Anda di halaman 1dari 56

KASUS KONSULTASI PSIKIATRI

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH


PADA BAGIAN OBSTETRI GYNEKOLOGI, BEDAH,
REHABILITASI MEDIK, KARDIOLOGI DAN
KEDOKTERAN VASKULER

Penulis:

dr.Ida Aju Kusuma Wardani, SpKJ.MARS

DIVISI CONSULTATION LIAISON-PSYCHIATRY


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANA
2017
DAFTAR ISI

Daftar Isi.............................................................................................................. ii

DaftarTabel ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 4

2.1 Definisi........................................................................................... 4

2.2 Kompetensi Konsultan Psikiatri .................................................... 4

2.3 HarapandariDokter Lain ................................................................ 5

2.4 Proses Konsultasi ........................................................................... 8

2.5 Masalah yang MembawakepadaPermintaanuntuk CLP

dalamPelayananMedis/

Bedah 9

BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 12

3.1 CL Psikiatri pada Bagian Obstetri dan Gynekologi ....................... 12

3.2 CL Psikiatri pada Bagian Bedah Trauma ...................................... 21

3.3 CL Psikaitri pada Bagian Rehabilitasi Medik................................ 32

3.4 CL Psikiatri pada Bagian Kardiologi dan Penyakit Vaskuler ........ 41

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 54

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikiater Consultation Liaison (CL) merupakan dokter ahli dalam menghubungkan

tim-tim yang berkerja untuk pasien dirumah sakit. Psikiater Liaison bertugas untuk

menjembatani kasus yang kompleks dan berinteraksi dengan tim dokter,

keperawatan, layanan penungjang, pasien dan anggota keluarga pasien. Psikiater

disini menilai interaksi kondisi medic, psikiatri, gejala psikiatri dan memberikan

rekomendasi perawatan. Sesuai dengan namanya consultation liaison, komunikasi

merupakan elemen penting dalam proses konsultasi. Komunikasi yang baik dapat

meningkatkan keefektifitasan proses konsultasi serta memastikan intervensi yang

akurat, tepat waktu dan memberikan kemungkinan jenis penanganan lain yang

mungkin lebih baik.(Leigh,2015)

Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak. Tidak hanya oleh

orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh

anggota masyarakat. Adapun yang dimaksudkan dengan sehat disini ialah keadaan

sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup

produktif secara sosial dan ekonomi(Prasetyawati, 2010).

Pada tahun 1977 George Engel memperkenalkan suatu konsep baru dalam

penanganan gangguan medis yaitu konsep biopsikososial. Konsep biopsikososial

adalah suatu konsep yang melibatkan interaksi antara faktor biologi, psikologis, dan

sosial dalam upaya memahami proses penyakit dan sakitnya seseorang yang

1
memandang pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan. Pendekatan tersebut tidak

hanya membawa pengertian bahwa kondisi sakit bukan saja segi medis fisik tetapi

juga dari kondisi psikologis yang dipengaruhi faktor lingkungan (Andri, 2011).

Berdasarkan kepentingan masyarakat yang lebih diutamakan bukanlah status dokter

yang menyelenggarakan pelayanan, melainkan pelayanan kedokteran yang

diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu serta berkesinambungan

(Prasetyawati, 2010). Pendekatan ini dapat kita lihat pada Consultation-Liaison

Psychiatry (CLP), suatu perkembangan lebih lanjut dari psikiatri klinik yang

merupakan subspesialisasi dalam psikiatri yang menginkorporasikan pelayanan

klinis, pengajaran, dan penelitian pada perbatasan antara psikiatri dengan

kedokteran(Syamsulhadi, 2012).

Istilah Psychosomatic Medicine sebagai subspesialisasi yang sebelum tahun 2003

disebut sebagai CL-psychiatry hanya digunakan di Amerika Serikat. Walaupun

pada kenyataan di lapangan terutama di Amerika Serikat, penggunaan istilah

Consultation-Liaison Psychiatry dan Psychosomatic Medicine seringkali dipakai

secara berkebalikan dan bergantian dengan makna yang sama. Namun secara

formal, semua buku teks yang sebelumnya berjudul Consultation-Liaison

Psychiatry telah diubah namanya menjadi Psychosomatic Medicine. Negara Eropa

sampai saat ini menggunakan istilah Liaison Psychiatry untuk merujuk kepada

Consultation-Liaison Psychiatry sebagai suatu bidang subspesialisasi dari psikiatri.

Bahkan di Jerman dan Jepang, Psychosomatic Medicine adalah suatu bidang

spesialisasi yang terpisah dari psikiatri dan mempunyai pendidikan formal

spesialisasi sendiri (Andri, 2011).

2
3

Case Finding atau skrining merupakan langkah awal dalam proses liaison psikiatri.

Para dokter perlu pelatihan dan pendidikan praktis dalam diagnosis dan pengobatan

klinis gangguan jiwa, terutama dalam lingkungan medis dan bedah. Edukasi dokter

non psikiater dan tenaga kesehatan yang berkaitan mengenai masalah medis dan

psikiatri yang berhubungan dengan penyakit pasien merupakan hal penting dalam

proses case finding. Terapi dalam CLP dapat disimpulkan sebagai integrasi dalam

pengobatan dimana pasien sebagai pusat dalam manajemen penyakit menggunakan

kolaborasi antar profesional dengan memperhatikan kompleksitas pasien secara

sistem organik dan elemen psikososial dan jumlah disiplin ilmu dan tipe pengobatan

yang terlibat (Syamsulhadi, 2012).

Penelitian sebelumnya mengkonfirmasi bahwa konsultasi psikiatri lebih awal akan

meningkatkan hasil keluaran pasien yang dapat dilihat pada berkurangnya lama

masa rawat dan juga mengurangi biaya yang harus dibayarkan pasien. Walaupun

terjadi peningkatan angka perkembangan pelaksanaan CLP namun pada

kenyataannya terdapat perbedaan angka pada negara maju, berkembang dan negara

lainnya(Arbabi, et al., 2012).

Data pelaksanaan CLP di beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan di Indonesia

belum ada angka yang pasti dan belum banyak diteliti, namun pelaksanaannya

sudah mulai sering dilakukan, monograf ini menampilkan serial kasus CLP yang

terjadi di bagian Obstetri dan gynekologi, bedah, rehabilitasi medik dan bagian

kardiologi dan kedokteran vaskuler di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah,

Denpasar.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Consultation Liaison Psychiatry/ CLP merupakan subspesialis psikiatri yang

menghubungkan antara bagian psikiatri dengan bidang medis lainnya(Blumenfield

& Tiamson, 2003). CLP merujuk kepada keahlian dan pengetahuan dalam

mengevaluasi dan merawat kondisi yang berhubungan dengan emosi dan perilaku

pasien yang dirujuk dari bagian medis atau bedah (Leigh, 2007). Pelaksanaannya

dapat dalam lingkup rumah sakit atau pasien rawat jalan yang terdapat pasien sakit

secara medis, atau pasien merasa sakit secara medis namun tidak merasa ada

gangguan psikiatri. American Board of Psychiatry memberi istilah Psychosomatic

Medicine untuk CLP (Blumenfield & Tiamson, 2003). Terdapat beberapa definisi

mengenai CLP karena definisi CLP berkembang sesuai dengan perkembangan

pelaksanaan CLP itu sendiri. Beberapa definisi tersebut diantaranya(Syamsulhadi,

2012):

2.2 Kualitas, Efektivitas dan Kompetensi Konsultan Psikiatri

Pelaksanaan CLP yang baik dimulai dengan penguasaan pengetahuan dan keahlian

psikiatri dasar dan kedokteran serta bedah. Pengetahuan dasar dan keahlian tentang

tubuh manusia dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan CLP meliputi pengertian

tentang patofisiologi, psikoterapi, managemen administratif dari masalah sistem,


5

ekonomi kedokteran, geriatrik, dan forensik. Secara umum, tujuan dari konsultasi

psikiatri dalam pelayanan medis dan bedah adalah(Syamsulhadi, 2012):

a. Menjamin keamanan dan stabilitas dari pasien dalam lingkungan medis

b. Mengumpulkan riwayat dan data medis yang cukup dari sumber yang

terpercaya untuk menilai pasien dan merumuskan masalah

c. Untuk mengatur pemeriksaan status mental dan pemeriksaan neurologis

dan fisik bila diperlukan

d. Menetapkan diagnosis banding

e. Membuat rencana terapi

Perubahan perilaku tim medis dapat juga dinilai dari angkarujukan. Beberapa

penelitian pada awalnya menargetkan peningkatan dari rujukanatau angka

konsultasi meningkat namun pada kenyataan yang ada sebagian besar hasilnya

adalah menurun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Diefenbacher didapatkan

angka angka konsultasi sekitar 0,9% sampai 1,7%. Hasil yang rendah tersebut

disebabkan karena sebagian besar psikiater lebih bersikap pasif menunggu konsul

dibandingkan secara aktif melakukan skrining. Untuk meningkatkan angka

konsultasi diperlukan adanya komunikasi dan pendidikan mengenai CLP ke bidang

medis terkait lainnya(Su, Chou, Chang, & Weng, 2010).

2.3 Harapan dari Dokter Lain

Dokter yang konsul berharap konsultan dapat membantu memastikan diagnosis,

menghilangkan gejala, dan membantu tenaga medis dan bedah dalam menangani

pasien, terkadang mengambil beberapa atau seluruh tanggung jawab kepada pasien.
6

Prioritas dari pelayanan konsultasi bervariasi diantara pelayanan-pelayanan itu

sendiri. Untuk semua dokter, aspek yang paling penting dari CLP adalah berurusan

dengan masalah penempatan pasien(Syamsulhadi, 2012).

Waktu konsultasi ke psikiatri merupakan interaksi dari beberapa faktor, seperti

karakteristik pasien, dasar pendidikan dari staf nonpsikiatri tentang gangguan

psikiatri, diagnosis psikiatri, dan faktor lainnya. Beberapa hal yang sering terjadi

adalah pasien yang sering terlambat dikonsulkan adalah pasien tua dan pasien

dengan delirium atau gangguan mood. Berdasarkan beberapa penelitian

mengatakan bahwa konsultasi psikiatri lebih awal akan mengurangi masa lama

rawat dan mengurangi biaya perawatan (Alhuthail, 2009).

Beberapa hal yang paling sering diharapkan dokter dari konsultan psikiatri adalah

sebagai berikut (Syamsulhadi, 2012).

1. Pelayanan medis

a. Kunjungan follow up kepada pasien

b. Rekomendasi berkaitan dengan penanganan ruang perawatan

c. Evaluasi dan menolong dokter dan tenaga ruangan untuk mengerti aspek

psikososial dari penyakit pasien

d. Saran pengobatan psikotropik

2. Pelayanan bedah

a. Evaluasi kompetensi

b. Pengaturan pemindahan ke bagian psikiatri bila ada indikasi

c. Saran pengobatan psikotropik

d. Rekomendasi berkaitan dengan pengaturan ruang pasien


7

e. Kunjungan follow up kepada pasien

f. Pengaturan perjanjian, bila ada indikasi

3. Pelayanan Obstetri dan Ginekologi

a. Evaluasi status mental

b. Kunjungan follow up kepada pasien

c. Saran pengobatan psikotropik

4. Evaluasi dan menolong dokter dan tenaga ruangan untuk mengerti aspek

psikososial dari penyakit pasien

a. Psikoterapi kepada pasien atau anggota keluarganya

b. Pelayanan anak

c. Kunjungan follow up kepada pasien

d. Penilaian psikiatri dan terapi terhadap keluarga dari pasien

e. Rekomendasi berkaitan dengan pengaturan ruang pasien

f. Evaluasi terhadap psikogenik dari masalah somatik

g. Membantu memahami aspek psikososial dari penyakit pasien

5. Pelayanan Rehabilitasi

a. Evaluasi status mental

b. Menolong dokter dan tenaga ruangan mengerti dan berurusan dengan

reaksi mereka terhadap kepribadian pasien dan stres yang dipicu oleh

prilaku pasien

c. Rekomendasi berkaitan pengaturan ruangan

d. Menolong tenaga kesehatan ruangan mengerti aspek psikososial dari

penyakit pasien
8

e. Kunjungan follow up kepada pasien

f. Rekomendasi diagnostik tambahan

2.4 Proses Konsultasi

Proses dari kegiatan CLP sering pararel dengan proses yang dilakukan selama

perjalanan psikoterapi. Informasi dan pola dari reaksi langsung selama kunjungan

follow-up dan pandangan baru yang berkembang yang sering tidak ditemukan pada

kunjungan awal. Ini merupakan salah satu alasan bahwa kunjungan follow-up

diperintahkan pada semua konsultasi psikiatri yang baik. CLP dapat membutuhkan

banyak waktu sebelum konsultan diterima dan dapat beradaptasi dengan praktisi

dari tim medis (Syamsulhadi, 2012).

Institusi harus mengikuti Recommended Guidelines for Consultation-Liaison

Psychiatric Training in Psychiatry Residency Programs untuk pelayanan dan

tenaga CLP. Dalam semua pelayanan medis, harus tersedia staf ahli untuk

memberikan konsultasi psikiatri 2 jam/hari, sepanjang tahun(Syamsulhadi, 2012).

Konsultasi psikiatri harus dilakukan oleh psikiater dengan keahlian dalam

pelayanan medis dan terpercaya dan legal di dalam institusi dimana konsultasi

dilakukan. Terapi dapat didelegasikan kepada profesi kesehatan mental lainnya

dibawah pengawasan langsung dari psikiater konsulan. Konsultasi psikiatri

meliputi awal konsultasi dan pemeriksaan follow-up. Pada pasien yang dirawat

bersama, permintaan pemeriksaan atau tes laboratorium dan pengobatan oleh

dokter ahli yang merawat harus memastikan tidak terjadi kontra indikasi. Tidak

diperkenankan adanya konflik. Konsultan psikiatri harus mengikuti perjalanan


9

pasien secara menyeluruh sampai meninggalkan rumah sakit. Pertama penting

untuk sign of pada pasien dalam kaitannya dengan masalah transferen atau

kontratransferen dan reaksi positif atau negatif untuk penyembuhan permanen dari

gejala yang ada. Kedua, pasien yang mempunyi tanda dan gejala psikiatri

mempunyai resiko untuk kambuh. Akhirnya, follow up berkelanjutan membantu

untuk mempertahankan kepercayaan tim medis atau bedah dan memperkuat CLP

selalu tersedia dan siap membantu dalam situasi klinis apapun(Syamsulhadi, 2012).

Hal yang perlu diperhatikan konsultan, sebelum bertemu dengan pasien saat akan

menjawab konsultasi, konsultan psikiatri disarankan agar bertemu dengan dokter

yang mengkonsultasikan pasien untuk membicarakan beberapa hal. Berdasarkan

kasus pasien, lebih baik membicarakan tentang prognosis pasien, rencana

pembedahan, rencana pulang, pengobatan pasien, indikasi berbahaya pada pasien,

dan untuk memastikan apakah pasien mengetahui kalau dirinya akan dikonsulkan

ke bagian psikiatri (Blumenfield & Tiamson, 2003).

2.5 Masalah yang Membawa kepada Permintaan untuk CLP dalam

Pelayanan Medis/ Bedah

Pelayanan spesialisasi yang biasanya melakukan konsultasi ke psikiatri dapat

dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu medis, bedah, perawatan intensif,

obstetri dan ginekologi, dan lainnya(Alhuthail, 2009). Beberapa penelitian

mendapatkan hasil bahwa angka konsul lebih tinggi dari bagian penyakit dalam, hal

tersebut dikarenakan jumlah pasien penyakit dalam lebih banyak dibandingkan

bagian yang lain. Dokter di bagian penyakit dalam memiliki sensitivitas dan akurasi
10

yang lebih baik dibandingkan dengan bidang lain dalam hal mengenali gangguan

psikiatri yang ada (Su, Chou, Chang, & Weng, 2010).

Terdapat beberapa alasan yang membuat dokter bagian lain untuk melakukan

konsultasi lihat tabel 2 (Blumenfield & Tiamson, 2003).

Masalah yang Sering Menjadi Alasan Rujukan ke Psikiatri

Masalah yang Sering Menjadi Alasan Rujukan ke Psikiatri


1. Reaksi stress akut
2. Agresi atau impulsivitas
3. Agitasi
4. Infeksi HIV/AIDS
5. Penyalahgunaan alkohol dan NAPZA
6. Cemas atau panik
7. Gejala sisa luka bakar
8. Perubahan status mental
9. Assessment riwayat psikiatri
10. Child abuse
11. Koping dengan penyakit
12. Kematian, sekarat dan masa berkabung
13. Delirium
14. Dementia
15. Depresi
16. Determinasi kapasitas dan masalah forensik lain
17. Gangguan makan
18. Terapi elektrokonvulsif
19. Masalah etikal
20. Gangguan buatan
21. Masalah keluarga
22. Geriatric abuse
23. Hypnosis
24. Malingering
25. Nyeri
26. Penyakit psikiatri pada anak
27. Gangguan kepribadian
28. Gangguan stress pasca trauma
29. Maslah yang berkaitan dengan kehamilan
30. Manifestasi psikiatri dari penyakit medis dan neurologis
31. Perawatan psikiatri di ICU
32. Faktor psikologis yang mempengaruhi penyakit medis
33. Tes psikologis dan neuropsikologis
34. Psikoonkologi
35. Psikofarmakologi pada penyakit medis
11

36. Psikosis
37. Fiksasi
38. Sexual abuse
39. Gangguan tidur

Dalam pelaksanaannya, penanganan yang sering diberikan dari psikiatri berupa

pemberian obat psikotropika. Pada penelitian yang dilakukan di Italia, sekitar 65%

dari pasien yang diberikan obat setelah dilakukan konsultasi ke psikiatri adalah

dengan pemberian obat psikotropika. Beberapa ada yang mengkombinasikan

dengan obat lain seperti benzodiazepine dan antidepresan. Pemberian dukungan

psikologis atau supportif juga sering diberikan sebesar 75% dari pasien yang

dikonsulkan. Dukungan psikologis yang diberikan lebih banyak kepada pasien saja,

sedangkan untuk staf sekitar 16,4% dan untuk keluarga sebesar 15,1%(Gala, et al.,

1999).

BAB III
12

LAPORAN KASUS

3.1 CL Psikiatri Pada Bagian Obstetri Dan Gynekologi

Identitas pasien

Nama Pasien : KMY (17001973)

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 23 tahun

Tempat Lahir : Buleleng

Tanggal Lahir :-

Pendidikan : SMA

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Hindu

Suku bangsa : Bali

Alamat : Seririt Buleleng

Tanggal wawancara : 16 Januari 2017

Autoanamnesis

Keluhan utama : Sesak

Pasien di konsulkan dari bagian Obstetri dan Gynekologi dengan keluhan

sering sesak dengan sebab yang tidak jelas. Pasien diwawancarai dalam posisi

berbaring di atas tempat tidur memakai baju putih berselimut. Tampak pasien

bernafas cepat dan terpasang canule oksigen. Selama wawancara pasien dapat
13

menjawab pertanyaan pemeriksa dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat

dimengerti.

Pasien bisa menjawab dengan benar siapa namanya, sedang ada dimana, dan

siapa saja penunggunya. Pasien dibawa ke RSUP Sanglah karena sesak. Sesak

tersebut hilang timbul tidak pasti kapan. Sesak dirasakan sering muncul secara tiba-

tiba dan sangat mengganggu aktifitasnya. Kondisi sesak akan berkurang bila

diberikan oksigen di rumah sakit, sampai saat ini sudah lebih dari 3 kali pasien

dirawat dirumah sakit karena keluhan tersebut. Pasien mengatakan perasaanya

cemas dengan sesak yang dialaminya terlebih dengan kondisinya yang sedang

hamil pertama, walaupun dikatakan sudah masuk hamil tua. Pikiran mengenai

kehamilannya yang disertai dengan sesak yang berulang sering muncul dan

membuatnya semakin khawatir dari hari kehari. Pasien menyangkal ada masalah

sebelumnya.

Kehamilan yang dialami merupakan kehamilan yang diharapkan oleh pasien,

walaupun menikah karena terlanjur hamil. Pasien siap dan menerima

kehamilannya. Pasien tidak malu karena sejak pacaran sudah tingal bersama. Ketika

disinggung tentang ayah yang sudah meninggal, pasien menangis, apalagi

memikirkan ibu sendirian di kampung. Pasien selama ini memang dekat dan

dimanja oleh ayahnya dan sangat merasa kehilangan. Menurut suami, pasien mulai

mengalami cepat lelah, mudah sesak, kehilangan minat sejak sekitar 2 bulan setelah

ayah pasien meninggal mendadak. Sesak makin sering muncul 2 minggu ini,

awalnya bisa diatasi dengan duduk atau berhenti beraktifitas, diberi minyak angin

membaik, namun 1 minggu ini tidak membaik sehingga dibawa ke rumah sakit.
14

Pasien menyangkal mendengar suara yang tidakn ada sumbernya ataupun

melihat bayangan yang tidak ada wujudnya. Saat ini sedang mengandung anak

pertama dengan usia kehamilan 30 minggu. Selama 2 minggu ini karena sesak,

tidurnya menjadi terganggu, namun makan masih biasa. Setiap teringat ayah, pasien

pasti menangis. Pasien orang yang supel, terbuka, hanya saja sejak hamil 3 bulan

lebih mudah emosi dan suka membesarkan masalah. Pasien terakhir

mengkonsumsi alkohol dan kopi sebelum hamil berkaitan dengan kerja pasien di

klub malam walau sebagai kasir.

Riwayat Perkembangan dan Penyakit Dahulu

Klien tidak pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya

Riwayat Keluarga

Tidak terdapat sakit yang sama dengan pasien dalam keluarga.

Riwayat Pengobatan

Klien tidak pernah mendapat perawatan psikiater ataupun berkonsultasi dengan

psikiater sebelumnya.

Riwayat Penggunaan NAPZA

Pasien minum kopi sejak remaja 1 cangkir perhari dan beberapa kali minum

alkohol bila ada acara keluarga 1-2 sloki namun setelah hamil berhenti.

Faktor Premorbid
15

Pasien merupakan orang yang labil mudah emosi dan sedih, mudah terpengaruhi

oleh suasana, dan sering melebihkan perasaan yang dialami saat sebelum sakit.

Faktor Organik ( Diagnosis bagian Obgyn)

G1P000 umur kehamilan 30 minggu dengan Resiko Partus Prematur Iminen

dan Dyspnea

Status Interna

STATUS VITAL STATUS GENERAL STATUS


NEUROLOGIS
T : 90/60 mmHg Mata : an -/-, ikt -/-, pupil GCS E4V5M6
isokor
N : 100 x/menit THT : kesan tenang, Defisit neurologis
tidak ada
R : 37 x/menit Cor : Bj I/II reguler, murmur
(-), Gallop(-)
S : 36,5 C Pul : ves +/+ , rh -/+ , wh -/-

VAS = 2 Abd : distensi (-),


meteorismus (-), Spleen dan
hepar tidak teraba, Nyeri
tekan epigastrium (-)
Ext : edema -/- hangat +/+

Status Psikiatri

Kesan Umum : penampilan wajar, sesekali menangis, tampak sesak,

kontak verbal dan visual cukup

Sensorium dan Kognisi

Kesadaran : Jernih

Orientasi : Baik

Mood/Afek : Disforik /Appropriate

Proses Pikir
16

Bentuk Pikir : logis realis

Arus Pikir : koheren

Isi pikir : Preokupasi pada sakitnya

Persepsi : halusinasi (-), ilusi (-), depersonalisasi (-), derealisasi (-)

Dorongan Instingtual : insomnia (+) tipe campuran, hipobulia (-),raptus(-)

Psikomotor : tenang saat pemeriksaan

Tilikan : VI

Pemeriksaan penunjang :

HRDS : 17 Depresi Ringan

Diagnosis

 Axis 1 : Fokus perhatian kematian pada anggota keluarga (Breavement)

(Z63.4)

 Axis 2 : Ciri Kepribadian histrionic, MPE Reaksi Formasi

 Axis 3 : G1P000 umur kehamilan 30 minggu dengan Risiko Partus

Prematur Imunen + dyspnea.

 Axis 4 : Masalah dengan primary support group

 Axis 5 : GAF pada saat pemeriksaan 50-41

Terapi Psikiatri :

Krisis Intervensi

Terapi Relaksasi

Rawat bersama TS Obstetri dan Gynekologi

Terapi Obgyn :
17

MRS

Oksigen kanul 2 liter per menit

Konservatif bedrest

IVFD NaCL 0,9% 12 tetes per menit

Nifedipin tokolitik peroral

Sulfas Ferosus 300 mg tiap 24 jam peroral

Langkah-langkah dalam CLP pada kasus ini yaitu :

1. Case finding (pasif) pada kasus ini pasien emergency Obgyn dengan G1P000 UK

30 minggu dengan risiko partus premature iminens disertai dyspnea yang

mengalami gangguan psikiatri cemas, gangguan tidur dan kesedihan yang berulang.

Masalah dalam kasus ini :

a. Cemas

Pasien saat ini ditemukan dalam kondisi cemas terhadap sesak yang dialaminya, hal

ini juga diperburuk oleh kondisi kehamilan pasien yang sudah memasuki trimester

ke 3 sehingga berat badan pasien meningkat dan diagfrahma tertekan oleh

peningkatan fundus uteri.

b. Stresor baru

Pasien baru saja di tinggalkan oleh ayah yang memiliki hubungan yang cukup

dengat dengan pasien, terlebih pasien merupakan anak satu-satunya dalam

keluarga, pasien barusaja menikah dan tinggal di kediaman suami perlu waktu

untuk beradaptasi dengan keluarga baru dan sering memikirkan kondisi ibunya
18

setelah menikah, hal ini diperberat dengan kondisi ayahnya yang meninggal 2 bulan

yang lalu.

c. Masalah Farmakoterapi

Pasien saat sedang hamil 30 minggu dan sering mengalami kecemasan disertai

serangan sesak yang tidak jelas penyebabnya, untuk tatalaksana farmakoterapi dari

bagian psikiatri perlu pertimbangan melihat kondisi pasien yang sedang hamil

beberapa pilihan terapi yang mungkin diberikan masuk dalam kategori Cdan

banyak aspek yang perlu diperhatikan sebelum pemberian obat.

2) Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan status interna, statsus mental dan pemeriksaan penunjang HDRS skor

17 didapatkan diagnosis Fokus perhatian kematian pada anggota keluarga

(Breavement) (Z63.4)

3) Intervensi : Dengan konsep FRAMES

a. FEEDBACK : Karena kondisi kehamilan yang mempengaruhi optimalnya sistem

pernafasan dan masalah yang muncul dalam waktu yang cukup dekat menyebabkan

gangguan psikologis pada diri anda.

b. ADVIS : Saat ini anda sebaiknya menjalani pengobatan yang sudah ditetapkan

dokter yang merawat, agar penyakit anda dan kehamilan anada membaik.

c. RESPONSIBELITY : agar penyakit dapat tertangani dengan optimal diperlukan

kerjasama baik anda maupun keluarga.

d. MENU : Untuk mengatasi gangguan psikologis yang saat ini menyertai sakit

yang anda derita saya akan membantu mensupport agar anda bisa tenang.
19

e. EMPATY : saya senang bisa membantu anda, semoga kondisi anda segera

membaik.

f. SELF EFIKASI : saya yakin ada dapat mengikuti semua anjuran pengobatan yang

diberikan.

4) Penatalaksanaan :

a. Cemas

Cemas merupakan perasaan yang menunjukkan seseorang berada dalam keadaan

was was, kekhawatiran dan cemas yang dalam manifestasi klinis sering membuat

seseorang merasa tidak nyaman (Ibrahim,2011). Diperkirakan jumlah kejadian

cemas akut maupun kronik mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan

perbandingan wanita dan pria 2:1. (Hawari,2011). Peran psikiater disini untuk

membantu pasien dari diagnosis awal sampai akhir pengobatan dan berkolaborasi

dengan TS Obgyn. Psikiater mengidentifikasi emosi negative pasien dan

mengatasinya secara terbukadan menampilkannya pada tim yang merawat pasien

dan akibatnya mengurangi perasaan bersalah dan diskusi untuk menyatukan semua

tindakan yang menjaminpasien lebih baik kondisi psikologis dan somatic (Fawzy,

2003)

b. Stressor baru.

Pasien dihadapkan dengan kematian ayahnya yang terjadi secara mendadak yang

sebelumnya baru saja menikah dan mengalami perubahan fisiologis tubuh dan

hormonal karena hamil. Stresor baru yang muncul dapat membangkitkan reaksi
20

emosisonal yang lebih kuat sehingga pasien perlu didampingi untuk melalui fase

fase dalam menghadapi stesor baru yang berat. Fase yang akan dilalui oleh pasien

yaitu fase denial/ penyangkalan, fase angry/ kemarahan, fase bargaining/ tawar

menawar, fase despair/ menunjukkan respon emosional dan yang terakhir fase

acceptance/ penerimaan. Mekanisme yang digunakan oleh pasien yaitu reaksi

formasi merupakan suatu MPE yang tidak matur sehingga perlu untuk diberikan

psikoterapi dalam merubah MPE tersebut.

c. Masalah farmakotrapi

Perempuan sering mengalami masalah cemas menjelang kelahiran. Penggunaan

benzodiazepine untuk jangka panjang pada trimester pertama tidak disarankan,

namun dapat dizinkan bila mengalami serangan panic atau stress yang

berkepanjangan seperti tirah baring ketat dengan tokolitik. Ibu maupun janin perlu

dilakukan monitor untuk mencegah efek sedasi pada janin yaitu dinilai dengan

berkurangnya gerakan atau aktivitas. Bila benzodiazepine digunakan dalam dosis

besar pada trimester lanjut terutama seperti pada kasus ini bisa terjadi Floppy baby

syndrome ( berupa hipotonia, letargi, dan kesulitan dalam menghisap ASI). Dan

bisa juga muncul gejala putus zat seperti tremor, irritable, dan hipertonik.

Benzodiazepin tidak direkomendasikan pada ibu menyusui ( Blumenfield,2003)

sehingga pada pasien ini diberikan psikoterapi dan terapi pelatihan relaksasi singkat

bila muncul serangan sesak.

5) Komunikasi

Komunikasi merupakan langkah terakhir dalam CL Psikiatri , namun pada kasus

ini belum dilakukan Rapat TIM untuk penanganan secara paripurna.


21

3.2 CL Psikiatri pada Bagian Bedah Trauma

Identitas pasien

Nama Pasien : M (16054845)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 35 tahun

Tempat Lahir : Lombok

Tanggal Lahir :-

Pendidikan : SD

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Suku bangsa : Sasak

Alamat : Gililiat Setiling Batukliang Utara Lombok Tengah

Tanggal wawancara : 18 Januari 2017

Autoanamnesis

Keluhan utama : Sedih

Pasien diwawancara dalam posisi setengah duduk, tidak memakai baju dengan

bagian bawah tertutup kain putih, terpasang infus di depan bahu kanan, kedua

lengan terbungkus perban elastis. Selama wawancara pasien banyak menunduk dan

tampak berkeringat. Pasien mampu menyebutkan nama, sedang berada di mana dan

ditemani oleh siapa dengan benar.


22

Pasien mengatakan perasaannya saat ini sedih. Sedih karena kondisinya saat ini.

Rasa khawatir juga dirasakan pasien karena memikirkan masa depan anaknya yang

baru berusia 5 tahun, sedangkan saat ini dia tidak bekerja dan kedua tangannya

sudah diamputasi. Pasien dapat bercerita dari awal kejadian dia sakit. Pasien

mengatakan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari uang untuk membelikan

anaknya kado sebagai hadiah sunat anaknya. 1 bulan yang lalu pasien berangkat

bekerja ke Malaysia, beberapa waktu di sana pasien mendapat musibah, saat akan

mengambil sawit, pasien tersengat listrik melalui tongkat besi yang dia pegang. Saat

itu dalam keadaan hujan dan pasien merasa tenaga listriknya sangat kuat. Pasien

sadar dengan semua kejadian itu bahkan pasien dapat mengingat siapa yang

menolongnya saat itu.

Saat kena musibah, pasien sempat dirawat 5 hari di RS di Malaysia kemudian

dirawat di RS di Pontianak selama 3 hari, saat dirawat di Pontianak pasien

mengalami kesulitan biaya pengobatan sehingga dimintakan sumbangan warga

kampung disana, setelah itu pasien dibawa ke kampung halamannya di Mataram,

dan pasien menjalani operasi tangannya di Mataram. Pasien sejak musibah pasien

agak susah tidur pada malam hari, pasien mengeluh kakinya sering terasa nyeri.

Selama di RS Sanglah pasien mengatakan susah tidur karena berkeringat hawanya

panas. Pasien menyangkal mendengar suara-suara dan menyangkal melihat

bayangan. Nafsu makan baik. Pasien masih memiliki harapan yang besar untuk

sembuh selama di RS ini dan selalu kooperatif dalam pengobatan dan

mendengarkan saran dari dokter.


23

Pasien merokok 5 – 10 batang perhari, minum kopi 2-3 gelas kecil, menyangkal

minum alkohol, dan minum obat-obatan. Pasien dikatakan pergi ke Malaysia 1

bulan yang lalu untuk bekerja, beberapa saat di sana pasien mengalami musibah

yaitu tersengat listrik sekitar tanggal 18 November, sempat di rawat di Malaysia

selama 5 hari, kemudian di Pontianak selama 3 hari dan di Lombok selama 18 hari.

Pasien dilakukan operasi tangannya di lombok kurang lebih 2 minggu yang lalu,

waktu itu pasien tidak sepenuhnya mau diamputasi tetapi dokter di Lombok

menjelaskan bahwa tangannya sudah mati jadi harus diamputasi. Saat akan

diinfokan akan diamputasi tangannya pasien merasa keberatan tetapi setelah

diinfokan tentang resikonya pasien mau menerima keadaannya. Pasien dikatakan

mau ke RS Sanglah karena dokter di Lombok menjelaskan tujuan di rujuk ke Bali

karena mau tanam daging.

Pasien selama di RS selalu berkeringat banyak sehingga pasien menjadi sulit tidur.

Pasien dikatakan sebelum sakit adalah orang yang periang, mudah bergaul dengan

orang. Pasien bila menghadapi masalah sering memikirkan berulang-ulang dan jika

akan mengambil keputusan pasien selalu meminta pendapat istrinya terlebih dahulu

dan lebih sering menuruti kata-kata istrinya. Pasien telah menikah 7 tahun dan

memiliki 1 orang anak laki-laki berusia 5 tahun.

Riwayat Perkembangan dan Penyakit Dahulu

Pasien dirawat 5 hari di Malaysia, 3 hari di RS Pontianak, 18 hari di RS

Lombok

Riwayat Keluarga

Tidak terdapat sakit yang sama dengan pasien dalam keluarga.


24

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak pernah mendapat perawatan psikiater ataupun berkonsultasi dengan

psikiater sebelumnya.

Riwayat Penggunaan NAPZA

Rokok sejak muda sampai sekarang 5 sampai 10 batang, minum kopi 2 sampai

3 gelas kecil. Minum alkohol dan obat-obat terlarang disangkal.

Faktor Premorbid

Pasien bila menghadapi masalah sering memikirkan berulang-ulang dan jika akan

mengambil keputusan pasien selalu meminta pendapat istrinya terlebih dahulu dan

lebih sering menuruti kata-kata istrinya.

Faktor Organik ( Diagnosis bagian Bedah trauma)

Combusti gr IIA-B post amputasi ekstremitas atas

Status Interna

STATUS VITAL STATUS GENERAL STATUS


NEUROLOGIS
T : 130/80 mmHg Mata : an -/-, ikt -/-, pupil GCS E4V5M6
isokor
N : 88x/menit THT : kesan tenang, Defisit neurologis
tidak ada
R : 22x/menit Cor : Bj I/II reguler, murmur
(-), Gallop(-)
S : 36 C Pul : ves +/+ , rh -/- , wh -/-

VAS = 4 Abd : distensi (-),


meteorismus (-), Spleen dan
hepar tidak teraba, Nyeri
tekan epigastrium (-)
Ext : amputasi pada
ektremitas atas dan tungkai
kanan
25

Status Psikiatri

Kesan Umum : penampilan wajar, sering menunduk saat wawancara,

kontak verbal cukup, kontak visual kurang.

Sensorium dan Kognisi

Kesadaran : Jernih

Orientasi : Baik

Mood/Afek : Sedih/adekuat /Appropriate

Proses Pikir

Bentuk Pikir : logis realis

Arus Pikir : koheren

Isi pikir : Ide bunuh diri(-), preokupasi pada kondisi sakitnya.

Persepsi : halusinasi (-), ilusi (-), depersonalisasi (-), derealisasi (-)

Dorongan Instingtual : insomnia (+) tipe campuran, hipobulia (-),raptus(-)

Psikomotor : tenang saat pemeriksaan

Tilikan :V

Pemeriksaan penunjang :

HRDS : 15 Depresi Ringan

BDI : 26 Depresi sedang

Diagnosis

 Axis 1 : Gangguan penyesuaian dengan reaksi campuran cemas dan depresi

(F43.22)

 Axis 2 : Ciri Kepribadian campuran cemas dan dependen.


26

 Axis 3 : Combutio gr IIA-B post amputasi ektremitas atas

 Axis 4 : Masalah dengan penyakitnya

 Axis 5 : GAF pada saat pemeriksaan 40-31

Terapi Psikiatri :

Fluoxetine 10 mg setiap 24 jam pagi peroral

Clobazam 10 mg setiap 24 jam malam peroral

Psikoterapi supportif

Psikoedukasi keluarga

Rawat bersama TS Bedah Trauma

Terapi TS Bedah Trauma :

MRS

IVFD NaCL 0,9%:D5% :RL dalam 24 jam

Vitamin C 500mg dalam RL

Ranitidine 50 mg tiap 12 jam intravena

Paracetamol 1 gr tiap 8 jam intravena

Metformin 5000 mg tiap 8 jam peroral

Propanolol 10 mg tiap 24 jam peroral

Transfusi Albumin 20% dalam 100 ml RL per 24 jam

Glukosa 1 ampul dalam 500mL D5%

Diet TKTP.

Langkah-langkah dalam CLP pada kasus ini yaitu :


27

1. Case finding (pasif) pada kasus ini pasien perawatan paliatif operasi bedah

taruma dengan Combutio gr IIA-B post amputasi ektremitas atas yang mengalami

gangguan psikiatri kesedihan dan rasa putus asa dan kekhawatiran berulang akan

kondisi sakitnya terutama keadaan pasien harus di amputasi.

Masalah dalam kasus ini :

a. Amputasi

Amputasi bisa berasal dari berbagai penyebab medis, bedah dan atau kejiwaan.

Pada kasus ini penyebab amputasi adalah trauma kecelakaan kerja. Amputasi

traumatic sering di kaitkan dengan rasa takut yang berat, mengerikan, gambaran

dari korban lain dan suara mengejutkan yang muncul kembali selama fase

rehabilitasi (bahkan tanpa kriteria PTSD) (Braundwald, 2001)

b. Reaksi terhadap amputasi

Ketika pasien dikabarkan oleh dokter untuk memerlukan amputasi, akan muncul

berbagai macam reaksi apakah amputasi tersebut telah direncanakan atau sifatnya

emergency akan sangat berpengaruh dengan reaksi pasien menanggapi hal tersebut.

Seandainya ada jeda waktu yang cukup lama sebelum diamputasi maka akan

tampak fase kehilangan yaitu fase yang akan dilalui oleh pasien meliputi fase

denial/ penyangkalan, fase angry/ kemarahan, fase bargaining/ tawar menawar, fase

despair/ menunjukkan respon emosional dan yang terakhir fase acceptance/

penerimaan.

c. Gangguan stress pasca trauma setelah amputasi

PTSD merupakan kasus yang paling sering muncul pada kasus amputasi emergency

karena kecelakaan atau peperangan. Nyeri residual dikaitkan dengan tingkat dari
28

kecemasan dan depresi yang lebih tinggi setelah amputasi traumatik. Sebuah studi

kohort pada subjek yang amputasi dan memiliki rasa nyeri yang tinggi memiliki

prevalensi gejala PTSD 25% dan prevalensi gejala depresi 34%.

d. Makna amputasi pada pasien

Makna amputasi mencerminkan keragaman sifat dan pengalaman pasien.

Seseorang yang sebelumnya menyandang disabilitas kemudian mengalami

amputasi akan memiliki makna yang berbeda bila hal tersebut terjadi pada seorang

laki-laki yang merupakan tulang punggung keluarga untuk berkerja. Kemampuan

untuk menghadapi makna amputasi tersebut sangat dipengaruhi oleh rasa nyeri,

tingkat kecacatan, isu budaya, orang yang dicintai dan coping pasien saat

preamputasi (Lai,2000)

2) Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan status interna, statsus mental dan pemeriksaan penunjang HDRS skor

16 dan BDI 26 didapatkan diagnosis Gangguan penyesuaian dengan reaksi

campuran cemas dan depresi (F43.22)

3) Intervensi : Dengan konsep FRAMES

a. FEEDBACK : Karena kejadian kecelakaan yang terjadi secara mendadak dan

tindakan amputasi yang tidak dapat dihindari dengan waktu yang cukup dekat

menyebabkan gangguan psikologis pada diri anda.

b. ADVIS : Saat ini anda sebaiknya menjalani pengobatan yang sudah ditetapkan

dokter yang merawat, agar penyembuhan luka pasca amputasi segera membaik.

c. RESPONSIBELITY : agar penyembuhan luka oprasi dan rasa nyeri dapat

tertangani dengan optimal diperlukan kerjasama baik anda maupun keluarga.


29

d. MENU : Untuk mengatasi gangguan psikologis yang saat ini menyertai sakit

yang anda derita saya akan membantu mensupport agar anda bisa tenang dan dapat

menghadapi kondisi pasca operasi amputasi ini.

e. EMPATY : saya senang bisa membantu anda, semoga kondisi anda segera

membaik.

f. SELF EFIKASI : saya yakin ada dapat mengikuti semua anjuran pengobatan yang

diberikan.

4) Penatalaksanaan :

a. Amputasi

Ada beberapa cara yang sangat baik untuk memberikan ketahanan yang lebih pada

pasien pasca amputasi yaitu memberikan dukungan social dan meningkatkan

ketahanan diri pengasuh, psikoterapi individu, psikofarmaka dan penguatan gaya

coping positif serta pengobatan atas gangguan jiwa yang muncul guna mengatasi

risiko prognosis yang yang buruk bagi kelangsungan hidup dan fungsi pasien pasca

amputasi. Peran psikiater disini untuk membantu pasien dari diagnosis awal sampai

akhir pengobatan dan berkolaborasi dengan TS Bedah. Psikiater mengidentifikasi

emosi negative pasien dan mengatasinya secara terbuka dan menampilkannya pada

tim yang merawat pasien dan akibatnya mengurangi perasaan bersalah dan diskusi

untuk menyatukan semua tindakan yang menjamin pasien lebih baik kondisi

psikologis dan somatic (Fawzy, 2003)

b. Reaksi terhadap amputasi

Pada kasus ini pasien menampilkan reaksi emosi berupa depresi dan cemas pada

fase penyesuain terhadap amputasi yang ia alami. Kecemasan dan depresi akan
30

sering bergantian muncul, cemas dapat di generalisir ( misalnya gelisah, gangguan

tidur, merenung, penarikan social serta mudah marah) kecemasan dapat diarahkan

kepada anggota badan yang akan diamputasi atau membahas tentang phantom limb,

hal yang perlu diperhatikan oleh psikiater adalah perasaan sensitive biasanya

muncul dalam bentuk menolak bantuan orang lain atau reaksi acuh terhadap

pertanyaan pemeriksa terhadap fungsi apa yang diharapkan. Untuk membantu

pasien dapat menerima kondisi amputasinya dan memperbaiki reaksi depresi dapat

dengan bantuan tokoh agama, serta membantu dengan visualisasi hal-hal positif

seperti self hypnosis, olah raga atau obat-obat penghilang nyeri dapat membantu

mengobati reaksi depresi pada pasien.

c. Gangguan stress pasca trauma setelah amputasi

Pada pasien amputasi karena penyakit kronis PTSD jarang terjadi (<5%) namun

PTSD sangat tinggi pada kasus trauma amputasi mencapai 34% sehingga perlu

disosialisasikan kepada spesialis terkait bila ada tanda re-experience seperti mimpi

buruk atau flashback, menghindar, atau mati rasa emosiaonal yang bertumpang

tindih dengan depresi maka sebaiknya di konsulkan ke bagian psikiatri. (Cavanagh,

2006). Depresi setelah amputasi dapat merupakan akibat dari reaksi penyesuaian

setelah operasi dan cacat tiba-tiba. Hail ini dapat diatasi dengan psikoterapi

supportif, rehabilitasi medic, serta penggunaan antidepresan jangka pendek 3-6

bulan. Walaupun jarang terjadi, depresi sering terjadi sebagai efek sekunder dari

PTSD dengan kejadian 30% dari populasi (Breslau,2001).

d. Makna amputasi pada pasien


31

Nyeri merupakan hal yang umum terjadi seperti sensasi phantom limb, hampir

semua pasien mengalami beberapa derajat sensasi phantom limb 55% sampai 85%

mengalami nyeri phantom limb. Memori nyeri memainkan peran penting dalam

nyeri post amputasi atau pada pasien dengan nyeri neuropatik. Analgetik opioid

merupakan terapi yang penting dalam nyeri akut dan penggunaan antidepresan,

antikonvulsan, benzodiazepine banyak digunakan untuk nyeri kronis.

Penampilan kosmetik tampak berperan besar dalam gejala sisa psikologis pasca

amputasi. Semakin tinggi tingkat amputasi maka akan semakin tinggi tingkat

kejadian PTSD. Perlu dipertimbangkan juga makna amputasi terkait makna pribadi

dan budaya, serta pandangan kecemasan dan pola koping sehingga perlu

diperhatikan sudut pandang pasien terhadap tindakan amputasi tersebut untuk

menunjukkan sisi empati.

5) Komunikasi

Komunikasi merupakan langkah terakhir dalam CL Psikiatri , namun pada kasus

ini belum dilakukan Rapat TIM untuk penanganan secara paripurna. Hal yang perlu

mendapatkan perhatian penting adalah fase rehabilitasi paska amputasi dimana tim

rehabilitasi medik perlu di ikut sertakan.

3.3 CL Psikiatri Pada Bagian Rehabilitasi Medik

Identitas pasien

Nama Pasien : NWG (14056459)

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 59 tahun
32

Tempat Lahir : Karangasem

Tanggal Lahir :-

Pendidikan :-

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Pedagang

Agama : Hindu

Suku bangsa : Bali

Alamat : Karangasem

Tanggal wawancara : 20 Januari 2017

Autoanamnesis

Keluhan utama : Sakit pada kaki

Pasien diwawancarai dalam posisi berbaring, nampak mengenakan baju kaos

berwarna putih dan celana pendek bercorak bunga bunga. Pasien sulit dimengerti

pembicaraannya dan hanya dapat dimengerti oleh suami pasien. Pasien tampak sulit

untuk berjalan hanya duduk dan butuh bantuan keluarga untuk berpidah dari kursi

roda menuju tempat tidur.

Pasien mampu menyebutkan nama, siapa yang mengantar, namun saat ini

mengatakan ada di rumah pak Sadya (sepupunya di desa) dan waktu saat ini adalah

malam hari Beberapa kali pasien nampak mengelap air liur yang keluar dari

mulutnya, air liur tersebut lebih banyak keluar karena ada luka pada lidah pasien.

Pasien beberapa kali mengatakan kalau dirinya sulit untuk menenlan dan kemudian

menangis tanpa sebab yang jelas.


33

Pasien mengatakan dengan suara yang kurang jelas bahwa kakinya sakit

kemudian beberapa saat mengatakan matanya sakit, hal ini membuatnya menjadi

tidak nyaman, kemudian ia menceritakan setelah matanya diobati sakit tersebut

berpindah ke kakinya. Pasien dikatakan sudah 1 bulan tidak dapat berkativitas

karena sakit di kakinya. Kaki tersebut sudah pernah dibawa berobat namun muncul

kembali nyerinya. Beberapa saat setelah menceritakan kakinya yang nyeri pasien

mengatakan dia mau memotong ayam 200 ekor. Dan saat ditanya lebih lanjut untuk

apa memotong ayam dan kapan, pasien mengatakan kalau memotong ayam itu ada

dalam mimpinya.

Saat ditanya apakah pasien ada mendengar suara suara atau melihat bayangan

yang tidak ada wujudnya, pasien tidak jelas menjawab. Pasien datang diantar oleh

suami, anak dan menantu ke rumah sakit karena pasien sejak 3 hari yang lalu bicara

melantur tetapi saat ditanya jawabannya masih bisa dimengerti dan masih

nyambung meskipun pasien memiliki gangguan pendengaran. Tetapi sejak tadi pagi

bicaranya mulai susah dipahami.

Pasien juga seperti orang takut, mengatakan cucunya dibanting padahal tidak

ada kejadian seperti itu, takut ada petugas datang Sehari sebelum dibawa ke RS

pasien sempat mengompol di tempat tidur. Sejak 2 minggu yang lalu pasien sudah

mulai tidak mau giat bekerja seperti sebelumnya, dan lebih sering tinggal di kamar,

tidur pasien terganggu dan napsu makannya juga terganggu Sekitar 3 tahun yang

lalu pasien pernah di rawat di RSJ Provinsi Bali selama 1 bulan karena mengalami

keluhan nyeri pada badan yang berpindah pindah. Karena tidak ada perubahan
34

akhirnya pasien pulang dan dirawat oleh psikiater. Selama perawatan psikiater,

pasien dikatakan membaik dan tidak pernah bicara melantur seperti ini.

Pasien rutin diajak berobat psikiater, namun obat tidak diketahui karena

obatnya berbentuk kapsul Pasien sejak 10 hari terakhir tidak minum obat karena

tidak sempat diajak berobat ke psikiater, baru kemarin malam diajak berobat dan

diberikan obat berupa serequel 25 mg malam, noprenia 2 mg pagi, kapsul frixitas

0,35/merlopam 0,75 mg/ hexymer 1,5 mg

Riwayat Perkembangan dan Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami gejala psikosomatik

Riwayat Keluarga

Tidak terdapat sakit yang sama dengan pasien dalam keluarga.

Riwayat Pengobatan

Klien tidak pernah mendapat perawatan psikiater ataupun berkonsultasi dengan

psikiater sebelumnya.

Riwayat Penggunaan NAPZA

Pasien minum kopi dan berhenti 3 tahun yang lalu.

Faktor Premorbid

Pasien merupakan orang yang jarang bergaul dan lebih banyak memendam

perasaan bila ada masalah

Faktor Organik ( Diagnosis bagian Rehabilitasi Medik)

Osteoartritis Genu Dextra dan Sinistra

Status Interna
35

STATUS VITAL STATUS GENERAL STATUS


NEUROLOGIS
T : 130/90 mmHg Mata : an -/-, ikt -/-, pupil GCS E4V5M6
isokor
N : 80 x/menit THT : kesan tenang, Defisit neurologis
tidak ada
R : 20 x/menit Cor : Bj I/II reguler, murmur
(-), Gallop(-)
S : 36,5 C Pul : ves +/+ , rh -/+ , wh -/-

VAS = 2 Abd : distensi (-),


meteorismus (-), Spleen dan
hepar tidak teraba, Nyeri
tekan epigastrium (-)
Ext bawah: edema -/- hangat
+/+ tenaga 3/3

Status Psikiatri

Kesan Umum : penampilan tidak wajar, tampak bingung, kontak verbal

sulit dimengerti dan visual kurang

Sensorium dan Kognisi

Kesadaran : Jernih

Orientasi : Baik

Mood/Afek : Alexitemia/ inadekuate

Proses Pikir

Bentuk Pikir : Non Logis Non realis

Arus Pikir : Asosiasi longgar

Isi pikir : Preokupasi pada sakit kakinya

Persepsi : halusinasi (+), ilusi (+), depersonalisasi (-), derealisasi (-)

Dorongan Instingtual : insomnia (-) , hipobulia (-),raptus(-)

Psikomotor : tenang saat pemeriksaan


36

Tilikan :4

Pemeriksaan penunjang :

PANSS : P 25 N 18 G 30

Diagnosis

 Axis 1 : Gangguan psikotik lir skizofrenia akut (F23.2) + Gangguan

ekstrapiramidal dan pergerakan lainnya (G25)

 Axis 2 : Ciri Kepribadian schizoid, MPE Represi

 Axis 3 : Osteoartritis genu dextra et sistra

 Axis 4 : Masalah dengan penyakitnya

 Axis 5 : GAF pada saat pemeriksaan 50-41

Terapi Psikiatri :

Risperidon 1 mg setiap 12 jam peoral

Trihexyfenidil 2 mg setiap 12 jam peroral

Terapi TS Rehambilitasi Medik :


37

Latihan ROM

HSD dapat dilakukan bila pasien sudah tenang.

Langkah-langkah dalam CLP pada kasus ini yaitu :

1. Case finding (aktif) pada kasus ini pasien emergency dengan Gangguan psikotik

lir skizofrenia akut (F23.2) + Gangguan ekstrapiramidal dan pergerakan lainnya

(G25) disertai dengan kelemahan dan nyeri pada anggota gerak bawah .

Masalah dalam kasus ini :

a. Gangguan psikotik lir skizofrenia akut

Pasien saat ini dengan kondisi gelisah dengan gejala positif berupa gangguan proses

piker dan halusinasi auditorik dan visual, pasien mendapatkan terapi neuroleptik

dengan muncul syndrom gangguan pergerakan.

b. Kesulitan gerak karena osteoartritis

Pasien mengalami nyeri dan kelemahan anggota gerak bawah sehingga sulit untuk

beraktivitas disertai dengan peningkatan berat badan yang cukup tinggi sehingga

anggota gerak sulit untuk menopang badan.

c. Masalah Farmakoterapi

Pasien saat ini mengalami gangguan psikotik lir skizofrenia akut setelah mendapat

pengobatan pasien pasien menderita gangguan pergerakan akibat neuroleptik

sebelumnya namun saat ini gejala positif pasien dominan sehingga perlu

diperhatikan pemilihan terapi yang relevan dengan kondisi pasien.


38

2) Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan status interna, statsus mental dan pemeriksaan penunjang PANSS: P

25 N 18 G 30 didapatkan diagnosis Gangguan psikotik lir skizofrenia akut (F23.2)

+ Gangguan ekstrapiramidal dan pergerakan lainnya (G25)

3) Intervensi : Dengan konsep FRAMES

a. FEEDBACK : Karena kondisi gangguan jiwa yang cukup lama dan tidak

melakukan aktivitas yang banyak mempengaruhi berat badan dan kondisi sendi

pada tungkai bawah sehingga menimbulkan nyeri dan kelemahan.

b. ADVIS : Saat ini anda sebaiknya menjalani pengobatan yang sudah ditetapkan

dokter yang merawat, agar penyakit anda membaik.

c. RESPONSIBELITY : agar penyakit dapat tertangani dengan optimal diperlukan

kerjasama baik anda maupun keluarga.

d. MENU : Untuk mengatasi gangguan psikologis yang saat ini anda derita saya

akan membantu mensupport agar anda bisa tenang.

e. EMPATY : saya senang bisa membantu anda, semoga kondisi anda segera

membaik.

f. SELF EFIKASI : saya yakin ada dapat mengikuti semua anjuran pengobatan yang

diberikan.

4) Penatalaksanaan :

a. Gangguan psikotik lir skizofrenia akut

Pasien saat ini dengan kondisi gelisah dengan gejala positif berupa gangguan proses

piker dan halusinasi auditorik dan visual, pasien mendapatkan terapi neuroleptik

dengan muncul syndrom gangguan pergerakan. Pemilihan terapi antipsikotik yang


39

dapat menurunkan gejala dan memiliki efek samping yang rendah perlu

dipertimbangkan, sebagian besar antipsikotik memiliki efek terhadap gangguan

pergerakan namun clozapin memiliki efek yang paling ringan terhadap gangguan

pergerakan dan mampu menekan gejala psikotik pada pasien.

b. Kesulitan gerak karena osteoartritis

Pasien mengalami nyeri dan kelemahan anggota gerak bawah sehingga sulit untuk

beraktivitas disertai dengan peningkatan berat badan yang cukup tinggi sehingga

anggota gerak sulit untuk menopang badan. Peningkatan berat badan sering terjadi

pada pasien skziofrenia yang merukan dampak dari pemberian antipsikotik atipikal.

Pasien skziofrenia memiliki kecenderungan terjadi penumpukan lemak

intraabdominal tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan populasi kontrol yang

di sesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan gaya hidup. Peningkatan berat badan

sekitar 10% disebabkan oleh pemberian antipsikotik atipikal dan meningkatkan

kasus sindrom metabolic, ketoasidosis diabetic, penyakit kardiovaskuler dan stroke.

Latihan fisik yang terkontrol perlu dilakukan dengan manipulasi oleh TS

rehabilitasi medik untuk dapat memperbaiki ektrimitas secara bertahap.

c. Masalah Farmakoterapi

Pasien saat ini mengalami gangguan psikotik lir skizofrenia akut setelah mendapat

pengobatan pasien pasien menderita gangguan pergerakan akibat neuroleptik

sebelumnya namun saat ini gejala positif pasien dominan sehingga perlu

diperhatikan pemilihan terapi yang relevan dengan kondisi pasien. Clozapine dan

olanzapine merupakan antipsikotik atipikal yang paling sering dihubungkan dengan

peningkatan berat badan 4- 4,5 kg dalam 10 minggu namun memiliki efek rendah
40

terhadap gangguan pergerakan. Hal ini banyak disebabkan oleh abnormalitas

regulasi kortisol yang disebabkan stress psikologis yang mengaktifkan HPA aksis.

Peningkatan berat badan juga bisa di sebabkan oleh psikofarmaka termasuk lithium.

(Fagiolini, 2008). Secara biologi dikatakan bahwa antagonis reseptor serotonin 2C

(5HT2C) secara sentral oleh antipsikotik atipikal meningkatkan intake makanan

walaupun sudah dalam kondisi kenyang. Antagonis reseptor histamine juga

meningkatkan nafsu makan. Jenis antipsikotik yang paling jarang menimbulkan

peningkatan berat badan yaitu ziprasidon dan aripiprazole.

5) Komunikasi

Komunikasi merupakan langkah terakhir dalam CL Psikiatri , namun pada kasus

ini belum dilakukan Rapat TIM untuk penanganan secara paripurna. Perlu

dilakukan evaluasi secara menyeluruh pada pasien untuk mencari factor risiko lain

pada fisik untuk mencegah gangguan kardiovaskuler dan penyakit fisik lainnya

sehingga perlu dilakukan konsultasi pada TS lain yang terkait seperti penyakit

dalam dan gizi klinik.

3.4 CL Psikiatri Bagian Kadiologi dan Penyakit Vaskuler.

Identitas pasien

Nama Pasien : K (15055882)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 77 tahun

Tempat Lahir : Banyuwangi

Tanggal Lahir : 31/12/1939


41

Pendidikan : SD

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

Alamat : Jalan Batur Raya no 55 Jimbaran

Tanggal wawancara : 24 Januari 2017

Autoanamnesis

Keluhan utama : Gelisah

Pasien diwawancara dalam posisi duduk diatas tempat tidur, tanpa

mengenakan pakaian dan badan tertutup selimut, badan terpasang monitor jantung

dan terpasang infuse pada lengan kanan pasien. Tampak gelisah bergerak ke kiri

dan kekanan, bicara dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti lebih seperti

bergumam, sesekali berteriak.

Pasien tidak menjawab ketika ditanya siapa nama, tidak mengenali siapa yang

menemani pasien , namun pasien masih mengetahu saat dilakukan pemeriksaan

pada malam hari. Pasien tidak mengetahui perasaannya saat ini hanya bergumam

mengatakan “sakit” sambil memegang dada kirinya.

Pasien dikatakan mengalami perubahan perilaku semenjak pagi hari setelah

malam sebelumnya pasien tidak tidur sama sekali karena infuse terlepas dan sulit

sekali untuk di pasang infuse sehingga harus dipasang beberapa kali. Hal ini

diperparah ketika pasien ingin BAB namun tidak mau di tempat tidur dan meminta

ke toilet namun tidak diberikan oleh keluarga dan paramedic. Semenjak tidak bisa
42

tidur pasuin menjadi gelisah dan beberapa kali mencoba untuk mencabut infusnya

termasuk alat monitor jantung yang terpasang di tubuh pasien. Oleh keluarga pasien

dikatakan tidak ada melihat bayangan ataupun mendengan suara yang aneh atau

tidak ada sumbernya. Pasien semenjak 3 hari ini mengalami penurunan nafsu

makan.

Pasien dikatakan memiliki riwayat pikun sejak beberapa tahun terakhir, lupa

apa kegiatan yang baru saja dilakukan namun masih ingat dengan anak dan masa

lampau pasien, pasein merupakan orang yang pekerja keras dan sering menabung

untuk membeli tanah dan sangat ketat dengan pengeluaran yang dilakuakan. Pasien

merupakan orang yang detail dalam mengelola sawahnya di jawa. Merupakan anak

ke 4 dari 6 bersaudara. Pasien saat ini memiliki 5 anak yang seluruhnya sudah

berkeluarga.

Riwayat Perkembangan dan Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita sakit jantung sebelumnya, tidak pernah

mendapat penanganan psikiater sebelumnya.

Riwayat Keluarga

Tidak terdapat sakit yang sama dengan pasien dalam keluarga, merupakan anak ke

4 dari 6 bersaudara. Pasien saat ini memiliki 5 anak yang seluruhnya sudah

berkeluarga.
43

Riwayat Pengobatan

Klien tidak pernah mendapat perawatan psikiater ataupun berkonsultasi dengan

psikiater sebelumnya.

Riwayat Penggunaan NAPZA

Rokok sejak muda sampai 10 tahun yang lalu , rokok tembakau linting 20

batang sehari, kopi 1 cangkir sehari tanpa ada riwayat penggunaan alkohol.

Faktor Premorbid

Pasien merupakan orang yang detail dan perhitungan dalam hal ekonomi.

Faktor Organik ( Diagnosis bagian Obgyn)

UAP + Hipertensi std II + CAP clas IV + sepsis + CKD std V

Status Interna

STATUS VITAL STATUS GENERAL STATUS


NEUROLOGIS
T : 130/80 mmHg Mata : an -/-, ikt -/-, pupil GCS E4V5M6
isokor
N : 88x/menit THT : kesan tenang, Defisit neurologis
tidak ada
R : 18x/menit Cor : Bj I/II reguler, murmur
(-), Gallop(-)
S : 36 C Pul : ves +/+ , rh -/- , wh -/-

VAS = 4 Abd : distensi (-),


meteorismus (-), Spleen dan
hepar tidak teraba, Nyeri
tekan epigastrium (-)
Ext : hangat

Status Psikiatri

Kesan Umum : penampilan tidak wajar, kontak verbal dan visual kurang.

Sensorium dan Kognisi


44

Kesadaran : Fluktuatif

Orientasi : Terganggu (disorientasi orang)

Mood/Afek : Disforik/ Iritable /Appropriate

Proses Pikir

Bentuk Pikir : Autistik

Arus Pikir : Miskin bicara

Isi pikir : Ide bunuh diri(-), waham belum dapat di evaluasi.

Persepsi : halusinasi (-), ilusi (-), depersonalisasi (-), derealisasi (-)

Dorongan Instingtual : insomnia (+) tipe campuran, hipobulia (+), raptus(+)

Psikomotor : meningkat saat pemeriksaan

Tilikan :I

Pemeriksaan penunjang :

CAM : 4 (Delirium)

RASS : +2

Diagnosis

 Axis 1 : Delirium, Bertumpang tindih dengan Dimensia (F05.1)

 Axis 2 : Ciri Kepribadian anankastik.

 Axis 3 : UAP + Hipertensi std II + CAP clas IV + sepsis + CKD std V

 Axis 4 : Masalah dengan penyakitnya

 Axis 5 : GAF pada saat pemeriksaan 40-31

Terapi Psikiatri :

Haloperidol 0,5 mg setiap 12 jam peroral


45

Bila gelisah dapat di injeksi dengan Halopridol 1,25 mg intramuscular.

Psikoedukasi keluarga

Rawat bersama TS Kardiologi

Terapi TS Kardiologi :

MRS

IVFD NaCL 0,9%:D5% :RL dalam 24 jam

Asetosal 80 mg @24jam

Clopidogrel 75 mg @ 24 jam

Captopril 25 mg @ 8 jam

Simvastatin 20 mg @ 24 jam

Laxadin 15cc @ 8 jam

Amlodipin 10 mg @ 24 jam

ISDN 2 mg/ jam IV

Pantoprazole 40 mg @ 24 jam IV

Terapi TS Paru :

Levofloxacine 500mg@ 24 jam

N Acetyl sistein 250mg @ 8 jam

Nebul Ventoline @ 6 jam

Metyl prednisolon 31,25 mg @ 12 jam

Langkah-langkah dalam CLP pada kasus ini yaitu :


46

1. Case finding (pasif) pada kasus ini pasien kardiologi dan paru dengan UAP +

Hipertensi std II + CAP clas IV + sepsis + CKD std V yang mengalami gangguan

psikiatri delirium yang bertumpang tindih dengan dimensia.

Masalah dalam kasus ini :

a. Delirium

Pasien saat ini pasien mengalami delirum yang bertumpang tindih dengan dimensia

yang banyak dipengaruhi oleh ketidak stabilan kondisi jantung dan sistem

pernafasan pasien yang mengalami infeksi hingga sepsis serta gagal ginjal.

b. Agitasi

Agitasi pada kasus kardiovaskuler yang disertai akan dilakukan tindakan invasive

sering menimbulkan kendala bagi dokter yang akan meberikan penanganan. Agitasi

bisa muncul sebagai suatu respon ancietas sehingga dapat pula bermanifestasi pada

denyut jantung dan tekanan darah. Gangguan irama jantung juga dapat muncul

yaitu oleh stimulasi vagal yang dapat secara langsung mengakibatkan variabilitas

denyut jantung dan penyebab kedua karena arousal sistem saraf otonom yang dapat

meningkatkan katekolamin yang dapat berefek pada miokardium atau secara tidak

langsung melalui hipertensi ( Blumenfield , 2003)

c. Masalah Farmakoterapi

Pasien saat ini dengan UAP + Hipertensi std II + CAP clas IV + sepsis + CKD std

V merupakan pasien geriatric yang menderita dimensia dan saat pemeriksaan

mengalami delirium sehingga muncul gejala agitasi sehingga perlu dilakukan

pemberian tatalaksana yang sesuai dengan kondisi pasien. Pada kasus ini perlu
47

diperhatikan obat-obat psikiatri yang akan berpengarruh terhadap sistem

kardiovaskuler.

Pada axietas pemeberian benzodiazepine dapat dipertimbangkan terutama pada

kasus AMI semua jenis benzodiazepine dapat digunakan terkandung pada

kecepatan aksi yang diharapkan, jalur pemberian obat, dan preferensi

berzodiazepine kerja panjang atau pendek. Untuk rapid transquilizer banyak pilihan

dapat lorazepam, alprazolam dan diazepam. Diazepam dengan aksi yang lebih

panjang 20-60 jam namun sering lebih dipilih pemberian benzodiazepine yang

memiliki respon cepat 1-4 jam pasca serangan seperti clonazepam. Perlu

diperhatikan bila benzodiazepine derinteraksi dengan morpin karena memiliki efek

sedasi yang sangat kuat. (Leigh,2015).

Pada kasus depresi SSRI merupakan pilihan karena tidak mengakibatkan gangguan

kardiovaskuler antidepresan trisiklik sering menimbulkan hipotensi ortostatik,

gangguan konduksi seperti peningkatan interval PR, QRS dan QT, selain itu

antidepresan trisiklik dapat mengakibatkan sinus takikardi, SVT,VT, dan VF

(Taylor, 2008). Anti depresan MAOI sering menyebabkan krisis hipertensi

(Fiedorowicz,2004).

Metilfenidat merupakan kontraindikasi pada pasien kardiovaskuler karena bisa

menyebabkan tekanan darah yang tidak stabil, aritmia jantung dan circulatory

colaps (Blumenfield, 2003)

Mood stabilizer seperti litium dapat mengakibatkan perubahan gelombang ST-T

pada oversodid lithium bisa terjadi aritmia dan gangguan konduksi (

Blumenfield,2003)
48

Antipsikotik dapat menyebabkan terjadinya peningkatan interval QT yang

bermanifestasi pada gejala kardiovaskuler seperti sinkop, hipotensi, palpitasi,

takiaritmia dan sudden death. Tioredazin dikatakan merupakan paling sering

mengakibatnya perubahan QT interval, diikuti oleh ziprasidon, quetiapin,

risperidon, haloperidol dan olanzapine. Clozapin, chlorpromazine, dan thioredazine

merupakan agen yang paling sering mengakibatkan hipotensi. Dikatakan

haloperidol preparat yang paling jarang mengakibatkan hipotensi (

Blumenfield,2003)

2) Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan status interna, statsus mental dan pemeriksaan penunjang CAM 4 dan

RASS +2 pasien didiagnosis dengan Delirium bertumpang tindih dengan dimensia

(F05.1)

3) Intervensi : Dengan konsep FRAMES

a. FEEDBACK : Karena kondisi penyakit jantung dan sistem pernafasan yang berat

menyebabkan terjadi perilaku agitasi dan kecemasan yang mengganggu psikologis

pasien.

b. ADVIS : Saat ini anda sebaiknya menjalani pengobatan yang sudah ditetapkan

dokter yang merawat, agar penyakit pasien membaik.

c. RESPONSIBELITY : agar penyakit dapat tertangani dengan optimal diperlukan

kerjasama baik pasien maupun keluarga.

d. MENU : Untuk mengatasi gangguan psikologis yang saat ini menyertai sakit

yang anda derita saya akan membantu mensupport agar anda bisa tenang.
49

e. EMPATY : saya senang bisa membantu anda, semoga kondisi anda segera

membaik.

f. SELF EFIKASI : saya yakin ada dapat mengikuti semua anjuran pengobatan yang

diberikan.

4) Penatalaksanaan :

a. Delirium

Delirium diakibatkan oleh kondisi penyakit pasien yang cukup berat yang yang

dapat disebabkan oleh waktu yang terlalu banyak dihabiskan dengan sirkulasi

extracorporeal, namun pada pasien ini penyebab utama delirium karena gangguan

serebrovaskuler, sepsis dan interaksi obat ( Thiamson,2003)

b. Agitasi

Agitasi yang muncul dapat merupaka manifestasi dari penyakit yang diderita oleh

pasien seperti kardiovaskuler, hipoksia atau sepsis namun agitasi sangat berkaitan

erat dengan cirri kepribadian pasien yang anankastik dan mekanisme koping yang

digunakan pasien terhadap kondisinya saat ini. Psikoterapi dapat dilakuakan bila

kondisi pasien sudah stabil, pengikatan tidak direkomendasikan (restrain mekanik)

merupakan tindakan yang cukup menyakitkan dan berkontribusi cukup besar pada

peningkatan mortalitas dengan memperberat lactic asidosis dan hipertermia,

sehingga perlu dilakukan evaluasi secara intensif (Edward,2016)

c. Masalah farmakotrapi

Pada kasus ini pemberian haloperidol dosis kecil 0,5-3 mg dapat mebantu

mengurangi agitasi dan anxietas pada pasien namun tidak menimbulkan perubahan
50

QT interval. Haloperidol secara umum bila diberikan secara perlahan dari dosis

yang lebih rendah dapat ditoleransi oleh beberapa pasien. (Leigh, 2015)

5) Komunikasi

Komunikasi merupakan langkah terakhir dalam CL Psikiatri , namun pada kasus

ini belum dilakukan Rapat TIM untuk penanganan secara paripurna. Perlu

dilakuakan evaluasi interaksi obat terutama obat kortikoteroid terkait dengan gejala

agitasi dan insomnia yang muncul.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Berdasarkan laporan kasus yang dilakukan aspek CLP perlu dilakukan pada

kasus kasus yang memiliki ketersinggungan dengan psikiateri. Terdapat


banyak hubungan atara prikiatri dengan penyakit fisik pada bagian lain yang

membutuhkan tatalaksan yang baik

2. Komunikasi interspesialisasi sangat berguna dalam memberikan tatalaksana

pada pasien secara paripurna.

3. Konsultasi psikiatri lebih awal akan meningkatkan hasil keluaran pasien yang

dapat dilihat pada berkurangnya lama masa rawat dan juga mengurangi biaya

yang harus dibayarkan pasien.

4. Untuk meningkatkan angka konsultasi diperlukan adanya komunikasi dan

pendidikan mengenai CLP ke bidang medis terkait lainnya

6.2 Saran

Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan CLP di RSUP

Sanglah dalam rentang waktu yang lebih lama sehingga didapatkan data yang lebih

lengkap dan juga penelitian tentang pemahaman teman sejawat dokter dan tenaga

medis lainnya mengenai CLP di lingkungan RSUP Sanglah untuk

kemudian dapat dilakukan pengajaran atau pelatihan tentang CLP baik dalam

bentuk seminar atau workshop untuk meningkatkan angka konsultasi psikiatri di

RSUP Sanglah Denpasar.

51
DAFTAR PUSTAKA

Alhuthail, Y. R. (2009). Timing of Referral to Consultation-liaison Psychiatry.


International Journal of Health Sciences, vol.3 No.2.
Andri. (2011). Konsep Biopsikososial pada Keluhan Somatik. Journal Indonesian
Medical Association, 375-379.
Andri. (2011, Juli 20). Pengenalan Consultation-Liaison Psychiatry dan
Kedokteran Psikosomatik. Kompasiana.
Blumenfield, M., & Tiamson, M. L. (2003). Consultation-Liaison Psychiatry A
Practical Guide. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Braunwald (2001) eds Harrisons Principles of internal Medicine. 15th ed New York.
NY : McGraw-Hill.
Breslau (2001) The epidemiology of posttraumatic stress disorder; what is the
extent of the problem?. Clin Psychiatry. 62 suppl 17.16-22
Cavanagh (2006) Psychiatric and emotional sequele of surgical amputation.
Psychosomatics. 47.459-464
Edward W. Boyer, (2016) Serotonin Toxicity, New England Journal of Medicine.
Massachusetts.

Fawzy FI (2003) Malignant MelanomaEffect of a brief, structured psychiatric


intervention on survival and recurrence at 10 year follow up. Arch gen psychiatry,
60:100-103
Fiedorowics JG, the role of monoamine oxidase inhibitors in current psychiatric
practice. Psychiatric practice 239-248
Gala, C., Rigatelli, M., Bartolini, C. D., Rupolo, G., Gabrielli, F., & Grassi, L.
(1999). A Multicenter Investigation of Consultation Liaison Psychiatry in Italy.
General Hospital Psychiatry, 310-317.
Jair, P. B. (2002). Asessment of a Consultation-Liaison Psychiatry and Psychology
Health Care Program. Rev Saude Publica, 222-22.
Lai AM, (2000) The young athlete with physical challenges. Clin sports
Med.19:793-819
Leigh, H. (2015). Handbook of Consultation-Liaison Psychiatry . Springer.
Maharajh, H. D., Abdool, P., & Emamdee, R. (2008). The Theory and Practice
Consultation Liaison Psychiatry in Trinidad and Tobago with Reference to Suicidal
Behavior. The Scientific World Journal, 920-928.
Maneeton, B., Khemawichanurat, W., & Maneeton, N. (2007). Consultation
Liaison Psychiatry in Maharaj Nakorn Chiang Mai Hospital. ASEAN Journal of
Psychiatry, 124-130.
Prasetyawati, A. E. (2010). Kedokteran Keluarga dan Wawasannya. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

52
53

Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015) Synopsis of Psychiatry:


Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry . 11th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Publications.

Su, J. A., Chou, S. Y., Chang, C. J., & Weng, H. H. (2010). Changes in Consultation
Liaison Psychiatry in the First Five Years of Operation of A Newly Opened
Hospital. Chang Gung Medical Journal, 22-30.
Syamsulhadi, H. M. (2012). Penatalaksanaan Consultation Liaison Psychiatry dan
Aplikasi Klinis. Surakarta: UNS Press.
Wise, M. G., & Rundell, J. R. (2005). Clinical Manual of Psychosomatic Medicine.
Arlington: American Psychiatric Publishing inc.
54

Anda mungkin juga menyukai