Anda di halaman 1dari 5

V.

ALIRAN REALISME HUKUM

Aliran realis di bidang hukum tumbuh dari aliran realis dalam pemilikan filsafat
umum. Aliran realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara
sampai ada putusan hakum terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagi hukum dalam
buku-buku baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
Realisme sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism. Menurut Huijbers
pragmatism memang merupakn suatu sikap. Sikap pragmatis ini cukup umum di Amerika
berdasarkan prinsip-prinsip yang disebut tadi diberi nama mazhab realisme hukum. Di
Skandinavia juga muncul suatu mazhab realisme hukum, tapi mazhab ini mencari
kebenaran suatu pengertian dalam sutuasi tertentu dengan menggunakan ilmu psikologi.
Aliran realisme seagai suatu gerakan dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:
a. Realisme Amerika, yang berkembang karena adanya kebosanan atas paham
formalisme yang mengemukakan kajian-kajian logika seperti matematika dari sisi
ekonomi yang dikaitkan dengan filsafat hukum tanpa dikaitkan dengan kenyataan
yang ada
Tokoh-tokoh dari aliran ini:
1) John Chipman Gray (Karyanya: The Nature and Sources of The Law)
Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya. Semboyannya yang
terkenal adalah “All the law is judge made law”. Ia berpendapat bahwa hukum
adalah keputusan hakim, tidak ada hukum jika tidak ada keputusan hakim.
Pandangan ini sudah mengarah ke fragmatis.
Inti dari ajaran Gray yaitu memandang hukum disamping dari sisi logika hukum,
juga mencerminkan akhlak dan perangkat-perangkat yang baik (tidak hanya untuk
kelompok tertentu tapi terkait pembentukan hukum). Dengan kata lain jika hukum
mau baik maka harus dibuat orang yang memiliki akhlak yang baik, dalam arti
dibuat bukan dalam tujuan untuk kepentingan kelompok atau diri sendiri.
2) John Dewey (Karyanya: Logic the Theory of Inquiry dan My Philosophy of Law)
Dalam artikel Dewey berjudul Logical Method of Law, inti ajaran Dewey adalah
bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip-prinsip teoritis
seperti selogisme tetapi suatu studi tentang kemungkinan-kemungkinan. Logika
adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi,
suatu proses dalam mana prinsip umum hanya bisa dipakai sebagai alat yang
dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Jika diterapkan dalam proses hukum
ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah ditetapkan sebelumnya harus
dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes. Melalui fakta yang
ada dalam kasus ahli hukum dapat mengubah pemilihak ketentuan-ketentuan yang
diterapkan dalam kasus. Dengan demikian hukum adalah proses eksperimental di
mana faktor logika hanya salah satu dari faktor-faktor yang utama untuk menarik
kesimpulan tertentu.
3) Oliver Wandell Holmes (Karyanya: The Path of Law)
Kata-kata Holmes yang terkenal adalah “The life of the law has been, not logic,
but experience” dan “The prophecies of what the courts will do in fact and nothing
more pretentious are what I mean by the law”. Aspek empiris dan pragmatis dari
hukum merupakan hal yang penting. Bagi Holmes yang disebut sebagai hukum
yaitu apa yang diramalkan atau perkiraan-perkiraan apa yang akan diputus dalam
kenyataannya oleh pegadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual
para hakim (patterns of behaviors) yang ditentukan oleh faktor moral hidup
pribadi hakim, kepentingan sosial dan kaidah-kaidah hukum yang dikonkretkan
oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi. Hal-hal ini yang akan
mempengaruhi putusan hakim. Ajaran dari Holmes ini kemudian juga diikuti oleh
4) Jerome Frank (Karyanya: Law and the Modern Mind dan Courts on Trial)
Jerome Frank merupakan penganut pemikiran Oliver Wandell Holmes. Menurut
Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan tetap. Ia tidak
menyangkal bahwa norma-norma hukum yang berlaku mempengaruhi putusan
hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah satu pertimbangan saja. Sama dengan John
Chipman Gray, Frank berpendapat unsur-unsur lain seperti prasangka politikm
ekonomi, moral bahkan simpati antipasti pribadi semuanya ikut berperan dalam
putusan tersebut. Norma-norma hukum sebaiknya dilukiskan sebagai suatu
generalisasi fiktif dari kelakuan para hakim. Oleh karena itu, dengan
meihatnorma-norma hukum itu juga dapat diramalkan tentang kelakuan seorang
hakim di masa depan, walaupun ramalan ini hanya berlaku dalam batas tertentu.
b. Realisme Skandinavia, yang berkembang karena adanya kebosanan akan doktrin-
doktrin yang ada di Civil Law (Code Civil).
Tokoh-tokoh dari aliran ini:
1) H. L. A Hart (Karyanya: 1)The Concept of Law, 2) Scandinavian Realism dan
3)Law, Liberty and Morality)
Hukum harus dilihat baik dari aspek ekstern maupun aspek internnya. Dari aspek
ekstern hukum dilihat sebagai perintah penguasa dan dari aspek internnya
merupakan keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.
Menurut Hart norma hukum dibagi menjadi dua yaitu noma hukum primer (yang
menentukan subjek, apa yang harus dilakukan dan dilarang) dan norma hukum
sekunder (memastikan syarat-syarat berlakunya norma hukum primer).
Hart
2) Alf Ross (Karyanya: 1)Theorie der Rechtsquellen, 2)Kritik der Sogenannten
Praktischen Erkentnis, 3)Towards A Realistic Jurisprudence dan 4)On Law and
Justice)
Ross berpendapat hukum adalah suatu realitas sosial. Menurut Ross
perkembangan hukum melewati 4 tahapan, yaitu:
 Hukum adalah sistem paksaan yang actual
 Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan komunitas.
Tahap ini baru diterapkan jika orang mulai takut dengan paksaan, sehingga
selanjutnya paksaan mulai ditinggalkan.
 Hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis
dengan benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola
taat hukum.
 Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang
membentuknya.
Pendapat Ross ini dikritik oleh Huijbers, walaupun dalam teori Ross terdapat
unsure-unsur yang menerangkan timbulnya peraturan hukum tertentu tapi pada
umumnya ajarannya kurang memuaskan. Ross mau menerima norma hukum tapi
norma hukum itu ditafsirkan sebagai gejala psikologis semata. Itu berarti norma-
norma itu sebenarnya bukan norma yang sesungguhnya dan juga gejala etis tidak
dipahami oleh Ross.
3) John Rawls (Karyanya : A Theory of Justice)
Rawls meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam
membangun masyarakat yang adil. Adil dalam arti jika memiliki kesempatan yang
sama. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan
teori keadilannya yang dikenal dengan Teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan
teorinya, Rawls terpengaruh dengan ajaran Utilitarianisme dengan tokohnya
Jeremy Bentham. Ralws berpendapat agar tidak terjadi perbenturan kepentingan
masyarakat dan individu maka harus dicari keseimbangannya dengan teori posisi
asli. Terdapat 2 prinsip agar tidak terjadi perbenturan, yaitu adanya prinsip
kebebasan yang sama sebesar-besarnya dan harus diberikan prinsip ketidaksamaan
yang menyatakan situasi perbedaan sosial ekonomi. Dengan meletakkan pada 2
prinsip tersebut dilahirkan 3 cara pandang yaitu kebebasan yang sama sebesar-
besarnya, adanya oerbedaan dan persamaan yang adil atas kesamaan.

Skala gerakan Realisme Skandinavia lebih luas daripada Realisme Amerika karena
pusat perhatiannya bukan pada fungsionaris hukum (khususnya hakim), tetapi justru
orang-orang yang berada di bawah hukum. Realisme Skandinavia banyak menggunakan
dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan padangannya. Terdapat beberapa pendapat
mengenai perbedaan maupun persamaan dari Aliran Realisme Skandinavia dan Aliran
Realisme Amerika Serikat, yaitu:

a. J.W.Haris berpendapat perbedaan kedua gerakan tersebut dapat dilihat jika


pendekatan yang dilakukan Realisme Amerika dilakukan dengan melihat pada
perilaku atau kebiasaan dari pejabat (dalam hal ini hakim) maka Realisme
Skandinavia mengidentifikasi hukum dengan menggunakan dalil psikologi (hal yang
ada dipikiran seseorang) sebagai akibat dari hukum.
b. Friedmann berpendapat persamaan dari kedua gerakan tersebut adalah semata-mata
verbal. Realisme Amerika merupakan hasil pendekatan pragmatis dan paling sopan
pada lembaga-lembaga sosial yang dikembangkan dengan cirri khas Anglo-Amerika
yang menekankan pada pekerjaan dan perilaku di pengadilan. Namun para ahli
Realisme Amerika tidak berusaha menguraikan secara rinci suatu filsafat tentang
nilai-nilai. Sehingga dapat diasumsikan adanya pemisahan sementara antara das sein
dan das sollen untuk tujuan studi. Sebaliknya Realisme Skandinavia adalah semata-
mata kritik falsafaiah atas dasar-dasar metafisis dari hukum. Dengan menolak
pendekatan bahasa yang sederhana dari realis Amerika, Realisme Skandinavia lebih
bercorak continental dalam pembahasan yang kritis dan sering sangat abstrak tentang
prinsip-prinsip pertama
c. R.W.M Dias berpendapat jika di Amerika Serikat realis hukum berasal dari kalangan
praktis maupun pengajar maka di Skandinavia mereka mendekati tuhasnya pada
peringkat yang lebih abstrak dengan dasar pendidikan sebagai filsuf.
Hubungan aliran realisme hukum dengan aliran lain

Dari aliran realisme hukum ini muncul aliran sejarah/ mazhab sejarah yang muncul
karena kejenuhan atas aliran realisme dan menggebu-gebunya semangat Revolusi
Perancis dengan tokohnya yaitu Von Savigney. Von Savigney mengatakan bahwa hukum Commented [U1]: Cek penulisan

bukan merupakan perintah penguasa tapi merupakan perasaan keadilan yang berada pada
jiwa bangsa (sumber hukum adalah jiwa bangsa)

John Austin (tokoh aliran Social Yurisprudence) mulai memperhatikan gejala


masyarakat yang perlahan berubah dalam pemikirannya terkait hukum. Hal ini kemudian
dikuatkan dalam pandangan Realisme Hukum Amerika, yaitu hukum yang baik
merupakan hukum yang sesuai dengan perkembangan gejala masyarakat yang tercermin
dari keputusan hakim.

Anda mungkin juga menyukai