Anda di halaman 1dari 20

KEGIATAN BELAJAR 1

AL-QUR’AN DAN METODE MEMAHAMINYA

CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN


PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI

CAPAIAN PEMBELAJARAN
8. Menganalisis konsep tafsir dan takwil dalam kajian ilmu tafsir
9. Menganalisis konsep dan ciri-ciri ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep tafsir secara istilahi
2. Mahasiswa mampu menganalisis konsep takwil
3. Mahasiswa mampu mengkarakteristikkan ayat-ayat muhkamat
4. Mahasiswa mampu mengkarakteristikkan ayat-ayat mutasyabihat
POKOK-POKOK MATERI
1. Al-Qur’an dan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat
2. Konsep tafsir, takwil dan terjemah

1
URAIAN MATERI
A. Al-Qur’an
1. Pengertian
Secara harfiah, Al-Qur’an berarti bacaan yang sempurna. Jumlah kosakata
yang terdapat di dalamnya sebanyak 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat
ratus tiga puluh sembilan) kata yang tersusun dari 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf. Uniknya, seluruh kosakatanya memiliki
jumlah yang seimbang antara sinonim dan antonimnya. Di antaranya kata
akhirat terulang sejumlah 115 kali sebanyak kata dunya; kata hayat seimbang
dengan kata mawt yang disebutkan sebanyak 145 kali; kata malaikat berjumlah
sama dengan penyebutan kata syaithan sebanyak 88 kali; dan kata thuma’ninah
(ketenangan) terulang dalam jumlah yang sama dengan kata dhiyq (kecemasan)
sebanyak 13 kali (Shihab, 2007:4).
Adapun secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat
mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir melalui perantara
malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushaf, disampaikan kepada kita secara
mutawatir, bernilai ibadah bagi pembacanya dan diawali dengan surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas (al-Shabuni, 2003: 8). Definisi ini
adalah definisi yang juga disampaikan mayoritas ulama, karena dianggap
komprehensif dan mengandung seluruh unsur yang dapat menjelaskan Al-
Qur’an.
Dalam fungsinya sebagai hudan li al-muttaqin (petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa), Al-Qur’an memuat berbagai regulasi untuk mengatur
kehidupan manusia. Hanya saja, pesan dan aturan yang disampaikan di dalam
Al-Qur’an ada yang berupa pernyataan tegas dan adapula yang bersifat samar
yang membutuhkan pemikiran mendalam. Dua bentuk pernyataan ini dalam
terminologi ‘Ulum al-Qur’an disebut dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat.

2. Karakteristik Ayat-ayat Al-Quran


a. Ayat-ayat Muhkamat
2
Kata muhkam sebagai bentuk tunggal dari muhkamat, secara
etimologi berasal dari akar kata hakama-hukm yang berarti menetapkan,
memutuskan atau memisahkan. Kemudian diformulasikan ke dalam wazan
af’ala menjadi ahkama-ihkam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya
memisahkan antara dua hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena
ia mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih
serta membedakan antara yang benar dan salah.
Menurut Manna’ Al-Qaththan, secara terminologi muhkam adalah
ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna dan
dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain (Al-
Qaththan, 1995: 207). Jadi, ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang
mengandung makna yang kokoh, jelas dan fasih. Pengertian muhkam ini
menjadi sifat Al-Qur’an yang disebutkan dalam surat Hud ayat 1:

ٰۡ‫َِٰت ك‬ ٍۡ‫َِّ كۡ تِٰ كٰۡل َُّ كٰۡۡ تِ ك‬


‫ُٰ َُّٰح ت‬
‫ح‬ ٰ‫ت‬ٰ ‫ٰا‬ ‫الٓرِٰٰۚكتٌٰٰا كۡ تَِ ك‬
ۡ
‫ت‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫ح‬ ‫ح ت‬
Artinya:
“Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang
Mahabijaksana dan Mahatahu.”

b. Ayat-ayat Mutasyabihat
Secara harfiah, mutasyabih yang merupakan bentuk tunggal dari
mutasyabihat berasal dari kata syabaha yang berarti serupa. Syubhah -
bentuk nomina dari syabaha- adalah keadaan tentang satu dari dua hal
yang tidak dapat dibedakan dari lainnya karena ada kemiripan di antara
keduanya secara konkret atau abstrak. Makna ini sejalan dengan sifat kedua
Al-Qur’an yaitu kitaban mutasyabihan sebagaimana disebut dalam surat
az-Zumar ayat 23:

3
‫ت ت ك ت ت ك ك َّ ت ك ك‬
‫َٰيش كوٰۡر َِّب كٍََُٰٰٰٰت ك‬ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ك‬
ٰ‫ۡي‬ ٰۡ ‫ذ‬ ‫ل‬‫ٰا‬ ‫د‬‫و‬ َ‫ج‬ ٰ ٰ ۡ ِٰ
‫ً ُّ ت ت ً َّ ت ت ت ت ُّ ح ح ح ح ت ت ت ت ت ح ح َّ ت ح‬ ‫ر‬ ِ‫ش‬ ۡ‫ت‬َ ٰ ٰ ‫اِن‬ ‫ث‬ ِٰ‫ا‬ ‫اِب‬ ‫ش‬ٰ ِٰ‫ا‬ ِ ‫ت‬ٰ ‫ِك‬ٰ ‫ث‬ ٰ ُ ‫ات لّللحٰنتت َّزتلٰاتۡ تس تۡ ت‬
‫ٰاۡل‬
‫ٰاّللت ٰٰؕذلتكٰه تُىٰاّللتٰٰت كه تُ كىٰبت ِٰ كٰٰۡ َّشآٰءٰٰؕوِ كُّٰٰۡ كضَت‬ ‫ت‬ ‫ك ك ك ك ت تك‬
ٰ‫ٰاّللح‬
‫ل‬ ‫ت‬
‫ل‬ ‫ت ت ح تت‬ ‫ل ت‬ ‫ت ح‬ ٰ‫حجَٰحوحد حهٍ تٰوقحتَحوحِبحٍٰاٰلٰذ ل‬
‫ر‬ ‫ِك‬
ٰ‫ٰهاد‬ ‫تك‬
‫ُت تَاٰلت ِٰۡ ت‬
Artinya:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang
serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka
ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh
Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.”
Dengan demikian, ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang
maknanya tidak atau belum jelas dan untuk memastikannya tidak
ditemukan dalil yang kuat. Dari itu, para ulama menyebut ayat-ayat
mutasyabihat secara ringkas dengan ungkapan hanya Allah yang
mengetahui maknanya.
Tentang keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, Al-
Qur’an sendiri menyampaikan dalam surat Ali ‘Imran (QS 3:7):

ٰ‫ِٰٰت تش تاِبتاتُٰٰۖتأ َّتِا‬ ‫ٰه َّٰۡأ ُّحمٰالْ تِٰت ت‬ ‫كٰالْ تِٰت ت‬ ‫ت‬
‫حَ حر ح‬
‫اب تٰوأ ت‬ ‫ُٰم تِ تَات ح‬ ْ‫ٰآَيت ح‬ ‫ابِْٰۡ ح ت‬ ‫ت‬ ‫حه توٰال َّذيٰأتنْتتزتل ت‬
‫ٰعَتْۡ ت‬
‫َْٰ توَٰت تٰ تٰوتِاٰٰتت َِْٰت حٍ ت‬
ٰ‫َْٰ توَٰت حٰإت َّّٰل‬ ٰ ‫ِٰاَٰت تشابت ت تِْٰۡ حٰابْٰتغتاءتٰالْ تفْٰتۡت تة تٰوابْٰتغت‬
‫اءت ت‬ ‫تت‬
‫ٰۡ تِٰفٰقحتَحوِب ٍْ تٰزْٰغُٰتتۡتتٰ َِّتِحو تۡ ت‬
‫ َّ ت‬
‫الذ ت‬
ْ ‫ٰعْۡ تُ تٰربتلۡتاٰ تٰوتِاٰٰت َّذ َِّك حرٰإت َّّلٰٰأحولح‬
ٰ‫وٰاْلتلِْت ت‬
‫اب‬ ‫الر تاسخو تۡ تِٰفٰالِْتَْ تٍٰٰت حۡولحو تٰۡآِۡ َّاٰبتتٰ حِكلٌّ تِٰۡ ت‬
ْ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫اّللحٰ تٰو َّ ح‬
َّ
Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya
ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat

4
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Kemudian, berkenaan dengan kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan
ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukannya. Bisa jadi satu ayat dikategorikan sebagai ayat muhkamat
oleh sebagian ulama, sementara mutasyabihat oleh ulama lain, seperti ayat
tentang Jannah dan Nar, mayoritas menggolongkannya ke dalam ayat
muhkamat, sementara bagi kelompok bathiniyyun mengategorikannya ke
dalam mutasyabihat karena narasi tentang surga dan neraka adalah bentuk
metafora.
Perbedaan pandangan tersebut tentu didasari atas perbedaan
tentang definisi dan kriteria ayat muhkamat dan mutasyabihat. Al-
Zamakhsyari menggariskan kriteria ayat-ayat yang tergolong muhkamat
adalah ayat-ayat yang berhubungan erat dengan hakikat (realitas);
sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang membutuhkan penelitan
(tahqiqat).
Secara lebih spesifik, al-Raghib al-Ashfahani membuat kriteria bagi
ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat
maknanya, seperti ayat seputar kiamat; dan ayat-ayat yang hanya bisa
diketahui maknanya dengan bantuan ayat muhkamat, hadis sahih atau
disiplin ilmu lain, seperti ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-
hukumnya tertutup. Sementara ayat-ayat muhkamat menurutnya adalah
ayat-ayat yang tidak termasuk ke dalam kategori mutasyabihat.
Sekalipun terdapat ayat yang telah terang maknanya dan di saat
yang bersamaan masih terdapat yang samar maksudnya, tetapi bisa
dipastikan bahwa kebenaran Al-Qur’an bersifat absolut atau mutlak.
Kemutlakan ini akan berubah menjadi relatif ketika sudah menjadi
pemahaman manusia. Dari itu, perlu diketahui bahwa upaya memahami
kandungan Al-Qur’an terdapat beberapa metode, yaitu tafsir, takwil dan
terjemah. Walaupun terjemah bukan merupakan metode memahami Al-

5
Qur’an karena hanya sebatas pengalihbahasaan, tetapi terjemah dianggap
sebagai salah satu upaya untuk mengantarkan pemahaman dasar dari Al-
Qur’an bagi orang awam.

B. Tafsir
1. Pengertian
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-tafsir yang berarti
menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah
(menjelaskan), al-bayan (menerangkan) dan al-kasyf (menyingkapkan).
Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat, salah satunya
menurut Shubhi al-Shalih yang mendefinisikan tafsir sebagai berikut:

ٰ‫اسٰت ْختر تاج‬ ‫اۡ ت ت‬ ‫ت‬ ‫َىٰنتِتۡتل ت ح‬ ‫فٰبتتٰ ُتتهٍِٰكت ت ت‬ ‫ت‬


ْ ‫ِٰ تِانۡ تٰو‬
‫ٰوسٍَٰوبتتۡت ت‬
‫ت‬ َۡ‫ُٰمت ََُّٰصَىٰهللاٰع‬ ‫ٰابٰهللاٰاملۡتت َّزتل ت‬
‫ٰع ت‬ ‫ع ٍَْٰٰتح ِْتر ح ْ ح‬
ٰ ٰ‫أۡ تِ تاِ ت تٰو تۡ تِ تَت‬
ْ
Artinya:
“Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan
hikmah-hikmahnya.”

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh ‘Ali al-Shabuni bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an dari segi pengertiannya
terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Pendapat senada
disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan
nasnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. Demikian juga menurut Syekh
al-Jazairi, tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafaz yang sukar
dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafaz sinonimnya atau
makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu
dilalah lafaz tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, menafsirkan Al-Qur’an berarti

6
upaya mengungkap maksud dari Al-Qur’an baik ayat perayat, surat persurat
maupun tema pertema yang dapat digali dari susunan bahasanya dan lafaz-
lafaz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengannya.
Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ‘Ulum al-Quran, yang
meliputi asbab al-nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh,
dan seterusnya.

2. Komponen Pendukung Tafsir


Sebagaimana telah disebutkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an merupakan
aktivitas besar dan tidak sederhana. Seseorang yang hendak menafsirkan Al-
Qur’an harus memenuhi kompetensi standar di antaranya ilmu bahasa Arab,
sejarah, ilmu hadis, dan sebagainya terutama ilmu Al-Qur’an. Di antara bagian
dari Ilmu Al-Qur’an yang sangat signifikan dalam penafsiran Al-Qur’an adalah
Asbab al-Nuzul. Asbab al-nuzul yang merupakan latar belakang turunnya ayat
menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam memahami pesan Al-
Qur’an. Al-Syathibi menegaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan
memahami Al-Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan
konteks ketika ayat turun. Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak
seluruh ayat Al-Qur’an memiliki riwayat asbab al-nuzul.
Selain Asbab al-Nuzul, pemahaman makiyah dan madaniyah juga patut
dikuasai dalam memahami Al-Qur’an. Makiyah dapat dipahami sebagai ayat-
ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya meliputi Mina, ‘Arafah dan
Hidaibiyyah atau turun sebelum hijrah. Sementara Madaniyah adalah ayat-ayat
yang turun di Madinah dan sekitarnya meliputi Uhud, Quba dan Sil’ atau turun
setelah hijrah. Ayat-ayat makiyah terkumpul dalam 86 surat, sementara
madaniyah terdiri dari 38 surat. Terdapat beberapa manfaat penguasaan atas
makiyah dan madaniyah dalam memahami ayat Al-Qur’an, yakni: a) Dapat
membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an, dikarenakan
makiyah dan madaniyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu
ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan. b) Melalui gaya bahasa yang berbeda

7
pada ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami ayat Al-
Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c)
Dengan memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan
dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. sebagai salah satu referensi
penafsiran.
Selanjutnya, hal yang penting dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah ilmu qiraah. Perbedaan qiraah telah terjadi sejak masa sahabat. Hadis
sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagaimana dikutip ‘Ali al-Shabuni
menceritakan bahwa suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw, Umar bin
Khattab salat dan menjadi makmum dari Hisyam bin Hakim. Sang Imam saat
itu membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang tidak sama dengan
bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw. Sehingga, hampir saja Umar
menyeretnya ketika dia sedang salat. Namun, Umar berusaha bersabar
menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam selesai salat, Umar
menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat
al-Furqan kepadamu dengan bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab:
Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata
Umar. Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku tidak seperti apa yang
kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul. Setelah
keduanya diperintah membaca surat al-Furqan, kemudian Rasulullah Saw
membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda: “Seperti itulah bacaan Al-
Qur’an diturunkan.” Kemudian Rasulpun mengatakan, “sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan dalam tujuh huruf (qiraah), maka bacalah dengan yang memudahkan
bagimu” (Al-Shabuni, 2003: 210). Riwayat ini jelas menggambarkan bahwa Al-
Qur’an dapat dibaca dengan berbagai cara sesuai riwayat qiraah yang sahih
atau dibenarkan. Namun, apakah itu semata hanya berbeda dalam hal cara
pembacaannya tanpa berpengaruh terhadap pemaknaan? Berikut akan
dijelaskan dengan disertai contohnya.

8
3. Contoh Penafsiran
Qiraah sebenarnya tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan Al-
Qur’an dari segi dialek saja. Namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qiraah
yang memengaruhi terhadap perbedaan makna lafaz, sehingga menjadi
penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat memahami
perbedaan qiraah yang mempengaruhi terhadap makna adalah dapat
mengetahui adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-
Baqarah: 222.

ٰۡ‫ٰۡ ََّّتٰٰتطْ حه ْر ت‬
‫وه َّۡ ت‬
‫توتّلَٰتت ْۡتربح ح‬
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Fakhruddin al-Razi menyebutkan dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb atau
dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir bahwa para imam qiraah berbeda pendapat
tentang cara membaca ۡ‫ ٰطهر‬pada ayat ini. Berada dibarisan pertama adalah

Imam Ibn Katsir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, Ya’qub al-Hadhrami dan Abu
Bakar dari ‘Ashim yang membacanya dengan bunyi ٰۡ‫( ٰتطْ حه ْر ت‬yathhurna). Cara

pertama ini adalah yang lazim kita gunakan. Sementara berada di barisan
kedua adalah Imam Hamzah, al-Kisa’i dan Hafsh Ibn ‘Ashim yang membaca
dengan memberikan tasydid pada huruf tha’ sehingga berbunyi ٰۡ‫ٰط َّ َّه ْر ت‬

(yaththahharna).
Dua cara yang berbeda ini memberikan pengaruh yang cukup berarti
terhadap pemaknaannya. Kata ٰۡ‫ ٰتطْ حه ْر ت‬dengan cara baca pertama berarti wanita

haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan ٰۡ‫ ٰط َّ َّه ْر ت‬dengan

cara kedua menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati
setelah mereka bersuci atau mandi (al-Razi, 1981: 72). Dari dua qiraah ini dapat
dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah
mandi.

9
Demikian juga dalam memahami qiraah yang memiliki dua wajah seperti
pada surat al-Maidah ayat 6 dalam kaitannya dengan wudu:

‫ٰلٰٱلْ تِ ِِْت ْ ت‬
ٰۚ‫ۡي‬ ‫ُتٱ ْغ تسَح ۟واٰوجوه حٍِٰوأتٰ تُٰ حٍِٰإت تٰلٰٱلَْراُت تقٰوٱِسح ۟واٰبترء ت‬
ٰ‫وس حِ ٍْ تٰوأ ْتر حجَت حِ ٍْٰإت ت‬‫تت ت ْ ت ح حح‬ ْ ‫حح ت ْ تْ ت‬
Artinya:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu
dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Kata ٍْٰ ِ‫( توأ ْتر حجَت ح‬wa arjulakum) dibaca fathah lam-nya oleh mayoritas qiraah Hijaz

dan ‘Iraq yang lazim kita baca saat ini. Sementara sebagian qiraah Hijaz dan
‘Iraq lainnya membaca dengan meng-kasrah lam ٍْٰ ِ‫( توأ ْتر حجَت ح‬wa arjulikum). Perbedaan

dua qiraah ini berdampak terhadap hukum. Qiraah pertama dengan nashab
karena ‘athaf terhadap wujuh dan aydiy yang berarti bahwa kaki termasuk
bagian wudu yang harus dibasuh. Sedangkan qiraah kedua dengan khafadh
karena ‘athaf terhadap ru’us yang berarti kaki cukup diusap seperti rambut (Al-
Thabari, 2001: 188-200).
Dari dua qiraah ini dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudu adalah
membasuh kaki. Tetapi membasuh kaki dapat diubah dengan mengusapnya
bagi orang yang memakai khuffah (semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi
orang yang berperjalanan.
Pengetahuan seperti ini tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak
mengenal tentang ilmu qiraah. Karena itu, pengetahuan ilmu qiraah dan ilmu-
ilmu lain dari Ulum al-Quran selain ilmu Bahasa Arab dan yang lainnya menjadi
kemampuan dasar bagi seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat Al-
Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi
kesalahan.

C. Takwil
1. Pengertian
Ta’wil yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi
takwil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuawwilu-ta’wil yang

10
memiliki makna al-ruju’ atau al-’aud yang berarti kembali. Al-Qur’an
menggunakan kata ini sebanyak 16 kali dalam tujuh surat dan 15 ayat
(Izzan, 2009: 243). Kata takwil biasa digunakan dalam menjelaskan maksud
dari sebuah peristiwa atau kisah. Misalnya, pada kisah Nabi Yusuf as ayat
100 saat menjelaskan peristiwa tunduknya keluarga dan saudara-
saudaranya kepada Yusuf dinyatakan dengan kalimat “hadza ta’wilu ru’yaya
min qabl qad ja’ala rabbi haqqan” (Ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh
Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan). Demikian juga pada
surat al-Kahfi ayat 78 tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu
dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat
“sa’unabbi’uka bita’wili malam tastathi’ alayhi sabran” (Aku akan menjelaskan
takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam Al-Qur’an, maka
secara terminologi al-Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi
takwil sebagai berikut:

‫لِ ت‬‫َٰيٰت تََح ٰإ تذاِٰكا تٰۡاملحٰت تَلٰالت تذيٰٰراهِٰوٰاُت ًۡاٰاب ت‬ ‫تت‬ ‫صر ح ت‬
ٰ‫ٰاب‬ ‫ت حت‬ ‫ح ح‬ ‫ِٰ ِْ ًًن تْ ح‬
‫ٰإٰل ت‬
‫ِٰ ِْۡتاهحٰالظاهر ت‬ ‫فٰالَ َّ ْفظ ت‬
‫ٰع ْۡ ت‬ ْ‫ت‬
‫السۡ َّة‬
ُّ ‫و‬
Artinya:
Mengalihkan lafaz dari maknanya yang tampak kepada makna tersembunyi yang
dikandung olehnya selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan
Al-Qur’an dan al-sunnah (Al-Jurjani, 2004: 46).
Berdasarkan definisi di atas, takwil berarti mengungkap makna yang
tidak tampak pada zahir lafaz Al-Qur’an. Lantas, apakah setiap orang berhak
menerka-nerka makna di balik setiap ayat Al-Qur’an? Kemudian jika takwil
juga mengungkap makna, apa bedanya dengan tafsir? Berikut penjelasannya.

2. Ketentuan Takwil
Takwil berbeda dengan tafsir sekalipun keduanya menjelaskan maksud
dari sebuah pernyataan dalam Al-Qur’an. Tafsir pada praktiknya menjelaskan
makna zahir sementara takwil mengungkap makna batin. Perbedaan tersebut
11
dapat dilihat dalam memahami kalimat ۡۡ‫( َيرجٰاۡليِٰٰۡامل‬mengeluarkan kehidupan dari

yang mati). Penggalan ayat 19 dari surat al-Rum bisa dipahami dalam makna
mengeluarkan seekor ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut adalah
tafsir. Tetapi, jika dipahami dengan takwil, maka bisa bermakna mengeluarkan
seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang pandai dari
kebodohan (Al-Jurjani, 2004: 46).
Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya takwil
dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti juga melakukan kegiatan
tafsir. Maka, takwil pada fungsinya sebagai tafsir yang dapat memudahkan
dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an sesuai dengan
perkembangan zaman sekarang dan akan datang, juga tafsir pada praktiknya
sebagai penjelas, keduanya adalah metode penting yang perlu dilakukan dalam
memahami makna Al-Qur’an.
Takwil lazim dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Namun,
apakah seluruh ayat-ayat mutasyabihat boleh atau harus ditakwil? Terkait ini
Quraish Shihab menunjukkan bahwa QS. Ali Imran (3) ayat 7 yang telah
disampaikan sebelumnya menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh
tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihat (Shihab, 1995: 91). Sebagian
pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihat bisa ditakwil
seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh
ditakwil, itupun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya. Oleh karena takwil merupakan pekerjaan yang sulit,
maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam
tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab karena takwil tidak
berdasar ra’yu (pendapat/akal) saja.
Selanjutnya, terkait perbedaan cakupan antara tafsir dan takwil, Al-
Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mufradat Alfadzi al-Qur’an mengemukakan
bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil (Al-Ashfahani, 2009: 636). Tafsir
lebih banyak digunakan dalam kata dan kosakatanya. Sedang takwil banyak
digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak

12
digunakan dalam Al-Qur’an, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Al-
Qur’an tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya (Shihab, 1995: 91).
Penakwilan terhadap ayat Al-Qur’an dilakukan secara ketat
berdasarkan kaidah dan dasar-dasar keilmuan. Jika kita menyetujui bahwa
semua ayat-ayat mutasyabihat boleh ditakwil, maka ayat-ayat yang ditakwil
tidak hanya teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu,
melainkan dapat berkembang selama makna yang digagas tidak keluar dari
akar kata redaksi bahasa ayat itu.

3. Contoh Takwil
Agar memudahkan pemahaman, berikut disampaikan di antara contoh
takwil yang dilakukan para ulama terhadap ayat Al-Qur’an. Pertama, surah al-
Fil (QS. 105:3) sebagai berikut:

ٰ‫ٰعَت كۡ ته كٍٰطت ك ًۡاٰاتتاببت كۡ تل‬ ‫ك‬


‫ َّٰواتر تس تل ت‬
Artinya:
“Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.”
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata “‫”طۡا‬

di atas yang berarti burung yang terambil dari kata thara–yathiru (terbang)
dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan. Hal ini sah karena tidak
keluar dari makna dasar kata tersebut.
Contoh kedua penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya
dilakukan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata “‫ ”ِكرسي‬pada Q.S. Al-

Baqarah ayat 255 berikut:

ٰ‫ض‬ ‫تٰو كاّل ك‬


‫و تسعٰ حِك كرتسُّۡ َّ ت‬
‫ٰالسَو ت ت ت‬
‫ر‬ ‫ح‬ ‫ت ت‬
Artinya:
“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.”
Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi
sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan dengan kedudukan
Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah

13
memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi
pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit
dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu
terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa
pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.
Namun berbeda dengan ayat yang berbicara tentang zat Allah yang
tercantum pada surat al-Nur ‫( هللاٰنور ٰالسَواتٰواّلرض‬Allah adalah cahaya langit dan

bumi). Dimaknai demikian dengan tujuan agar zat Allah itu bisa diketahui.
Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai
dengan ayat: ‫لۡس ِٰكَثَ ٰشۡئ‬... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya)

(QS. Asy-Syura [42]: 11).


Takwil yang hanya berdasarkan akal saja tanpa mempertimbangkan
aspek kebahasaan hukumnya terlarang, karena memungkinkan maksud yang
digagas keluar dari makna dasarnya. Dari itu, ulama salaf lebih memilih
bersikap tafwidh yakni menyerahkan sepenuhnya maknanya kepada Allah saat
memaknai ayat-ayat mutasyabihat dengan ungkapan wallahu a’lam bi muradi bih
(Allah lebih tahu maksudnya).

D. Terjemah
1. Pengertian
Terjemah bukan termasuk metode memahami Al-Qur’an seperti
halnya tafsir dan takwil, ia hanya bentuk pengalihbahasaan. Secara
etimologi, terjemah diambil dari bahasa Arab dari kata tarjamah. Bahasa
Arab sendiri menyerap kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman
(Didawi, 1992: 37). Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan
tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain
(Manzhur: 66). Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa
ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu
bahasa ke bahasa lain. Selain itu, berarti pula memindahkan lafal dari suatu
bahasa ke dalam bahasa lain.
14
Adapun secara terminologi, terjemah didefinisikan sebagai berikut:

ٰ ‫ِٰ تِانتۡ ت‬ ‫ِٰف ٰلحغتة ٰبت تَِلمٰ ٰاَر تِٰۡ ٰلحغتة ٰاحَرى ِٰع ٰ ت ت ت‬
‫ِٰ ًِْن ٰ تِك تَلم ت‬
‫ٰالوُتاء ِٰتَ تۡع ت‬
‫ْت ت ت ت‬ ْ ‫ت‬ ‫ٰع ْۡ ت ت‬ ‫الٰتت ِِْت حۡ ت‬
ٰ ‫ۡاص تُه‬
‫وِ ت‬
‫تت‬
Artinya:
“Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan
memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.”
Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Al-Qur’an adalah memindahkan
bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab kemudian mencetak
terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti
bahasa Arab. Dengan upaya ini diharapkan umat Islam yang bukan orang Arab
dapat memahami pesan dasar dari kitab Allah SWT.

2. Jenis Terjemah
Penerjemahan dibagi menjadi dua, yaitu terjemah harfiyyah dan terjemah
tafsiriyyah. Terjemah harfiyyah atau kerap juga disebut terjemah lafziyyah, yaitu
mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari
bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai
dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Muhammad Husayn al-Dzahabi
membedakan terjemah harfiyyah ke dalam dua metode, yakni terjemah harfiah
bi al-mitsil dan terjemah harfiyyah bi ghayr al-mitsil. Metode pertama adalah
terjemahan yang dilakukan apa adanya yang terikat oleh susunan dan struktur
bahasa asal yang diterjemahkan. Sementara metode kedua merupakan
terjemahan yang lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur
bahasa asa yang diterjemahkan (Izzan, 2009: 253).
Adapun terjemah tafsiriyyah atau terjemah ma’nawiyyah, yaitu
menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan
tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. Dalam
bahasa sederhana, terjemah ini dikenal dengan istilah terjemah bebas.
Sementara terjemah harfiyyah disebut dengan terjemah leterlek.
Membaca terjemah sebuah ayat Al-Qur’an dapat membantu pembaca
15
untuk memahami ayat tersebut. Namun demikian, membaca terjemah saja
tanpa memahami seluk beluk bahasa Al-Qur’an seringkali menjadikan
pemahaman terhadap ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan
dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman terhadap pembacaan
Al-Qur’an terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya:
a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat
atau utuh ke dalam bahasa lain, termasuk Al-Qur’an. Ini dikarenakan
setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata;
anta dan anti (mudzakkar dan muannats) dengan terjemah kamu, anda
atau engkau tidak dapat mewakili secara utuh makna dari teks.
Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun tidak dapat secara
utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang
tepat dan dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan
membentuk karakteristik bahasa yang berbeda.
Karena itu, apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka
dalam penerjemahan Al-Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili
seluruh maksud ayat-ayatnya. Apalagi bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah
yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya, maka dapat
dipastikan sebuah terjemahan Al-Qur’an tidak mampu menggambarkan secara
utuh maksud-maksudnya. Namun demikian, bukan berarti terjemah Al-Qur’an
tidak penting, karena dengan adanya terjemah Al-Qur’an dapat membantu
untuk melakukan tadabbur (renungan) atau paling tidak mengetahui pesan
dasar Al-Qur’an khususnya bagi bangsa ‘ajam (non-Arab) yang tidak memiliki
kemampuan bahasa Arab secara baik.
3. Contoh Terjemah
Berikut disajikan contoh terjemah dari surat Al-Isra’ ayat 29 yang berbunyi:
‫َٰتِ كلُٰٰكِٰ كغَ كولةٰاتٰلٰعۡ تۡكٰوّلَٰت كِس كطهاِٰكل كٰالِ كس تطُٰتٰت كَُِِٰۡ كوِ َّ ك‬
‫ك‬
‫اُٰم حس كوًٰرا‬ ً ‫توتّل ت ت ت ت ت ت ح ت ً حح ت تت ت ح ت ح َّ ت تت ح ت ت ح‬
Artinya:

16
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela
dan menyesal.”
Di atas adalah terjemah harfiyyah yang mempertahankan susunan dan
struktur bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sedang jika diterjemahkan
secara tafsiriyyah ayat tersebut berarti: “janganlah engkau bersikap kikir dan
boros dalam menggunakan harta.”

REFLEKSI

Setelah mempelajari materi Al-Qur’an dan Metode Memahaminya yang


mencakup tafsir, takwil dan terjemah, apakah hikmah atau spirit yang dapat saudara
mahasiswa ambil dan terapkan dalam pembelajaran PAI?
Setidaknya melalui pembelajaran ini kita mengetahui bahwa kebenaran Al-
Qur’an bersifat mutlak, sementara kebenaran tafsir, takwil dan terjemah bersifat relatif
karena berdasarkan pikiran manusia. Jika demikian, maka begitupun dengan
Pendidikan Agama Islam sebagai produk pikiran manusia, mesti dihasilkan dan
disampaikan secara sungguh-sungguh dan tanggung jawab dengan semangat
moderat agar dapat membangun kesadaran peserta didik akan kebenaran manusia
yang relatif sehingga tidak memonopoli kebenaran dalam berkehidupan dan
beragama.
Sikap ini merupakan perwujudan dari salah satu di antara nilai-nilai moderasi
beragama yaitu tawassuth. Tawassuth berarti tidak bersikap ekstrem dalam memegang
cara pandang kebenaran yang dimiliki, sebab menyadari ada kebenaran lain yang
dimiliki orang lain dengan cara pandang yang berbeda. Dari itu, muncullah sikap
menghargai terhadap pandangan yang berlainan. Guru PAI seyogyanya memiliki
sikap tawasuth ini.

CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah saudara sudah menguasai capaian

17
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh
soal pada modul ini sebagai bahan latihan saudara dalam menganalisis pertanyaan
dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh
dosen pengampu.

Perhatikan pernyataan-pernyataan berkenaan dengan karakter Al-Qur’an berikut:


1) Firman Allah SWT
2) Mukjizat
3) Diturunkan kepada Nabi Muhammad
4) Diturunkan di Madinah
5) Dimulai dari surat al-‘Alaq dan ditutup dengan surat al-Nas
6) Melalui perantara malaikat Jibril
7) Bernilai ibadah hanya bagi yang mampu memahaminya
8) Ditransimisikan kepada kita secara mutawatir
Yang dapat merepresentasikan definisi Al-Qur’an ditunjukkan nomor …..
A. 1-2-3-4-5
B. 1-3-4-6-7
C. 1-2-3-6-8
D. 1-2-4-5-7
E. 1-3-5-6-8
Jawaban: C

TINDAK LANJUT BELAJAR


1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG, baca
artikel kemudian lakukan analisis berdasarkan isi artikel.
2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajarannya
di sekolah/madrasah.
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka saudara mahasiswa

18
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam
LMS program PPG.

GLOSARIUM
’Ajam : Orang yang bukan bangsa Arab
Madaniyah : Ayat yang turun di Madinah atau setelah hijrah
Makiyah : Ayat yang turun di Mekah atau sebelum hijrah
Muhkam : Ayat yang jelas dan mudah dipahami maknanya
Mutasyabih : Ayat yang maknanya tidak atau belum jelas dan untuk
memastikannya tidak ditemukan dalil yang kuat
Mutawatir : Ayat atau hadis yang disampaikan secara turun temurun oleh
sekurang-kurangnya sepuluh orang di setiap tingkatan
generasinya dan sangat kecil terjadi kebohongan
Nas : Perkataan atau kalimat dari Al-Qur’an atau hadis yang dipakai
sebagai alasan atau dasar untuk memutuskan suatu masalah

DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq. `Awn al-Ma`bud Syarh Sunan Abu
Dawud, ed. Khalid `Abd al-Fattah Syibl. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,
1998.
Abduh, Muhammad. al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfazh al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam, 2009.
Al-Baqi, Muhammad Fuad ‘Abd. al - Mu’jam al - Mufahras li Alfazh al-Qur’an. Kairo:
Dar al-Hadits, 1986.
Al-Jurjani, ‘Ali Ibn Muhammad. Mu’jam al-Ta’rifat. Kairo: Dar al-Fadhilah, 2004.
Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.
Al-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Shabuni, ‘Ali. Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Tehran: Dar Ihsan, 2003.

19
Al-Thabari, Ibn Jarir. Tafsir al-Thabari. Kairo: Dar Hijr, 2001.
Didawi, Muhammad. Ilmu al-Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul
Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr, 1992.
Izzan, Ahmad. Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an.
Bandung: Tafakur, 2009.
Manzhur, Ibn. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir, 1300 H.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al Quran. Bandung: Mizan, 1995.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al Quran, Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati, 2011.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 2007.

Zaid, Nashr Hamid Abu. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an
Menurut Mutazilah, terj. Abdurrahman dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan,
2003.

20

Anda mungkin juga menyukai