Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
hidayah Allah swt kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya. Makalah pada mata kuliah Psikologi Hukum yang berisikan tema tentang Psikologi
Dalam Hukum Pidana Dan Pengawasan Perilaku.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar
Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya
meneladani akhlaknya yang mulia.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 28 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Psikologi Dalam Hukum Pidana ............................................................................. 3


B. Aspek Psikologis Dalam Penegakan Hukum .......................................................... 6

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum dikelola sedemikian rupa dari berbagai aspek pendekatan termasuk
dari segi psikologi, maka diskrepansi atau kesenjangan antara norma hukum dan
kenyataan sosial, dapat ditanggulangi dengan jalan pembaruan hukum atau law
reform. Penegakan dan penerapan hukum yang dilaksanakan secara lebih seksama
sehingga rumusan kaedah atau norma hukum baik yang diangkat dari istilah sehari-
hari atau pun yang dibuat istilah khusus merupakan citra kehidupan dalam masyarakat
tentang keadilan1.
tuntutan dan kebutuhannya dalam studi ilmu hukum, terutama bagi praktek
penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan dimuka di muka sidang
pengadilan. Berbagai macam teori dan penelitian dalam psikologi hukum muncul
sebagai respon atas permasalahan yang berkembang dalam masyarakat. Psikologi
hukum sebagai lapangan hukum baru, timbul dari bercampurnya aturan hukum pidana
dengan psikologi sosial sebagai bagian dari psikologi sehingga menjadi suatu
kelompok aturan hukum yang bulat, homogen dan berkepribadian sendiri.
Setiap perilaku dan tindakan manusia di latar belakangi oleh berbagai faktor
termasuk faktor psikologis. Psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan
tentang jiwa atau ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia “Human Behaviour”
maka dalam kaitannya dengan studi hukum, akan melihat hukum sebagai salah satu
dari pencerminan perilaku manusia. Seseorang bisa dikatakan sehat apabila jiwa dan
raganya sehat. Jika raga seseorang sehat namun jiwanya tidak, sama saja seperti orang
yang sakit. Jiwa yang dimaksudkan adalah psikis seseorang, termasuk mentalnya. Itu
sebab adanya kesehatan psikis atau mental. Karena untuk menjadi sehat secara utuh
diperlukan tidak hanya sehat secara fisik tapi juga sehat mental.
Psikologi hukum sangat dibutuhkan dalam praktik penegakan hukum, terutama
untuk kepentingan pemeriksaan sidang pengadilan. Untuk mengungkap dan
menjelaskan mengapa individu bersangkutan melanggar hukum dan juga faktor-faktor
psikis yang mendorong untuk melakukan tindak pidana tersebut. Bila terdeteksi

1
Abintoro Prakoso, Hukum dan Psikologi Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2014), 9.

1
adanya gangguan psikis atau jiwa, maka dibutuhkan pemeriksaan kesehatan jiwa pada
individu tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana psikologi dalam hukum pidana?
2. Bagaimana hukum pidana dan problemnya?
3. Bagaimana aspek psikologis dalam penegakan hukum?
C. Tujuan
1. Mengetahui psikologi dalam hukum pidana.
2. Mengetahui hukum pidana dan problemnya.
3. Mengetahui aspek psikologis dalam penegakan hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Psikologi Dalam Hukum Pidana


Psikologi hukum sebagai disiplin ilmu tentang perilaku dan kejiwaan manusia
berusaha untuk berkontribusi dalam usaha penegakan hukum yang berbentuk
memberikan pengetahuan dan intervensi psikologis yang berguna dalam proses
penegakan hukum. Indikator penegakan hukum yang baik dalam perspektif psikologis
adalah adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik setelah menerima atau
menjalani proses rehabilitasi dalam lembaga permasyarakatan.
Beberapa cabang psikologi yang berperan dalam sistem hukum dan proses
hukum adalah psikologi kognitif, psikologi perkembangan dan psikologi klinis.
Peranan psikologi dalam proses hukum diaplikasikan mulai dari tahap pemeriksaan,
persidangan, putusan sampai ke tahap pemasyarakatan. Psikologi Hukum juga
digunakan untuk menjelaskan perilaku terdakwa maupun korban yang selanjutnya
akan digunakan dalam proses persidangan2.
Dikemukakan oleh Constanzo tentang peran dari psikologi hukum berikut tiga
peranannya adalah:
a. Sebagai penasihat, psikolog sebagai penasihat hakim atau pengacara dalam
proses persidangan. Diminta untuk memberi pendapat dan masukan apakah
seorang terdakwa atau saksi layak dimintai keterangan dalam proses
persidangan.
b. Sebagai evaluator, psikolog dituntut untuk mampu melakukan evaluasi
terhadap suatu program, apa program itu sukses atau sesuai dengan tujuan
yang ditetapkan. Program berkaitan dengan intervensi psikologis mengurangi
perilaku kriminal atau penyimpangan. Misalnya, dalam program pencegahan
bagi remaja agar tidak terjebak dalam penyalahgunaan narkoba. Mampu
tidaknya menekan atau mengurangi tingkat pengunaan narkoba dikalangan
remaja. Untuk mengetahuiya, perlu dilakukan evaluasi program.
c. Sebagai pembaharu, psikolog diharapkan lebih memiliki peran penting dalam
sistem hukum. Untuk mampu mengaplikasikan ilmunya ke tataran aplikatif
sehingga tahapan acara pidana mulai dari proses penangkapan, penahanan,

2
Ivan Muhammad Agung, Bunga Rampai Psikologi, Kontribusi Psikologi dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, (Fakultas Psikologi Suska Riau, 2011), 6.

3
persidangan, pembinaan sampai dengan pemidanaan berlandaskan kajian
ilmiah (psikologis)3.
Psikologi hukum sebagai ilmu yang juga mempelajari tentang perilaku dan
proses mental manusia memiliki peran yang penting dalam fungsinya untuk
penegakan hukum pidana di Indonesia. Terutama aparat penegak hukum seperti
Polisi, Jaksa, Hakim, Petugas Lapas dan pihak-pihak yang terlibat yaitu saksi, pelaku
dan korban.20
Lahirnya psikologi dalam studi hukum karena tuntutan dan kebutuhannya bagi
praktek penegakan hukum, termasuk kepentingan pemeriksaan dimuka sidang
pengadilan. Berikut beberapa fungsi umum psikologi hukum dalam penegakan
hukum:
1) Memperkuat alat penegak hukum, misalnya bagaimana peranan intervensi
psikologis dalam meningkatkan kinerja polisi.
2) Menjelaskan kondisi psikis pelaku, korban dan saksi sehingga aparat penegak
hukum dapat mengambil keputusan yang tepat.
3) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi hukum yang berlaku.
Misalnya dengan membentuk masyarakat yang taat dan patuh hukum melalui
seminar, pengabdian masyarakat dan aktivitas yang berbasis kemasyarakatan4.
Dilihat dari proses atau tahapan penegakan hukum pidana, psikologi hukum
berperan dalam 4 tahap, yaitu:
a. Pencegahan.
b. Penanganan (pengungkapan lewat penyelidikan dan penyidikan).
c. Pemidanaan.
d. Penghukuman atau pemenjaraan.
1. Hukum Pidana Dan Problemnya
Secara doktrinal permasalahan pokok yang menjadi objek kajian hukum
pidana meliputi tindak pidana (criminal act), kesalahan atau
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility atau criminal liability),
pidana dan masalah korban. Tiga masalah pokok dalam hukum pidana yang
disebut pertama merupakan permasalahan pokok yang sudah lazim dikaji
dalam hukum pidana, sedangkan permasalahan pokok yang disebut terakhir

3
Abintoro Prakoso, Hukum dan Psikologi Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2014), 74-75.
4
Ibid, 75.

4
merupakan hal baru sebagai objek kajian hukum pidana dan mendapat
perhatian lebih dewasa ini5.
Sejalan dengan apa yang dikemukanan Tongat, dijelaskan lebih lanjut
alasan memasukkan masalah korban sebagai permasalahan pokok dalam
hukum pidana dilatarbelakangi pemikiran pertama, yaitu asumsi bahwa hak
korban (tindak pidana) sudah diambil alih oleh Negara dalam memberikan
reaksi atas terjadinya tindak pidana harus dipahami, bahwa dengan
pengambilalihan itu tidak berarti korban tidak mempunyai hak struktural sama
sekali dalam system peradilan pidana. Hak korban sepanjang tidak
menyangkut hak untuk melakukan pembalasan (kepada pelaku) tetap harus
diakui. Hak korban berkaitan dengan “penyelesaian” perkara, hak korban atas
restitusi dan kompensasi, dan hak-hak struktural yang lain dalam sistem
peradilan pidana harus dipandang sebagai bentuk perlakuan yang sama bagi
setiap orang dimuka hukum (equality before the law) sebagai prinsip dasar
yang diakui dan dijunjung tinggi dalam Negara hukum.
Kedua, studi-studi hukum pidana yang orientasinya hanya diarahkan
pada tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana telah menghasilkan
“kontruksi” pikir yang “bias” dalam memahami hukum pidana. Bias
pemahaman ini akan membawa konsekwensi secara praktis, dimana para ahli
hukum termasuk para penegak hukum (pidana) selalu mengesampingkan
“kepentingan” korban dalam setiap menyelesaikan perkara pidana.
Pemahaman demikian mempunyai implikasi terhadap frame berfikir bahwa
penjatuhan pidana terhadap pelaku (tindak pidana) akan digeneralisasikan
sebagai retribusi yang adil oleh korban. Korban selalu dianggap telah
memperoleh keadilan dengan telah dipidananya pelaku.
Ketiga, arah studi hukum pidana yang hanya berorientasi pada tiga
persoalan pokok seperti disebut di atas, membawa implikasi terabaikannya
masalah korban dalam perspektif hukum pidana, baik secara teoritis maupun
secara praktis. Secara teoritis, terabaikannya masalah korban dalam kajian
hukum pidana membawa implikasi serius terhadap teori-teori dalam hukum
pidana. Teori tentang alasan-alasan penghapus pidana misalnya, tak satupun

5
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009),
3.

5
yang memberi ruang pada korban. Oleh karenanya tidak ada saatupun teori
tentang alasan penghapus pidana yang menawarkan “permaafan” korban
sebagai alasan penghapus pidana. Padahal alasan demikian merupakan hal
yang sangat realistis dan jauh lebih menjanjikan dalam perspektif kebijakan
kriminal. Secara konseptual, tidak pernah diperkenalkan adanya alasan
penghapusan pidana dari korban, misalnya karena adanya pemberian maaf dari
korban dan keluarga. Padahal pendekatan terhadap korban dalam penyelesaian
perkara pidana seringkali menjadi alternative yang memuaskan baik bagi si
pelaku sendiri dan terlebih lagi bagi kepentingan korban.
Keempat, secara etis hukum pidana juga tidak boleh digunakan untuk
memidana perbuatan yang tidak jelas “korban” atau kerugiannya. Selain itu
etika penggunaan hukum pidana juga mengharuskan adanya “perhatian” pada
korban kejahatan. Bertolak dari etika yang demikian, maka timbulnya korban
merupakan dasar legitimasi untuk dapat digunakannya hukum pidana (sebagai
sarana politik kriminal). Oleh karenanya, menjadi demikian ironis apabila
kajian-kajian hukum pidana tidak memberikan ruang yang cukup terhadap
kajian tentang “korban”. Dengan etika yang demikian, kajian tentang “korban”
dalam hukum pidana menjadi sebuah keharusan.
Kelima, di negara-negara Anglo-saxon kajian tentang “kejahatan” dalam
hukum pidana meliputi juga kajian-kajian tentang korban. Di negara-negara ini
kajian tentang kejahatan yang didalamnya juga termasuk kajian tentang korban
menjadi bidang garap ilmu tentang kejahatan yang disebut “criminal science”.
Belajar dari negara-negara Anglo-saxon seperti dikemukakan di atas, tidak
keliru kiranya apabila kajian dalam hukum pidana Indonesia juga meliputi
kajian tentang persoalan-persoalan korban.
B. Aspek Psikologis Dalam Penegakan Hukum
Hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur
perilaku munusia. Agar hukum dapat ditegakkan, maka perlu kerjasama dan
keterlibatan semua pihak. Secara formal penegakan hukum melibatkan polisi, jaksa,
hakim, dan advokat. Namun selama ini penegakan hukum di Indonesia terkesan hanya
bersandar pada hakim, padahal tidak hanya dibeban pada hakim, tetapi termasuk
bagian tugas polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum yang sering

6
disebut dengan istilah “criminal justice system”6. Secara luas, penegakan hukum tidak
hanya bersandar pada aparat penegak hukum, tetapi seluruh elemen masyarakat harus
berkontribusi dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum merupakan kegiatan menyelaraskan hubungan nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawantah, dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaianan pergaulan hidup. Penegakan hukum (pidana) meliputi
dua hal, yaitu penegakan hukum bersifat abstrak dan penegakan hukum bersifat
konkrit. Penegakan hukum bersifat abstrak yaitu upaya penanggulangan kejahatan
melalui aturan aturan yang dibuat. Penegakan hukum yang bersifat konkrit yaitu
tindakan konkrit aparat penegak hukum dalam melaksanakan aturan yang telah
ditentukan7.
Masalah penegakan hukum merupakan salah satu masalah utama di Indonesia.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang atau peraturan yang mengatur kehidupan
masyarakat. Namun dalam aplikasinya terjadi perbedaan antara harapan dan realitas.
Banyak penegakan hukum yang melanggar prinsip-prinsip keadilan, dan kesetaran.
Menurut Raharjo dan Angkasa8, masalah penegakan hukum sangat kompleks, karena
melibatkan dimensi manusia. Misalkan hasil penelitian Raharjo dan Angkasa tentang
perilaku polisi dalam proses penegakan hukum. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa polisi masih sering menggunakan kekerasan dalam proses
penyidikan. Kekerasan dapat berupa fisik, psikis dan hukum.
Lembaga peradilan juga menjadi sorotan dalam penegakan hukum. Menurut
Sunarmi, ada tiga masalah utama di peradilan. Pertama, adalah lemahnya moral dan
profesionalisme. Kedua, adalah lemahnya budaya hukum masyarakat yang
menyangkut persepsi masyarakat terhadap pola penegakkan hukum. Ketiga, adalah
lemahnya kemandirian dan kebebasan hakim (lemahnya sistem peradilan). Selama ini
kecenderungan peradilan kita lebih mementinghkan kepastian hukum, sehingga
mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Keadilan yang muncul adalah keadilan yang
prosedural tidak keadilan subtantif. Indikatornya adalah banyak kasus-kasus hukum
yang mencedarai rasa keadilan masyarakat.

6
J. Ridwan, (2008). Perilaku hukum di pengadilan dalam mewujudkan penegakan hukum yang bermatabat.
Varia psikologi. Majalah hukum XXII, 272 h 32- 36.
7
M. Ali, (2008), Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas Hukum). Jurnal
Hukum, 2, (15), 223 – 238.
8
S. Rahardjo, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2006)

7
Beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu sebagai
berikut9:
1) Faktor hukum.
2) Faktor petugas yang mengakkan hukum.
3) Faktor warga yang terkena ruang lingkungan peraturan hukum.
4) Faktor kebudayaan.
5) Faktor sarana yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan hukum.
Tantangan dan hambatan penegakan hukum di Indonesia sangat besar.
Tantangan dan hambatan dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi hukum dan budaya, integritas dan kepribadian aparat penegak
hukum. Sementara faktor eksternal meliputi politik, ekonomi dan sosiologis. Interaksi
faktor personal dan lingkungan menentukan sukses dan gagalnya suatu penegakan
hukum. kita menyaksikan bahwa faktor ekonomi, politik dan perilaku aparat penegak
hukum menjadi hambatan terbesar dalam penegakan hukum di Indonesia.
Indikatornya adalah banyak kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat atau orang
penting terindikasi menggunkan uang dan kekuasaannya untuk mempengaruhi proses
penegakan hukum.
Sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia,
psikologi memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Peran
psikologi terutama pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lapas)
dan pihak-pihak yang terlibat (saksi, pelaku dan korban). Selain itu, psikologi juga
berperan pada sistem hukum dan warga yang terkena cakupan hukum. Ada beberapa
peran psikologi dalam penegakan hukum di Indonesia. Pertama, psikologi berperan
dalam memperkuat aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum. misalkan
bagaimana peranan intervensi psikologis dalam meningkatkan perfomance polisi.
Hasil penelitian Arnetz10 menunjukkan bahwa hasil pelatihan resiliensi dapat
meningkatkan performance polisi. Selain aparat penegak hukum, yang tidak kalah
penting adalah keluarga aparat penegak hukum. Kedua, psikologi berperan dalam
menjelaskan kondisi psikologis pelaku, korban dan saksi sehingga aparat penegak
hukum dapat mengambil keputusan dengan tepat. Ketiga, psikologi berperan dalam

9
J. Ridwan, (2008). Perilaku hukum di pengadilan dalam mewujudkan penegakan hukum yang bermatabat.
Varia psikologi. Majalah hukum XXII, 272 h 32- 36.
10
B. B. Arnetz, Dana C. Nevedal, D.C, Lumley, M.A , Lena Backman, L & Lublin, A (2009). Trauma
Resilience Training for Police: Psychophysiological and Performance Effects. Journal Police Criminal
Psychology , 24:1–9.

8
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mematuhi hukum yang berlaku. Misalkan,
psikologi dapat membantu polisi dalam membentuk masyarakat sadar dan taat aturan
melalui kegiatan seminar dan aktifitas yang berbasiskan masyarakat.
Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum, psikologi berperan dalam
empat tahap, yaitu:
a. Pencegahan (deterrent).
b. Penanganan (pengungkapan dan penyidikan).
c. Pemindanaan.
d. Pemenjaraan.
Pada tahap pencegahan, psikologi dapat membantu aparak penegak hukum
memberikan sosialisasi dan pengatahuan ilmiah kepada masyarakat bagaimana cara
mencegah tindakan kriminal. Misalkan, psikologi memberikan informasi mengenali
pola perilaku kriminal, dengan pemahaman tersebut diharapkan msyarakat mampu
mencegah perilaku kriminal.
Pada tahap penanganan, yaitu ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi
dapat membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga
polisi dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal profiling
dan geographical profiling. Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik
investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur,
tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan seting tempat
kejadian (scene). Geographical profiling yaitu suatu teknik investigasi yang menekan
pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan
kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat
tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan.
Pada tahap pemindanaan, psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi
psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pemindanaan)
sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif atau kondisi psikologis pelaku
kejahatan. Menurut Muladi dalam tujuan pemindanaan adalah memperbaiki kerusakan
individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana11. Ada beberapa teori yang
terkait dengan tujuan pemindanaan. Pertama, teori retributif (balas dendam), teori ini
mengatakan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya
di harus menerima hukuman yang setimpal. Kedua, teori relatif (tujuan), teori ini

11
Rizanizarli. (2008). Teori-teori Pemindanaan dan Perkembangan. Kanun, 33,177- 196.

9
bertujuan untuk mencegah orang melakukan perbuatan jahat. Teori ini sering disebut
dengan teori deterrence (pencegahan). Ada dua jenis teori relatif, yaitu teori
pencegahan dan teori penghambat. Teori pencegahan dibagi dua, yaitu pencegahan
umum, efek pencegahan sebelum tindak pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman
dan keteladanan, dan pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak pidana
dilakukan. Sementara teori penghambatan, yaitu bahwa pemindanaan bertujuan untuk
mengintimidasi mental pelaku agar pada masa datang tidak melakukannya lagi.
Ketiga, behavioristik, teori ini berfokus pda perilaku. Teori ini dibagi dua, yaitu
incapacitation theory, pemindanaan harus dilakukan agar pelaku tidak dapat berbuat
pidana lagi dan Rehabilitation theory, yaitu pemindanaan dilakukan untuk
memudahkan melakukan rehabilitasi.
Tahap terakhir adalah pemenjaraan. Pada tahap ini pelaku ditempatkan dalam
lembaga permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan mengalami
perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelaku
kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi tetap melakukan
tindakan kejahatan kembali bahkan secara kuantitas dan kualitas tindakan
kejahatannya lebih berat daripada sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi proses
pembelajaran sosial ketika di LP. Dalam konsep psikologi, LP haruslah menjadi
tempat rehabilitasi para pelaku kejahatan. Idealnya terjadi perubahan perilaku dan
psikologis narapidana sehingga setelah keluar dapat menjadi orang yang berperilaku
baik dan berguna bagi masyarakat. Ada beberapa konsep psikoloogi yang dapat
ditawarkan dalam perubahan perilaku narapidana di LP. Pertama, berorentasi
personal, yaitu dengan cara terapi individual atau kelompok, misalkan terapi kogniif.
Kedua, berorentasi lingkungan, dengan menciptakan lingkungan fisik LP yang
mendukung perubahan perilaku narapidana, misalkan jumlah narapidana sesuai
dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak terjadi kepadatan dan kesesakan yang
berpotensi menimbulkan perilaku agresif narapidana.
1. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Upaya Penegakan
Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya normanorma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

10
bermasyarakat dan bernegara12. Membicarakan penegakan hukum pidana tidak
hanya mengenai penerapan aturan-aturan yang berlaku, namun juga mengenai
apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika
yang ada dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam menangani
masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi di dalam
masyarakat dapat dilakukan upaya preventif atau tanpa menggunakan hukum
pidana yang lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya
kejahatan dan represif atau hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada
pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum
pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Upaya
represif ini dilakukan apabila upaya preventif tidak berhasil.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu13:
1) Faktor undang-undang, yakni gangguan yang berasal dari undang-
undang mungkin.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegekan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5) Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2. Pelaksana Utama Upaya Penegakan Hukum
Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain tergantung pada
kesadaran hukum masyarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat
penegak hukum, oleh karena sering terjadi beberapa peraturan hukum tidak
dapat terlaksana dengan baik oleh karena ada beberapa oknum penegak hukum
yang tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagai mana mestinya. Hal
tersebut disebabkan pelaksanaan oleh penegak hukum itu sendiri yang tidak
sesuai dan merupakan contoh buruk dan dapat menurunkan citra. Selain itu
teladan baik dan integritas dan moralitas aparat penegak hukum mutlak harus
baik, karena mereka sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktik suap dan

12
T. Subarsyah Sumadikira, Penegakan Hukum (Sebuah Pendekatan Politik Hukum Politik Kriminal),
(Bandung: Kencana Utama, 2010), 1.
13
Soerjono Sukanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), 8.

11
penyelahgunaan wewenang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan,
proses penuntutan dan putusan yang dijatuhkan.
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegak hukum itu
dijalankan oleh komponen Yudikatif dan dilaksanakan oleh Birokrasi,
sehingga sering disebut juga Birokrasi penegakan hukum. Eksekutif dengan
Birokrasinya merupakan bagian dari bagian dari mata rantai untuk
mewujudkan rencana yang tercantum dalam (peraturan) hukum. Kebebasan
peradilan merupakan essensilia daripada suatu negara hukum saat ini sudah
terwujud dimana kekuasaan Kehakiman adalah merdeka yang bebas dari
pengaruh unsur eksekutif, legislatif. Serta kebebasan peradilan ikut
menentukan kehidupan bernegara dan tegak tidaknya prinsip Rule of Law.

12
BAB III
KESIMPULAN

Psikologi hukum sebagai disiplin ilmu tentang perilaku dan kejiwaan manusia
berusaha untuk berkontribusi dalam usaha penegakan hukum yang berbentuk
memberikan pengetahuan dan intervensi psikologis yang berguna dalam proses
penegakan hukum. Indikator penegakan hukum yang baik dalam perspektif psikologis
adalah adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik setelah menerima atau
menjalani proses rehabilitasi dalam lembaga permasyarakatan.
Hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur
perilaku munusia. Agar hukum dapat ditegakkan, maka perlu kerjasama dan
keterlibatan semua pihak. Secara formal penegakan hukum melibatkan polisi, jaksa,
hakim, dan advokat. Namun selama ini penegakan hukum di Indonesia terkesan hanya
bersandar pada hakim, padahal tidak hanya dibeban pada hakim, tetapi termasuk
bagian tugas polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum yang sering
disebut dengan istilah “criminal justice system”. Secara luas, penegakan hukum tidak
hanya bersandar pada aparat penegak hukum, tetapi seluruh elemen masyarakat harus
berkontribusi dalam penegakan hukum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Prakoso, Abintoro. Hukum dan Psikologi Hukum. Yogyakarta: Laksbang Grafika,


2014.

Agung, Ivan Muhammad. Bunga Rampai Psikologi, Kontribusi Psikologi dalam


Penegakan Hukum di Indonesia. Fakultas Psikologi Suska Riau, 2011.

Prakoso, Abintoro. Hukum dan Psikologi Hukum. Yogyakarta: Laksbang Grafika,


2014.

Tongat. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan.


Malang: UMM Press, 2009.

Ridwan, J. (2008). Perilaku hukum di pengadilan dalam mewujudkan penegakan


hukum yang bermatabat. Varia psikologi. Majalah hukum XXII, 272.

Ali, M. (2008), Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis


Ekonomi Atas Hukum). Jurnal Hukum, 2, (15).

Rahardjo, S. Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2006.

Arnetz, B. B. Dana C. Nevedal, D.C, Lumley, M.A , Lena Backman, L & Lublin, A
(2009). Trauma Resilience Training for Police: Psychophysiological and
Performance Effects. Journal Police Criminal Psychology , 24:1–9.

Rizanizarli. (2008). Teori-teori Pemindanaan dan Perkembangan. Kanun, 33,177-


196.

Sumadikira, T. Subarsyah. Penegakan Hukum (Sebuah Pendekatan Politik Hukum


Politik Kriminal). Bandung: Kencana Utama, 2010.

Sukanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:


Raja Grafindo, 2005.

14

Anda mungkin juga menyukai