Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FILSAFAT PANCASILA

“SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA”


Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pancasila

Dosen Pengampu:
Dr. H. Dian Agus Ruchliyadi, S. Pd., M. Pd
Reja Fahlevi, S. Pd., M. Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 10
Muhammad Fauzi 2110112110008
Reynal Al Faris 2110112220011
Syafa’atin 2110112220015
Khairunnisa 2110112220020
Alma Yultiara Dewi 2110112220023
Agnes Nursani Pakpahan 2110112220036
Nur Priztia Kurnia Ananta Bella 2110112320008

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN AJARAN 2022/2023
Kata Pengantar

Segala Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan
tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Filsafat Pancasila. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai Makna Sila Pertama dan
Implikasinya dalam kehidupan sehari-hari bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Dr. H. Dian Agus Ruchliyadi, S.
Pd, M. Pd dan Bapak Dosen Reja Fahlevi, S. Pd, M. Pd . sebagai dosen pengampu Mata kuliah
Filsafat Pancasila. Penulis mengucapan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Banjarmasin, 4 November 2022

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................................................2
Daftar Isi..........................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................4
1.3. Tujuan Pembelajaraan.......................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
2.1. Pengertian Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila...........................................5
2.2. Penerapan nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa..............................................................7
2.3. Makna dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa..................................................................11
2.4. Tujuan dan Dasar dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.................................................13
BAB III..........................................................................................................................................19
PENUTUP.....................................................................................................................................19
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................19
3.2. Saran................................................................................................................................19
3.3. Soal-Soal.........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbhineka, baik suku bangsa, bahasa
kebudayaan dan adat istiadat begitu pula agama yang dianutnya. Awal terbentuknya
Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengalami diskusi dan perdebatan
yang panjang, artinya ada kelompok yang menerima sercara terbuka dan ada kelompok
yang menolak dengan alasan Pancasila terbentuk atas kesepakatan politik dimasa itu
tanpa pertimbangan-pertimbangan keagamaan dan spritualitas. Bahwa dalam setiap
warga negara Inonesia berhak mempunyai kebebasan beragama sesuai dengan makna
sila pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-undang
Dasar Pasal 29 ayat 1 dan 2. Namun, sebagian kecil dari masyarakat Indonesia masih
ada yang mempercayai ideologi komunisme dan tak sedikit pula bagian masyrakatnya
intoleran terhadap masyarakat beragama minoritas.

1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1) Apa itu Sila Ketuhanan Yang Maha Esa?
2) Apa saja penerapan nilai dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa?
3) Makna apa yang terkandung pada Sila Ketuhana Yang Maha Esa?
4) Apa tujuan dan dasar dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

1.3.Tujuan Pembelajaraan
Adapun Tujuan Pembelajaran Makalah ini sesuai dengan rumusan masalah yaitu:
1) Untuk mengetahui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa;
2) Untuk mengetahui penerapan nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa;
3) Untuk mengetahui Makna yang terkandung pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa;
4) Untuk mengetahui tujuan dan dasar dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila


Dalam sila pertama Pancasila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, hendaknya menjadi
dasar para pemuka agama dalam menganjurkan kepada pemeluk agama masing-masing
untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dianutnya. Sila pertama, negara
wajib:
1. Menjamin kemerdekaan setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannya dengan menciptakan suasana yang baik.
2. Memajukan toleransi dan kerukunan agama.
3. Menjalankan tugasnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tanggung
jawab yang suci.

Sila pertama, yakni “Ketuhanan yang Maha Esa” mengandung pengertian bahwa
bangsa Indonesia mempunyai kebebasan untuk menganut agama dan menjalankan ibadah
yang sesuai dengan ajaran agamanya. Sila pertama ini juga mengajak manusia Indonesia
untuk mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang antar sesama manusia
Indonesia, antar bangsa, maupun dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan
demikian, di dalam jiwa bangsa Indonesia akan timbul rasa saling menyayangi, saling
menghargai, dan saling mengayomi. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila
pertama antara lain sebagai berikut.
1. Keyakinan terhadap adanya Tuhan yang Maha Esa dengan sifat-sifatnya yang
Mahasempurna.
2. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara menjalankan semua
perintah-Nya, dan sekaligus menjauhi segala larangan-Nya.
3. Saling menghormati dan toleransi antara pemeluk agama yang berbeda-beda.
4. Kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Sejarah mengatakan bahwa Pancasila dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) lahir pada 1 Juni 1945. Pancasila lahir didasarkan pada pemikiran tokoh
proklamator yang tidak lain adalah Bung Karno. Mungkin banyak di antara kita yang
tidak mengetahui apa dasar pemikiran Bung Karno pada waktu mencetuskan ide dasar
negara hingga tercetuslah ide Pancasila. Dasar pemikiran Bung Karno dalam
mencetuskan istilah Pancasila sebagai Dasar Negara adalah mengadopsi istilah praktek-
praktek moral orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran Buddhisme. Dalam ajaran
Buddhisme terdapat praktek-praktek moral yang disebut dengan Panca Sila (bahasa
Sanskerta/Pali) yang berarti lima (5) kemoralan yaitu: bertekad menghindari pembunuhan
makhluk hidup, bertekad menghindari berkata dusta, bertekad menghindari perbuatan
mencuri, bertekad menghindari perbuatan berzinah, dan bertekad untuk tidak minum
minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan menghilangkan kesadaran.
Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa
Sanskerta ataupun bahasa Pali. Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan
makna dari sila pertama ini. Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum
kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau
Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam sudut pandang bahasa
Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah bermakna Tuhan Yang
Satu.
Kata “maha” berasal dari bahasa Sanskerta/Pali yang bisa berarti mulia atau besar
(bukan dalam pengertian bentuk). Kata “maha” bukan berarti “sangat”. Jadi adalah salah
jika penggunaan kata “maha” dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha
besar yang berarti sangat besar.
Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata “esa” bukan berarti
satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu
pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this – Inggris).
Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sankserta maupun bahasa
Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang
satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka”, bukan kata “esa”.
Setelah kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari
Pancasila NKRI ternyata begitu dalam dan bermakna luas, tidak membahas apakah
Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila
pertama ini membahas sifat-sifat luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa
Indonesia. Sila pertama dari Pancasila NKRI ini tidak bersifat arogan dan penuh paksaan
bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya pada satu Tuhan saja, tetapi
membuka diri bagi agama yang juga percaya pada banyak Tuhan, karena yang
ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat-sifat luhur / mulia. Dan
diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka diri bagi keberadaan
agama yang juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia meskipun tidak mempercayai
adanya satu Tuhan.
MGR. John Liku-Ada mengatakan, “ketuhanan dalam Pancasila tidak dijabarkan
secara rinci dan sistematis oleh Sukarno dalam risalah-risalah teoritis. Dengan demikian
ia tidak maksudkan untuk membuat suatu pernyataan tentang hakikat ke-Allah-an atau
paham ketuhanan dalam agama tertentu. Ketuhanan menjadi salah satu prinsip dasar
pembentuk dan penyatu bangsa Indonesia. Pemahaman tentang ditempatkan dalam
konteks keempat sila yang lain.
Ketuhanan dalam pancasila menjadi faktor transcendental, unsur pembentuk ilahi
dari prinsip kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Berarti ketuhanan
dalam pancasila sudah berimplikasikan pluralism dan pluralitas. Ketuhanan dalam
pancasila bukanlah teori ketuhanan, melainkan merupakan bagian hakiki perjuangan
Soekarno untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa, nation.

2.2.Penerapan nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Kebebasan hidup beragama telah diatur dijamin oleh negara Indonesia yang
merupakan dasar dari pada negara indonesia itu sendiri yaitunya pancasila. Pancasila ini
juga sudah tertuang dalam pembukaan undang – undang dasar 1945 pada alinea ke
empat.
1. Namun kebebasan yang dimaksud tidak seenaknya sendiri mengarang - ngarang
agama sendiri, membuat agama sendiri tanpa adanya legalitas dari negara kita
Indonesia. Dan ketika agama tersebut sudah ada legalitas dari negara Indonesia,
maka hal ini tentu perlu mendapatkan jaminan negara dalam menjalankannya dan
negara tidak boleh sampai berat sebelah dalam memberikan kebebasan
menjalanakan agama tersebut. Terkadang kita melihat pemerintah tidak adil dalam
memberikan kebebasan untuk menjalankan agama masing-masing. Yang harus
dikerjakan tatapi dilarang pemerintah dan sebaliknya yang dilarang agama malah di
perintahkan pemerintah untuk melakukannya. Misalnya saja, umat islam dilarang
mengakatan orang non muslim itu kafir. Akhrinya timbul permasalahan baru, pihak
non muslim mengatakan bahwa orang islam telah menghina agamanya. Padahal
sudah jelas-jelas ajaran agama islam menyatakan hal itu yang bersumber dari kitab
sucinya sendiri yakni Alquranul kariim.
2. Kemudian kita liat dalam konteknya, bahwa orang islam itu mengatakan bahwa
orang non muslim atau orang murtat itu kafir pun pada sesama agamanya sendiri.
Hal ini dlakukan dalam rangka memberikan arahan, motivasi atau ceramah kepada
saudaranya seagama supaya tetap berpegang teguh pada ajaran agamanya dan
bahkan hal itu dilakukan agar tidak keluar atau murtad dari agamanya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah
bagaimana penerapan nilai-nilai pancasila sila pertama dalam kehidupan beragama?
Dengan kedudukan pancasila sebagai dasar negara tentu akan mengandung sangat
banyak nilai dan makna di dalamnya. Menurut Sulasmana (2015: 68) mengatakan
bahwa, pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia merupakan dasar berdiri
dan tegaknya suatu negara, dasar kegiatan penyelenggaraan negara, dasar
partisipasi warga negara, dasar pergaulan antar warga Negara, dasar acuan tindak
tanduk keseharian warga negara dan dasar atau sumber hukum nasional.

Kehidupan beragama merupakan sesuatu yang yang utama dan penting bagi
masyarakat Indonesia, karena sangat jarang sekali masyarakat Indonesia yang yang
tidak punya agama atau ateis, rata rata memilikiagama masing-masing sesuai dengan
keyainannya masing masing. Sedangkan negara Indonesia menjamin dan harus
menjamin untuk kelangsungan hidup beragama. Sebagaimana dimuat dalam UUD 1945
pasal 29 ayat 1, yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Berangkat dari hal tersebut, kita sebagai bangsa Indonesia telah
dijamin kebebasan dalam menjalankan agamanya masing-masing. Tidak pandang bulu
dan seharusnya tidak pandang bulu. Begitu juga dalam kandungan nilai pancasila dalam
sila pertama yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini juga sangat jelas jaminan
setiap jiwa masyarakat Indonesia untuk merdeka dalam menjalankan ajaran agamanya
masing-masing. Hal ini diuraikan dalam terori atau pandangan Rukiyati dan kawan-
kawannya, sebagaimana yang telah disinggung pada bagian pendahuluan di atas.
Rukiyati dan Kawan-kawan (2013:58) menggali pelajaran berupa nilai-nilai yang
terkandung dalam sila pertama pancasila, sehingga menemukan 4 (empat) point makna
atau nilai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu sebagai berikut :
1) Menghormati Tuhan, mentaati perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan,
memulyakan dan mengagungkan Tuhan.
2) Memastikan warga negara dapat memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai
agamanya masing-masing.
3) Warga negara tidak diperbolehkan atheis.
4) Negara sebagai fasilitator yang menjamin berkembangnya agama dan saling
toleransi antar umat beragama.

“Menghormati Tuhan, mentaati perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan,


memulyakan dan mengagungkan Tuhan.”
Penerapan nilai ini sudah seharunya menjadi syarat mutlak bagi setiap umat
beragama yang meyakini bahwa adanya Tuhan. Bagaimana mungkin seseorang beragama
tidak taat kepada perintah Tuhannya, sedangkan dia sudah mempunyai keyakinan denga
adanya Tuhan dan dapat dibuktikan dengan agama yang dia peluk, baik itu agama Islam,
Hindu, Budha, Kristen katholik, Kristen Protestan maupun Konghuchu. Ditambah lagi
dengan aturan dan ajaran agamanya masing-masing yang mengharukan seorang pemeluk
agama untuk taat, patuh, menghormati dan memuliyakan Tuhannya.
Bagi seseorang yang beragama Islam, aturan atau perintah untuk menaati
Tuhannya tercantum dalam AlQuran surat An Nur ayat 54, Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah (Muhammad), Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul, jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu.
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Kewajiban rasul hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.
Berdasarkan sumber hukum di atas, jelas perintah atau ajaran agama islam dalam
menjalankan agamanya. namun terkadang kebebasan menjalankan perintah agama ini
dilarang oleh pemerintah. Contoh kecil saja, seorang PNS yang berjenggot tidak
diperbolehkan dalamaturan kantornya secara khusus, oleh pemerintah secara umum.
Padahal berjenggott tersebut merupakan perintah agamanya yang harus dijalankan.
Sebagaimana yang di perintahkan Oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassallam
dalam Hadis Riwayat Muslim menyebutkan, Potong pendeklah kumis dan biarkanlah
jenggot (HR. Muslim no. 625). Bahkan ada lagi perintah dalam agama islam yang
memerintahan masuk Islam secara Kaffah, artinya memeluk agama islam tersebut atau
menjalankan agama islam tersebut secara menyeluruh, tidak ada yang ditinggalkan atau
memilih milih sebagian perintah saja ataupun larangannya.
Dalam kasus lain kita temukan dibeberapa wilayah seperti di Papua dan di
Manado, umat islam tidak dibolehkan Azan menggunakan pengeras suara oleh
masyarakat setempat. Padahal ini adalah ajaran agama islam untuk memanggil saudara
muslim lainnya ketika akan melaksanakan shaolat di masjid lewat Azan.
Bagi non muslim bisa juga kita lihat ketentuan ajaran agamanya, misalnya kristen.
Disebutkan dalam Alkitab, ”Sesudah semuanya kupertimbangkan, inilah kesimpulan
yang kudapatkan. Takutlah kepada Allah dan taatilah segala perintah-Nya, sebab hanya
untuk itulah manusia diciptakan-Nya” (Pengkhotbah 12:13, BIS). Kemudian disebutkan
juga dalam alkitab, bahwa Orang yang berkata Saya mengenal Allah, tetapi tidak taat
kepada perintah-perintah-Nya, orang itu pendusta, dan hukum Allah tidak berada di
dalam hatinya. Tetapi orang yang taat kepada perkataan Allah, orang itu mengasihi Allah
dengan sempurna. Itulah tandanya bahwa kita hidup bersatu dengan Allah. Barangsiapa
berkata bahwa ia hidup bersatu dengan Allah, ia harus hidup mengikuti jejak Kristus”
(Yohanes 2:4-6, BIS).

Berdasarkan aturan tersebut di atas, juga jelas disebutkan secara tegas tentang
mentaati perintah Allah dan meninggalkan Segala larangannya. Sedangkan orang yang
tidak menaati perintah Tuhannya, disebut sebagai seorang pendusta. Namun pada
kenyataannya dalam kehidupan sehar-hari masih terdapat penyimpangan atau
pelanggaran terhadap kelangsungan mejalankan agamanya seperti dari salah seorang
informan yang saya wawancarai mengatakan bahwa dicegad sedang melakukan ibadah di
gereja oleh Pol-PP. Padahal orang yang sedang beribadah tersebut sedang menjalankan
ajaran ibadahnya ditempat yang sudah disediakan.

“Memastikan warga negara dapat memeluk agama dan menjalankan ibadah


sesuai agamanya masing-masing.”
Warga negara tidak diperbolehkan atheis Point ke tiga ini ada sedikit perbedaan
pendapat. Bahwasannya dalam pandangan Rukiyati dan kawan-kawan memaknai sila
pertama dalam pancasila, negara tidak memperbolehkan atheis. Sebenarnya beragama
atau tidak beragama itu adalah pilihan warga negara itu sendiri. Hal itu sudah menjadi
hak asasinya sendiri. Yang jelas negara hanya ingin memastikan dan ingin menjamin
kelangsungan dan kebebasanya dalam memeluk agama dan menganut kepercayaan,
karena atheis termasuk kepada sebuah kepercayaan yang betul betul diyakininya.
Negara sebagai fasilitator yang menjamin berkembangnya agama dan saling
toleransi antar umat beragama.Yang dimaksud dengan negara sebagai fasilitator adalah
negara atau pemerintah menjembatani, menghubungkan dan mendukung kegiatan atau
perkembangan bagi setiap umat beragama dan antar umat beragama. Dalam hal ini,
negara tidak terlalu ikut campur di dalam suatu urusan agama katakanlah urusan internal
agama. Tetapi negara hanya sebagai fasilitator untuk mejamin kelangsungan setiap warga
negara menjalankan agamanya masing-masing.

2.3.Makna dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna bahwa Indonesia adalah suatu
negara yang mengakui adanya Tuhan, dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan ini
harus tertuang dalam kehidupan sehari-hari salah satunya yaitu harus memiliki agama.
Karena agamalah yang mengajarkan manusia untuk mengenal, mengetahui,
mempelajari, nilai-nilai Ketuhanan.
Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup bersama
berkedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk pribadi ia
dikaruniai kebebasan atas segala suatu kehendak kemanusiaannya. Sehingga hal inilah
yang merupakan suatu kebebasan asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha
Esa.
Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk
memenuhi harkat kemanusiaannya yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Manifestasi hubungan manusia dengan Tuhannya adalah terwujud dalam agama.
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara Kebangsaan Indonesia,
yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara,
demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan atas
agama tertentu.
Negara Indonesia adalah negara yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara tidak memaksa dan dan
tidak memaksakan agama, karena agama adalah merupakan suatu keyakinan bathin yag
tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat dipaksakan. (Kaelan, 2010:133)
Indonesia sebagai negara yang berdasar Pancasila menjamin kemerdekaan dan
kebebasan bagi setiap warganya untuk memeluk dan menganut agama sesuai dengan
kepercayaan dan keyakinan masing-masing hal ini tertuang jelas dalam UUD 1945
pasal 29 ayat (2) bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Arti dan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa,13 adalah sebagai
berikut:
1. Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan Yang Maha esa;
2. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat
menurut agamanya;
3. Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan memluk agama
sesuai dengan hukum yang berlaku;
4. Atheisme dilarang hidup dan berkembang di Indonesia;
5. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi
antar umat dan dalam beragama; dan
6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga
negara menjadi mediator ketika terjadi konflik.
Sejak zaman nenek moyang sudah dikenal paham animisme, dinamisme, sampai
paham politheisme. Hal ini terus berkembang di dunia sampai masuknya agama-agama
Hindu, Budha, Islam, Nasrani ke Indonesia sehingga kesadaran akan monotheisme di
masyarakat Indonesia semakin kuat. Oleh karena itu tepatlah jika rumusan Pancasila
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.4.Tujuan dan Dasar dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Sila Ketuhanan yang Maha Esa memiliki makna bahwa dalam sila ini
menghendaki setiap warga negara untuk menjunjung tinggi agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan yang Maha Esa. Setiap warga negara diharapkan mempunyai keyakinan
akan Tuhan yang menciptakan manusia dan dunia serta isinya. Keyakinan akan Tuhan
tersebut diwujudkan dengan memeluk agama serta kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Menurut Kaelan (2016: 28) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya
meliputi dan menjiwai keempat sila lainya. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawatahan tujuan
manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, politik negara,
pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan
hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Hamid Darmadi (2014: 215), pengamalan Pancasila yang ditetapkan
berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan
pengamalan Pancasila, yaitu: (a) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. (b) Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut kepercayaan yang berbedabeda sehingga terbina kerukunan hidup. (c) Saling
menghormati dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. (d) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang
lain.
Tujuannya untuk membangun toleransi agama-agama dan kepedulian terhadap
isu-isu kemanusiaan yang dilandasi dengan akar-akar teologis yang kuat. Bahkan
Pancasila merupakan sistem kebudayaan. Artinya, pancasila mestinya menjadi bagian
dari laku budaya setiap kehidupan berbangsa. Melalui hasil cipta karsa manusia
terepresentasikan dalam berbagai kehidupan, baik budaya, politik, dan agama, Pancasila
mesti menjadi kegiatan kebudayaan. Yakni, menjadi orientasi hidup dan tujuan bagi
kehidupan berbangsa.

Adapun nilai-nilai kebangsaan secara gamblang terdapat dalam lima sila


pancasila. Pertama, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada sila ini bahwa Indonesia
adalah negara berketuhanan. Indonesia tidak pimpin oleh satu agama atau golongan
tertentu. Indonesia adalah representasi nilai dari keragaman agama. Melalui sila pertama
ini menegaskan bahwa keragaman agama adalah kekuatan kebangsaan. Toleransi
merupakan urat-urat penting dalam membangun kebangsaan yang adidaya. Nilai dari
sila pertama adalah perwujudan penghargaan kepada agama-agama. Tidak ada agama
satupun yang menjadi hukum ataupun ideologi Negara. Semua agama telah membuat
kesepakatan budaya dan politik bahwa pancasila adalah satu-satunya ideologi negara.
Dengan begitu Indonesia bukanlah negara agama namun Negara Pancasila. Agama dan
negara tidak bisa dikatakan sekuler di Indonesia, karena Negara dan agama adalah
kesatuan nilai kebangsaan. Tidak pula menjadikan agama tertentu sebagai prinsip
kebangsaan. Namun semua agama membangun sebuah dialog kebangsaan yang tertuang
dalam Pancasila. Sebagaimana sila pertama yang mendasarkan akar-akar berketuhanan
sebagai prinsip paling dasar kehidupan berbangsa. Dengan demikian maka Indonesia
adalah “negara beragama”, bukan Negara agama.
Berbicara tentang pluralitas kebangsaan, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan
RI suku-suku bangsa di kawasan Nusantara ini telah hidup bersama dalam kondisi
penuh persaudaraan dan damai. Tak terbilang jumlahnya secara pasti berapa jumlah
suku bangsa yang ada di kawasan ini. Konon jumlahnya meliputi lebih dari 300 suku
bangsa. Lalu karena hidup dalam kawasan yang sama apa saja yang kira-kira bisa kita
ambil sebagai alasan adanya kesamaan dalam kehidupan mereka? Tata cara dalam
struktur masyarakat yang berbeda etnis ini hampir semua mendahulukan kesepakatan
atau musyawarah dalam mencari solusi dari semua problem yang mereka hadapi dalam
kehidupan terutama kalau itu menyangkut pertikaian, pelanggaran nilai ataupun norma
yang disepakati secara tertulis ataupun sebagai aturan tak tertulis dalam komunitas
mereka dalam berbagai etnis yang ada terdapat aturan yang disepakati bersama, apabila
ada nilai yang dilanggar, maka orang yang melanggar mendapat hukuman dari para
tetua atau orang yang dituakan masyarakatnya dan bentuk hukumannya pun ditentukan
bersama.
Dalam perbedaan etnik yang ada, ada sebuah kesamaan bahwa mereka sama-sama
yakin terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang dikemudian hari setelah suku-suku
bangsa yang berada dalam satu kawasan ini sepakat menjadi sebuah bangsa, yang secara
formal di awali di tahun 1908 dan dilanjutkan di tahun 1928 sebagai bangsa yang
berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu....Indonesia yang selanjutnya Dalam
perbedaan etnik yang ada, ada sebuah kesamaan bahwa mereka sama-sama yakin
terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang dikemudian hari setelah suku-suku bangsa
yang berada dalam satu kawasan ini sepakat menjadi sebuah bangsa, yang secara formal
di awali di tahun 1908 dan dilanjutkan di tahun 1928 sebagai bangsa yang berbangsa,
berbahasa, dan bertanah air satu....Indonesia yang selanjutnya memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai RepublikIndonesia maka
landasan pertamanya adalah ke Tuhanan Yang Maha Esa. Sebagai dasar negara
Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag
dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai
ideologi negara (staatsidee).
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara seperti tersebut di atas, sesuai dengan
apa yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4 antara lain
menegaskan: “….., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa… Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: kehidupan bernegara bagi Negara Republik
Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk
agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui eksistensinya di Indonesia, negara
Indonesia memberikan hak dan kebebasan setiap warga negara terhadap agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu
sama lain. Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan
menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila.
Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau
percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu
dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari
sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kunci dan titik sentral pemikiran dari
kelima sila ada pada sila pertama, yaitu “KeTuhanan”, karena Tuhan adalah dasar
keberadaan bagi makluk pemberian kekuatan oleh oleh-Nya, merupakan syarat bagi
setiap gerakan, upaya, dan perubahan pada mahluk-Nya.
Semua agama di NKRI ini, meyakini keberadaan Tuhan. Tuhan Maha Besar,
Maha Pencipta, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala sesuatu yang ada dan
terjadi dalam kehidupan ini, adalah ciptaan dan atas kehendak Tuhan. Kaum Kristiani
menyatakan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang. Kaum Hindu/Budha
menyatakan, bahwa diri manusia merupakan rumah Tuhan yang harus dijaga
kebersihannya dan dijauhkan dari hal-hal yang bertentangan dengan agama. Sedang
kaum Islam, sesuai dengan Firman Tuhan (Allah) dinyatakan, bahwa “Allah ada sangat
dekat dengan dirimu, tidak lebih dari kedua urat nadi lehermu”.
Keberadaan dan keesahan Tuhan ini, mendasari suatu kesepakatan untuk
menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai Sila Pertama, yang menjiwai
semua sila-sila dibawahnya. Di sinilah terletak jiwa, dari Pancasila itu. Memang benar
bahwa sila ini adalah bersangkut-paut dengan kemajemukan agama di Indonesia dan
karena itu mengenai kebebasan serta toleransi beragama. Tapi ia lebih dari itu. Sebab
bila kebebasan serta toleransi agama yang hendak kita tonjolkan, maka sila-sila lain
telah menjaminnya (sila 2, 3, 4, khususnya, bahkan sekalipun). Pentingnya sila pertama
tidak terbatas pada kemampuannya menghadapi masalah kemajemukan agama.
Tetapi bahwa ia mencerminkan satu cara pemecahan yang khas Indonesia di
dalam menghadapi kenyataan kemajemukan pada umumnya. Yaitu, ketika
kemajemukan diterima dan dirangkul serta dimasukkan ke dalam sistim, tentu raja
sepanjang ia dapat dijaga kesatuan, keseimbangan dan keselarasannya. Pada umumnya
bangsa Indonesia menerima kedatangan agama-agama dengan damai baik itu Hindu,
Budha, Islam dan Kristen bahkan budaya yang dikembangkan cenderung budaya
sinkretis yang merupakan perpaduaan budaya lokal yang berumur sangat tua berbaur
dengan budaya yang dibawa oleh pengaruh agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen.
Oleh karena itu berkembang adanya aliran kepercayaan yang sebetulnya berasal
dari kepercayaan lama sebelum kedatangan agama besar Hindu, Budha, Islam, dan
Kristen. Sebagai contoh ketika seorang anak masih kecil pernah diajarkan oleh
almarhumah ibunya tentang doa-doa yang sepenuhnya dalam bahasa Jawa (bukan
terjemahan doa-doa dari agama yang ada kemudian Hindu, Budha, Islam atau Kristen),
seperti doa mau tidur, doa mau pergi, doa mau makan dsb.
Tuhan disebut sebagai Gusti Pangeran kemudian dengan pengaruh Islam menjadi
Gusti Allah. Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan sila pertama dari Pancasila adalah
disarikan dari hakekat kehidupan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke bahwa
bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah bangsa yang religius apapun agamanya,
apapun kepercayaannya semua mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah realitas dalam kehidupan bermasyarakat dengan keragaman
agama dan kepercayaan tapi masih tetap bisa hidup berdampingan secara damai, saling
hormat menghormati satu sama lain, bahkan bisa berhasil secara bersama-sama
mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apakah ini bukan suatu karunia kehidupan yang indah bagi bangsa Indonesia?
Diterimanya Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara, membawa
konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila harus selalu dijadikan landasan pokok,
landasan fundamental bagi pengaturan dan penyelenggaraan suatu negara. Hal ini
diusahakan yaitu dengan menjabarkan nilai-nilai pancasila tersebut ke dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedang pengakuan pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa mengharuskan kita sebagai bangsa untuk mentransformasikan nilai-nilai
pancasila itu ke dalam sikap dan perilaku nyata baik dalam perilaku hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya transformasi nilai-nilai tersebut
ke dalam kehidupan nyata, maka pancasila hanya sekedar nama tanpa makna, pancasila
hanya sebagai hiasan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Ada 4 paragraf/bagian kesimpulan karena pada pembahasan ada 4 subbab yang dibahas.
Jadi, setiap subbab ada kesimpulan yang bisa diambil.

3.2.Saran
Saran diisi jika diperlukan, jika dirasa kurang perlu tidak apa-apa tidak diisi

3.3.Soal-Soal
Soal-Soal dibuat bersama/kerjasama dengan anggota kelompok
DAFTAR PUSTAKA

Saragih, E. S. (n.d.). ANALISIS DAN MAKNA TEOLOGI KETUHANAN YANG MAHA


ESA DALAM KONTEKS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA.

Rukiyati. (2013). Pendidikan pancasila. Yogyakarta: UNY Press.


Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif. Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Sulasmana. (2015). Dasar Negara Pancasila. Yogyakarta: PT. Kansius.
Ridwan HR, 2014, Hukum Administasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 21.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta : UII Press,
2005), hlm. 1.
Ramadhan, Khairul. STUDI ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI NILAI KETUHANAN
YANG MAHA ESA DALAM PANCASILA DITINJAU DARI FIQIH SYISAH. Lampung,
2018.
Rube'i, M. A., & Utami, D. (2018). Penanaman Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pada Mata
Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas XI SMA Negeri 1 Toho Kabupaten
Mempawah. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 2 (1).

Saragih, E. S. (2018). analisis dan makna teologi ketuhanan yang maha esa dalam
konteks pluralisme agama di Indonesia. Jurnal Teologi Cultivation, 2(1), 290-303.

Anda mungkin juga menyukai