-hal berikut ini:
1. Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang
dikehendaki Allah pada suatu ayat, padahl dia tidak
memenuhi syarat untuk itu;
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya
diketahui oleh Allah;
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsu dan sikap istihsan,
yakni menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata
berdasarkan persepsinya;
4. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang
salah dengan cara menjadikan faham mazhab sebagai dasar
sedangkan penafsirannya mengikuti faham mazhab tersebut;
dan
5. Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna
yang dikehendaki Allah adalah demikian sebagaimana
pendapatnya tanpa didukung dalil (al-Zahabi, 1976: 275).
Sementara jenis kedua adalah kebalikannya, yakni tafsir bi al-ray
yang melakukan hal terlarang tersebut. Menurut Al-Qaththan, tafsir
jenis ini haram dan tidak boleh diikuti (al-Qaththan, 1995: 342).
Contoh yang tampak dari tafsir dengan pendekatan bi al-ra’y
adalah penafsiran al-Zamakhsyari dalam kitab tafsir al-Kasysyaf pada
saat menjelaskan basmalah pada Surat al Fatihah sebagai berikut:

(١) ‫الرحيم‬ ‫بسم هللا الرحن‬


Artinya:

9
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Setelah menjelaskan silang pendapat antara penduduk Madinah,
Basrah dan Syam dengan penduduk Makkah dan Kufah beserta para
ahli fikihnya masing-masing tentang basmalah termasuk bagian dari
surat al-Fatihah atau tidak sehingga berimplikasi terhadap cara
pembacaannya ketika salat secara lantang atau pelan, al-Zamakhsyari
kemudian menjelaskan urgensi dari adanya basmalah pada surat
pembuka Al-Qur’an ini. Ia berpendapat bahwa basmalah pada awal
surah pembuka merupakan bentuk mengawali aktivitas membaca,
sama halnya dengan orang yang hendak berperjalanan memulai
aktivitasnya dengan melafalkan basmalah dan penyembelih memulai
penyembelihan dengan melafalkan basmalah. Lantas, apa hubungan
basmalah dengan membaca? Dengan logika perumpamaan, Al-
Zamakhsyari menyebut ada dua. Pertama, seperti hubungan antara
pena dengan tulisan; dan kedua, seperti minyak dengan tumbuhan
seperti dalam QS. Al-Mu’minun ayat 20. Pena dapat menghasilkan
tulisan dan minyak dapat dihasilkan melalui tumbuhan. Dari itu, bagi
orang mukmin dengan menyebut nama Allah-lah, zat yang memberikan
kemampuan membaca. Membaca menjadi objek dari basmalah, yang
berarti Allah-lah yang menghendaki. Kemudian, al-Zamakhsyari juga
menyebut keberkahan dari basmalah dengan menyitir sebuah hadis
riwayat Abu Dawud yang berbunyi:
ِ ِِ ِ
ُ‫ُك ُّل أَْمر ذ ْي َِبل ََل زَُّْ َدأُ فْيه ِِب ْس ِم هللا فَ ُه َو أَبَْت‬
Artinya:
“Setiap sesuatu yang memiliki kebaikan yang tidak dimulai dengan bismillah,
maka akan terputus (keberkahannya).”
Selain dengan nalar perumpamaan serta menukil riwayat, al-
Zamakhsyari juga berargumentasi dengan sejarah. Menurutnya,
basmalah hadir sebagai tandingan terhadap kebiasaan orang Jahiliah

10
yang memulai aktivitasnya dengan menyebut Tuhan mereka melalui
lafal “bismi al-lata, bismi al-‘uzza” (al-Zamakhsyari, 1998: 99-104).
Dari contoh di atas terlihat bahwa tafsir bi al-ra’y yang dapat
diterima mendasarkan pikirnya melalui nalar dengan tetap menjadikan
riwayat sebagai bagian dari argumentasi bahkan diperkaya dengan
aspek bahasa dan sejarah. Sama halnya dengan tafsir bi al-ma’tsur yang
tentu tidak berdasar riwayat an sich, melainkan tetap melibatkan
penalaran. Maka dari itu, faktor yang membedakan antara tafsir bi al-
ra’y dan tafsir bi al-ma’tsur adalah aspek dominannya.
c. Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyara-yusyiru-
isyaratan yang berarti memberi isyarat atau tanda dan berarti pula
menunjukkan. Sedangkan menurut istilah tafsir isyari adalah suatu
upaya untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an dengan menakwilkan
ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang
tersurat atau zahir ayat (al-Zahabi, 1976: 352). Senada dengan definisi
tersebut menurut Shubhi al-Shalih tafsir isyari berarti menjelaskan
kandungan Al-Qur’an melaui takwil dengan cara menggabungkan yang
tersurat dan tersirat.
Secara lebih spesifik M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
dalam tafsir isyari terdapat upaya penarikan makna ayat yang
didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafaz ayat, di mana dalam
benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan
pikiran. Hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan
makna secara lafaz (Shihab, 2013: 373).
Sekalipun pendekatan ini berdasarkan isyarat dari hasil
perenungan spiritual, namun hanya isyarah shahihah saja yang dapat
diterima. Abdul Wahid (Wahid, 2020) menyebutkan syarat-syarat
diterimanya sebuah tafsir isyari sebagai berikut:

11
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) Al-
Qur’an.
2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’
lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran
yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih
dahulu.
5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada
hubungannya dengan lafadz.
Sebagai contoh untuk penafsiran dengan pendekatan isyari ini
seperti penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238)
sebagai berikut:

‫ني‬ِِ ِ ِ ُ‫ص ََلةِ الْوسطَى وق‬ ِ ‫حافِظُوا علَى ال ه‬


َ َ‫وموا هَّلل قَان‬
ُ َ َٰ ْ ُ ‫صلَ َوات َوال ه‬ َ َ
Artinya:
“Peliharalah salat-salat dan salat wustha serta tegakkan untuk Allah karena
ketaatan.”

Al-Alusi menafsiri al-shalat al-wustha pada ayat di atas dengan


penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:

‫ وصَلة النﻔﺲ بخمودها عن‬،‫إن الصلوات ﺧمﺲ صَلة السر بشهود مقام الغزب‬
،‫ وصَلة الروح بمشاهدة الوصل‬،‫ وصَلة القلب بمراقبَه أنواُ الَشﻒ‬،‫دواعى الُزب‬
‫وصَلة الَّدن بحﻔﻆ الحواس وإقامﺔ الحدود‬
Artinya :
“Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Salat sirr dengan menyaksikan
maqam ghaib, 2) salat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Salat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) salat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Salat badan

12
dengan cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan
hukum Allah.”
Bila dilihat dari istilah-istilah yang digunakan, maka sebenarnya
al-Alusi memahami al-shalat al-wustha dengan lima jenis salat di atas
cenderung dengan pendekatan isyari. Salat di sini baginya tidak
dipahami sebagai ritual ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam, melainkan dengan bentuk pencerahan batin melalui
pendekatan sufistik.
Setelah kita mengetahui ragam pendekatan dalam penafsiran Al-
Qur’an, selanjutnya bagaimanakah para mufassir menyajikan
penafsirannya dalam karya tafsir? Hal ini dapat diketahui melalui
metode yang digunakan dalam menyusun penafsiran, sebagaimana
akan dijelaskan berikut ini.

C. Metode Penafsiran Al-Qur’an


1. Pengertian Metode Penafsiran
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.
Metode dalam bahasa Inggris method dan dalam bahasa Arab thariqat dapat
dipahami sebagai suatu cara yang tersusun secara teratur dan terpikir baik-
baik dalam mencapai suatu yang dimaksud; atau cara kerja yang bersistem
untuk mendapatkan atau memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai suatu yang ditentukan (Baidan, 2011: 54).
Adapun yang dimaksud dengan metode penafsiran adalah cara yang
dilakukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Cara ini meliputi teknis
penyusunan, sistematika, ruang lingkup dan hal-hal terkait lainnya. Cara
yang telah dilakukan para mufassir ini beragam, sehingga membentuk
metode yang beraneka. Lebih jelasnya, berikut dipaparkan jenis metode
penafsiran berikut contohnya.

13
2. Jenis Metode Penafsiran beserta Contohnya
Terdapat empat jenis metode penafsiran yang dilakukan mufassir, yaitu
secara analitis atau tahlili, secara global atau ijmali, secara perbandingan atau
muqaran dan secara tematik atau maudhu’i. Berikut penjelasannya secara
rinci.
a. Metode Tahlili (Analitis)
Metode tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an
dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata
urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan
kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin
disampaikan. Misalnya, menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbab al-
nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya.
Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir
Jami li Ahkam Al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir
Al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya
at-Tusturi dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir. Berikut adalah
contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab
ayat 30:
ِ ِ ْ ‫اب ِض َْ َﻔ‬ ِ ِ ِ ِ
‫ك َعلَى‬
َ ‫ني َوَكا َن َذل‬ ُ ‫ﻒ ََلَا الْ ََ َذ‬
ْ ‫اع‬
َ‫ض‬ َ ُ‫هب َم ْن ََيْت مْن َُ هن بَِﻔاح َشﺔ ُمََّ يِرنَﺔ ز‬ِ
‫ََي ن َساءَ الن ِر‬
‫اَّللِ زَ ِس ًريا‬
‫ه‬
Artinya:
“Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji
yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan
adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih
Allah dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, agar selanjutnya mereka
tetap menjadi istri Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan
kepada mereka ketentuan hukumnya dan keistimewaan mereka yang
melebihi wanita-wanita lainnya. Disebutkan bahwa barangsiapa di antara
mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata -menurut Ibnu Abbas,

14
pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang
dan berakhlak buruk- niscaya akan mendapatkan hukuman dua kali lipat
dari wanita-wanita lainnya. Atas dasar hipotesis apapun, maka ungkapan
ayat ini hanyalah semata-mata pengandaian. Sementara pengandaian itu
tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt.
Dalam ayat yang lain, yaitu:

ِ َ ِ‫ك وإِ ََل اله ِذزن ِمن قََّل‬ ِ ِ


…‫ك‬
َ ُ‫َعمل‬ َ ‫ك لَئ ْن أَ ْشَرْك‬
َ ‫ت لَيَ ْحََّطَ هن‬ ْ ْ َ َ َ ‫َولََق ْد أُوح َي إلَْي‬
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalanmu...” (QS. Al-Zumar: 65)
Seperti disebutkan juga dalam ayat lain:

َ ََِّ‫َولَ ْو أَ ْشَرُكوا َْل‬


‫ط َعْن ُه ْم َما َكانُوا زَ َْ َملُو َن‬
Artinya:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An'am: 88)
Mengingat kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika
ada salah seorang dari mereka melakukan suatu dosa, siksaannya akan
diperberat demi menjaga kehormatan mereka dan kedudukan mereka yang
tinggi. Berdasarkan riwayat Malik dari Zaid ibnu Aslam dan Ibn Abi Najih
dari Mujahid bahwa maksud dari siksaan itu berlaku di dunia dan akhirat.
Hal yang demikian sangatlah mudah bagi Allah.
b. Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an
dengan cara mengemukakan makna secara global dengan bahasa yang
ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan
pokok dari ayat secara singkat tanpa menguraikan panjang lebar. Metode
ini seperti yang lazim dilakukan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din

15
al-Mahalli dalam kitabnya Tafsir Jalalain dan Muhammad Farid Wajdi dalam
Tafsir Al-Qur’an al-Azhim.
Berikut adalah contoh penafsiran surat al-Fatihah ayat 3-7 dalam kitab
Tafsir Jalalain:

‫ك زوم الدزن) أي اِْاء وهو زوم‬ ِ ِ‫(الرحن الرحيم) أي ذي الرحﺔ وهي إُادة اْلري ْلهله (مل‬
َ
‫ص ِبلذكر ْلنه َل ملك ظاهراً فيه ْلحد إَل هلل تَاَل بدليل {ملن امللك اليوم‬ ‫وﺧ ه‬
ُ ،‫القيامﺔ‬
ً‫هلل} ومن قرأ {مالك} فمَناه مالك اْلمر كله ِف زوم القيامﺔ أو هو موصوف بذلك دائما‬
‫{كغافر الذنب} فصح وقوعه صﻔﺔ ملَرفﺔ (إَيك نََّد وإَيك نسََني) أي خنصك ِبلََّادة‬
‫من توحيد وغريه ونطلب املَونﺔ على الََّادة وغريها (اهدان الصراط املسَقيم) أي أُشدان‬
‫ (صراط الذزن أنَمت عليهم) ِبَلدازﺔ وزَّدل من الذزن بصلَه (غري‬:‫ وزَّدل منه‬. ‫إليه‬
‫ ونََﺔ الَّدل إفادة أن‬،‫املغضوب عليهم) وهم اليهود (وَل) غري (الضالني) وهم النصاُى‬
‫ وصلى هللا على‬،‫املهَدزن ليسوا زهوداً وَل نصاُى وهللا أعلم ِبلصواب وإليه املرجع واملآب‬
‫ وَل‬، ‫ وحسَّنا هللا ونَم الوكيل‬،ً‫سيدان حممد وعلى آله وصحَّه وسلم تسليماً كثرياً دائماً أبدا‬
. ‫حول وَل قوة إَل ِبهلل الَلي الَظيم‬
Dalam penafsiran di atas tampak sekali penjelasan ayat disampaikan
secara singkat dan global. Misalnya, kata al-rahman dan al-rahim dengan
makna yang memiliki rahmat. Maksudnya yaitu yang berkehendak
memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Setelah itu,
kemudian berganti kepada ayat berikutnya dan begitu seterusnya. Inilah
tafsir dengan metode ijmali.
c. Metode Muqaran (Komparatif)
Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau
kemiripan tema namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan
redaksi tetapi maknanya berbeda; atau membandingkannya dengan
penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.
Di samping itu, metode ini juga mengkaji pendapat para ulama tafsir
kemudian membandingkannya. Bisa juga berupa membandingkan antara

16
satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak
kitab tafsir tersebut. Tafsir muqaran dapat juga berbentuk perbandingan teks
lintas kitab samawi, seperti Al-Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur
(Ar-Rumi, 1419 H: 60).
Metode tafsir muqaran memiliki cakupan sangat luas. Namun, selayakya
sebuah metode, muqaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara
kelebihannya adalah bahwa dibanding dengan metode-metode lain, metode
ini memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada
pembaca. Sebab melalui metode ini terlihat bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu
dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu sesuai kecenderungan mufassir.
Sehingga, bahwa al-Qur’an ibarat samudera ilmu dan pendapat terasa benar
adanya dan dapat menumbuhkan rasa toleran atas perbedaan. Adapun
kekurangannya adalah bahwa tafsir dengan metode ini tidak cocok
dinikmati oleh orang awam dan kurang bisa diandalkan untuk menjawab
persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat karena memang
metode ini lebih berorientasi pada perbandingan daripada pemecahan
masalah (Hasibuan, dkk, 2020: 234-235).
Agar lebih memudahkan pemahaman terkait tafsir muqaran, mari kita
pelajari contoh berikut:
ٰۤ
ِ ِ
‫اَْنهﺔَ ِبَا ُكْن َُ ْم تَ َْ َملُ ْو َن‬ َٰ َ ْ َّ‫الهذزْ َن تَََ َوَٰفر ُىه ُم الْ َمل ِٕى ََﺔُ طَير‬
ْ ‫ني ۙزَ ُق ْولُْو َن َسل ٌم َعلَْي َُ ُم ْاد ُﺧلُوا‬ ِ ِ َٰ
Artinya:
“(yaitu) Orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik,
mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), “Salamun ‘alaikum, masuklah
ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 32)
Sementara dalam penjelasan sebuah hadis yang diriwayatkan Al-
Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan:

ْ ُ‫ول لَ ْن زُ ْد ِﺧ َل أَ َح ًدا َع َملُه‬ ُ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسله َم زَ ُق‬


‫صلهى ه‬ ِ‫ول ه‬ ِ
َ‫اَْنهﺔ‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫ت َُ ُس‬ُ َْ ‫أَ هن أ ََِب ُهَرزْ َرَة قَ َال َْس‬
‫ضل َوَُ ْحَﺔ فَ َس رِد ُدوا َوقَا ُِبُوا‬ ‫اَّللِ قَ َال ََل َوََل أ ََان إِهَل أَ ْن زَََ غَ هم َدِِن ه‬
ْ ‫اَّللُ بَِﻔ‬ ‫ول ه‬َ ‫ت ََي َُ ُس‬ َ ْ‫قَالُوا َوََل أَن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ‫هني أَح ُد ُكم الْمو‬
‫ب‬َ ََْ ََ‫ت إ هما ُْحمسنًا فَلَ ََلههُ أَ ْن زَ َِْد َاد َﺧ ْ ًريا َوإ هما ُمسيئًا فَلَ ََلههُ أَ ْن زَ ْس‬َ ْ َ ْ َ ‫َوََل زَََ َمن َ ه‬

17
Artinya:
“Abu Hurairah berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada
seorangpun yang masuk surga karena amalannya.” Para sahabat bertanya; “Begitu
juga dengan engkau wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “tidak juga dengan diriku,
kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya padaku, oleh karena itu
berlaku luruslah dan bertaqarublah dan janganlah salah seorang dari kalian
mengharapkan kematian, jika dia orang baik semoga saja bisa menambah amal
kebaikannya, dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya) semoga bisa menjadikannya
dia bertaubat.” (HR. al-Bukhari)
Setelah dibandingkan, secara zahir redaksi seakan-akan terjadi
pertentangan antara Al-Qur’an dengan hadis. Al-Qur’an dalam terjemah
Kemenag di atas seolah menyebut bahwa masuk surga disebabkan amal.
Sementara hadis sahih al-Bukhari menyebut tidak ada seorangpun yang
masuk surga karena amalnya.
Berkenaan dengan ini, M. Quraish Shihab melalui kanal resminya di
youtube menjelaskan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara Al-
Qur’an dan hadis. Kesan pertentangan keduanya tercipta hanyalah karena
terjemahan yang tidak mampu mewadahi maksud seutuhnya dari Al-
Qur’an. Ba’ pada bi ma kuntum ta‘malun diterjemahkan secara langsung
dengan “disebabkan” adalah tidak tepat. Sebab, ba’ dalam bahasa Arab
memiliki 14 makna. Ba’ bisa berarti sebab, sumpah, huruf yang
menghubungkan dan banyak lagi makna lainnya. Oleh karena itu, akan
tepat ayat tersebut jika dipahami bahwa amal kita dapat mengundang
rahmat Allah, dan rahmat Allahlah yang akhirnya menjadi sebab bahwa
seseorang masuk ke dalam surga.
Lebih lanjut, Shihab menegaskan bahwa Amal tidak dapat menjadi tiket
untuk masuk surga. Dampak amal baik kita sudah kita nikmati dalam hidup
ini. Surga merupakan hak prerogatif Allah yang diberikan hanyalah karena
rahmat Allah. Ia menyitir QS al-Mu’minun ayat 11 ketika Allah menjelaskan
keuntungan orang mukmin bahwa salah satunya “mereka adalah orang-orang

18
yang mewarisi surga.” Ini menunjukkan bahwa surga adalah anugerah Tuhan
dan Tuhan yang membagi-baginya.
Melalui contoh ini kita melihat bahwa tafsir muqaran dengan metode
perbadingannya dapat berperan baik menyelesaikan teks-teks keagamaan
yang seolah bertentangan. Hadis selamanya tidak akan pernah bertentangan
dengan Al-Qur’an, karena kebaradaannya sendiri merupaka penjelas bagi
Al-Qur’an.
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode terakhir yang lazim digunakan dalam menafsirkan Al-
Qur’an adalah metode maudhu’I atau metode tematik. Metode ini berupaya
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu.
Kelebihan metode ini mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta
dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhannya, serta
memberikan pemahaman Al-Qur’an tentang satu tema menjadi utuh.
Namun kekurangannya bisa jadi dalam proses inventarisasi ayat-ayat
setema tidak tercakup seluruhnya, atau keliru dalam mengategorikan yang
akhirnya membatasi pemahaman ayat.
Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62) telah merinci langkah-langkah yang
harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran
menggunakan metode tematik, sebagai berikut:
1) Menetapkan masalah yang akan dibahas; Permasalahan yang dibahas
diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan
masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki
pengetahuan yang memadai tentang masyarakat;
2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai
pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang
mendukungnya;

19
4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
Hal ini terkait erat dengan ilmu munasabat;
5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat
out line);
6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan
pokok bahasan; dan
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama
atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash
(khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada
lahirnya bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu
muara tanpa perbedaan dan pemaksaan makna.
Adapun di antara karya-karya tafsir yang telah menggunakan metode
ini adalah karya Abbas Mahmud al-Aqqad yang berjudul al-Insan fi al-
Qur’an dan al-Mar’ah fi al-Qur’an; dan karya Abu al-A’la Al-Maududi
berjudul al-Riba fi al-Qur’an; karya al-Jashshash, berjudul Tafsir Ahkam al-
Qur`an dan karya yang cukup populer dari Abu Abdullah Muhammad bin
Ahmad al-Anshary al-Qurtuby yang berjudul al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an.
Demikian, jelaslah pendekatan dan metode penafsiran Al-Qur’an.
Metode penafsiran Al-Qur’an dengan masing-masing kelebihan dan
kelemahannya tetap merupakan upaya ilmiah besar dan mulia dalam
menyuguhkan pemahaman Al-Qur’an.

REFLEKSI
Setelah mempelajari pendekatan dan metode penafsiran Al-Qur’an, apakah
hikmah atau nilai yang saudara mahasiswa dapatkan dan aplikasikan dalam
pembelajaran PAI?

20
Dari kegiatan belajar ini paling tidak kita mendapatkan nilai bahwa
menafsirkan Al-Qur’an adalah upaya yang tidak sederhana, sangat ketat bahkan
cenderung berat. Dengan berbagai prasyarat kualifikasi yang harus dimiliki mufassir,
Al-Qur’an dengan sendirinya menyeleksi orang yang berhak menyingkapnya. Begitu
pulalah yang diharapkan dalam pembelajaran PAI. PAI sejatinya tidak layak
diajarkan oleh orang yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni dalam agama Islam,
baik dalam aspek pengetahuan maupun praktik beragamanya. Walau tidak seketat
standar mufassir, tetapi PAI akan berhasil jika disampaikan oleh guru yang memiliki
kompetensi dalam dua aspek tersebut. Lantas jika demikian, sebagai guru PAI
sebenarnya sudah layakkah kita mengajar PAI? Tentu jawaban yang tepat adalah
mari kita pantaskan diri kita untuk mengajar PAI dengan senantiasa upgrade
pengetahuan dan memperbaiki kualitas keberagamaan.
Kualifikasi ideal seorang guru PAI di atas merupakan implementasi dari salah
satu nilai moderasi beragama qudwah. Qudwah merupakan keteladan, sebagai hasil
kreatif dari pengetahuan dan praktik beragama yang baik yang tercermin dalam
aspek moral, spiritual, dan etos sosial. Oleh karena itu, qudwah menjadi ruh bagi
seorang guru PAI.

CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah saudara sudah menguasai capaian
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh
soal pada modul ini sebagai bahan latihan saudara dalam menganalisis pertanyaan
dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh
dosen pengampu.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, mufassir menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan


mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau
membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya atau
membandingkan ayat dengan hadis yang secara redaksional tampak bertentangan.

21
Dalam istilah ulum al-tafsir metode ini dikenal dengan sebutan tafsir muqaran. Metode
ini dapat berperan secara baik menjelaskan aneka pendapat bahkan mengurai
perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan yang seolah terjadi dalam
teks-teks keagamaan. Hanya saja, tidak dapat dipungkiri bahwa metode ini juga
memiliki kelemahan. Berikut ini yang bukan merupakan kelemahan dari metode
tersebut adalah …..
A. Tidak cocok dinikmati oleh orang awam
B. Kurang bisa diandalkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang
berkembang di masyarakat
C. Lebih berorientasi pada perbandingan daripada pemecahan masalah
D. Rentan disusupi pendapat pribadi yang berdasar nafsu
E. Cenderung menampilkan pertentangan-pertentangan dalam Islam
Jawaban: D (Opsi D merupakan kelemahan dari pendekatan tafsir bi al-Ra’y)

TINDAK LANJUT BELAJAR


1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG, baca
artikel kemudian lakukan analisis berdasarkan isi artikel
2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajarannya
di sekolah/madrasah.
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka saudara mahasiswa
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam
LMS program PPG.

GLOSARIUM
Hadis : Reportase tentang Nabi Muhammad saw meliputi perkataan,
sikap dan ketetapannya.
Sunnah : Sinonim hadis
Atsar : Sinonim hadis; riwayat tentang Sahabat dan atau Tabi’in
Al-Ma’tsur : Pendekatan tafsir berdasarkan riwayat

22
Al-Ra’y : Pendekatan tafsir berdasarkan pendapat
Al-Isyari : Pendekatan tafsir berdasarkan intuisi sufistik
Tahlili : Metode penyajian tafsir secara analitik
Ijmali : Metode penyajian tafsir secara global
Muqaran : Metode penyajian tafsir melalui perbandingan
Maudhu’i : Metode penyajian tafsir secara tematik
Istihsan : Asumsi baik

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: Maktabah


Jumhuriyyah, 1977.

Al-Rumi, Fahd. Buhuts fi Usul al-Tafsir wa Manahijuhu. Riyadh: Maktabah al-Taubah,


1419 H.

Al-Shabuni, Muhammad Ali. Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminudin. Bandung:


PustakaSetia, 1999.

al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah,


1976.

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.

Alfiyah, Avif. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al
Quran dan Tafsir, Volume 1 Nomor 1 Juni 2018.

Al-Zamakhsyari, Mahmud Ibn ‘Umar. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil wa


‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’qil. Riyadh: Maktabah al-‘Ubaykan, 1998.

Katsir, Abu al-Fida Ismail Ibn. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Darul Kutub al
Ilmiyah, 2006.

Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Nur, Afrizal. Muatan Aplikatif Tafsir Bi al-Ma’tsur dan Bi al-Ra’yi: Telaah Kitab Tafsir
Thahir Ibnu ‘Asyur dan M. Quraish Shihab. Yogyakarta: Kalimedia, 2020.

23
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1991.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2013.

Suratman, Junizar. Pendekatan Penanfisran Al-Qur’an yang Didasarkan pada


Instrumen Riwayat, Nalar, dan Isyarat Batin. Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014.

Wahid, Abd. Tafsir isyari dalam Pandangan Imam sl-Ghazali. Jurnal ushuluddin vol.
Xvi no. 2, Juli 2010.

24

Anda mungkin juga menyukai