Anda di halaman 1dari 3

Keraguan masyarakat terhadap vaksinasi COVID-19

Pandemi COVID 19 dengan ribuan kasus terdeteksi semakin menambah beban morbiditas
dan mortalitas negara yang berpengaruh signifikan pula bagi Indonesia di seluruh sektor,
khususnya Kesehatan dan Ekonomi. Sejak awal muncul, Covid-19 terdeteksi telah
menyebabkan lebih dari 43.140.173 kasus yang konfirmasi dan lebih dari 1.155.235 kematian
pada 25 Oktober 2020 (ÖZKARA et al. 2020). Sebagai langkah konkrit intervensi
penanggulangan penyebaran corona virus, pemerintah Indonesia kemudian menyiapkan
Vaksin COVID-19. Menurut Fundrika, B.A.(2021) Pemerintah Indonesia disebut telah
membuat peta jalan untuk vaksinasi Covid-19 yang akan diupayakan agar dapat segera
tersebar merata. Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan bahwa rencana
vaksinasi covid-19 di Indonesia akan dilaksanakan dalam dua periode. Selain itu, akses dan
distribusi vaksin yang merata dalam skala besar dan adil untuk masyarakat dipastikan
menjadi prioritas ketika tersedia vaksin yang aman dan efektif. (Makmun and Hazhiyah
2020).

Namun, bersamaan dengan tekad kuat pemerintah untuk mendistribusikan vaksin secara
merata, dalam sejumlah literature review ditemukan bahwa terdapat keraguan yang kuat bagi
masyarakat terhadap kesediaan diri untuk divaksin. Padahal menurut WHO (2020), Keraguan
masyarakat dalam penerimaan vaksinasi Covid-19 dapat menjadi penghambat upaya global
dalam mengendalikan Pandemi. Lantas, mengapa banyak keraguan terkait pelaksanaan
vaksin muncul di tengah-tengah masyarakat? Tulisan ini akan membahas faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi keraguan masyarakat terhadap kesadaran dan kesediaan untuk
menerima vaksinasi COVID-19.

Maraknya informasi hoax dan minimnya pengetahuan terhadap urgensi vaksin saat ini
menjadi fokus penyebab utama terhadap munculnya beragam keraguan masyarakat. Padahal,
penyebaran informasi yang salah melalui berbagai saluran dapat berdampak besar pada
penerimaan vaksin COVID-19 (Lushington, 2020). Juru Bicara Vaksinasi Covid-19
Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi (2020) menyatakan hasil survei sebanyak 33 persen
responden belum yakin bahkan menolak vaksin sebagai upaya pencegahan Covid-19.
Sementara itu, sejumlah masyarakat menyebutkan kekhawatiran terhadap isi kandungan
vaksin serta tidak mengetahui dan tidak percaya bahwa vaksin dapat mengurangi angka
penyebaran Covid-19. Anindita, K. (2020) dalam penelitiannya kemudian pernah meluruskan
pemberitaan bahwa vaksin covid-19 tidak mengandung boraks dan formalin. Salah satusatu
portal berita juga menyebutkan bahwa berita tersebut masuk ke dalam daftar hoax vaksin.
Pihak produsen pun menyatakan bahwa vaksin diproduksi tidak menggunakan pengawet
serta bahan lain misalnya boraks, formalin atau merkuri.

Dalam literature lain, (Jeffrey Lazarus, 2020) dari Institut Barcelona untuk Kesehatan Global
juga menyatakan keraguan masyarakat yang timbul berasal dari rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat terutama bagi masyarakat ekonomi rendah terhadap pemerintah. Tak
hanya itu, berdasarkan hasil riset Center for Digital Society (CfDS) (2021) faktor lain yang
juga berpengaruh kuat terhadap rendahnya target cakupan vaksinasi covid-19 ialah
masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi elite global yang menyebutkan bahwa
kewajiban untuk melakukan vaksinasi dibuat bukan sebagai upaya penanggulangan pandemi,
namun hanya sebagai upaya untuk menarik keuntungan pribadi secara korporasi bagi elite
global. Dalam sebuah survei lainnya, didapat 49,9 persen dari total 601 responden menolak
untuk menjadi penerima vaksin Covid-19 pertama sejak ditemukan laporan munculnya
penyakit autoimun pasca vaksinasi (Kusumaningtyas, 2020).

Hal ini berkaitan pula dengan fenomena yang terjadi di sebuah kota beberapa waktu lalu.
Disebabkan oleh tingginya keraguan masyarakat terhadap penerimaan vaksin covid
menyebabkan minimnya jumlah pendaftar vaksin. Sementara itu, beberapa bulan setelahnya
pasca pemberitahuan bahwa kartu vaksin menjadi syarat khusus administrasi publik akhirnya
membuat ratusan orang kemudian mau menghadiri vaksinasi massal yang diadakan di sebuah
lokasi. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan baru bagi kita, apakah keraguan
masyarakat yang sebelumnya terjadi disebabkan oleh kekhawatiran terhadap isi vaksin hilang
begitu saja sebab tertutup oleh tuntutan keharusan adanya kartu vaksin? Jika kita telaah lebih
mendalam, kejadian ini tentu tak lepas dari kurangnya komunikasi yang berkesinambungan
serta edukasi urgensi vaksin yang ternyata belum dapat diterima dengan baik sepenuhnya
selama ini.

Pada kesimpulannya, keraguan yang kuat bagi masyarakat terhadap kesediaan diri untuk
divaksin dapat berdampak signifikan bagi upaya dunia dalam pengendalian pandemi.
Keraguan untuk menerima vaksin yang berkembang di tengah masyarakat disebabkan oleh
sejumlah faktor antara lain: salah persepsi, kecemasan sebab khawatir isi kandungan vaksin,
faktor ekonomi, ketidaktahuan terhadap urgensi vaksin, dan munculnya laporan tentang
penyakit autoimun setelah vaksinasi (Ho, 2020). Berdasarkan sejumlah faktor di atas, oleh
karena itu diperlukan perbaikan kembali terhadap proses komunikasi dan penyebarluasan
informasi yang akurat dan intens terkait pentingnya vaksin covid-19 antara petugas kesehatan
dan masyarakat. Saluran dan channel official terkait covid-19 perlu dibentuk secara khusus
sebagai information centre sekaligus sumber terpercaya yang dapat diakses secara
transparan oleh masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan sejumlah kader
juga perlu untuk mulai diimplementasikan agar masyarakat memiliki rasa tanggung jawab
untuk berkontribusi dalam meningkatkan derajat kesehatan bagi dirinya sendiri, keluarga,
lingkungan, maupun komunitasnya.

Anda mungkin juga menyukai