Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ADAT DALAM YURISPRUDENSI

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Hukum Pidana dalam Yurisprudensi
pada semester V Tahun Akademik 2017/2018
Prodi: Hukum Pidana Islam (HPI) / V A

Dosen Pengampu:     Popon Munawaroh, S.HI., M.H

Disusun (Kelompok 3) :
                        Alya Nur Shifa                                    (1153060008)
Elsa Herpiani                                       (1153060016)
Fitrangga Hasan Gumilar                    (1153060019)
                        Ilham Firdaus                                      (1153060022)
           

                       

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang


telah menciptakan kita dalam keadaan mencintai agama-Nya dan berpegang pada syariat-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan dan menyusun makalah Hukum Pidana dalam
Yurisprudensi mengenai “Hukum Adat dalam Yurisprudensi”.
            Tidak akan terbentuk suatu makalah yang baik dan benar jika tidak ada orang-orang
yang demikian sabar membantu dan membimbing kami, maka dari itu kami ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Ibu dosen pengampu Popon Munawaroh, S.HI., M.H selaku dosen matakuliah Hukum
Pidana dalam Yurisprudensi.
2.      Berbagai pihak yang telah membantu menyusun makalah ini yang tidak bisa kami sebutkan
satu persatu dengan tidak mengurangi rasa hormat  dan terimakasih.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan seperti yang
diinginkan dan diharapkan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya saran dari para pembaca
dan pemakai makalah ini untuk menyempurnakan segala kekurangan tersebut. Dengan
mengharapkan Ridho dari Allah SWT semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca umumnya dan bagi kami khususnya. Akhirnya, mudah-mudahan upaya kami dalam
membuat makalah ini dicatat oleh Allah Ta’ala sebagai amal yang shaleh. Amin.

Bandung, 19 November 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................      ii


DAFTAR ISI .........................................................................................................     iii
BAB I      PENDAHULUAN.................................................................................      1
A.    Latar Belakang..................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................      2
C.     Tujuan Penulisan...............................................................................      2
BAB II    PEMBAHASAN....................................................................................      3
A.    Tinjauan Teori....................................................................................      3
B.     Studi Kasus.......................................................................................    10
C.     Analisis Kasus...................................................................................    18
D.    Putusan Makamah  Agung RI...........................................................    20
BAB III   KESIMPULAN.....................................................................................    22
DAFTAR PUSTAKA

 BAB I
LATAR BELAKANG

A.    Latar Belakang
Istilah hukum adat adalah istilah dalam bahasa Belanda adatrecht. Berdasarkan
pendapat ter haar dalam pidato dies natalis rechthoge school-batavia 1937 yang berjudul het
adatrecht van nederlandsch indie in wetenchap, pracktijk en onderwijs menyatakan bahwa:
Terlepas dari bagian hukum adat yang tidak penting,  terdiri dari peraturan desa, dab
surat perintah raja, maka hukum adat itu adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam
keputusan-keputusan dengan penuh wibawa dan yang dalam pelaksanaannya diterapkan
begitu saja,  artinya bahwa tanpa adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya
dinyatakan mengikat sama sekali. dengan demikian dapat dikatan bahwa hukum adat yang
berlaku itu hanyalah diketahui dan dikenai dari putusanputusan para fungsionaris hukum
dalam masyarakat itu, kepalakepala, hakim-hakim, rapat-rapat desa, wali tanah, pejabat-
pejabat agama, dan pejabat-pejabat desa, sebagaimana hal itu diputuskan di dalam dan di luar
sengketa resmi, putusan-putusan mana yang langsung tergantung dalam ikatan-ikatan
struktural dan nilai-nilai dalam masyarakat, dalam hubungan satu sama lain, dan ketentuan
timbal balik.
Berdasarkan pendapat tersebut melahirkan sebuah teori keputusan. Maka, hukum adat
dapat diartikan sebagai seluruh keputusan para pejabat hukum, baik hakim desa, kerapatan
desa, hakim, pejabat agama dan pejabat desa yang memiliki kewajiban dan dipatuhi secara
serta merta oleh masyarakat hukum adatnya. Keputusan tersebut memiliki nilai kerohanian,
nilai-nilai kemasyarakat yang hidup dalam sebuah persekutuan hukum adat.
Keputusan yang ambil oleh hakim dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi
yang disebut dengan yurisprudensi. Sebelum hakim menjatuhkan keputusannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut, hakim berpedoman pada hukum tertulis, jika dalam hukum
tertulis  tidak ditemukan penyelesaiannya, maka hakim dapat mencari penyelesaian dalam 
hukum tidak tertulis atau dalam hal ini disebut juga hukum adat. Dimana dalam hukum adat
terdapat sebuah hukum yang hidup dimasyarakat dan masyarakat  dalam berperilaku masih
berpedoman pada hukum adat itu.
Jika hukum adat yang dipakai dalam keputusan hakium atau yurisprudensi akan
terkesan lebih relevan karena kehidupan yang dijalani masyarakat itu sendiri. Dikarenakan
hukum adat tersebut telah menjadi nilai-nilai di masyarakat yang dianut dan dihormati, yang
paling penting hukum adat tersebut melekat dan berkembang mengikuti zaman. Sehingga
mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum adat dalam yurisprudensi ?
2.      Putusan hakim yang mana yang menjadikan kasus ini sebagai yurisprudensi ?
3.      Termasuk kedalam yurisprudensi apa kasus ini ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan yurisprudensi dalam hukum adat
2.      Untuk mengetahui putusan hakim terdahulu yang dijadikan ladasan dalam kasus ini
3.      Untuk mengetahui termasuk yurisprudensi apa dalam kasus ini.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian Hukum Adat


Hukum adat merupakan perpanjangan dari adanya suatu cara berperilaku yang
dilakukan oleh seorang individu yang mana jika cara itu dilakukan secara terus menerus
maka akan terbentuklah suatu kebiasaan yang apabila kebiasaan tersebut diikuti oleh individu
yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat, sehingga kelompok masyrakat tersebut
mengikuti juga kebiasaan tersebut, maka kebiasaan tersebut akan menjadi suatu adat  dari
kelompok masyarakat tersebut. Kemudian lambat laun kelompok masyarakat itu menjadikan
adat tersebut sebagai adat yang seharusnya dipakai oleh anggota masyarakat setempat,
sehingga lahirlah yang dimaksud dengan hukum adat yang diterima dan harus dilaksanakan
masyarakat yang bersangkutan.
Pada umumnya, di dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat hukum yang
tidak tertulis  serta hukum yang tidak dikodifikasikan di dalam suatu kitab undang-undang.
Hukum yang tidak tertulis itu dinamakan hukum adat, yang merupakan sinonim dari
pengetian hukum kebiasaan. Istilah “hukum adat” sendiri merupakan terjemahan dari istilah
dalam bahasa Belanda adatrech, yang dipakai pertama kali oleh Snouck Hurgronje. Istilah
adatrecht kemudian dikutip dan dipakai oleh Van Vollehoven sebagai istilah teknis-juridis.
Dalam perundang-undangan, istilah adatrech  itu baru muncul pada tahun 1920, yaitu untuk
pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di Belanda.
Tetapi pada permulaan abad ke-20, lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan, istilah
adatrech  makin sering dipakai dalam literatur (kepustakaan) tentang hukum adat, yaitu
dipakai oleh Nederburgh, Juynboll, Scheuer.
Secara termoinologi, ada 2 pendapat mengenai asal kata adat. Ada yang berpendapat
adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof.Amura, kata
Adat berasal dari bahasa sanskerta yaitu A dan Dato. A berarti tidak dan dato yang berarti
sesuatu yang bersifat kebendaan.
1.      Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli
a.       Van Vollenhoven
Menurut Van Vollenhoven, Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku
positif yang disatu pihak memiliki sanksi.
1)      Bishar Muhammad
Menurut Binsar Muhammad, untuk memberikan definisi hukum adat sulit sekali
dilakukan, itu karena hukum adat masih dalam pertumbuhan, sifat serta pembawaan hukum
adat.
2)      Terhar
Menurut Terhar, Hukum adat terlahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan.
Keputusan yang berwibawa dan berkuasa yang berasal dari kepala rakyat (para warga
masyarakat hukum).
3)      Soerjono Soekanto
Menurut Soerjono Soekanto, Hukum Adat adalah kompleks adat-adat yang tidak
dikitabkan atau tidak dikondifiksikan, bersifat paksaan atau mempunyai akibiat hukum.
4)      Supomo dan Hazairin
Menurut Supomo dan Hazairin, Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah
laku manusia Indonesia dalam hubungan satu dan yang lainnya, baik itu merupakan
keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat
kerena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, ataupun yang merupakan
keseluruhan peraturan yang mengenak sanksi atas pelanggaran dan ditetapkan dalam
keputusan-keputusan para penguasa adat.
5)      Prof. M. M. Djojodigoeno, SH.
Menurut Prof. M. M. Djojodigoeno, SH., Hukum Adatadalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan.
6)      Prof. Mr. C. Van Vollenhoven
Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, Hukum Adatadalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu
atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan
Belanda dahulu.
7)      Suroyo Wignjodipuro
Menurut Suroyo Wignjodipuro, Hukum Adat adalah suatu kompleks dari norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang terus berkembang serta meliputi
peraturan tingkat laku individu atau manusia dalam kehidupan sehari-hari di dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis dan memiliki akibat hukum (sanksi) bagi
pelanggarnya.
8)      Hazairin
Menurut Hazairin, Hukum Adat adalah kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya
telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu yang dibuktikan dengan
kepatuhannya terhadap kaidah-kaidah tersebu

B.     Pengertian Yurisprudensi
Kata Yurisprudensi berasal dari bahasa latin Yurisprudentia yang diambil dari kata
Yuriprudens yang artinya adalah sarjana hukum. Secara umum Yurisprudensi berarti
peradilan dan secara khusus berarti ajaran hukum yang tersusun dari dan di dalam peradilan,
yang kemudian dipakai sebagai landasan hukum.
Pengertian Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk
menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman
bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
Lahirnya Yurisprudensi karena adanya peraturan peraturan UU yang tidak jelas atau
masih kabur, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan mengenai suatu
perkara. Hakim dalam hal ini membuat suatu hukum baru dengan mempelajari putusan hakim
yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang sedang dihadapi. Jadi, putusan dari hakim
terdahulu ini yang disebut dengan yurisprudensi.
Yurisprudensi diciptakan berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Mengenai Kekuasaan
Kehakiman, UU ini menyatakan : pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara,
mengadili perkara dan memutuskan perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak ada
atau kurang jelas (kabur), melainkan wajib memeriksa serta mengadilinya. Hakim diwajibkan
untuk menggali, mengikuti dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat.
Dengan demikian, yurisprudensi adalah merupakan sumber hukum lain yang dapat
membantu pembentukan hukum. Karena itu, yurisprudensi yang lahir dari adanya putusan
hakim dalam suatu kasus tertentu dapat dijadikan dasar hukum atau sumber hukum untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang serupa di kemudian hari.
Terdapat beberapa macam yurisprudensi, macam macam yurisprudensi tersebut
sebagai berikut:
a.       Yurisprudensi Tetap
Pengertian Yurisprudensi Tetap adalah suatu putusan dari hakim yang terjadi oleh
karena rangkaian putusan yang sama dan dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan untuk
memutuskan suatu perkara.
b.      Yurisprudensi Tidak Tetap
Pengertian Yurisprudensi Tidak Tetap ialah suatu putusan dari hakim terdahulu yang
tidak dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan.
c.       Yurisprudensi Semi Yuridis
Pengertian Yurisprudensi Semi Yuridis yaitu semua penetapan pengadilan yang
didasarkan pada permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya pada pemohon.
Contohnya : Penetapan status anak.
d.      Yurisprudensi Administratif
Pengertian Administratif adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) yang
berlaku hanya secara administratif dan mengikat intern di dalam lingkup pengadilan.

C.    Hukum Adat dalam Yurisprudensi


Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadlian berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (pasal 1 Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004). Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
(pasal 5). Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat 1).
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 25 ayat 1 UU
Nomor 4 Tahun 2005).
Hakim mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan corong undang-undang.
Hakim harus mengikuti, memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah
itu hukum kebiasaan/hukum adat/atau hukum tidak tertulis.
Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal itu, Rehngena Purba seorang Hakim Agung, mencatat asumsi-asumsi
sebagai berikut:
1.      Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin mengatur semua
kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum.
2.      Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat peranan hukum tidak
tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis.
3.      Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang dianggap
adil.
4.      Untuk menjamin kepastian hukum memang perlu sebanyak mungkin menyusun hukum
tertulis. Ini bukan berarti bahwa keadaannya pasti demikian sebab dalam bidang kehidupan
yang bersifat publik, maka hukum tertulis terutama dibuat untuk mencegak kesewenang-
wenangan penguasa.
Hakim atau pengadilan adalah aparatur negara yang mengetrapkan hukum. Hukum
yang berlaku disuatu negara dikenal melalui keputusan-keputusan hakim. Karena
mengetrapkan hukum yang berlaku itu bukan silogisme dan seringkali hukum yang tepat dan
adil itu harus dicari, maka hukum yang berlaku, sekalipun itu tidak terdapat dalam Undang-
undang maupun kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan
memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004).
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Menurut ilmu hukum dan filsafat hukum, maka usaha pembaharuan hukum dapat
dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya
menganut teori gabungan dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan
pragmatic jurisprudence.
Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses
pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat.
Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan aliran pragmatic jurisprudence adalah menghendaki bahwa dalam
pembaharuan hukum itu disamping memperhatikan keadaan hukum nyata, berpegangan juga
pada suatu ide tentang hukum ideal. Jika dihubungkan dengan fungsi hukum, maka dalam
pembaharuan hukum fungsi hukum dapat dibedakan atas dua macam yakni sebgai sosial
kontrol yaitu sebagai alat social engineering yakni alat untuk melakukan
perubahan/perombakan masyarakat.
Paham pertama adalah paham Carl Freidrich Von Savigny yang terkenal dengan
konsepsinya bahwa: Das Recht Wird bicht gemacht, es und wirdn nit volke, yaitu bahwa
hukum itu tidak dibuat-buat melainkan ia ada dan tumbuh bersama dengan rakyat.
Paham yang kedua dikembangkan oleh Roscoe Pound dari aliran American Legal
Realism yang terkenal dengan konsepsinya “law as a tool of engineering”.
Hukum adat itu baru mempunyai nilai hukum bilamana ia dilahirkan melalui
yurisprudensi karena adanya penetapan tersebut maka kaidah adat memperoleh sanksi hukum
untuk dapat dipertahankan melalui pengadilan sebagaimana pendapat Soepomo yang
memberikan pengertian bahwa hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim.
Kedudukan hukum adat dalam yurisprudensi tidak dapat kita temui adanya ketentuan
yang tegas oleh karena yurisprudensi di lapangan hukum adat telah merupakan dan
membimbing perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Dalam keputusan mengenai hukum adat dalam putusan hakim disebutkan:
·         Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih dikembangan kearah hukum yang
bersifat bilateral/parental memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
·         Dalam rangka pembinaan hukum perdata nasional, hendaklah diadakan publikasi
yurisprusdensi yang teratur dan tersebar luas.
·         Dalam hal terdapat pertentangan antara perundang-undang dan hukum adat hendaknya
hakim memutuskan berdasarkan undang-undang bijaksana.
·         Demi terbinanya hukum perdata nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita,
diperlukan hakim-hakim yang berorientasi kepada pembinaan hukum.
·         Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa hukum
hendaklah diusahakan didamaikan.
Pembidangan dari hukum adat itu sendiri. Menurut BPHN pembidangan hukum adat
adalah:
1.      Hukum adat tentang organisasi/persekutuan hukum
2.      Hukum tentang pribadi/orang
3.      Hukum kekerabatan/keluarga
4.      Hukum perkawinan
5.      Hukum Waris
6.      Hukum Tanah
7.      Hukum Perhutangan
8.      Hukum Tentang Delik.
Mahkamah Agung baru mempunyai kekuasaan dalam pemutusan suatu perkara
apabila ada permohonan pemeriksaan kasasi dalam suatu perkara tersebut. Putusan
Mahkamah Agung tersebut bilama diikuti dan dipedomani oleh putusan dalam perkara yang
sama, maka putusan tersebut akan dijadikan yurisprudensi. Dalam kajian teori, yurisprudensi
bertujuan to settled law Standart yakni untuk menetapkan standar hukum yang sama
mengenai perkara yang sama. Perwujudan Law Standart melalui yurisprudensi diharapkan
dapat menciptakan suasana “Unified legal opinion (persepsi hukum yang sama) diantara
seluruh Pengadilan dan para Hakim dalam penyelesaian perkara yang sama”.
Terciptanya suasana Unified legal opinion dalam kehidupan praktek peradilan,
menjadi landasan terbinanya kepastian penegakan hukum. Hal ini disebabkan dengan adanya
standar hukum yang diterangkan dalam putusan-putusan pengadilan mengenai kasus yang
sama, akan terhindar dari putusan-putusan yang berdisparitas antara yang satu dengan yang
lain. Dengan demikian yurisprudensi berbakat standar hukum sangat berperan untuk
menegakkan kepastian hukum dalam kehidupan masayarakat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba Rehngena, diperoleh
gambaran putusan Mahkamah Agung yang berhubungan dengan Hukum Adat atau hukum
yang hidup di masyarakat sebagai berikut:
1.      Dewasa
2.      Perwalian
3.      Hak Waris Anak
4.      Kedudukan Harta Pencaharian Bersama
5.      Anak Angkat
6.      Pemilikan Atas Tanah
7.      Hak Komunal/Hak Ulayat
8.      Hak Numpang/Hak Pengabdian
9.      Asas Pemisahan Horizontal
10.  Peralihan Hak
11.  Hibah
12.  Gadai Tanah
13.  Lembaga Kadaluwarsa
14.  Penyelesaian Sengketa
15.  Hukum Adat Lokal
16.  Perbuatan Melawan Hukum.

D.    Studi Kasus
Pada tahun 1994 Wazir meninggal dunia, dimana beliau meninggalkan seorang istri
dan 8 anak. Kemudian harta pusaka tinggi Wazir diberikan kepada Hasan Zainal selaku
kakak bertali darah dan dinobatkan sebagai mamak kepala waris dalam kaumnya. Dan pada
tahun 2004 Hasan Zainal meninggal dunia, maka tidak ada lagi waris yang bertali darah
dengan Hasan Zainal Dt. Palentah Bungsu Panjang Gadang Maharajo Lelo, dimana terhadap
Gelar Sako Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo jabatan adat dalam Suku Kampai Nagari
Selayo adalah sebagai Dubalang Adat tidak dilekatkan buat sementara oleh Ninik Mamak IV
Jinis Suku Kampai Nagari Selayo dikarenakan Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo
putus waris bertali darah, sampai ada keputusan hasil musyawarah Ninik Mamak IV Jinis
Suku Kampai Nagari Selayo yang menentukan siapa ahli waris nan kabuliah, putuih nan
kama uleh menurut adat untuk mewarisi Sako jo Pusako kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo
Lelo, sebab menurut hukum adat Minangkabau tidak ada mengenal suatu kaum punah, tapi
hanya putus waris bertali darah, maka dicari waris nan kabuliah putuih nan kama uleh yaitu
waris menurut adat, sebagaimana yang telah diputus oleh Mahkamah Agung R.I dalam
putusannya No.444 K/Sip/1968 tanggal 9 April 1969, yang telah menjadi Yurisprudensi
tetap.
Selanjutnya sesuai dengan fungsinya Ninik Mamak urang IV Jinis menurut Adat
Minangkabau adalah Ninik Mamak Urang IV Jinis adalah suatu Instansi yang tertinggi dari
suku-suku untuk menyelesaikan soal-soal waris atau gelar sako dalam suku, sebagaimana
yang telah diputus oleh Mahkamah Agung R.I dengan putusannya No.869 K/Sip/K/1974
tanggal 14 Desember 1977. Berdasarkan ketentuan adat tersebut maka Ninik Mamak IV Jinis
Suku Kampai beserta Tuangku Na Tigo Suku Kampai Nagari Selayo telah mengadakan
musyawarah dan mufakat mencari siapa yang patut nan ka buliah, patuih nan kamauleh
tentang kawarisan dari Sako jo Pusako Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo Suku
Kampai serta Jabatan Dubalang Adat, maka Ninik Mamak IV Jinis beserta Tuangku Nan
Tigo dalam suku Kampai sepakat menurut adat Salingka Nagari Pusako Salingka Suku
menyatakan dan menetapkan bahwa kaum Penggugat sebagai ahli waris Nan Kabuliah,
putuih nan kama uleh menurut adat atas Sako jo Pusako Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo
Lelo, maka pada bulan Mei tahun 2007 dikukuhkan serta dilewatkan secara resmi menurut
adat yaitu “darah lah bacacah, dagiang balapah, alah bagalanggang mato rang banyak, adek
lah bapakai limbago lah batuang “Kepada Penggugat Gelar/Sako Dt. Panjang Gadang
Maharajo Lelo di rumah gadang Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo, sesuai pepatah
Adat “Ramo Ramo Sikumbang Janti, Katik Endah Pulang Bakudo, Patah Tumbuh Hilang
Baganti Pusako Lamo Baitu Juo”, maka sah secara adat bahwa kaum Penggugat adalah
sebagai waris dari Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo yang telah putus waris batali
darah. 
Dengan alasan pada saat masih hidup Wazir membawa Bakir Darwis yang berasal
dari pinggiran Nagari atau dari luar nagari atau dari luar kampung atau bisa juga dunsanak
jauh, yang tidak bertali darah, yang tidak sasawah sabateh (bersawah yang tidak sebatas) dan
yang tidak sepandam sapaku buran (tidak satu pandam perkuburan) untuk tinggal dan
menghuni rumah gandang, yang beiau anggap cocok dan sesuai untuk diangkat sebagai
kemenakan yang bertali darah, sehingga kemenakan tidak bertali darah ini telah menghuni
dan menempati rumah gadang tersebut terlebih dahulu untuk disuruh-suruh membantu
pewaris/sang Mamak dalam mengurus dan merawat rumah gadang, mengurus dan atau
mencari orang upahan untuk mengerjakan sawah dan ladang, mengurus tali bandar dan lain-
lain. Selanjutnya merawat dan mengurus Mamak dikala sakit yang berbau busuk dan anyir
sampai Mamak meninggal dunia, mengurus dan merawat mayat Mamak sampai dimakamkan
dipandam perkuburan, mengurus hutang piutang beliau, mengurus dan mengadakan ritual
upacara adat kematian beliau, mengadakan tahlilan dan pengajian 7 hari, 40 hari sampai 100
hari.
Semasa hidupnya, WAZIR Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo (almarhum), cukup
banyak Harta Pusaka Tinggi Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo baik berupa tanah
sawah maupun tanah gurun yang dikuasai oleh istri dan anak-anaknya hingga sekarang.
Bahwa 1 (satu) piring tanah sawah, benih lebih kurang 15 sukat padi merupakan Harta
Pusaka Tinggi Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo yang terletak di Bawah Jao, Jorong
Gelanggang Tangah, Nagari Selayo, Kecamatan Kubung Kabupaten Solok, dengan batas-
batas sebagaimana tersebut menjadi perdebatan antara Bakir Darwis dengan Istri dan anak-
anak almarhum Wazir.
Oleh karena Bakir Darwis selaku ahli waris sah menurut adat dari Wazir Dt. Panjang
Gadang Maharajo Lelo (almarhum), dan Hasan Zainal Dt. Palantah Bungsu Panjang Gadang
Maharajo Lelo (almarhum), yang berhak mewarisi Sako jo Pusako telah menjalankan fungsi
adat sebagai waris maupun sebagai Dubalang Adat Suku Kampai sejak tahun 2007, maka
pada tahun 2009 Bakir Darwis meminta harta yang dikuasai oleh istri dan anak-anaknya
untuk dikembalikan guna menjalankan fungsi adat Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo
sebagai Dubalang Adat dalam Suku Kampai Nagari Selayo, akan tetapi istri dan anak-
anaknya tidak mau mengembalikan dan menyerahkan harta tersebut kepada Bakir Darwis
selaku ahli waris.
Karena pihak para istri dan anak-anaknya tidak mau mengembalikan/tidak mau
menyerahkan harta tersebut kepada Bakir Darwis sebagai waris walau telah diminta secara
baik-baik, dan merupakan perbuatan melawan hukum. Maka sangat terpaksa Bakir Darwis
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Koto Baru guna mendapatkan kepastian hukum.
Kemudian Pengadilan Negeri Koto Baru memutuskan bahwa penggugat sah sebagai
ahli waris nan kabuliah, putuih nan kama uleh menurut adat atau sako jo pusako dari Wazir
Dt. Panjang gadang Maharajo Lelo (almarhum), dan Hasan Zainal Dt. Palentah Bungsu
Panjang Gadang Maharajo Lelo (almarhum) Suku Kampai Nagari Selayo. Dan menghukum
para Tergugat untuk mengembalikan objek perkara kepada Penggugat dalam keadaan kosong
dan bebas dari hak milik orang, dan setelah kosong menyerahkan kepada Penggugat.
Namun istri dari almarhum Wazir beserta anak-anaknya tidak merasa puas dengan
keputusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Kuto Baru, dan mengajukan
mengajukan eksepsi  dengan alasan :
1.      Bahwa gugatan diatukan oleh orang yang tidak berhak
2.      Menurut para tergugat, penggugat bukanlah waris putuih nan kamaule dari pada kaum Hasan
Zainal Dt. Palentah Bungsu Panjang Gadang Maharajo Lelo karena tidak bertalian darah
dengan Hasan Zainal
3.      Bahwa penggugat telah kelirumenggugat tergugat 1 Manar (yang benar Mainar) dan telah
keliru menggugat Erlinda Pr (tergugat II) karena dari pihak tergugat tidak ada yang bernama
Erlinda jadi tidak mempunyai hubungan hukum dengan objek perkara.
4.      Bahwa menurut para tergugat, gugatan yang dijakukan oleh para penggugat telah kadaluarsa
(lewat waktu) sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
5.      Bahwa menurut para tergugat batas-batas objek perkara tidak sesuai antara yang tertera
dalam surat gugatan dan fakta yang ada dilapangan.
Menimbang bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Koto Baru telah
mengambil putusan, yaitu putusan No 02/pdt.g/2010/PN.KBR. tanggal 19 oktober 2010 yang
amarnya menolak eksepsi dari tergugat-tergugat.
Dalam pokok perkara :
1.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2.      Menyatakan syah Penggugat adalah Mamak Kepala Waris dalam kaum Penggugat.
3.      Menyatakan Syah Wazir Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo (almarhum), dan Hasan Zainal
Dt. Palentah Bungsu Panjang Gadang Maharajo Lelo (almarhum) putus waris bertali darah.
4.      Menyatakan sah Penggugat sebagai ahli waris nan kabuliah, putuih nan kama uleh menurut
adat atau sako jo pusako dari Wazir Dt. Panjang gadang Maharajo Lelo (almarhum), dan
Hasan Zainal Dt. Palentah Bungsu Panjang Gadang Maharajo Lelo (almarhum) suku Kampai
Nagari Selayo.
5.      Menyatakan sah objek perkara atau sepiring tanah yang terletak di Bawah Jao, Jorong
Galanggang Tengah, Kanagarian Selayo, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, dengan
batas-batas sebagai berikut :
·         Utara : Berbatas dengan Tanah Perumahan Mainar (Tergugat-Tergugat) yang bersuku
Piliang, dahulunya Tanah Kaum Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo (Suku Kampai) dan
Tali Bandar ;
·         Timur : Dengan Jalan Besar Solok-Padang ;
·         Barat : Dengan Sawah Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo yang dikuasai Tergugat
Tergugat ;
·         Selatan : Dengan bangunan rumah Syafri Nur, Nani (Suku Kampai Kaum Datuk Rajo
Kando) dan Sawah Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo yang dikuasai Tergugat-Tergugat ;
adalah Harta Pusaka Tinggi Kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo yang dibawa/atau
harta bawaan oleh Wazir Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo (almarhum) semasa hidupnya
kepada Tergugat-Tergugat ;
6.      Menyatakan sah perbuatan Tergugat-Tergugat yang tidak mau mengembalikan dan
menyerahkan objek perkara kepada Penggugat adalah merupakan perbuatan melawan
hukum ;
7.      Menghukum Tergugat-Tergugat untuk mengembalikan objek perkara kepada Penggugat
dalam keadaan kosong dan bebas dari pihak milik orang, dan setelah kosong menyerahkan
kepada Penggugat, jika para Tergugat-Tergugat ingkar dilakukan upaya paksa dengan
bantuan pihak Kepolisan ;
8.      Menghukum Tergugat-Tergugat untuk membayar uang paksa (Dwangsom) sebesar
Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari keterlambatan menyerahkan objek
perkara kepada Penggugat ;
9.      Menghukum Tergugat-Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini secara
tanggung renteng yaitu sejumlah Rp.1.431.000,- (satu juta empat ratus tiga puluh satu ribu
rupiah) ;
10.  Menghukum Tergugat-Tergugat untuk tunduk terhadap putusan ini ;
11.  Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.
Menimbang bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan
Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Padang dengan putusan
No. 15/Pdt/2011/PT.PDG. tanggal 2 Februari 2011.
Kemudian pada tanggal 17 Mei 2011 tergugat/pembanding mengajukan permohonan
kasasi secara lisan sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi
No.02/Pdt.G/2010/PN.KBR. jo No.01/III/KAS/Perd/2011/PN.KBR. yang dibuat oleh
Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Koto Baru permohonan mana diikuti oleh memori
kasasi dan tambahan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut masing masing pada tanggal 29 Maret 2011 dan 2
Mei 2011.
Bahwa alasan-alasan yang diajukan  oleh para tergugat dalam memori kasasinya
tersebut pada pokoknya ialah:
1.      Bahwa pengadilan tinggi padang  terang-terangan melanggar hukum acara perdata dan
dengan cepat mengadilinya
2.      Bahwa judex facti salah menerapkan hukum dan melanggar hukum adat minangkabau yang
berlaku di nagari selayo, kabupaten solok.
3.      Bahwa judex facti salah menerapkan hukum khsusnya hukum pembuktian
4.      Bahwa judex facti juga salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku.
5.      Bahwa termohon kasasi/ penggugat dalam gugatannya secara tegas mengatakan bahwa harta
perkara belum bersertifikat, kemudian fakta yang terungkap dipersidangan harta perkra
ternyata telah bersertifikat hak milik yang dihibahkan kepada istri dan anak-anak Wazir.
6.      Bahwa judex facti keliru mempertimbangkan ukuran tanah.
7.      Bahwa para pemohon kasasi/tergugat menampilkan tambahan surat bukti dalam perkara a
quo yang membuktikan penunjukan waris putuih nan kamauleuh  yang dilakukan Ninik
Mamak IV Jinih adalah perbuatan melawan hukum.
8.      Bahwa judex facti telah salah dalam penerapan hukum, karena Majelis Hakim judex facti
lalai dalam mengambil suatu pertimbangan hukum terhadap materi objek sengketa yang telah
memiliki Sertifikat Hak Milik No.36, Gambar Situasi No.340/1979, bahwa gugatan diajukan
oleh orang yang tidak berhak dengan alasan karena Termohon Kasasi/Penggugat menurut
Adat Minangkabau bukanlah waris putus nan kamauleh.
9.      Bahwa judex facti telah lalai dalam penerapan hukum, karena Termohon Kasasi/Penggugat
telah menggugat pihak yang tidak ada hubungan hukum dengan objek perkara.
10.  Bahwa judex facti telah salah dalam menerapkan pertimbangan hukum terhadap materi
gugatan Termohon Kasasi/Penggugat yang mana sebagian nama-nama orang yang ada dalam
Sertifikat Hak Milik.
11.  Bahwa judex facti telah salah dalam menerapkan hukum acara, karena gugatan Termohon
Kasasi/Penggugat tidak memenuhi syarat-syarat formil dari pada suatu surat gugatan.
12.  Bahwa judex facti telah salah dalam penerapan hukum terhadap pertimbangan batas-batas
sepadan yang tidak sesuai di dalam gugatan dan fakta yuridis di lapangan (objek perkara).
13.  Bahwa judex facti telah salah dalam penerapan hukum tentang mengambil suatu
pertimbangan hukum dalam perkara ini.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah
menerapkan hukum dan sudah tepat dalam pertimbangannya terhadap Harta Pusaka Tinggi
Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo berupa 1 (satu) piring tanah sawah, benih lebih kurang
15 sukat padi merupakan Harta Pusaka Tinggi Kaum Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo
yang terletak di Bawah Jao, Jorong Gelanggang Tangah, Nagari Selayo, Kecamatan Kubung
Kabupaten Solok.
Bahwa tidak dapat dibenarkan keberatan para Pemohon Kasasi/Tergugat tentang
pengangkatan Bakir Darwis oleh “Rapat Ninik Mamak Empat Jinih” Suku Kampai dan juga
disaksikan oleh Ketua KAN Selayo menjadi Mamak Kepala Waris Kaum Datuk Panjang
Gadang Maharajo Lelo yang kosong sejak meninggal dunia, Hasan Zainal Datuk Palentah
Bungsu Panjang  Gadang Maharajo Lelo yang tidak memiliki kemenakan bertali darah.
Pengisian jabatan Mamak Kepala Waris Kaum Datuk Panjang Gadang itu telah memenuhi
persyaratan adat, yaitu dilakukan oleh para Fungsionaris Adat Suku Kampai dan juga
disaksikan Ketua KAN, sehingga memenuhi unsur substansi dan prosedural. Secara
substansi, para fungsionaris adat berwenang menilai siapa-siapa diantara Suku Kampai yang
berhak diangkat sebagai Mamak Kepala Waris Kaum Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo
atas dasar hubungan “bertali adat” setelah pemangku terakhir meninggal dunia dan tidak
memiliki kemenakan bertali darah. Dalam Adat Minangkabau memang dikenal hubungan
“bertali darah” dan hubungan “bertali adat”. Secara prosedural pengangkatan itu telah
memenuhi unsur “terang” dalam prosedur hukum adat atau “basuluah matohari,
bagalanggang di mato urang banyak”.
Dengan sahnya pengangkatan Bakir Darwis sebagai Mamak Kepala Waris Kaum
Datuk Panjang Gadang atau pemegang “Sako”, maka ia berhak pula atas “Pusako” berupa
harta benda pusaka tinggi Kaum Datuk Panjang Gadang, termasuk tanah yang digugat dalam
perkara a quo
Tanah yang dihibahkan oleh almarhum Wazir Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo
kepada anak-anaknya yang telah disetujui oleh anggota kaumnya, yaitu kakaknya Hasan
Zainal Datuk Palentah Gadang Panjang Gadang Maharajo Lelo tidaklah sama dengan Tanah
Pusaka Tinggi yang digugat dan diputus oleh judex facti. Judex facti dalam pemeriksaan
ditempat telah membuktikan adanya perbedaan antara tanah yang dihibahkan dengan tanah
sengketa, dengan demikian hak anak-anak almarhum Wazir Datuk Panjang Gadang Maharajo
Lelo yang diperoleh melalui hibah tetap ada dan sah.
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion)
diantara para Anggota Majelis dan setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak
tercapai permufakatan, maka sesuai Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang No.14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009, Majelis setelah bermusyawarah dan diambil
putusan dengan suara terbanyak, yaitu menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh para
Pemohon Kasasi : Mainar Pr. dan kawan-kawan tersebut.
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi ditolak, maka para Pemohon
Kasasi/Tergugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi.

E.     Analisis Kasus
Keputusan Mahkamah Agung yang telah menetapkan ketentuan waris menurut hukum
adat Minangkabau, terdapat dalam putusan Nomor 1867 K/Pdt/2011 dalam putusannya
menyatakan bahwa ahli waris dari kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo diberikan
kepada Bakir Darwis yang di tentukan melalui musyawarah karena tidak ada lagi waris
bertali darah oleh Ninik Mamak IV Jinis Suku Kampai Nagari Selayo (hukum adat
Minangkabau) yang merupakan ahli waris nan kabuliah, putuih nan kama uleh.
Dalam Hukum Adat Minangkabau harta pusaka tinggi dalam kaum turun temurun,
tidak mungkin jatuh kepada anak.
Terlebih dahulu orang yang pantas dan patut memenuhi syarat menurut Hukum Adat
Minangkabau untuk diangkat atau diakui sebagai kemenakan yang tidak bertali darah sebagai
dunsanak na ka manjawek (keluaga/ahli waris yang akan menerima), sebagi waris nan ka
buliah (ahil waris yang boleh menerima), sebagai putuih nan ka mauleuh (untuk
menyambung yang putus) guna menerima Sako jo Pusako (Gelar dan Harta Pusaka Tinggi)
Datuk Panjang Gadang Maharajo Lelo  harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh Hukum Adat Minangkabau untuk diangkat atau diakui sebagai kemenakan yang tidak
bertali darah, yaitu adat harus dipakai, limbago dituang dan sandi rumah gadang dihuni.
Dimana Bakir Darwis telah terlebih dahulu dibawa ke rumah gadang untuk mengurus
atau mencarikan bantuan untuk mengurus merawat rumah gadang, mengurus dan atau
mencari orang lain untuk mengerjakan sawah dan ladang, mengurus tali bandar dan juga yang
mengurus beliau dikala sakit sampai meninggal dunia. Jadi Bakir Darwis berhak untuk
mewarisi Sako jo Pusako kaum Dt. Panjang Gadang Maharajo Lelo.
Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya
kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini berupa sawah, ladang,
rumah gadang, emas perak, dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material
ini, adapula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang secara turun-menurun. Sampai
sekarang kasus mengeani harta pusaka berupa sawah, ladang masih ada perbedaan pendapat
mengenai pembagian harta tersebut.
Yang pertama, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bagian
yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka pencaharian.
Yang kedua, mengatakan bahwa harta waris di Minangkabau ada pusaka tinggi dan
pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas 4 bagian :
1.      Harta pusaka tinggi
2.      Harta pusaka rendah
3.      Harta pencaharian
4.      Harta suarang
Dan dalam kasus ini yang dipermasalahkan mengenai harta pusaka tinggi yang mana
adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis
keturunan ibu. Harta pusaka tinggi berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain
disebut juga pusako disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar
pusaka kaum yang diwarisi secara terun-temurun. Harta pusaka tinggi tidak boleh dibagi
diantara para ahli waris, akan tetapi dimiliki secara kolektif, dengan hak-hak untuk
menggunakan dan memanfaatkan secara ganggam buntuak (genggam yang diperuntukkan).

F.     Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 1867 K/Pdt/2011 Tahun 2012


MAINAR Pr. DKK VS BAKIR DARWIS DT. PANJANG GADANG MAHARAJO LELO
Nomor 1867 K/Pdt/2011
Tingkat Proses Kasasi
Tahun Register 2011
Jenis Perkara Perdata
Klasifikasi Perdata
Sub Klasifikasi Waris
Jenis Lembaga Peradilan MA
Lembaga Peradilan MAHKAMAH AGUNG
Para Pihak MAINAR Pr. DKK VS BAKIR
DARWIS DT. PANJANG
GADANG MAHARAJO LELO
Tahun 2012
Tanggal Musyawarah 15-05-2012
Tanggal Dibacakan 15-05-2012
Amar TOLAK
Tim F
Hakim Majelis
Hakim Ketua Dr. H. M. Zaharuddin Utama,
S.H., M.M.,
Hakim Anggota Prof. Rehngena Purba, S.H., M.S.
dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi,
S.H., L.LM.,
Panitera Frieske Purnama Pohan, S.H.,
Status Tahanan Tidak
Berkekuatan Hukum Tetap Ya

Putusan Terkait
PK 50 PK/Pdt/2014
Kasasi 1867 K/Pdt/2011
Lainnya 02/Pdt.G/2010/PN.KBR
Lainnya 15/PDT/2011/PT.PDG

A.     
BAB III
KESIMPULAN

1.      Kedudukan hukum adat dalam yurisprudensi tidak dapat kita temui adanya ketentuan yang
tegas oleh karena yurisprudensi di lapangan hukum adat telah merupakan dan membimbing
perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam keputusan mengenai hukum adat dalam putusan hakim disebutkan:
a.       Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih dikembangan kearah hukum yang
bersifat bilateral/parental memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
b.      Dalam rangka pembinaan hukum perdata nasional, hendaklah diadakan publikasi
yurisprusdensi yang teratur dan tersebar luas.
c.       Dalam hal terdapat pertentangan antara perundang-undang dan hukum adat hendaknya
hakim memutuskan berdasarkan undang-undang bijaksana.
d.      Demi terbinanya hukum perdata nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita,
diperlukan hakim-hakim yang berorientasi kepada pembinaan hukum.
e.       Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa hukum
hendaklah diusahakan didamaikan.
2.      Kasus ini menganut pada ketetapan terdahuu pada kasus yurisprudensi yang mana ketika
penentuan ahli waris di Minangkabau ketika tidak adanya keturunan yang bertali darah
sementara ada harta yang ditinggalkan maka ditentukan melalui hukum adat.
3.      Kasus ini dinyatakan sebagai yurisprudensi tetap yang artinya kasus tersebut pernah ada dan
digunakan kembali pada kasus yang sama dalam adat Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Bushar, Muhammad. 2002. Asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha
Soekanto, Soerjono. 2011. Hukum Adat Indonesia. 2011. Jakarta Utara: PT. Raja Grafindo
Wulansari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar. Bandung; PT. Refika Aditama
Artikel/ Internet :
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan [diakses pada tanggal 19 November 2017]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_adat [diakses pada tanggal 19 November 2017]
rantaukamparkiriculturecenter.blogspot.co.id/2012/08/hukum-waris-adat-minangkabau.html
[diakses pada tanggal 19 November 2017]
http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2014/12/hukum-adat-dalam-yurisprudensi.html [diakses
pada tanggal 19 November 2017]  
http://merantiblogs.blogspot.co.id/p/hukum-adat-dalam-yurisprudensi.html [diakses pada tanggal
19 November 2017]
http://enzifebrianti.blogspot.co.id/2013/04/hukum-adat-dalam-yurisprudensi.html [diakses pada
tanggal 19 November 2017]

Anda mungkin juga menyukai