Anda di halaman 1dari 15

KEPATUHAN

TERHADAP NORMA
HUKUM
PEMBENARAN MORAL
Hal mendasar yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran
moral, adalah persoalan yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang dapat
hidup dengan cara yang baik setiap saat. Ketika seseorang melihat tindakan moral dalam
konteks produk dari sebuah perilaku, maka dalam hal ini ia melihat pembenaran moral dalam
konsekuensi sebuah tindakan. Mereka dalam hal ini melihat bahwa tidak ada suatu yang
bernilai baik akan melahirkan kejahatan dan atau sebaliknya bahwa tidak akan ada suatu
yang bernilai jahat akan melahirkan kebaikan. Sebaliknya, bagi mereka yang berkeyakinan
bahwa perilaku moral dapat dilihat dari nilai-nilai yang ada pada proses dengan mengatakan
jika suatu tindakan dilalui dengan penuh pertimbangan dan prosedural maka akan melahirkan
produk moral. Sebaliknya, jika tidak sebuah tindakan tidak melalui proses dan prosedur moral
maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam berperilaku, sehingga dengan
demikian moralitas selalu tampil dalam berbagai sendi, baik dalam proses maupun dalam
produk. Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat perkembangan sosialnya,
intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang berkembang.
TANGGUNG JAWAB SEBAGAI
LAMBANG KEBEBASAN
KEBEBASAN DAN KEPATUHAN
AJARAN AGAMA
Mengingat kebaikan dan kebajikan moral selalu memiliki hubungan yang signifikan
dengan upaya manusia dalam memfungsikan akal pikirannya dalam hubungannya
dengan unsur kehendak-kehendak dan kesadaran dirinya, sedangkan kualitas akal
manusia itu sendiri berbeda-beda, maka tentulah akan membawa pula pada
perbedaan dalam penetapan nilai moral. Konsekuensinya, tindakan moral erat
kaitannya dengan kualitas diri seorang individu yang tidak mungkin terlepas dari situasi
dan kondisi masyarakat yang mengitarinya, sehingga menjadikan nilai moralitas pun
bersifat relatif subjektif.
kepatuhan terhadap nilai-nilai moral dalam hal ini adalah lambang atau bukti nyata
bahwa seseorang itu bertanggung jawab atas hasil pilihannya. Lebih tegas lagi dapat
dikatakan bahwa semakin patuh seseorang itu pada nilai-nilai moral yang telah ia
yakini benar maka semakin mampu ia membuktikan bahwa nilai-nilai moralnya
didasarkan pada pertimbangan bebasnya. Tidak ada unsur-unsur kepentingan lain
yang telah memaksanya untuk mengambil keputusan moral untuk dirinya.
KEBEBASAN EGOISME VIS-À-VIS ALTRUISME
DALAM MORAL
Kendatipun mereka mengakui individualitas dalam moral, namun tidak dapat sepenuhnya
digolongkan pada kelompok etika egoisme, karena memang konsep keadilan sebagai puncak
kebaikan dan kebajikan moral yang dikemukakan mereka tidak lain adalah sebagai
manifestasi dari perwujudan sikap hidup seseorang dalam menghadapi orang lain di luar
dirinya. Meskipun Ibn Miskawaih dan kebanyakan filsuf Muslim lainnya seperti Ibn Sina,
Raghib al-Isfahani dan al-Ghazali yang menjadikan keadilan sebagai kebaikan dan kebajikan
tertinggi dalam teori etikanya, namun apabila dianalisis lebih lanjut, ide keadilan yang
ditampilkan mereka ini pun juga tidak terlepas dari kebajikan pribadi dalam kaitannya dengan
Yang Maha Kuasa. Yang di utamakan di sini adalah hubungan pribadi dengan Pencipta,
bukan bagaimana kaitannya dengan kebajikan orang lain di luar dirinya. Nilai baik dalam
konteks teori etika mereka ini terkesan kurang menyadari akan adanya eksistensi orang lain
selain diri individu dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, karena semua tindakan moral
selalu berorientasi pada kepentingan individu itu sendiri. Hubungan antar manusiapun adalah
dalam rangka peningkatan kualitas relasi pribadi bukan kolektif.
PERKEMBANGAN MORAL REMAJA
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang
tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh
kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja
adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya
dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan
sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman
seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku
umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi
sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, sekarang
remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya
menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus
dilakukan oleh remaja yaitu:

Pandangan moral individu Keyakinan moral lebih berpusat Penilaian moral menjadi semakin
semakin lama semakin menjadi pada apa yang benar dan kurang kognitif.
lebih abstrak dan kurang konkret. pada apa yang salah. Keadilan
muncul sebagai kekuatan moral
yang dominan.

Penilaian moral menjadi kurang Penilaian moral secara


egosentris. psikologis menjadi lebih mahal
dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan
menimbulkan ketegangan
psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa
yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam
kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan
semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan
mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau
proporsi. Jadi, ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi
dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai
dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moralitas
pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja, tahap ini
merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari
dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada
kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya
perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan
anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua
individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di
internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri
daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada
rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang
bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

Merumuskan konsep moral


yang baru dikembangkan ke
dalam kode moral sebagai
kode prilaku.

Mengganti konsep moral Melakukan pengendalian


khusus dengan konsep moral terhadap perilaku sendiri.
umum.
TAHAPAN-TAHAPAN PERKEMBANGAN
MORAL PADA REMAJA
Lawrence Kohlberg juga menekankan bahwa cara berpikir anak tentang moral berkembang
dalam beberapa tahapan. Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan penalaran tentang moral
dan setiap tingkatannya memiliki 2 (dua) tahapan, yaitu:

Moralitas Moralitas Konvensional


Prakonvensional Pada tahapan ini, individu
Penalaran memberlakukan standar
prakonvensional adalah tertentu, tetapi standar ini
tingkatan terendah dari ditetapkan oleh orang lain
penalaran moral, pada
tingkat ini baik dan buruk
diinterpretasikan melalui
reward (imbalan) dan
punishment (hukuman)
eksternal.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERKEMBANGAN MORAL REMAJA
Moralitas adalah aturan nilai-nilai tentang apa yang harus dilakukan dalam interaksinya
dengan orang lain. Ditemukan berbagai faktor yang mempengaruhi moralitas, yaitu
pendidikan agama Islam, interaksi sosial dan pola pengasuhan. Sesuai dengan pendapat
Ali dan Asrori, yang menyatakan bahwa lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina asih
dan religius juga dapat diharapkan berkembang menjadi moralitas yang tinggi.
Menurut Santrock, berbicara secara bergantian yang terjadi pada negosiasi orangtua-remaja
menggambarkan hubungan orang tua-remaja yang bersifat timbal balik dan sesuai. Orang tua
yang bersedia terlibat dalam percakapan dan mendorong anak-anaknya untuk membicarakan
hal-hal yang berkaitan nilai akan membuat anak-anaknya memiliki pemikiran moral yang lebih
tinggi. Sayangnya kebanyakan orang tua tidak memberikan anak-anaknya kesempatan
mengambil peran seperti ini.
MASALAH-MASALAH YANG
TIMBUL
Titik tolak kepribadian remaja adalah iman atau keyakinan, dan kemudian diperkuat oleh pengetahuan dan pemahanan
agama agar dapat melaksanakan dengan benar sesuai dengan ketentuan sebagai penjabaran ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Taqwa berarti penyerahan dan kepatuhann terhadap semua perintah atas dasar rasa ketergantungan.
Masa remaja adalah masa transisi dan secara psikologis sangat problematis. Masa ini memungkinkan mereka berada
dalam “anomi”, keadaan tanpa norma maupun orientasi mendua. Dalam keadaan demikian sering muncul perilaku
penyimpangan atau kecenderungan malakukan pelanggaran. Anomi muncul akibat keanekaragaman dan kekaburan
norma. Misalnya, norma yang ditanamkan dalam keluarga bertentangan dalam norma yang diskusikan di luar lingkungan
keluarga. Generasi remaja ini akan merupakan generasi konflik. Disatu sisi ada larangan (keluarga) tetapi disisi lain
mereka melihat yang yang dijadikan larangan diperbolehkan (teman sebaya). Dalam keadan bingung inilah mereka
berusaha mencari pegangan norma lain yang bisa mengisi kekosongan tersebut. Kesempatan yang memberi peluang
pada penyimpangan dan pelanggaran akibat kesalahan pegangan. Adapun mengenai orientasi mendua, adalah orientasi
yang bertumpu pada harapan orang tua, masyarakat dan bangsa, yang sering bertentangan dengan keterikatan serta
loyalitas terhadap kawan sebaya, apakan itu di lingkungan belajar (sekolah) atau di luar sekolah. Kondisi bimbang yang
dialami remaja ini menyebabkan mereka melahap semua informasi tanpa seleksi. Dengan demikian mereka adalah
kelompok potensial yang mudah dipengaruhi media manapun bentuknya.Keadaan bimbang akibat orientasi mendua juga
sering menyebabkan remaja berbuat hal-hal yang sifatnya nekat. Hal ini antara lain akibat dari pertentangan nilai antara
kawan sebaya dengan pola asuh dan pendidikan keluarga.
IMPLIKASI PROSES PERKEMBANGAN MORAL
REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN
Melihat dan memperhatikan fenomena dan kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus maka Pendidikan
Nilai Moral perlu ditanamkan sejak usia dini dan harus dikelola secara serius. Dilaksanakan dengan
perencanaan yang matang dan program yang berkualitas. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik, niscaya
generasi penerus akan memiliki moral yang baik, akhlaq mulia, budi pekerti yang luhur, empati, dan
tanggungjawab. Sehingga yang kita saksikan bukan lagi kekerasan dan tawuran, melainkan saling membantu,
menolong sesama, saling menyayangi, rasa empati, jujur dan tidak korupsi, serta tanggungjawab. Jangankan
memukul atau membunuh, sedangkan mengejek, mengeluarkan kata-kata kotor dan menghina teman pun
tidak boleh karena dinilai sebagai melanggar nilai-nilai moral.
Dalam hal ini pendidikan moral haruslah di tanamkan sejak usia dini pada anak salah satunya adalah untuk
mencegah anak dari tindakan-tindakan menyimpang dan kenakalan remaja saat anak beranjak dewasa. Agar
mampu memahami dan memberikan solusi terhadap kenakalan remaja yang sudah terjadi sekolah mengajak
siswa juga ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan berbasis siswa atau yang dikelola oleh siswa sendiri. Demikian
juga perorganisasian dalam sebuah pendidikan sangat berpengaruh pembentukan tempat atau sistem dalam
rangka melakukan kegiatan kependidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Karena pada
dasarnya pendidikan itu adalah sebuah organisasi yang harus dikelola sedemikian rupa agar aktivitas
pelaksanaan program pendidikan dapat berjalan secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Karena organisasi itu sendiri merupakan pembentukan sebuah wadah atau sistem dan
penyusunan anggota dalam bentuk struktur organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
PERKEMBANGAN PENGHAYATAN
KEAGAMAAN REMAJA
Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1. Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut: Pertama; Sikap
negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan
orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras
dengan perbuatannya. Kedua; Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak
membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain. Ketiga; Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan)
sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan
kepatuhan.
2. Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini: Pertama;Sikap kembali, pada
umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi
pegangan hidupnya menjelanh dewasa. Kedua; Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam
konteks agama yang dianut dan dipilihnya. Ketiga; Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui
proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan
manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran
paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup
didunia ini.

Anda mungkin juga menyukai