Kohlberg memulai karir ilmiahnya sebagai peneliti dalam bidang psikologi empiris,
namun sejak awal niatnya sudah terpusat dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, Kohlberg
pernah mengatakan, ”dorongan saya untuk menulis sesuatu pertama-tama bersifat pedagogis,
pendidikanlah yang merupakan praksis pokok, untuknya psikologi menjadi relevan.” Sesuai
dengan teori perkembangan moral yang dikemukakannya, pendekatan Kohlberg dalam
pendidikan moral disebut pendekatan kognitif-developmental. Asumsi dasar dari pendekatan
model tersebutmadalah:
Dalam kaitan dengan pendidikan moral, Kohlberg menawarkan metode diskusi ala
Socrates yang membahas tentang isu-isu moral. Dalam metode tersebut guru menawarkan
permasalahan moral untuk dibahas oleh siswa melalui metode diskusi. Siswa diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk melihat dan menganalisis permasalahan moral dari perspektif dirinya,
kepentingannya, norma dan nilai di masyarakat, dan lain-lain.
Pada akhirnya siswa harus menentukan keputusan apa yang akan diambil oleh siswa.
Apabila Kohlberg menawarkan isu moral fiktif, maka untuk konteks bangsa Indonesia perlu
dikemukakan isu-isu moral kontemporer yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini yang perlu ditekankan adalah anak memiliki pengalaman yang beranekaragam
dalam masalah sosial. Anak juga harus dihadapkan pada permasalahan moral dengan sudut
pandang yang berbeda. Dengan demikian beragamnya permasalahan moral, beragamnya sudut
pandang dalam memecahkan masalah moral akan merangsang perkembangan moral anak
menuju ke tahap yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan hal tersebut tersebut, barangkali perlu dicatat gagasan Paulo Freire
tentang pendidikan hadap masalah. Dalam hal ini Freire berpendapat bahwa pengintegrasian
realitas sosial dalam Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam membebaskan diri dari
masalahmasalah. Integrasi biasanya muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
realitas, kemudian ditambah dengan kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah
realitas.
Nilai-nilai dari kehidupan manusia yang oleh Kohlberg dipercaya sebagai nilai-nilai
universal bagi seluruh manusia adalah: hukum dan aturan (law and rules), hati nurani
(conscience), kasih sayang (personal roles of affection), kewibawaan (authority), keadilan (civil
right), perjanjian, kepercayaan, dan keadilan (contract, trust, and justice exchange), hukuman
(punishment), nilai-nilai hidup (the value of life) hak milik (property right and values), dan
kebenaran (truth).
Bagi Kohlberg, prinsip yang paling inti bagi perkembangan pertimbangan moral dalam
pendidikan adalah keadilan. Keadilan, penghargaan utama terhadap nilai dan persamaan derajat,
merupakan tolok ukur yang mendasar dan universal. Penggunaan keadilan sebagai prinsip,
menjamin kebebasan dalam berkeyakinan, menggunakan konsep moralitas yang dapat
dibenarkan secara filosofis dan didasarkan atas fakta psikologis dari perkembangan manusia.
Pendidikan Moral
Kohlberg sependapat dengan Piaget yang menyatakan bahwa sikap moral bukan hasil
dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman, tetapi tahap-tahap perkembangan
moral terjadi dari aktifitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui
interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki corak khusus, dimana faktor pribadi yaitu aktifitas-
aktifitas anak ikut berperan.
Orang tua memiliki kewajiban memberikan kesempatan untuk pengambilan peran dan
mengalami konflik kognitif, namun mereka menyediakan peran primer dalam perkembangan
moral bagi kawan-kawanya. Hal ini membuktikan bahwa orang tua dan teman sebaya memiliki
pengaruh yang besar terahadap perkembangan moral anak.
Pendidikan moral kognitif merupakan sebuah konsep yang didasarkan pada keyakinan
bahwa para siswa sebaiknya belajar menghargai nilai-nilai seperti demokrasi dan keadilan
seiring dengan perkembangan penalaran moral mereka. Pendidikan moral Kohlberg telah
menjadi dasar bagi pendidikan moral kognitif. Pendidikan moral ini memiliki tujuan agar siswa
memiliki kepercayaan dan mampu mengembangkan gagasan-gagasan yang lebih tinggi.
a. Pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama dikelas tidak memengaruhi perbaikan
perilaku moral.
b. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai, yakni pengajaran tentang
aturan-aturan berperilaku benar dan baik disekolah sedikit berpengaruh terhadap pembentukan
moral sebagaimana yang dikehendaki.
Menurut Kohlberg dalam Nina Syam (2011:94) temuan penelitian Hartshorne dan May
dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan moral disekolah tidak efektif. Ketidakefektifan itu
disebabkan oleh karakter moral telah dibentuk lebih awal dirumah karena pengaruh orang tua.
Karakter moral juga dianggap sebagai sesuatu yang tidak tetap dan merupakan emosi mendalam
yang keberadaannya tidak konsisten. Seseorang berperilaku amoral lebih disebabkan oleh faktor-
faktor situasional dan bukan merupakan hasil pemikiran yang didasarkan atas perkembangan
moral.
Sedangkan menurut Frankena dalam Nina Syam (2011:96) perilaku amoral bukan
merupakan refleksi dari pengalaman pendidikan yang berpusat pada nilai-nilai moral yang
diajarkan. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa pendidikan moral selama dekade tersebut
dinyatakan kurang berhasil, bahkan dianggap gagal, yaitu karena kurang mengikutsertakan faktor
kognitif. Perilaku moral dianggap sebagai sesuatu yang ditentukan oleh kecenderungan bertindak
yang dimotivasi oleh sifat perilaku dan kebiasaan. Artinya, perilaku moral bukan merupakan
hasil pertimbangan moral yang berpijak pada konsep nilai kemanusiaan dan keadilan .
Sebaliknya, pandangan yang beranggapan bahwa pilihan perilaku moral pada hakikatnya
bersifat rasional sebagai respon yang bersumber dan diturunkan dari pemahaman serta penalaran
berdasarkan tujuan kemanusiaan dan keadilan, disebut pandangan baru.
Menurut Dewey dalam Nina Syam (2011:3) menyatakan bahwa ciri utama pendidikan
moral berdasarkan pandangan baru tersebut pendidikannya menggunakan pendekatan
perkembangan kognitif. Disebut kognitif, karena menghargai pendidikan moral sebagai
pendidikan intelektual yang mengusahakan timbulnya berpikir aktif dalam menghadapi isu-isu
moral dan dalam menetapkan suatu keputusan moral. Disebut perkembangan, karena tujuan
pendidikan moral untuk mengembangkan tingkat pertimbangan moral sesuai dengan tahap-tahap
yang telah ditentukan.
Tingkat perkembangan moral dalam kajian ini dijadikan variabel pengukur perolehan
belajar siswa karena perilaku moral dianggap sebagai hasil berpikir yang merupakan refleksi dan
pengalaman belajar seseorang.
Konsekuensi dari pandangan rasional adalah bahwa suatu perilaku moral dianggap tidak
memiliki nilai moral apabila perilaku itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan sendiri secara
sadar sebagai implikasi pemahaman dari nilai-nilai yang dipelajari sebelumnya. Artinya, betapa
bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, apabila tindakan itu tidak
disertai dan didasarkan pada perkembangan moral maka tindakan itu belum dapat dikatakan
sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral.
Suatu perilaku moral dianggap bernilai moral jika perilaku itu dilakukan secara sadar atas
kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran moral yang bersifat otonom. (Frankena dalam
Nina Syam, 2011:98)
Dengan demikian dapat disimpulkan, perilaku moral dapat dikatan bermoral jika perilaku
tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri sebagai hasil berpikir yang merupakan
refleksi dan pengalaman belajar seseorang. (BAB21413173047.PDF)halaman 11-13
Adapun gagasan Émile Durkheim tentang pendidikan difokuskan pada pendidikan moral
yang rasional, bukan pendidikan yang didasarkan pada agama dan wahyu. Secara ekslusif,
pendidikan bersandar pada gagasan, senti-men, dan praktikpraktik berdasarkan perhitungan nalar
semata. Dengan demikian, pendidikan rasional murni menjadi titik penekanannya. Bagi
Dukheim, moralitas merupakan fakta sosial yang khas yang dalam semua bentuknya tidak dapat
hidup kecuali dalam struktur masyarakat. Teori Durkheim tentang moral murni berlandaskan
masyarakat. Bagi Durkheim, masyarakat adalah tujuan dari semua tindakan moral. Semua
tindakan moral adalah suatu sistem aturan-aturan perilaku, tetapi tidak sebaliknya, semua aturan
perilaku bersidat moral.
Materi pendidikan moral menurut Émile Durkheim bukanlah suatu materi yang harus
dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini merupakan kurikulum
tersembunyi. Oleh karena itu, setiap guru harus memberikan contoh yang baik kepada peserta
didik, baik dari aspek tingkah laku, pengetahuan, saling menghormati dan lain sebagainya. Di
dalam sebuah instansi pendidikan, tanggung jawab pokok dalam pembentukan moral tidaklah
terletak pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar. Dalam hal ini, kurikulum Émile
Durkheim berbasis sosioligis yang bersifat faktual. Adapun syarat pendidik moral menurut Émile
Durkheim adalah sebagai profesinalisme dan seorang guru dituntut memiliki kompetensi yang
tinggi karena seorang guru akan menjadi idola dalam manyarakat yang patut dicontoh.
Terkait metode pendidikan moral menurut Émile Durkheim sependa-pat dengan al-Gazali
bahwa metode pendidikan moral yaitu kedisiplinan (pembiasaan), dan keteladanan. Namun,
Émile Durkheim memasukkan meto-de hukuman dalam meningkatkan moralitas. Berbeda
dengannya, al-Gazali mempunyai metode penyucian jiwa sebagai metode pendidikan moral.
(14697-ID-konsep-pendidikan-moral-menurut-al-Gazal.Pdf)halaman 75-77)
Konsep pendidikan moral yang digagas Said Nursi dalam karyanya, Rasail Nur memuat
serangkaian nilai dan pemikiran yang mencoba memadukan nilai akhlak pada diri seseorang dan
identitas diri sesuai fitrahnya. Ada dua jalan untuk memadukan kedunya, pertama, memahami
makna sejati kehidupan ini dan kedua, berperilaku mulia.
Memahami makna sejati kehidupan ini ditegaskan Said Nursi dalam bukunya, alhayah,
kehidupan adalah nama di antara nama Allah yang agung, al-Hayyu, Al-Muhyi. Keberadannya
dalam kehidupan ini sangat penting, dan menentukan hasil, bukti yang terang. Memahami arti
kehidupan akan menuntun manusia mencapai kesempurnaan, yaitu menjadi orang yang
‘berilmu.’ Selaras dengan tugas manusia datang ke dunia ini, yaitu untuk menyerpurnakan
pengetahuan yang dimilikinya dan untuk memohon dan berdoa kepada penciptanya. Dan sumber
semua itu adalah mengenal Allah, dan sumber mengenal Allah adalah dengan cara mengimani-
Nya.
Berperilaku mulia, adalah cermin level kualitas agama seseorang. Ia adalah kunci
kemenangan seseorang dalam segala zaman. Said Nursi berpesan kepada anak bangsanya,..
wahai anak bangsaku, janganlah kalian memaknai kebebesan dengan arti yang salah…sungguh
kebebasan akan berkembang asalkan diatur dengan hukum syariat dan adab, serta perilaku mulia.
(Syahwan, 2012)
Konsep moral dalam karya Said Nursi, seperti dipaparkan Dr. Adib Ibrahim Ad-Dibagh
mencakup:
Keindahan dan keagungan adalah sepasang mata uang yang tidak terpisah, keindahan
adalah keagungan, demikian juga sebaliknya. Keindahan dan keagungan yang tertancap pada diri
seorang mukmin akan mampu membentuk jati dirinya dan bisa menjaganya dari segala yang
menyakitinya. Dua sifat inilah yang dimiliki para tokoh-tokoh awal Islam dalam menciptakan
peradaban yang gemilang. Keindahan dan keagungan dalam hati, jiwa, dan pikiran seseorang
akan membuat dirinya sebagai sosok yang pemberani dan hero.
Pendidikan moral inilah yang diajarkan oleh Said Nursi kepada murid-muridnya. Laku
dan perilaku mereka mencerminkan perpaduan antara jiwa keindahan dan jiwa keagungan.
Begitu tampak perilaku mereka seperti anak-anak, itu bukan wujud dari kelamahan dan
kerendahdirian mereka, tetapi justru karena kualitas iman yang menyelimuti jiwa mereka.
Kadang, terlihat murid-muridnya, begitu welas asih, itu bukan karena kerendahan diri, tetapi
karena kemuliaan yang dimiliki, murni mengharap rida ilahi.
Jika mereka merasa bersalah, tidak malu mereka tempelkan pipi mereka di tanah,
sebagai tanda penyelasan. Kami ulangi lagi, itu bukan karena kerendahan diri, tetapi semata
perasaan tawadhu’ yang mereka miliki.
Perangai seperti inilah yang dimiliki Nabi Muhammad SAW., yaitu memadukan
kesempurnaan fisik dan kejernihan hati. Itulah modal beliau dalam mendidik para sahabat
sekaligus sebagai murid-muridnya. Bekal beliau dalam mendakwahkan Islam kepada kaumnya
dan umat seluruh alam.
Pendidikan batin ini, mungkin hal yang tersulit yang dihadapi seorang pendidik. Nursi
begitu bersemangat melatih batin murid-muridnya, melalui program, Wujdan Thalib An-Nur,
dengan cara menaburkan benih keindahan dan keagungan dalam diri mereka.
Penyakit batin, seperti ego merupakan sikap mementingkan diri sendiri, mengabaikan
kepentingan orang lain, dan menyimpang dari petunjuk Tuhan. Ego adalah penyakit yang
membuat gelisah dan gundah seseorang. Satu-satunya cara membuang penyakit batin, seperti ego
adalah dengan menanamkan cinta dan kasih sayang. Buang prasangka negatif dan ganti dengan
mengembangkan sikap positif.
Jika peserta didik telah mampu mengendalikan batin, ego dan sentimen diri, maka akan
jernih pikirannya, tajam instuisinya, mudah memaafkan, mudah memaafkan orang lain, memiliki
empati kepada orang lain.
Nursi tidak menolak bahwa ilmu pengetahuan telah mengantarkan kemajuan sedemikian
rupa. Akan tetapi, dia sama sekali tidak akan bisa menjadi pengganti ajaran agama, sisi rohani
agama, dan ketenangan seperti yang diberikan oleh agama. Terbukti, kemajuan negara Barat
dalam bidang materi, berakhir dengan krisis moral yang begitu akut, yang olehnya digambarkan
dengan, “kemajuan itu telah membuat kerusakan yang belum pernah terjadi pada umat-umat
terdahulu.”
Erat kaitan antara iman dan ilmu pengetahuan, hingga Albert Einstein pun menegaskan
bahwa ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh. Al-Qur’an, pun menegaskan bahwa
Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
berilmu beberapa derajat. (QS Al-Mujadalah: 11)