Anda di halaman 1dari 30

helmiakmal47@ulm.ac.

id

KONSEP NEGARA: DEFINISI, SIFAT, TUJUAN, FUNGSI,


SUPRASTRUKTUR DAN INFRASTRUKTURNYA

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Konstitusi, HAM, dan Demokrasi / 2 SKS
Diampu oleh Dr. H. Sarbaini, M.Pd.

Oleh:
Helmi Akmal
Muhammad Nashir

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan rahmat dan
karunia dari-Nya membuka pikiran, memunculkan gagasan, dan menggerakkan
tangan untuk menulis makalah berjudul “Konsep Negara: Definisi, Sifat, Tujuan,
Fungsi, Suprastruktur, dan Infrastrukturnya”.
Makalah ini memaparkan mengenai pengertian negara, sifat-sifat negara,
tujuan dan fungsi adanya negara, suprastruktur dan infrastruktur pendukungnya,
serta masalah-masalah aktual ketatanegaraan di Indonesia. Metode penulisan yang
digunakan adalah studi kepustakaan, baik mengkaji buku-buku dan jurnal, maupun
sumber lainnya yang relevan dengan subtansi makalah.
Rampungnya makalah ini merupakan hasil kerjasama tim atau kelompok,
juga tentunya atas dukungan pihak lain yang memberi saran maupun sumber-
sumber penguat penulisan. Sebagai tanda penghargaan kami mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. H. Sarbaini, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Konstitusi,
HAM, dan Demokrasi yang telah membuatkan outline (garis besar)
mengenai pembahasan dalam makalah.
2. Teman-teman satu angkatan mahasiswa Magister Pendidikan IPS
Universitas Lambung Mangkurat yang menjadi ‘teman’ diskusi kritis
menyangkut perkuliahan.
3. Pihak-pihak lain yang sudah membantu memberi saran bahkan sumber-
sumber relevan pendukung penulisan makalah.
Makalah “Konsep Negara” ini adalah salah satu usaha untuk memberikan
wawasan kepada khalayak tentang negara. Meskipun begitu, tentunya sebuah karya
keilmuan tidak ada yang sempurna, sebab hakekatnya ilmu akan terus berkembang.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar kedepannya makalah
yang kami buat lebih baik lagi.

Banjarmasin, Oktober 2019


Tim Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan .......................................................................... 2
E. Metode Penulisan ........................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3


A. Negara dan Teori-Teori Pembentuknya ......................................... 3
B. Unsur-Unsur Negara dan Sifatnya .................................................. 8
C. Tujuan dan Fungsi Negara ............................................................. 13
D. Suprastruktur dan Infrastruktur Pendukung ................................... 16
E. Masalah-Masalah Kenegaraan di Indonesia ................................... 22

BAB III PENUTUP .................................................................................. 23


A. Simpulan ........................................................................................ 23
B. Rekomendasi .................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 25


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai oleh Proklamasi dan keinginan
untuk bersatu bersama, akan tetapi hal yang lebih penting adalah adanya UUD 1945
yang merumuskan berbagai masalah kenegaraan. Atas dasar UUD 1945 berbagai
struktur dan unsur Negara mulai ada. Bagaimana sebuah negara disebut sebuah
negara dan mengenai fungsi serta sifatnya tentu perlu kiranya dipahami sebagai
seorang mahasiswa dan warga negara Indoensia. Keberadaan sebuah negara bangsa
tentu tidak terlepas dari sebuah konstitusi yang mengaturnya di Indonesia kita
mengenalnya dengan Undang Undang.
Undang-undang dibuat harus sesuai dengan keperluan dan harus peka
zaman, artinya aturan yang dibuat oleh para DPR kita sebelum di sahkan menjadi
undang-undang sebelumnya harus di sosialisasikan dahulu dengan rakyat, apakah
tidak melanggar norma-norma adat atau melanggar hak-hak asasi manusia. Salah
satu bukti bahwa undang-undang yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
zamannya adalah undang-undang dasar 1945. Dengan mengalami empat kali
perubahan yang masing-masing tujuanya tidak lain hanya untuk bisa sesuai dengan
kehendak rakyat dan bangsa kita, dalam arti bisa mewakili aspirasi rakyat yang
disesuaikan zamannya.
Dalam praktek bernegara, pembagian kekuasaan dalam negara (sharing of
power) merupakan suatu hal yang tak terelakan, bahkan pembagian kekuasaan itu
tidak dapat dipisahkan dengan esensi hidup bernegara atau tujuan didirikannya
Negara adanya suprastruktur dan infrastruktur beserta komponen didalamnya
menjadikan tumbuhnya dinamika dalam bernegara sehingga permsalahan yang ada
dinegara ini pun tentu mulanya dari adanya ketidak sesuaian mengenai peraturan
yang ada dengan kondisi realita dilapangan.

B. Rumusan Masalah
Mengacu pemaparan latar belakang, ditetapkan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:

1
1. Bagaimana konsep dan teori pembentukan negara?
2. Bagaimana unsur-unsur pembentukan negara serta sifat-sifat khusus
negara?
3. Bagaimana tujuan pendirian negara dan fungsi-fungsinya?
4. Bagaimana suprastruktur dan infrastruktur pendukung kedudukan negara?
5. Bagaimana gambaran permasalahan kenegaraan di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Sebagaimana rumusan masalah yang ditetapkan, maka tujuan penulisan
makalah ini, yaitu:
1. Menjelaskan berbagai konsep negara dan teori-teori pembentukannya.
2. Menguraikan unsur-unsur negara dan sifat-sifat khususnya.
3. Mendeskripsikan tujuan pendirian negara dan fungsi-fungsi negara.
4. Mendeskripsikan suprastrutktur dan infrastruktur pendukung negara.
5. Mengambarkan masalah-masalah kenegaraan di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan
Setelah mengetahui tujuan dari penulisan makalah, diharapkan nantinya
akan bermanfaat bagi:
1. Penulis; sebagai pemenuhan tugas yang dipersyaratkan untuk kelulusan
mata kuliah Konstitusi, HAM, dan Demokrasi.
2. Pembaca; bahan bacaan untuk menambah wawasan mengenai konsep
negara baik pengertian, sifat, tujuan, fungsi, suprastruktur, dan infrastruktur.
Demikian juga tentang masalah-masalah kenegaraan di Indonesia.

E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam menulis makalah adalah studi kepustakaan,
dimana secara berkelompok penulis mengkaji berbagai literatur yang relevan
dengan topik pembahasan. Literatur tersebut terdiri atas buku, jurnal ilmiah, artikel
online, maupun arisp-arsip tentang kenegaraan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Negara dan Teori-Teori Pembentuknya


1. Pengertian
Negara berasal dari kata dalam bahasa latin “status” atau “statum” yang
berarti keadaan tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat tegak dan tetap.
Kata “status” atau “statum” diserap ke dalam bahasa Inggris “standing” atau
“station” yang berarti kedudukan --berhubungan dengan kedudukan persekutuan
hidup manusia sebagaimana istilah “status civitatis” atau “status republicae”--.
Beberapa abad sebelum Masehi, para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles sudah memperkenalkan teori tentang negara. Telaah mereka mengenai
konsep negara hingga dekade ini masih tetap berpengaruh, walaupun sebenarnya
mereka menggambarkan negara hanya meliputi lingkungan kecil, yaitu lingkungan
kota atau negara kota yang disebut “polis”. Hal ini tertuang dalam karya para filsuf
tersebut dalam bentuk buku berjudul Politeia (soal-soal negara kota), Politicos (ahli
polis, ahli negara kota), dan Politica (ilmu tentang negara kota). Kata negara juga
terdapat dalam bahasa Sansekerta “nagari” atau “nagara” yang artinya kota.
Sejak kata “negara” diterima secara umum yang menunjukkan organisasi
teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara pun mengalami berbagai
pemahaman tentang hakikat dirinya. Secara etimologi, negara adalah organisasi
tertinggi diantara satu kelompok masyarakat pada suatu wilayah yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, kekuatan politik, dan berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya (KBBI, 2007:777; Martasuta, 2018; Windi et.al.,
2017:6). Kelsen (dalam Starke, 1989:128) menekankan bahwa negara merupakan
suatu gagasan teknis semata-mata yang menyatakan fakta bahwa serangkaian
kaidah hukum tertentu mengikat sekelompok individu yang hidup dalam suatu
wilayah teritorial terbatas. Lebih lanjut, Rifai (2010:3) mengatakan bahwa negara
adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat. Selain beberapa ahli di atas yang mengemukakan pendapat mengenai
istilah negara, masih terdapat berbagai ahli yang mendefinisikan konsep negara.

3
Para ahli dengan sudut pandangnya masing-masing memberikan pengertian
yang beragam mengenai konsep negara. Pemikiran yang beragam tersebut tentunya
memberikan tambahan wawasan dan khazanah pengetahuan untuk memahami
istilah negara. Ada yang memandang negara sebagai institusi sosial dan kenyataan
sosial, ada juga yang memandang secara organis, yakni memandang negara sebagai
organisasi yang hidup dan mempunyai kehidupan sendiri yang dalam berbagai hal
menunjukkan adanya persamaan dengan manusia sebagai makhluk hidup, adapula
yang memandang negara sebagai ikatan kehendak dan golongan-golongan, negara
dipandang sebagai sejumlah besar kehendak yang diikat menjadi satu kehendak
(Usman, 2015:3). Guna memudahkan memahami istilah negara, maka pengertian
negara dikelompokkan dalam beberapa tinjauan, yaitu:
1. Sebagai organisasi kekuasaan; pengertian ini dikemukakan oleh Logemann
(dalam Busroh, 1990:25-26) dan Harold J. Laski (dalam Kusnadi dan Saragi,
1985:48), menyatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan yang
bertujuan mengatur masyarakatnya. Pada hakikatnya merupakan suatu tata
kerjasama untuk membuat suatu kelompok manusia berbuat atau bersikap
sesuai dengan kehendak negara.
2. Sebagai organisasi politik; Roger H. Soltou dalam bukunya “The Modern State”
mengatakan bahwa negara adalah persekutuan (asosiasi) manusia yang
menyelenggarakan penertiban masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan
sistem hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah, dilengkapi dengan
kekuasaan yang memaksa. Lebih lanjut, R.M. Maclver (1959:38) memaparkan
bahwa walaupun negara merupakan persekutuan manusia, akan tetapi
mempunyai ciri khas yang digunakan untuk membedakan antara negara dengan
persekutuan manusia lainnya. Ciri khas tersebut adalah kedaulatan dan
keanggotaan negara bersifat mengikat da memaksa. Sebagai organisasi politik,
negara mempunyai 2 (dua) tugas, yaitu (a) mengendalikan dan mengatur gejala-
gejala kekuasaan yang asosial agar tidak menjadi antagonisme yang
membahayakan; dan (b) mengorganisir dan mengitegrasikan kegiatan manusia
dan golongan-golongan ke arah terciptanya tujuan masyarakat seluruhnya.
Dengan demikian, dari sudut pandang politik, negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hubungan antar

4
manusia dan sekaligus menertibkan serta mengendalikan gejala-gejala
kekuasaan yang muncul dalam masyarakat, melalui kekuasaan dan
wewenangnya hendak mewujudkan suatu tujuan demi kepentingan umum.
3. Sebagai organisasi kesusilaan; Friedrich Hegel mengemukakan, negara adalah
organisasi kesusilaan yang timbul sebagai sintesa antara kemerdekaan universal
dengan kemerdekaan individu, dimana setiap individu menjadi bagian dari
negara, sehingga kekuasan tertinggi terletak pada negara. Ini mengisyaratkan
bahwa negara berhak mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, sedangkan individu yang menghuninya tidak dapat berbuat sesuai
kehendaknya sendiri.
4. Sebagai integritas antara pemerintah dan rakyat; tinjauan ini dikemukakan oleh
Prof. Soepomo. Beliau membagi pengertian negara dalam 3 (tiga) teori, antara
lain:
a. Teori perseorangan (individualistik); negara adalah suatu masyarakat
hukum yang terbentuk atas perjanjian antar individu yang menjadi
anggota masyarakat, diarahkan untuk mewujudkan kepentingan dan
kebebasan pribadi. Penganjur teori ini ialah Harold J. Laski, Herbert
Spencer, Jean Jacques Rousseau, John Locke, dan Thomas Hobbes.
b. Teori golongan (kelas); negara merupakan alat dari suatu golongan yang
mempunyai kedudukan ekonomi paling kuat untuk menindas golongan
lain yang kedudukan ekonominya lebih lemah. Teori ini diinspirasi oleh
Karl Frederich Engels, Karl Marx, dan Lenin.
c. Teori integralistik (persatuan); negara adalah susunan masyarakat yang
integral, era antara semua golongan, semua bagian dari seluruh anggota
masyarakat merupakan persatuan masyarakat yang organis. Negara
integralistik yang terbentuk hendaknya mengatasi paham perseorangan
ataupun golongan dan juga mengutamakan kepentingan umum sebagai
satu kesatuan. Teori ini diajarkan oleh Adam Muller, Benedictus de
Spinoza, dan Friedrich Hegel.
Melalui berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi negara
prinsipnya bersifat dinamis. Berbagai ahli mengartikan negara secara berbeda-beda
menurut kondisi masanya masing-masing. Namun secara universal, negara dapat

5
diartikan sebagai organisasi yang sangat besar meliputi wilayah, penduduk, dan
pemerintahan yang berdaulat; menguasasi dan mengatur setiap komponen
kehidupan masyarakatnya.

2. Teori-Teori Pembentukan Negara


Sebuah negara tidak serta merta berdiri, terdapat proses yang dilalui untuk
mendirikan atau membentuk suatu negara. G. Jellinek (dalam Johan, 2018:39)
memaparkan bahwa terdapat dua tahapan pembentukan negara, yaitu primer dan
sekunder. Pada tahap primer, negara terbentuk dimulai dari adanya persekutuan
antar kelompok membentuk masyarakat hukum yang sederhana, kemudian
bertransformasi menjadi negara modern --tidak dihubungkan dengan negara yang
telah ada sebelumnya--. Lebih lanjut, Jellinek menguraikan beberapa fase
terjadinya negara, antara lain (a) Persekutuan masyarakat (Genootscahft), di sini
masyarakat hidup berkelompok atau membentuk persekutuan dengan kedudukan
yang sama untuk mengurus kepentingan bersama atas dasar persamaan, dipimpin
oleh seseorang yang dipilih secara primus interpares atau yang utama dari lainnya;
(b) Kerajaan, pada fase ini kelompok-kelompok masyarakat yang telah terbentuk
saling menaklukkan satu sama lain dan memperluas lingkup wilayahnya, yang
kalah kemudian akan menjadi bagian dari kelompok pemenang, lama-kelamaan
kelompok pemenang semakin besar dan pemimpinnya diangkat menjadi raja
sehingga muncul kerajaan, telah memiliki kesadaran untuk mengikuti sang
pemimpin atau raja yang memiliki hak milik dan hak atas tanah atau wilayah; (c)
Negara bersifat diktator, di sini pemerintah pusat mampu menundukkan daerah-
daerah dalam satu kekuasaan atau tersentralisasi, raja memegang kekuasaan mutlak
dan rakyat hanya tunduk terhadap perintah raja; dan (d) Negara demokrasi, fase ini
lahir atas reaksi rakyat terhadap kekuasaan raja yang sewenang-wenang, rakyat
kemudian berusaha mengambil bagian dalam mengendalikan pemerintahan,
memilih pemimpin, dan berdaulat.
Tahap sekunder merupakan tahap dimana negara terbentuk karena adanya
revolusi, intervensi dan penaklukan atas negara yang sebelumnya telah ada. Dalam
pembentukan negara secara sekunder, pengakuan dari negara lain adalah hal yang
penting. Pengakuan dari negara lain dibagi menjadi tiga, yaitu (a) De facto atau

6
bersifat sementara, hal ini karena masih dipertanyakan statusnya sesuai prosedur
hukum; (b) De jure atau pengakuan seluas-luasnya, artinya negara telah terbentuk
berdasarkan yuridis atau sesuai prosedur hukum; dan (c) Pengakuan terhadap
pemerintahan de facto, berarti yang diakui hanya pemerintahannya saja, unsur-
unsur lain seperti bangsa dan wilayah masih belum diakui.
Selain dua tahapan yang dipaparkan oleh G. Jellinek di atas, terbentuknya
negara juga dapat ditinjau dari segi teoritis. Terdapat dua teori mengenai asal mula
pembentukan negara yang masing-masingnya membawahi beberapa teori, yakni
teori klasik dan teori modern. Teori klasik terbagi menjadi tiga, antara lain:
1. Teori hukum alam; menyatakan bahwa negara lahir secara alami. Dalam
kondisi ini, manusia yang dituntut untuk memenuhi kebutuhannya yang
beragam, hal ini membuat manusia berkumpul, membentuk hubungan
sosial, dan bertumbuh sebagai upaya mencapai kebutuhan hidupnya.
Penganut teori ini antara lain Aristoteles dan Plato.
2. Teori ketuhanan (theokrasi); menyatakan bahwa negara terbentuk atas
kehendak Tuhan, sama halnya dengan segala sesuatu yang terjadi di
alam. Teori ini, sesuai dengan ketentuannya, Tuhan yang menciptakan
negara dan negara dianggap perwujudan kehebatan Tuhan, bersifat
universal dan ditemukan di dunia timur maupun barat. Satu diantara
bukti-bukti dari teori ketuhanan terdapat dalam kalimat-kalimat yang
tercantum dalam Undang-Undang Dasar negara seperti “…Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa” atau “…By the grace of God”.
Penganut teori ini yang paling kentara ialah F.J. Stahl, dalam bukunya
berjudul ‘Die Philosophie des recht’ menyatakan bahwa negara tumbuh
melalu proses evolusi keluarga-bangsa-negara. Tidak tumbuh karena
kekuatan manusia, melainkan kehendak Tuhan.
3. Teori perjanjian (kontrak sosial); menyatakan bahwa negara terbentuk
dari hasil perserikatan rakyat yang memiliki kesamaan tujuan, yaitu
untuk melindungi hak-hak mereka bebas merdeka, melakukan kontrak
dan membangun pemerintahan di suatu wilayah (Rousseau, 2007:25).
Selain J.J. Rousseau, penganut teori ini antara lain Thomas Hobbes dan
John Locke.

7
Ditilik melalui teori modern, pembentukan negara didasarkan atas beberapa
kenyataan, antara lain (a) Penaklukkan, pembentukan negara di suatu daerah atau
wilayah yang sebelumnya kosong; (b) Peleburan, penggabungan dua negara atau
lebih menjadi satu negara baru yang berdaulat; (c) Penyerahan, suatu wilayah yang
sebelumnya milik suatu negara, kemuadian diserahkan kepada negara lain
berdasarkan perjanjian tertentu; (d) Penarikan, wilayah yang dijadikan hunian oleh
sekelompok masyarakat, wilayah ini terbentuk akibat naiknya daratan lumpur
sungai; (f) Proklamasi atau perjuangan, negara muncul karena adanya perlawanan
dan perjuangan bangsa yang tanah airnya dicaplok oleh bangsa lain dan
memproklamirkan negara baru; (g) Pendudukan, hal ini terjadi terhadap wilayah
yang berpenduduk, namun belum memiliki pemerintahan; (h) Pemisahan atau
separatis, artinya sebuah negara terbentuk karena memisahnya bagian wilayah dari
negeri lama dan membentuk pemerintahan baru; dan (i) Pencaplokan, artinya suatu
negara berdiri dengan menguasai wilayah negara lain tanpa reaksi yang berarti.

B. Unsur-Unsur Negara dan Sifatnya


1. Unsur-Unsur Pembentuk Negara
Pada hakikatnya, negara merupakan organisasi yang meliputi beberapa
unsur sebagai persyaratan pembentukannya. Unsur-unsur negara adalah bagian-
bagian pokok atau elemen-elemen esensial yang harus ada agar negara itu ada.
Mengacu hasil Konvensi Montevideo-Uruguay1 tahun 1993, terdapat dua unsur
pembentukan negara, yaitu unsur konstitutif dan deklaratif. Secara umum, unsur-
unsur tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Unsur konstitutif merupakan unsur pokok pembentuk negara (Daman,
1993:28; Windi et.al., 2017). Oppenhelmer Lauteroacht (dalam Sabon,
1992:15) memaparkan bahwa untuk dapat disebut sebagai negara, maka

1
Konvesi Montevideo adalah pertemuan yang diadakan di Montevideo (Ibukota Uruguay) pada 26
Desember 1993 antara negara-negara di kawasan Amerika. Melalui konvensi ini dihasilkan traktat
tentang hak dan tugas negara, termasuk didalamnya menjelaskan perihal unsur-unsur pembentukan
negara dan mencantumkan teori kenegaraan deklaratif. Sumber: Nurisya Egawati, “Penerapan Pasal
1 Konvensi Motevideo 1993 Terhadap Pengakuan Atas Negara Palestina: Tinjauan Menurut Hukum
Internasional,” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1990, hh. 29-33; Lihat juga
https://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Montevideo.

8
secara konstitutif harus memenuhi syarat antara lain penduduk yang
tetap, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat.
b. Unsur deklaratif merupakan unsur tambahan dari unsur-unsur pokok
pembentuk negara, mencakup pengakuan dari negara lain secara de
facto maupun de jure, tujuan negara, dan undang-undang dasar. Pada
masa sekarang unsur ini makin penting bagi negara.
Keempat unsur di atas yang tertuang dalam unsur konstitutif dan deklaratif
menjadi elemen dasar suatu negara. Pertama, penduduk yang menetap atau disebut
warga negara ialah orang-orang yang berdasarkan hukum menjadi anggota suatu
negara (Markijar, 2019). Penduduk yang menetap atau warga negara sangat
berperan dalam sebuah negara, karena secara konkret dengan adanya penduduk
tetap atau warga negara penting agar negara dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya
apabila penduduk berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain, maka tidak
termasuk unsur negara (Adolf, 1991:3). Berikut perbedaan antara penduduk, bukan
penduduk, warga negara dan bukan warga negara.
Tabel 1. Perbedaan-Perbedaan Individu dalam Pandangan Negara
Bukan Bukan Warga
Penduduk Warga Negara
Penduduk Negara
Warga negara
Bukan penduduk
Penduduk adalah adalah mereka
adalah mereka Bukan warga
mereka yang yang berdasarkan
yang berada di negara adalah
bertempat tinggal hukum
dalam wilayah mereka yang
tetap atau merupakan
negara, tetapi mengakui negara
berdomisili di anggota dari
tidak bermaksud lain sebagai
dalam wilayah negara (diakui
bertempat tinggal negaranya
negara (mentap) sesuai undang-
di negara tersebut
undang)

Kedua, wilayah ialah teritorial tertentu sebagai tempat kedudukan suatu


negara, dimana kekuasann berlaku atas rakyat yang bertempat tinggal di wilayah
tersebut (Wahjono, 1982:52-54; Djokosutono, 1982: 34-35). Wilayah merupakan
landasan materiil yang dipersyaratkan harus diakui, artinya di sana tidak ada
kekuasaan lain selain dari negara bersangkutan. Pada umumnya suatu negara
memiliki tiga wilayah, yaitu darat, laut dan udara. Oleh karenanya, penjelasan
mengenai batas-batas wilayah tersebut ditentukan melalui Konvensi Montevideo.
Perbatasan wilayah antar negara umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian

9
internasional. Negara menjalankan yurisdiksi teritorial atas orang dan benda yang
berada di dalam batas-batas wilayah itu.
Ketiga, yaitu pemerintahan yang berdaulat. Pemerintah adalah terjemahan
kata dari bahasa Inggris “Government” yang berarti nahkoda kapal. Dalam arti luas,
pemerintah merupakan gabungan dari badan-badan ketatanegaraan, terdiri atas
eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berkuasa memerintah di wilayah suatu
negara. C.F. Strong (2004:6) menerangkan istilah “Government” dalam beberapa
pengertian sebagai berikut.
a. Hakikatnya pemerintah adalah kekuasaan yang terorganisir atau suatu
organisasi yang diberikan hak untuk melaksanakan kekuasaan yang
berdaulat.
b. Dalam artian luas, pemerintah adalah sesuatu yang lebih besar daripada
kabinet. Pemerintah dalam pengertian ini tidak hanya terdiri dari
Presiden atau Perdana Menteri dan jajarannya, melainkan juga aparatur
di luar lingkungan pemerintah.
c. Pengertian yang lebih luas lagi, pemerintah meiputi kekuatan militer,
kekuasaan legislatif, kekuasaan finansial, dan kekuasaan penegakan
hukum yang dibentuk atas nama negara. Atau secara singkat dinyatakan
sebagai kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Lebih lanjut, pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas
memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuannya. Hal ini mengisyarakatkan
bahwa pemerintah seringkali menjadi personifikasi sebuah negara. Pemerintah
menegakan hukum, mengadakan perdamaian dan menyelaraskan kepentingan-
kepentingan yang bertentangan. Setiap individu yang tergabung dalam organisasi
politik yang disebut negara, diatur oleh pemerintah (Tim ICCE, 2004:47). Oleh
karenanya diperlukan pemerintahan yang berdaulat. Pemerintah yang berdaulat
memiliki arti bahwa pemerintah yang memegang kekuasaan tertinggi dan tidak
berada di bawah kekuasaan negara lain. Berkuasa baik ke dalam maupun ke luar,
maksudnya adalah:
a. Kekuasaan ke dalam, berarti seluruh rakyat dalam negara menghormati
dan mentaati kekuasaan pemerintah.

10
b. Kekuasaan ke luar, berarti pemerintah yang berkuasa di suatu negara
diakui dan dihormati oleh negara-negara lain.
Keempat, ialah pengakuan dari negara lain. Unsur ini bersifat tambahan
yang menerangkan adanya pendirian suatu negara baru yang merdeka didasarkan
hukum internasional. Melihat dari sudut hukum internasional, pengakuan
merupakan fakto penting, sebab (a) tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia
dari hubungan-hubungan internasional, (b) menjamin kelanjutan hubungan tersebut
dengan jalan mencegah kekosongan hukum yang merugikan, baik kepentingan
individu maupun hubungan antar negara. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
dalam unsur ini diperlukan kemampuan negara untuk mengadakan hubungan
dengan negara lain (Parthiana, 1990:57).
Secara umum, pengakuan dari negara lain terbagi menjadi dua, yaitu de
facto dan de jure. De facto diartikan sebagai pengakuan terbentuknya suatu negara
baru dikarenakan pada kenyataannya memang telah berdiri baik belum maupun
sudah sesuai dengan prosedur hukum internasional. Oleh karena perlu pengkajian
lebih mendalam, maka pengakuan ini bersifat sementara. Sedang de jure diartikan
sebagai pengakuan yang seluas-luasnya dan bersifat tetap terhadap terbentuknya
suatu negara dikarenakan telah berdasarkan yuridis atau ketentuan hukum (Rifai,
2010:62-63). Terdapat beberapa perbedaan perlakuan antara pengakuan secara de
facto dengan pengakuan secara de jure, yaitu:
a. Negara atau pemerintah dapat mengajukan mengklaim atas harta benda
yang berada dalam wilayahnya selama telah diakui secara de jure.
b. Wakil-wakil negara yang diakui secara de facto, secara hukum tidak
berhak atas kekebalan-kekebalan dan hak-hak istemewa diplomatik
secara penuh.
c. Sifatnya yang sementara membuat pengakuan de facto pada prinsipnya
dapat ditarik kembali.
d. Apabila suatu negara berdaulat yang diakui secara de jure memberikan
kemerdekaan kepada suatu wilayah jajahan, maka negara baru merdeka
tersebut juga diakui secara de jure.
Selain dua pengakuan langsung atas negara yang disebutkan di atas, terdapat
pula pengakuan atas pemerintahan de facto. Teori ini diciptakan oleh Van Haller

11
yang merupakan sarjana Belanda ketika melihat pola proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia. Maksud dari pengakuan atas pemerintahan de facto adalah
pengakuan yang hanya ditujukan kepada pemerintahan, sedangkan wilayah atau
negara masih belum diakui (Rifai, 2010:63).
Pengakuan terhadap negara baru dalam kenyataannya didasarkan lebih
kepada pertimbangan politik daripada hukum. Hal ini karena pertimbangan politik
lebih berpengaruh, pengakuan itu merupakan tindakan bebas dari negara lain yang
mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu yang terorganisasi secara politik, tidak
terikat dengan negara lain, dan berkemampuan menaati kewajiban-kewajiban
hukum iternasional dalam statusnya sebagai anggota masyarakat internasional.
Starke (1988:25) mengatakan bahwa tindakan pemberian pengakuan dapat
dilakukan melalui 2 (dua) hal, yaitu secara tegas dan secara tidak tegas. Secara tegas
(expressed), artinya pengakuan dinyatakan secara resmi baik berupa nota
diplomatik, pesan pribadi kepala negara maupun melalui menteri luar negeri,
peryataan parlemen, atau melalui traktat. Sedang tindakan tidak tegas (implied),
yaitu pengakuan yang ditampakkan melalui hubungan tertentu antara negara yang
mengakui dengan negara atau pemerintahan baru.

2. Sifat-Sifat Negara
Pada dasarnya negara sebagai organisasi mempunyai sifat-sifat khusus yang
merupakan cerminan dari kekuasaannya. Sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh negara,
tidak dimiliki organisasi lainnya. Miriam Budiarjo (2006:79) membagi sifat-sifat
khusus tersebut sebagai berikut.
a. Sifat memaksa; artinya negara memiliki kekuasaan untuk memaksa
masyarakatnya untuk tunduk kepada negara. Adanya sifat memaksa
terletak ketika negara membuat peraturan, kebijakan dan kodifikasi
hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, dengan tujuan menjaga
ketertiban. Apabila aturan tersebut dilanggar oleh masyarakat, maka
negara berhak menjatuhkan sanksi sesuai hukum yang berlaku, bahkan
secara sah dapat menggunakan kekerasan fisik. Instrumen atau alat
negara untuk memaksa masyarakat tunduk antara lain polisi, tantara, dan
berbagai penegak hukum lainnya.

12
b. Sifat monopoli; artinya negara memiliki hak untuk menguasai segala
sesuatu yang berada pada teritorialnya sesuai dengan tujuan bersama
dari masyarakat. Contohnya, sumber kekayaan alam yang terkandung di
atas maupun di dalam bumi dan laut.
c. Sifat mencakup semua (totalitas); artinya setiap perundang-undangan
berlaku secara menyeluruh tanpa kecuali.

C. Tujuan dan Fungsi Negara


1. Tujuan Negara
Setiap negara memiliki tujuannya masing-masing. Ini disesuaikan dengan
pandangan hidup rakyat dan landasan pandangan hidup yang bersumber pada nilai-
nilai luhur bangsa. Pada hakikatnya negara mempunyai tujuan menyelenggarakan
kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Tujuan negara merupakan pedoman
dalam menyusun dan mengendalikan alat perlengkapan negara serta mengatur
kehidupan rakyatnya. Aristoteles, Plato, Soltau, dan Laski (Windi et.al, 2017:36)
memiliki pandangan yang sama mengenai tujuan negara, yaitu untuk menciptakan
keadaan dimana rakyat sejahtera dan mampu mengungkapkan daya ciptanya. Lebih
lanjut, Nurmawati et.al (2017:37-40) memamparkan bahwa teori tujuan negara
umumnya digolongkan menjadi dua, yaitu teori tujuan negara klasik dan teori
tujuan negara modern.
a. Teori Tujuan Negara Klasik
Beberapa tokoh yang menganut teori tujuan negara klasik ialah Shang Yang,
Niccolo Macchiavelli, dan Dante Allegheire. Shang Yang adalah Menteri Tiongkok
yang hidup tahun 523-428 SM. Shang Yang dalam bukunya ‘A Classic of the
Chinese School of Law’ menjelaskan bahwa di dalam setiap negara terdapat subyek
yang selalu berhadapan dan bertentangan, yaitu pemerintah dan rakyat. Kalau yang
satu lemah maka yang lain menjadi kuat. Dalam konteks ini, idealnya pihak
pemerintah yang lebih kuat daripada rakyat sehingga mencegah munculnya
kekacauan dan anarkisme. Dengan demikian, tujuaan utama negara adalah suatu
pemerintahan yang berkuasa penuh atas rakyat.
Selanjutnya Niccolo Macchiavelli, seorang diplomat Italia yang hidup tahun
1429-1527 Masehi. Melalui bukunya berjudul ‘Il Principe’, ia mengatakan bahwa

13
negara bertujuan untuk memupuk kekuasaan guna mencapai kemakmuran rakyat.
Menurut Machiavelli, pemerintah harus selalu bersama agar tetap berada diatas
segala aliran yang ada, harus lebih berkuasa, dan kadang-kadang harus bersikap
sebagai sesuatu yang ditakuti rakyat. Yang terakhir ialah Dante Allegheire, seorang
filsuf dan penyair yang hidup tahun 1265-1321 Masehi. Melalui bukunya berjudul
‘Die Monarchia’ menjelaskan bahwa tujuan utama negara adalah menciptakan
perdamaian dunia, dengan jalan menciptakan undang-undang yang seragam bagi
seluruh umat manusia. Kekuasaan sebaiknya berada ditangan raja/kaisar supayua
perdamaian dan keamanan terjamin.
Dilihat dari pendapat beberapa ahli yang menganut teori tujuan negara
klasik di atas, dapat diketahui bahwa kuncinya ialah “kekuasaan” penuh berada
ditangan pemerintah, rakyat dituntut untuk mematuhi pemerintahan.
b. Teori Tujuan Negara Modern
Teori tujuan negara modern dianut oleh beberapa sarjana, antara lain
Immanuel Kant, Jacobsen dan Lipman, dan J. Barent. Immanuel Kant adala seorang
filsuf Jerman yang hidup tahun 1724-1804 Masehi melalui bukunya berjudul
‘Metaphysische Afangsrunde’ mengatakan bahwa manusia dilahirkan sederajat dan
segala kehendak, kemauan dalam masyarakat negara harus berdasarkan pada
undang-undang. Peraturan hukum harus dirumuskan secara tertulis dan menjadi
dasar pelaksanaan pemerintahan. Selain itu, perlu juga adanya pemisahan
kekuasaan dalam negara yang memiliki kedudukan sederajat dan saling
berhubungan satu sama lain. Menurut Kant, negara bertujuan untuk menegakkan
hak-hak dan kebebasan warga negara atau kemerdekaan individu.
Selanjutnya Jacobsen dan Lipman yang merupakan sarjana Belanda. Dalam
bukunya yang berjudul ‘Political Science’ membagi tujuan negara menjadi tiga
bagian, antara lain (a) pemeliharaan ketertiban, (b) memajukan kesejahteraan
individu dan kesejahteraan umum, dan (c) mempertinggi moralitas. Lebih lanjut, J.
Barent dalam bukunya ‘De Wetenschap der Politiek’ mengklasifikasikan tujuan
negara menjadi dua, yaitu:
1) Tujuan negara yang sebenarnya (asli dan utama), meliputi pemeliharaan
ketertiban dan keamanan serta pemeliharaan kesejahteraan umum.

14
2) Tujuan negara yang tidak sebenarnya, yaitu untuk mempertahankan kedudukan
kelas yang berkuasa.

2. Fungsi Negara
Negara sebagai bagian dari institusi terbesar memiliki fungsi yang besar
pula dalam mewujudkan tatanan sistem yang dibangunnya agar berjalan maksimal.
Keberadaan negara, seperti organisasi, didirikan guna memudahkan anggotanya
(rakyat) dalam mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Oleh karena itu, untuk
mencapai cita-cita bersama, negara memiliki fungsi-fungsi pendorong. Seperti
diketahui bahwa tujuan negara tidak akan tercapai jika fungsinya tidak dijalankan.
Fungsi di sini merupakan upaya atau kegiatan negara untuk mengubah harapan
(tujuan) menjadi kenyataan. Selain itu, fungsi negara juga diartikan sebagai
dinamika negara dengan segala aktivitas, peran yang dimainkan dalam mencapai
tujuan. Menurut Charles E. Merriam, fungsi negara adalah keamanan ekstern,
ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, dan kebebasan. Sedang R.M.
MacIver memiliki pandangan bahwa negara berfungsi menertibkan, memberi
perlindungan, pemeliharaan, dan perkembangan. Lebih lanjut, Rifai (2010:14)
menguraikan beberapa fungsi negara, yaitu:
a. Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat. Negara yang sukses dan maju
adalah yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi
ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
b. Melaksanakan ketertiban. Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang
kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang
didukung penuh oleh masyarakat.
c. Pertahanan dan keamanan. Negara harus bisa memberi rasa aman serta
menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam
maupun dari luar.
d. Menegakkan keadilan. Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan
sebagai tempat warganya meminta keadilan disegala bidang kehidupan.
Muhammad Junaidi dalam bukunya ‘Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal
Negara Hukum’ berpendapat bahwa fungsi sebuah negara menjadi penentu dari
terbentuknya negara tersebut. Baik dalam bentuk Monarki absolut, Aristokrasi atau

15
ologarki absolut maupun Demokrasi absolut, negara dituntut untuk memerankan
fungsinya sebagaimana ideologi yang dianutnya dalam menjalankan karakter yang
dimiliki sejak pembawaannya (Junaidi, 2016:15). Pendapat lainnya disampaikan
oleh Wirjono (dalam Semma, 2008:15-16), ia mengatakan bahwa fungsi negara
tidak lepas dari tiga proporsi, yaitu masyarakat tertentu, wilayah tertentu, dan
pemerintahan berwibawa yang menjalankan roda aturan pada masyarakat yang
bermukim di dalam negara. Menilik dari aspek hukum, fungsi yang dapat
dijalankan oleh negara dipertegas dengan dua hal, yaitu sarana kontrol sosial dan
sarana untuk melakukan social engineering (Rahardjo, 1980:117).

D. Suprastruktur dan Infrastruktur Pendukung


Sistem kenegaraan tentu tidak bisa dipisahkan dengan adanya sistem politik
mengenai hal tersebut jika mengutif dari pendapat Soemantri (2014:3), bahwa
sistem politik adalah kelembagaan dari hubungan antar manusia yang berupa
hubungan antara suprastruktur dan infrastruktur politik. Sedangkan Almond dan
Coleman (dalam Anggara, 2013:44) membedakan struktur politik atas infrastruktur,
terdiri dari struktur politik masyarakat, suasana kehidupan politik masyarakat, dan
sektor politik masyarakat; dan suprastruktur politik terdiri atas sektor pemerintahan,
suasana pemerintahan, dan sektor politik pemerintahan.
Suprastruktur adalah struktur pemerintahan yang memiliki kewenangan
untuk mengambil kebijakan. Yang termasuk pada suprastruktur politik adalah
lembaga negara yang menjadi alat kelengkapan negara dan menyelanggarakan
negara. Montesquieu dengan teori Trias Politika membagi suprastruktur negara
menjadi (a) Legislatif yang berfungsi membuat peraturan, (b) Eksekutif yang
berfungsi melaksanakan peraturan, dan (c) Yudikatif yang berfungsi sebagai
peradilan. Sarbaini dan Akhyar (2013:188) mengemukakan bahwa lembaga dalam
lingkup suprastruktur tersebut tidak terpisah atau bisa dikatakan berhubungan satu
sama lain. Hal ini karena dalam melaksanakan aktivitas kekuasaan diperlukan
kerjasama dari ketiga lembaga. Pertama kekuasaan legislatif, berisi orang-orang
yang bertugas mewakili rakyat dan berwenang dalam membuat undang-undang
sebagai panduan dalam menjalankan aktivitas bernegara. Kedua ialah kekuasan
eksekutif, lembaga pengelola pemerintah yang menjalankan kebijakan

16
sebagaimana telah diatur oleh undang-undang. Ketiga ialah kekuasaan yudikatif,
lembaga penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam sistem kenegaraan, selain suprastruktur yang terdiri atas lembaga-
lembaga resmi pemerintahan, terdapat pula insfrastruktur politik. Secara harfiah
infrastruktur diartikan sebagai prasarana atau prasyarat agar sarana yang dimaksud
dapat berjalan. Infrastruktur juga diartikan sebagai struktur politik kemasyarakatan,
ini lebih mengarah kepada pengelompokkan warga negara sebagai kekuatan politik
dalam masyarakat. Selain itu, infrastruktur pun diartikan sebagai kehidupan politik
rakyat ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut kekuatan sosial
politik (Suprayogi et.al., tt:135). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
infrastruktur politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dalam aktivitasnya dapa mempengaruhi,
baik langsung maupun tidak langsung kepada lembaga-lembaga kenegaraan dalam
menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing.
Dalam kehidupan politik masyarakat, infrastruktur politik memiliki fungsi
antara lain:
a. Sebagai pendidikan politik untuk meningkatkan pengetahuan politik
rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam
sistem politiknya. Sesuai dengan paham demokrasi atau kedaulatan
rakyat, rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi.
b. Mempertemukan kepentingan yang beranekaragam dan nyata-nyata
hidup dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pandangan, pendapat,
dan kepentingan yang berbeda-beda tergantung pada keadaan atau
lingkungan yang mempengaruhinya. Pendapat, aspirasi, pandangan
yang berbeda-beda tersebut, diusahakan dapat ditampung dan digabung
dengan aspirasi dan pendapat yang senada.
c. Sebagai agregasi kepentingan, yaitu menyalurkan segala hasrat/aspirasi
dan pendapat masyarakat kepada pemegang kekuasaan atau pemegang
kekuasaan yang berwenang agar tuntutan atau dukungan menjadi
perhatian dan menjadi bagian dari keputusan politik.
d. Menyeleksi kepemimpinan dengan menyelenggarakan pemilihan
pemimpin atau calon pemimpin bagi masyarakat. Penyelenggaraan

17
seleksi ini dilakukan secara terencana dan teratur berdasarkan hukum
kemasyarakatan dan norma serta harapan masyarakat.
e. Sebagai komunikasi politik dengan menghubungkan pikiran politik
yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi,
asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor
pemerintah.
Infrastruktur politik memiliki bentuk bermacam-macam, antara lain partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa, dan lembaga-
lembaga lainnya (Tim Pengembang Modul, 2017:3).
a. Partai politik
Partai Politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama (Budiardjo, 2006:160-
161). Carl J. Friedrich (dalam Tim Pengembang Modul, 2017:3) menerangkan
bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut dan mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partai kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materi. Parta politik
berfungsi (1) sebagai sarana komunikasi, menyalurkan aneka ragam pendapat dan
aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran
pendapat dalam masyarakat berkurang; (2) sebagai sarana sosialisasi politik,
dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana
seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik. Biasanya
proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai
dewasa. Selain itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana
masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke
generasi berikutnya; (3) sebagai sarana rekrutmen, partai politik melakukan
seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk
melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan
pemerintahan pada khususnya; (4) sebagai wadah parsitipasi politik warga negara
dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan
dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan; (5) pemandu kepentingan,
melakukan kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai

18
kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi beberapa alternatif
kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik; (6) komunikasi politik, meyampaikan informasi
mengenai politik dari pemerintah kepada rakyat atau sebaliknya; dan (7)
pengendalian konflik, mengendalikan konflik melalui dialog dengan pihak yang
berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan, dan
membawa permasalahan dalam musyawarah dengan badan perwakilan rakyat
untuk mendapat penyelesaian berupa kepuitusan politik
b. Kelompok Kepentingan (Interest Group)
Kelompok kepentingan adalah kelompok yang bertindak karena adanya
suatu kepentingan bagi kelompok tersebut. Dapat dipahami sebagai suatu
organisasi yang terdiri dari sekelompok individu yang mempunyai kepentingan,
tujuan, dan keinginan yang sama. Mereka melakukan kerjasama untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah demi tercapainya tujuan. Almond dan Powell
dalam bukunya ‘Comparative Politics Today: A World View’ (dalam Rahman,
2007:88) membagi kelompok kepentingan dalam 4 (empat) kategori, yaitu:
1) Anomik; kelompok ini muncul secara kebetulan, bersikap informal,
muncul karna adanya isu tertentu, anggotanya muncul dan menghilang
tidak tertentu, bekerja tidak teratur. Contohnya kaum buruh yang dipecat
dari perusahaan, berdemo untuk dipekerjakan kembali, setelah aspirasi
terpenuhi maka akan menghilang.
2) Non-asosiasional; kelompok yang bersifat informal, memiliki suatu
lembaga atau organisasi yang agak sedikit mapan, anggotanya berasal
dari faktor keturunan dan tidak ada unsur memilih untuk menjadi
anggota. Contohnya persatuan warga Bugis di Banjarmasin.
3) Institusional (kelembagaan); kelompok yang memiliki suatu organisasi
yang telah mapan, kegiatan yang teratur, jaringan organisasi yang luas,
tujuan organisasi yang luas, kepemimpinan yang terseleksi. Contohnya
TNI, Polri, dan lain sebagainya.
4) Asosiasional; kelompok yang dibentuk mewakili kepentingan kelompok
khusus atau spesifik, memiliki lembaga yang mapan, menggunakan
tenaga professional, memiliki prosedur yang teratur untuk merumuskan

19
kepentingan dan tuntutan, kepemimpinan yang terseleksi dan tujuan
yang bersifat khusus. Contohnya Asosiasi Dosen Indonesia (ADI),
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan lain sebagainya.
Bedanya dengan partai politik, kelompok kepentingan tidak berusaha
menempatkan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan rakyat dan memiliki orientasi
yang lebih sempit (Budiardjo, 2006:162).
c. Kelompok Penekan (Pressure Group)
Kelompok penekan adalah suatu dalam masyarakat yang melakukan suatu
tindakan yang bertujuan untuk membuat pemerintah melakukan segala sesuatu
sebagaimana yang mereka tuntutkan (Bambang et.al., 2007:177). Kelompok ini
sangat penting peranannya di dalam negara demokrasi. Peran kelompok-kelompok
penekan pada dasarnya telah membuka wacana pendewasaan politik yang riil,
dengan tetap diiringi oleh kelompok-kelompok politik yang lain, yang juga dapat
berperan tidak hanya sebagai kekuatan penekan, tetapi juga kendali sosial,
pendidikan politik dan pembangunan kesadaran. yang berasal dari beragam
kalangan di masyarakat. Beberapa kelompok penekan tersebut diantaranya
lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media
massa, organisasi-organisasi kemahasiswaan di lingkungan internal dan eksternal
kampus, organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga-lembaga serikat buruh,
partai-partai politik, dan lain sebagainya.
Satu contoh kelompok penekan adalah kekuatan mahasiswa. Mahasiswa
dapat memberikan tuntutan tertentu kepada pemerintah atau kelompok lain yang
dianggap tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. Tuntutan mahasiswa dapat
digunakan oleh pemerintah sebagai sarana untuk merefleksikan program
pembangunan yang dijalankannya.
d. Media Massa
Media massa adalah jenis media komunikasi massa yang secara khusus
didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-
hari, istilah ini sering disingkat menjadi media. Media massa modern antara lain
berbentuk koran (surat kabar), majalah, tabloit, liflet, radio, televisi, film layar
lebar, dan sebagainya. Media massa dibedakan antara media cetak dan media
elektronik. Namun keduanya yang terpenting adalah menjadi sumber informasi

20
bagi masyarakat dan untuk menyalurkan gagasan untuk konsumsi umum. Pada
umumnya media memiliki empat fungsi bagi masyarakat (Suprayogi, tt:136-137),
yaitu (1) fungsi pengawasan, penyediaan informasi tentang lingkungan; (2) fungsi
penghubungan, di mana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah; (3)
fungsi pentransferan budaya, adanya sosialisasi dan pendidikan; dan (4) fungsi
hiburan, baik yang berfungsi positif maupun fungsi negatif.
Lebih lanjut, setidaknya terdapat 6 (enam) peran dasar media sebagai suatu
sub sistem infrastruktur politik, antara lain:
1) Penyampai informasi; merupakan sarana penyampaian arus informasi
politik dari aktor politik maupun pemerintah kepada rakyat secara
meluas.
2) Penyalur aspirasi; sebagai sarana penyampai aspirasi dari rakyat kepada
pemerintah, yakni dari individu bagian dari rakyat kepada pemerintah
yang juga dapat diketahui oleh rakyat secara luas.
3) Penghubung pemerintah dan rakyat; merupakan salah satu jembatan
penghubung antara pemerintah dengan rakyat serta sebaliknya antara
rakyat dengan pemerintah.
4) Umpan balik; sarana memberikan umpan balik kepada apa yang menjadi
kebijakan pemerintah. Melalui media rakyat dapat memberikan
tanggapan atas kebijakan yang dikeluarkan apakah merugikan bagi
rakyat ataukah menguntungkan rakyat.
5) Sosialisasi politik; menjadi agen sosialisasi politik bagi rakyat. Bahwa
media sosialisasi politik dapat memberikan edukasi dan sosialisasi
kepada rakyat secara luas terkait dengan kebijakan ataupun problema
dan isu politik tertentu. Seperti saat pesta demokrasi atau pemilu media
memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan sosialisasi ke
pada masyarakat secara luas.
6) Kontrol sosial; bersama dengan rakyat sebagai pihak yang ikut memberi
pengawasan, kritik, dan memberi masukan kepada pemerintah.

21
E. Masalah-Masalah Kenegaraan di Indonesia
Indonesia yang merupakan negara republik dengan sistem pemerintahan
demokrasi memiliki berbagai masalah kenegearaan yang kompleks. Melalui
makalah ini kami paparkan beberapa permasalahan kenegaraan Indonesia versi
kami, dengan berdasarkan atas tinjauan dampak kelangsungan negara karena
permasalahan tersebut, sebagai berikut:
1. Disintegrasi bangsa; secara harfiah diartikan sebagai perpecahan suatu
bangsa menjadi bagian-bagian yang terpisah. Pada negara Indonesia,
kemungkinan terjadi disintegrasi cukup tinggi, ini disebabkan berbagai
macam etnis yang berada dalam lingkup Kebhinekaan Indonesia.
Keberagaman etnis ini menumbuhkan potensi konflik yang apabila tidak
dikelola dengan baik dapat menggangu persatuan, kesatuan dan
keutuhan bangsa. Terdapat beberapa kasus di Indonesia yang dapat
menyebabkan disintegrasi bangsa, antara lain (a) Isu rasialisme yang
terjadi pada masyarakat Wamena Papua yang disebabkan oleh ujaran
oknum di media sosial dan dihubung-hubungkan dengan Gerakan Papua
Merdeka; (b) Penggunaan media sosial sebagai wadah menyebarkan
berita palsu atau hoax, propaganda, pesan bernada hasutan maupun
provokasi terutama saat memasuki kontelasi politik perhelatan Pemilu
(Longgo, tt:40-41); (c) Munculnya organisasi-organisasi illegal yang
bertujuan melepaskan suatu daerah dari NKRI (Republik Maluku
Selatan --RMS--, Gerakan Aceh Merdeka --GAM--, Gerakan Fajar
Nusantara --GAFATAR--, dan lain sebagainya).
2. Korupsi; berasal dari bahasa Latin “corruptio” yang ditejermahkan
dalam bahasa Inggris “corruption”, artinya busuk; merusak; dan
menyuap (Mu’allifin, 2015:314). Bidari (tt:1) memaparkan bahwa
korupsi adalah penyelewengan tugas dan penggelapan uang negara atau
perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi memiliki
dampak besar terhadap kelangsungan negara, sebab mampu merusak
perekonomian negara, demokrasi dan kesejahteraan umum. Dalam
prakteknya, korupsi memiliki ciri antara lain (a) melibatkan lebih dari
satu orang atau biasa disebut berjamaah; (b) umumnya melibatkan

22
keserbarahasiaan; (c) melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbal balik yang selamanya dalam bentuk uang; dan (d) mereka yang
terlibat dalam korupsi selalu berusaha menyelubungi perbuatannya
dengan berlindung dibali pembenaran hukum, ini karena oknumnya
kebanyakan adalah jajaran orang penting pemerintahan negara
(Mu’allifin, 2015:316). Melihat pertimbangan di atas, sudah sewajarnya
jika korupsi dimasukkan dalam permasalahan utama kenegaraan.
3. Cyber war; diterjemahkan sebagai perang yang terjadi dalam dunia
internet. Isu ini dimasukkan dalam permasalahan kenegaraan Indonesia
dengan pertimbangan bahwa dengan memasuki dunia internet maka
membuat NKRI menjadi negara tanpa tapal batas. Hal ini akan menjadi
ancaman bagi warga negara maupun generasi muda. Menilik informasi
dari detikINET, anak-anak dan remaja amat rentan terhadap ganguan
dunia cyber seperti ajakan radikalisme, pornografi, bullying yang
menyebabkan merosotnya karakter luhur bangsa. Selain itu, adanya
dunia cyber membuat data pribadi tereksploitasi oleh kalangan luar.

23
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Definisi negara prinsipnya bersifat dinamis. Berbagai ahli mengartikan
negara secara berbeda-beda menurut kondisi masanya masing-masing. Pemikiran
yang beragam tentunya memberikan tambahan wawasan dan khazanah
pengetahuan untuk memahami istilah negara. Namun secara universal, negara dapat
diartikan sebagai organisasi yang sangat besar meliputi wilayah, penduduk, dan
pemerintahan yang berdaulat; menguasasi dan mengatur setiap komponen
kehidupan masyarakatnya.
Terdapat dua tahapan pembentukan negara. Pada tahap primer, negara
terbentuk dimulai dari adanya persekutuan antar kelompok membentuk masyarakat
hukum yang sederhana, kemudian bertransformasi menjadi negara modern. Sedang
tahap sekunder, negara terbentuk karena adanya revolusi, intervensi dan
penaklukan atas negara yang sebelumnya telah ada. Dalam pembentukan negara
secara sekunder, pengakuan dari negara lain adalah hal yang penting. Terbentuknya
negara juga dapat ditinjau dari segi teoritis. Terdapat dua teori mengenai asal mula
pembentukan negara yang masing-masingnya membawahi beberapa teori, yakni
teori klasik (hukum alam, ketuhanan, dan perjanjian) dan teori modern
(penaklukkan, peleburan, penyerahan, penarikan, proklamasi atau perjuangan,
pendudukan, pemisahan, pencaplokan).
Secara umum, unsur-unsur pembentukan negara terdiri atas unsur
konstitutif yang merupakan unsur pokok pembentuk negara; dan unsur deklaratif
merupakan unsur tambahan dari unsur-unsur pokok pembentuk negara, mencakup
pengakuan dari negara lain secara de facto maupun de jure, tujuan negara, dan
undang-undang dasar. Sedangkan sifat-sifat negara terbagi atas 1) sifat memaksa;
artinya negara memiliki kekuasaan untuk memaksa masyarakatnya untuk tunduk
kepada negara; 2) sifat monopoli artinya negara memiliki hak untuk menguasai
segala sesuatu yang berada pada teritorialnya sesuai dengan tujuan bersama dari
masyarakat; dan 3) sifat mencakup semua (totalitas); artinya setiap perundang-
undangan berlaku secara menyeluruh tanpa kecuali.

24
Teori tujuan negara umumnya digolongkan menjadi dua, yaitu teori tujuan
negara klasik dan teori tujuan negara modern. Kunci teori tujuan negara klasik ialah
“kekuasaan” penuh berada ditangan pemerintah, rakyat dituntut untuk mematuhi
pemerintahan. Sedangkan dalam teori tujuan negara modern, kuncinya ialah aturan
atau undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara, sehingga memberikan
batas kepada penguasa untuk berbuat sewenang-wenang. Keberadaan negara,
seperti organisasi, didirikan guna memudahkan anggotanya (rakyat) dalam
mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-
cita bersama, negara memiliki fungsi-fungsi pendorong. Seperti diketahui bahwa
tujuan negara tidak akan tercapai jika fungsinya tidak dijalankan. Adapun fungsi-
fungsi negara antara lain 1) mensejahterakan serta memakmurkan rakyat, 2)
melaksanakan ketertiban, 3) pertahanan dan keamanan, dan 4) menegakkan
keadilan.
Sistem kenegaraan tentu tidak bisa dipisahkan dengan adanya sistem politik
yang mendukungnya menjalankan negara. Sistem-sistem pendukung tersebut
terbagi menjadi dua, yaitu suprastruktur dan insfrastruktur. Suprastruktur adalah
struktur pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan,
terdiri atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan infrastruktur ialah segala
sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang dalam aktivitasnya dapa mempengaruhi, baik langsung maupun tidak
langsung kepada lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta
kekuasaannya masing-masing. Yang termasuk infrastruktur, yaitu partai politik,
kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa, dan lembaga-lembaga
lainnya.

B. Rekomendasi
Sebagai warga negara, pemahaman akan negara sangatlah penting. Selain
menjadikan kita sebagai orang yang “sadar” untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan bernegara. Kita juga dapat mengambil langkah antisipasi terhadap
berbagai permasalahan yang mungkin akan timbul untuk menghancurkan negara.

25
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 1991. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta:


Rajawali Press.
Anggara, Sahya. 2013. Sistem Politik Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Bambang dan Sugianto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: Penerbit
Grahadi.
Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Busroh, Abu Daud. 1990. Ilmu Negara. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Busroh, H. Abu Daud. 1990. Ilmu Negara, Cetakan pertama. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Daman, Razikin. 1993. Hukum Tata Negara: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo.
Djokosuntono. 1982. Ilmu Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Egawati, Nurisya. “Penerapan Pasal 1 Konvensi Motevideo 1993 Terhadap
Pengakuan Atas Negara Palestina: Tinjauan Menurut Hukum Internasional,”
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1990, hh. 29-33.
Johan, Teuku Saiful Bahri. 2018. Perkembangan Ilmu Negara dalam Peradaban
Globalisasi Dunia. Sleman: Penerbit Deepublish.
Junaidi, Muhammad. 2016. Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum.
Malang: Setara Press.
Kusnardi, Moh., dan Bintan R Saragih. 1994. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Maclver, R.M. 1974. The Nation and the United Nations (National Studies on
International Organization). California: Greenwood Publishing Group Inc.
Markijar, “Unsur-Unsur Negara (Menurut Konvensi Motevideo), Lengkap
Penjelasan” Artikel, diakses 27 September 2019 melalui laman
http://www.markijar.com/2017/06/5-unsur-unsur-negara-menurut-
konvensi.html
Martasuta, Umar Djani. 2018. “Negara, Bangsa dan Warga Negara”, Power Point
Presentation.
Nurmawati, Made., dan I Nengah Suantra. 2017. “Konsepsi Fundamental Negara”,
Bahan Ajar Ilmu Negara. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Parthiana, Wawan. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: CV. Mandar
Maju.
Rahardjo, Sadjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Rahman, A.H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rifai, Amzulian. 2010. Teori Sifat Hakikat Negara. Malang: Tunggal Mandiri
Publishing.
Rousseau, J.J. 2007. Du Contrac Social (Perjanjian Sosial), terjemahan oleh Nino
Cicero. Jakarta: Visimedia.

26
Sarbaini dan Zainul Akhyar. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
Tinggi. Banjarmasin: Laboratorium Pendidikan PPKN FKIP Universitas
Lambung Mangkurat.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor.
Soemantri, Sri. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia (Pemikiran dan Pandangan).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Starke, J.G. 1988. Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Sumitro L. S.
Danuredjo. Jakarta: PT Aksara Persada Indonesia.
Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan
Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan oleh SPA
Teamwork. Bandung: Kerjasama Penerbit Nuansa dengan Penerbit
Nusamedia.
Suprayogi, et.al. tanpa tahun. “Pendidikan Kewarganegaraan”, Modul Pendidikan
dan Latihan Profesi Guru PSG Rayon 1. Makasar: Universitas Negeri
Makasar.
Tim ICCE UIN Jakarta. 2004. Demorasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Tim Pengembang Modul. 2017. Wajah Demokrasi Kita, Modul Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Usman. “Negara dan Fungsinya (Telaah Atas Pemikiran Politik)”, Jurnal Al-
Daulah, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015; hh. 130-139.
Wahjono, Padmo. 1982. Negara Republik Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.
Windi, et.al. 2017. “Negara”, Makalah Pendidikan Kewarganegaraan. Manado:
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Manado.
Longgo, Yanuardi. Tanpa Tahun. “Ancaman Disintegrasi Bangsa Melalui
Pemanfaatan Media Sosial” Artikel, Universitas Terbuka.
Mu’allifin, M. Darin Arif. “Problematika dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”
Jurnal AHKAM, Volume 3, Nomor 2, November 2015; hh. 311-325.
Bidari, Ashinta Sekar. “Fenomena Korupsi Sebagai Patologi Sosial di Indonesia”
Artikel, tanpa tahun dan penerbit.

27

Anda mungkin juga menyukai