Anda di halaman 1dari 9

LITERATUR REVIEW: ANALISIS PENANGANAN KEKERASAN

TERHADAP ANAK DIMASA PANDEMI COVID 19


Ika Harni Lestyoningsih, SKM., M.Kes(1) Sri Lindawati, S.Sos.,M.Kes(2)
BIDAN DINAS KESEHATAN KABUPATEN KUTAI KARTANGERA
Email: ikaharni@rocketmail.com

ABSTRAK

Masa Pandemi COVID-19 kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur mengalami peningkatan tajam.
Berbagai faktor dianggap menjadi pemicu, salah satunya banyak warga atau orang tua yang stres karena
harus Work From Home (WFH). Metode penelitian ini menggunakan literature review, artikel dikumpulkan
menggunakan mesin pencari seperti Science direct dan EBSCO. Kriteria artikel yang digunakan adalah
yang diterbitkan tahun 2016-2020. Penelitian ini untuk mengumpulkan dan menganalisa artikel yang
berhubungan dengan penanganan kekerasan terhadap anak dimasa pandemi Covid 19. Berdasarkan
hasil analisis situasi kasus kekerasan terhadap anak menjadi isu dibalik masih tingginya angka kematian
dan kesakitan anak. Beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan ini berasal dari keluarga dan
lingkungan keluarga. Indonesia telah melakukan langkah-langkah penanganan terhadap korban
kekerasan terhadap anak dari berbagai institusi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang
terkait, namun pelaksanaannya masih belum optimal.
Kesimpulanya adalah analisis penanganan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dari sebelum
pandemi sampai terjadi pandemi Covid 19 membutuhkan penanganan yang komperhensif dari berbagai
aspek.

Kata Kunci: Penanganan kekerasan anak; Pandemi Covid 19

1
LITERATURE REVIEW: THE ANALYSIS OF CHILD ABUSE DURING
PANDEMIC COVID 19
Ika Harni Lestyoningsih, SKM., M.Kes (1) Sri Lindawati, S.Sos.,M.Kes(2)
MIDWIVES DISTRICT HEALTH OFFICE OF KUTAI KARTANGERA
Email: ikaharni@rocketmail.com

ABSTRACT
Pandemic ERA COVID-19 cases of violence against minors experienced a sharp increase. Various
factors are considered to be triggers, one of which is a lot of citizens or parents who are stressed because
it should Work From Home (WFH). This method of research using literature review, articles collected
using search engines such as Science Direct and EBSCO. The article criteria used were published in
2016-2020. This research is to collect and analyze articles relating to the handling of violence against
children during the Covid 19 pandemic. Based on the analysis of the case situation of violence against
children is the issue behind the high mortality rate and child pain. Some factors that affect this state come
from family and family environment. Indonesia has carried out measures against victims of violence
against children from various government institutions and related non-governmental organizations, but the
implementation is still not optimal. The conclusion is the analysis of the treatment of violence against
children from before pandemic until the Covid 19 pandemic requires a comprehensive handling of various
aspects.

Keywords: Handling child violence; Pandemi Covid 19

2
LITERATUR REVIEW: ANALISIS PENANGANAN KEKERASAN
TERHADAP ANAKDIMASA PANDEMI COVID 19
Ika Harni Lestyoningsih, SKM., M.Kes (1) Sri Lindawati, S.Sos.,M.Kes(2)
BIDAN DINAS KESEHATAN KABUPATEN KUTAI KARTANGERA
Email: ikaharni@rocketmail.com

PENDAHULUAN
Pandemi corona merupakan wabah global, tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia,
tetapi juga turut memberi tekanan sosial dan ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial (social distancing) di
seluruh dunia mengakibatkan banyak orang bekerja dari rumah atau bahkan kehilangan pekerjaannya.
Hal ini meningkatkan tindak kekerasan lantaran tekanan kebutuhan ekonomi menyebabkan tingkat stres
tinggi karena terjebak dirumah. Anak perempuan pun menjadi kelompok yang paling terancam karena
situasi ini (1). Menurut PBB meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi akibat pandemi virus corona telah
menyebabkan meningkatnya kasus kekerasan anak, Banyak negara telah melaporkan peningkatan
signifikan pada kasus kekerasan anak. Afrika Selatan melaporkan setidaknya 90.000 pengaduan kasusu
kekerasan terhadap wanita pada minggu pertama diberlakukannya pembatasan wilayah. Meningkatnya
kasus COVID-19 membuat Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan intruksi untuk pembatasan
keluar rumah, bahkan sejak 16 Maret 2020, Pegawai Negeri Sipil diinstruksikan untuk bekerja dari rumah,
dan sebagian perusahan swasta memberlakukan intruksi yang sama. Kementerian Ketenagakerjaan
(Kemenaker) dan BPJS ketenagakerjaan mencatat 2,8 juta pekerja telah diberhentikan selama pandemi
COVID-19 karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak beroperasi (2). Tingginya jumlah Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), hilangnya mata pencaharian masyarakat, diikuti dampak lain seperti munculnya
potensi kekerasan anak. Penetapan COVID-19 sebagai bencana Nasional dalam Keputusan Presiden
(Keppres) No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional. Kondisi tersebut menyebabkan beban keluarga semakin
meningkat dimana selain harus mengurus rumah tangga, pendampingan tugas sekolah anak, bahkan
mencari tambahan ekonomi keluarga. Beban ganda ini memicu konflik rumah tangga semakin kuat yang
berujung pada potensi kekerasan pada anak (3).
Menurut WHO, 2015 usia 0-17 tahun disebut anak-anak dibawah umur. Berdasarkan teori Psikologi
Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja (4). Hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal
28 (B)(2) UUD 1945 yang berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sesuai dengan Hukum
Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Anak
perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki-laki (5).
Pelanggaran terhadap hak anak setiap saat mengalami peningkatan. Semakin meningkatnya kasus
kekerasan terhadap anak harus menjadi perhatian bagi semua pihak. Pengabaian terhadap kasus-kasus
kekerasan terhadap anak-anak tersebut merupakan pengabaian terhadap hak-hak anak. Pusat
Pelayanan Terpadu Pemeberdayaan Perempuan Dan Anak, 2015 menunjukkan bahwa Indonesia berada
pada posisi darurat kekerasan terhadap anak dalam lima tahun terakhir (2015-2019). Hasil monitoring
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) menunjukkan 58% dari jumlah kasus tersebut merupakan tindak
kejahatan seksual. 2.898 kasus kekerasan terhadap anak dengan 59,30% kasus berupa kejahatan
seksual dan 40,70% merupakan akumulasi dari kasus kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan,
perkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, tawuran dan kasus
narkoba. Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll.Hal ini bukan
berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat
perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar (6). Komisi Perlindungan Anak pada
tahun 2016 mencatat 4.494 (19,4%) kasus kekerasan anak dalam pengasuhan, sebanyak 1.881 (8,5%)
kasus kesehatan dan Napza. Sebanyak 958 (3,4%) kasus agama dan budaya dan sekitar 2.435 (11%)
kasus pendidikan. Sebanyak 1.709 (7,7%) kasus pornografi dan cyber crime. Terdapat 1.306 kasus
(5,9%) kasus trafficking dan eksploitasi dan sisanya 7.698 (34%) kasus anak berhadapan dengan hukum.
Pada tahun 2016 dari sekitar 1000 kasus tersebut, ada 136 kasus kekerasan terhadap anak yang
disebabkan oleh pengaruh media sosial (7).

3
Tren perkembangan teknologi menjadikan media sosial sebagai sumber utama terjadinya kekerasan
saat ini, khususnya di kalangan anak-anak, misalnya, yang terjadi pada kasus bully dan sejenisnya
terhadap anak meningkat tajam dari tahun ke tahun. Hasil pemantauan KPAI, rata-rata 45 anak
mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak)
mencatat, dalam kurun waktu lima tahun ini Indonesia berada pada posisi darurat kekerasan terhadap
anak dengan 21.689.987 data pelanggaran hak anak yang tersebar di 33 provinsi dan 202
Kabupaten/Kota. Pelaku kekerasan anak adalah anggota keluarga, tetangga, teman, guru, tokoh agama,
tokoh masyarakat dan lain-lain. Umumnya tindak kekerasan tersebut terjadi di ruang privat sebesar 62%
dan ruang publik seperti rumah, sekolah, panti asuhan, lembaga keagamaan dan lainnya sebanyak 38%.
Tindak kekerasan terhadap anak yang paling tinggi adalah kekerasan seksual.Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) sampai kemudian menyebut Indonesia dalam kondisi lampu merah kejahatan seksual
terhadap anak. Data yang dilansir UNICEF, 1 dari 10 anak perempuan di dunia telah menjadi korban
kejahatan seksual.KPAI mencatat bahwa dari hari ke hari anak korban kejahatan seksual terus terjadi,
bahkan korban hingga dibunuh dan dimutilasi. KPAI menegaskan sudah saatnya alarm bahaya kejahatan
seksual terus disuarakan oleh siapa pun elemen di negeri ini untuk menghalau para penjahat seksual (8).
Pendidikan, tindakan kekeasan juga sering terjadi menimpa anak-anak. Perkelahian antar peserta
didik, tindak pemerkosaan siswa terhadap siswi, bahkan pembunuhan. Belum lagi kekerasan yang
dilakukan oleh guru kepada peserta didik, seperti pemukulan dan bentuk-bentuk hukuman lainnya yang
membahayakan dan melukai anak yang tidak ada nuansa edukatifnya sama sekali. Fakta-fakta sosial
tersebut di atas menunjukan bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan bertanggung jawab terhadap
pencegahan dan atau penanggulangan terjadinya kekerasan khususnya yang menimpa anak-anak,
dalam hal ini anak usia dini yang sangat rentan terhadap perbuatan tindak kekerasan yang dilakukan oleh
orang dewasa. Sebanyak 2.898 kasus kekerasan pada anak dari 2.898 kasus tersebut, 60% merupakan
kasus kejahatan seksual. Sedangkan 40% lainnya adalah kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan,
pemerkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual atau ekonomi,
tawuran, dan kasus narkoba (9). Masa Pandemi COVID-19 kasus kekerasan terhadap anak di bawah
umur mengalami peningkatan tajam. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
P2TP2A dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar
75% sejak pandemi Covid-19. Berbagai faktor dianggap menjadi pemicu, salah satunya banyak warga
atau orang tua yang stres karena harus Work From Home (WFH). Faktor pemicu bisa dari stres, seperti
orang tua berada di rumah sehingga menjadi bosan memicu emosi untuk stres. Faktor kedua yaitu
ekonomi masih faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak, lalu pola asuh juga memicu kasus
kekerasan anak di bawah umur meningkat sekitar 20%, dari semua kasus kekerasan anak paling banyak
pelakunya adalah orang terdekat korban (10).
Pada bulan maret 2020 kasus pertama COVID-19 mulai muncul di Indonesia sekaligus menjadikan
Indonesia masuk ke dalam daftar 213 negara yang mengalami kasus serupa. Sejak tanggal 1 Mei 2020
kasus COVID-19 sudah mencapai 10.551 orang dengan jumlah kematian mencapai 800 orang. Angka
Dunia per 1 Mei memperlihatkan data COVID-19 mencapai 3.256.570 kasus terkonfirmasi yang tersebar
di 213 negara.Sementara angka kematian di dunia akibat virus Corona ini mencapai 1.069.534.Selama
pandemi ini, sejumlah sumber menyebutkan 1.848 anak mengalami kekerasan seksual, 852 anak
mengalami kekerasan fisik, dan 768 anak mengalami kekerasan psikis, ungkap Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) periode Januari – Juni 2020. Laporan Penilaian
Kebutuhan Cepat COVID-19 di Indonesia oleh Save the Children April 2020, mengungkapkan 4 dari 10
orang tua tidak melakukan perlindungan terhadap anak-anaknya dari sisi negative internet.Selain itu,
84% anak-anak usia 12-17 tahun mengalami perundungan di dunia maya. Begitu pula 80.3% orangtua
atau orang dewasa tidak melaporkan tindakan kekerasan pada lembaga layanan, demikian data dari
"Kajian dinamika perubahan di dalam rumah tangga selama COVID-19 di 34 provinsi di Indonesia" oleh
Komnas Perempuan selama April-Mei 2020. Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan
Perempuan dan Anak dari bulan Januari hingga Juni 2020, yang dipantau Save the Children, ada 3000
anak yang menjadi korban kekerasan di rumah selama pandemi COVID-19. Seperti halnya data
kekerasan secara umum, banyak kasus-kasus tidak dilaporkan dan sangat mungkin angka ini bisa
melebihi angka yang tercatat secara resmi.Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik
menelitipenanganan masalah kekerasan terhadap anakdimasa pandemic Covid 19 (11).

4
METODE
Metode yang digunakan adalah literature review yaitu sebuah pencarian literature, baik internasional
maupun nasional dengan menggunakan pencarian database melalui media. Science Direct dan EBSCO.
Awal tahap pencarian artikel jurnal diperoleh 216 artikel dari tahun 2016 sampai tahun 2020
menggunakan kata kunci "kekerasan anak” dan “penanganan kekerasan pada anak", dan ”child abuse”,
yang diidentifikasi melalui artikel. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 22 artikel yang dianggap relevan.
Dari jumlah artikel ada 11 artikel yang memiliki kriteria penuh, 7 artikel yang berkualitas menengah, dan 4
artikel yang berkualitas rendah. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 20 Januari 2020 sampai tanggal28
Juni 2020. Populasi yaitu 216 artikel atau jurnal tentang penanganan kekerasan terhadap anak. Sampel
ialah 22 artikel atau jurnal tentang kekerasan pada anak. Jenis data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari jurnal, buku, dokumentasi, melalui
EBSCO dan Science Direct. Data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis
deskriptif. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian
disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan
penjelasan secukupnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari dunia kedokteran. Child abuse
merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan
cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi
tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan
terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Perlakuan yang salah pada anak yang merupakan
akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik,
psikologi sosial maupun mental. Berbentuk penganiayaan baik penganiayaan fisik yaitu tindakan kasar
yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan
penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak secara psikologis dan
penelantaran (12).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) (2020) kekerasan pada
anak meningkat selama pandemi COVID -19, banyak orang tua yang belum siap dengan kondisi tetap di
rumah dan jadi pengasuh yang baik. Dalam kurun waktu tiga minggu selama bulan April 2020, kekerasan
pada anak mengalami peningkatan. Sebanyak 368 kasus kekerasan dialami 407 anak.Kekerasan pada
anak terjadi karena kurang baiknya aspek psikologis orang tua atau pun pengasuh. Orang tua kurang
memiliki pendidikan terutama tentang disiplin dan perkembangan anak-anak atau mereka mengalami
kelainan secara emosional dan kognitif ketika mereka masih kanak-kanak. Akumulasi lingkungan seperti
kemiskinan, pengangguran, kondisi tempat tinggal, keterasingan, dan faktor-faktor lain dapat
menyebabkan kekerasan. Perspektif sosio-situasional yang melihat interaksi antara anak dan pelaku
sebagai penentu kekerasan seperti kecacatan, temperamen, atau perilaku anak sebagai tekanan orang
tua yang menghalangi ikatan yang positif antara orang tua dan anak-anak. Keadaan tersebut saling
terkait dalam peristiwa kekerasan terhadap anak (1, 6).
Banyak orang tua yang belum siap beradaptasi dengan kondisi untuk tetap dirumah serta belum
terbangun relasi yang setara dan orang tua belum siap menjadi pengasuh yang baik. Kondisi ini banyak
memunculkan konflik baru. Hal itu yang menyebabkan meningkatnya kekerasan di rumah baik pada
pasangan maupun anak, hal ini dapat menjadi gambaran anak terhadap orang tuanya. Orang tua
kehilangan sumber pendapatan, cemas tidak mampu membayar tagihan, banyak yang tidak mampu
mengelola mentalnya. Akibatnya pelariannya dengan melakukan kekerasan pada anak atau anggota
keluarga lainnya.Perubahan terjadi pada anak, mulai dari kekerasan pada anak, anak tidak senang
belajar di rumah, anak tidak bahagia, dan anak bosan berada di rumah (4, 13). Survei yang dilakukan
Forum Anak terkait pandemi COVID -19, menyatakan bahwa 99% anak menyatakan belajar di rumah itu
sangat penting. Kemudian 58% menyatakan perasaan tidak menyenangkan selama menjalani program
belajar di rumah. Sebanyak 49% anak juga menyatakan bahwa program belajar dari rumah membebani
anak dengan tugas yang banyak (10).
Dampak lainnya dari kekerasan fisik ini adalah anak akan menyalahkan dirinya sendiri atas
kekerasan yang terjadi. Anak membuat rasionalisasi bahwa perilaku kekerasan orang dewasa

5
merupakan respon yang perlu dilakukan terhadap “anak nakal”. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak
yang mengalami kekerasan memiliki konsep diri yang buruk dan kurang percaya diri terhadap
kemampuan dirinya.Kekerasan fisik akan menyebabkan keterlambatan perkembangan. Hal ini
disebabkan anak-anak akan menghabiskan perhatian dan energinya untuk menghadapi situasi yang
dihadapinya. Selain itu, bentuk kekerasan lain selain kekerasan fisik adalah penelantaran anak. Anak
yang diterlantarkan dapat terluka secara psikologis, fisik dan perkembangannya, bahkan dapat berujung
kematian. Anak yang mengalami penelantaran, setelah dewasa cenderung menjadi orang yang tidak
mempercayai orang lain, memiliki penghargaan diri yang rendah, memiliki masalah dengan kemarahan
dan janggal secara sosial dan terisolasi (13).
Pada masa Pandemi COVID 19 ini. Orang tua menjadi lebih rentan terhadap stress termasuk
lingkungan yang tidak kondusif. Faktor penyebab orang tua memproduksi stres antara lain, pernikahan
dini; kurangnya ilmu parenting; masalah ekonomi, konflik keluarga; KDRT, trauma/luka batin, perceraian,
kegagalan bersosialisasi, sakit fisik, sakit psikis, seperti baby blues syndrome, post partum depression,
bipolar, dan hal lain yang membuat orangtua tidak dapat mencintai anak seutuhnya (1). Kasus kejahatan
seksual anak menunjukkan bahwa perlindungan anak masih lemah dan penegakan hukum yang masih
lemah serta lambannya inisiatif pemerintah dalam menguak kasus kejahatan seksual anak membuka
peluang pelaku kembali melakukan aksinya Dampak psikologis yang ditimbulkan dari kekerasan seksual
adalah depresi, fobia, mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalamwaktu yang cukup lama (14).
Penelitian ini sesuai dengan Mulyana, 2018 setelah mengalami kekerasan seksual survivor mengalami
PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) beberapa gejala yang muncul adalah keinginan untuk bunuh diri,
hilangnya kecemasan diantaranya gemetar, gelisah, kekhawatiran terhadap lingkungan masa depan dan
masyarakat (8). Menurut Ningsih, 2018 ada enam faktor atau kondisi lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan anak, dan ini sekalgus menjadi titik pijak dalam pembentukan karanter yang baik, yaitu
perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh hubungan antar pribadi yang menyenangkan; keadaan
emosi; metode pengasuhan anak; peran dini yang diberikan anak, struktrur keluarga di masa kanak-
kanak; dan rangsangan terhadap lingkungan sekitarnya (7).
Berdasarkan hasil artikel yang dikumpulkan dan analisa penulis didapatkan bahwa peningkatan
jumlah kasus yang terlaporkan kemungkinan masih banyak yang tidak terlaporkan seperti fenomena
gunung es. Terlebih dimasa Pandemi COVID 19, anak berpotensi mengalami keadaan kehilangan orang
tua karena covid 19, anak berisiko karena orang tua kehilangan penghasilan, anak tidak dapat dan
terbatas akses pendidikan yang berkualitas, kekerasan dan eksploitasi anak dalam masa pandemi covid
19, anak yang terdampak covid 19 dan tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan nutrisi, anak yang
berada pada wilayah bencana atau terdampak bencana, anak dengan disabilitas dalam masa pendemik
COVID 19. Risiko tersebut diidentifikasi oleh Save the Children Indonesia berdasarkan survei yang
berlangsung bulan Maret lalu di 27 provinsi. Survei ini diikuti oleh 11.989 orang tua dan 4.698 guru.
Survei ini juga diperkaya oleh sumber-sumber sekunder terpercaya (6). Kasus kekerasan yang terjadi
tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak bisa saja terjadi dalam keluarga dan dilakukan
justru oleh orang-orang terdekat. Ayah dan ibu yang tidak harmonis cenderung bersikap tidak peduli
dengan anak-anaknya. Orang tua sibuk dengan permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian,
orang tua menjadi lalai dengan perkembangan dan pergaulan anak-anaknya yang butuh perhatian dan
perlindungan selanjutnya mencari perhatian diluar rumah. Dalam kondisi demikian, anak menjadi rentan
untuk menjadi korban kekerasan atau menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak lainnya (9).
Sementara faktor eksternal lebih mengarah kepada pengaruh lingkungan pergaulan dan
perkembangan teknologi. Kekerasan terhadap anak yang berhubungan dengan lingkungan justru terjadi
di lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Saat pandemik Covid 19 dimana sekolah dilakukan
dengan metode pembelajaran jarak jauh/daring yang memungkinkan anak-anak lebih banyak terpapar
gadget sehingga anak berisiko kecanduan gadget. Media sosial dan berbagai game kekerasan
mendorong anak-anak untuk mempraktikkanya dengan teman-temannya. Rasa ingin tahu yang sangat
besar dalam diri anakanak mendorong anak-anak untuk mencoba meniru apa yang dilihatnya. Demikian
juga dengan mudahnya anak-anak untuk mengakses media sosial setiap saat, sehingga anak-anak dapat
membuka adegan-adegan yang berbau kekerasan dan pornografi (8). Anak-anak menjadi terbiasa
dengan tindak kekerasan, akibatnya seringkali kasus kekerasan terjadi karena kebiasaan. Kekerasan
yang bersifat personal lebih kepada kekerasan yang terjadi secara langsung. Kasus bullying yang terjadi
memperlihatkan bahwa kekerasan yang terjadi tersebut bersifat personal. Sementara itu kekerasan yang
bersifat struktur terjadi karena semakin berkurangnya kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat.

6
Banyaknya tontonan dalam games yang dapat diakses oleh anak-anak menjadikan perilaku lekat dengan
kekerasan (3).
Kebijakan dalam penanganan anak korban kekerasan sebenarnya sudah ada, baik yang bersifat
nasional seperti undang-undang maupun yang diterbitkan oleh masing-masing daerah. Kebijakan di
Indonesia telah diberlakukan dalam pencegahan kekerasan terhadap anak yang bertujuan untuk
melindungi anak-anak. Kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan kekerasan terhadap anak
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Ayat (2) bahwa Perlindungan Anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (13). Peraturan Bupati
tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di beberapa Kabupaten di
Indonesia telah dibuat. Sistem pembangunan suatu wilayah administrasi yang mengintegrasikan
komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara
menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan program kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak
anak. Layak adalah kondisi fisik dan non fisik suatu wilayah dimana aspek-aspek kehidupannya
memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan/atau Undang-Undang
Perlindungan Anak (3). Keterlibatan institusi, baik pemerintah maupun masyarakat dalam penanganan
kekerasan terhadap anak di Indonesia meliputi Dinas Sosial, Kepolisian, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, Dinas Kesehatan, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak), dan LSM atau pemerhati sosial masyarakat. Koordinasi antar institusi juga dilakukan oleh institusi
tersebut (3).
Peran-peran yang dijalankan oleh setiap institusi yang berkaitan dengan penanganan kekerasan
terhadap anak mempunyai kendala yang paling terasa dihadapi oleh semua institusi yang menangani
kasus ini. Banyak kasus kekerasan terhadap anak yang dibiarkan.Tidak dilaporkannya tindak kekerasan
terhadap anak dapat dikarenakan, pertama, kasus tersebut dianggap merupakan aib baik itu bagi pelaku
maupun korban. Pelaku merupakan orang dekat dengan korban maupun keluarganya. Kekerasan
seringkali dilakukan oleh keluarga dekat, baik itu orang tua atau keluarga dekat lainnya. Melaporkan
kasus tersebut berarti akan menyeret orang terdekat untuk mendapatkan hukuman, baik itu hukuman fisik
maupun hukuman sosial dari masyarakat (13). Permasalahan lainnya berkaitan dengan sumber
daya.keterbatasan dana yang dapat digunakan untuk penanganan anak korban kekerasan menjadikan
sarana yang ada masih terbatas. Dana yang tersedia hanya cukup untuk operasional. Sebagai contoh
rumah singgah yang disediakan oleh P2TP2A hanya dapat menampung beberapa anak korban.
Demikian juga dengan dengan rumah sakit yang terbatas menyediakan ruangan khusus bagi anak
korban kekerasan.Semakin banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang harus ditangani menjadikan
kebutuhan akan sumber daya manusia juga semakin bertambah. Di sisi lain, jumlah relawan juga tidak
dapat diharapkan. Sehingga, tidak adanya sumber daya manusia yang ditugaskan secara khusus untuk
menangani anak korban kekerasan.Sumber daya manusia dalam menangani anak korban kekerasan
merupakan bagian dari tugas secara keseluruhan, sementara secara kualitas sumber daya manusia juga
terbatas (6).
Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak ini diperlukan adanya penanganan yang komprehensif.
Pelibatan semua eleman ini tentunya agar kekerasan terhadap anak dapat berkurang. Berdasarkan
Catatan Kompas Tahunan 2017 Komnas Perempuan mencatatkan kasus kekerasan yang terjadi di
Indonesia pada tahun 2016 dari 358 Pengadilan Agama tercatat ada 245.548 kasus kekerasan dan data
sejumlah 233 kasus kekerasan di 34 provinsi tercatat ada 13.602 kasus yang ditangani oleh Mitra
Pengadaan Layanan. Dari jumlah data tersebut diperoleh hasil sebanyak 259.150 kasus kekerasan
tehadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak menyatakan pada bulan Maret 2018 tercatat ada sekitar 1.900 laporan tindak
kekerasan terhadap anak di Indonesia. Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi sehingga perlu adanya
kesadaran masyarakat untuk melaporkan pelaku kejahatan. Hanya kasus-kasus kekerasan berat yang
seringkali muncul ke ruang publik, seperti pembunuhan ataupun pemerkosaan. Umumnya beberapa
literatur digabungkan dan diperoleh hasil yang merupakan kombinasi beberapa kunci mendasar dan
mengembangkan berbagai rekomendasi untuk meningkatkan penanganan kekerasan pada anak yang
lengkap. Penguatan keluarga melalui pendekatan kegiatan parenting, Bina Keluarga, program penguatan
keluarga yang ditujukan kepada orang tua, remaja sebagai calon orang tua, agar mengerti tentang

7
penanganan kekerasan terhadap anak, serta mengenai hak dan tanggung jawab sebagai orang tua dan
Hak anak yang saat ini masih terabaikan (16).
Menurut Setiani, 2016 bahwa semakin baik hubungan orang tua dengan anak maka semakin baik
pertumbuhan dan perkembangan anak dilingkungan yang baik, aman dan nyaman sesuai dengan hak-
hak anak. Kekerasan terhadap anak dalam keluarga kerap dilakukan oleh orang tua yang sedang
mengalami stres. Bentuk kekerasan terhadap anak dapat dibagi menjadi empat yaitu: kekerasan fisik,
kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Idealnya orang tua harus mampu
menciptakan suasana gembira. Pengasuhan anak pada masa pandemi harus mengalami transformasi.
Meningkatkan peran pengasuhan anak pada saat pandemi yakni luangkan waktu untuk dihabiskan
bersama anak, gunakan kalimat positif dan kembangkan perilaku positif pada anak(16). Peran orang tua
sangat diperlukan dalam pengasuhan terhadap anak agar tetap tenang dan kelola stres, membuat
rutinitas harian yang fleksibel dan konsisten, terbuka tentang informasi COVID-19, dan mengarahkan bila
anak berperilaku anak yang buruk. Penelitian-penelitian terhadap kekerasan terhadap anak harus lebih
banyak dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan anak dan mengimplementasi undang-undang hak
anak yang seharusnya menjadi kewajiban bagi orang dewasa disekitarnya (9).

KESIMPULAN:
Kekerasan terhadap anak memerlukan perhatian semua pihak. Trauma yang akan dihadapi anak
baik itu sebagai korban maupun pelaku akan selalu dibawa sepanjang kehidupannya. Diperlukan adanya
koordinasi antarinsitusi dalam penanganan terhadap anak korban kekerasan. Pelayanan menjadi lebih
komprehensif dengan melibatkan berbagai institusi, baik itu institusi pemerintah maupun lembaga
swadaya masyarakat. Hal terpenting dalam melihat kekerasan terhadap anak adalah kontrol sosial yang
dapat mengawasi perilaku yang menjurus terhadap kekerasan. Pengawasan dalam masyarakat ini
tentunya bukan untuk mengawasi secara gamblang semua perilaku masyarakat. Akan tetapi semua
masyarakat peduli terhadap gerak-gerik yang mengarah kepada perilaku yang menjurus kepada
kekerasan terhadap anak. Dengan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan kekerasan
terhadap akan juga akan semakin berkurang terutama dimasa Pandemi COVID 19 (2).
Berdasarkan temuan penelitian dibeberapa Kabupaten/Kota di Indonesia, terdapat beberapa alasan
mengapa kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga selalu ada dalam masyarakat, terlebh
kasusnya meningkat dimas Pandemi COVID 19 (1). Trauma masa lalu diantaranya pewarisan kekerasan
antar generasi, yang dapat timbul bila diperkuat adanya beban masalah. Kekerasan terhadap anak dalam
keluarga sulit diungkap ke ruang publik, sebagai suatu kasus yang tergolong tabu dan disadari melanggar
batas-batas etika, kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga jarang terekspos keluar seperti
kasus inces (hubungan seksual sedarah), kekerasan fisik (pukulan, cubitan), kekerasan psikis (kata-kata
mencaci maki), dan pelecehan, terkadang hal ini dianggap lumrah, hanya kasus-kasus kekerasan berat
yang seringkali muncul ke ruang publik, seperti pembunuhan ataupun pemerkosaan (17). Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan United Nations
Fund for Population (UNFPA) menetapkan panduan dan protokol penanganan kasus kekerasan yang
dapat digunakan sebagai protokol bersama yaitu Panduan Pemberian Pelayanan Perempuan dan Anak
Selama Masa Pandemi COVID 19, Protokol Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Dan
Anak di Masa Pandemi COVID 19. Hal ini ditujukan agar korban dan lembaga penyedia layanan tetap
bisa memberikan penanganan kasus dengan merujuk pada protokol tersebut. Diharapkan dengan
koordinasi lintas sektor dan masyarakat serta didukung oleh kebijakan, protokol dan panduan
penanganan kasus kekerasan terhadap anak dapat diminimalisir, demi Pemenuhan hak-hak anak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada pihak-pihak yang membantu
pelaksanaan penelitian ini, yang Terhormat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur yang telah mendukung dan memberikan izin dan kesempatan dalam pelaksanaan
penelitian ini. Para Donatur yang telah mendukung dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

8
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak R.I (2020) Panduan Pemberian Layanan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Selama
Masa Pandemi COVID 19. DKI Jakarta. Deputi Bidang PHP-Kemen PPPA, UNFPA, P2TP2A, Forum
Penyedia Layanan, Yayasan Pulih
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak R.I (2020) Tanggap Darurat COVID 19, P2TP2A Provinsi DKI Jakarta, Deputi Bidang PHP-
Kemen PPPA, UNFPA, P2TP2A, Forum Penyedia Layanan, Yayasan Pulih
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak R.I (2020) Pedoman Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender
dalam Bencana, KPPPA dan UNFPA tahun 2019. DKI Jakarta. Deputi Bidang PHP-Kemen PPPA,
UNFPA, P2TP2A, Forum Penyedia Layanan, Yayasan Pulih
World Health Organization (WHO). (2015) Adolescent Development: Topics at Glance. Diakses:
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/ topics/adolescence/dev/en/#
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak R.I (2020) Protokol Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi
Covid-19. DKI Jakarta. Deputi Bidang PHP-Kemen PPPA, UNFPA, P2TP2A, Forum Penyedia
Layanan, Yayasan Pulih
Setiawan Agus, Arifin Ridwan (2019) Analisis Upaya Perlindungan Dan Pemulihan Terhadap Kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Khususnya Anak-Anak Dan Perempuan, Jurnal UNES.
3(1); 9-19.
Ningsih Bayu Sari Ermaya, Sri Hennyati. (2018) Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kabupaten
Karawang. Jurnal Bidan “Midwife Journal” ISSN 2477-3441.4.(2); 56-65.
Mulyana Nandang, Risnawaty Risna, Ginanjar Gigih (2018) Penanganan Anak Korban Kekerasan,
Jurnal Al Izzah, ISSN 1978-9726 (p):2541-0717(e). 13(1);77-89.
Nadia Abd Aziz, Nurul, Syazliana Astrah Mohd Idris, dkk. (2018). “Factors Affecting Domestic
Violence Against Women: A Conceptual Model And Research Propositions”, International Journal For
Studies On Children, Women, Elderly And Disabled.
Laporan Data Simponi Kemen PPA Periode Maret – April 2020
Laporan gugus tugas penanganan COVID-19
UNICEF Indonesia. (2012) Ringkasan Kajian Perlindungan Anak. Jakarta: Unit For Children
Saraswati, Rika. (2015). Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Khaleed, Badriyah. (2015) Penyelesaian Hukum KDRT:Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dan Upaya Pemulihannya, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.
Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak. Indonesia Darurat Kekerasan Anak. (2015). Diakses:
http://p2tp2abukittinggi.blogspot.co.id/2015/08/indonesia-daruratkekerasan-anak.html
Setiani. Eka Riris. (2016). Pendidikan Anti Kekerasan Untuk Anak Usia Dini: Konsepsi dan
Implementasinya Golden Age. Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. 1(1);39-56.
Maknun Lu'luil. (2017) Kekerasan Terhadap Anak Yang Dilakukan Oleh Orang Tua (Child Abuse)
Jurnal Madrasah Ibtidaiyah Muallimuna. 3(1); 67-77.

Anda mungkin juga menyukai