Anda di halaman 1dari 23

PANCASILA DAN AGAMA

MATA KULIAH: PANCASILA

DOSEN PENGAMPU: WILDAYANTI, S.H., M.H.

KELAS: 1-D PERBANKAN SYARIAH

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:

1. TRI IBNU RAMADHANU (0503221036)


2. DINA ISMAINI (0503221031)
3. LAURA NATASYA SARAGIH (0503222094)
4. NANDA MEYSHINTA (0503223130)
5. HERI YUNUS (0503223245)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pendidikan pancasila
tentang “Pancasila dan Agama”.

Adapun makalah pendidikan pancasila tentang “Pancasila dan Agama” ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin untuk disusun dengan rapi dan benar dan tentunya dengan
cara kerja kelompok sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini serta
menyelesaikannya tepat waktu dan kami sendiri mengapresiasi akan hal itu.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah “Pancasila dan Agama” ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah pendidikan pancasila tentang


“Pancasila dan Agama” ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan pemahaman terhadap pembaca.

Medan, November 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. I


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... II
BAB 1 .................................................................................................................................................... III
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. III
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................................................. III
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................................ IV
1.3 Metode Penelitian ........................................................................................................................ IV
1.4 Tujuan Pembahasan ..................................................................................................................... IV
BAB 2 ..................................................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 1
2.1 Hubungan Pancasila dan Agama................................................................................................... 1
2.2 Pancasila Menghadapi Perbedaan Agama .................................................................................... 5
2.3 Pancasila dan Kebebasan Dalam Beragama ............................................................................... 12
BAB 3 ................................................................................................................................................... 17
PENUTUP ............................................................................................................................................ 17
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 17
3.2 Saran ........................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA

II
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pancasila merupakan dasar Negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam suku dan budaya dan juga agama. Yang mana
ketika suatu bangsa memilki keberagaman khususnya agama maka akan banyak di temukan
permasalahan-permasalahan yang sulit untuk di selesaikan karena ini menyangkut soal
keyakinan.

Persoalan yang sering muncul adalah beberapa penganut agama tertentu memaksakan
kehendak mereka untuk mengganti ideology pancasila dengan ideology keyakinan mereka.
Bahkan ada yng menginginkan agar nergara Indonesia ini menjadi Negara yang
memberlakukan hukum agama tertentu. Hal ini tidak dapat terjadi karena rakyat Indonesia
memiliki beragam suku budaya dan agama, dengan demikian maka untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara hukum-hukumnya mengadopsi dari satu agama tidak akan tercapai
karena itu sama saja dengan memaksakan kehendak.

Pancasila sebagai dasar Negara merupakan harga mati yang tidak boleh di tawar lagi karena
dengan pancasila maka perbedaan suku agama dan budaya bangsa Indonesia bisa di
persatukan. Pancasila sebagai penengah dari perbedaan tersebut.

Sila pertama pancasila adalah ketuhanan yang maha esa. Artinya bahwa pancasila mengakui
dan menyakralkan keberadaan agama, tidak hanya islam namun juga termasuk Kristen.
Katolik, protestan, budha, konghucu, dan hindu sebagai agama resmi Negara pada saat ini.
Ketuhanan yang maha esa bukan berarti rakyat Indonesia harus sama memilki berkeyakinan
satu tuhan saja, tetapi maksud dari sila pertama ini adalah rakyat Indonesia harus memiliki
sifat-sifat luhur atau mulia(sifat-sifat tuhan) yaitu cinta kasih, kasih sayang, jujur, rela
berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya. Selanjutnya untuk lebih memahami dari
pernyataan-pernyataan benar diatas yang seharusnya dilakukan, maka disini penulis tertarik
mencoba untuk menterjemahkannya terlebih dahulu bagaimana mengakaitkan nilai-nilai
pancasila dengan agama agar menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat di pisahkan atau di
benturkan sebelum di implementasikan nantinya melalui dibuatnya sebuah penelitian dalam
bentuk makalah.

III
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa hubungan Pancasila dengan Agama ?
2. Bagaimana Pancasila dalam menghadapi perbedaan Agama ?
3. Seperti apa Pancasila dan kebebasan dalam Beragama !

1.3 Metode Penelitian


Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Untuk penulis mengerti mengenai penelitian kualitatif. Maka, Penelitian Kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menjelaskan suatu fenomena dengan


sedalam-dalamnya dengan cara pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang
menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti.

1.4 Tujuan Pembahasan


1. Untuk memahami hubungan Pancasila dan Agama.
2. Untuk memahami Pancasila dalam menghadapi perbedaan Agama.
3. Untuk memahami Pancasila dan kebebasan dalam Beragama.

IV
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Pancasila dan Agama


Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari
Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan
rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.Pancasila adalah pedoman luhur yang wajib di ta‟ati dan dijalankan oleh setiap
warga negara Indonesia untuk menuju kehidupan yang sejahtera
1
tentram,adil,aman,sentosa.

Agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha
kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 2

Maka dari dua pengertian diatas dapat kita pahami mengapa Pendiri negara Indonesia
menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya
dengan agama. Dengan melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen
moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan atas „Ketuhanan Yang Maha Esa‟. Mengingat kekhasan unsur-
unsur rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras,
agama dan budaya nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja
bentuk Negara sebagaimana yang ada di dunia.

Hal tesebut sesuai dengan apa yang dikatakan Ir. Soekarno 1 Juni 1945, ketika berbicara
mengenai dasar Negara (philosophische grondslag) menyatakan, “Prinsip Ketuhanan!
Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al
Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammmad SAW, orang Budha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.

1.
Aminullah, Pendidikan Pancasila dan Agama (Mataram: LPP Mandala), Jurnal Ilmiah Mandala Education,
Vol. 4, No. 1, 2018, ISSN. 2442-9511

2.
Kamus Besar Bahasa Indonesia

1
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan lelusa. Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya
Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa berpangkal pada satu keyakinan bahwa alam
semesta beserta isinya sebagai suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis adalah
hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Tuhan dan
akan kembali kepadaNya. Karena itu bertakwa dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah suatu kewajiban manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya. Manusia sebagai
mahluk ciptaan Tuhan adalah mahluk yang bermasyarakat artinya manusia memerlukan
manusia lainnya untuk hidup bersama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
kebersamaan itu, manusia dikodratkan memiliki kepribadian yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya. Keseluruhan kepribadian yang berbeda-beda itu mewujudkan
satu kesatuan dalam perbedaan dalam Lambang Negara Republik Indonesia, kodrat itu
dirumuskan dalam semboyan : “Bhinneka Tunggal ika”. Semboyan tersebut memberikan
pedoman bagi manusia dalam bermasyarakat untuk tetap mempertahankan eksistensinya
sebagai masyarakat maka manusia harus mengakui dan menghormati perbedaan yang ada
di masyarakat.

Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia nampaknya ditakdirkan memiliki
karakteristik, baik dalam konteks geopolitiknya maupun struktur social budayanya, yang
berbeda dengan bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, para founding father Republik ini
memilih dan merumuskan suatu dasar filosofi, suatu kalimatun sawa yang secara objektif
sesuai dengan realitas bangsa Indonesia, yaitu suatu dasar filsafat yang sila pertamanya
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, ditengah-tengah negara ateis, sekuler serta Negara
teokrasi. Perumusan dasar filosofi negara ini dalam suatu proses yang cukup panjang
dalam sejarah. Negara Indonesia dengan dasar filosofi „Ketuhanan Yang Maha Esa‟
memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan tipe negara ateis dan negara sekuler. Oleh
karena itu, dalam negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama
tidak dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis,
yuridis, dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.

2
Penerimaan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia menurut Mahfud, M.D. membawa
konsekuensi diterima dan berlakunya kaidahkaidah yang menuntun pembuatan kebijakan
Negara terutama politik hukum nasional. Selanjutnya menurut Mahfud, M.D. dari
Pancasila tersebut lahir sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun dalam pembuatan
politik hukum atau kebijakan negara lainnya, antara lain bahwa.Kebijakan umum dan
politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban.
Indonesia bukan negara agama sehingga tidak boleh melahirkan kebijakan atau politik
hukum yang berdasar atau didominasi oleh satu agama tertentu atau nama apapun; tetapi
Indonesia juga bukan negara sekuler yang hampa agama, sehingga setiap kebijakan atau
politik hukumnya haruslah dijiwai oleh ajaran berbagai agama-agama yang bertujuan
mulia bagi kemanusiaan. Kedudukan agama sebagai sumber hukum haruslah diartikan
sebagai sumber hukum materiil yakni bahan untuk dijadikan hukum formal.

Secara filosofis relasi ideal antara Negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau
memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam
pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat
individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama merupakan persoalan individu dan bukan
persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan
memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa
aman, tentram, dan damai. Akan tetapi, bagaimanapun juga manusia membentuk negara
tetap harus ada regulasi Negara khususnya dalam kehidupan beragama. Regulasi tersebut
diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi
tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat, ketertiban
masyarakat, etik dan moral masyarakat, kesehatan masyarakat, dan melindungi hak dan
kebebasan dasar orang lain. Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan
warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih
lanjut.

Secara yuridis Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum dalam sila pertama dan terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam ilmu hukum kedudukan Pembukaan UUD 1945
yang di dalamnya terkandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu
staatsfundamentalnorm dalam Negara Indonesia. Dalam pengertian ini Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan prinsip konstitutif maupun regulatif bagi tertib hukum Indonesia.
Dalam pengertian ini Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip konstitutif maupun

3
regulatif bagi tertib hukum Indonesia, sehingga merupakan suatu pangkal tolak derivasi
bagi tertib hukum Indonesia serta hukum positif yang berada di bawahnya.

Pancasila yang didalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum
kodrat, dan nilai hukum Tuhan merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum
positif Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkis. Dalam susunan yang
hierarkis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi di antara berbagai
peraturan perundang-undangan secara vertical maupun horizontal. Hal ini mengandung
suatu konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang
satu dengan lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi bila terjadi ketidaksesuaian,
maka norma hukum yang lebih rendah itu harus batal demi hukum.

bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini, secara
filosofismerupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara Indonesia
sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan
kesatuan bangsa dalam rangka mejamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin
hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan
dasar negara Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama agama di
Indonesia. Berdasarkan kenyataan itu, maka sebenarnya Ketuhanan Yang Maha Esa, sama
sekali bukan merupakan suatu prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama
melainkan suatu prinsip hidup bersama dalam suatu negara, dari berbagai lapisan
masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbedabeda. Hal ini dimaksudkan
untuk menciptakan kehidupan manusia yang bermartabat dan berkeadaban. Oleh karena
itu, dalamnegara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak
dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis, yuridis,
dan politis dalam negara, hal ini sebagaimanan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang
berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut
sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan
negara dengan agama.3

3.
Marhaeni, S,. Hubungan pancasila dan Agama Islam dalam NKRI (Banyuwangi: Universitas PGRI),
Jurnal Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan, Vol, 2, No. 1, 2017, ISSN 2541-6707

4
Untuk lebih memahami lebih singkatnya seperti apa hubungan pancasila dan agama
penulis mengambil kutipan artikel yang diambil di situs kompasiana.com, hubungan
pancasila dan agama yaitu sebagai berikut:4

1. Agama membutuhkan pancasila dalam menyelesaikan keterbatasannya khususnya untuk


mempertemukan antar agama untuk menghindari adanya konflik.

2. Pancasila dan agama juga memilki hubungan mengenai prinsip ketuhanan. Sila pertama
pancasila mengedepankan ketuhanan.

3. pancasila dan agama mencantumkan prinsip-prinsip mengenai taat dalam beragama dan
cinta tanah air.

Kemudian penulis menambahkan bahwa hubungan pancasila dengan agama yang diambil
dari inti sari yang di bahas diatas, yaitu (1). Dengan sila pertama ketuhanan yang maha esa
berarti Negara dan agama bukan berarti terpisah tetapi juga tidak menyatukan Negara
dengan agama. (2). Dengan ideology pancasila Negara secara aktif dan dinamis
memfasilitasi, mendorong, memelihara, dan mengembangkan agama dan kepercayaan
kepada ketuhanan yang maha esa sehingga masyarakat merasa aman, tentram, dan damai.
(3). Agama membutuhkan Negara berdasarkan pancasila untuk perkembangannya, begitu
juga Negara membutuhkan agama untuk meningkatkan moral bangsanya.

2.2 Pancasila Menghadapi Perbedaan Agama


Indonesia saat ini sering dihadapkan dengan konflik berkepanjangan yang muncul dan
disebabkan oleh rendahnya rasa toleransi pada suatu golongan terhadap golongan lain
terutama pada masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia ke
arah kehidupan beragama yang tidak berperikemanusiaan. Tragedi Poso, Tolikara dan
yang terbaru penistaan agama oleh Gubernur Jakarta menunjukkan betapa semakin
melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan
beradab.

4.
https://www.kompasiana.com/putriammm/616478840101902b79449a56/mengenal-lebih-dalam-apa-
hubungan-pancasila-dengan-agama Diposting pada tanggal 12 oktober 2021, dan Diakses pada tanggal 22
november 2022.

5
Oleh karena itu merupakan suatu tugas berat bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan
suasana kehidupan beragama yang penuh dengan kedamaian, saling menghargai saling
mencintai dalam perbedaan.

Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai fundamental bagi umat beragama di


Indonesia, dengan pancasila maka pada dasarnya masyarakat Indonesia di arahkan ke arah
terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasarkan nilai
kemanusiaan yang beradab.5

Manajemen konflik sendiri sangatlah penting diterapkan untuk mengatasi masalahmasalah


tersebut. Manajemen sendiri adalah seni untuk menyelesaikan suatu maslaah dengan
menggunakan orang lain. Maka dari itu, pimpinan suatu organisasi dalam hal manajer
bertugas mengatur organisasinya untuk mencapai tujuannya. Maka disini pimpinan
sebagai manajer suatu masyarakat dapat mengedukasi masyarakatnya agar dapat
menghindari perselisihan salah satunya konflik antar umat beragama.6 Karena jika konflik
antar umat beragama tidak di selesaikan secepatnya dan tidak ada jalan keluarnya maka
sangat merugikan Indonesia kaitannya dengan perkembangan politik, ekonomi dan aspek
lainnya karena kemajuan bangsa Indonesia sangat perlu didukung oleh masyarakat itu
sendiri apabila masyarakat belum berada dalam satu tujuan yang sama sulit pastinya
Indonesia dalam mengembangkan hal-hal lain kaitannya untuk kemajuan Indonesia.
Dalam hal ini masyarakat harus disadarkan akan pentingnya persatuan dan difahamkan
kembali bagaimana tujuan awal kemerdekaan Indonesia dan arah landasan dasar Negara
Indonesia guna menciptakan rasa toleransi yang lebih besar satu sama lain. Agama
membutuhkan Pancasila dalam menyelesaikan keterbatasannya khususnya dalam
mempertemukan kehendak bersama antar agama dan mereduksi ikatan primordial yang
potensial menghadirkan konflik. Dalam dimensi sosiologis agama seringkali memiliki
fungsi laten sebagai pemecah (out group) dan sekaligus fungsi menifes sebagai perekat (in
group). “Cacat” ini hanya bisa dijembatani melalui konsensus bersama, yang antara lain
melalui Pancasila.

5.
Muslich, Ks. H.M., Dr. M.Ag., Nilai Universal Agama-Agama di Indonesia, Kaukaba. Yogyakarta, 2013,
hlm. 41.

6.
Griffin, R. 2006. Business, 8th Edition. NJ: Prentice Hall.

6
7
Menciptakan kerukunan umat beragama di bumi nusantara tentunya menjadi
tanggungjawab negara dan seluruh warga negara. Tanggung jawab meliputi ketentraman,
keamanan, dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama,
menumbuh kembangkan keharmonisan, saling menghormati, dan saling percaya di antara
umat beragama (hidup berdampingan secara damai).

Dalam hal ini, untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan
berbagai cara; saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama,tidak
memaksakan kehendak seseorang untuk memeluk agama ter tentu, melaksanakan ibadah
sesuai agamanya, mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun
peraturan negara atau pemerintah.

Namun demikian akhir-akhir ini prinsip toleransi bisa dibangun melalui media sebagai
penyampai informasi kepada orang lain, tetapi juga sering diketemukan oknum yang
mempergunakan media sebagai ajang penyebaran berita bohong (hoax) yang mengarah
kepada ujaran kebencian.

Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan indikasi
dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam paparan sebelumnya upaya mewujudkan dan
memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk
memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah
diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun hak
lainnya.

Kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, apabila
masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan yang diajarkan oleh
agamanya masing-masing, serta mematuhi peraturan yang telah disyahkan negara atau
sebuah instansi pemerintahan. Umat beragama juga tidak diperkenankan untuk membuat
aturan-aturan pribadi atau kelompok, yang berakibat pada timbulnya konflik atau
perpecahan diantara umat beragama yang diakibatkan karena adanya kepentingan ataupun
misi secara pribadi dan golongan (Hadisaputro, 2002:18).8

7.
Digdoyo, E., Kajian Isu Tolerensi Beragama, Budaya, dan Tanggung jawab Sosial Media (Ponorogo:
Universitas Muhammadiyah), Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 1, Hlm 42-59. 2018, ISSN
2527-7057
8.
Hadisaputro, Muhda. 2002. Peranan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama. Yogyakarta: Salahuddu
Press.

7
Selain itu, agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara,
perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan secara mantap
dalam bentuk:
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat
beragama dengan pemerintah.

2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam bentuk upaya mendorong
dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan
implementas dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.

3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, dalam rangka memantapkan


pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama, yang mendukung bagi
pembinaan kerukunan hidup intern umat beragama dan antar umat beragama.

4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari


seluruh keyakinan plural umat manusia, yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman
bersama dalam melaksanakan prinsipprinsip berpolitik dan berinteraksi social satu sama
lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan. 5. Melakukan pendalaman
nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-
nilai ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan nila-nilai social
kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.

6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara
menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta
suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh
sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena
kehidupan beragama.

8. Perlu mempraktekan prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan social


yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam upaya memantapkan kerukunan itu, hal serius yang harus diperhatikan adalah
fungsi pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Dalam hal ini pemuka agama,
tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa
yang diperbuat mereka akan dipercayai dan diikuti secara taat. Selain itu mereka sangat

8
berperan dalam membina umat beragama dengan pengetahuan dan wawasannya dalam
pengetahuan agama.

Kemudian pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya
kerukunan hidup umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas umat beragama di
Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya, yang diajarkan oleh agama masing-
masing, sehingga ada kemungkinan timbul konflik di antara umat beragama.

Oleh karena itu, pemerintah sebagai mediator atau fasilitator merupakan salah satu elemen
yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut. Pada prinsipnya,
umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah yang memiliki peran dan
fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan umat beragama, melalui
kebijakannya (Hadisaputro, 2002:19-20).

Apabila ditinjau secara empirik, berarti nilai-nilai yang menjadi landasan terbentuknya
toleransi antar umat beragama dibangun atas dasar fakta atau kenyataan pada waktu dan
tempat tertentu adalah sebagai berikut:

Pertama yaitu nilai Ketuhanan dan kemanusiaan. Secara kodrati manusia adalah sebagai
makhluk individu dan sosial. Manusia senantiasa membutuhkan pertolongan orang lain
dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya baik itu sandang, pangan, papan dan pelestarian
lingkungan hidup. Begitu mendasarnya kebutuhan ini, sehingga memaksa setiap orang,
golongan atau kelompok untuk saling beradaptasi, berkomunikasi dan bergaul satu dengan
yang lainnya.

Dorongan naluri manusia untuk bergantung dengan orang lain memunculkan sikap
toleransi. Untuk menuju persaudaraan yang sejati, maka sikap saling mengejek, menghina
harus dihindari. Persaudaraan sesama umat manusia harus diiringi dengan sikap saling
pengertian dan tolong-menolong. Berangkat dari mengerjakan sesuatu yang baik dan besar
tidak mungkin sendirian, maka kita perlu membutuhkan orang lain. Misalnya
menanggulagi banjir, mengatasi masalah ekonomi, konflik sosial, ekologis, dan penyakit
sosial tidak mungkin sendirian. Harus samasama bergandengan tangan untuk mengatasi itu
semua. Dalam hal ini tidak membahas masalah akidah agama melainkan mengedepankan
rasa kemanusiaan (kesalehan sosial).

Nilai kemanusiaan dapat dituangkan dengan sikap saling menghormati dan menghargai
antar tetangga. Apabila terdapat tetangga yang membutuhkan pertolongan, maka harus

9
dibantu tanpa memandang orang itu kaya atau miskin. Hidup di dalam lingkungan
masyarakat yang dibutuhkan adalah sikap tolong-menolong, sehingga dapat mewujudkan
lingkungan pergaulan hidup yang aman, damai dan sejahtera.

Kedua adalah nilai nasionalisme. Mengingat, bangsa Indonesia memiliki beragam agama
dan budaya yang merupakan warisan nenek moyang. Sudah seharusnya sebagai rakyat
Indonesia memiliki kesadaran untuk merasa senasib sepenanggungan. Tidak bisa
mengkotak-kotakkan diri. Rasa nasionalisme telah mendorong masyarakat untuk merasa
seperti saudara, sehingga perbedaan yang ada tidak dijadikan tonggak untuk saling
menjatuhkan melainkan dijadikan sebagai asset untuk bersatu. Hal ini sesuai dengan sila
ketiga Pancasila bahwa meskipun terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, ras dan
budaya tetap bersatu. Nilai budaya gotongroyong tidak memandang manusia berdasarkan
agama, ras dan pangkat, melainkan memiliki kedudukan yang setara.

Ketiga yaitu nilai historis. Pada dasarnya sejak dahulu masyarakat Indonesi sudah saling
menghormati dan menghargai satu dengan yang lain. Berlandaskan warisan nenek moyang
biasanya masyarakat telah memiliki sikap toleran terhadap perbedaan agama yang ada,
bahkan telah menganggap saudara. Segala perbedaan tidak dijadikan suatu permasalahan
melainkan sebagai tonggak untuk saling mengenal satu sama lain, sehingga hubungan
antar umat beragama dapat terbina sangat baik.

Perbedaan pandangan dalam suatu hubungan kemasyarakatan merupakan hal yang wajar.
Apabila mampu menyelesaikannya secara bijaksana, maka tidak akan mempengaruhi dan
mengurangi hubungan persaudaraan diantara sesama. Bahkan dijadikan sebagai sarana
untuk saling mengenal karakter dan watak masing-masing individu. Hal ini didasarkan
pada pemikiran agama yang terbuka dan selalu mengutamakan kerukunan hidup. Berusaha
memiliki pemikiran dan pemahaman yang terbuka akan esensi hidup. Karena yang
namanya saudara tidak mungkin saling menyakiti, mengejek ataupun saling curiga.

Keempat yaitu nilai keteladanan tokoh masyarakat (kepemimpinan). Eksistensi tokoh


agama dalam mengajarkan sikap toleransi pada masyarakat lokal/desa tidak diragukan.
Prinsipnya sebagai pemimpin harus dapat memberikan contoh, baik itu ucapan dan
perilaku yang mencerminkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan agama.
Tokoh masyarakat baik formal maupun non formal mampu mengayomi masyarakat
dengan cara memberikan waktu dan tempat kepada masing-masing umat beragama untuk

10
beribadah sesuai dengan ajaran agamanya serta sekaligus melibatkan warga dalam
kegiatan masyarakat.

Kelima yaitu nilai kesabaran. Hidup berdampingan secara damai (toleransi) di lingkungan
masyarakat yang heterogen dibutuhkan kesabaran. Mengingat, tiap individu memiliki
kepentingan dan kebebasan sendiri-sendiri. Nilai kesabaran diharapkan mampu
membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa suatu kebebasan tidak dapat dilakukan
secara mutlak karena dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sikap sabar dapat diwujudkan
dengan tidak mengejek ataupun menghina umat yang tidak beragama, melainkan
memberikan waktu dan tempat kepada orang yang tidak seagama untuk beribadah sesuai
dengan kepercayaannya masing-masing. Jadi, prinsip yang tepat bukan mengejek umat
yang tidak menjalankan ibadah, melainkan mengingatkan bagi umat yang belum
menjalankan ibadah.9

Menurut Menteri Agama Fachrul Razi (2019-2020), Pancasila dalam menghadapi


perbedaan agama perlu upaya menterjemahkan nilai-nilai pancasila secara lebih konkret
agar betul-betul dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat beragama. Kemudian dari upaya
tersebut, Kemenag RI telah merumuskan sebuah gagasan yang disebut sebagai moderasi
beragama. Melalui itu Kemenag mendorong pertumbuhan cara pandang, sikap, dan
perilaku beragama yang moderat, tidak ekstrem atau berlebihan, karena agama manapun
memang melarang setiap umatnya untuk berlebiha-lebihan.10

Dari pembahasan diatas penulis sedikit menyimpulkan bahwa pancasila untuk melayani
berbagai agama yang ada di Indonesia harus sebagai penengah/berimbang artinya bukan
memihak atau mendukung agama mayoritas dengan cara memfasilitasi dan
mengakomodasi penyelenggaraan keagamaan berbagai agama setiap warga Negara yang
diakui pemerintah, serta Negara tidak berhak menentukan kepercayaan masing-masing
bagi setiap warga negara dan menjamin kebebasan setiap aktivitas ibadahnya. Tetapi juga
Negara harus mengatur pola pergaulan yang serasi dan berimbang antarsesama umat agar
terwujudnya kehidupan yang harmonis.

9.
Lihat kembali artikel. Digdoyo, E., Kajian Isu Tolerensi Beragama, Budaya, dan Tanggung jawab Sosial
Media (Ponorogo: Universitas Muhammadiyah), Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 1, Hlm
42-59. 2018, ISSN 2527-7057
10.
https://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/835-menteri-agama-ri-nilai-dalam-sila-sila-
pancasila-sejalan-dengan-ajaran-semua-agama
Dibuat pada 18 Mei 2020 dan Dilihat pada 23 November 2022.

11
2.3 Pancasila dan Kebebasan Dalam Beragama
Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila dalam UUD NRI 1945
sebagai aktualisasi filsafat hidup yang diamanatkan oleh pendiri negara. Pancasila dipilih
karena mengedepankan nilai-nilai moral yang universal. Pancasila tidak mengunggulkan
religius atau sekularilisme, individualisme atau kolektivitisme, mayoritas ataupun
minoritas.11 Artinya, Pancasila merupakan jalan tengah semua unsur perbedaan yang
tidak pernah memihak kepada salah satu kelompok, golongan, atau agama tertentu.
Kehidupan berke-Tuhanan dan beragama tertuang dalam sila pertama Pancasila yang
berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia
berhak memilih dan memeluk agama yang diyakininya secara bebas. Kebebasan
beragama merupakan kebebasan konstitusional yang dimiliki oleh seluruh rakyat
Indonesia. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun.12
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia bersifat kodrat, tidak
dapat diganggu-gugat, dicabut maupun dipindahtangankan, dan hak asasi manusia
berfungsi sebagai jaminan moral dan legal. Jaminan kebebasan beragama yang tertulis
dalam UUD NRI 1945 :

Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”. Pasal 28E Ayat (2) UUD NRI 1945
menyatakan “Setiap Orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI 1945
menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

11.
Moh. Mahfud, “Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan Bangsa”, makalah ceramah
umum Universitas Merdeka Malang, 2 Februari 2012.

12.
El-Muhtaj, Maida, 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 159.

12
Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.

Selain itu kebebasan beragama juga tertulis di dalam UU :

Pasal 18 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional


Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran”

Pasal 22 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan “Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”

Kata “setiap orang” berarti “semua orang”, tidak membedakan ras, suku, warga negara
mana, dan latar belakang primordial lainnya.13 Maka dari itu ketentuan jaminan
kebebasan beragama memang ditujukan untuk melindungi hak asasi manusia yang paling
asasi, berlaku universal dan lintas batas teritorial, adat, budaya, dan perbedaan sosial-
politik lainnya.

Zakiyudin Baidhawi mengungkapkan kebebasan beragama dalam dua kategori, yaitu


kebebasan beragama dan kebebasan berkepercayaan. Kebebasan beragama adalah
perbedaan dan keragaman agama-agama yang hidup bersama dan berdampingan seperti
agama monoteistik, agama non monoteistik, maupun agama lokal. Kebebasan agama
yang dimaksud juga merupakan kebebasan dalam menjalankan ritual-ritual,
mengekspresikan nilainilai, maupun mengajarkan ajaran-ajaran dari ketiga jenis agama
tersebut. Golongan agama monoteistik antara lain Yahudi, Kristen, dan Islam. Golongan
agama non-monoteistik seperti Budha, Kong Hucu. Sementara animisme dan dinamisme
merupakan golongan agama lokal.

13.
Fahmi, Agung Ali, 2011. Implementasi Jaminan Hukum HAM Atas Kebebasan Beragama di Indonesia,
Yogyakarta: Interpena, 57.

13
Kebebasan berkepercayaan adalah pengakuan hak, perlindungan, dan pemberian
kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk memiliki pandangan hidup apa pun,
baik pandangan hidup bercorak keagamaaan maupun sekuler. Setiap orang berhak untuk
memiliki pandangan hidup humanis, sekuleris, ateis, kapitalis, sosialis, religius,
neoliberalis, dan sebagainya. Setiap individu pun berhak pula atas perlindungan dan
akses untuk mengekspresikan dan menyiarkan pandangan hidup mereka masing-
masing.14

Membahas mengenai hak atas kebebasan beragama dan beribadah, kita kembali melihat
dan mengkaji sila-sila Pancasila, teruatama sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Yang berarti bahwa setiap warga Indonesia harus bisa menghormati kepercayaan orang
lain karena setiap manusia berhak memeluk agama dan kepercayaannya masingmasing
selama tidak merugikan yang lainnya.Kebebasan beragama bukan berarti adanya
kebebasan yang sebebas-bebasnya. Akan tetapi tetap dengan disertai tanggung jawab
untuk menghargai HAM setiap orang. Setiap agama harus mendapat pengakuan dan
jaminan yang sama, pengakuan enam agama (Islam, katholik, protestan, budha, hindu,
konghucu) bersifat pengakuan sosiologis (Kherid, M. N, dan Wisnaeni, F. 2019).15

Kebebasan dalam beragama ini merupakan salah satu masalah yang menarik untuk bisa
dibahas. Namun, pada situasi ini Islam dihadapkan pada kondisi dimana Islam dianggap
sebagai agama yang intoleran, agama yang tidak memeperbolehkan agama lain untuk
berpendapat (Bakar, A: 2016).16 Seperti yang kita ketahui, bahwa di Indonesia agama
Islam merupakan agama yang mayoritas. Oleh karena itu setiap pemeluk agama Islman
tidak bisa memaksakan keyakinannya kepada orang lain dan yang terpenting harus saling
menghargai satu sama lainnya.

Dengan sikap yang saling menghargai perbedaan maka akan terciptalah kerukunan antar
umat bergama. Hal ini sesuai dengan pengamalan nilai-nilai pada Pancasila, misalnya
sila yang pertama, yaitu memberikan kebebasan memeluk agama, sila kedua, yaitu
menghargai harkat dan martabat.

14.
Baidhawi, Zakiyuddin, 2005. Kredo Kebebasan Beragama, Jakarta: PSAP, 3.
15.
Kherid, M.N. and Wisnaeni, F., (2019). Pluralism Justice System Dalam Penyelesaian
Masalah Kebebasan Beragama. Masalah-Masalah Hukum. 48(4),385-392.
16.
Bakar, A. (2016). Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama. Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi
Umat Beragama, 7(2), 123-131.

14
Dan yang ketiga adalah sebagai hasil dari sila pertama dan kedua yaitu terciptanya
kerukunan antar umat beragama.

Pengalaman nilai pancasila pada sila kedua, seperti toleransi benar-benar sangat
dibutuhkan dalam menghadai keberagaman agama ini. Toleransi di sini adalah untuk bisa
menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Dalam konteks toleransi ini terdapat
batasan bahwa bertoleransi bukan berarti mengikuti kepercayaannya. Akan tetapi cukup
menghargai dan menghormatinya saja. Sebenarnya toleransi beragama ini sudah
dicontohkan dengan baik oleh ormas Islam dan Kristen, seperti saat perayaan hari natal,
Banser NU turut menjaga keamanan gereja dari kekacauan atau ancaman dan gangguan
radikalisme.

Agama bisa menjadi perekat dan pemersatu, akan tetapi bukan penyatuan. Konsep
pemersatu bukan berarti penyeragaman karena jika itu adalah penyeragaman maka inilah
yang akan menjadi penyebab konflik umat beragama. Pemersatu itu lebih kepada sikap
toleransi ajaran keagamaan yang sudah dijelskan sebelumnya. Oleh karenanya, agama
harus mengedapankan apresiatif terhadap keragaman (pluralitas). Dengan adanya rasa
apresiasi terhadap keberagaman, maka akan terwujudlah rasa kemanusiaan yang beradab,
seperti pada sila kedua, memeperlakukan manusia dengan adil, seperti sila kelima, dan
terwujudlah kesatuan seperti pada sila ketiga. Oleh karena itu, kemajemukan agama
menuntut setiap agama agar bisa bergaul dan berdiskusi dengan agama yang lain. Tidak
manusiawi jika ada suatu kekerasan atau kejahatan yang bertujuan untuk memaksakan
agama kepada orang lain (Wijayanti, T. Y).17 Karena yang namanya agama adalah
sebuah keyakinan yang dipercayai oleh masing-masing orang.

Menurut Situmorang, V. H.2019 Tindakan yang menganggu kebebasan beragama baik


kebebasan seseorang maupun kelompok merupakan bentuk pelanggaran HAM. Hal ini
tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM Bab 1 Pasal 1.18

Sekali lagi dijelaskan bahwa, meskipun Islam merupakan agama mayoritas tetapi tidak
bisa mengubah sistem menjadi sistem kekhalifahan karena implikasinya pada sila

17.
Wijayanti, Tri Yuliana. (2016). Konsep Kebebasan Beragama Dalam Islam Dan Kristen.. 7(1), 16-22.

18.
Situmorang, V.H., (2019). Kebebasan Beragama Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia. Jurnal
Penelitian HAM. 10(1).

15
pertama, yakni setiap orang bebas memeluk agamanya maisng-masing maka tetap tidak
bisa jika menggantikannya menjadi sistem khalifah. Jika diadakannya sistem khalifah
maka akan hilangnya sebuah toleransi dalam umat beragama yang akan bertentangan
dengan ideologi Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang tentunya akan brakibat pada
pelanggaran HAM. Adanya pluralisme dalam setiap Negara merupakan keniscayaan
dalam sejarah yang harus di pandang dengan baik (Andi & Fadilla, 2016).19 Oleh karena
itu, untuk menyikapi pluralisme ini harus berdasar pada nilai-nilai Pancasila yang sudah
dijelaskan sebelumnya, terutama pada nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan
adanya penanaman nilai Pancasila akan terwujud rasa kemanusiaan yang menjungnjung
harkat dan martabat setiap manusia sehingga tercipta kehidupan yang sejahtera dan jauh
dari adanya konflik agama.

19.
Andi, A., & Fadilla, E. (2016). Menyikapi Pluralisme Agama Perspektif Al -Quran. Jurnal Esensia,
17(1), 43.

16
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Pasal
28E Ayat UUD NRI 1945 menyatakan Setiap Orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28I
Ayat UUD NRI 1945 menyatakan Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun. Pasal 29 Ayat UUD NRI 1945 menyatakan Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan beragama adalah
perbedaan dan keragaman agama-agama yang hidup bersama dan berdampingan seperti
agama monoteistik, agama non monoteistik, maupun agama lokal. Seperti yang kita
ketahui, bahwa di Indonesia agama Islam merupakan agama yang mayoritas. Oleh
karena itu setiap pemeluk agama Islman tidak bisa memaksakan keyakinannya kepada
orang lain dan yang terpenting harus saling menghargai satu sama lainnya. Hal ini sesuai
dengan pengamalan nilai-nilai pada Pancasila, misalnya sila yang pertama, yaitu
memberikan kebebasan memeluk agama, sila kedua, yaitu menghargai harkat dan
martabat. Pengalaman nilai pancasila pada sila kedua, seperti toleransi benar benar
sangat dibutuhkan dalam menghadai keberagaman agama ini. Toleransi di sini adalah
untuk bisa menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Agama bisa menjadi perekat
dan pemersatu, akan tetapi bukan penyatuan. Oleh karenanya, agama harus
mengedapankan apresiatif terhadap keragaman . Oleh karena itu, kemajemukan agama
menuntut setiap agama agar bisa bergaul dan berdiskusi dengan agama yang lain.Tidak
manusiawi jika ada suatu kekerasan atau kejahatan yang bertujuan untuk memaksakan
agama kepada orang lain . 17 Karena yang namanya agama adalah sebuah keyakinan
yang dipercayai oleh masing-masing orang. Dengan adanya penanaman nilai Pancasila
akan terwujud rasa kemanusiaan yang menjungnjung harkat dan martabat setiap manusia
sehingga tercipta kehidupan yang sejahtera dan jauh dari adanya konflik agama.

3.2 Saran
Mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi menjadi lebih baiknya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan –
kesempatan berikutnya.

17
DAFTAR REFERENSI

- Aminullah, Pendidikan Pancasila dan Agama (Mataram: LPP Mandala), Jurnal Ilmiah
Mandala Education, Vol. 4, No. 1, 2018, ISSN. 2442-9511.
.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia
- Marhaeni, S,. Hubungan pancasila dan Agama Islam dalam NKRI (Banyuwangi:
Universitas PGRI), Jurnal Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan, Vol, 2, No. 1,
2017, ISSN 2541-6707.
.
- https://www.kompasiana.com/putriammm/616478840101902b79449a56/mengenal-
lebih-dalam-apa-hubungan-pancasila-dengan-agama Diposting pada tanggal 12
oktober 2021, dan Diakses pada tanggal 22 november 2022.
- Muslich, Ks. H.M., Dr. M.Ag., Nilai Universal Agama-Agama di Indonesia,
Kaukaba. Yogyakarta, 2013, hlm. 41.
- Griffin, R. 2006. Business, 8th Edition. NJ: Prentice Hall.
- Digdoyo, E., Kajian Isu Tolerensi Beragama, Budaya, dan Tanggung jawab Sosial
Media (Ponorogo: Universitas Muhammadiyah), Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 1, Hlm 42-59. 2018, ISSN 2527-7057
- Hadisaputro, Muhda. 2002. Peranan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama.
Yogyakarta: Salahuddu Press.
- https://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/835-menteri-agama-ri-
nilai-dalam-sila-sila-pancasila-sejalan-dengan-ajaran-semua-agama
Dibuat pada 18 Mei 2020 dan Dilihat pada 23 November 2022.

- Moh. Mahfud, “Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan Bangsa”,
makalah ceramah umum Universitas Merdeka Malang, 2 Februari 2012.
- El-Muhtaj, Maida, 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:
Kencana, 159.
- Fahmi, Agung Ali, 2011. Implementasi Jaminan Hukum HAM Atas Kebebasan
Beragama di Indonesia, Yogyakarta: Interpena, 57.
- Baidhawi, Zakiyuddin, 2005. Kredo Kebebasan Beragama, Jakarta: PSAP, 3.
- Kherid, M.N. and Wisnaeni, F., (2019). Pluralism Justice System Dalam Penyelesaian
Masalah Kebebasan Beragama. Masalah-Masalah Hukum. 48(4),385-392.
- Bakar, A. (2016). Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama. Toleransi: Media
Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 7(2), 123-131.
- Wijayanti, Tri Yuliana. (2016). Konsep Kebebasan Beragama Dalam Islam Dan
Kristen.. 7(1), 16-22.
- Situmorang, V.H., (2019). Kebebasan Beragama Sebagai Bagian dari Hak Asasi
Manusia. Jurnal Penelitian HAM. 10(1).
- Andi, A., & Fadilla, E. (2016). Menyikapi Pluralisme Agama Perspektif Al -Quran.
Jurnal Esensia, 17(1), 43.

18

Anda mungkin juga menyukai