Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“PERUNDANG-UNDANGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”

NAMA DOSEN : RINDA PHILONA.,S.H.,M.H.

NAMA : MILA ROSILAWATI

NIM : 2021174201053

UNIVERSITAS 45 MATARAM

FAKULTAS HUKUM

2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah segala puji syukur penulis ucapkan atas Rahmat, Taufik, dan Karunia Allah
SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah Perundang-undangan ini dengan penuh
rasa tanggung jawab. Shalawat salam tidak lupa penulis curahkan kepada junjungan alam Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang
menderang.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dosen pembimbing mata kuliah
Perundang-undangan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
Makalah Perundang-undangan ini, dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua
pihak yang turut membantu hingga terselesaikannya makalah ini dengan baik. Mudah-mudahan
para pembaca dapat mengambil hikmah atau manfaat dari Makalah k Perundang-undangan ini dan
dapat menambah wawasan para pembaca

Penulis sadar bahwa dalam Makalah Perundang-undangan ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran anda, untuk sempurnya
penulisan-penulisan selanjutnya.

Demikian semoga Makalah Perundang-undangan ini dapat bermanfaat bagi penulis


khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
Latar Belakang........................................................................................................................1
Rumusan Masalah..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Istilah dan Batasan..........................................................................................................2
a. Ilmu dan teori perundang-undangan............................................................................2
b. Istilah peraturan Perundang-undangan........................................................................3
c. Batasan dan ciri-ciri peraturan Perundang-undangan..................................................4
B. Hukum Tertulis dalam Perundang-undangan..................................................................5
a. Kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistematika hukum......................5
b. Keuntungan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.................................................7
C. Landasan dan Asas-asas Peraturan Perundang-undangan...............................................8
a. Landasan peraturan perundang-undangan...................................................................8
b. Asas-asas peraturan perundang-undangan................................................................10
D. Kedudukan Perundang-undangan dan Hierarki Perundang-undangan.........................12
E. Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah...............................17
BAB III PENUTUP.................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara Hukum, Negara yang dan menjamin hak-hak
setiap rakyatnya, mengatur tentang tingkah laku rakyatnya, mengatur mulai dari
bersosialisasi sampai bagaimana hukum tersebut turut serta berperan dalam
pemerintahan, guna mencapai pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas pemerintahan
yang baik sebagai wujud pelaksanaan fungsi dan tujuan utamannya
Setiap rakyat haruslah menyadari pentingnya hukum yang dalam hal ini Perundang-
undangan sebagai wujud kongret penerapan hukum dalam masyarakat. Perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dewasa ini dapat dibagi menjadi dua yakni tertulis
dan tidak tertulis, yang penerapan keduanya sama-sama mengikat untuk kehidupan
masyarakat secara umum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Istilah dan Batasan ilmu perundang-undangan?
a. Apa pengertian ilmu dan teori perundang-undangan
b. Apa saja istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan
c. Apa saja batasan dan ciri-ciri peraturan perundang-undangan
2. Apa saja hukum tertulis dalam perundang-undangan?
a. Bagaimana kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum
b. Apa keuntungan hukum tertulis dan tidak tertulis
3. Apa Landasan dan Asas-asas Peraturan Perundang-undangan
a. Apa Landasan peraturan perundang-undangan
b. Apa Asas-asas peraturan perundang-undangan
4. Bagaimana Kedudukan Perundang-undangan dan Hierarki Perundang-undangan
5. Apa Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istilah dan Batasan

a. Ilmu dan teori perundang-undangan


Ilmu (pengetahuan) Perundang-undangan tumbuh dan berkembang di Eropa
Kontinental sejak tahun tujuh puluhan,1 yaitu tradisi hukum kodifikasi (kodified law
system). Mungkin pula disebakan oleh perkembangan teori hukum positif (legisme) yang
lebih “menghargai” hukum yang dibentuk oleh pejabat pemerintahan ketimbang hukum
yang berkembang melalui kasus-kasus dan dibentuk oleh pengadilan.
Menurut A Hamid S Attamimi, perlu diperhatikan antara istilah ilmu Pemgetahuan
Perundang-undangan atau Gesetzgebungswissenschaft atau juga disebut Ilmu
Perundang-undangan dalam arti sempit atau Gesetzsgebungslehre. Menurut Burkhard
Krems, Gesetzgebungswissenschaft adalah ilmu pengetahuan interdisipliner mengenai
pembentukan hukum (dalam hal ini peraturan hukum) oleh negara. Ilmu pengetahuan
perundang-undangan secara kompleks merupakan ilmu indisipliner dan berdiri sendiri.
Di Jerman istilah Gesetzgebungswissenschaft (Burkens Krems) dan Gesetzsgebungslehre
(Peter Noll). Di belanda dipakai istilah Wetgevingswetenshap, wetgevingsleer atau
Wetgevingskude (SO van Poelye). Dalam literatur Inggris disebut Science of Legislation.
Termasuk dalam lingkup Ilmu pengetahuan Perundang-undangan dalam arti sempit
adalah proses Perundang-undangan.
Di Indonesia sendiri Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan termasuk limu yang
masih muda dan baru berkembang sekirat tahun delapan puluhan. Keberadaannya
sebagai suatu ilmu masih dipertanyakan oleh sebagian orang, karena suatu ilmu harus
memiliki obyek, metode, atau pendekatan tertentu.
Dalam membedakan anatara Ilmu Perundang-undangan dengan Teori Perundang-
undangan. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa Teori Perundang-undangan
berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat kognitif,
sedangkan Ilmu Perundang-undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada melakukan
perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Jadi, baik Ilmu Perundang-undangan

1
A. Hamid S Attamimi. Teori Perundang-undangan Indonesia, Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan Indonesia yang menjelaskan dan menjernihkan pemahaman. Pidato Pengkuhan Guru Besar tetap
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 25 April 1992. Halaman 20-23

2
maupun Teori Perundang-undangan merupakan cabang atau bagian dari ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan.

b. Istilah peraturan Perundang-undangan


Dalam kenyataan, baik naskah peraturan Perundang-undangan maupun dalam
berbagai literatur HTN Indonesia dikenal berbagai istilah yaitu perundangan, Perundang-
undangan, peraturan perundangan, peraturan Perundang-undangan dan peraturan negara.
Dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah wet, wetgeving, weewlijke regels atau
wettelijke regeling.
Pengertian wet sendiri dibedakan antara wet in formale zin dan wet in materiele zin.
Istilah Perundang-undangan dan peraturan Perundang-undangan berasal dari istilah
wettelijke regels, sedangkan istilah ”staatsgeling” (staat = negara, regeling = peraturan).
Perundangan berasal dari istilah “undang”, bukan berasal dari kata “undang-undang”.
Kata “undang” tidak mempunyai konotasi dengan pengertian “wet” atau “undang-
undang”, karena istilah “peraturan negara” adalah peraturan-peraturan tertulis yang
diterbitkan oleh istansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun perjabat tertentu.
Peraturan Pemerintah penganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah,
Surat Keputusan dan Istruksi. Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundangan
adalah peraturan mengenai tata cara pembuatan negara.
Soehino dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-
undangan, menggunakan istilah “peraturan perundangan”. Istilah tersebut pernah pula
digunakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagaimana tercantum pada
Urutan Peraturan Perundangan RI. Istilah perundangan lebih pendek dan oleh
karenannya sangat ekonomis, selain itu istilah tersebut pernah digunakan dalam
Konstitusi RIS 1949 sebagaimna dimuat dalam pasal 5 ayat 3 dengan rumusan
“perundang-undangan federal”. Dan dalam UUDS 1950 sebagaimna dimuat dalam
Bagian II dengan judul “Perundang-undangan” dan dalam pasal 89 yang menyebut
“kekuasaan perudangan”. Istilah “peraturan Perundang-undangan”. Pengunaan istilah
Perundang-undangan lebih berkaitan atau lebih relevan dalam pembicaraan mengenai
jenis atau bentuk peraturan (hukum). Dalam konteks lain lebih menggunakan istilah
perundangan saja, misalnya istilah Ilmu Perundang-undangan. Teoru Perundang-
undangan. Dasar Perundang-undangan dsb.

3
c. Batasan dan ciri-ciri peraturan Perundang-undangan
Seperti halnya batasan tentang hukum, batasan mengenai peraturan perundang
undangan pun ada berbagai pendapat. Menurut PJP Tak dalam bukunya Rechtsvorming
in Nederland mengartikan peraturan perundang-undangan (undang-undang dalam arti
materil) adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang
berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Bagir Manan dan
Kuntana Magnar memberikan pengertian peraturan perundang-undangan ilah setiap
putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat
negara yang tidak mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai tata cara yang
berlaku. Sementara itu A. Hamid Attamimi memberikan batasan peraturan perundang-
undangan adlah peraturan negara, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang dibentuk
berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik yang bersifat atribusi maupun
bersifat delegasi. Kemudian menurut TJ Buys mengartikan peraturan perundang-
undangan sebagai peraturan yang mengikat secara umum (algemen bindende
voorschriften). Pendapat tersebut oleh Prof. JHA Logemann ditambah dengan “naar
buiten weerkende voorshriften”. Sehingga peraturan perundang-undangan adalah
peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemen bindende en
naar buiten weerkende voorshriften) . Pengertian daya laku keluar adalah bahwa
ditunjukkan ke dalam masyarakat umum tidak ditunjukkan ke dalam pembentukkannya.
Rasanya paling sulit menetapkan batasan mana yang paling baik. Yang jelas bahwa
dari batasan dan pengetian peraturan perundang-undangan sebagaimna yang dirumuskan
diatas, dapat didefinisikan sifat-sifat atau ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-
undangan yaitu :
a. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi emempunyai
bentuk dan format tertentu
b. Dibentuk, ditetapkan atau dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik di
tingkat Pusat maupun tingkat Daerah. Yang dimakasud dengan pejabat yang
berwenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku,
baik berdasarkan atribusi maupun delegasi
c. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi,
peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regulered), tidak bersifat sekali
jalan (einmahlig)

4
d. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum karena ditunjukkan kepada
umum, artinya tidak ditunjukkan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak
bersifat individual)

B. Hukum Tertulis dalam Perundang-undangan

a. Kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistematika hukum


Seperti dimaklumi bahwa hukum dapat diklarifikasikan atau dikelompokkan dalam
berbagai macam pengelompokkan. Untuk mengklasifikasinya diperlukan dasar-dasar
pengelompokkan. Dasar-dasar pengelompokkan tersebut adalah dilihat dari sumber,
daerah kekuasaan, sifat kekuatan berlaku, isi (materi) dan pemeliharaannya.
Atas dasar hal itu maka klasifikasi hukum adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan sumbernya dikenal hukum adat, hukum undang-undang, hukum traktat,
dan hukum yurisprudensi
2. Berdasarkan daerah kekuasaannya dikenal hukum nasional dan hukum internasional
3. Berdasarkan sifat kekuatan berlakunya dikenal hukum paksa dan hukum tambahan
atau pelengkap
4. Berdasarkan isinya dibedakan anatara hukum publik, yang meliputi hukum pidana,
hukum tata negara, hukum acara (pidana dan perdata), dan hukum administrasi.
Selain hukum publik dikenal hukum privat yang terdiri atas hukum perdata dan
hukum dagang
5. Berdasarkan pemeriharaannya dikenal hukum materil dan hukum formal
Selain kelima penggolongan diatas, hukum dapat pula dibedakan atas dasar bentuk
atau sifatnya. Berdasarkan kriteria ini dibedakan anatara hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Hukum tertulis dibedakan antara hukum perundang-undangan, yurisprudensi,
dan traktat. Hukum tidak tertulis dibedakan antara hukum adat (Adatrecht) dan hukum
kebiassan (Gowoonterecht). Dalam membicarakan mengenai Ilmu Perundang-undangan,
maka yang sangat relevan untuk dibahas adalah penggolongan hukum atas dasar sumber
atau bentuknya tersebut.
Jadi, secara skematis kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum
termasuk dalam lingkup lingkungan hukum tertulis. Yang termasuk dengan hukum
tertulis adalah hukum yang dibuat dan diterapkan oleh pejabat yang berwenang, dengan
bentuk format tertentu. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang menurut peraturan

5
perundang-undangan yang berlaku diberi wewenang untuk membentuk suatu peraturan
tertentu. Kewengan tersebut diperoleh melalui atribusi, delegasi dan subdelegasi.
Atribusi kekuasaan (attributie van rechsmacht), khususnya atribusi kekuasaan
pembentukan peraturan perundang-undangan sering diartikan sebagai pemberian
kewenangan kepada badan atau lembaga atau pejabat (ambt) negara tertentu, baik oleh
pembentuk Undang-undang Dasar maupun pembentuk Undang-undang. Dalarm hal ini
berupa penciptaan wewenang baru dan atas nama pemberi wewenang tersebut.
Delegasi kewenangan (delegatie van bevoegdheid) dimaksudkan sebagai suatu
penyerahan atau pelimpahan kewenangan (dalam hal ini kewenangan pembentukan
peraturan perundang-undangan) dari lembaga negara atau pejabat negara kepada badan
atau lembaga lain atau pejabat negara lain. Kewenangan tersebut semula ada pada badan
atau pejabat yang menyerahkan atau melimpahkan wewenang tersebut (delegans).
Dengan penyerahan tersebut maka kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada
penerima kewenangan (delegataris). Dalam delegasi kewenangan yang diserahkan atau
dilimpahkan tersebut sudah pada delegans. Jadi tidak diciptakan wewenang baru.

b. Keuntungan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis


Baik hukum tertulis maupun tidak tertulis, masing-masing memiliki keuntungan dan
kelemahan. Keuntungan tersebut adalah
a. Keuntungan

Hukum Tertulis Hukum Tidak Tertulis

1. Mudah dikenali atau diindetifikasi1. Fleksibel, mudah menyesuaikan


sehingga mudah ditemukan kembali dengan perkembangan jaman

2. Mudah dikodifikasi maupun2. Perubahannya tidak memerlukan


dikompilasikan tata cara tertentu sehingga tidak
memerlukan waktu yang lama

3. Mempunyai bentuk atau format


tertentu yang dapat dibakukan

4. Memberikan kepastian hukum


(rechrszekerheid), karena otentik

6
terjamin

b. Kelemahan
Hukum Tertulis Hukum Tidak Tertulis

1. Sulit menyesuaikan dengan1. Sudah dikenali dan diidentifikasi


perkembangan jaman, sehingga
terasa kaku

2. Untuk mengubahnya memerlukan2. Tidak dapat dikodifikasi dan ?


tata cara tertentu, sehingga Dikompilasikan
membutuhkan waktu yang relatif
lama

3. Kurang memberikan jaminan3. Sudah diberlakukan, karena tidak


kepastian hukum mempunyai bentuk tertentu

C. Landasan dan Asas-asas Peraturan Perundang-undangan

a. Landasan peraturan perundang-undangan


Suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang kurangnya harus memiliki tiga
landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis, meskipun
demikian ada yang menambahnya dengan landasan teknik perancangan dan politis.

1. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)


Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau
etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan
yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Di
dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai yang dianggap
baik. Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki
bangsa ybs. Hukum baik harus berdasarkan kepada semua itu. Hukum yang dibentuk
tanpa memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkannya, tidak akan dipatuhi atau
ditaati.

7
Apapun jenisnya filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk
hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu
kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus
mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai moral bangsa.

2. Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)


Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis
apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum
masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh
masyarakat, tidak menjadi huruf belaka. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-
undangan yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup
masyarakat ybs. Membuat suatu aturan tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan
kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya, tidak mungkin dapat diterapkan katena
tidak dipatuhi dan tiaati. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup”
dalam masyarakat.

3. Landasan Yuridis (juridische grondslag)


Landasan Yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar
kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat
diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundangan, seorang pejabat atau suatu
badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan.

b. Asas-asas peraturan perundang-undangan


Purnadi Burbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas perundang-
undangan yaitu :
1. Undang-undang tidak berlaku surut
2. Undang-undang tidak dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

8
4. Undang-undang yang lahir kemudian menyampingkan undang-undang yang
terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori)
5. Undang-undang tidak sapat dinganggu gugat
6. Undang-undang sebagai serana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)
Dalam kaitan ini Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-
undangan, yaitu :
a. Asas tingkatan hirarki
b. Undang-undang tak dapat diganggu gugat
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingakan undang-undang yang
bersifat umum
d. Undang-undang tidak berlaku surut
e. Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaan bahwa Purnadi dan Soerjono
Soekanto menambahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat.
Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dipergunakan bagi peristiwa-peristiwa
yang akan datang (terjadi setelah peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan
berlaku), tidak diberlakukan terhadap peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada dasarnya
peraturan perundang-undangan akan mengikat sejak saat dinyatakan berlaku. Dengan
demikian maka peraturan perundang-undangan dibentuk dengan maksud untuk
mengantisipasi fenomena dimasa mendatang. Peraturan perundang-undangan hanya
berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang dilakukan sejak peraturan perundang-
undangan tersebut dinyatakan berlaku, tidak boleh berlaku surut. Seandainya akan
diberlakukan terhadap peristiwa-peristiwa sebelumnya, maka diambil ketentuan yang
mengutungkan pihak yang terkena. Hal seperti itu diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHPidana yang menyatakan ”Tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar
kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana yang mendahulukan”

D. Kedudukan Perundang-undangan dan Hierarki Perundang-undangan


Hierarki peraturan perundang-undangan yang diterapkan di Indonesia sebenarnya
didasarkan pada Stufentheorie dari Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen, tatanan hukum,
terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem

9
norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat,
melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu
− yakni norma yang lebih rendah − ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang
pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan regressus
(rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar
perundang-undangan daerah, khususnya Peraturan Daerah, dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Dalam UU No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Pusat, Pasal 1, diatur bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat
ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.
Dalam Pasal 2 diatur, tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah
menurut urutannya pada Pasal 1. Kedua ketentuan tersebut menunjukkan politik
perundang-undangan mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan
pusat yang berlaku saat itu.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai
Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI. Bentuk-bentuk
Peraturan Perundangan RI ialah:
o UUD RI 1945,
o Ketetapan MPR (S),
o Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
o Peraturan Pemerintah,
o Keputusan Presiden,
o Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
o Peraturan Menteri,
o Instruksi Menteri,
o dan lain-lainnya.
Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik
UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi
dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam Negara. Sesuai pula

10
dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan
berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi
tingkatannya (Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966).
Ketetapan MPRS tersebut menegaskan politik perundang-undangan mengenai bentuk
(baca: jenis) dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak saat itu.
Sekalipun tidak tegas keberadaan peraturan perundang-undangan daerah dalam tata
urutan itu, namun keberadaannya dapat diinterpretasikan dari kata “dan lain-lainnya.”
Artinya, baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah (Keputusan Kepala
Daerah saat itu) berada di bawah Instruksi Menteri.
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ketetapan MPR ini ditentukan bahwa tata urutan
peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di
bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU;
4. PERPU;
5. PP;
6. Keppres;
7. Perda (Pasal 2).
a. Perda provinsi.
b. Perda kabupaten/kota.
c. Perdes (ayat (7) Pasal 3).
Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (ayat
(1) Pasal 4). Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (ayat (2) Pasal
4).
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 menunjukkan politik perundang-undangan
mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan
perundang-undangan di dalam tata urutan dan jenis peraturan perundang-undangan
di luar tata urutan.

11
2. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata
urutan, yang membawa implikasi hukum bahwa jenis peraturan perundang-
undangan di luar tata urutan (Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah) tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan, termasuk tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah.
3. Peraturan perundang-undangan yang berada dalam jenis Peraturan Daerah, yakni
Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes, tidaklah berada dalam tata
urutan berdasarkan Ketetapan MPR tersebut.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 diatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah (ayat (1) Pasal 7), meliputi:
- Peraturan Daerah provinsi.
- Peraturan Daerah kabupaten/kota.
- Peraturan Desa.
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi di Daerah
Provinsi Papua (Penjelasan ayat (2) huruf a Pasal 7).
Dalam ayat (5) diatur, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-
undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(Penjelasan ayat (5) Pasal 7).
Seperti halnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, UU Nomor 10 Tahun 2004
juga mengenal jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (di luar hierarki).
Ini diatur dalam Pasal 7 ayat (4), jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.

12
Selanjutnya dalam penjelasannya diterangkan, bahwa jenis peraturan perundang-
undangan dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh:
a. MPR, dan
b. DPR,
c. DPD,
d. MA,
e. MK,
f. BPK Gubernur BI,
g. Menteri,
h. Kepala badan, lembaga, atau lomisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU
atau pemerintah atas perintah UU,
i. DPRD Provinsi,
j. Gubernur,
k. DPRD Kabupaten/Kota,
l. Bupati/Walikota,
m. Kepala Desa atau yang setingkat.
UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menunjukkan politik perundang-undangan
mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan
perundang-undangan di dalam hierarki dan jenis peraturan perundang-
undangan di luar hierarki.
2. Jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan
Desa), Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD
Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan
Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa.
3. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam
hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan hierarkinya.
4. Hubungan antara Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, tidaklah hubungan hierarki.
5. Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD
Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan
Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa berada di luar
hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh

13
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam tata urutan
berdasarkan Ketetapan MPR tersebut.

E. Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah


Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jenis peraturan perundang-undangan daerah
meliputi:
1. Peraturan Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi,
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan
c. Peraturan Desa.
2. Peraturan DPRD, yang meliputi:
a. Peraturan DPRD Provinsi, dan
b. Peraturan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Peraturan Kepala Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Gubernur, dan
b. Peraturan Bupati/Walikota.
4. Peraturan Kepala Desa.
Sesuai dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-
undangan (Pasal 5 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2004), maka jenis-jenis peraturan
perundang-undangan daerah itu haruslah berisi materi muatan yang tepat.
Penggunaan istilah ”materi muatan” diperkenalkan oleh Abdul Hamid Saleh
Attamimi sebagai pengganti kata Belanda ”het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke
”het eigenaardig onderwerp der wet”, diterjemahkan dengan ”materi muatan yang khas
dari undang-undang”, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata
dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan UU. (Attamimi
1979, 1982, dan 1990). Dalam UU No 10 Tahun 2004, istilah materi muatan peraturan
perundang-undangan diartikan sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-
undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan (Pasal
1 angka 12).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka materi muatan peraturan perundang-undangan
dapat diartikan sebagai materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata
dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan tertentu, yang tidak menjadi materi
muatan jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Khususnya, mengenai materi

14
muatan Perda, maka berarti materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam Perda, yang
tidak dimuat baik dalam peraturan perundang-undangan daerah lainnya maupun
peraturan perundang-undangan pusat.
Mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 10 Tahun
2004 secara tegas diatur dalam Bab III yang bertajuk Materi Muatan, yakni
Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang:
i. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang meliputi:
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Hak dan kewajiban warga negara;
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara;
4. Wilayah negara dan pembagian daerah;
5. Kewarganegaraan dan kependudukan;
6. Keuangan negara.
ii. Diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU (Pasal 8).
a. Materi muatan PERPU sama dengan materi muatan UU (Pasal 9), yang
ditetapkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Pasal 1 angka 4).
b. Materi muatan PP berisi materi muatan untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya (Pasal 10).
c. Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi
untuk melaksanakan PP (Pasal 11).
Materi muatan tersebut adalah materi muatan peraturan perundang-undangan pusat.
Hal tersebut penting dipahami dalam upaya memperjelas pemahaman mengenai materi
muatan peraturan perundang-undangan daerah.
Materi muatan peraturan perundang-undangan daerah adalah sebagai berikut
1. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi (Pasal 12).
2. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka
penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 13).

15
3. Materi muatan Peraturan Kepala Daerah adalah materi untuk melaksanakan
Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan ((Pasal 146 ayat
(1) UU Pemda).
4. Peraturan DPRD, masih perlu diadakan kajian mengenai materi muatannya.
Contoh materi muatan Peraturan DPRD adalah Peraturan Tata Tertib DPRD
(Pasal 54 ayat (6) UU Pemda).
Khusus mengenai materi muatan Perda dapat dikemukakan kembali, bahwa materi
muatannya pada dasarnya adalah:
1. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah (termasuk
di dalamnya seluruh materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus
daerah, sebab kondisi khusus daerah merupakan salah satu karakter dari otonomi
daerah, yakni karakter “nyata” dan yang lainnya adalah seluas-luasnya dan
bertanggung jawab).
2. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan, dan
3. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Khususnya mengenai materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
harus merujuk pada ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Pemda, yang masing mengatur
urusan wajib dan urusan pilihan daerah provinsi dan urusan wajib dan urusan pilihan
daerah kabuipaten/kota. Pembagian urusan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang penetapan masing-masing urusan itu oleh
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah.

16
BAB III
PENUTUP
Dalam pembahsan ilmu perundang-undagan yang telah di paparkan diatas dapat
dirumuskan dimana pegertian ilmu perundang-undangan ialah mempelajari seluk beluk
peraturan perundang-undangan dimana dalam tehniknya sama degan cara mempelajari
ilmu tata negara baik asas-asas, materi muatan dan bahasa hukumnya.
Disinilah terdapat kaitan ilmu perundang-undangan dengan hukum tata negara dimana
dalam pembahasan dikaji tengan tehnik yang sama dan beberapa ruang lingkup untuk
pembahsan ilmu perindang-undngan dan ruang lingkup ini dapat ditemukan dalam pasal
7 UU NO 10 tahun 2004.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. Perundang-undangan dan
yurisprudensi, bandung : alumnni. 1979
2. Ranggawidjaya Rosidi. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Bandung: Maju
mundur. 1988
3. Sooly Luby. Landasan dan Teknik Perundang-undanga. Bandung: Mandar Maju.
1989.
4. Soehino. Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-undangan. Yogyakarta: Liberti.
1981

18

Anda mungkin juga menyukai