Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Ketuhanan Yang Maha Esa

Dosen Pengampu :
Dete Konggoro, M.I. Kom

Disusun Oleh :
Nadila Peratiwi (23531097)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
TAHUN AJARAN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya sehinggah saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi teman-teman.

Dalam penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan-kekurangan


baik pada teknis penulisan maupun materi secara keseluruhan, mengingat kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi
penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya saya ucapkan syukur dan berterimakasih kepada Bapak Dete Konggoro,
M.I. Kom karena telah memberikan tugas dan materi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
memberikan dampak baik baik kepada saya sehingga saya dapat mengerti apa yang
dimaksud dengan materi tersebut.

Curup, 8 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
C. Tujuan Masalah ....................................................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan ................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 6

A. Makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila .............................................. 6


B. Hubungan Antara Negara Dan Agama .................................................................... 1
C. Implementasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kehidupan .......................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 8

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 8
B. Saran ........................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan beragama di Indonesia secara yuridis mempunyai landasan yang
kuat sebagai mana termaktub dalam dasar negara maupun Undang- Undang Dasar
1945. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung prinsip bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama atau bukan negara yang berdasarkan
agama tertentu dan bukan pula suatu negara sekuler yang memisahkan agama dengan
urusan negara.

Indonesia memiliki falsafah negara Pancasila yang mengakui tentang


ketuhanan. Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara dan merupakan Indonesia
memiliki falsafah negara Pancasila yang mengakui tentang ketuhanan. Oleh karena
Pancasila sebagai dasar negara dan merupakan sumber dari segala sumber hukum,
maka apapun aturan atau hukum yang terbentuk harus mengacu pada nilai-nilai
Pancasila. Pengakuan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta
jaminan terhadap penduduk yang beragama dan menjalankan ibadah berdasarkan atas
agama atau kepercayaan itu, merupakan ciri negara berketuhanan Yang Maha Esa,
dengan demikian bahwa Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan
agama tertentu, juga bukan negara sekuler karena tidak memisahkan antara urusan
negara dan agama.1

Semua agama menghargai manusia. Oleh karena itu, semua umat beragama
wajib saling menghargai dan menghormati. Dengan demikian, dalam kehidupan
masyarakat hendaknya dikembangkan sikap bekerjasama antar-pemeluk agama
sehingga terbina toleransi umat beragama. Dari sikap toleransi itu akan terpancar
kerukunan hidup antar- umat beragama. Toleransi antar umat beragama tidak berarti
bahwa ajaran agama yang satu akan tercampur aduk dengan ajaran agama orang lain.
Disadari bahwa agama telah berhasil menembus batas-batas kesukuan, kedaerahan,
dan malah batas-batas kebangsaan. Terlihat bahwa agama mempunyai potensi

1
Budiyono, “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 8, No. 3, Juli-September 2014, hlm. 410-411
4
mempersatukan bangsa. Agama adalah pembawa damai yang menyokong
pembangunan. Namun sebaliknya agama dapat pula merupakan sumber pertentangan
yang dapat mengganggu kesatuan bangsa, kestabilan dan ketahanan nasional yang
diperlukan bagi pembangunan.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila?
2. Bagaimana hubungan antara negara dan agama?
3. Bagaimana implementasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa dalam konteks
Pancasila.
2. Untuk menjelaskan relasi antara negara dan agama.
3. Untuk menjelaskan bagaimana pengimplementasian sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam kehidupan

D. Manfaat Penulisan
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang makna Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam konteks Pancasila, korelasi antara negara dan agama serta cara
pengimplementasiannya dalam kehidupan kita sehari- hari.

2
Erman S. Saragih, “Analisis dan Makna Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Konteks
Pluralisme Agama di Indonesia”. Jurnal Teologi “Cultivation”, Vol. 2, No. 1, Desember 2017, hlm. 1-2.
5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila
Makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila memiliki kedalaman
filosofis dan nilai-nilai yang fundamental dalam konstitusi Indonesia. Ini adalah salah
satu dari lima sila yang menjadi dasar negara, dan makna ini adalah bagian integral
dari identitas negara Indonesia. 3

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menggambarkan prinsip-prinsip


keagamaan yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Ini berarti bahwa warga
Indonesia memiliki hak untuk memilih, mempraktikkan, dan menjalankan agama
mereka sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ini mencerminkan semangat
toleransi dan pluralisme dalam masyarakat Indonesia yang beragam.

Kedua, makna ini juga mencerminkan persatuan dalam keberagaman.


Indonesia adalah negara dengan beragam suku, agama, budaya, dan bahasa. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak semua warga negara, terlepas dari latar
belakang agama mereka, untuk bersatu demi pembangunan dan kemajuan bersama.
Ini adalah panggilan untuk meninggalkan perbedaan agama sebagai sumber konflik
dan menggantinya dengan semangat gotong royong dan persaudaraan.

Ketiga, Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan bahwa negara Indonesia


sendiri tidak memiliki agama resmi. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa
negara bersifat netral dalam hal agama dan tidak memberikan perlakuan khusus
kepada satu agama tertentu. Hal ini mendukung prinsip negara sekuler yang
memisahkan agama dari urusan pemerintahan.

Terakhir, makna ini menegaskan pentingnya nilai-nilai moral dan etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kita
akan prinsip-prinsip universal seperti keadilan, kasih sayang, dan toleransi yang harus
membimbing tindakan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

3Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Palangkaraya, “Butir-Butir Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila”.
6
Secara keseluruhan, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila adalah
fondasi dari keberagaman dan persatuan dalam negara Indonesia. Ini menghormati
kebebasan beragama sambil mendorong semua warga negara untuk hidup bersama
dalam harmoni dan saling menghormati. Makna ini adalah cerminan dari nilai-nilai
dasar yang menjadi landasan negara Indonesia yang adil dan beradab.

Dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, hendaknya


menjadi dasar para pemuka agama dalam menganjurkan kepada pemeluk agama
masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dipeluknya.
Pada sila pertama, negara wajib hukumnya untuk:

1. Menjamin kemerdekaan setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk


beribadah menurut agama dan kepercayaannya dengan menciptakan
suasana yang baik.

2. Memajukan toleransi dan kerukunan agama.

3. Menjalankan tugasnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagai


tanggung jawab yang suci.

Sila pertama, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung pengertian


bahwa bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menganut agama dan
menjalankan ibadah sesuai agama yang dianutnya. Pada sila pertama ini juga
mengajak manusia untuk mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang
antar sesama manusia Indonesia, antar bangsa, maupun dengan makhluk ciptaan
Tuhan yang lain. Berikut nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama Pancasila,
diantaranya:

1. Keyakinan terhadap adanya Tuhan yang Maha Esa dengan sifat- sifatnya
yang Mahasempurna.

2. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara menjalankan


semua perintah-Nya, dan sekaligus menjauhi segala larangan-Nya.

3. Saling menghormati dan toleransi antara pemeluk agama yang berbeda-


beda.

7
4. Kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.

Sejarah mengatakan bahwa Pancasila dasar Negara Kesatuan Republik


Indonesia (NKRI) lahir pada 1 Juni 1945. Pancasila lahir didasarkan pada pemikiran
tokoh proklamator yang tidak lain adalah Bung Karno. Mungkin banyak di antara kita
yang tidak mengetahui apa dasar pemikiran Bung Karno pada waktu mencetuskan ide
dasar negara hingga tercetuslah ide Pancasila. Dasar pemikiran Bung Karno dalam
mencetuskan istilah Pancasila sebagai Dasar Negara adalah mengadopsi istilah
praktek- praktek moral orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran Buddhisme.
Dalam ajaran Buddhisme terdapat praktek-praktek moral yang disebut dengan Panca
Sila (bahasa Sanskerta/Pali) yang berarti lima (5) kemoralan yaitu: bertekad
menghindari pembunuhan makhluk hidup, bertekad menghindari berkata dusta,
bertekad menghindari perbuatan mencuri, bertekad menghindari perbuatan berzinah,
dan bertekad untuk tidak minum minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan
menghilangkan kesadaran.

Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa
Sanskerta ataupun bahasa Pali. Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan
makna dari sila pertama ini. Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum
kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu,
atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam sudut pandang
bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah bermakna Tuhan
Yang Satu.

Kata “maha” berasal dari bahasa Sanskerta/Pali yang bisa berarti mulia atau
besar. Kata “maha” bukan berarti “sangat”. Jadi, salah jika penggunaan kata “maha”
dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar dapat berarti sangat
besar.

Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata “esa” bukan berarti
satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata “eted” yang lebih
mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this
– Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sanskerta

8
maupun bahasa Pali adalah “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah
jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka”, bukan
kata “esa”.

Setelah kita memahami hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari
Pancasila NKRI ternyata begitu dalam dan bermakna luas, tidak membahas apakah
Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila
pertama ini membahas sifat – sifat luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap
bangsa Indonesia. Sila pertama dari Pancasila NKRI ini tidak bersifat arogan dan
penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya pada satu Tuhan
saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya bagi banyak Tuhan, karena
yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat – sifat luhur /
mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka diri bagi
keberadaan agama yang juga mengerjakan nilai – nilai luhur dan mulia meskipun
tidak mempercayai adanya satu Tuhan.

Ketuhanan dalam Pancasila menjadi faktor transendental, unsur pembentuk


ilahi daru perinsip kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Berarti
ketruhanan dalam Pancasila sudah berimplikasi pluralism dan pluralitas. Ketuhanan
dalam Pancasila bukanlah teori ketuhanan, melainkan merupakan bagian hakiki
perjuangan Soekarno untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa, nation.

Tujuannya untuk membangun toleransi agama – agama dan kepedulian


terhadap isu – isu kemanusiaan yang dilandasi dengan akar – akar teologis yang kuat.
Bahkan Pancasila merupakan sistem kebudayaan. Artinya, Pancasiala medtinya
menjadi bagian dari laku budaya setiap kehidupan berbangsa. Melalui hasil cipta
karsa manusia terpresentasikan dalam pelbagi kehidupan, baik budaya, politik, dan
agama, Pancasila mesti menjadi kegiatan kebudayaan. Yakni, menjadi orientasi hidup
dan tujuan bagi kehidupan berbangsa. 4

4
Trisna Wulandari, “12 Contoh Penerapan Sila ke-1 Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari, Yuk
Lakukan!”.
9
B. Hubungan Antara Negara Dan Agama
Hubungan antara negara dan agama adalah isu yang kompleks dan bervariasi
di seluruh dunia. Hubungan ini mencerminkan sejauh mana agama memainkan
peran dalam kebijakan publik dan urusan negara. Ada beberapa model hubungan
antara negara dan agama, dan mereka dapat berbeda tergantung pada sistem politik,
budaya, dan sejarah masing-masing negara.

Pertama, dalam model negara sekuler, negara dan agama dipisahkan secara
tegas. Ini berarti negara tidak memiliki agama resmi dan tidak campur tangan dalam
urusan keagamaan. Kebebasan beragama dihormati, dan agama dianggap sebagai
masalah pribadi. Contoh negara yang mengikuti model ini adalah Prancis dan Turki,
di mana pemerintah berusaha untuk memisahkan agama dari kebijakan publik.

Kedua, ada model negara teokratis, di mana agama memainkan peran sentral
dalam struktur pemerintahan. Pemimpin agama atau otoritas agama memegang
kendali dalam pembuatan kebijakan dan penerapan hukum. Negara-negara seperti
Iran dan Arab Saudi adalah contoh dari model ini, di mana Islam adalah hukum
negara.

Ketiga, ada negara-negara dengan model campuran, di mana agama


memiliki pengaruh dalam urusan negara, tetapi negara juga memiliki kebijakan
sekuler. Misalnya, Amerika Serikat memiliki tradisi yang kuat dalam memisahkan
gereja dan negara, tetapi nilai-nilai agama masih memengaruhi politik dan
masyarakat dalam banyak hal.

Terakhir, beberapa negara mungkin mengakui satu agama tertentu sebagai


agama resmi atau mayoritas, tetapi juga memberikan perlindungan dan kebebasan
beragama bagi minoritas. Ini dapat menciptakan tantangan dalam mencapai
keseimbangan antara nilai-nilai demokratis dan kebebasan beragama. Contoh dari
negara dengan model seperti ini termasuk Indonesia, yang meskipun memiliki

1
Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan pluralisme, juga mengakui
Islam sebagai agama mayoritas.

Dalam semua model ini, penting untuk menjaga keseimbangan antara


kebebasan beragama individu dan kebijakan publik yang adil. Pengakuan terhadap
keberagaman agama dan nilai-nilai sekuler yang adil adalah kunci untuk
menciptakan hubungan yang seimbang antara negara dan agama dalam masyarakat
modern yang kompleks.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang


khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di
dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis, dan negara teokrasi. 4 Para pendiri bangsa
Indonesia menyadari bahwa ‘kausa materialis’5 negara Indonesia adalah pada
bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang
religius, yang mengakui adanya ‘Dzat Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan. Hal ini
merupakan ontologis bahwa manusia sebagai warga negara adalah makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.

Hubungan agama dan negara telah diperdebatkan sejak lama. Bahkan,


masalah ini dianggap pemicu pertama kalinya konflik intelektual dalam kaitannya
beragama dan bernegara. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama
senantiasa memilki hubungan negara. Hubungan agama dan negara mengalami
pasang surut. Ada suatu masa di mana agama dekat dengan negara atau bahkan
menjadi negara agama atau sebaliknya pada masa-masa agama mengalami
ketegangan dengan negara, dalam perjalanannya hubungan antara agama dengan
negara, tentu tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya atau politik yang
melatarbelakanginya.

Puncak hubungan negara dengan agama terjadi konsepsi Kedaulatan Tuhan


(theocracy) dalam pelaksanaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaulatan Tuhan
dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga raja adalah absolut yang

2
mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan. Kondisi tersebut
melahirkan gerakan sekulerisme yang berusaha memisahkan institusi negara dari
institusi agama, antara negara dengan gereja. 5

Sejarah hubungan agama dan negara di Indonesia selalu mengalami


perdebatan yang tidak pernah usai semenjak negara ini didirikan. Pembahasan
mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika rapat
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tetapi
sudah berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Perbedaan pandangan
mengenai hubungan negara dengan agama sudah dimulai sejak sebelum
kemerdekaan yakni perdebatan ideologis antara PNI dengan tokohnya Soekarno
yang mewakili kelompok nasionalis sekuler dengan kalangan Islam dengan
Tokohnya HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hasan, dan M. Natsir yang
mewakili kelompok nasionalis Islam.

Soekarno berbeda pandangan dengan M. Natsir mengenai masalah


hubungan agama dengan negara, Soekarno mendukung gagasan pemisahan agama
dengan negara. Menurut Soekarno, agama merupakan urusaan spritual dan pribadi,
sedangkan negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan. Oleh karena itu,
Soekarno berpendapat ajaran agama hendaknya menjadi tanggung jawab pribadi
dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak punya wewenang
mengatur apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya. Sementara Natsir
berpandangan sebaliknya yaitu tidak ada pemisahan antara negara dengan agama.
Menurut Natsir agama (Islam) bukan semata-mata mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur manusia dengan manusia. Natsir
beranggapan bahwa negara adalah lembaga, sebuah organisasi yang memiliki
tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma- norma khusus yang diakui umum.

5
Bahar, Saafrudin, Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945.
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992.

3
Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga (pendidikan, ekonomi, agama,
politik, keluarga), negara mencakup keseluruhan dan semua lembaganya, negara
mempersatukan lembaga-lembaga ini di dalam sistem hukum, mengatur masyarakat
yang berbeda-beda. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan
dan hukumnya.6

Dikotomi pemikiran mengenai masalah hubungan agama dengan negara


ternyata mendominasi perdebatan pemikiran di BPUPKI selama membahas dasar
Negara Indonesia. Perdebatan pemikiran di BPUPKI itu sebenarnya meneruskan
perdebatan yang sudah berlangsung sebelumnya antara dua kelompok ideologi
utama itu. Ideologi kebangsaan tampak dalam pandangan-pandangan
mempertahankan persatuan persatuan, kebangsaan, kekeluargaan, kerakyatan, dan
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut kemanusian yang adil dan beradab. Ideologi
Barat modern sekuler tampak dalam pandangan mereka yang menginkan
dipisahkannya urusan agama dengan negara sedangkan ideologi Islam tampak dari
pendapat yang menghendaki Islam yang menjadi dasar negara. Sehingga dalam
sidang BPUPKI dapat dikelompokkan secara ideologi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok sekuler (gabungan antara ideologi kebangsaan dan ideologi barat
modern) dan kelompok nasionalis Islam (gabungan antara antara ideologi
kebangsaan dan Islam). 7

Ada beberapa pandangan penting yang disampaikan tokoh dari kalangan


nasionalis sekuler. Mengenai perumusan dasar negara. Yang pertama pandangan
Muh. Yamin. Antara lain mengemukakan bahwa negara yang akan dibentuk adalah
suatu negara kebangsaan Indonesia yang sewajarnya dengan peradaban kita dan
menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan ke-Tuhanan.
Selanjutnya Muh Yamin mengajukan lima dasar negara, yaitu; Ketuhanan Yang

6
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan, 2008), hlm. 703
7
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1995), hlm. 107.

4
Maha Esa, Kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusian yang adil dan
bersadab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. 8

Kemudian Soepomo menyampaikan persetujuannya dengan pemikiran


Hatta, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara
dipisahkan dari urusan agama. Kemudian, Soepomo menegaskan pendirianya
bahwa negara yang hendak didirikan adalah negara nasional yang bersatu, yaitu
negara yang tidak akan mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar,
tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan menghormati keistimewaan
dari segala golongan, baik golongan yang besar maupun yang kecil. Dengan
sendirinya Soepomo, dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan
terpisah dari urusan agama dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang
bersatu itu urusan agama diserahkan kepada golongan- golongan agama yang
bersangkutan. Soepomo mengakui adanya perbedaan menyangkut hubungan negara
dengan agama. Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-
anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara
Islam, dan anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah
negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam,
dengan kata lain Indonesia bukan merupakan negara Islam seutuhnya. 9

Pendiri negara Indonesia nampaknya menentukan pilihan yang khas dan


inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan melalui
pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi
sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur

8
Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008),
hlm. 116
9
Saafrudin Bahar, Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945,
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992), hlm. 10-20.

5
rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras
agama nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja
bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia.

Negara demokrasi model barat lazimnya bersifat sekuler, dan hal ini tidak
dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia. Negara komunis lazimnya
bersifat atheis, yang menolak agama dalam suatu negara, sedangkan negara agama
akan memiliki konsekuensi kelompok agama tertentu akan menguasai negara dan di
Indonesia dalam hal ini Islam. Oleh karena itu, negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan suatu proses eklektis
inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
adalah khas dan nampaknya yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia.
Agus Salim menyatakan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan
pokok atau dasar dari seluruh sila-sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan pedoman dasar bagi kehidupan kenegaraan yang terdiri atas berbagai
elemen bangsa. Berdasarkan pandangan Agus Salim tersebut prinsip dasar
kehidupan bersama berbagai pemeluk agama dalam suatu negara Republik
Indonesia. Dalam kehidupan bersama ini negara maupun semua paham dan aliran
agama tidak dibenarkan masuk pada ruang pribadi akidah masing-masing orang.10

C. Implementasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kehidupan


Sesuai dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 memberikan kita petunjuk-
petunjuk nyata dan jelas bagaimana wujud pengimplementasian kita terhadap sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara sebagai berikut:

1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.

10
Mohamad Roem, dan Agus Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya Pancasila,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

6
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama & penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3. Saling hormat-menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.13

Selain 4 hal diatas, masih ada lagi beberapa contoh penerapan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya: (1) Tidak
mengganggu teman yang sedang beribadah di sekolah; (2) Mempersilakan teman
yang hendak beribadah saat belajar atau bermain bersama; (3) Menaati perintah
Tuhan Yang Maha Esa; (4) Tidak membeda- bedakan agama karena meyakini
semua agama murni adalah ajaran Tuhan; dan (5) Berbuat baik dan mulia sesuai
ajaran Tuhan.11

11
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Palangkaraya, “Butir-Butir Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila”.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sila pertama dari Pancasila NKRI begitu dalam dan bermakna luas, tidak
membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita selama ini,
tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat – sifat luhur mulia yang harus
dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila pertama dari Pancasila NKRI ini tidak
bersifat arogan dan penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang
percaya pada satu Tuhan saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya
bagi banyak Tuhan, karena yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini
adalah sifat – sifat luhur / mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang
dapat membuka diri bagi keberadaan agama yang juga mengerjakan nilai – nilai
luhur dan mulia meskipun tidak mempercayai adanya satu Tuhan.

Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar
negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas
berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah
diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan
bahwa agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara
dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga
negara dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram, dan
damai.

Wujud pengimplementasian kita terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa


dalam kehidupan bernegara diantaranya: (1) Percaya dan Takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) Hormat menghormati dan
bekerjasama antar pemeluk agama & penganut-penganut kepercayaan yang

8
berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. (3) Saling hormat- menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; dan (4)
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

B. Saran
Makalah ini memberikan pengetahuan umum terkait materi yang dibahas
dan untuk menambah wawasan serta pengetahuan yang lebih mendalam pembaca
dapat mencari referensi terkait materi ini. Saya berharap teman-teman dapat
memberikan saran agar saya dapat memperbaiki kesalahan yang terdapat didalam
Makalah yang telah dibuat, dan terima kasih atas semua partisipasi teman- teman
dalam persentasi kelompok ini.

9
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan, 2008.

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Palangkaraya, “Butir-Butir Pedoman


Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”.

Bahar, Saafrudin, Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei
1945-19 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992.

Budiyono, “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila”. Fiat Justisia Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 3, Juli-September 2014.

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta:


Pustaka Utama Grafiti, 1995.

Roem, Mohamad, dan Agus Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya Pancasila.
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

S., Arif, Falsafah Kebudayaan Pancasila: Nilai dan Kontradiksi Sosialnya. Jakarta:
Gramedia, 2016.

Saragih, Erman S., “Analisis dan Makna Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Konteks Pluralisme Agama di Indonesia”. Jurnal Teologi “Cultivation”¸Vol. 2, No.
1, Desember 2017.

Subekti, Valina Singka, Menyusun Konstitusi Transisi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,


2008.

Wulandari, Trisna, “12 Contoh Penerapan Sila ke-1 Pancasila dalam Kehidupan Sehari-
hari, Yuk Lakukan!”.

10

Anda mungkin juga menyukai