Anda di halaman 1dari 33

STIGMA SOSIAL PADA PASIEN TERKONFIRMASI COVID

19 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GEDONG TATAAN


KABUPATEN PESAWARAN TAHUN 2021

Disusun Oleh:

FITRI SEPTIANINGSIH
19420062

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era globalisasi saat ini, teknologi informasi berkembang dengan pesat

sehingga memberikan kemudahan dalam penyampaian data dan pengolahan

informasi. Informasi dapat tersampaikan dengan cepat dan menjangkau

seluruh pelosok negara. Kecepatan informasi ini bukan hanya memberikan

efek positif, namun juga memungkinkan penyebaran berita hoax di

masyarakat.

Ketersediaan informasi terkait penyakit global berupa pandemi covid 19

menimbulkan respon yang beragam di kalangan masyarakat. Informasi negatif

yang diterima masyarakat dapat menimbulkan rasa was-was, takut, dan cemas

berlebihan yang mengalahkan rasa empati dan simpati terhadap pasien

terkonfirmasi covid 19. Kesalahan dalam menginterpretasikan berita,

pengetahuan yang kurang mengenai covid 19 dan pedoman yang kurang jelas

terkait isolasi yang dikeluarkan pemerintah menghasilkan reaksi yang

merugikan terhadap tenaga kesehatan, pasien terkonfirmasi covid 19 dan

keluarganya. Reaksi yang merugikan ini menimbulkan stigma yang

memperparah kondisi sosial masyarakat.

Stigma muncul akibat ketidaktahuan masyarakat mengenai penyebaran

penyakit covid 19 sehingga menimbulkan ketakutan, kebutuhan untuk


menyalahkan seseorang atau sekelompok orang dan munculnya rumor terkait

covid 19 yang tersebar di masyarakat. Pemberian label, stereotip, pengucilan

dan perlakuan yang berbeda terhadap seseorang karena status kesehatannya

timbul akibat stigma yang melekat terkait covid 19. Hal ini menyebabkan

timbulnya perasaan tertekan, marah dan kecewa pada pasien terkonfirmasi

covid 19 dan dapat memperburuk kondisi penyakitnya.

Menurut World Health Organization (WHO) (2020), masyarakat

memberikan stigma terkait covid 19 karena covid 19 merupakan penyakit baru

dan masih banyak yang belum diketahui dari penyakit ini sehingga

menimbulkan ketakutan, rasa was-was dan cemas yang berlebihan yang

mengakibatkan munculnya stereotip yang merugikan

Stigma dapat merusak kohesi sosial dan mendorong terjadinya

kemungkinan isolasi sosial terhadap komunitas tertentu di masyarakat, yang

dapat berkontribusi pada situasi yang justru lebih memungkinkan untuk

penyebaran virus. Hal ini dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih

parah dan kesulitan mengendalikan pandemi penyakit (WHO, 2020)

Stigma menjadi penyebab utama terjadinya diskriminasi dan pengucilan

yang berdampak pada harga diri seseorang. Sikap ini menciptakan lingkungan

sosial yang tidak mendukung dan malah menambah masalah bagi petugas

kesehatan dan pemerintah dalam upaya percepatan penanggulangan covid 19

di Indonesia (WHO, 2020)

Lingkungan sosial yang tidak mendukung mengakibatkan kesulitan bagi

tenaga kesehatan dalam melakukan pelacakan (tracing) terhadap kontak erat


pasien terkonfirmasi covid 19. Disamping itu, ketakutan akan

didiskriminasikan oleh masyarakat menyebabkan munculnya perilaku

menyembunyikan penyakit dan menghindari fasilitas kesehatan untuk mencari

pengobatan terkait penyakitnya dan ini akan membuat penyakit yang diderita

semakin parah. Dalam situasi pandemi covid 19, perilaku ini akan mendorong

peningkatan kasus penyakit dan kematian serta upaya penanggulangan

pandemi covid 19 menjadi terhambat (Singh & Subedi, 2020)

Dari studi literatur yang dilakukan oleh Nursalam, dkk dari fakultas

keperawatan Universitas Airlangga menemukan bahwa persepsi masyarakat,

pengalaman, pengetahuan, latar belakang pendidikan dan stressor dari

lingkungan menjadi faktor yang berkontribusi dalam terbentuknya stigma

terkait covid 19. Salah satu pasien covid 19 melaporkan bahwa ia merasa

diabaikan dan dikucilkan masyarakat, menjauh dari fasilitas kesehatan dan

merasa berjarak dengan tenaga kesehatan karena penggunaan alat pelindung

diri.

Saat lingkungan berubah, secara psikologis orang akan merasa tidak

aman, tidak nyaman dan cemas. Rasa takut dan cemas akan terinfeksi covid 19

mengarahkan timbulnya perilaku diskriminasi di masyarakat. Ketika suatu

wabah penyakit terjadi, saat penyebab, proses penyebaran dan dampak dari

penyakit tersebut tidak diketahui dengan jelas seperti pada situasi pandemi

saat ini, persepsi masyarakat akan berkembang menjadi rumor yang

mengarahkan pada perilaku negatif (Ren et all, 2020)


Situasi yang tidak pasti meningkatkan perasaan khawatir yang membuat

orang berusaha mengendalikannya dengan perilaku yang masif. Seperti

contoh, di awal pandemi banyak orang yang membeli handsanitizer dan

bahan-bahan pokok karena ketakutan akan efek karantina masal (lockdown)

yang diterapkan pemerintah.

Karantina massal dilakukan agar penyebaran virus covid 19 dapat

diminalisir sehingga kejadian kasus dapat menurun. Karantina masal yang

diterapkan di beberapa daerah di Indonesia sayangnya juga memberikan efek

negatif di masyarakat berupa munculnya perasaan terisolasi dan

ketidakmampuan dalam mengelola stress yang menimbulkan peningkatan rasa

takut dan cemas akan karantina dan kehilangan kendali atas situasi yang

berkembang saat ini serta penyebaran rumor. Rumor terbentuk dari keinginan

masyarakat untuk mencari fakta terkait covid 19 namun data resmi yang

dikeluarkan oleh badan-badan ahli belum memadai sehingga masyarakat

mencari data dari sumber yang kurang dapat dipercaya (Rubin & Wessely,

2020)

Provinsi Lampung saat ini tengah berjuang melawan covid 19. Melalui

gugus tugas penanganan covid 19, semua elemen masyarakat digerakan untuk

berlaku bersih dan sehat. Protokol kesehatan berupa 3 M (mencuci tangan

dengan sabun di air mengalir atau mencuci tangan dengan handsanitizer

selama 20 detik, memakai masker jika bepergian ke luar rumah dan menjaga

jarak) digalakan namun sayangnya usaha ini belum berhasil menekan angka

kasus covid 19 di provinsi Lampung.


Berdasarkan data Dinas Kesehatan provinsi Lampung tertanggal 19

Januari 2021 terdapat 124 kasus konfirmasi baru dengan jumlah total kasus

covid 19 dari 20 Maret 2020 sampai 19 Januari 2021 sebanyak 8352 kasus.

Akibat penambahan kasus ini, 8 kabupaten di provinsi Lampung dari total 15

Kabupaten/Kota berstatus zona merah atau daerah dengan angka penularan

yang tinggi (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2021)

Kabupaten Pesawaran sebagai salah satu kabupaten di Lampung

menambah jumlah kasus konfirmasi covid 19 sebanyak 1 kasus baru di

tanggal 19 Januari 2021 sehingga menyebabkan total kasus konfirmasi

sebanyak 353 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2021). Walaupun

bukan termasuk dalam zona merah, namun angka kasus di kabupaten

Pesawaran cukup tinggi jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten lainnya

di provinsi Lampung.

Kabupaten Pesawaran memiliki tiga belas (13) puskesmas induk yang

berkontribusi dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. dalam

pandemi covid 19, puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama

merupakan gerbang utama dalam penapisan kasus covid 19. Sesuai dengan

arahan pemerintah daerah, setiap lembaga baik milik pemerintah maupun

swasta harus membentuk satuan tugas penanganan covid 19 yang akan

memudahkan dalam koordinasi jika ditemukan kasus. Setiap puskesmas di

Kabupaten Pesawaran membentuk satuan tugas penanganan covid 19 dan

berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten untuk penanganan pasien

covid 19 yang disesuaikan dengan protocol yang tertulis dalam Peraturan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang saat penelitian ini dibuat sudah

mengalami sebanyak lima (5) kali revisi.

Puskesmas Gedong Tataan sebagai salah satu puskesmas induk di

Kabupaten Pesawaran melaporkan kasus pertama kali di akhir April 2020

yaitu seorang laki-laki umur 54 tahun yang baru bepergian dari luar negeri.

Melalui gugus tugas, pasien pun akhirnya dirawat dan di karantina di Rumah

Sakit Umum Daerah Pesawaran. Awal Mei 2020, Puskesmas Gedong Tataan

mendapatkan laporan dari komunitas pasien bahwa terjadi pengucilan

terhadap keluarga pasien dan bahkan komunitasnya. Pengucilan dari

masyarakat berupa keengganan masyarakat memakai jasa dan produk yang

dijual oleh pasien, keluarga pasien dan komunitasnya. Bahkan ada laporan

bahwa masyarakat menghindari melewati pekarangan rumah pasien karena

dikhawatirkan akan menularkan covid 19 ke tetangga dan masyarakat sekitar.

Akibat perlakuan ini, keluarga pasien terpaksa diungsikan ke rumah

saudaranya karena tidak tahan dengan perlakuan masyarakat.

Hal yang sama juga dialami oleh salah satu tenaga kesehatan yang

terkonfirmasi covid 19 di akhir Mei 2020 bejenis kelamin perempuan dan

berumur 58 tahun. Ia dikonfirmasi covid 19 tanpa gejala dan disarankan

melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Namun ibu ini terpaksa dirawat di

Rumah Sakit Umum Daerah Pesawaran dikarenakan keluarga menolak

merawat dan menampung pasien di kediamannya maupun kediaman

sodaranya.
Saat ini, Januari 2021 terhitung lebih kurang 60 kasus konfirmasi yang

ditemukan di wilayah kerja Puskesmas Gedong Tataan dengan distribusi

umur, latar belakang pendidikan dan status pekerjaan yang beragam. Rata-rata

pasien-pasien ini masih mendapatkan perilaku diskriminasi dari lingkungan

tempat tinggalnya yang membuat mereka harus menutupi status kesehatannya.

Salah 1 keluarga tenaga kesehatan yang terkonfirmasi covid 19 merasa

tertekan dan stress akibat tuntutan dari atasan di tempat kerjanya terkait

kondisi penyakitnya dan hal ini memicu perlambatan upaya penyembuhan

penyakit yang dideritanya. Ini terlihat dari tiga kali melakukan tes swab

Polymerase Chain Reaction (PCR), pasien masih menunjukan hasil positif

dengan rekomendasi melakukan penambahan isolasi mandiri di rumah.

Bulan Mei 2020, Puskesmas Gedong Tataan mengirimkan pasien laki-laki

umur 51 tahun ke Rumah Sakit Bandar Negara Husada untuk melakukan

isolasi mandiri sampai hasil tes swab PCR memberikan hasil negatif. Pasien

menolak dijemput oleh ambulans dan tenaga kesehatan di rumahnya dan

memilih untuk datang sendiri ke puskesmas dengan diantar keluarganya.

Alasannya karena takut menimbulkan kehebohan di lingkungan tempat

tinggalnya yang berdampak pada keluarganya. Hal ini menunjukan adanya

efek psikologis akibat perilaku diskriminasi masyarakat terhadap pasien

konfirmasi covid 19.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih

lanjut tentang stigma sosial pada pasien terkonfirmasi covid 19 di wilayah

kerja Puskesmas Gedong Tataan tahun 2021.


1.2 Rumusan Masalah

Pandemi covid 19 telah memicu timbulnya perilaku diskriminatif

terhadap orang-orang dari latar belakang manapun, etnis apapun dan siapapun

yang diduga pernah berkontak dengan virus tersebut. Covid 19 yang

merupakan penyakit baru dan masih banyak yang belum diketahui

menimbulkan ketakutan, rasa was-was dan cemas yang berlebihan sehingga

mengakibatkan munculnya stereotip yang merugikan. Stereotip ini dapat

mendorong terjadinya isolasi sosial (diskriminasi) yang mengakibatkan

masalah kesehatan yang lebih parah dan kesulitan dalam mengendalikan

pandemi penyakit. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan

terkait “Bagaimanakah pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 dalam

menghadapi stigma sosial di wilayah kerja Puskesmas Gedong Tataan

Kabupaten Pesawaran tahun 2021?’’

1.3 Tujuan dan Fokus Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 dalam

mengahadapi stigma sosial di wilayah kerja Puskesmas Gedong Tataan

tahun 2021

1.3.2 Fokus Penelitian

1.3.2.1 Mengetahui gambaran tentang pelabelan yang dirasakan pasien

terkonfirmasi covid 19
1.3.2.2 Mengetahui gambaran tentang stereotip yang dirasakan pasien

terkonfirmasi covid 19

1.3.2.3 Mengetahui gambaran tentang pemisahan yang dirasakan pasien

terkonfirmasi covid 19

1.3.2.4 Mengetahui gambaran tentang diskriminasi yang dirasakan

pasien terkonfirmasi covid 19

1.3.2.5 Mengetahui gambaran tentang dampak yang dirasakan pasien

terkonfirmasi covid 19 menghadapi stigma sosial terkait

penyakitnya

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritik

1.4.1.1 Untuk pengembangan lebih lanjut dalam riset terkait covid 19

khususnya pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 dalam

menghadapi stigma sosial akibat kurangnya pemahaman

masyarakat tentang covid 19, sehingga dapat digunakan sebagai

salah satu konsep dalam mengembangkan desain kesehatan

menghadapi situasi tersebut

1.4.1.2 Untuk menjadi salah satu bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya

dalam melakukan penelitian terkait pasien terkonfirmasi covid 19

1.4.2 Manfaat praktis


1.4.2.1 Untuk menjadi salah satu konsep dasar yang dapat

dikembangkan lebih lanjut oleh tim surveillans Puskesmas

Gedong Tataan dalam melakukan komunikasi dan pendekatan

terhadap pasien terkonfirmasi covid 19

1.4.2.2 Untuk menjadi salah satu informasi bagi caregiver baik

keluarga maupun tenaga kesehatan lain dalam memberikan

intervensi bagi pasien terkonfirmasi covid 19

1.4.2.3 Untuk menjadi sumber informasi bagi keluarga dan tenaga

kesehatan agar lebih memahami efek psikologis yang timbul

akibat stigma sosial terkait covid 19


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stigma

2.1.1 Definisi Stigma

Kata stigma berasal dari bahasa inggris yang artinya noda atau

cacat. Stigma adalah sebuah aib atau ketidaksetujuan masyarakat

dengan sesuatu, seperti tindakan atau kondisi (The American Heritage

Dictionary, 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma

adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya.

Goffman (1968) mendefinisikan stigma sebagai atribut yang

menghubungkan seseorang dengan stereotip yang tidak diinginkan yang

mengurangi identitas sosial seseorang menjadi tercemar dan tidak

berharga (Stuber, 2008). Scheid & Brown (2010) mendefinisikan

stigma sebagai sebuah fenomena yang terjadi pada saat seseorang

diberikan labelling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (

Scheid & Brown, 2010 hal. 14-18)


Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah pengaitan negatif

antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri

dan penyakit tertentu. Dalam suatu pandemi, stigma sosial berarti

orang-orang diberi label, distereotipkan, didiskriminasi, diperlakukan

secara berbeda, dan/atau mengalami kehilangan status karena dianggap

memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit (WHO, 2020)

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Stigma

Studi literatur yang dilakukan oleh Nursalam, dkk (2020) dari

fakultas keperawatan Universitas Airlangga menemukan bahwa

persepsi masyarakat, pengalaman, pengetahuan, latar belakang

pendidikan dan stressor dari lingkungan menjadi faktor yang

berkontribusi dalam terbentuknya stigma terkait covid 19.

Pandemi covid 19 yang sedang berlangsung saat ini menimbulkan

persepsi masyarakat terkait resiko. Persepsi ini mengacu kepada

evaluasi masyarakat terhadap bahaya yang mungkin atau telah mereka

alami. Evaluasi ini akan memberikan gambaran terhadap apa yang saat

ini dialami dunia. Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi ini

antara lain faktor budaya, sosial dan faktor konstektual lainnya.

Sejatinya persepsi ini bertujuan sebagai pemicu tindakan pencegahan,

namun tindakan preventif sendiri tidak hanya ditentukan oleh kesadaran


akan resiko kesehatan yang objektif, tapi juga dipengaruhi oleh

kepercayaan dan pengetahuan tentang kesehatan (Cori et all, 2020)

Hasil penelitian yang dilakukan mengenai persepsi masyarakat

terkait resiko berhasil menjelaskan mengenai persepsi ini dan kaitannya

dalam pengambilan keputusan. Persepsi masyarakat terkait resiko

merupakan penilaian subjektif yang dibuat orang tentang karakteristik,

tingkat keparahan dan cara pengelolaan resiko. Salah satu elemen

kuncinya adalah rasa marah dan kesal yang ditimbulkan oleh resiko,

yang melipatgandakan kecemasan dan dengan cepat menyebar di

masyarakat (Cori et all, 2020)

Persepsi masyarakat tentang resiko covid 19 timbul sebagai bahaya

yang tidak diketahui dan bersumber dari rasa amarah masyarakat.

Faktor utama yang membentuk kemarahan berupa potensi bahaya,

kontak erat, pemahaman, ketidakpastian ilmiah, kesukarelaan,

kepercayaan pada institusi dan perhatian media. Kemarahan merupakan

respon emosional yang dibentuk bukan hanya dari faktor-faktor yang

berkaitan dengan sifat dan karakteristik bahaya, tetapi juga mengenai

sejauh mana individu dan komunitas menganggap resiko sebagai

sesuatu yang tidak aman,tidak dapat diterima atau sesuatu yang ditakuti

yang akhirnya memengaruhi cara individu dan komunitas merespon dan

mematuhi informasi kesehatan mengenai mitigasi resiko (Malecki,

2020)
Selain itu, latar belakang pengetahuan dan pendidikan seseorang

memegang peran penting dalam terbentuknya stigma. Sebagian orang

dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi mendapatkan lebih

banyak pengalaman dalam memperoleh pengetahuan terkait covid 19

dari orang-orang yang mereka temui. Sebaliknya orang yang latar

belakang pendidikannya lebih rendah memiliki resiko lebih tinggi

dalam memberikan stigma negatif kepada orang yang terinfeksi ataupun

keluarga dari orang yang terinfeksi (Nursalam, 2020). Pada level

individu, stigma diasosiasikan dengan tingkat pengetahuan yang rendah

dan ketakutan akan penularan di tempat kerja (Ramaci, 2020)

Disamping faktor pendidikan dan pengetahuan, informasi

kesehatan masyarakat juga menjadi faktor penting penyebab timbulnya

stigma, karena kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat terkait

covid 19 membuat masyarakat menjadi takut dan membuat mereka

berpikir bahwa setiap orang yang mereka temui memiliki resiko tinggi

menularkan penyakit (Nursalam, 2020).

2.1.3 Proses Terbentuknya Stigma

Ada 5 (lima) komponen yang saling berkaitan dalam terbentuknya

stigma. Yang pertama orang mengidentifikasi dan memberikan label

pada perbedaan yang melekat di diri manusia, walaupun kebanyakan

perbedaan itu tidak relevan secara sosial seperti warna kulit, preferensi
seksual, dan sebagainya. Pada dasarnya, terjadi seleksi sosial yang

menentukan perbedaan yang mana yang diterima dan mana yang tidak.

Untuk kondisi medis akan menghasilkan reaksi yang berbeda-beda

tergantung penyakit mana yang memberikan dampak secara sosial

(Link & Phelan, 2006). Seperti halnya covid 19 yang saat ini menjadi

perhatian utama dari seluruh dunia karena efeknya berdampak pada

semua lini kehidupan, masyarakat memberikan reaksi yang kuat

terhadap penyakit ini dan ini mempengaruhi kehidupan sosial para

pasien terkonfirmasi covid 19, keluarga dan petugas kesehatan yang

menangani covid 19.

Komponen kedua dari stigma melibatkan proses stereotip dimana

orang yang diberi label dikaikan dengan karakteristik yang tidak

diinginkan (Link & Phelan, 2006). Pada kasus pandemi covid 19,

pasien terkonfirmasi covid 19 dan kontak erat yang diidentifikasi

melalui aktivitas pelacakan kontak (tracing), disalahkan dan

disejajarkan dengan penjahat (Sotgiu & Dobler, 2020)

Pada komponen ketiga, kelompok yang memberikan label

memisahkan kelompok yang distigmatisasi dengan diri mereka sendiri.

Disini terjadi pemisahan kelompok antara “mereka dan kami”. Dalam

komponen ke empat, orang yang distigmagtisasi mengalami

diskriminasi dan kehilangan status sosialnya. Hal ini terjadi akibat

seseorang diberikan label, dipisahkan dan dikaitkan dengan

karakteristik yang tidak diinginkan sehingga menjadi masuk akal bila


orang tersebut tidak dihargai, ditolak dan dikucilkan (Link & Phelan,

2006).

Terakhir komponen kelima berupa penggunaan kekuasaan atau

kekuatan. Peran kekuatan disini adalah untuk mempertegas situasi

ketika kelompok-kelompok lemah yang distigmatisasi mencoba

melakukan stigmatisasi terbalik. Contohnya pada pasien yang

mengalami gangguan mental, mereka memberi label dokter dan perawat

jiwa sebagai tukang paksa, kaku dan sombong. Namun karena pasien

kurang memiliki kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dokter

dan perawat yang menangani mereka hampir tidak ada yang

distigmatisasi (Link & Phelan, 2006).

Perkembangan stigma dalam sebagaian besar penelitian psikologi

sosial berfokus pada identitas sosial yang dibentuk dari proses kognitif,

perilaku dan afektif. Peneliti di bidang psikologi sosial mengemukakan

terdapat tiga model stigma sosial yaitu sosial budaya, motivasi dan

kognitif sosial (Stuber, 2008)

Pada model sosial budaya menunjukan bahwa stigma berkembang

untuk membenarkan ketidakadilan sosial (Stuber, 2008). Model ini

terlihat dari cara masyarakat untuk mendefinisikan dan melabeli pasien

terkonfirmasi covid 19 sebagai bagian yang berbeda dari kelompok

mereka.
Model motivasi berfokus pada kebutuhan psikologis dasar individu

(Stuber, 2008). Sebagai contoh, pandemi covid 19 menimbulkan rasa

tidak aman dan ketakutan di tengah masyarakat. Ketakutan yang timbul

akibat banyaknya hal yang tidak diketahui terkait pandemi berimbas

pada perlakuan masyarakat terhadap pasien terkonfirmasi covid 19.

Masyarakat pun menjadi takut berinteraksi dengan pasien tersebut.

Model kognitif sosial terbentuk karena usaha memahami dan

menalarkan dasar-dasar sosial di masyarakat menggunakan kerangka

kognitif (Stuber, 2008). Contohnya pasien terkonfirmasi covid 19

diberikan label dan dibedakan dengan orang yang tidak terinfeksi.

Link dan Phelan (2001) berpendapat bahwa stigma merupakan

kejadian bersama dari beberapa komponen termasuk pelabelan,

stereotip, pemisahan, kehilangan status dan diskriminasi. Pelabelan

berkembang sebagai hasil dari proses seleksi sosial untuk menentukan

mana yang penting di masyarakat. perbedaan seperti ras mudah untuk

diidentifikasi sehingga memungkinkan masyarakat untuk

mengkategorikan individu dalam suatu kelompok (Ahmedani, 2011).

Skenario yang sama mungkin terjadi saat masyarakat bereaksi terhadap

pasien terkonfirmasi covid 19.

Label menghubungkan seseorang atau sekelompok orang ke

sekumpulan karakteristik yang tidak diinginkan, yang kemudian dapat

distereotipkan. Proses pelabelan dan stereotip ini menimbulkan


pemisahan. Masyarakat tidak ingin diasosiasikan dengan karakteristik

yang tidak menarik sehingga terciptalah kategori hierarki. Setelah

kategori ini berkembang, kelompok yang memiliki karakteristis yang

tidak diinginkan dapat menjadi korban kehilangan status dan

diskriminasi (Ahmedani, 2011).

Antara manusia dan agen penyakit infeksi memiliki hubungan yang

dekat dan sejarah panjang serta stigma termasuk di dalamnya (Brewis

2020). Semenjak pandemi covid terjadi di Wuhan, China di bulan

Desember 2019 terjadi perubahan tatanan kehidupan masyarakat di

seluruh dunia. Kurangnya pengetahuan dan informasi yang kontradiktif

mengenai cara penularan virus covid 19 dan cara perlindungan diri

menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat. ketidakpastian dan rasa

cemas mengarahkan masyarakat mempercayai informasi yang bias dan

samar yang mereka dapat dari media informasi (Sotgiu & dobler, 2020)

Kecemasan akibat karantina, banyaknya hal yang tidak diketahui

terkai covid 19 dan ketakutan akan terinfeksi menimbulkan stigma di

masyarakat (Sotgiu & dobler, 2020). Covid 19 telah memunculkan

berbagai macam sikap, keyakinan, prasangka, stereotip dan stigma

(Ramaci, 2020)

2.1.4 Dampak Stigma


Stigma dapat memberikan efek negatif kepada pasien yang

terkonfirmasi covid 19 dan juga tenaga kesehatan. Pertama, stigma

secara subtansial dapat meningkatkan penderitaan penderita (Ramaci et

all, 2020). Dalam tingkat yang lebih jauh, akibat penolakan dan

perlakuan buruk yang diterima menimbulkan stress kronis yang

memberikan konsekuensi negatif pada kesehatan fisik dan mental (Link

& Phelan, 2006). Kedua, orang dengan penyakit atau mereka yang

berisiko tertular mungkin menghindari mencari perawatan kesehatan,

sehingga lebih sulit bagi tenaga kesehatan masyarakat untuk

mengendalikan penyakit. Ketiga, para profesional dan relawan yang

bekerja di lapangan juga dapat terstigmatisasi, yang menyebabkan

tingkat stres dan kelelahan yang lebih tinggi (Ramaci et all, 2020)

Diskriminasi terhadap pasien terkonfirmasi covid 19 timbul dari

respon terhadap prasangka dari beberapa kelompok komunitas yang

memiliki kekuatan di masyarakat, dan mengakibatkan munculnya

stigma negatif. Bukti dengan jelas menunjukkan bahwa stigma dan

ketakutan terhadap penyakit menular menghalangi petugas kesehatan

untuk merespons dengan benar. Mereka menghadapi keadaan darurat

yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bahaya yang tidak terlihat,

yang mendorong pelayanan kesehatan hingga batasnya, meningkatkan

beban kerja dan tekanan fisik dan mental (Ramaci et all, 2020).

Akibat stigma dan ketakutan diberi label sebagai orang yang

membawa penyakit menular, banyak populasi beresiko mungkin tidak


mencari perawatan sampai gejala penyakitnya tidak dapat dikendalikan

lagi atau bahkan tidak mencari perawatan sama sekali. Selama pandemi

SARS pada tahun 2003, terjadi diskriminasi di seluruh dunia terhadap

ras Asia dan hal ini mempengaruhi perilaku dalam pencarian perawatan

kesehatan dan kesehatan mental dari sebagian besar orang keturunan

Asia (Bruns et all, 2020)

Weiner (1995) mengemukakan keyakinan seseorang bahwa dirinya

distigmatisasi memicu respon emosional. Hal ini ditafsirkan dari sudut

pandang individu yang menderita, dimana mungkin individu tersebut

merasa bahwa dirinya distigmatisasi yang direspon secara emosional

dengan perasaan malu, menarik diri dan marah (Ahmedani, 2011).

Stigma dapat merusak kohesi sosial dan mendorong terjadinya

kemungkinan isolasi sosial terhadap komunitas tertentu di masyarakat,

yang dapat berkontribusi pada situasi yang justru lebih memungkinkan

untuk penyebaran virus. Hal ini dapat mengakibatkan masalah

kesehatan yang lebih parah dan kesulitan mengendalikan pandemi

penyakit. Stigma dapat mendorong orang untuk menyembunyikan

penyakitnya untuk menghindari diskriminasi, mencehag orang untuk

segera mencari perawatan Kesehatan dan mencegah mereka

mengadopsi perilaku sehat (WHO, 2020)

Stigma menjadi penyebab utama terjadinya diskriminasi dan

pengucilan yang berdampak pada harga diri seseorang. Sikap ini

menciptakan lingkungan sosial yang tidak mendukung dan malah


menambah masalah bagi petugas kesehatan dan pemerintah dalam

upaya percepatan penanggulangan covid 19 di Indonesia (WHO, 2020)

Lingkungan sosial yang tidak mendukung mengakibatkan kesulitan

bagi tenaga kesehatan dalam melakukan pelacakan (tracing) terhadap

kontak erat pasien terkonfirmasi covid 19. Disamping itu, ketakutan

akan didiskriminasikan oleh masyarakat menyebabkan munculnya

perilaku menyembunyikan penyakit dan menghindari fasilitas kesehatan

untuk mencari pengobatan terkait penyakitnya dan ini akan membuat

penyakit yang diderita semakin parah. Dalam situasi pandemi covid 19,

perilaku ini akan mendorong peningkatan kasus penyakit dan kematian

serta upaya penanggulangan pandemi covid 19 menjadi terhambat

(Singh & Subedi, 2020)

2.2 Kerangka Teori

Gambar 1. Scheid & Brown’s theory of stigmatization


2.3 Kerangka Pikir

Stigma yang dirasakan pasien


Dampak Stigma
terkonfirmasi covid 19

Pelabelan, stereotip,
pemisahan, direndahkan
status sosial dan diskriminasi

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif yaitu penelitian yang

menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan

pengertian atau pemahaman tentang fenomena mengenai apa yang dialami

oleh subjek penelitian, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa dalam suatu latar yang berkonteks khusus dan alamiah (Moleong,

2010).

Alasan peneliti menggunakan desain tersebut karena permasalahan belum

jelas, holistic, komplek, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin

data pada situasi sosial dijaring dengan metode kuantitatif. Selain itu, peneliti

juga bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, mengenai


fenomena stigma sosial pasien terkonfirmasi covid 19 di wilayah kerja

Puskesmas Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rentang bulan Januari – Maret 2021 dan

kurang lebih berlangsung selama tiga bulan terhitung sejak pengembangan

proposal penelitian hingga penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gedong Tataan

Kabupaten Pesawaran. Dasar pertimbangan lokasi penelitian ini adalah :

a. Belum pernah ada penelitian dengan topik yang sama pada lokasi

penelitian ini

b. Puskesmas Gedong Tataan penyumbang nomor 2 kasus pasien

terkonfirmasi covid 19 terbanyak di antara semua puskesmas di

Kabupaten Pesawaran

c. Ditemukannya kasus pengucilan pasien terkonfirmasi covid 19 di

wilayah kerja Puskesmas Gedong Tataan

3.3 Rancangan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi

karena penelitian terkait fenomena sosial. Fenomenologi merupakan

pendekatan yang menekankan secara holistic yaitu meneliti suatu objek

penelitian dalam suatu konstruksi ganda dan dalam konteks natural bukan

parsial (Masturoh & Anggita, 2018:152)


Pengalaman yang dirasakan setiap pasien terkonfirmasi covid 19 dapat

sangat beragam sesuai dengan karakteristik masing-masing individu. Fokus

penelitian fenomenologi bukan hanya fenomena, akan tetapi pengalaman

sadar dari sudut pandang orang pertama atau yang mengalaminya secara

langsung (Kuswarno, 2009 : 22). Dengan menggunakan metode ini

diharapkan peneliti dapat memperoleh informasi yang mendalam tentang

pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 menghadapi stigma sosial di

wilayah kerja Puskesmas Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran

3.4 Subjek Penelitian

Arikunto (2002) mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan subjek

penelitian (Masturoh & Anggita, 2018:164). Pada penelitian ini populasinya

adalah pasien terkonfirmasi covid 19 di wilayah kerja Puskesmas Gedong

Tataan Kabupaten Pesawaran. Pengambilan sampel dari populasi tersebut

dilakukan menggunakan teknik non probability sampling : purposive

sampling yaitu dengan penarikan sampel purposif dimana peneliti

menetapkan sampel diantara populasi sesuai yang dikehendaki peneliti

(Nursalam, 2008). Teknik sampling pada kualitatif jelas berbeda dengan

penelitian non kualititatif, karena pemilihan sampel pada penelitian kualitatif

didasarkan pada paradigma alamiah yang dimaksudkan untuk memilih

sejumlah kecil dan tidak harus representatif, dengan tujuan umtuk mengarah

kepada pemahaman secara mendalam (Moleong, 2010).


Informan adalah orang yang bisa memberikan informasi tentang situasi

dan latar penelitian (Moleong, 2010). Informan dalam penelitian ini adalah

pasien terkonfirmasi covid 19 yang mengalami stigma sosial. Hal ini dengan

maksud bahwa pasien terkonfirmasi covid 19 yang menjadi informan adalah

pasien yang pernah atau sedang terkonfirmasi covid 19 dan mengalami

stigma sosial berupa pelabelan, stereotip, pemisahan, dan diskriminasi. Selain

itu, informan ini diharapkan dapat menguraikan pengalamannya tersebut

secara pribadi, dengan harapan data yang diperoleh akan kaya, terarah dan

mendalam. Hal ini sesuai dengan paradigma alamiah dalam penelitian

kualitatif bahwa setiap perilaku manusia selalu terikat konteks dan harus

diinterpretasikan/dipahami kasus per kasus (Moleong, 2010).

Adapun karakteristik informan yang diteliti yaitu informan yang

dianggap memiliki kriteria sebagai berikut : individu usia 20-59 tahun, pernah

atau sedang terkonfirmasi covid 19, mengalami stigma sosial akibat penyakit

yang dideritanya, mampu berkomunikasi dengan baik dan jelas, mampu

mengungkapkan pengalamannya, dan bersedia menjadi informan dengan

memberikan persetujuan atau informed concent.

Dalam penelitian kualitatif tidak ada kriteria ataupun aturan tetap dalam

menentukan jumlah sampel. Jumlah sampel didasarkan pada tercapainya

saturasi data.

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional dalam penelitian kualitatif disebut dengan penegasan

istilah, digunakan untuk memberikan suatu definisi terhadap istilah atau kata

agar setiap orang memiliki persepsi yang sama terhadap istilah tersebut.

Adapun penegasan istilah dalam penelitian ini meliputi:

3.5.1 Pasien terkonfirmasi covid 19

Pasien terkonfirmasi covid 19 adalah individu baik yang bergejala

atau tidak yang menunjukan hasil tes swab polymerase chain reaction

(PCR) positif covid 19

3.5.2 Stigma sosial

Stigma sosial adalah perilaku ataupun perkataan masyarakat yang

bernilai negatif terhadap pasien terkonfirmasi covid 19

3.5.3 Pelabelan

Pelabelan adalah label/cap negatif yang diberikan kepada pasien

terkonfirmasi covid 19

3.5.4 Stereotip

Stereotip adalah sebuah keyakinan atau pemikiran negatif

masyarakat yang menimbulkan prasangka terhadap pasien covid 19

3.5.5 Pemisahan

Pemisahan adalah perilaku masyarakat yang memisahkan pasien

terkonfirmasi covid 19 dengan lingkungan sosialnya


3.5.6 Diskriminasi

Diskriminasi adalah pengucilan terhadap pasien terkonfirmasi

covid 19

3.6 Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik :

3.6.1 Wawancara mendalam

Emzir (2010) mendefinisikan wawancara adalah proses komunikasi

atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab

antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian (Masturoh &

Anggita, 2018:206). Dalam penelitian kualitatif, teknik wawancara

yang umum digunakan adalah wawancara mendalam. Sutopo (2006)

menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambal

bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara

dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial

yang relatif lama (Masturoh & Anggita, 2018:207)

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah wawancara dengan

pedoman umum yang berisi pedoman wawancara secara umum dengan

mencantumkan topik yang akan diteliti. Wawancara yang akan

dilakukan dalam penelitian ini menggunakan media informasi berupa


video call whatsapp dilakukan secara informal dan interaktif melalui

pertanyaan dan jawaban terbuka.

Walaupun pada awalnya peneliti telah menyiapkan daftar

pertanyaan namun pada pelaksanaannya tidak kaku mengikuti daftar

pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara mengalir sesuai respon

informan dan yang terpenting dapat menggali semua data yang dicari.

Kekuatan dari metode wawancara mendalam ini adalah peneliti

dapat memperoleh respon mendalam, dengan nuansa dan kontradiksi

yang terkandung di dalamnya. Penelita juga bisa mendapatkan

perspektif interpretasi informan tentang suatu hubungan antar peristiwa

atau fenomena tertentu berdasarkan cara informan melihat dan

memaknai sesuai keyakinannya (Kusumawardani, 2015:27)

3.6.2 Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan

menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, jurnal, dokumen, catatan

harian, dan sebagainya. Hal ini menjadi dasar untuk menarik

kesimpulan dalam penelitian (Masturoh & Anggita, 2018:207). Data

dokumentasi diperlukan peneliti untuk melengkapi data yang diperoleh

dari hasil wawancara.

Selama wawancara peneliti selain fokus dengan jawaban informan,

peneliti juga mengamati ekspresi wajah, intonasi bicara, penggunaan

Gerakan tubuh yang berulang dan keadaan lingkungan saat informan


diwawancara. Aspek ini akan dicatat peneliti sebagai tambahan dalam

menganalisa jawaban-jawaban verbal yang diberikan dalam wawancara

sehingga keakuratan data lebih tepat

3.7 TRIANGULASI

SUMBER?

METODE?

WAKTU?

3,8 Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian dimulai dari persiapan penelitian, saat

pengumpulan dan penyimpanan data. Kegiatan dalam pengelolaan data

meliputi

3.7.1 Pembuatan format wawancara yang akan digunakan untuk wawancara

mendalam dengan informan. Format tersebut mencakup informasi

waktu dan tempat wawancara, keterangan pewawancara berupa nama

dan kontak detail, tujuan wawancara, gambaran umum lokasi

penelitian, keterangan umum dari informan, topik penelitian

3.7.2 Membuat rencana matriks pengumpulan data yang akan dikumpulkan.

Matriks berupa informasi mengenai topik-topik penelitian yang akan

dianalisis dan mempertimbangkan kemungkinan topik baru yang akan

muncul dalam kegiatan pengumpulan data


3.7.3 Pembuatan jadwal kegiatan sebagai dokumentasi waktu pengumpulan

data

3.7.4 Menyiapkan folder untuk penyimpanan data baik data hard copy

maupun soft copy yang disusun per informan

3.7.5 Mempersiapkan formulir persetujuan dan penjelasan mengenai

penelitian yang dilakukan untuk informan (informed concent) baik

tertulis maupun verbal

3.7.6 Mempersiapkan alat perekam suara untuk kegiatan pengumpulan data

agar data dapat terekan dengan baik

3.7.7 Pembuatan back up data dengan menyimpan hasil transkrip dalam

bentuk soft copy dan hard copy. Back up rekaman dari wawancara

mendalam juga dilakukan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan

seperti rekaman terhapus

3.8 Analisa Data

Analisa data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan

mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, Menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dikaji

sehingga dapat dibuat sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan untuk

disampaikan kepada orang lain (Masturoh & Anggita, 2018:258). Adapun

tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :


3.8.1 Mendeskripsikan fenomena yang diteliti. Peneliti mencoba memahami

fenomena pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 dalam menghadapi

stigma sosial dengan cara membaca literatur terkait stigma dan covid 19

3.8.2 Mengumpulkan deskripsi fenomena melalui pendapat informan. Peneliti

melakukan wawancara mendalam dalam bentuh naskah transkrip agar

dapat mendeskripsikan pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 dalam

menghadapi stigma sosial

3.8.3 Membaca seluruh deskripsi yang diterima

3.8.4 Membaca kembali transkrip hasil wawancara dan mengutip pernyataan-

pernyataan yang bermakna sesuai dengan tujuan dan fokus penelitian.

3.8.5 Menguraikan arti pada pernyataan-pernyataan signifikan. Peneliti

membaca kata kunci yang telah diidentifikasi dan mencoba menentukan

esensi dari kata kunci untuk membentu kategori

3.8.6 Mengorganisir kumpulan makna yang telah dirumuskan ke dalam

kelompok tema. Peneliti membaca seluruh kategori yang ada,

membandingkan dan mencari persamaan dan akhirnya mengelompokan

kategori serupa ke dalam sub tema dan tema

3.8.7 Menuliskan deskripsi yang lengkap. Penulis merangkai tema yang telah

diperoleh dari analisis data dan menuliskannya dalam deskripsi yang

mendalam mengenai pengalaman pasien terkonfirmasi covid 19 dalam

menghadapi stigma sosial dalam bentuk hasil penelitian


3.8.8 Melakukan cross check kepada informan untuk melakukan validasi

deskripsi hasil analisis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah

gambaran tema yang diperoleh sebagai hasil penelitian sesuai dengan

keadaan yang dialami partisipan

3.8.9 Menggabungkan data hasil validasi ke dalam deskripsi hasil penelitian.

Peneliti menganalisis kembali data yang diperoleh dari validasi informan

untuk ditambahkan ke deskripsi akhir pada laporan penelitian agar

pembaca mampu memahami pengalaman informan

Miles dan Huberman (1984) menyatakan bahwa kegiatan analisis data

kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus,

sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak

diperolehnya informasi baru (Masturoh & Anggita, 2018:258)

NOTE:

REVISI

SILAHKAN LANJUT KE PEMBIMBING LAINNYA

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai