Anda di halaman 1dari 27

RINGKASAN EKSEKUTIF

KONDISI AKSES TERHADAP KEADILAN UNTUK PEREMPUAN DAN PEREMPUAN DARI KELOMPOK
RENTAN LAIN PADA MASA COVID-19 DI INDONESIA

INDONESIA JUDICIAL RESEARCH SOCIETY(IJRS)


ASOSIASI LBH APIK INDONESIA

2023
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pandemi COVID-19 menyebabkan pergolakan yang cukup besar di berbagai aspek kehidupan: kesehatan,
sosial, maupun ekonomi secara global. Seperti layaknya pandemi lainnya, COVID-19 memiliki implikasi yang
berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam berbagai kategori. Beberapa temuan menunjukkan bahwa perempuan
cenderung lebih rentan terhadap dampak COVID-19 di berbagai aspek sosial maupun ekonomi.1 Tidak hanya dampak
dikarenakan faktor gender, secara global, COVID-19 juga turut berdampak secara interseksionalitas berdasarkan
faktor kerentanan lain dan secara spesifik paling berdampak kepada mereka dengan etnis African-American, Asian,
dan kelompok minoritas etnis lainnya2 serta kelompok LGBT.3 Dalam masa pandemi ini, kesenjangan dalam
perawatan (family care work) semakin rentan untuk dialami perempuan.4 Terlebih lagi, karena adanya COVID-19,
perempuan diharuskan untuk turut melakukan pembatasan perjalanan, karantina di rumah, menghadapi tutupnya
sekolah dan tempat penitipan anak5, menghadapi peningkatan risiko kesehatan yang dihadapi oleh kerabat yang lanjut
usia jang justru turut memberikan beban tambahan pada perempuan, tidak terkecuali jika perempuan tersebut memiliki
pasangan dan harus melakukan karantina bersama.6 Sehingga, dengan kata lain, perempuan secara tidak langsung
diharapkan untuk terus “bekerja” dari rumah.

Lebih lanjut, pembatasan mobilisasi berskala besar karena COVID-19 secara krusial serta penerapan
karantina memperburuk risiko kekerasan, eksploitasi, pelecehan maupun perbuatan cabul terhadap
perempuan. Pembatasan gerak secara global diperkirakan oleh Feminist Alliance for Rights akan meningkatkan
kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan kebutuhan mereka akan layanan perlindungan. Hal ini juga
mempersulit perempuan untuk menghindari bahaya dari pasangan pelaku kekerasan karena mereka berada di rumah
sepanjang waktu selama perintah pembatasan gerak ketika awal pandemi COVID-19.7 Menurut Kompas Perempuan,
pada tahun 2020 angka pengaduan yang masuk mengenai kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 60 persen
lebih banyak daripada tahun sebelumnya yaitu 2019.8 Lebih lanjut, LBH Apik—lenbaga pemberi bantuan hukum
yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak—turut menyebutkan bahwa mereka harus menangani 110
laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam 3 (tiga) bulan pertama sejak PSBB diterapkan di Indonesia.9
Meskipun hanya 3 (tiga) bulan, angka pengaduan tersebut sudah mencapai setengah dari total kasus KDRT di tahun
2019.10 Tidak hanya itu, ketika korban kekerasan berbasis gender angkat bicara soal kekerasan yang mereka alami,
orang-orang yang berpihak kepada mereka seperti pendamping juga kerap mengalami kekerasan oleh pelaku dan/atau
orang-orang yang berpihak dengan pelaku kekerasan. Komnas Perempuan menemukan bahwa berbagai kekerasan

1
UN Women, “Menilai Dampak COVID-19 Terhadap Gender Dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia”, (Jakarta: UN Women, 2020)
2
Mamluk, Loubaba, et.al., “The impact of COVID-19 on black, Asian and minority ethnic communities”, University of Bristol, May 2020, accessed in https://arc-
w.nihr.ac.uk/Wordpress/wp-content/uploads/2020/05/COVID-19-Partner-report-BAME-communities-BCC001.pdf on 15 August 2022
3
UNODC and UNHCR, “The Impact of The COVID-19 Pandemic on The Human Rights of LGBT Persons”, accessed in
https://www.ohchr.org/sites/default/files/ImpactCOVID19LGBTpersons.pdf on 15 August 2022
4
OECD menemukan bahwa dalam masa COVID-19 seorang Ibu hampir tiga kali lebih mungkin daripada Ayah untuk mengambil sebagian besar atau semua pekerjaan
perawatan tambahan yang tidak dibayar (unpaid care work). Terdapat 61,5% ibu dari anak di bawah usia 12 tahun mengatakan bahwa mereka mengambil sebagian
besar atau keseluruhan pekerjaan perawatan ekstra, sementara sisanya yaitu 22,4% dilakukan oleh Ayah. Temuan ini muncul dalam OECD, “Caregiving in Crisis:
Gender inequality in paid and unpaid work during COVID-19”, Desember 2021, diakses di https://www.oecd.org/coronavirus/policy-responses/caregiving-in-crisis-
gender-inequality-in-paid-and-unpaid-work-during-covid-19-3555d164/ pada 15 Agustus 2022
5
OECD, “Caregiving in Crisis: Gender inequality in paid and unpaid work during COVID-19”, Desember 2021, diakses di https://www.oecd.org/coronavirus/policy-
responses/caregiving-in-crisis-gender-inequality-in-paid-and-unpaid-work-during-covid-19-3555d164/ pada 15 Agustus 2022
6
Adanya COVID-19 turut berdampak kepada relasi antara perawat (caregiver) dengan orang lanjut usia yang hidup dalam satu rumah. Disebutkan bahwa timbul perubahan
relasi dan beban perawatan seiring dengan penurunan kesehatan orang dengan lanjut usia—di mana bebannya paling berat dialami oleh perempuan yang merawat (75%).
Temuan ini muncul dalam Golubeva, Elena, et.al., “Caregiving of Older Persons during the COVID-19 Pandemic in the Russian Arctic Province: Challenges and
Practice”, International Journal Environmental Research of Public Health. 2022 Mar; 19(5): 2775, diakses di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8910666/
pada 15 Agustus 2022
7
Feminist Alliance for Rights, “Call for a Feminist COVID-19 Policy,” http://feministallianceforrights.org/blog/2020/03/20/action-call-for-a-feminist-covid-19-policy/,
diakses 23 Juni 2022.
8
Arsa Ilmi Budiarti, et.al., The Role of Technology in Increasing Access to Legal Aid for in the COVID-19 Pandemic Era, pg.1
9
Ibid
10
Ibid

1
dialami juga oleh Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM)11 dalam menjalankan tugas mereka sebagai
pendamping korban.12

Dalam hal kesejahteraan anak perempuan, terdapat juga tren peningkatan perkawinan anak. Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat terdapat kenaikan dispensasi perkawinan anak13 pada 2018 sebanyak 20
kali lipat dibandingkan tahun 2005. Perkawinan anak terus meningkat juga pada tahun 2019 dan 2020 yang notabene
terjadi pada masa pandemi COVID-19, yaitu peningkatan sebanyak 23.126 perkara dispensasi kawin pada 2019 dan
peningkatan sekitar tiga kali lipat yaitu 64,211 perkara dispensasi kawin pada 2020.14 Komnas Perempuan mencatat
beberapa faktor yang mempengaruhi lonjakan dispensasi perkawinan anak pada tahun 2020 mulai dari kondisi
pandemi COVID-19 yang menyulitkan keadaan ekonomi keluarga sehingga banyak orang tua yang memutuskan
untuk menikahkan anaknya agar tidak lagi terbebani mengurus anak perempuan mereka. Selain itu, dengan adanya
perpindahan interaksi dari luring menjadi daring sejak pandemi COVID-19, bentuk kekerasan berbasis gender
terhadap perempuan termanifestasi dalam bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik15 (KSBE). Selama 2020,
Komnas Perempuan menerima pengaduan 940 kasus KSBE dengan bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam
dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban, seperti pacar, mantan pacar, dan suami
korban sendiri.16

Pandemi COVID-19 juga memperparah situasi yang dihadapi oleh kelompok marginal seperti perempuan
masyarakat adat, perempuan pekerja seks, perempuan dengan HIV-AIDS, perempuan migran dan perempuan
penyandang disabilitas. Perempuan disabilitas yang berjumlah sekitar 9 persen dari seluruh penduduk Indonesia
disebutkan lebih rentan untuk mengalami kemiskinan, mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi dan lebih rentan
terhadap ketidakstabilan ekonomi.17 Ditambah lagi, selama COVID-19, permasalahan terkait dukungan sosial dan
ekonomi bagi orang dengan disabilitas dan lansia turut muncul. Disebutkan bahwa 3 dari 4 lansia tidak menerima
bantuan langsung non-tunai18 dari pemerintah yang kemudian berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka selama
masa COVID-19. Kelompok lainnya yang terdampak dari COVID-19 adalah pekerja migran di mana disebutkan oleh
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia bahwa selama Januari – November 2021 bahwa kasus terbanyak yang
dilaporkan adalah diminta untuk memulangkan pekerja yaitu 486 komplain.19 Masalah lain yang termasuk dalam 5
(lima) besar kasus yang dilaporkan adalah gaji yang tidak dibayarkan, kematian pekerja di negara lain, perdagangan
orang, dan penipuan kesempatan bekerja di luar negeri.20 Lebih lanjut disebutkan bahwa masalah ini semakin sering
dilaporkan selama masa COVID-19 karena dampak ekonomi dari COVID-19 itu sendiri di berbagai negara tujuan.

Berdasarkan berbagai masalah di atas yang muncul terhadap perempuan dan perempuan dari kerentanan
lainnya, maka adanya penyelesaian permasalahan dan layanan hukum juga dapat dikatakan semakin dibutuhkan. Oleh
karenanya, untuk memastikan akses terhadap keadilan merata diberikan ketika masa pandemi COVID-19, beberapa
institusi peradilan beradaptasi dan mengubah sistem dan/atau kebijakannya ke pemanfaatan teknologi dan elektronik

11
PPHAM atau Perempuan Pembela HAM/WHRD (Women Human Rights Defender) adalah perempuan yang melakukan pembelaan HAM, dalam semua dimensi dan
konteks, baik individu maupun kolektif. Pertama kali diperkenalkan dalam Deklarasi PBB tentang Pembela HAM dan diadopsi oleh Sekretaris Jenderal PBB pada 9
Desember 1998. Perempuan Pembela HAM, menamakan diri mereka beragam, ada yang menamakan diri sebagai pekerja kemanusiaan, aktivis perempuan, advokat,
konselor perempuan korban, pendamping korban, pekerja sosial, atau relawan.
12
Komnas Perempuan, “Pentingnya Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM dalam Kepemimpinan Baru Indonesia,” https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-
detail/siaran-pers-komnas-perempuan-memperingati-hari-perempuan-pembela-ham, diakses 23 Juni 2022.
13
Dispensasi Kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
14
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Catahu 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual,
Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19 – Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 20210, (Jakarta: Komnas
Perempuan, 2021), hlm. 2.
15
KSBE kerap dikenal juga dengan istilah lain, misalnya kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan kekerasan berbasis gender siber (KGBS). Penggunaan istilah
KBGE dalam laporan ini merujuk kepada istilah KSBE yang dimuat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
16
Komnas Perempuan, op.cit.,
17
Australian Government, Policy paper on “Dampak Ekonomi dan Akses Perlindungan Sosial Selama Krisis COVID-19: Pengalaman Penyandang Disabilitas di
Indonesia”, Agustus 2020, hlm.1, accessed in https://www.dfat.gov.au/sites/default/files/COVID-19-crisis-experiences-people-disabilities-indonesia-id.pdf
18
SurveyMETER, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), “Lanjut Usia dan COVID-19 di Indonesia”, (Jakarta: Survey Meter, 2020), hlm.xiv
19
Tempo, “Kepepet di Tengah Pengetatan”, Desember 2021, https://interaktif.tempo.co/proyek/pekerja-migran-indonesia-di-tengah-pandemi/index.html accessed in 3
September 2022
20
Ibid

2
untuk mitigasi dampak dari adanya COVID-19 terhadap sistem keadilan. Beberapa kebijakan yang diterbitkan sebagai
bentuk mitigasi dampak krisis COVID-19 ini adalah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1
tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan
Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya pada 23 Maret 2020, yang hingga kini terus
diperbarui. Dalam surat edaran yang telah diperbaharui melalui SEMA No. 6 Tahun 2020 disebutkan bahwa
pelaksanaan persidangan agar diarahkan untuk dilakukan secara elektronik atau daring. Selanjutnya, pada tanggal 25
September Mahkamah Agung meluncurkan PERMA No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara
Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (“PERMA E-Litigasi Pidana”).

Namun, dalam implementasinya, PERMA terkait sidang secara elektronik ini masih menghadapi berbagai
tantangan dan hambatan misalnya hambatan terkait sarana dan prasarana/infrastruktur pelaksanaan sidang elektronik
yang masih cenderung terbatas. Aksesibilitas dan kualitas koneksi internet di Indonesia terbilang masih tidak merata
dan tidak stabil.21 Selain itu, tidak semua pengadilan dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan dengan teknologi
yang memadai, bahkan terbatas pada ruangan yang layak untuk menyelenggarakan persidangan.22 Tidak hanya di
institusi peradilan, namun dari segi penyedia layanan bantuan hukum juga kemudian melakukan adaptasi ke
mekanisme online.23 Tantangan yang dihadapi pun tidak jauh berbeda dengan proses sidang elektronik di mana soal
aksesibiltas untuk masyarakat yang menggunakan layanan online.24

Oleh karena itu, penting untuk melihat sejauh mana pandemi COVID-19 ini dapat berdampak pada
pencapaian akses keadilan, terutama bagi kelompok rentan—baik dari sisi kelompok rentan sebagai pencari keadilan
maupun pihak lain yang turut serta dalam isu ini. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa berbagai inisiatif dalam bentuk
kebijakan dan langkah-langkah telah dilakukan untuk mendorong akses terhadap keadilan. Namun dalam
pelaksanaannya, ternyata masih terdapat berbagai kendala yang perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh informasi mendalam terkait 2 (dua) isu yaitu, 1) dampak pandemi COVID-19
terhadap akses keadilan bagi perempuan dan perempuan dari kelompok rentan, serta, 2) implementasi dari
inisiatif terkait digitalisasi di sektor peradilan dalam mendorong akses keadilan bagi perempuan dan
perempuan dari kelompok rentan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah dan
masyarakat sipil lainnya untuk mendorong advokasi berbasis bukti untuk meningkatkan kebijakan hukum tentang
akses keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.

B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memperoleh informasi mengenai kondisi akses keadilan perempuan
dan perempuan dari kelompok rentan selama COVID-19 di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk:
1. Memberikan gambaran tentang dampak COVID-19 terhadap perempuan dan perempuan dari kelompok
rentan di Indonesia;
2. Memberikan gambaran tentang hambatan perempuan dan perempuan dari kelompok rentan dalam
mengakses keadilan selama masa COVID-19 di Indonesia;
3. Memberikan gambaran tentang adaptasi dalam bentuk digitalisasi atau inisiatif lain di lembaga peradilan
di Indonesia terkait akses keadilan bagi perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya;
2. Memberikan gambaran sejauh mana digitalisasi dan adaptasi lainnya dapat mendukung akses keadilan
bagi perempuan dan perempuan dari kelompok rentan selama masa COVID-19;
3. Memberikan rekomendasi penguatan akses keadilan bagi perempuan dan perempuan dari kelompok
rentan selama masa COVID-19.

21
KOMINFO, P. (n.d.). Belum tersentuh meski tak terpencil. Website Resmi Kementerian Komunikasi Dan Informatika RI. Accessed from
http:///content/detail/13518/belum-tersentuh-meski-tak-terpencil/0/sorotan_media on 5 August 2022
22
Komnas Perempuan, IJRS dan MaPPI, Laporan Penelitian Kualitatif Tinjauan Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Ri Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Di 5 Mitra Wilayah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
(SPPT-PKKTP), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), hlm.41
23
Arsa Ilmi Budiarti, dkk., op.cit., hlm. 6
24
Ibid

3
C. PERTANYAAN PENELITIAN
Penelitian ini akan menjadi referensi bagi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil lainnya untuk
mendorong dukungan berbasis bukti demi meningkatkan kebijakan hukum tentang akses keadilan bagi perempuan
dan kelompok rentan lainnya. Berdasarkan tujuan dan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Masalah apa yang dialami perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya di Indonesia
selama COVID-19?
a. Kelompok rentan mana yang terkena dampak COVID-19? Masalah apa yang mereka alami selama
COVID-19?;
b. Apa saja bentuk pelanggaran hak yang dialami perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya
selama COVID-19?; dll.
2. Apa dampak yang dialami perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya terkait akses
keadilan yang mereka butuhkan selama COVID-19?
a. Apa saja dampak dan hambatan yang dialami perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya
dalam akses keadilan akibat COVID-19?;
b. Kelompok rentan mana yang mengalami hambatan akses keadilan selama COVID-19?;
c. Apa kendala yang muncul di lembaga peradilan selama masa COVID-19?;
d. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hambatan dan dampak tersebut?; dll.
3. Adaptasi dan inisiatif seperti apa yang muncul dari berbagai pihak untuk mengatasi hambatan akses
keadilan bagi perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya?
a. Reformasi apa yang muncul untuk mengatasi hambatan akses keadilan bagi perempuan dan perempuan
dari kelompok rentan lainnya?;
b. Pihak mana saja yang terlibat dan terpengaruh oleh reformasi kebijakan atau layanan ini?; dll.
4. Digitalisasi seperti apa yang muncul di sektor peradilan selama periode COVID-19?
a. Bagaimana proses digitalisasi di sektor peradilan Indonesia?;
b. Selain isu gender, faktor apa lagi yang berkontribusi terhadap kondisi kesenjangan digital?;
c. Apakah digitalisasi ini merupakan respon terhadap COVID-19?; dll.
5. Sejauh mana implementasi dan upaya digitalisasi sektor peradilan berkontribusi dalam meningkatkan
akses keadilan bagi perempuan dan perempuan dari kelompok rentan lainnya?
a. Bagaimana implementasi dari inisiatif-inisiatif tersebut?;
b. Apa praktik terbaik, tantangan, dan pelajaran yang dipetik dari pelaksanaannya?;
c. Rekomendasi apa yang dapat diberikan untuk mengoptimalkan implementasi?; dll.

D. METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka metodologi yang dapat digunakan untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas adalah dengan mengambil pendekatan kualitatif. Pengambilan data
dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang ingin melihat bagaimana konstruksi suatu realitas sosial
dan berfokus pada proses interaktif yang terjadi dalam suatu kondisi.25 Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk
memperoleh data atau informasi mendalam mengenai suatu hal yang diteliti dan berusaha memperoleh pemaknaan
terhadap kondisi tertentu.26 Pendekatan kualitatif ini biasanya didasarkan dengan adanya data yang diperoleh melalui
berbagai teknik seperti wawancara mendalam, observasi atau analisis konten gambar untuk membangun suatu teori.27
Hasil data yang diperoleh pun bersifat subjektif dan tidak dapat digeneralisir menggambarkan kondisi secara umum,
karena biasanya jumlah sampelnya pun tidak terlalu banyak namun menekankan kepada kedalaman data yang
diperoleh.28 Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data yaitu wawancara mendalam. Teknik ini dipilih agar

25
Newman, Lawrence W., Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (New York: Pearson, 2007), hlm. 17
26
Ibid
27
Ibid
28
Ibid, hlm. 71

4
diperoleh informasi secara mendalam yang dapat menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan di atas. Hasil
wawancara mendalam ini dapat dijadikan sebagai data primer yang didukung oleh penelitian atau literatur lain sebagai
data sekunder.

Wawancara mendalam dapat dilakukan kepada beberapa narasumber yang terdiri dari serangkaian kategori dan
kriteria. Pemilihan informan ini dilakukan dengan memastikan kembali tujuan dan pertanyaan penelitian apa yang
ingin dijawab. Berdasarkan hal tersebut, pemilihan informan dilakukan dengan kategori dan kriteria sebagai berikut:

Kategori
No Kriteria Informan Pertanyaan Penelitian yang Digali
Informan

1. Pendamping a. Advokat, paralegal atau pendamping 1. Masalah apa yang dialami perempuan
korban lainnya yang mendampingi kasus sejak dan perempuan dari kelompok rentan
awal menerima pengaduan hingga lainnya di Indonesia selama COVID-
penyelesaian kasus (putusan 19?
pengadilan); 2. Apa dampak yang dialami perempuan
b. Mendampingi kasus kekerasan berbasis dan perempuan dari kelompok rentan
gender (KBG) baik perkara perdata lainnya terkait akses keadilan yang
maupun pidana; mereka butuhkan selama COVID-19?
c. Menangani kasus di mana korban 3. Adaptasi dan inisiatif seperti apa yang
adalah kelompok rentan yang dimaksud muncul dari berbagai pihak untuk
dalam penelitian ini; mengatasi hambatan akses keadilan
d. Kasus berjalan selama masa pandemi bagi perempuan dan perempuan dari
COVID-19; dan kelompok rentan lainnya?
e. Minimal pengalaman menangani 20 4. Digitalisasi seperti apa yang muncul
kasus. di sektor peradilan selama periode
COVID-19?
2. Aparat Penegak a. Pernah menangani perkara Kekerasan
Hukum (Hakim, Berbasis Gender;
Jaksa, Polisi) b. Menangani perkara selama masa
pandemi COVID-19;dan
c. Minimal pengalaman menangani 10
kasus.

3. Pemerintah dan a. Kementerian/lembaga yang memiliki


lembaga negara tugas dan/atau mengkoordinir
independen penyelenggaraan layanan terpadu
termasuk layanan dukungan untuk
perempuan dan anak;
b. Kementerian/lembaga yang melakukan
pemantauan terhadap isu Kekerasan
Berbasis Gender; atau
c. Bertanggung jawab terhadap kebijakan,
layanan dan pemantauan.

4. Penyintas kekerasan a. Perempuan berhadapan dengan hukum; 1. Masalah apa yang dialami
b. Kasus masih dalam proses di perempuan dan perempuan dari
pengadilan, atau telah memberikan kelompok rentan lainnya di
keterangan di pengadilan atau sudah Indonesia selama COVID-19?
ada putusan pengadilan; 2. Apa dampak yang dialami
c. Perempuan yang termasuk kategori perempuan dan perempuan dari
kelompok rentan dalam penelitian ini; kelompok rentan lainnya terkait

5
dan akses keadilan yang mereka
d. Kasus berjalan selama pandemi butuhkan selama COVID-19?
COVID-19.

Berdasarkan kategori dan kriteria di atas, dipilih informan-informan yang berasal dari berbagai wilayah di
Indonesia untuk memastikan adanya keterwakilan dari wilayah barat, tengah dan timur Indonesia. Berdasarkan kriteria
dan kategori di atas, dipilih 12 (dua belas) informan dengan rincian sebagai berikut:

No Kategori Informan Informan yang dipilih

1. Pendamping korban 1. Pendamping LBH Apik Jakarta


2. Pendamping LBH Apik Medan
3. Pendamping LIBU Perempuan Sulawesi Tengah
4. Pendamping Jaringan Indonesia Positif Yogyakarta

2. Aparat Penegak Hukum 1. Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Malang


(Hakim, Jaksa, Polisi) 2. Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Bantul
3. Polisi Bareskrim wilayah Jakarta

3. Pemerintah dan lembaga 1. Perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
negara independen (KemenPPPA)
2. Perwakilan Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
3. Perwakilan Komnas Perempuan

4. Penyintas kekerasan 1. Penyintas perempuan korban KDRT dari Jakarta


2. Penyintas perempuan disabilitas paraplegia korban KDRT dari Yogyakarta

Seluruh informan di atas diwawancara secara mendalam baik secara daring maupun luring di waktu yang
berbeda sepanjang 13 – 26 September 2022. Hasil wawancara dilakukan transkrip secara verbatim untuk diolah
kembali oleh tim peneliti menjadi serangkaian temuan dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan
penelitian.

E. KETERBATASAN PENELITIAN
Dalam setiap penelitian tentu saja terdapat sejumlah keterbatasan yang dapat dijadikan pembelajaran untuk
penelitian berikutnya agar dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu sebagai
berikut:
1. Dikarenakan adanya keterbatasan waktu, dalam penelitian ini belum dapat diperoleh variasi informan
penelitian yang beragam dari segi jumlah maupun kategori;
2. Dalam penelitian ini belum dapat diperoleh perspektif dari penyintas kekerasan dengan faktor
kerentanan lainnya seperti orang dengan disabilitas selain fisik, migran, anak dan perempuan dari
kelompok rentan lain yang teridentifikasi terdampak COVID-19 seperti perempuan masyarakat adat.
Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya dan waktu untuk menganalisis akses terhadap
keadilan kelompok rentan di mana konsep ini merupakan konsep yang sangat luas dan bersifat
interseksionalitas sehingga diperlukan adnaya kajian yang lebih kompehensif, mendalam, serta
dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk memperoleh gambaran akses terhadap keadilan di setiap
kelompok rentan yang terdampak COVID-19. Namun penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran awal terhadap kondisi akses terhadap keadilan kelompok rentan secara umum selama masa
COVID-19.
3. Penelitian ini tidak dapat menggambarkan kondisi akses terhadap keadilan perempuan di masa COVID-

6
19 berdasarkan wilayah tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif
terkait kondisi akses keadilan terhadap perempuan di masa COVID-19. Penelitian berfokus untuk memperoleh
informasi terkait kondisi perempuan pada masa COVID-19, hambatan dalam mengakses keadilan, hingga adaptasi
maupun inisiatif yang ada di sektor keadilan dalam mendukung akses keadilan bagi perempuan dan perempuan dari
kelompok rentan selama masa COVID-19. Oleh karenanya, dalam Bab berikutnya akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai konsep-konsep utama yang digunakan dalam penelitian dan ruang lingkup dari penelitian ini untuk
memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai penelitian ini.

F. KONSEP YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN


F.1 Definisi kelompok rentan
Istilah kelompok rentan sendiri memiliki definisi yang cenderung berkelindan dengan kelompok marjinal dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain—juga memiliki definisi yang sama-sama beragam (tergantung kepada perspektif
isu yang diambil) dan tidak ada satu kesepakatan terkait definisi marjinal dan rentan. Dalam konteks global, istilah
marjinal disebutkan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan adanya kerentanan bagi seseorang.29 Istilah
kelompok marjinal kerap dilekatkan dengan istilah kelompok minoritas di mana berbicara soal “eksklusi sosial” atau
suatu proses peminggiran sosial terhadap beberapa kelompok yang didiskriminasikan atas dasar etnis, ras, agama,
orientasi seksual, kasta, keturunan, gender, usia, disabilitas, HIV-AIDS (WLHA), migran atau berdasarkan lokasi di
ranah mereka tinggal—dapat juga dirugikan karena lokasi tempat tinggal tidak tersentuh oleh kegiatan
pembangunan.30 Sedangkan, kelompok rentan atau yang biasanya disandingkan dengan istilah disadvantaged group
adalah orang-orang yang kurang beruntung secara fisik, mental, atau sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasar mereka dan oleh karena itu mungkin memerlukan bantuan khusus.31 Orang-orang yang terpapar dan/atau
mengungsi karena konflik atau bahaya alam juga dapat dianggap rentan.32 Kelompok rentan mungkin mengalami
risiko kemiskinan dan/atau pengucilan sosial yang lebih tinggi.33

Berdasarkan dua definisi tersebut dapat dilihat bahwa istilah kelompok marjinal dan rentan merupakan
konsep yang abstrak dan dapat dimaknai sebagai sebab-akibat atas kondisi seseorang serta bersifat interseksionalitas.
Namun, dalam konteks Indonesia, istilah kelompok marjinal cenderung awam/tidak sering digunakan dan biasanya
didefinisikan sebagai kelompok yang terasingkan atau terpinggirkan karena faktor ekonomi seperti kelompok miskin
kota. Secara indikator dan jaminan dalam Undang-Undang di Indonesia, kelompok marjinal juga tidak didefinisikan
secara spesifik. Sedangkan, kelompok rentan dijelaskan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak.34 Definisi
kelompok rentan ini juga dijelaskan dan dispesifikkan dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu,
berdasarkan definisi-definisi di atas tim peneliti melihat bahwa kelompok rentan memiliki makna yang lebih luas di
mana tidak hanya berbicara soal peminggiran/pengasingan namun juga soal ketidaksetaraan pemenuhan hak-hak dasar
sebagai warga negara—di mana kategori kelompoknya jauh lebih spesifik sehingga intervensi kebijakan dapat
didorong secara tepat sasaran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan lebih digunakan istilah kelompok rentan
daripada kelompok marjinal yang kemudian digunakan untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian di atas khususnya
pada kelompok perempuan dan juga perempuan dengan kondisi kerentanan lainnya.

Melihat kembali definisi kelompok rentan di atas dan tujuan penelitian ini, kita melihat bahwa “perempuan”
itu sendiri tidak harus dilihat sebagai identitas tunggal. Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan

29
Dapat dilihat di http://www.inworkproject.eu/toolbox/index.php/glossary-resources/glossary/marginalised-and-vulnerable-groups
30
Jo Beall dan Laure-Hélène Piron, DFID Social Exclusion Review, (London: The London School of Economics and Political Science, 2005), hlm. 60-61.
31
UNHCR. (2006). Master Glossary of Terms Rev. 1. Dapat dilihat di https://inee.org/eie-glossary/vulnerable-groups
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Sahadi Humaedi, dkk., Kelompok Rentan dan Kebutuhannya (Sebuah Kajian Hasil Pemetaan Sosial CSR PT Indonesia Power UPJP Kamojang), Social Work Journal
Volume 10 No. 1, hlm. 61-72.

7
CEDAW, memberikan landasan bagi perlindungan hak-hak perempuan, termasuk perempuan dari kelompok rentan
atau dengan kebutuhan khusus. Sesuai dengan Rekomendasi Umum No. 28 tentang kewajiban inti Negara Pihak
berdasarkan Pasal 2 Konvensi serta rekomendasi umum No. 33 tentang akses perempuan terhadap keadilan
menguatkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan terkait erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Yurisprudensi Komite menyoroti bahwa hal ini termasuk etnis/ras, status pribumi atau minoritas,
warna kulit, status sosial ekonomi dan/atau kasta, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik, asal kebangsaan,
status perkawinan dan/atau ibu, usia, perkotaan/pedesaan. lokasi, status kesehatan, disabilitas, kepemilikan properti,
menjadi lesbian, biseksual, transgender atau interseks, buta huruf, perdagangan perempuan, konflik bersenjata,
mencari suaka, menjadi pengungsi, perpindahan internal, tanpa kewarganegaraan, migrasi, kepala rumah tangga,
janda, hidup dengan HIV-AIDS, perampasan kebebasan, berada dalam prostitusi, keterpencilan geografis dan
stigmatisasi terhadap perempuan yang memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk pembela hak asasi manusia.35
Secara keseluruhan, data ini menyiratkan bahwa perempuan sebagian besar rentan dan sering menghadapi diskriminasi
tambahan berdasarkan jenis kelamin mereka, membuat mereka sangat rentan. Secara khusus, perempuan dengan
identitas lain sebagai kelompok rentan lebih mungkin mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar jika
dibandingkan dengan laki-laki, termasuk laki-laki dari kelompok rentan yang sama dan perempuan lain. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini, kelompok rentan yang dimaksud akan difokuskan pada perempuan dan juga perempuan
dengan kondisi rentan lainnya, yang dapat mencakup perempuan yang kurang beruntung secara ekonomi, anak
perempuan, perempuan penyandang disabilitas, perempuan dari masyarakat adat, lansia, migran, perempuan yang
hidup dengan HIV-AIDS (WLHA), LGBTQIA+, dll. yang dapat termasuk perempuan dari kelompok rentan lain yang
paling terdampak secara akses keadilannya selama COVID-19. Berdasarkan kondisi perempuan saat ini dan
perempuan dari kelompok rentan selama COVID-19, banyak kelompok perempuan yang sejak awal sudah memiliki
kerentanan dan kondisinya semakin diperparah dengan hadirnya COVID-19. Kondisi yang diperburuk dapat berupa
kesulitan dan hambatan hingga pemenuhan hak dasar atas hak yang terkait dengan akses terhadap keadilan. Dari
semua kelompok tersebut, penelitian ini hanya akan mengambil beberapa kelompok untuk menjadi fokus penelitian,
yaitu:
1. Perempuan miskin;
2. Perempuan dengan disabilitas;
3. Anak perempuan;
4. Perempuan dengan HIV-AIDS;
5. Perempuan lanjut usia.

F.2 Definisi akses terhadap keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan
Sebagai salah satu hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, keadilan ini harus dapat diakses. Akses
keadilan sebagai hak ini dilihat dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada Pasal 7 dan Pasal 8.
Pada Pasal 7 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh persamaan di mata hukum dan tidak
didiskriminasi. Sedangkan pada Pasal 8 disebutkan setiap warga negara berhak untuk memperoleh penyelesaian yang
efektif dari institusi peradilan atas hak-hak yang terlanggar dan dikabulkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.36 Pada awalnya, akses terhadap keadilan dilihat sebagai adanya pemberian layanan yang adil dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di mana setiap orang berhak (entitled) untuk untuk memperoleh
perlindungan atas hak-haknya dan hal tersebut perlu untuk dipastikan pelaksanaanya oleh negara.37 Konsep akses
keadilan juga dilihat dengan fokus pada hambatan yang dihadapi terutama oleh warga masyarakat yang miskin ketika

35
Rekomendasi umum No. 33, par 8 dan 9. Rekomendasi umum lainnya yang relevan dengan diskriminasi interseksional adalah rekomendasi umum No. 15 tentang
perempuan dan AIDS, No. 18 tentang perempuan penyandang disabilitas, No. 21 tentang kesetaraan dalam perkawinan dan hubungan keluarga, No. 24 tentang
perempuan dan kesehatan, No. 26 tentang pekerja migran perempuan, No. 27 tentang perempuan yang lebih tua dan perlindungan hak asasi mereka, No. 30 tentang
perempuan dalam pencegahan konflik, situasi konflik dan pasca konflik, No. 31 tentang praktik berbahaya, No. 32 tentang dimensi terkait gender dari status pengungsi,
suaka, kebangsaan dan keadaan tanpa kewarganegaraan perempuan dan No. 34 tentang hak-hak perempuan pedesaan.
36
UNDP et.al., “Justice for All: an Assessment of Access to Justice in Five Provinecs of Indonesia”, (Bappenas: Jakarta, 2006), hlm.4-5
37
Jon Robins, “Access to justice is a fine concept. What does it mean in view of cuts to legal aid?”, Oct 2011, accessed in
https://www.theguardian.com/law/2011/oct/06/access-to-justice-legal-aid-cuts on 16 July 2022

8
mereka mencoba mengakses pengadilan.38 Pandangan awal dari akses terhadap keadilan ini menunjukkan bahwa akses
terhadap keadilan merupakan suatu hal yang disediakan negara di mana negara juga berperan untuk memastikan agar
tidak adanya hambatan bagi masyarakat untuk mencapai keadilan yang dimaksud. Namun, seiring dengan
berkembangnya waktu, akses terhadap keadilan dijelaskan sebagai kemampuan seseorang untuk mencari dan
memperoleh penyelesaian masalah hukum melalui institusi keadilan formal atau informal yang sesuai dengan standar
hak asasi manusia.39 Dengan kata lain akses terhadap keadilan melihat sejauh mana masyarakat mampu dan berdaya
dalam mengakses mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah hukum yang dimiliki. Pandangan ini
kemudian dikenal sebagai people principle yaitu menekankan bahwa akses terhadap keadilan merupakan
implementasi dari supremasi hukum (rule of law) yang juga bergantung pada kemampuan dan pengetahuan individu
akan hak-hak mereka dan bagaimana cara mengakses serta memperjuangkan hak-hak tersebut secara efektif dan
terjangkau.40

Akses terhadap keadilan tidak hanya berfokus pada meningkatkan akses individu ke pengadilan, namu juga
memastikan adanya bantuan hukum.41 Selain itu perlu juga menekankan kepada kemampuan masyarakat terutama
kelompok rentan.42 Hal lain yang turut perlu digarisbawahi dalam melihat konsep akses terhadap keadilan khususnya
di Indonesia adalah bahwa terdapat mekanisme informal atau mekanisme yang berada di luar pengadilan. Kebanyakan
orang Indonesia menyelesaikan masalah mereka secara informal melalui berbagai mekanisme mediasi, yang sering
melibatkan pemimpin-pemimpin daerah atau pejabat pemerintah.43 Mekanisme lokal dan informal untuk penyelesaian
sengketa tersebut (sering disebut dengan ungkapan “secara kekeluargaan”) termasuk hukum adat dan agama44
umumnya lebih disukai daripada penyelesaian melalui pengadilan negara karena mekanisme lokal dan informal
tersebut dianggap lebih murah, lebih cepat, dan lebih memuaskan.45 Oleh karenanya, akses terhadap keadilan dapat
dilihat sebagai jalan bagi masyarakat untuk mempertahankan dan memulihkan hak serta menyelesaikan permasalahan
hukum baik melalui mekanisme formal maupun informal—termasuk di dalamnya kemampuan masyarakat—sesuai
dengan standar hak asasi manusia.46

Berbicara mengenai akses terhadap keadilan, salah satu yang perlu dipahami dalam konteks perempuan dan
kelompok rentan adalah bahwa kebutuhan hukum yang dimiliki perempuan kelompok rentan berbeda dengan
masyarakat pada umumnya ketika ingin mengakses akses terhadap keadilan. Kelompok rentan seperti misalnya
perempuan, perempuan dengan disabilitas, perempuan lansia dan sebagainya sudah sejak lama cenderung
didiskriminasi dan dieksklusikan baik di tataran negara maupun di masyarakat. Meskipun jaminan kesetaraan bagi
kelompok rentan tersebut telah tercantum di berbagai peraturan perundang-undangan di level global, nasional hingga
lokal namun kenyataannya jaminan tersebut memiliki beberapa kekurangan dalam pengaturannya serta minim
diimplementasikan dengan baik sehingga berdampak bagi kehidupan sehari-hari kelompok rentan.47 Beberapa
hambatan yang dialami kelompok rentan khususnya dalam mengakses keadilan di antaranya bagi perempuan, posisi
dan haknya sebagai warga negara kerap dipandang berbeda dengan laki-laki yang kemudian berdampak negatif bagi
perempuan baik di level institusional maupun kultural.48

38
M. Cappeleti dan B. Garth, “Access to Justice: The newest wave in the worldwide movement to make rights effective”, Buffalo law review 27:181-292, dalam Ward
Berenschot, et.al. (ed.), “Akses Terhadap Keadilan: Perjuangan Masyarakat Miskin dan Kurang Beruntung untuk Menuntut hak di Indonesia”, (HuMa, VVI, KITLV,
dan Epistema: Jakarta, 2011), hlm.17
39
UNDP et.al, op.cit., hlm.4-5
40
Charles P. Sabatino, “Access to Justice: The People’s Principle”, Generations: Journal of the American Society on Aging Vol. 43, No. 4, Older Adults and Access to
Justice (Winter 2019–2020), hlm.6-10
41
UNDP (1), “Rule of Law And Access to Justice in Eastern and Southern Africa: Showcasing Innovations and Good Practices, (UNDP: Ethiopia, 2013), hlm. 3.
42
Ramaswamy Sudarshan, “Rule of Law and Access to Justice: Perspectives from UNDP Experience - Paper presented to the European Commission Expert Seminal on
Rule of Law and the Administration of Justice as part of Good Governance”, Brussels, 3-4 July, 2003 dalam UNDP, ibid., hlm. 3.
43
Ward Berenschot, et.al. (ed.), op.cit., hlm.17
44
Ibid
45
Ibid
46
Dio Ashar Wicaksana, et.al., “Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia Tahun 2019”, (IJRS: Jakarta, 2020), hlm.25
47
UNDP (2), “Strengthening Judicial Integrity through Enhanced Access to Justice: (UNDP, 2013), pg.8
48
Council of Europe, “Report of The Online Roundtable on “Framework to Measure Access to Justice Including Specific Challenges Facing Women”” (Council of Europe,
2021), hlm. 8, diakses pada https://rm.coe.int/report-of-the-online-roundtable-on-framework-to-measure-access-to-just/1680a33bc0 on 16 July 2022

9
Akses terhadap keadilan bagi perempuan sendiri didefinisikan sebagai akses oleh perempuan, khususnya,
dari kelompok miskin dan kurang beruntung, ke mekanisme yang adil, efektif, terjangkau dan akuntabel, untuk
perlindungan hak, kontrol penyalahgunaan kekuasaan, dan penyelesaian konflik—yang termasuk kemampuan
perempuan untuk mencari dan memperoleh pemulihan yang adil dan adil melalui sistem peradilan formal dan informal
dan kemampuan untuk mempengaruhi dan berpartisipasi dalam proses dan lembaga pembuatan undang-undang.49
Oleh karenanya, dalam penelitian ini akses terhadap keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan dapat berarti
memastikan adanya akses perempuan secara umum maupun perempuan yang memiliki kerentanan tertentu terhadap
jaminan kerangka hukum yang sesuai dengan hak asasi manusia, ketersediaan mekanisme penyelesaian masalah
hukum baik formal maupun informal yang dapat diakses dan berkualitas, ketersediaan bantuan hukum yang dapat
diakses dan berkualitas, diperolehnya proses penyelesaian permasalahan hukum yang berkualitas dan sesuai standar
hak asasi manusia, diperolehnya hasil penyelesaian masalah yang dapat dilaksanakan dan memulihkan korban sesuai
standar hak asasi manusia, serta adanya kemampuan dan kesadaran hukum perempuan akan hak-haknya untuk
mengakses penyelesaian masalah hukum yang dibutuhkan.

G. TEMUAN PENELITIAN
G.1 Identifikasi Peraturan Perundang-Undangan Terkait Perlindungan Dan Akses Keadilan Bagi
Perempuan Dan Kelompok Rentan Masa COVID-19
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana penyelenggaraan
penanggulangan bencana juga meliputi perlindungan terhadap kelompok rentan.50 Perlindungan terhadap kelompok
rentan diantaranya dilakukan dengan memberikan prioritas berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan dan psikososial.51 Kelompok rentan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut yaitu bayi, balita, anak-
anak, ibu yang mengandung dan menyusui, penyandang disabilitas dan lansia.52 Sebagai respon terjadinya pandemi
COVID-19 tersebut, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dan protokol untuk memberikan perlindungan bagi
warga negaranya termasuk perempuan dalam berbagai sektor termasuk sektor peradilan. Berbagai kebijakan dan
protokol khususnya yang terkait dengan akses keadilan bagi kelompok rentan di Indonesia, diantaranya:

I. Aturan Internal di Instansi Penegak Hukum


1. Surat telegram Kapolri No. ST/1007/III/HUK.5/2020 mengenai penanganan perkara tindak pidana umum
dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan corona virus desease COVID-19;
2. Perjanjian Kerja Sama Antara Mahkamah Agung RI, Kejaksaan RI dan Kementerian Hukum dan HAM RI
No. 402/DJU/HM.01.1/4/2020 NOMOR KEP-17/E/EJP/04/2020, No. PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020
tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference;
3. Surat Jaksa Agung RI No. B-049/A/SUJA/03/2020 TAHUN 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas,
Fungsi, dan Kewenangan Di Tengah Upaya Mencegah Penyebaran COVID-19;
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 5 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam
Lingkungan Pengadilan;
5. Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No. 379/DJU/PS.00/3/2020 Tahun 2020 tentang Persidangan
Perkara Pidana Secara Teleconference;

II. Protokol dan Pedoman Penanganan Kelompok Rentan Berhadapan dengan Hukum
Berbagai protokol dan pedoman dalam penanganan perempuan dan kelompok rentan disusun oleh
pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19, diantaranya:

49
UN Women, et.al., op.cit., pg.17
50
Pasal 48 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
51
Pasal 55, Ibid.
52
IPasal 55 ayat (2), Ibid.

10
1. Panduan Perlindungan Lanjut Usia Berperspektif Gender Pada Masa COVID-19 (KemenPPPA)
2. Panduan Perlindungan Khusus dan Lebih Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas Dalam Situasi Pandemi
COVID-19 (KemenPPPA)
3. Panduan Pelindungan Bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia Dalam Situasi Pandemi COVID-19
(KemenPPPA)
4. Protokol Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi COVID-19 (KemenPPPA
bersama UNFPA)
a. Protokol Pengaduan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
b. Protokol Pemberian Layanan Pendampingan bagi Korban Kekerasan
c. Protokol Rujukan ke Layanan Kesehatan Bagi Korban Kekerasan
d. Protokol Rujukan ke Rumah Aman/Shelter Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
e. Protokol Layanan Psikososial Awal Korban Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
f. Protokol Layanan Konsultasi Hukum Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
g. Protokol Pendampingan Proses Hukum Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
h. Protokol Penyelamatan Diri Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
5. Protokol Lintas Sektor untuk Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus Dalam Situasi Pandemi
COVID-19 (Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19)
6. Protokol Penanganan Anak Korban Tindak Kekerasan Dalam Situasi Pandemi COVID-19 (Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19)
7. Protokol Pengeluaran dan Pembebasan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi, Pembebasan Tahanan,
Penangguhan Penahanan dan Bebas Murni (Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19)

G.2 Bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Pada Masa Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 paling berdampak bagi perempuan dan berkontribusi pada peningkatan angka
kekerasan, timbulnya jenis kekerasan bentuk lain serta peningkatan pada angka perceraian dan dispensasi
kawin.

Kasus-kasus KBG yang terjadi saat masa pandemi COVID-19 sangat beragam, baik yang ditangani oleh
narasumber pendamping, aparat penegak hukum dan pemerintah/lembaga negara independen. Bentuk KBG yang
terjadi di antaranya KDRT termasuk kekerasan fisik, psikis, verbal, seksual, serta pengusiran terhadap perempuan
dengan HIV/AIDS. Selain itu terdapat juga Kekerasan dalam Pacaran (KdP), kekerasan seksual di antaranya pelecehan
seksual, pencabulan, perkosaan, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) termasuk penyebaran konten intim non-
konsensual, pelecehan online, penguntitan secara online, pemaksaan orientasi seksual, pornografi, eksploitasi seksual,
dan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Di Palu, Sulawesi Tengah perempuan korban bencana alam yang
tinggal di hunian-hunian sementara (huntara) merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan.
LIBU Perempuan menyampaikan bahwa kondisi ekonomi yang sulit mengharuskan banyak perempuan harus keluar
hunian untuk mencari penghasilan, sehingga anak-anak yang tinggal di hunian tersebut rentan mengalami pelecehan
dan perkosaan yang dilakukan oleh penjaga huntara. Menurut LIBU Perempuan, selain anak, terdapat penyandang
disabilitas dan lansia (lanjut usia) yang juga menjadi korban perkosaan di hunian sementara. Berdasarkan data Komnas
Perempuan tahun 2021 dan 2020, perempuan dengan disabilitas intelektual menjadi kelompok dengan jumlah paling
banyak mengalami kekerasan diikuti dengan perempuan dengan disabilitas ganda.53 LIBU Perempuan juga mendapati
sebuah kasus di mana seorang perempuan lansia (lanjut usia) berumur sekitar 65 tahun diperkosa saat mencari kayu
di hutan, perempuan lansia (lanjut usia) tersebut harus mencari nafkah bagi dirinya sendiri karena sudah tidak
mendapatkan nafkah dari anaknya yang tidak bekerja lagi akibat dampak pandemi COVID-19.54

53
https://komnasperempuan.go.id/kabar-perempuan-detail/peluncuran-catahu-komnas-perempuan-2022 diakses pada 4 Oktober 2022
54
Wawancara dengan DR, Pendamping dari LIBU Perempuan pada 16 September 2022

11
Tim peneliti juga melakukan wawancara kepada seorang penyintas KDRT yang sudah mengalami kekerasan
berulang dari suaminya sejak 11 tahun lalu. Selain mendapatkan kekerasan fisik, penyintas juga tidak mendapatkan
nafkah dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah tanpa membawa apa-apa pada masa pandemi COVID-19,
penyintas juga memiliki satu orang anak perempuan yang terpaksa ditinggalkan.55 Sementara itu, perwakilan LPSK
mendapatkan laporan kasus KDRT di mana seorang suami menyiram istrinya dengan cairan kimia, membakar istri
dan anak-anaknya hingga mengalami luka yang cukup serius.56 Menurut LBH Apik medan, ketika terjadi KDRT,
korban lebih cenderung memilih untuk bercerai dibanding melaporkan ke polisi karena berbagai alasan salah satunya
adalah takut proses hukum menjadi berbelit.57

Berdasarkan keterangan dari Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Gunung Kidul, perkara-perkara
kekerasan seksual yang korbannya anak perempuan biasanya terjadi pada keluarga-keluarga yang relatif
kurang mampu secara ekonomi. Selain itu, ditemukan adanya erempuan dengan HIV/AIDS juga menjadi semakin
rentan mengalami kekerasan pada masa pandemi COVID-19. Berdasarkan survei Ikatan Perempuan Positif Indonesia,
bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan HIV/AIDS diantaranya adalah kekerasan fisik, psikis, ekonomi,
seksual, mendapatkan diskriminasi karena statusnya, pemaksaan strerilisasi dan aborsi tidak aman58. Dalam hal
perceraian, selama pandemi COVID-19 berlangsung Pengadilan Agama menerima 355.888 perkara59. KDRT sebagai
alasan perceraian ditemukan dalam 3.271 kasus, akan tetapi penyebab perceraian lain seperti poligami, zina, judi,
madat60 dan mabuk juga bisa menjadi bagian KDRT. Komnas Perempuan berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan
kondisi pandemi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang berpengaruh terhadap tingkat
stres keluarga.

Sementara itu, LBH Apik Jakarta mengalami peningkatan dalam pengaduan dan pendampingan kasus selama
masa pandemi COVID-19. Pada tahun 2020 LBH Apik Jakarta menerima 1.178 pengaduan kasus dengan kategori
yang paling banyak salah satunya adalah KBGO di mana sebelum pandemi kasus tersebut tidak masuk ke dalam 5
kasus tertinggi.61 Bareskrim POLRI Republik Indonesia juga menyampaikan bahwa beberapa tahun terakhir mulai
banyak laporan kasus kekerasan berbasis daring khususnya pornografi anak di mana terdapat eksploitasi atau jual
beli pornografi anak melalui website, kemudian sextortion, grooming, pemerasan online dari konten pornografi.62
Komisioner Komnas Perempuan mengatakan bahwa kekerasan berbasis gender online jumlahnya melonjak tajam
termasuk yang dilakukan orang terdekat seperti mantan pacar, pacar, bahkan suami.63 Selama ini teknologi menjadi
sarana dalam melakukan kejahatan termasuk kekerasan berbasis gender. Akses yang mudah ke smartphone yang
memiliki jaringan internet dan kamera serta partisipasi yang luas di jaringan sosial internet, telah menjadi salah satu
platform bagi pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.64 Menurut Powell & Henry (2017), banyak contoh di mana
pelaku KBGO adalah orang yang dikenal korban, di mana salah satu dampak bahaya yang dialami perempuan ketika
mengalami KBGO adalah dia tidak tau siapa sebenarnya pelaku, apakah mantan pasangan, rekan kerja, teman, atau
orang asing.65

Pademi COVID-19 juga berdampak pada tingginya tingkat perceraian di Indonesia. Pada tahun 2019
Pengadilan Agama menerima 355.888 perkara cerai,66 dan sejumlah 291.677 perkara cerai di 2020. Angka perceraian
kemudian meningkat 54% menjadi 447.743 kasus pada 2021.67 Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang

55
wawancara dengan S, penyintas KDRT pada 21 September 2022
56
Wawancara dengan LI, perwakilan LPSK pada 16 September 2022
57
Wawancara dengan SAG, pendamping LBH Apik Medan pada 19 September 2022
58
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (3), salah Kebijakan Perempuan dengan HIV/AIDS ‘’Lingkaran Kekerasan Seksual dan Kerentanan Atas Hak
Hidup’’, (Komnas Perempuan: Jakarta,2019), hal. 1
59
Komnas Perempuan, Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2020, hlm. 70.
60
Madat adalah istilah lain untuk candu dan merujuk kepada penyalahgunaan narkotika.
61
wawancara dengan T, pendamping dari LBH Apik Jakarta pada 16 September 2022
62
wawancara dengan ER, Bareskrim POLRI, pada 22 September 2022
63
Wawancara dengan SAT, Komisioner Komnas Perempuan pada 15 September 2022
64
Anastasia Powell dan Nicola Henry, ‘’Sexual Violence in Digital Age’’, Springer Nature, United Kingdom, (2017), hal.2
65
Ibid., hal.11
66
Komnas Perempuan, Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2020, hal. 70.
67
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/21/kasus-perceraian-di-indonesia-masih-marak-ini-penyebabnya diakses pada 22 Oktober 2022

12
mengkonfirmasi hal tersebut, ia mengatakan bahwa adanya pandemi berdampak pada kenaikan yang signifikan pada
perkara perceraian di mana kondisi ekonomi yang sulit mendorong adanya pertengkaran dan disharmonisasi dalam
rumah tangga Temuan ini dikonfirmasi dengan data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan bahwa alasan tertinggi
terjadinya perceraian pada masa pandemi COVID-19 adalah karena terjadinya konflik atau perselisihan antara suami
isteri, masalah ekonomi, karena salah satu pihak meninggalkan pasangannya dan adanya kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT).68

Pademi COVID-19 juga berdampak pada tingginya permohonan dispensasi kawin. Pada tahun 2019
Pengadilan Agama menerima 23.126 permohonan dispensasi kawin, kemudian melonjak tajam jumlahnya di tahun
2020 dan 2021 menjadi 64.211 dan 59.709 kasus.69 Dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan
kepada calon suami/isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.70 Dispensasi kawin diatur
dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Menurut Hakim Pengadilan Agama Kabupaten
Malang, tingginya kasus dispensasi kawin yang terjadi pada masa pandemi COVID-19 terjadi karena orang tua tidak
sanggup membiayai pendidikan anak dan hendak melepaskan tanggung jawab terhadap anak.71 Menurutnya, tingginya
angka dispensasi kawin disebabkan pertama, karena adanya pandemi COVID-19 yang menyebabkan beban ekonomi
keluarga di mana orang tua tidak sanggup membiayai pendidikan anaknya dan memilih untuk menikahkan anak dan
kedua, adanya peningkatan usia perkawinan di mana awalnya batas usia menikah untuk anak perempuan adalah 16
tahun menjadi 19 tahun berdasarkan UU No. 16 Tahun 2019.72 Hal ini selaras dengan temuan Komnas Perempuan
yang menemukan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang sulit menjadi penyebab lonjakan jumlah permohonan
dispensasi perkawinan.73

Selain kasus kekerasan berbasis gender, kasus lainnya yg terjadi pada masa pandemi COVID-19 lainnya
khususnya dalam perkara perdata yaitu kasus perwalian anak untuk pengurusan waris karena orangtua yang
meninggal akibat COVID-19 dan perkara perceraian akibat KDRT.74 Berdasarkan data dari salah satu pengadilan
agama di Indonesia yaitu Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Kalimantan Timur mencatat tingginya kasus perceraian
saat pandemi Covid-19, yang diantaranya disebabkan oleh masalah ekonomi, pertengkaran, perselingkuhan atau
KDRT penelantaran dalam rumah tangga atau suami yang tidak bertanggungjawab memberikan nafkah.75

Tidak hanya itu, LBH Apik Medan juga mendapati adanya kasus perempuan yang menjadi pelaku dalam
tindak pidana narkotika di mana perempuan tersebut merupakan korban KDRT yang terpaksa melakukan tindak
pidana seperti pencurian, penggelapan dan tindak pidana terkait narkotika untuk membiayai anaknya.76 Pada awalnya
perempuan tersebut merupakan korban KDRT, di satu sisi ia juga menanggung beban ganda karena harus menafkahi
anaknya, karena suaminya tidak memberi nafkah dan pergi meninggalkannya. Sehingga karena terdesak ia pun
menjadi pelaku tindak pidana.

G.3 Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan

Dampak pandemi COVID-19 itu sendiri ternyata juga berdampak pada kelompok perempuan dengan kerentanan
lainnya seperti kelompok perempuan miskin, disabilitas, ODHA, dll. Dampak tidak hanya dari munculnya

68
Komnas Perempuan (2), CATAHU 2021: Daya Pencegahan dan Penanganan berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan berbasis Gender
terhadap Perempuan, hal. 68 dan Komnas Perempuan (2), hal.56
69
Komnas Perempuan (1), Op.Cit., hal. 18
70
Pasal 1 angka 5 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin
71
wawancara dengan Hakim NM, Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang, pada 16 September 2022
72
ibid.
73
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Catahu 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual,
Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19 – Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 20210, (Jakarta: Komnas
Perempuan, 2021), hal.72
74
wawancara dengan Hakim NM, Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang, pada 16 September 2022
75
https://diskominfo.kaltimprov.go.id/index.php/berita/samarinda-tertinggi-angka-perceraian-saat-pandemi-covid-19 diakses pada 21 Oktober 2022
76
wawancara dengan SAG, pendamping LBH Apik Medan pada 19 September 2022

13
kekerasan namun juga dampak lainnya seperti kesulitan pemenuhan hak pemulihan, akses layanan kesehatan,
pemenuhan kebutuhan ekonomi, akses ke pendampingan, dsb.

Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang signifikan bagi perempuan dan perempuan dari kelompok
rentan. Menurut 12 narasumber, kelompok perempuan yang rentan dan paling terdampak pada saat pandemi
COVID-19 beragam dari mulai perempuan pekerja rumah tangga, perempuan yang berada dalam tingkat
ekonomi menengah kebawah, perempuan disabilitas, perempuan dengan HIV/AIDS, ibu rumah tangga, anak
perempuan, perempuan lansia, dan perempuan pengungsi. Salah satu yang ditemukan adalah perempuan di Lapas
atau Rutan juga lebih rentan tertular COVID-19 karena harus hidup berdampingan dengan banyak orang di ruangan
sempit, sehingga physical distancing sesuai protokol hampir tidak mungkin dilakukan.77 Apalagi, tidak jarang pula
kualitas akses di Lapas cenderung lebih buruk terhadap perawatan kesehatan dan perawatan narapidana, dan
kebutuhan khusus perempuan berdasarkan jenis kelamin mereka terus diabaikan.78

Menurut LBH Apik Jakarta, selama masa pandemi COVID-19 perempuan pekerja dan ibu rumah tangga
semakin memiliki beban ganda dalam urusan domestik di rumah tangga.79 Seorang perempuan dituntut untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan kondisi pembatasan ruang gerak dan mobilitas, dituntut harus
mendampingi anak sekolah daring, tingkat kecemasan dan stress yang tinggi akibat berbagai hal misalnya
kekhawatiran akan tertular COVID-19, kehilangan angggota keluarga, stress akibat PHK atau penurunan pendapatan,
serta menjadi pelampiasan kekerasan dari suami, belum lagi adanya tekanan secara ekonomi akibat pemutusan
hubungan kerja dan terbatasnya ruang untuk mencari nafkah.80 Jika tidak diikuti dengan perubahan peran gender antara
laki-laki dan perempuan dalam keluarga, maka akan menjadi beban ganda bagi perempuan. Perubahan ini dapat
menyebabkan situasi krisis dalam keluarga yang akan membuat keluarga menjadi kuat, tetapi juga dapat membuat
keluarga menjadi lemah dan konflik.81

Menurut LBH Apik Jakarta dan perwakilan LPSK, dampak korban kekerasan dialami baik secara fisik,
psikis, ekonomi dan sosial misalnya kerusakan organ reproduksi, trauma, depresi, rasa benci terhadap diri
sendiri, rasa menyalahkan diri sendiri, kecenderungan untuk menyakiti dirinya sendiri, adanya keinginan
untuk bunuh diri bahkan mengalami kehamilan.82 Selain itu menurut Komisioner Komnas Perempuan dalam
kekerasan berbasis online, adanya jejak digital korban membuat pemulihan sulit dilakukan dan memperdalam luka
atau trauma korban.83 Menurut LBH Apik Jakarta, bagi korban kekerasan berbasis gender adanya pandemi COVID-
19 membuat mereka semakin takut untuk melaporkan peristiwa yang dialami. Korban memiliki kesulitan untuk
melaporkan peristiwa yang dialami kepada lembaga pemberi layanan, serta kesulitan untuk menyelamatkan diri dari
pelaku karena ruang gerak korban yang terbatas.84 Hal ini menyebabkan korban dan pelaku kekerasan harus berada di
rumah bersama-sama selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga korban takut untuk melapor.85

Menurut Hakim yang menjadi narasumber, dampak semakin berat apabila perempuan mengalami KDRT dan
bercerai dengan suami namun di satu sisi memiliki ketergantungan secara ekonomi dengan suaminya.86
Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga menyampaikan bahwa ketika
perempuan bergantung secara ekonomi kepada suami dan tidak memiliki pekerjaan akan menyebabkan perempuan
tidak memiliki posisi tawar dan berdampak kepada kemiskinan.87 Selain dampak berupa trauma, gangguan

77
Ibid
78
Ibid
79
Wawancara dengan T, pendamping LBH Apik Jakarta pada 16 September 2022
80
Ibid.
81
Akses Keadilan Perempuan Korban di Tengah Pandemi, Rifka Annisa, 30 Juni 2020, diakses di https://rifka-annisa.org/id/berita/blog/item/718-akses-keadilan-
perempuan-korban-di-tengah-pandemi
82
Wawancara dengan LI, perwakilan LPSK pada 16 September 2022
83
Wawancara dengan SAT, Komisioner Komnas Perempuan pada 15 September 2022
84
Wawancara dengan T, pendamping LBH Apik Jakarta pada 16 September 2022
85
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Kajian Dinamika Perubahan di dalam Rumah Tangga Selama Covid 19 di 34 Provinsi di Indonesia (Jakarta:
Komnas Perempuan, 2020), hal. 6
86
wawancara dengan NM, Hakim Pengadilan Agama Kab, Malang pada 16 September 2022
87
Wawancara dengan VG, KemenPPPA pada 26 September 2022

14
psikosomatik dan penurunan kualitas hidup88, KDRT juga memiliki dampak yang lebih besar lagi bagi negara yaitu
menghadapi kehilangan tenaga kerja yang produktif yang seharusnya dapat berkontribusi terhadap kondisi ekonomi
namun justru mengalami dampak mental dan fisik akibat kekerasan yang dialami.89 Selain itu, salah satunya muncul
tantangan juga bagi perempuan yang bekerja di sektor informal baik di perkotaan maupun pedesaan.90 Pemutusan
hubungan kerja besar-besaran bagi pekerja rumah tangga yang mayoritas merupakan perempuan berdampak langsung
dengan pemutusan tanpa kompensasi, serta perempuan pekerja migran seringkali menjadi yang mengalami dampak
terburuk.91 Para pekerja informal yang biasanya tidak tercakup dalam perlindungan tenaga kerja memiliki sedikit
kendali atas kondisi kerja mereka dan sering kali memiliki pilihan terbatas ketika mendapatkan perlakuan tidak adil
dari pemberi kerja.92 Selain itu, perempuan pedesaan dan miskin juga terdampak karena akses yang buruk ke air bersih
di rumah, meningkatkan beban mengumpulkan air di ruang publik yang padat dan membuat mereka berisiko lebih
tinggi terinfeksi virus COVID-19.93,94

Adanya pandemi COVID-19 juga mengakibatkan perempuan dengan HIV/AIDS merasakan hambatan yang
lebih besar. Di awal pandemi perempuan dengan HIV/AIDS memiliki hambatan dalam mendapatkan informasi
yang valid terkait dengan COVID-19 yang terkait dengan kondisi HIV/AIDSnya. Adanya kekhawatiran apakah virus
ini mudah menular kepada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan bagaimana cara penanganan apabila ODHA terkena
COVID-19. Selain itu perempuan dengan HIV/AIDS juga mengalami ketakutan ketika hendak mengakses layanan
kesehatan, karena harus bertemu dengan banyak orang dan khawatir tertular ataupun menjadi carrier bagi orang di
lingkungannya, ditambah dengan terbatasnya layanan dari tenaga kesehatan karena banyak layanan kesehatan yang
memprioritaskan pasien COVID-19.95 Belum lagi kondisi mental dan psikis yang terpengaruh karena berita-berita
mengenai COVID saat itu, seperti tingginya angka kematian yang selalu diberitakan maupun suara-suara dari mobil
ambulance lalu lalang membawa pasien COVID-19.96 Layanan-layanan kesehatan maupun layanan
pendampingan dan perlindungan korban kekerasan yang diakses oleh perempuan dengan HIV/AIDS menjadi
lebih terbatas, misalnya dalam hal ketersediaan rumah aman.97 Menurut Jaringan Indonesia Positif, secara ekonomi
pandemi COVID-19 juga berpengaruh kepada pengurangan penghasilan dan banyak perempuan ODHA yang
kehilangan pekerjaannya dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.98 Tidak hanya itu, kelompok minoritas gender
seperti transgender yang bekerja di sektor informal juga tampaknya mengalami kesulitan dalam mencari penghasilan,
terutama jika mereka bekerja sebagai pengamen.99 Lebih lanjut pada tahun 2020 disebutkan Komnas Perempuan
bahwa terjadi peningkatan luar biasa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV-AIDS yang dilaporkan
ke Komnas, yaitu 203 kasus dibandingkan tahun 2019 yang hanya 4 kasus.100 Kelompok lain yang menjadi lebih rentan
selama COVID-19 adalah perempuan dari masyarakat adat yang memerlukan akses informasi dalam bahasa mereka
sendiri terkait pencegahan dan akses layanan COVID-19. 101

88
Rosida L, Putri IM, Komarudin K, Fajarini N, Suryaningsih EK. The Domestic Violence during the COVID-19 Pandemic: Scoping Review. Open Access Maced J Med
Sci. 2021 Dec 01; 9(F):660-667, hal. 664
89
Amalesh Sharma dan Sourav Bikash Borah, Covid-19 and Domestic Violence: an Indirect Path to Social and Economic Crisis, Journal of Family Violence (2022)
37:759 –765, hal.762
90
Turkan Mukhtarova, COVID-19 and the Informal Sector: What it means for women now and in the future (Juli 2020), tersedia di
https://giwps.georgetown.edu/resource/covid-19-and-the-informal-sector/, diakses 8 Juli 2022, hlm. 4.
91
Ibid., hlm. 5.
92
Ibid.
93
Ibid
94
UNHR, Pernyataan oleh Kelompok Kerja PBB tentang Diskriminasi terhadap Perempuan dan Anak Perempuan: tanggapan terhadap pandemi COVID-19 tidak boleh
mengabaikan perempuan dan anak perempuan,” tersedia di https://www.ohchr.org/en/statements/2020/04 /statement-un-working-group-discrimination-against-women-
and-girlsresponses-Covid?LangID=E&NewsID=25808, diakses pada 18 Juli 2022. Lihat juga, PBB, Tujuan 6: Memastikan akses ke air dan sanitasi untuk semua,
tersedia di https://www.un.org/sustainabledevelopment/water-and-sanitation/, diakses pada 18 Juli 2022. Perempuan dan anak perempuan bertanggung jawab atas
pengumpulan air di 80 persen rumah tangga tanpa akses ke air di tempat.
95
Wawancara dengan NI, Pendamping JIP pada 22 September 2022
96
Ibid.
97
Ibid.
98
Ibid.
99
Wawancara dengan Ibu Shinta Ratri , Ketua Pondok Pesantren Al-Fatah Waria Yogyakarta, lihat Ibid. , hal. 220.
100
Komnas Perempuan, Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2020, hlm. 75.
101
The Joint United Nations Programme on HIV-AIDS (UNAIDS), op.cit., hlm. 4.

15
Sementara itu, di sisi lain kelompok perempuan lanjut usia (lansia) juga tidak luput mengalami hambatan
dengan adanya pandemi COVID-19. Menurut LBH Apik medan, ada banyak perempuan lanjut usia (lansia) yang
kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah karena belum terdata sebagai penerima bantuan COVID-19.
Meskipun LBH Apik Medan saat itu mendaftarkan para perempuan lansia ke dinas sosial, namun beberapa desa belum
memiliki data terpilah yang spesifik. Misalnya ketersediaan data jumlah orang lanjut usia (lansia) yang masih bekerja,
jumlah lansia laki-laki dan perempuan dan data lainnya, sehingga pada akhirnya bantuan pemerintah selama pandemi
COVID-19 sulit untuk di proses.102 Dalam kasus di atas, seorang lansia korban perkosaan bahkan masih harus mencari
penghasilan dengan mencari kayu di hutan, lansia tersebut harus mencari nafkah bagi dirinya sendiri karena sudah
tidak mendapatkan nafkah dari anaknya yang tidak bekerja lagi akibat dampak pandemi COVID-19.103 Di satu sisi,
pemerintah juga sebenarnya telah mengeluarkan protokol mengenai Panduan Perlindungan Lanjut Usia Berperspektif
Gender Pada Masa COVID-19.104 Dalam protokol ini lansia yang mengalami kekerasan berhak untuk mendapatkan
layanan pendampingan, penanganan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial dan bantuan hukum
serta bantuan lainnya yang dibutuhkan105.

Bagi perempuan penyandang disabilitas, adanya pembatasan mobilisasi dan hambatan berbagai akses,
membuat mereka semakin sulit mendapatkan berbagai layanan dengan akomodasi yang layak karena belum
adanya mekanisme untuk membantu penyandang disabilitas mengakses layanan-layanan online yang tersedia.106
Adanya hambatan karena pandemi COVID-19 dan keterbatasan infrastruktur dari mulai sumber daya manusia,
fasilitas, dan anggaran membuat lembaga pemberi layanan kesulitan dalam memberikan layanan yang optimal.
Sehingga, pemerintah perlu memastikan tersedianya rumah aman, perlindungan, bantuan hukum dan layanan penting
lainnya dapat dikategorikan sebagai layanan yang esensial yang dapat terus beroperasi saat pandemi. Parahnya lagi,
selama masa pandemi COVID-19 terjadi pemasungan terhadap penyandang disabilitas mnetal bahkan meningkat 20
persen dengan total ada 5.200 penyandang disabilitas yang dipasung. Salah satu yang menyebabkan pemasungan
terhadap penyandang disabilitas mental adalah agar tidak menyakiti atau membahayakan orang lain.107

Selain itu, meningkatnya kasus kekerasan tidak diimbangi dengan kesediaan layanan pendampingan
dan penanganan korban yang layak atau memadai. Kuota pendampingan kasus di sebuah lembaga bantuan hukum
penuh selama tahun 2020 sehingga ada korban yang harus menunggu selama hampir satu tahun sampai akhirnya kasus
dialihkan ke pengacara pro bono di tahun 2021.108 Dengan adanya berbagai dampak dan hambatan tersebut, langkah
strategis perlu dilakukan oleh pemerintah misalnya memperkuat sistem respons pertama terkait kekerasan dan
memastikan sistem terintegrasi dengan perawatan kesehatan, jaringan pengaman sosial, perlindungan, tempat tinggal
sementara, adanya dukungan sosial.109

G.4 Adaptasi dan Inisiatif di Sektor Peradilan Dalam Menghadapi Perkara Perempuan Pada Masa
Pandemi COVID-19

Adaptasi dan Inisiatif di Mahkamah Agung


1. Terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Selama Masa Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID – 19) di Lingkungan Mahkamah
Agung RI dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
2. Adanya perkembangan dari e-Litigation / e-Court dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun
2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik yaitu terbitnya Surat

102
Wawancara dengan SAG pendamping LBH Apik Medan pada 19 September 2022
103
wawancara dengan DR, Pendamping dari LIBU Perempuan pada 16 September 2022
104
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Panduan Perlindungan Lanjut Usia Berperspektif Gender Pada Masa COVID-19,
hal. 11-15
105
Ibid.
106
Wawancara dengan T, pendamping LBH Apik Jakarta pada 16 September 2022
107
https://difabel.tempo.co/read/1445984/angka-pemasungan-difabel-mental-bertambah-20-persen-selama-pandemi-covid-19 diakses pada 21 Oktober 2022
108
Wawancara dengan klien S, penyintas KDRT pada 21 September 2022
109
Peterman, et.al, 2020 sebagaimana dikutip dalam Amalesh Sharma dan Sourav Bikash Borah, Op.Cit.,hal.762

16
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 379/DJU/PS.00/3/2020 untuk penanganan perkara pidana
secara teleconference—namun penerapannya masih berbeda-beda di setiap pengadilan.110
3. Sebelum adanya pandemi COVID-19, penanganan perkara-perkara perdata111 memanfaatkan e-Court, di mana
dapat dilakukan tanpa penggugat/pemohon (para pihak) perlu datang ke pengadilan. Para pihak yang
diwakilkan oleh advokat hanya perlu untuk mendaftar dan mengirimkan berkas ke dalam sistem e-Court atau
yang disebut sebagai e-Filling. Hal ini masih diterapkan ketika masa pandemi COVID-19.
4. Pada tahun 2020 ketika awal masa COVID-19, Mahkamah Agung juga meluncurkan website Gugatan
Mandiri yang diperuntukkan untuk perkara perdata di mana pemohon/penggugat dapat mendaftarkan sendiri
perkaranya tanpa adanya advokat.112
5. Dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja di
Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya dalam Tatanan Normal Baru
pada Juli 2020
6. Terbitnya SEMA No. 8 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja dalam Tatanan Normal Baru pada
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya untuk Wilayah Jabodetabek dan Wilayah
dengan Status Zona Merah COVID-19.
7. Pelaksanaan sidang perkara pidana yang dilakukan secara daring atau teleconference dalam masa pencegahan
penyebaran COVID-19 sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung
dan Kementerian Hukum dan HAM pada 13 April 2020 Nomor 402/DJU/KM.01.1/4/2020; KEP-
17/E/Ejp/04/2020; PAS-08.HH.05.05.Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference
8. Tidak lama dari adanya perjanjian kerjasama tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan
Secara Elektronik yang mengatur secara lebih rinci bagaimana persidangan elektronik dilakukan. Hingga saat
ini, penerapan sidang elektronik secara pidana mengacu pada aturan tersebut—meskipun masih ada juga yang
tetap diharuskan untuk datang ke pengadilan. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan sidang elektronik, proses
pemeriksaan jarak jauh hanya dilakukan terhadap Terdakwa karena ia berada di rumah tahanan atau kantor
penuntut umum, sedangkan korban/saksi/ahli tetap diharuskan untuk datang ke ruang sidang pengadilan.
9. Adanya aplikasi Astira (Asisten Virtual Informasi Perkara).113 Aplikasi ini dapat digunakan untuk
memudahkan pencari keadilan mencari informasi seperti mengetahui jadwal sidang, jadwal pengambilan
dokumen perkara, informasi biaya, informasi syarat pengajuan, dsb.
10. Memastikan fitur speech-to-text yang dapat memunculkan suara di teks yang ditunjuk di setiap website.
Meskipun fitur ini bukan merupakan respon dari adanya COVID-19 namun ini dapat mendorong adanya
pemberian informasi yang ramah disabilitas.
11. Dalam rangka mendorong akuntabilitas, efektifitas dan keterbukaan kinerja dan layanan, selama pandemi
COVID-19 Mahkamah Agung mengembangkan beberapa inisiatif di antaranya e-Berpadu atau Elektronik
Berkas Pidana Terpadu. E-Berpadu adalah Integrasi Berkas Pidana antar Penegak Hukum untuk Layanan
Permohonan Izin Penggeledahan, Izin Penyitaan, Perpanjangan Penahanan, Penangguhan Penahanan,
Pelimpahan Berkas Pidana Elektronik, Permohonan Penetapan Diversi, Izin Besuk Tahanan online oleh
Masyarakat tanpa harus datang ke Pengadilan—di mana layanan ini merupakan upaya penyempurnaan sidang
elektronik yang ada114 dan untuk mendukung implementasi dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis
Teknologi Informasi (SPPT-TI) maupun Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). e-Berpadu ini diinisiasi oleh Mahkamah Agung yang dapat digunakan

110
Sidang teleconference yang dimaksud tidak secara spesifik dijelaskan menggunakan platform seperti apa, namun beberapa temuan wawancara dan laporan kegiatan
dalam webiste beberapa Pengadilan (i.e http://www.pn-kualatungkal.go.id/news/index.php/328-sidang-melalui-media-teleconference) adalah dengan menggunakan
Zoom.
111
Perkara perdata adalah perkara yang disengketakan antar pihak dan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan seperti perkara perceraian, waris, wanprestasi,
hak asuh anak, dsb. Perkara-perkara perdata dapat ditangani oleh seluruh jenis pengadilan, namun Pengadilan Agama dan Pengadilan TUN di Indonesia hanya menangani
perkara perdata. Sedangkan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer dan Mahkamah Syar’iyah dapat menangani perkara pidana dan perdata.
112
Dapat dilihat di http://gugatanmandiri.badilag.net/gugatan_mandiri/
113
Dapat dilihat di https://play.google.com/store/apps/details?id=com.pamojokerto.astira
114
Dapat dilihat di https://eberpadu.mahkamahagung.go.id

17
sebagai Case Management System (CMS) untuk seluruh aparat penegak hukum yaitu Kejaksaan, Kepolisian,
Lapas, dan KPK115.
12. Mahkamah Agung juga menyediakan kanal pengaduan untuk masyarakat terkait kinerja petugas pengadilan,
termasuk Hakim yaitu melalui SIWAS116 atau Sistem Informasi Pengawasan Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Kanal pengaduan ini ditujukan bagi masyarakat yang memiliki informasi dan ingin melaporkan
suatu perbuatan yang terindikasi pelanggaran yang terjadi di Lingkungan Mahkamah Agung Republik
Indonesia atau Peradilan di bawahnya. Salah satu hakim menyebutkan bahwa pada masa pandemi, SIWAS ini
tetap dapat diakses oleh masyarakat baik datang secara langsung maupun melalui website.
13. Hal lainnya yang menjadi adaptasi yang penting di Mahkamah Agung adalah dibentuknya Satuan Tugas dan
Standar Operasional Pencegahan Penyebaran COVID-19 yang kemudian didukung dengan adanya Surat
Edaran Sekretaris Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2020 untuk mendorong adanya pemantauan dan evaluasi
melalui website corona.mahkamahagung.go.id yang berisi data terkini, penyebaran hingga informasi penting
lainnya terkait COVID-19.117
14. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan
Berhadapan dengan Hukum ditemukan masih masif diterapkan dan disosialisasikan salah satunya di pengadilan
Agama di mana banyak disosialisasikan mengenai hak-hak istri saat berada dalam perkara perceraian. Namun,
kondisi atau kebutuhan perempuan berhadapan dengan hukum masih belum menjadi perhatian dan fokus utama
dalam mendorong pemeriksaan audio visual, namun justru adanya COVID-19 mendorong praktik pemeriksaan
audio visual lebih banyak berjalan melalui sidang elektronik.

Adaptasi dan Inisiatif di Kejaksaan


1. Di samping perjanjian kerjasama antara Kejaksaan dengan Mahkamah Agung yang sudah dijelaskan di atas,
Kejaksaan turut mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. 2 Tahun 2020 tentang Penyesuaian
Sistem Kerja Pegawai dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19) di Lingkungan
Kejaksaan Republik Indonesia.
2. Terbitnya Instruksi Jaksa Agung No. 5 Tahun 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan
Perkara Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.
3. Instruksi ini kemudian diperjelas melalui Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. 4 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penyesuaian
Sistem Kerja Pegawai Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19) Di
Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.
4. Kejaksaan turut mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Republik Indonesia Nomor B-
049/A/Suja/03/2020 tahun 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Di tengah
Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19.
5. Kejaksaan juga turut mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. 15 Tahun 2020 tentang Tentang
Panduan Keberlangsungan Kegiatan Pelayanan Publik Pada Kondisi New Normal Pandemi COVID-19 di
Lingkungan Kejaksaan di mana ini mendorong agar setiap kejaksaan negeri menyusun pedoman atau protokol
COVID-19 di masing-masing satuan kerjanya dengan mengacu pada protokol COVID-19 dari pemerintah.118
6. Pada dasarnya ketika masa COVID-19, Kejaksaan diharuskan untuk mengikuti alur persidangan sebagai
bentuk respon adanya sidang secara daring yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Beberapa
adaptasi yang dilakukan adalah dengan memastikan adanya layanan Whatsapp yang terintegrasi dengan

115
Selain E-Berpadu, terdapat pula e-Prima atau Electronic Procurement Implementation Management & Accountability untuk mengelola pengadaan barang dan jasa, e-
Bima atau Electronic Budgeting Implementation Monitoring And Accountability (e-BIMA) untuk mengawasi pelaksanaan anggaran, dan e-Sadewa yaitu merupakan
suatu Aplikasi Kerja Elektronik Pengembangan dan Pemberdayaan Barang Milik Negara dalam upaya mendukung terwujudnya peradilan yang modern
116
Dapat dilihat di https://siwas.mahkamahagung.go.id
117
Dapat dilihat di https://corona.mahkamahagung.go.id
118
Sebagai contoh dapat dilihat juga https://kejari-
lamongan.go.id/dokumen/rb/AREA%20II%20%20PENATAAN%20TATA%20LAKSANA/SOP%20PROTOKOL%20KESEHATAN.pdf

18
layanan-layanan seperti izin besuk tahanan119, pengembalian barang bukti120, hingga pengaduan terhadap
jaksa yang tidak profesional.121
7. Tidak hanya itu, kaitannya dengan perempuan dan anak, Kejaksaan sendiri pada masa pandemi turut
menerbitkan Pedoman No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak pada
Perkara Pidana.

Adaptasi dan Inisiatif di Kepolisian


1. Berbeda dengan Kejaksaan dan Mahkamah Agung, dalam hal kebijakan, Kepolisian memiliki banyak sekali
aturan internal untuk merespon COVID-19. Hal ini mengingat wewenang kepolisian yang sangat luas tidak
hanya kepada pencari keadilan namun juga keamanan dan ketertiban masyarakat secara umum.
2. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu MAKLUMAT KAPOLRI NOMOR:
MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan Kebijakan Dalam Penyebaran Virus Corona (COVID-19) yang mengatur
tentang himbauan kepada masyarakat untuk tidak mengadakan kegiatan yang mengakibatkan berkumpulnya
massa, ST KAPOLRI No. ST/909/III/YAN.1.2./2020 tentang Langkah Antisipatif Penyebaran Virus COVID
19 Pada Layanan Bidang Lantas (SIM/STNK) yang mengatur tentang langkah-langkah antisipasi meluasnya
penyebaran virus COVID-19 pada unit Polri khususnya pada pelayanan SIM, BPKB, dan STNK; dan
sebagainya.122
3. Dari peraturan-peraturan yang ada ini sebetulnya dapat dikatakan bahwa pada masa COVID-19 kepolisian
didorong untuk berkolaborasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan kasus—termasuk
membuat kesepakatan bersama/MoU maupun protokol dan SOP penanganan perkara pada masa COVID-19 di
masing-masing satuan kerja.
4. Dalam penanganan perkara kepada perempuan hingga saat ini masih mengacu kepada Peraturan Kepolisian
(PERKAP) No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan
Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Namun, berbeda dengan PERMA 3/2017 dan Pedoman Kejaksaan
1/2021, dalam PERKAP 3/2008 ini sendiri belum ada yang secara spesifik menyebutkan adanya pemeriksaan
jarak jauh atau audio visual ataupun klausul yang dapat berkaitan dengan penanganan perkara perempuan
khususnya di masa COVID-19. Dalam PERKAP ini lebih ditekankan terkait dengan tugas dan fungsi Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) dalam memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap
perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan, serta tata cara pemeriksaan, dan peran penyidik
memastikan adanya visum, koordinasi dengan pihak terkait seperti rumah perlindungan, instansi perlindungan
perempuan, dan sebagainya.
5. Pelayanan kasus di Kepolisian sendiri sudah sejak lama (sebelum COVID-19) memanfaatkan adanya hotline
pelaporan kasus yaitu 110 dan secara online melalui WhatsApp maupun email namun memang tidak secara
spesifik diperuntukkan bagi perempuan.
6. Secara umum, Kepolisian menyebutkan tidak ada adaptasi khusus yang sifatnya menunda penanganan perkara
atau menutup laporan sementara pada masa COVID-19. Sebelum adanya pandemi COVID-19, penyelidikan
dilakukan secara tatap muka. Pada masa pandemi COVID-19, penyidik melaksanakan penyidikan secara
online melalui Zoom atau telepon dan video call, sementara itu untuk penandatanganan Berita Acara Perkara
(BAP) masih perlu untuk datang ke kantor polisi terkait. Dalam praktiknya, BAP secara daring ini dilakukan
oleh penyelidik maupun penyidik pada tahap penyelidikan dengan menayangkan pertanyaan-pertanyaan
sebagai hasil dari pemeriksaan untuk diperoleh suatu konsensus atas isi dari berita acara tersebut. Dengan
demikian, ketika saksi atau tersangka menyepakati isi Berita Acara berupa Berita Acara Interview (BAI) dan

119
Sebagai contoh dapat dilihat di https://kejari-jakbar.go.id/index.php/sarana/besuk-tahanan-online-kejaksaan
120
Sebagai contoh dapat dilihat di https://kejari-jakbar.go.id/index.php/sarana/layanan-pengembalian-barang-bukti-online
121
Sebagai contoh dapat dilihat di https://kejari-jakbar.go.id/index.php/sarana/pengaduan-whistleblowing
122
SPRIPIM POLRI, Kumpulan Peraturan dan Pedoman Penanganan Corona Virus Disease 2019, (POLRI, 2020), pg. 14-23 diakses di
https://jdih.jatengprov.go.id/downloads/produk_hukum/katalog_produk_hukum/Kumpulan_Peraturan_Pedoman_Penanganan_COVID-19_pdf.pdf pada 3 Oktober
2022

19
harus dilakukan penandatanganan hasil pemeriksaan secara langsung (tanda tangan basah), pihak-pihak yang
berkepentingan tidak perlu hadir secara langsung dalam jarak dekat dan dalam durasi yang cukup lama.123

Adaptasi dan Inisiatif di KemenPPPA


1. KemenPPPA juga menginisiasi gerakan #BERJARAK (Bersama Jaga Keluarga Kita)124 yang muncul di
awal COVID-19 yaitu gerakan yang mendorong adanya 10 aksi yang dapat dilakukan oleh warga di level
administratif paling bawah (RT/RW/Desa) dengan melibatkan tokoh-tokoh di masyarakat untuk mendorong
perlindungan perempuan dan anak pada masa COVID-19.
2. Dalam hal penerimaan laporan/pengaduan, pada tahun 2021 KemenPPPA meluncurkan layanan “SAPA 129”
yang merupakan layanan hotline untuk mempermudah akses bagi korban atau pelapor dalam melakukan
pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendataan kasusnya.125 Layanan SAPA 129
ini turut diikuti dengan adanya layanan WhatsApp yang juga dapat diakses oleh masyarakat khususnya korban
kekerasan baik itu perempuan maupun anak.126Namun, disebutkan lebih lanjut bahwa layanan SAPA ini masih
perlu untuk dikembangkan sistemnya agar terhubung di setiap kota/kabupaten sehingga dapat menyentuh lebih
banyak wilayah. Sayangnya, SAPA 129 ini juga masih belum memiliki mekanisme monitoring dan evaluasi
mengingat baru diluncurkan pada tahun 2021.
3. Dalam hal penjangkauan kepada korban, disebutkan bahwa pada masa COVID-19 KemenPPPA bersama
Kantor Staf Presiden (KSP) meluncurkan “Sejiwa” atau Layanan Psikologi Sehat Jiwa. Disebutkan ini
merupakan bentuk penyediaan layanan rujukan nasional bagi isu-isu perempuan dan anak di mana
KemenPPPA memberikan pendampingan bagi para perempuan dan anak terdampak COVID-19, seperti
perempuan korban KDRT, perempuan dalam situasi darurat dan kondisi khusus, perempuan pekerja migran,
perempuan disabilitas, serta anak yang memerlukan perlindungan khusus.127 Bahkan disebutkan lebih lanjut
bahwa call center layanan sejiwa ini diisi oleh perwakilan dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
4. Dalam hal pengumpulan data dan informasi, jauh sebelum COVID-19, KemenPPPA sendiri memiliki Sistem
Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang bertujuan untuk database
data dan informasi kekerasan yang ada di Indonesia sebagai acuan untuk mengetahui tren kekerasan pada
perempuan dan anak.128 saat ini KemenPPPA masih terus melakukan pelatihan terhadap unit-unit di bawahnya
untuk memastikan sistem informasi yang terupdate dan akurat.129

Adaptasi dan Inisiatif di Komnas Perempuan


1. Komnas Perempuan telah membuat 4 (empat) saluran pengaduan yang sudah ada sejak sebelum COVID-
19 yaitu datang langsung atau melalui telepon, menggunakan link bit.ly, media sosial (Facebook, Twitter dan
Instagram) serta e-mail yaitu pengaduan@komnasperempuan.go.id. Namun, pada masa pandemi COVID-19,
Komnas Perempuan mengoptimalkan sarana elektronik yang ada seperti hotline, e-mail dan media sosial untuk
memperluas akses masyarakat terhadap pengaduan kekerasan terhadap perempuan.
2. Meskipun tidak melakukan adaptasi khusus, Komnas Perempuan melakukan berbagai kajian pada masa
COVID-19 mulai dari soal Hasil Kajian Komnas Perempuan tentang Kajian Implementasi Kebijakan PSBB
dan Dampaknya pada Hak Konstitusional Perempuan130; Kajian Pandemi, Kekerasan & Beban Ganda131;

123
wawancara dengan ER, Bareskrim POLRI, pada 22 September 2022
124
Dapat dilihat di https://berjarak.kemenpppa.go.id/
125
Dapat dilihat di https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3085/kemen-pppa-luncurkan-call-center-sapa-129
126
Ibid.
127
KemenPPPA, Layanan Psikologi Sejiwa Hadir Sebagai Wadah Aduan Bagi Perempuan Dan Anak Terdampak Covid-19, Mei 2020, diakses di
https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2655/layanan-psikologi-sejiwa-hadir-sebagai-wadah-aduan-bagi-perempuan-dan-anak-terdampak-covid-19 pada 18
Oktober 2020
128
Dapat dilihat di https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
129
Sebagai contoh dapat dilihat di https://dp3ad.sulutprov.go.id/berita/pelatihan-sistem-informasi-online-perlindungan-perempuan-dan-anak-simfoni-ppa-tahun-
2017.html
130
Dapat dilihat di https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/menata-langkah-dalam-ketidakpastian-menguatkan-gerak-juang-perempuan-di-
masa-pandemi-covid-19-kajian-implementasi-kebijakan-psbb-dan-dampaknya-pada-hak-konstitusional-perempuan
131
Dapat dilihat di https://komnasperempuan.go.id/download-file/495

20
Kajian Gerak Juang Pengada Layanan dan Perempuan Pembela HAM di Masa COVID-19132; dan Kajian
Dinamika Perubahan di Dalam Rumah Tangga Pada Masa Pandemi COVID-19133.

Adaptasi dan Digitalisasi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)


1. Dalam hal kelembagaan dan mekanisme perlindungan, LPSK menerbitkan Surat Keputusan Ketua LPSK
Nomor Kep-339/1.3.4.PPO/ LPSK/05/2020 tentang Protokol Kerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Masa Tanggap Darurat Covid-19 di Indonesia. Protokol ini dikeluarkan untuk memastikan pelayanan
perlindungan saksi dan korban tetap dapat berjalan dengan baik. Selain itu, LPSK melakukan beberapa strategi
penanganan perlindungan saksi dan korban pada masa pandemi COVID-19.134
2. Berdasarkan hal tersebut, jumlah terlindung oleh LPSK pada 2020 mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.135 Terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab di antaranya problem
anggaran dan situasi pandemi COVID-19. Penurunan di sini tidak saja terhadap kuantitas namun juga terhadap
kualitas penanganan dikarenakan situasi pandemi yang melanda Indonesia sejak April 2020.136
3. Dalam mengajukan permohonan, LPSK memiliki kanal atau media seperti hotline 148, WhatsApp, email,
Aplikasi permohonan perlindungan hingga berbagai media sosial maupun datang langsung ke kantor
LPSK.137 Berkurangnya pemohon yang datang langsung ke kantor berkorelasi dengan banyaknya jumlah surat
permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK serta permohonan melalui WhatsApp.138
4. Adaptasi lain yang dilakukan oleh LPSK khusus ketika masa pandemi COVID-19 adalah dengan meluncurkan
WhatsApp Centre untuk pengaduan dan menampung masukan terkait pelayanan publik—di mana
sebelumnya sudah disediakan kanalnya melalui Aplikasi “LAYAK”,139

Adaptasi dan Inisiatif pada Lembaga Pemberi Bantuan Hukum dan Pendampingan
1. Pada masa pandemi COVID-19, lembaga layanan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini menyebutkan
bahwa tetap menyediakan layanan penanganan dan pendampingan kepada korban. Khusus untuk layanan
pengaduan atau konsutasi hukum mayoritas dilakukan secara daring. Sedangkan untuk korban yang sedang
dalam proses pemeriksaan, baik di kepolisian atau pengadilan, pendampingan tetap dilakukan secara langsung
atau tatap muka.140
2. LBH APIK Medan sebagai lembaga penyedia layanan, melakukan adaptasi perubahan layanan selama masa
pandemi COVID-19 dari luring ke daring, dengan membuat kanal pengaduan kekerasan menggunakan aplikasi
Whatsapp di mana kemudian korban harus mengisi Google Form.
3. Disebutkan bahwa perempuan korban dapat menyampaikan pengaduan dengan mengirim pesan melalui
Whatsapp dan SMS atau konsultasi melalui telepon.
4. Untuk kasus-kasus yang berproses di kepolisian atau pengadilan, LIBU Perempuan melakukan koordinasi
dengan APH secara daring melalui video call dengan Kepolisian untuk proses BAP dan menelepon atau
mengirim pesan melalui Whatsapp dengan panitera atau petugas pengadilan terkait informasi jadwal
persidangan atau informasi lainnya.
5. Sebelum adanya pandemi COVID-19, LBH APIK Jakarta telah mempunyai hotline pengaduan di mana
korban dapat mengadu secara langsung dengan datang ke LBH APIK Jakarta atau melalui hotline pengaduan.
Namun sejak masa pandemi, semua pengaduan harus melalui hotline. LBH APIK Jakarta kemudian juga

132
Dapat dilihat di https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/melayani-dengan-berani-gerak-juang-pengada-layanan-dan-perempuan-pembela-
ham-di-masa-covid-19
133
Dapat dilihat di
https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/webOld/file/Kerjasama%20KP%20dan%20KOminfo/2020%20Siaran%20Pers%20Pernyataan%20Misoginis%20Pejab
at%20Publik%20(39%20Mei%202020)/Eksekutif%20Summary%20KAJIAN%20DINAMIKA%20PERUBAHAN%20DI%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA_
03062020.pdf
134
LPSK, Laporan Tahunan 2020: Menolak Menyerah, Separuh Nafas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi, (Jakarta: LPSK, 2021), hlm. 15
135
Ibid.
136
Ibid.
137
Dapat dilihat lebih lanjut di https://lpsk.go.id/home/permohonan
138
LPSK, Op.Cit., hlm. 38
139
Dapat dilihat di https://lpsk.go.id/berita/detailpersrelease/3430
140
Wawancara dengan SAG, pendamping LBH APIK Medan pada 19 September 2022

21
membuka konsultasi hukum secara daring dengan Whatsapp dan Zoom serta lewat media sosial seperti
Instagram dan Facebook.
6. Lebih lanjut dijelaskan bahwa LBH APIK Jakarta bahkan membuka jam layanan lebih lama dibandingkan
sebelum pandemi yang biasanya terbatas pada jam kerja kantor (09.00-17.00), dan kini buka mulai pukul 09.00-
21.00.141
7. Bentuk adaptasi terhadap pemberian layanan bantuan hukum juga dilakukan oleh LBH Masyarakat dan LBH
Jakarta. Mereka membuat beberapa dokumen terkait protokol pemberian bantuan hukum kepada kasus
selama pandemi dan protokol pencegahan COVID-19 di institusinya—meskipun tidak secara spesifik untuk
perempuan korban.
8. Adaptasi ini di satu sisi memberi dampak positif dalam pemberian bantuan hukum kepada kelompok rentan
khususnya perempuan. Salah satu lembaga pendampingan perempuan, Rifka Annisa menyebutkan bahwa pada
April—bulan pertama dibukanya layanan online Rifka Annisa, terjadi peningkatan jumlah pengaduan harian
yang biasanya berkisar 40 pengaduan, kini mencapai hingga 53 pengaduan per hari.142
9. Selain itu, pemanfaatan teknologi dalam pemberian layanan bantuan hukum juga ditunjukkan melalui layanan
konsultasi hukum online gratis milik pemerintah yaitu Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang
menunjukkan peningkatan hampir 10 kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.143
10. Adaptasi tidak hanya muncul dari lembaga pemberi bantuan hukum namun juga pihak-pihak lain untuk
mendorong adanya konsultasi dan pencarian informasi secara daring terkait bantuan ataupun
pendampingan hukum pada masa COVID-19 yaitu seperti Legal Smart Channel milik BPHN144,
HukumOnline145, Justika146, e-Probono147, DokumenHukum.id 148dan masih banyak lagi.
11. Lebih lanjut dijelaskan bahwa para pendamping biasanya tergabung dalam grup WhatsApp penanganan
kasus melalui kanal-kanal komunikasi daring bersama dengan Polisi dalam berbagai tingkatan (mulai dari
jajaran Kepala Unit). Bahkan, salah satu praktik baik yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta yaitu
menyediakan layanan pengantaran dan penjemputan termasuk bagi perempuan penyandang disabilitas yang
hendak melakukan pelaporan kasus ke LBH APIK Jakarta sejak sebelum pandemi COVID-19.

Adaptasi dan Inisiatif Lembaga Layanan Psikologis/Pemulihan


1. Beberapa lembaga layanan pemulihan seperti Yayasan Pulih di Jakarta dan Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Jakarta telah mempunyai layanan hotline untuk pengaduan
sebelum pandemi COVID-19, dan tetap menerima pengaduan, melakukan konseling psikologis dan
pemeriksaan psikologis secara luring.
2. Pada masa pandemi COVID-19, seluruh layanan psikologis mulai dari pendaftaran, layanan konseling
psikologis dan pemeriksaan psikologis yang diberikan oleh Yayasan Pulih dilakukan secara daring.
3. Media untuk pendaftaran konseling disediakan dengan menggunakan nomor hotline (Whatsapp) atau
mendaftar untuk konseling psikologis melalui website lembaga tersebut.
4. Meskipun layanan konseling psikologis bersifat singkat dan sederhana namun layanan konseling psikologis
gratis ini sangat membantu korban kekerasan berbasis gender terutama korban yang miskin dan bertempat
tinggal di luar daerah Jakarta. Namun, terdapar kuota layanan konseling yang cukup terbatas karena
keterbatasan sumber daya manusia (hal ini tidak terlepas dari sedikitnya Psikolog yang tertarik dan peduli
dengan isu kekerasan berbasis gender) dan banyaknya orang yang mengakses layanan konseling psikologis
ini.149

141
LBH Masyarakat, dkk., Op.Cit., hlm. 13
142
Dinamika layanan Konseling Online di Masa Pandemi ( Dinamika Layanan Konseling Online di Masa Pandemi ), Rifka Annisa , Juni 2020, diakses di https://rifka-
annisa.org/id/berita/berita-umum/item/715-layanan-konseling -online-di-masa-pandemi pada 7 Juli 2021
143
Lisa Noviana , Konsultasi Hukum Gratis bagi Masyarakat Indonesia ) , Kumparan.com, Januari 2021, diakses di https://kumparan.com/lisanov19/konsultasi-hukum-
gratis-bagi-masyarakat-indonesia-1v0xDDPP5cN /penuh pada 22 Juli 2021
144
Legal Smart Channel dapat diakses di http://lsc.bphn.go.id
145
HukumOnline dapat diakses di http://hukumonline.comm
146
Justika dapat diakses di http://justika.com
147
eProbono dapat diakses di https://eprobono.org
148
DokumenHukum.id dapat diakses di https://dokumenhukum.id
149
Peneliti mencoba mengakses layanan ini dan diminta untuk mendaftar di kemudian hari karena kuota penuh.

22
5. Praktik baik: Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Pelindungan Anak
Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) turut berupaya dalam memastikan pemberian layanan
pemulihan dengan membuat aplikasi Sistem Informasi Menangani Pengaduan Kekerasan (aplikasi
SIMANIS)150. Aplikasi SIMANIS harus diunduh terlebih dahulu dan dibuat pada masa pandemi COVID-19
namun bukan merupakan adaptasi layanan melainkan untuk mempermudah perempuan dan anak korban
kekerasan yang berada diwilayah yang sulit dijangkau untuk mendapatkan layanan pengaduan dan layanan
konsultasi pendampingan.

G.5 Hambatan dalam Mengakses Keadilan pada Masa COVID-19 Perempuan Berhadapan dengan Hukum

1. Catahu Komnas Perempuan tahun 2021 menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan
terhadap perempuan mengalami penurunan daripada sebelum pandemi dimulai karena: (1) korban dan
pelaku berada di lokasi yang sama, (2) korban lebih memilih untuk mengadu ke keluarga atau memilih diam,
(3) literasi teknologi yang dimiliki perempuan masih rendah, dan (5) layanan pengaduan masih belum siap.151
2. Hal itu dilengkapi oleh pernyataan narasumber dari LBH Apik Jakarta dan LIBU Perempuan bahwa saat
sebelum COVID-19, informasi layanan yang sulit, infrastruktur, maupun kualitas layanan APH telah menjadi
hambatan yang dirasakan perempuan korban. Situasi COVID-19 menambah sulitnya akses informasi bagi
perempuan korban dan menambah kerentanan perempuan korban.152 Dalam melaporkan kasus, salah seorang
perempuan lanjut usia (lansia) yang tinggal sendiri saat penerapan pembatasan sosial menyebutkan kesulitan
melaporkan kasusnya secara daring.
3. LBH APIK Jakarta lebih lanjut menyampaikan bahwa proses pelaporan kasus bagi perempuan korban menjadi
sangat sulit karena ada kekhawatiran terpapar virus COVID-19 saat dalam perjalanan menuju lembaga
layanan. Di Medan, perempuan korban kekerasan seksual juga mengalami ketakutan yang sama saat ingin
melaporkan kasusnya ke Polisi. Pada saat itu, layanan pelaporan di Kepolisian belum tersedia secara daring.
Korban juga harus menanggung biaya besar apabila harus menyewa layanan transportasi online khususnya
bagi perempuan korban dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.153 Apalagi, untuk di wilayah DKI
Jakarta, layanan penjemputan dan pengantaran pada situasi pandemi COVID-19 yang disediakan oleh
pemerintah justru dikurangi jumlahnya. Hal itu membuat perempuan penyandang disabilitas tidak bisa
mengaksesnya setiap saat dan perlu melakukan konfirmasi terlebih dahulu atau membuat janji beberapa hari
sebelumnya. Menurut narasumber LBH APIK Jakarta kebijakan tersebut membuat layanan
penjemputan/pengantaran tidak bisa diakses apabila ada kebutuhan mendesak bagi perempuan penyandang
disabilitas.154
4. Narasumber LBH APIK Medan yang merupakan pendamping hukum menyatakan ada keluhan dari klien yang
tidak mengerti cara mengakses dan mengisi form pengaduan melalui Google Form. Disebutkan lebih lanjut
bawah masyarakat di Medan belum sepenuhnya memahami dan beralih untuk menggunakan layanan
daring, ia juga mengatakan tidak semua orang sudah menggunakan smartphone dan ada orang-orang yang
masih menggunakan ponsel biasa tanpa layanan internet.155
5. Hambatan lain yang disampaikan pendamping Jaringan Indonesia Positif (JIP) adalah layanan pengaduan milik
pemerintah sempat tutup di awal masa pandemi COVID-19 dan tidak menerima pengaduan, yang membuat
perempuan korban kebingungan harus melapor kemana.156 Situasi ini cukup berbeda di tahun 2021, di mana
jumlah kasus yang diadukan justru lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2020.157 Hal ini dapat dikarenakan

150
Dapat dilihat di: https://dp3akkb.bantenprov.go.id/SIMANIS%20BANTEN
151
Komnas Perempuan, Catatan Tahunan Tahun 2021, hal. 8.
152
Ibid.
153
Wawancara dengan T, pendamping LBH Apik Jakarta pada 16 September 2022.
154
Ibid.
155
Wawancara dengan SAG pendamping LBH Apik Medan pada 19 September 2022.
156
Wawancara dengan NI, Pendamping JIP pada 22 September 2022.
157
Catahu Komnas Perempuan 2022.

23
masyarakat sudah semakin familiar menggunakan gadget sehingga memudahkan perempuan korban
melaporkan kasusnya secara daring.
6. Disebutkan lebih lanjut, bahwa tingkat penggunaan gadget di satu sisi memberi kemudahan akses korban untuk
melaporkan kasusnya. Namun di sisi lain, tingginya tingkat penggunaan gadget dan internet oleh masyarakat
di masa pandemi tidak dibarengi dengan kondisi keamanan digital yang baik, sehingga hal itu juga menjadi
hambatan perempuan korban kasus KBGO melaporkan karena banyak pelaku menggunakan fitur anonymous
sehingga pelaku bisa bebas tanpa diproses secara pidana.158
7. Secara spesifik pada kasus KBGO—kasus yang cenderung meningkat pada masa COVID1-19, perempuan
korban seringkali belum memiliki pengetahuan terkait apa yang dimaksud KBGO dan bahkan korban
tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban KBGO. Hal itu membuat perempuan korban KBGO tidak tahu
langkah-langkah awal yang harus dilakukan. Akibatnya, seringkali perempuan korban mencari bantuan dengan
mengunggah kasusnya di media sosial. Sayangnya, langkah tersebut membuat mereka rawan
dikriminalisasikan baik oleh pelaku atau pihak yang memiliki kepentingan lainnya.159
8. Hambatan lainnya yang dirasakan perempuan korban dalam pelaporan kasusnya adalah adanya stigmatisasi160
terhadap orang yang terpapar virus COVID-19 maupun orang yang berkontak erat dengan pihak yang
terpapar seperti keluarga, pendamping, dan komunitas juga mengalami dampak stigmatisasi ini.161 Imbasnya,
pada perempuan korban yang mengalami kekerasan berbasis gender akan menjadi lebih takut untuk keluar
rumah dan melaporkan kasusnya.
9. Kejaksaan Negeri Gunung Kidul dan pendamping tidak memiliki anggaran untuk melakukan pemeriksaan
antigen dan PCR ini sehingga ini menimbulkan kebingungan dan keberatan.
10. Dalam pemberian bantuan hukum gratis, para perempuan korban juga kesulitan dalam mengakses SKTM
lantas menjadi hambatan yang sangat nyata bagi perempuan korban dari kelompok miskin ketika mengakses
bantuan hukum gratis. Adapun faktornya antara lain: (1) legalisir dokumen harus di kantor pos padahal jam
operasional kantor pos lebih pendek selama pandemi, (2) pembatasan sosial membuat lebih susah bertemu
pihak otoritas seperti Ketua RT (Rukun Tetangga), dan (3) pengurusan dokumen-dokumen tadi masih
dilakukan secara luring sehingga menambah kerentanan untuk terpapar virus COVID-19.162
11. Selain itu, ditemukan juga terdapat permasalahan keterbatasan penyedia bantuan hukum ketika masa pandemi.
Korban perempuan mendaftarkan diri untuk mendapatkan bantuan hukum di tahun 2020, saat itu ia tidak
mendapatkan pendamping karena kuota penanganan LBH untuk tahun tersebut sudah penuh serta baru
dihubungi lagi untuk mendapatkan pendampingan setahun kemudian pada 2021.163
12. Pengalaman terhadap sikap aparat penegak hukum berbeda antara satu pendamping dengan pendamping
lainnya. Perbedaan ini dapat terjadi karena menghadapi personel aparat penegak hukum yang berbeda cara
pandangnya terhadap kasus, memiliki perspektif yang berbeda, maupun perbedaan dalam menafsirkan dan
menerapkan kebijakan internalnya. Aparat penegak hukum terkadang menerapkan standar yang sama
dengan situasi sebelum pandemi COVID-19 yang berdampak pada situasi korban maupun saksi. Salah
satu di antaranya adalah pemanggilan saksi-saksi yang harus dihadirkan secara tatap muka, hal ini berdampak
pada situasi psikologis saksi dan korban serta berpengaruh pada keberlanjutan perkara. LIBU perempuan
menyampaikan salah satu kendalanya adalah saksi yang tidak bisa meninggalkan rumah karena memiliki anak
dan terbatasnya ruang gerak untuk keluar rumah
13. Selama masa pandemi COVID-19, banyak layanan pemulihan khususnya pemulihan psikologis yang beralih
praktiknya menjadi daring memunculkan berbagai hambatan tersendiri. Bagi salah satu penyintas KDRT yang
diwawancarai menyatakan, ia kesulitan untuk mengoperasikan aplikasi Zoom dan Telegram, baik saat

158
Ibid.
159
Wawancara dengan T, pendamping LBH Apik Jakarta pada 16 September 2022
160
Berdasarkan Panduan soal stigma sosial di saat COVID-19 yang diterbitkan oleh WHO dan UNICEF, stigma sosial di masa pandemi dapat berbentuk pelabelan,
pandangan stereotip, perlakuan diskriminatif dan berbeda, dan/atau kehilangan status sosialnya ketika bersinggungan dengan COVID-19 dapat dilihat di
https://cdn.who.int/media/docs/default-source/epi-win/stigma/covid19-stigma-guide.pdf?sfvrsn=48f6ac1_2&download=true diakses pada 3 Oktober 2022.
161
Ibid.
162
Ibid.
163
Wawancara dengan S, penyintas KDRT pada 21 September 2022

24
berkomunikasi dengan Advokat yang menangani perkara perceraiannya maupun saat melakukan konseling
dengan salah satu lembaga pemulihan psikologis.164 Ia juga merasa konsultasi melalui video call dapat
dikatakan tidak nyaman, hal ini karena permasalahan sinyal, biaya kuota internet dan penggunaan ponsel
untuk Zoom membuatnya lelah karena ia harus menggenggam ponsel selama sesi konsultasi yang bisa
berlangsung selama 2 (dua) jam. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa ada isyarat tubuh yang tidak bisa
diterjemahkan lewat video call sehingga ia merasa bahwa konseling akan lebih efektif bila dilakukan secara
luring dan bisa bertemu langsung dengan psikolog yang menanganinya.165
14. Dari hasil wawancara dijelaskan bahwa penyandang disabilitas sensorik (Tuli, Wicara, Netra) memiliki
kebutuhan khusus misalnya ketersediaan juru bahasa isyarat dan dokumen dalam huruf braille. Ketika tidak
ada juru bahasa isyarat maka menurut penyintas dengan disabilitas akan ada hambatan kepercayaan karena
tidak ada orang yang dapat menjelaskan dan memahami situasi mereka.166 Juru bahasa isyarat ini pun
seringkali masih disediakan oleh lembaga pemberi layanan bukan aparat penegak hukum. Apabila juru
bahasa isyarat tidak tersedia maka biasanya perkara ditunda penanganannya. Pendamping yang kami
wawancarai menyampaikan bahwa masih terbatasnya jumlah juru bahasa isyarat di beberapa daerah.167
15. Dalam salah satu kasus yang digali dari hasil wawancara yaitu perceraian ditemukan bahwa untuk melakukan
pengajuan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri, pihak penggugat perlu membayar biaya panjar sebesar Rp
1.200.000 yang dibayarkan melalui pendamping hukum. Disampaikan oleh salah satu penyintas KDRT, bahwa
biaya ini berat untuk dipenuhi oleh penyintas dalam melaporkan kasusnya dikarenakan ia tidak memiliki
penghasilan. Kendala soal biaya panjar tersebut diselesaikan dengan pemberian subsidi biaya panjar oleh
lembaga pendamping hukum kepada penyintas, sebesar Rp. 700.000, sesuai kesepakatan antara penyintas dan
pendamping hukum.168
16. Ketika sidang dilakukan secara online, pendamping memfasilitasi mitra (klien) di kantornya untuk menghadiri
sidang online. Konsekuensi dari upaya ini adalah banyaknya biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan
internet, pembelian fasilitas pendukung untuk sidang online, penyediaan ruangan atau tempat yang kondusif
namun tetap memperhatikan protokol kesehatan, kebutuhan konsumsi, kebutuhan pembelian alat pelindung
diri (masker, baju hazmat, dan lainnya) terutama pada saat awal pandemi COVID-19, harga kebutuhan tersebut
menjadi sangat tinggi serta sulit diperoleh, misalnya masker, hand sanitizer hingga fasilitas penjemputan bagi
korban. Sayangnya adanya kebutuhan diatas tidak termasuk dalam skema anggaran program bantuan
hukum Kemenkumham yang ada saat ini, sehingga lembaga layanan sulit untuk memperoleh reimbursement
atau penggantian biaya. Lembaga layanan akhirnya menutup biaya tersebut dengan subsidi silang dari
pembiayaan program lain, dari kas lembaga,169 atau melakukan fundraising, yang semua itu tidak mudah
dilakukan.
17. Korban KBG masih minim memiliki perlindungan sosial, misalnya BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan dan bentuk jaminan sosial lain dari pemerintah. LBH Apik Medan menemukan kasus di
mana seorang anak perempuan menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh ayah tirinya, ia mengalami
kehamilan dan tidak memiliki jaminan terkait dengan persalinan. Padahal dengan adanya jaminan tersebut,
biaya persalinan bisa didapat secara gratis. Selain biaya persalinan, korban juga membutuhkan bantuan
seperti bantuan untuk susu bayi, peralatan ibu hamil, kebutuhan untuk bayi dan lainnya. Sehingga menjadi
penting untuk menghubungkan para korban dengan akses-akses jaminan sosial dan menghubungkan mandat
dari organisasi perangkat daerah terkait dengan kebutuhan korban khususnya pada situasi COVID-19.170
18. Menjadi korban kekerasan apalagi di masa pandemi COVID-19 bukanlah hal yang mudah. Korban yang berada
di rumah aman juga memiliki ruang gerak terbatas, sehingga membutuhkan kegiatan-kegiatan bermanfaat yang
dapat dilakukan oleh korban. Penguatan mental tentu saja tidak bisa dilakukan jika hanya berdiam diri di rumah

164
Wawancara dengan S, Perempuan Penyintas KDRT pada 21 September 2022.
165
Ibid.
166
Ibid.
167
Ibid.
168
Wawancara dengan S, penyintas KDRT pada 21 September 2022
169
wawancara dengan DR, pendamping LIBU Perempuan pada 16 September 2022
170
Ibid.

25
aman. Korban perlu mendapatkan kegiatan yang membantunya melewati masa-masa di rumah aman dan
adanya support group dengan sesama korban sehingga bisa saling menguatkan.171 Berdasarkan keterangan
seorang penyintas, di rumah aman yang ditempatinya pernah ada korban yang melakukan percobaan bunuh
diri karena tidak pernah dijenguk atau dihubungi oleh keluarga.172 Sehingga pentingnya korban mendapatkan
dukungan dan pemberdayaan baik dari lembaga pemberi layanan maupun dengan sesama korban yang berada
dirumah aman.
19. Ketersediaan rumah aman cenderung sulit dipastikan pada masa COVID-19 dikarenakan keterbatasan jumlah
rumah aman itu sendiri, sumber daya maupun kualitas dari rumah aman yang belum maksimal dalam menerima
permintaan penyediaan yang cenderung meningkat pada masa pandemi. Rumah aman yang disediakan
lembaga penyedia layanan pun juga cenderung terbatas dikarenakan anggaran yang dimiliki hanya difokuskan
untuk pendampingan perkara litigasi dan kebutuhan lainnya.

G.6 Rekomendasi penelitian

1. Bappenas, Kemenkumham dan Kementerian Keuangan perlu memastikan ketersediaan anggaran bantuan
hukum khususnya dalam masa darurat. Pada masa pandemi COVID-19 anggaran bantuan hukum dipotong
padahal jumlah kasus kekerasan semakin bertambah yang artinya kebutuhan akan bantuan hukum justru
semakin banyak. Selain ketersediaan anggaran yang memadai perlu adanya penyesuaian anggaran jika terjadi
situasi darurat di mana anggaran yang disediakan menjadi lebih fleksibel atau sesuai kebutuhan masyarakat,
misalnya untuk pengadaan masker, handsinizer, biaya internet, biaya tes antigen/PCR dan kebutuhan khusus
lainnya.
2. Memastikan dalam setiap langkah perencanaan pembangunan hukum memperhatikan kebutuhan perempuan
dan kelompok rentan yang memiliki kekhususannya masing-masing.
3. Penguatan sistem rujukan yang terintegrasi antara inisiatif komunitas dan aparat penegak hukum untuk
meningkatkan layanan penanganan kasus, pemulihan, dan pencegahan kasus kekerasan. Bappenas
diharapkan mengotimalkan sistem SPPT-PKKTP yang telah dikembangkan di beberapa daerah untuk
replikasi di berbagai daerah lain.
4. Bappenas dapat berkoordinasi dengan KemenPPPA dan Kemendagri dalam hal memastikan penganggaran
dan penyediaan rumah aman agar tetap berjalan dan tersedia selama masa darurat, termasuk pemenuhan
kebutuhan korban di rumah aman baik secara logistik maupun adanya sistem dukungan dan pemberdayaan
bagi korban di rumah aman.
5. Bappenas dapat medorong KemenPPPA dan Kemendagri dalam hal terkait pemenuhan layanan pemulihan
bagi korban agar merespon kebutuhan perempuan dari kelompok tidak mampu dan perempuan penyandang
disabilitas.
6. Bappenas dapat berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan pemangku kepentingan yang berkaitan
dengan adaptasi anggaran atau pengadaan anggaran khusus pada masa darurat berkaitan dengan akses
keadilan bagi korban kekerasan, baik di institusi penegak hukum, lembaga penyedia layanan milik
pemerintah termasuk LPSK, khususnya mengenai anggaran bagi layanan-layanan yang tetap harus ada
selama masa darurat misalnya rumah aman dan layanan pemulihan.
7. Bappenas bersama Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI perlu memastikan tersedianya
sumber daya manusia dan sarana prasarana yang responsif terhadap kebutuhan perempuan berhadapan
dengan hukum khususnya perempuan korban kekerasan sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2020-2024
yaitu peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, pemerintah dan dunia usaha dalam penanganan dan
rehabilitasi korban.

171
wawancara dengan S, penyintas KDRT pada 21 September 2022
172
Ibid.

26

Anda mungkin juga menyukai