Anda di halaman 1dari 24

ETIKA PROFESI

KODE ETIK PADA PROFESI PSIKOLOG

UNIVERSITAS ISTA AL – KAMAL


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI

DOSEN MATA KULIAH :


DEDEN HEDIN P., S.Kom., M.Si.

DISUSUN OLEH :
RANTI ORIZA SAVITRI
(202126022)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL – KAMAL


2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “KODE ETIK
PADA PROFESI PSIKOLOG”. Tidak lupa saya mengucapkan banyak terima
kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Deden Hedin P., S.Kom.,
M.Si. selaku dosen Etika Profesi yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 14 Mei 2022

Ranti Oriza Savitri


DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................

Daftar Isi....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................

1.1 Latar Belakang..........................................................................

1.2 Tujuan
Penulisan........................................................................

1.3 Manfaat
Penulisan.....................................................................

1.4 Sistematika
Penulisan................................................................

BAB II PEMBAHASAN
........................................................................

2.1 Organisasi Profesi....................................................................

2.2 Kode Etik Profesi.....................................................................

2.3 Kasus Pelanggaran...................................................................

BAB III PENUTUP


.................................................................................

3.1 Kesimpulan..............................................................................

DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kode etik adalah suatu acuan yang dibuat untuk beberapa profesi yang
memerlukannya, kode etik sendiri diyakini dapat menjadi barometer tindakan
profesional dalam suatu profesi, termasuk psikolog yang memerlukan kode etik
psikologi untuk menjadi acuan agar dapat bertindak selayaknya psikolog atau
ilmuwan psikologi dan sebagainya.
Dalam dunia psikologi khususnya di Indonesia maka disusunlah Kode Etik
Psikologi yang mengatur secara keseluruhan bagaimana seorang psikolog dan
ilmuwan psikolog bekerja, melakukan penelitian, mempublikasikan penelitian,
memberikan layanan, mengatasi situasi klien, asesmen, intervensi, konseling, dll.
Tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran yang bermacam-macam
dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikologi.
Oleh karena itu, makalah ini saya buat untuk mengetahui suatu pelanggaran
yang telah dilakukan oleh seorang psikolog, pasal – pasal yang berlaku dan
bagaimana analisis dari beberapa pelanggaran tersebut beserta solusi yang
diberikan untuk menghindari adanya pelanggaran lagi.

1.2 TUJUAN PENULISAN


Materi ini diajukan sebagai salah satu tugas etika profesi yang diberikan
secara individu dan juga merupakan penambahan wawasan terkait kode etik baik
yang berlaku di indonesia ataupun negara lainnya, terkait profesi Psikologi yang
telah dipilih.
1.3 MANFAAT PENULISAN
1. Untuk mengetahui Organisasi dalam profesi Psikolog secara nasional
maupun internasional
2. Untuk mengetahui apa saja kode etik yang berlaku dalam profesi
Psikologi
3. Untuk mengetahui contoh pelanggaran dalam etika Psikologi
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan hal ini merupakan salah satu metode dalam penulisan makalah yang
berisikan latar belakang, tujuan, perumusan masalah, ruang lingkup, tujuan dan
manfaat atau sistematika penulisan.

BAB II Pembahasan
Pembahasan hal ini merupakan salah satu metode dengan memberikan tinjauan
umum dan tinjauan yang singkat mengenai struktur organisasinya, penjelasan
aturan sampai dengan penyelesaian suatu masalah pelanggaran beserta solusi hasil
akhirnya.

BAB III Penutup


Penutup hal ini merupakan salah satu metode penulisan yang berisi kesimpulan
sehingga dapat menganalisis dan mengoptimalkan sistem yang berdasarkan pada
bab yang sebelumnya.

Kesimpulan
Kesimpulan ini adalah sebuah ringkasan dari poin-poin yang penting dan
terkandung dalam isi makalah yang akan dibahas secara rinci maka kesimpulan ini
harus memiliki makna yang sangat jelas supaya pembaca dapat memberikan nilai
positif.

Daftar Pustaka
Daftar pustaka adalah daftar yang menunjukkan bahwa kumpulan memiliki
sumber makalah yang menunjukkan penulis makalah ditulis secara rinci dan jelas
sampai tidak ada yang tersisa.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ORGANISASI PSIKOLOGI


Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Himpsi merupakan organisasi profesi psikologi di Indonesia, didirikan di
Jakarta pada tanggal 11 Juli 1959 dengan nama Ikatan Sarjana Psikologi,
disingkat ISPsi. Sejalan dengan perubahan sistim pendidikan tinggi di Indonesia,
melalui Kongres Luar Biasa pada tahun 1998 di Jakarta, organisasi ini mengubah
nama menjadi Himpunan Psikologi Indonesia, disingkat HIMPSI.
Sebagai organisasi profesi, HIMPSI merupakan wadah berhimpunnya
profesional Psikologi (Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, Doktor Psikologi
dan Psikolog). Sejak tahun 2003, lulusan program pendidikan profesi psikologi
sudah setara dengan jenjang Magister.
Visi HIMPSI, menjadi organisasi profesi psikologi yang diakui secara
nasional maupun internasional dan berperan meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat. Misi utama HIMPSI adalah pengembangan keilmuan dan profesi
psikologi di Indonesia. Saat ini HIMPSI telah memiliki 34 wilayah di propinsi
yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 16.400
orang.Anggota HIMPSI yang memiliki minat dan praktik yang sama telah
bergabung dalam 18 buah organisasi Ikatan Minat / Asosiasi.

American Psychological Association (APA)


American Psychological Association (APA) adalah organisasi profesi
yang merepresentasikan psikologi di Amerika Serikat, dengan sekitar 150.000
anggota. APA dibentuk pada bulan Juli 1892 di Clark University oleh suatu
kelompok yang terdiri dari 26 orang. Pemimpin pertamanya, yang disebut sebagai
presiden, adalah G. Stanley Hall. Kini ada 54 divisi profesional di APA.
APA didirikan sebagai sebuah organisasi nirlaba. Pengelolaan organisasi
diserahkan kepada dewan perwakilan. Anggota dewan perwakilan dipilih dari
divisi dan asosiasi psikologis yang menjalin afiliasi dengan APA. APA juga
memiliki kantor pusat yang dibina oleh dewan direksi dan dikelola oleh seorang
presiden. Presiden APA juga bertugas sebagai pemimpin dewan perwakilan.

2.2 KODE ETIK PROFESI PSIKOLOG


Kode etik psikologi merupakan dasar perlindungan dari nilai – nilai yang
diterapkan. Kode etik bertujuan untuk menjamin kesejahteraan umat manusia dan
memberikan perlindungan terhadap layanan masyarakat terkait praktek layanan
psikologi.
Pemikiran tersebut yang kemudian dirumuskan menjadi Kode Etik
Psikologi yang dinilai merupakan kumpulan nilai – nilai untuk dipatuhi dalam
semua kegiatan psikologi oleh psikolog atau ilmuwan psikologi.

Fungsi Kode Etik Psikologi


Kode etik berfungsi sebagai landasan perlindungan dan pengembangan sebuah
profesi. Menurut Gibson kode etik menjadi pedoman pelaksanaan tugas secara
profesional bagi masyarakat. Biggs dan Blocker mengungkapkan fungsi kode etik
dibagi menjadi tiga yaitu :
 Melindungi suatu profesi (Psikologi).
 Mencegah perdebatan atau pertentangn internal dalam profesi.
 Melindungi pelaksana profesi dari kesalahan praktik psikologi.

Pedoman Umum
Pasal 1
Kode Etik psikologi adalah seperangkat nilai nilai untuk ditaati dan
dijalankan dengan sebaik – baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai
psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
Psikologi merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental
yang melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli, dalam
ilmu psikologi dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu profesi atau berkaitan dengan
praktek psikologi dan ilmu psikologi termasuk hal ini ilmu murni atau terapan.
Psikolog adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik
psikologi dengan latar belakang S1 dan S2. Psikolog memiliki kewenangan
memberikan layanan psikologi meliputi konseling, penelitian, pengajaran,
supervisi, layanan masyarakat. Dan juga pengembangan kebijakan, intervensi,
pengembangan instrumen asesmen psikologi, dan lainnya dan diwajibkan
memiliki izin praktik psikologi sesuai ketentuan.

Pasal 2 (Prinsip Umum)


Prinsip A : Penghormatan pada harkat martabat Manusia
Prinsip B : Integritas dan Sikap Ilmiah
Prinsip C : Profesional
Prinsip D : Keadilan
Prinsip E : Manfaat
Baca juga: Psikologi Abnormal

Mengatasi Isu Etika


Pasal 3 (Majelis Psikologi Indonesia)
Majelis psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan
pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi
psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota
maupun organisasi.

Pasal 4 (Penyalahgunaan di Bidang Psikologi)


Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan atau
ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan
dalam koode etik psikologi Indonesia. Hal ini termasuk adalah pelanggaran oleh
psikolog terhadap sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka
yang bukan psikolog, atau psikolog yang tidak memiliki ijin praktik, serta layanan
psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
1. Pelanggaran ringan
Tindakan yang dilakukan oleh seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang
tidak dalam kondisi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga
mengakibatkan kerugian bagi salah satu dari berikut ini: (1) ilmu psikologi; (2)
profesi psikologi; (3) pengguna jasa layanan psikologi; (4) individu yang
melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak yang terkait.

2. Pelanggaran Sedang
Tindakan yang dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikolog karena
kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai
dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi : (1)
ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna jasa layanan psikologi; (4)
individu yang melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak yang terkait.

3. Pelanggaran Berat
Tindakan yang sengaja dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikolog yang
secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan
kerugian pada : (1) ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna jasa
layanan psikologi; (4) individu yang melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak
yang terkait.

Pasal 5 (Penyelesaian Isu Etika)


(1) Apabila tanggung jawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan
hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode. Etik akan melakukan
langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam
Kode Etik Psikologi Indonesia. Kemudian, apabila konflik tidak dapat
diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya
yang berlaku.
(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik,
memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan
menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung
jawab dan kepatuhan terhadap kode etik.

(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna layanan psikologi
serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan disertai
bukti terkait ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya
diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan secara
detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.

(4) Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia menjadi
bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama
tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, proses
penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang
diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam organisasi yang ada. Dalam
pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan
tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada
Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut: a.
Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut b. Meminta klarifikasi
kepada pihak yang melakukan pelanggaran c. Berdasarkan klarifikasi menentukan
jenis pelanggaran

(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang
melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang bersangkutan dan
data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan
mengambil keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.
(7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi
tidak puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu,
Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat
mendampingi Majelis Psikologi untuk membahas masalah tersebut, baik kepada
anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan sesuai dengan
kepentingan.

Pasal 6 (Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan)


Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun
yang mengajukan keluhan karena terkena pelanggaran etika. Keluhan harus di
dasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.

Kompetensi
Pasal 7 (Ruang Lingkup Kompetensi)
Ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar,
melakukan penelitian dan/ atau intervensi sosial dalam area sebatas
kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh
Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi
terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah
memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan,
pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau pengalaman
profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu atau
cakupan kasus kasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS, kekerasan
berbasis gender, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau
yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama,
bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan penambahan
pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan, pendidikan
khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan kompetensi dalam
memberikan pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali
dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar
baku penanganan, guna melindungi pengguna jasa layanan psikologi serta pihak
lain yang terkait.
Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi psikologi
sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum yang berlaku di
Indonesia, khususnya hukum pidana, sehubungan dengan kasus yang ditangani
dan peran yang dijalankan.

Pasal 8 (Peningkatan Kompetensi)


Psikolog dan Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang
berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.

Pasal 9 (Asas Kesediaan)


Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak
pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian
jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa
dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian jasa/praktik
psikologi.

Pasal 10 (Interpretasi Hasil Pemeriksaan)


Interpretasi hasil pemeriksaan psikologik tentang klien atau pemakai jasa
psikologi hanya boleh dilakukan oleh Psikolog berdasarkan kompetensi dan
kewenangan.

Pasal 11 (Masalah dan Konflik Personal)


(1) Psikolog atau ilmuwan psikologi sadar bahwa masalah dan konflik pribadi
mereka akan dapat mempengaruhi kefefektifan kerja. Kemudian, dalam hal ini,
psikolog atau ilmuwan psikologi mampu membentengi diri dari tindakan yang
dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak lain yang terlibat. Dan
juga sebagai akibat dari masalah atau konflik pribadi tersebut.
(2) Psikolog atau ilmuwan psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda
– tanda adanya masalah atau konflik pribadi. Kemudian, apabila hal ini terjadi,
secepat mungkin mencari bantuan dengan melakukan konsultasi yang efektif agar
dapat kembali melakukan pekerjaannya dengan cepat. Psikologi juga dapat
membatasi, menangguhkan, bahkan menghentikan kewajiban dari layanan
psikologi tersebut.

Pasal 12 (Pemberian layanan Psikologi dalam Keadaan Darurat)


(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan mental
dan/atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk
memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.

(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang ada tetap
harus dilayani. Karenanya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum
memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi
untuk memastikan bahwa kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak.

(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, Psikolog


dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan
perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau
melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.

(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah
tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi
tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.
Hubungan Antar Manusia
Pasal 13 (Sikap Profesional)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan
psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/
institusi,
harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk :
a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.
b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai
dampak layanan psikologi yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena
dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi
yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan
psikologi tersebut harus diberitahu.

Pasal 14 (Pelecehan)
(1) Pelecehan Seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan
keilmuannya tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian
ini adalah permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non
verbal yang bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau
peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat
terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang berulang,
bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud
dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:

(a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat
menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang
dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu
mengenai hal tersebut atau

(b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap
seseorang
dalam konteks tersebut,
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga
dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
Pasal 15 (Penghindaran Dampak Buruk)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang
masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta
meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat
diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi
serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang
kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Pasal 16 (Penggunaan dan Penguasaan Sarana Pengukuran)


a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib membuat kesepakatan dengan
lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai halhal yang berhubungan
dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan, penguasaan sarana
pengukuran. Ketentuan mengenai hal ini diatur tersendiri.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menjaga agar sarana pengukuran agar
tidak dipergunakan oleh orang-orang yang tidak berwenang dan yang tidak
berkompeten.

Pasal 17 (Konflik Kepentingan)


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran
profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial,
kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas,
kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi
tersebut.

Pasal 18 (Eksploitasi)
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap
mengandung unsur eksploitasi, yaitu:
o Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang
sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang
mereka, seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang
menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah
penyeliaannya.
o Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan
mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan di mana
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau
otoritas langsung.
o Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah
pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.
(2) Eksploitasi Data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-
hal yang dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari
mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang
mereka, seperti mahasiswa, karyawan, partisipan penelitian, pengguna jasa
layanan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya dimana
data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk kepentingan pribadi.
Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat
mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
ataupun mengarah pada eksploitasi.

Pasal 19 (Hubungan Profesional)


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan
profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain.
(1) Hubungan antar profesi
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan
menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan umpan
balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya
dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi
dan kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak berhasil dilakukan maka
wajib melaporkan kepada organisasi profesi.

(2) Hubungan dengan Profesi lain


a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati
kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian
layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan
kewenangan.

Pasal 20 (Informed Consent)


Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian/ pendidikan/
pelatihan/ asesmen/ intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan
informed consent. Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan
menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian
pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan dinyatakan
dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani
pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi.
Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:
a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan
selama proses tersebut.

Pasal 22 (Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi)


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan
kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-
hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian,
terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi
dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya
dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima
layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.

(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan


layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:
a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau
meninggal.
b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi.
d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.

(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus


menghentikan layanan psikologi apabila:
a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi
yang telah dilakukan.
b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang
menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang
bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah
satu atau kedua belah pihak.
2.3 KASUS PELANGGARAN PSIKOLOGI
Contoh kasus:
Fera adalah seorang psikolog yang barusaha menyandang gelar
psikolognya dan bekerja pada salah satu biro psikologi di Kota Jakarta bersama
dengan beberapa ilmuan psikologi dan psikolog yang lain. Suatu hari, datang
klien berinisial AB yang menderita depresi berat sehingga mencoba membunuh
diri dan membutuhkan layanan darurat di biro tersebut, namun para psikolog
senior sedang ke luar kota untuk melakukan perjalanan dinas selama beberapa
minggu sehingga klien tersebut diberikan kepada psikolog Fera dengan maksud
pemberian layanan darurat untuk sementara waktu. Beberapa hari kemudian, salah
seorang psikolog senior bernama Siska kembali ke Kota Jakarta untuk melakukan
penanganan kepada klien AB, namun psikolog Fera menolak untuk memberikan
penanganan klien tersebut kepada psikolog Siska karena menganggap bahwa
dirinya mampu menyelesaikan masalah klien AB hingga selesai tanpa bantuan
dari psikolog Siska walaupun penanganan yang diberikan oleh Fera ke AB tidak
menunjukkan hasil yang signifikan.

Analisis:
Kasus di atas menunjukkan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh psikolog
Fera kepada psikolog SH pada:Pedoman Umum, pasal 4 prinsip C tentang
profesional yang berbunyi
“Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama
dan/ataumerujuk pada teman sejawat, professional lain dan/atau institusi-institusi
lainuntuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.”

Dalam kasus tersebut, psikolog Fera menolak untuk memberikan pelayananan


klien AB kepada psikolog Siska sehingga melanggar pasal 4 prinsip C yang
menolak memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi, pasal
12 ayat 3 dan 4 tentang Pemberian Layanan Psikologi dalam Keadaan darurat
yang berbunyi “Selama memberikan layanan psikologidalam keadaan darurat,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang
dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang kompeten untukmensupervisi atau
melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut (3). Apabila psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia ataukondisi darurat telah
selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harusdialihkan kepada yang
lebih kompeten atau dihentikan segera (4).”

Kasus di atas sangat jelas bahwa psikolog Fera tidak segera mencari psikolog
yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan
psikologi seperti yangdijelaskan pada pasal tiga (3), dan tidak bersedia
mengalihkan layanan AB kepada Siska walaupun tidak ada perubahan yang
signifikan pada AB seperti yang dijelaskan pasal empat (4).
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kode etik
psikologi ini rentan terjadi di lingkungan masyarakat psikologi. Mulai dari
pelanggaran dalam penanganan klien yang menggunakan jasa layanan psikologi.
Untuk menghindari adanya pelanggaran pada kode etik psikologi maka harus
diterapkan komitmen pada diri untuk mengabdi sesuai ketentuan serta pasal yang
telah ditetapkan kepada para Psikolog mulai dari selama menjalani Pendidikan
Psikologi.
DAFTAR PUSTAKA

HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia (Hasil Kongres XI HIMPSI).


Surakarta:Pengurus Pusat HIMPSI.

http://utamitamii.blogspot.co.id/2014/10/contoh-kasus-pelanggaran-kode-etik.html

http://sarwono-supeno.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-pelanggaran.html

https://www.wikiwand.com/id/American_Psychological_Association

Anda mungkin juga menyukai