Anda di halaman 1dari 19

ISSN 16935969 Media Wis

Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

OVERRIDE PARADE:
E: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUT
JUTAN PADA
DESTIN
TINASI KEPULAUAN DI INDONESIA

Putu Diah Sastri Pitanatri


Politeknik Pariwis
iwisata Bali, Bali, Indonesia, Email:diahsastri@gmail.co
il.com

ABSTRAK
isata saat ini memiliki masalah; relatif kecandua
Pariwisa anduan pertumbuhan,
Histori Artikel tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan.Meski
yang tida n.Meskipun selama lebih
iga decade pariwisata berkelanjutan terus dide
dari tiga didengungkan sebagai
Submitted: uk iideal dari pariwisata; otoritas pariwisata di se
bentuk seluruh dunia tetap
1 September 2019
Reviewed:
promosikan
memprom aspek-aspek pertumbuhan meski
skipun keterbatasan
14 September 2019 ogis dan social telah menjadi isu strategis di ban
ekologis banyak negara.Selain
Accepted: itu ang
yan menjadi permasalahan kemudian, par
pariwisata seringkali
1 Oktober 2019 kan dengan berbagai isu yang relative memil
dikaitkan iliki spectrum yang
Published: dari pariwisata itu sendiri. Dengan melakukan
jauh dar kan studi literatur dari
15 November 2019
tikel baik dari prosiding, jurnal nasional dann int
67 artike internasional, buku,
laporan dari lembaga nasional dan interna
serta lapor nasional, artikel ini
melihat bagaimana sebenarnnarnya esensi dasar dari permasalahan utam utama sector ini di
smdan tourism leakage.Karena itu tulisan ini
Indonesiaadalah overtourismda ni be
berpendapat bahwa
pariwisata harus dipahamii dan dikelola dengan konteks keberlanj anjutan yang lebih
luas.Rekomendasi dari tulisaisan ini diantaranya dibutuhkan riset-risett terbarukan seperti
lalui big data sehingga beragam pendekat
sustainable mobilities melalui katan untuk strategi
secara real time dan menyasar langsung ppada permasalahan
pariwisata dapat dilihat seca
pariwisata.
Keywords: pariwisata berkela
kelanjutan, overtourism, tourism leakage, sustainabl
ainable mobilities,
big data

OVERRIDE PARADE: SUS


SUSTAINABLE TOURISM ISSUES IN ISLAN
ANDS TOURISM
D
DESTINATION IN INDONESIA

ABSTRACT
Tourism today has a proble
problem. It is addicted to growth, which is incompatible with
sustainability goals. Despite
spite three decades discussing pathways to sust sustainable tourism,
tourism authorities worlwidede has continue to promote tourism growth des despite the ecological
and social limits of living on a finite planet. Looking to it’s case to islisland destination in
Indonesia overtourism and ttourism leakage are two major problem m the industry are
facing.Therefore this articlee argue
argues that tourism must be understood and managed with a
wider context of sustainabili
nability. Additionally, strategic approaches to transitioning to a
sufficiency approach to tourism
ourism and leisure is essential if sustainability
lity is to be secured.
Recommendations include Sust Sustainable Mobilities, fostering diverse approac
approaches to tourism
strategies for development and regulating and managing tourism. Ann upgradeupgraded reseach in
sustainable mobility through
hrough bibig data is reccomended to further diverse se tourism strategies
from approach that be analyzeyzed in real time and directly targeted at tourism
ourism and destination
problems.
Keywords: sustainable tourism
ourism, overtourism, tourism leakage, sustainable
nable mobilities, big
data

https://amptajurnal.ac.id/index.ph
x.php/MWS
Doi: 10.36276/mws/v17i2
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

PENDAHULUAN
Sejak dijadikannya sebagai sektor unggulan beberapa komoditas lain, seperti minyak, gas,
pembangunan nasional, pemerintah batu bara, serta kelapa sawit terus
Indonesia melalui program Nawa Citta merosot.Dalam angka, untuk tahun 2019 ini
menjadikan pariwisata sebagai salah satucore pariwisata diproyeksikan mampu
economy. Pariwisata dianggap sangat vital menyumbang produk domestik bruto sebesar
untuk pembangunan ekonomi karena dapat 15%, Rp 280 triliun untuk devisa negara, 20
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan juta kunjungan wisatwan mancanegara, 275
pendapatan bisnis lain, dan dapat mendorong juta perjalanan wisatawan nusantara dan
pemerintah daerah membangun dan menyerap 13 juta tenaga kerja pada tahun
memelihara infrastruktur.Keseriusan 2019 (Kompas, 2018; SindoNews, 2018).
pemerintah ditandai dengan penerbitan Lebih jauh, sektor pariwisata diyakini
Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun mampu menciptakan pusat-pusat
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek pertumbuhan ekonomi yang tersebar di
Strategis Nasional. Melalui Perpres ini, seluruh negeri.Sebagai sektor “super”,
pemerintah melakukan percepatan pariwisata juga diharapkan mampu berperan
pembangunan infrastruktur transportasi, sebagai “pil-ajaib” yang mampu
listrik dan air bersih guna menunjang menyembuhkan segala macam penyakit
pengembangan kawasan pariwisata kronis Negara ini.
unggulan. "Diharapkan pula mampu memutus
Selain itu, didasarkan amanat RPJMN 2015- rantai kemiskinan, pengangguran, juga
2019 bidang infrastruktur, Direktorat kesenjangan dengan cepat dan tepat,"
Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Arief Yahya, Menteri Pariwisata
Umum dan Perumahan Rakyat (Republika, 2017)
(KemenPUPR) mendukung pengembangan Over-promise inilah yang kemudian menjadi
ekonomi lokal dan pariwisata melalui dua titik awal permasalahan pengembangan
jenis dukungan. Pertama, sebagai pelaku kepariwisataan di Indonesia yang menjadi
langsung ekonomi, yang mencakup terlalu addicted to growth. Seringkali saat
penyediaan ruang terbuka publik/hijau, sebuah destinasi populer karena pariwisata,
pengembangan gedung hijau, dan mendorong maka seluruh permasalahan akan ditujukan
ekonomi lokal melalui penyediaan pada sektor ini. Mulai dari kemacetan,
infrastruktur.Kedua, sebagai pendukung narkoba, seks bebas, isu lingkungan seperti
pengembangan ekonomi, antara lain meliputi sampah dan alih fungsi lahan sampai
penyediaan infrastruktur permukiman pada perubahan budaya menjadi “karena
kawasan ekonomi kreatif (air minum, pariwisata”.Pertayaannya kemudian, kemana
sanitasi, jalan lingkungan), sector-sektor lainnya?Sebagai contoh, saat
penerapanbantuan Gedung, dan Fasilitasi sebuah destinasi kesulitan air, maka yang
Pemda melalui program Kota Hijau dan Kota bermasalah adalah pariwisata. Sedikit sekali
Pusaka. yang melihat permasalahan ini sebagai akibat
Pariwisata disebut mampu menghadirkan dari pertumbuhan penduduk, perusahaan air
belanja wisatawan yang langsung diterima mineral dalam kemasan dan climate change
oleh masyarakat lokal sehingga diproyeksi yang menyebabkan perubahan iklim global
dapat menjadi alat pemerataan ekonomi sehingga air menjadi sulit.
paling ampuh yang mampu menyentuh Memang tidak dapat dipungkiri pariwisata
hingga ke level bawah masyarakat.Pariwisata tentu memberi dampak baik positif maupun
juga diyakini sebagai komoditas yang paling negative pada sebuah destinasi, namun
berkelanjutan dan menyentuh hingga ke level sebagai peneliti pariwisata maka
bawah masyarakat. Setiap tahun, performa permasalahan seharusnya dilihat dari
pariwisata Indonesia menanjak di saat kacamata pariwisata. Selain itu, dalam studi-

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 132
studi sebelumnya cukup banyak literatur suatu proses yang memenuhi kebutuhan
yang menekankan adanya multiplyer effect generasi sekarang tanpa membahayakan
dari pariwisata (Hughes, 1994; Adams dan kemampuan generasi mendatang untuk
Parmenter, 1995; Zhou et al, 1997; Dwyer et memenuhi kebutuhan mereka sendiri
al, 2000; Blake dan Sinclair, 2003; Dwyer et (WCED, 1987). Dalam konsep ini, prinsip-
al, 2006; Blake et al, 2008; Pratt dan Blake, prinsip keberlanjutan dirancang untuk
2009). Oleh sebab itu, artikel hanya ini akan memanfaatkan sumber daya secara optimal
membahas dua pokok permasalah sebagai sambil secara simultan melindungi dan
dampak langsung dari pertumbuhan meningkatkannya (Butler, 1999; Saarinen,
pariwisata yang terlalu pesat di suatu 2006; Cawley dan Gillmor, 2007).
destinasi sehingga berimpliasi terhadap …the drive towards sustainable tourism
keberlanjutannya, yaitu: overtourism has been prompted by concerns about
dantourism leakageUntuk mempertajam the tourismenvironment relationship as
bahasan, artikel ini hanya membatasi pada well as interest in developing concepts
konteks destinasi kepulauan di Indonesia. that might help bring this relationship
more in line with the ideology of “Our
Common Future” (WCED, 1987).
LITERATIR REVIEW
Jika merujuk pada lingkup akademis;
Pentingnya aspek keberlanjutan pada sector
Bramwell dan Lane (1993) menyebutkan
pariwisata telah menjadi prioritas oraganisasi
bahwa istilah pariwisata berkelanjutan
dunia seperti United Nations, Bank Dunia,
(sustainable tourism) pertama kali ada dalam
Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO),
publikasi di tahun 1973 (oleh Dasmann et al.,
World Travel & Tourism Council (WTTC)
1973) yang kemudian menjadi salah satu
dan World Wide Fund for Nature. Menurut
pertimbangan politis di tahun 1980 dalam
Saarinen (2006), 'istilah dan gagasan
World Conservation Strategy (IUCN,
keberlanjutan dialihkan ke pariwisata dari
1980dalam Mihalic 2016). Semenjak saat
ideologi pembangunan berkelanjutan setelah
itu, pariwisata model ini digaungkan sebagai
publikasi laporan Komisi Brundtland pada
prinsip-pripsip pembangunan yang
Stockholm Conference on Human and
bertemakan keberlanjutan. Prinsip ini – yang
Environment“Our Common Future” pada
kemudian dikenal dengan istilah the three
tahun 1987', mendefinisikan pembangunan
pillars atau the three elements of
berkelanjutan sebagai berikut: sustainable
sustainability merupakan prinsip yang
development is defined as a process of
diadopsi dari pembangunan berkelanjutan
meeting the present needs without
(UNEP & WTO, 2005). Ketiga prinsip itu
compromising the ability of the future
ekonomi, lingkungan serta keberlanjutan
generations to meet their own needs
sisial budaya kemudian menjadi konsep
(WCED,1987).
dasar penelitian-penelitian yang bertemakan
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa pariwisata berkelanjuan.
pembangunan berkelanjutan merupakan
Lebih lanjut, United Nation Environmental
suatu proses pembangunan yang berusaha
Programme (UNEP, 2009) menekankan
untuk memenuhi kebutuhan (segala sesuatu
perbedaan antara pertumbuhan pariwisata
yang kita nikmati) sekarang dan selanjutnya
(tourism growth) dan pembangunan
diwariskan kepada generasi mendatang. Jadi,
pariwisata (tourism development).Secara
dengan pola pembangunan berkelanjutan
ringkas, penambahan jumlah pengunjung
generasi sekarang dan generasi yang akan
adalah indikator utama pertumbuhan
datang mempunyai hak yang sama untuk
pariwisata.Sementara pembangunan
menikmati alam beserta isinya ini.
pariwisata ditandai dengan terjadinya
Dalam laporan yang sama disebutkan juga pertumbuhan pendapatan dan penyerapan
konsep pembangunan berkelanjutan sebagai tenaga kerja lokal serta manfaat lingkungan

133 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

yang disebabkan karena aktivitas pariwisata dan pada akhirnya merusak sumberdaya
yang dilakukan berdasarkan daya dukung pariwisata.Dunia kemudian mengenal
lingkungan.Perbedaan antara pertumbuhan pariwisata dua kutub yaitu konvensional dan
dan pembangunan pariwisata berkelanjutan.
mengimplikasikan bahwa pembangunan Sesungguhnya terdapat perbedaan yang
pariwisata adalah pariwisata berkelanjutan, substansial antara pariwisata biasa atau
sementara pertumbuhan pariwisata belum
konvensional dan pariwisata berkelanjutan.
tentu berkelanjutan. Inti pariwisata berkelanjutan yaitu bahwa
UNWTO (2011) menekankan suatu kondisi kegiatan pariwisata secara lingkungan tidak
ideal, yaitu bahwa semua pariwisata merusak alam, secara budaya dan sosial tidak
seharusnya merupakan kegiatan yang mengubah tatanan masyarakat, dan secara
berkelanjutan.Namun yang terjadi yaitu ekonomi memberikan dampak positif bagi
masih banyak negara, daerah dan entitas masyarakat lokal. Dilihat dari beberapa
resmi yang belum memahami hal ini.Sebagai indikator, berikut perbedaan antara
akibatnya, keuntungan yang sebesar- pariwisata konvensional dan berkelanjutan.
besarnya dikejar dengan cara mengorbankan

Tabel 1. Perbedaan Pariwisata Konvensional dengan Pariwisata Berkelanjutan


Indikator Pariwisata Konvensional Pariwisata Berkalanjutan
1. Tujuan Profit sebagai satu-satunya tujuan Direncanakan dengan tiga tujuan, yaitu
Utama utama keuntungan, lingkungan, dan masyarakat
2. Perencanaan Seringkali tidak dirancang sebelumnya Umumnya memiliki proses perencanaan
(planning) baik oleh penyedia jasa maupun yang baik, jauh hari sebelum destinasi itu
pengunjung dibuka untuk turis dan umumnya
melibatkan berbagai pihak
3. Orientasi Kepuasan pengunjung/wisatawan saja Berorientasi kepentingan bersama,
terfokus pada kepentingan lokal
4. Fungsi Dikontrol orang luar/investor yang Dikontrol dan dikelola sebagian besar
Kontrol mengutamakan profit atau seluruhnya orang lokal atau “green
investor” yang mengutamakan
keuntungan bagi orang lokal
5. Fokus Fokus untuk menyenangkan Fokus untuk memberi pengalaman
kunjungan wisatawan – yang seringkali kepada pengunjung (creating
menciptakan tourist bubble pada experiences) dimana wisatwan misalnya
destinasi tersebut (misal membuka diajak untuk menikmati makanan lokal
restoran khusus untuk wisatawan dari
Negara A)
6. Aspek Konservasi bukan menjadi prioritas Konservasi merupakan prioritas
Konservasi
lingkungan
7. Masyarakat Masyarakat lokal bukan prioritas Masyarakat adalah prioritas karena
lokal pengembangan. Hal ini sering merekalah yang berperan dalam
berujung pada tenaga kerja yang penciptaan experience untuk wisatawan.
bukan dari mayarakat lokal karena Oleh sebab itu ada apresiasi akan budaya
pengalaman yang ingin diciptakan lokal.
bukan local expertise dari destinasi
tersebut
8. Profit sharing Lebih besar porsi keuntungan Porsi pendapatan terbesar mengalir ke
dinikamti orang luar sebagai investor masyarakat lokal
dan operator
Dari berbagai sumber, konstruk penulis, 2019
Meskipun demikian, secara empiris dapat pariwisata mendapat prioritas tertingi
dilihat bahwa penekanan terhadap sementara aspek lingkungan merupakan
keberlanjutan ekonomis di industry prioritas terendah (Blackstock et al., 2008;

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 134
Bohdanowicz et al., 2005; Bramwell et al., mengungkapkan banyak pemahaman yang:
2008; Mihaliec et al., 2012). Seolah-olah bervariasi mengenai apakah subjeknya
lebih mudah menerapkan agenda adalah konsep, teori atau praktik (Leslie,
keberlanjutan bagi sector public 2012a, b, c); apakah kemudian melibatkan
dibandingkan swasta karena bagainapun juga berbagai pemangku kepentingan dan tujuan
keuntungan perusahaan adalah top notch yang berbeda; ataukah model inimenciptakan
priority dibandingkan lainnya. pariwisata yang ramah lingkungan atau
menciptakan tempat yang lebih baik bagi
Berbeda halnya dengan turunan dari prinsip
masyarakat lokal untuk tinggal dan turis
keberlanjutan seperti konsep the triple
untuk berkunjung (RTP, 2002). Dalam kajian
bottom line (TBL) atau corporate social
literature lebih lanjut, ditemukan pemahaman
responsibility (CRS) yang sejatinya lebih
bahwa pariwisata model ini berfokus pada
mendekati industry sehingga dapat
konsumsi dan proses produksi yang
diadaptasikan dan diaplikasikan secara
bertanggung jawab (Budeanu, 2005;
langsung.Keengganan industry untuk
Stanford, 2008; Bramwell et al., 2008; Hall,
berbicara keberlanjutan melahirkan istilah
2012, Kusworo, 2015). Penekanan ini berarti
baru seperti green tourism,sebagai sinonim
baik masyarakat lokal, turis, penyedia
dari terminology ini. Dalam konsep modern
amenitas pariwisata serta pemerintah lokal
diskusi dan debat terkait perbedaan
memiliki relasi atau nexus yang kuat dalam
sustainable, CSR, TBL ataugreen
mewujudkan pariwisata yang bertanggung
tourismmenjadi kontra produktif karena
jawab.
sejatinya seluruh terminologi ini merujuk
pada ketiga pilar yang sama. Oleh sebab itu, pariwisata yang bertanggung
jawab bukan sinonim untuk pariwisata
Yang menarik,berkembang juga konsep
berkelanjutan. Pariwisata yang bertanggung
yang disebut sebagai pariwisata bertanggung
jawab membahas wacana pariwisata
jawab atau responsible tourism yang menjadi
berkelanjutan dalam implementasi dan lebih
warna dari pariwisata berkelanjutan. Jika
merupakan ungkapan untuk menggambarkan
sustainable tourism lebih kepada konsep
pariwisata yang berkelanjutan karena ia
makro, maka responsible tourism lebih
“bertindak” berkelanjutan. Ini bukan hal
kepada aspek bisnisnya. Konsep ini telah
yang baru, bukan alternatif baru untuk
ada sejak tahun 1980an, dengan kajian-kajian
bentuk pariwisata lain atau cara baru
yang berfokus pada permasalahan
"melakukan" pariwisata berkelanjutan,
lingkungan dalam lingkup pariwisata
seperti yang dinyatakan oleh beberapa
(Bramwell et al., 2008; Butler, 1995;
penulis (Blackstock et al., 2008).
Chettiparamb and Kokkranikal, 2012;
Goodwin, 2011; Leslie, 2012b, 2012c). Dengan demikian, pariwisata yang
bertanggung jawab dibangun di atas strategi
Bertentangan dengan konsensus relatif pada
dan kebijakan berbasis keberlanjutan yang
makna tiga pilar pada pariwisata
tepat dan menambahkan perilaku yang
berkelanjutan, yang diamati sebagai sebuah
sesuai, yang berarti tindakan yang
konsep, gagasan pariwisata yang
berkelanjutan (kembali) atau, sesuai dengan
bertanggung jawab (atau responsible
konsep Goodwin, dimana kemampuan
tourism) belum begitu kuat atau sering
merespon, didukung oleh kesadaran dan etika
diterapkan. Menurut beberapa penulis,
dalam lingkungan pariwisata itu sendiri
responsibility dan responsible tourismdapat
(Fennell, 2006). Lebih lanjut, Mihalic
berarti "apa saja" (Chettiparamb dan
(2016) menyebutkan penggabungan antara
Kokkranikal, 2012, hlm. 302; van Marrewijk,
pariwisata berkelanjutan dengan pariwista
2003), dan penggunaannya tidak menambah
yang bertanggung jawab kemudian
pemahaman konseptual tentang pariwisata.
melahirkan terminology yang disebut sebagai
Literatur dan studi yang ada tentang
responsutabletourism sebagaimodel baru
pariwisata yang bertanggung jawab

135 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wis
Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

yang dapt menjadi jembatann aantara gap yang “responsible” tourism


ourism, yet de facto
muncul dari responsible deng
ngan sustainable nability (Mihalic, 2016).
based on sustainability
tourism. Koneksi antara pariwisata
ta be
bertanggung jawab
Merging the words
ords responsible yang keberlanjutan ini di diilustrasikan pada
(behaviour-based) and sustainable Gambar. 1 dibawah ini di mana pilar
(concept and values-based
based) produces the pembangunan berkelanjut
njutan berdiri di atas
new term responsustable
able tourism. It is persyaratan pariwisata be berkelanjutan.Atap
argued that this new term
erm fully reflects struktur disebut pariwisa
isata responsustable
the academic and practic
practical debate and sustainability), yang
(responsibility & sustai
action that is increasiasingly labelled menunjukkan tanggung
ng jawab dan
keberlanjutan dalam perilaku
ilaku pa
pariwisata.

Gam
ambar 1. Model Responsustable Tourism
Sumber: Mihalic, (2016)

Tidak hanya konsep responsust


ponsustable; sampai magic wand yang menga garah ke model dan
saat ini begitu banyak publ publikasi yang bentuk pengembangan par pariwisata yang lebih
menuliskan pengembanga
ngan konsep berkelanjutan, ramah lingngkungan dan sosial
pariwisata berkelanjutan.
n. Ada yang (Ritchie dan Crouch, 2000; Swarbrooke,
menghubungkannya dengann U United Nations 1999). Di sisi lain, konsep ini terus-menerus
Sustainable Development Gaa aals (UN-SDG); dikritik karena cacat da dan tidak memadai
ada juga yang melihatnyaa dalam aspek 2010). Dengan kata
(Higgins-Desbiolles, 2010
aplikatif sehingga menghasi
hasilkan berbagai utan telah membantu
lain, diskusi keberlanjutan
model pariwisata baru seperperti ecotourism, menarik perhatian pada perlunya
pilgrimage tourism, bahkann wa
walking tourism. keseimbangan antara kepe epentingan ekonomi
Di satu sisi, konsep keber berlanjutan telah pariwisata.
dan lingkungan dalam pari
berfungsi untuk beberapa or orang sebagai

https://amptajurnal.ac.id/index.ph
x.php/MWS 136
Penetrasi aktual pariwisata berkelanjutan ke HASIL DAN PEMBAHASAN
dalam strategi dan kebijakan telah
Fenomena Overtourism dan Destinasi
menghasilkan banyak implikasi baik seperti
Kepulauan
penghematan energi, daur ulang,
pengurangan limbah dan emisi dan upaya Fenomena overtourism saat ini diindikasi
untuk meningkatkan mata pencaharian telah terjadi di banyak destinasi dunia.
penduduk lokal.Namun, ada juga bukti Secara awam overtourism dimaknai sebagai
signifikan dari efek sebaliknya. Wheeler angka turis yang sangat tinggi dan melebihi
berpendapat bahwa konsep pariwisata daya tampung ekosistem pariwisata di tempat
berkelanjutan yang “menarik secara itu, namun apa sebenarnya overtourism
intelektual” memiliki aplikasi praktis yang masih menjadi sebuah perdebatan sampai
sangat rendah karena berada dalam tataran saat ini karena termilogi tersebut sangat
konsep dan perdebatan akademis tanpa solusi mirip dengan apa yang telah lebih dulu
aplikatif— sehingga pada dasarnya dikenal oleh dunia akademisi sebagai over
memungkinkan perilaku yang sama seperti carrying capacity.
sebelumnya (Wheeller, 1993). Jika merujuk kebelakang, istilah ini pertama
Memang, konsensus tentang keefektifan kali muncul sebagai (hashtag) #overtourism
pengembangan pariwisata berkelanjutan di Twitter pada 2012. Istilah tersebut menjadi
tetap sulit dipahami (Chettiparamb dan populer dan mengacu pada destinasi di mana
Kokkranikal, 2012), dan implementasinya turis, tuan rumah, dan warga lokalnya
dalam praktiknya tetap sulit, sehingga sampai merasakan adanya terlalu banyak turis
saat ini meninggalkan banyak industri sehingga kualitas kehidupan di daerah itu dan
pariwisata menjadi "... sangat tidak pengalaman di destinasi itu telah menurun di
berkelanjutan" (Higgins-Desbiolles, 2010, luar batas yang bisa diterima.
hlm. 117) Destinasi seperti Mallorca dan Barcelona di
Spanyol, New Orleans di AS, Santorini di
Yunani, dan Reykjavik di Islandia menjadi
METODE beberapa destinasi yang ‘terpapar’
Untuk mendapatkan gambaran komprehensif overtourism Pada Mei 2016 pemerintah
terhadap permasalahan yang ada, artikel ini Thailand juga menutup secara sementara
mempergunakan metode deskriptif analitis Pulau Koh Tachai, yang terkenal sebagai
dengan dukungan rujukan dari sumber berita destinasi menyelam dan pantai yang indah,
online yang kredibel, analisa perkembangan karena kerusakan lingkungan dan
pembangunan pariwisata dari Bapenas dan sumberdaya alam akibat terlalu banyaknya
Kementerian Pariwisata yang diperkuat wisatawan yang datang ke destinasi tersebut.
dengan pendalaman materi melalui Overtourism sendiri menjadi cukup
pengumpulan data sekunder yang diperoleh fenomenal setela cukup banyak publikasi
daridesk study. yang mulai menjadikan terminology ini
Studi literature mempergunakan 67 artikel sebagai rujukan bagi destinasi yang terpapar
baik dari prosiding, jurnal nasional dan pariwisata yang terlalu besar, sehingga
internasional,buku, serta laporan dari menimbulkan permasalahan bagi destinasi
BAPPENAS, Badan Pariwisata Internasional dan masyarakat lokal (Capocchi, Vallone,
(UNWTO) dan World Economy Forum Pierotti, & Amaduzzi, 2019; Innerhofer,
(WEF). Didalam melakukan resensi 2018; Séraphin, Zaman, Olver, Bourliataux-
publikasi, tulisan ini dibantu dengan program Lajoinie, & Dosquet, 2019). Sebelumnya,
Mendeley sehingga kajian literatur dapat hubungan “putus nyambung” antara host dan
dibuat dengan padat. guest telah menjadi teori-teori fenomenal
seperti Tourism Area Life Cycle (TALC)
Butler dan Doxey Irritation Index.

137 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

Overtourism merangkum narasi tentang potensi pulau-pulau kecil di Indonesia yang


persepsi negatif terhadap turis dan turisme di demikian terisolir dan susah dijangkau
banyak tempat di Eropa. Amsterdam, menjadi semakin mendekati momentumnya.
Venezia, Dubrovnik, Barcelona, dan Islandia Pasalnya, selain memiliki nilai strategis,
adalah beberapa nama yang sering muncul muncul kecenderungan perubahan titik
dalam bahasan (yang mengkritisi) episentrum ekonomi dunia, yang kini
pertumbuhan pariwisata yang berlebihan semakin bergeser dari kawasan petro-dollar
sehingga berdampak negatif bagi destinasi di Timur Tengah ke kawasan Pasifik yang
tersebut. Dampaknya adalah masyarakat potensial. Pakar futurologi John Hay dalam
lokal tidak lagi nyaman tinggal di destinasi Naisbitt dan Aburdene (1990)
tersebut. Penyebabnya bisa beragam—mulai mengungkapkan, "Atlantik adalah samudra
dari ada kerumunan turis yang ‘mengambil masa lampau, Mediterania (laut tengah)
alih’ jalan-jalan tempat mereka biasa adalah samudra masa kini, dan Pasifik adalah
bersepeda dan berjalan kaki, atau karena samudra masa depan atau ocean of the future.
harga sewa rumah dan tanah melonjak naik Hal inilah yang kemudian menjadi peluang
akibat mekanisme bisnis pariwisata namun sekaligus tantangan bagi pengelolaan
(Capocchi, et all, 2019; Séraphin, et all, destinasi kepulauan di Indonesia
2019; Condé Nast Traveler,2018; Innerhofer, kedepannya.
2018).
Sebagai contoh, berikut komparasi foto
Selain itu, bagi sebuah negara dengan basis Aerialkepulauan Gili pada tahun 2010, 2014
kepulauan terbesar di dunia, telah cukup (diambil oleh Kurniawan et all) dan google
banyak kritisi terhadap pengembangan Earth 2019 yang menunjukkan bagaimana
destinasi kepulauan yang terlalu “Bali dan kepadatan pembangunan di kepulauan ini.
Jawa sentris”.Beberapa destinasi disinyalir Padahal di tiga pulau ini terdapat pelarangan
berada pada ambang overtourism seperti Bali kendaraan bermotor dan seluruh bahan
(CNTraveler, 2018), Labuan Bajo (Cole, bangunan berasal dari pulau seberang.Hal ini
2017) dan Kepulauan Gili (Budilestari, et all, relatif menyulitkan pembangunan bangunan,
2014; Hampton & Jeyacheya, 2015; namun hal tersebut tidak menyurutkan
Kurniawan, et all, 2016, 2019; Pitanatri, pertumbuhan pembangunan akomodasi dan
2018). hotel di kawasan ini—dapat dibayangkan
Pariwisata sebagai sebuah industri bagaimana dengan pertumbuhan kepadatan
merupakan sebuah sistem yang kompleks di pulau-pulau lain yang tidak memiliki
dan melibatkan banyak elemen. Mengelola pelarangan seperti di kepulauan Gili.

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 138
Gambar 2. Pertumbuhan
an Kepadatan Kepulauan Gili 2010, 2014 (atas) dan 201
019 (bawah)
Sumbe
ber: Kurniawan et al. 2016; Google Earth, 2019.

Padahal, United Nation W World Tourism berkelanjutan sebagai


gai suatu upaya
Organization (UNWTO) pada tahun 1988 pengelolaan yang terar
rarah atas seluruh
telah mendeklarasikann pariwisata sumberdaya sedemikian
an rupa sehingga

139 https://amptajurnal.ac
al.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat negara biasanya diukur dengan empat
dipenuhi sambil mempertahankan integritas indikator utama yaitu: Jumlah kunjungan
budaya, proses ekologi, keragaman biologi wisatawan, Nilai pengeluaran per wisatawan,
dan sistem yang mendukung kehidupan. Lama tinggal, Pendapatan pemerintah.
Dalam pelaksanaannya, UNWTO UNWTO Jumlah kunjungan wisatawan (numbers of
menilai begitu pentingnya menentukan tourist), baik secara absolut maupun relatif
Kawasan Konservasi Perairan (Marine terhadap jumlah penduduk, atau juga relatif
Protected Area) sebagai elemen penting dari terhadap pada periode sebelumnya.
pariwisata bahari. Selain itu, budaya
masyarakat lokal serta pentingnya kegiatan Nilai pengeluaran per wisatawan (tourist
pariwisata bagi ekonomi lokal adalah juga expenditure). Angka ini sering digunakan
unsur penting dan perlu dipertimbangkan sebagai indicator yang menunjukkan kelas
setiap saat dalam pembangunan pariwisata ekonomi wisatawan. Di saat yang sama
berkelanjutan. pengeluaran per wisatawan ini
menggambarkan daya saing suatu daerah
Permasalahan overtourism jika tidak terhadap daerah lain. Semakin besar
ditanggulangiakan menjadi bom bunuh diri pengeluaran atau belanja wisatawan untuk
bagi pariwisata Indonesia. Tawaran dari jenis jasa dan produk yang sama di suatu
konsep sustainable dan responsible daerah dapat menggambarkan kurangnya
tourismdapat menjadi obat penawar daya saing daerah tersebut. Nilai pengeluaran
menangani kesemrawutan akibat pariwisata; per wisatawan juga merupakan potensi
namun seperti yang telah didiskusikan diatas penerimaan atau pendapatan daerah tujuan
sata ini yang dibutuhkan adalah wisata.
implementasi bukan sekedar konsep dan
teori.Bagaimanapun juga kelestarian Lama tinggal di suatu daerah (length of stay).
lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan Indikator ini biasanya diukur dalam satuan
peningkatan ekonomi adalah faktor kunci hari. Semakin lama wisatawan tinggal di
yang harus mendapat perhatian dalam suatu daerah merupakan proksi dari daya
pengembangan destinasi kepualauan di tarik daerah tersebut. Lama tinggal suatu
Indonesia. daerah berkorelasi positif dengan jumlah
pengeluaran pariwisata.
Kebocoran Pariwisata akibat Indikator
yang Salah? Pendapatan pemerintah pada tingkat nasional
maupun daerah Gross National Product dan
Permasalahan kedua yang selanjutnya Gross Domestic Product). Indikator ini
menjadi isu strategis pengembangan adalah hasil perkalian dari tiga indikator
pariwisata adalah isu kebocoran pariwisata sebelumnya. Poin ini sering dipakai sebagai
atau disebut sebagai tourism leakage.Isu ini indikator makro pertumbuhan pariwisata.
merupakan implikasi langsung dari
pertumbuhan pariwisata yang tidak Pertanyaannya kemudian, apakah keempat
berkelanjutan dimana aktivitas pariwisata indikator ini sudah cukup untuk
tidak dirancang dan dilaksanakan secara menggambarkan pariwisata
berkelanjutan dan pada akhirnya mengalami berkelanjutan?Bila yang dievaluasi adalah
kemunduran atau stagnasi. pertumbuhan pariwisata maka keempat
indikator sudah sangat tepat sebagai alat
Dalam lingkup makro, salah satu ukur.Namun demikian, keempat indikator ini
penyebabnya adalah kinerja pariwisata hanya mengukur pertumbuhan
diukur dengan menggunakan indikator- pariwisata.Secara konvensional, keempat
indikator yang tidak tepat maka sebagai indikator ini memang selalu digunakan untuk
akibatnya pembangunan pariwisata menjadi mengukur perkembangan atau keragaan
masalah karena pertumbuhan pariwisata yang pariwisata pada umumnya.Sesungguhnya
tidak terkendalikan.Sebagai contoh keempat indikator ini belum cukup untuk
pertumbuhan pariwisata di suatu daerah atau

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 140
mengukur atau mengevaluasi kinerja dihasilkan oleh pariwisata melimpah tetapi
pariwisata berkelanjutan. seringkali bocor keluar dari wilayah tersebut
karena impor, atau kepemilikan asing atas
Seperti yang ditunjukkan oleh Carbone
fasilitas wisata di destinasi tersebut
(2005), keberlanjutan ekonomi misalnya,
(Budeanu, 2007).Oleh karena itu, menurut
harus mengacu pada pendapatan tambahan
Sheng dan Tsui (2009), pendapatan bersih
yang diberikan kepada penduduk setempat
pariwisata sebenarnya adalah jumlah
untuk mengkompensasi mereka atas beban
pengeluaran wisatawan yang tinggal di
yang mungkin ditimbulkan oleh kehadiran
destinasi setelah dikurangi keuntungan dan
wisatawan.Selain itu, keberlanjutan ekonomi
upah dibayarkan di luar daerah dan setelah
dari pertumbuhan pariwisata dapat disebut
impor dibeli. Jumlah yang harus dikurangi
sebagai peningkatan ekonomi bagi
inilah disebut sebagai “kebocoran”
masyarakat lokal yang dapat dihasilkan oleh
pengembangan pariwisata dalam jangka The real tourism revenue is the amount
panjang, dengan mempertimbangkan semua of tourist spending that remains locally
dampak beragam yang mempengaruhi after profits and wages are paid outside
berbagai sektor dan industri. the area and after imports are
purchased. The amounts to be subtracted
Namun demikian, keberlanjutan
are called leakage (Sheng and Tsui,
pengembangan pariwisata secara umum, dan
2009)
khususnya keberlanjutan ekonomi dari
pertumbuhan pariwisata, harus diukur agar Kebocoran dapat didefinisikan sebagai
bermanfaat (Garrigós et all, 2004), dan 'kegagalan pengeluaran wisatawan untuk
meskipun pertanyaan dan tantangannya tetap berada dalam ekonomi tujuan'
adalah apakah ini mungkin (Sandbrook, 2010, hal 125), atau 'hilangnya
dilakukan?(Buckley, 1999). Garrigós et al valuta asing dan biaya tersembunyi lainnya
(2004) menyatakan bahwa pengukuran yang berasal dari kegiatan terkait pariwisata'
keberlanjutan seharusnya mengukur berbagai (Cernat dan Gourdon, 2005). Semakin tinggi
faktor berpengaruh sehingga dapat kebocoran sebuah destinasi, maka akan
meningkatkan perencanaan dan proses semakin rendah dampak ekonomi pariwisata;
manajerial, serta mampu meningkatkan level dimana manfaat dari sector ini tidak
keberlanjutan suatu wilayah (Cooper et al, “tinggal” di destinasi. Sebagai contoh, di
1998). Jika berbicara keberlanjutan maka beberapa daerah, penduduk lokal tidak
pengukuran yang tepat menjadi sangat memperoleh manfaat yang cukup dari
penting dalam industri pariwisata, apalagidi pengembangan pariwisata ketika manajer
destinasi dan Negara yang menjadikan hotel lebih suka mempekerjakan pekerja
pertumbuhan dan indikator-indikator asing daripada pekerja lokal (Hohl dan
ekonomis sebagai capaian pembangunan Tisdell, 1995). Hal yang sama juga terjadi
sector ini. jika operator brand hotel internasional
beroperasi di destinasi tersebut, maka dapat
Whether the benefits of tourism as an
dipastikan porsi yang cukup besar akan
economic base are equivalent to those of
kembali ke negara asal operator tersebut
other sectors depends on the degree of
beroperasi.
linkage within or leakage from the
regional economy (Haddad et al, 2013) Selain itu, kadang-kadang hanya sebagian
kecil dari nilai produktif sektor pariwisata
Sebagaimana yang disebutkan oleh Haddad
tetap ada di daerah setempat, dan banyak
et all (2013) pariwisata ‘layak’ diukur dalam
pengeluaran wisatawan kembali ke daerah
basis ekonomi jika manfaatnya juga
asal (misalnya, ketika turis membeli produk
perhitungannya juga mempertimbangkan
impor, atau ada sedikit pajak) atau tidak
kebocoran yang muncul. Masalah utama dari
pernah meninggalkan negara asal (Lejarraga
keberlanjutan ekonomi atau pertumbuhan
dan Walkenhorst, 2010). Misalnya
ekonomi adalah meskipun pendapatan yang

141 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

kecenderungan wisatawan Jepang yang dan barang dan jasa yang diimpor (Thomas
mempergunakan agen perjalanan, operator et al, 2005).
tur, maskapai penerbangan bahkan hotel asal Economic leakage ini dianggap paling sulit
Jepang.Dalam istilah akademis, kondisi ini untuk mengatasinya karena sangat sulit untuk
lazim disebut sebagai “tourist bubble” mengukur secara pasti. Permasalahan in juga
(Pitana & Gayatri 2005). Seperti misalnya ditambah dengan kondisi pembangunan
yang terjadi di beberapa destinasi di Bali, pariwisata paling memungkinkan terbukanya
yang seringkali terlalu mengakomodir tourist proses liberalisasi sehingga kemungkinan
bubblesehingga yang banyak berkembang terjadinya economic leakage padasetiap
justru restoran-restoran Jepang, Italia atau aktivitas perekonomian yang terjadi menjadi
Prancis—yang tentu membutuhkan impor sangat besar. Pertanyaannya
bahan dan tenaga kerja (Pitanatri, 2016). sekarangbukanlah apakah hal tersebut
Ada yang disebut sebagai kebocoran import memang dimungkinkan, tetapi jika hal
dan kebocoran eksport dan kebocoran yang tersebut memangterjadi, apakah industri
sifatnya tidak terlihat atau invisible leakage. pariwisata Indonesia akan mampu menguasai
Biasanya kebocoran import terjadi ketika pasar?
terjadinya permintaan terhadap peralatan- Jika dilihat dari aspek tingkat leakage
peralatan yang berstandar internasional yang (kebocoran devisa), sejumlahpendapat
digunakan dalam industry pariwisata, bahan mengatakan bahwa pariwisata Indonesia
makanan dan minuman import yang tidak menciptakan leakage antara 50%hingga
mampu disediakan oleh masyarakat lokal 80%.Jika data tersebut akurat, makaleakage
atau dalam negeri. Sedangkan kebocoran yang terjadi di Indonesia tergolong cukup
eksport seringkali terjadi pada pembangunan besar. Sebagai komparasi sembilan negara di
destinasi wisata khususnya pada negara kepualauan Karibia memiliki import rate
miskin atau berkembang yang cenderung pada kisaran 45% hingga 90% sehingga pada
memerlukan modal dan investasi yang besar kondisi ini, economic leakages terjadi
untuk membangun infrastruktur dan fasilitas padapersentase yang sangat tinggi (Ramjee
wisata lainnya. Kondisi seperti ini, akan Singh 2008). Hasil penelitian yang berbeda
mengundang masuknya penanaman modal di New Zealand dan Philippines
asing yang memiliki modal yang kuat untuk menunjukkan economic leakages terjadi
membangun resort atau hotel serta fasilitas sangat rendah yaitu kisaran 11 hingga 20%
dan infrastruktur pariwisata, sebagai hal ini disebabkan kebutuhan komponen
imbalannya, keuntungan usaha dan investasi import relative rendah.
mereka akan mendorong uang mereka
kembali ke negara mereka tanpa bisa Destinasi kepulauan memiliki potensi
dihalangi, hal inilah yang disebut dengan leakage yang sangat besar karena memiliki
kebocoran eksport ketergantung import yang tinggi karena tidak
memiliki kapasitas produksi untuk
Ada banyak faktor yang menyebabkan menghasilkan barang dan jasa yang
peningkatan kebocoran suatu daerah.Faktor- diperlukan oleh sektor pariwisata.Selain itu
faktor ini sesuai dengan beberapa situasi destinasi kepulauan juga relatif memiliki
seperti perencanaan liburan, transportasi dan keterbatasan Infrastruktur sehingga justru
akomodasi (Supradist, 2004). Salah satu membuka masuknya perusahaan asing ke
situasi ini adalah ketika perusahaan asing dalam negeri (Karagiannis, 2003). Dan
mencoba menjual kepada wisatawan semua akhirnya sumberdaya domestik tidak mampu
paket inklusif untuk memaksimalkan memenuhi kebutuhan sektor pariwisata, dan
keuntungan mereka.Selain itu, ada faktor- sektor pendukung pariwisata seperti
faktor lain yang mempengaruhi kebocoran pertanian tidak efisien bahkan justru berbiaya
seperti tenaga kerja, infrastruktur, teknologi, tinggi sehingga import dianggap menjadi
alternatif yang lebih baik.

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 142
Alernatif Solusi Peraturan ini menjelaskan strategi
Apa yang kemudian menjadi permasalahan pengendalian pembangunan prasarana
di banyak destinasi sebenarnya adalah umum, fasilitas umum, dan fasilitas
adanya ego sektoral dalam pengembangan pariwisata bagi wilayah yang sudah
pariwisata.Penta helix (Akademisi-Bisini- melampaui ambang batas dengan menyusun
Government-Community dan Media) juga regulasi perijinan demi menjaga daya dukung
seringkali tidak berjalan dengan lingkungan.Hanya saja implementasi
sinergis.Sebagai contoh, hasil penelitian dari kebijakan ini belum banyak diterapkan di
akademisi yang sering menjadi menara daerah-daerah wisata.Pembangunan
gading sehingga sulit diakses dan pariwisata jangka pendek yang hanya
dilaksanakan masyarakat dan pelaku usaha mementingkan jumlah wisatawan bisa
pariwisata. dikatakan hanya target politik
belaka.Pemerintah, baik pusat maupun
Selain itu, salah satu permasalahan utama daerah, sebaiknya melakukan investasi
dalam pengelolaan pariwisata adalah tidak melalui pembelajaran dan pendampingan,
terjadinya simbiosis antara pengembangan dan menyiapkan agar masyarakat di daerah
pariwisata di destinasi dengan masyarakat tujuan wisata mampu masuk dan bertahan di
lokal.Pariwisata yang diharapkan sebagai industri ini.Yang terpenting adalah
katalis pembangunan, malah berbalik bagaimana melihat pariwisata dapat
menimbulkan konflik antara wisatawan, bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat dan
masyarakat lokal, dan investor; yang kini kelestarian alam.
juga berpotensi terpapar overtourism dan
potensi leakage yang besar. Alhasil, berbagai Solusi aplikatif yang ditawarkan adalah
permasalahan ekonomi-social-budaya kembali ke fitrah awal, menciptakan
seringkali dikaitkan sebagai imbas dari ekosistem yang harmonis antara host and
perkembangan sector pariwisata di destinasi guest. Dalam kaitannya dengan potensi
tertentu. overtourism Capocchi et al., (2019)
menyebutkan sekurang-kurangnya ada tiga
Penerapan ambang batas daya dukung alasan mengapa terjadi overtourism di suatu
pariwisata sebenarnya telah tertuang dalam destinasi yaitu ketidakseimbangan antara
Peraturan Pemerintah 50 Tahun 2011 growth, concentration dan governance
mengenai Rencana Induk Pembangunan sebagaimana yang tampak pada gambar 1
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025. berikut ini.

Gambar 3. Faktor Pencetus Overtourism


Sumber: Capocchi et al (2019)

143 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

Concrentration dapat diurai dengan tinggal.Pelibatan ini jangan hanya dimaknai


memanfaatkan teknologi yang ada, misalnya menjadi perekrutan masyarakat lokal yang
Mobile Data Positioning (MDP) yang kemudian sekadar dipekerjakan sebagai
melihat pola pergerakan wisatawan secara pegawai rendahan pada perusahaan yang
real time . Mengetahui pola pergerakan dimiliki investor besar diluar masyarakat
wisatawan akan memberi kesempatan bagi lokal.
destinasi untuk melihat pola dan “memecah Pengembangkan pariwisata di masa
konsentrasi” dengan penciptaan produk yang mendatang juga sangat perlu memperhatikan
sesuai dengan pola pergerakan tersebut. kelestarian lingkungan.Dunia sudah semakin
Regulasi kemudian haruslah mengikuti apa ‘sakit-sakitan’ akibat peradaban manusia kini
yang menjadi temuan dari penelitian- yang selalu menghasilkan ekses
penelitian berbasis MDP. Selain itu MDP destruktif.Adanya peran masyarakat lokal
memberi kesempatan bagi system dalam pengelolaan pariwisata tentu membuat
kepariwisataan destinasi kepulauan di langkah ini lebih mudah. Masyarakat lokal
Indonesi untuk mengurai benang kusut lebih memperhatikan aksi yang akan
sehingga terjadi keimbangan antara tourist dilakukan dengan mempertimbangkan
generating areas dengan tourist receiving dampak apa yang terjadi dalam kehidupan
detinations. sehari-hari. Mengawal kelestarian
MDP juga dapat disandingkan dengan lingkungan menjadi lebih mudah apabila
program Sustainable Tourism for sedari awal telah dibuat peta jalan konservasi
Development (STDev) yang dituangkan alam, pengolahan limbah, dan perihal lain
dalam Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun yang seringkali tidak sejalan dengan industri
2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata pariwisata. Perencanaan perlindungan
Berkelanjutan yang mengadopsi standar lingkungan menjadi lebih mudah bila dimulai
internasional dari Global Sustainable sebelum gelombang kedatangan arus
Tourism Council (GSTC). Kriteria GSTC wisatawan yang semakin besar.
berfungsi sebagai standar dasar global untuk Pariwisata berkelanjutan berpijak pada
keberlanjutan dalam pariwisata.Kriteria pembangunan sektor pariwisata yang
digunakan untuk pendidikan dan peningkatan meningkatkan pendapatan ekonomi yang
kesadaran, pembuatan kebijakan untuk bisnis melibatkan aspek sosial terutama masyarakat
dan lembaga pemerintah dan jenis organisasi lokal sekitar destinasi wisata dan tentunya
lainnya, pengukuran dan evaluasi, dan bersahabat dengan lingkungan hidup.Perlu
sebagai dasar untuk sertifikasi. diingatkan kembali pariwisata berkelanjutan
yang dengan pijakan yang adiluhung diatas
tentu harus membawa pengalaman lebih baik
SIMPULAN
bagi wisatawan yang berkunjung, karena
Penerapan pariwisata berkelanjutan hakikat manusia berwisata adalah untuk
seharusnya menyesuaikan karakteristik dan mendapat kesenangan.
potensi yang dimiliki oleh
Rekomendasi ini didasarkan atas pemahaman
destinasi.Masyarakat lokal sangat didorong
bahwa index kebahagiaan masyarakat lokal
untuk ambil bagian dalam pengelolaan
akan berkontribusi positif terhadap
pariwisata sekitar tempat tinggal mereka
pengalaman wisatawan saat mengunjungi
terutama masyarakat di pedesaan, tujuannya
destinasi tersebut (Croes, Ridderstaat, & van
untuk mencegah masyarakat menjadi orang-
Niekerk, 2018; Croes, Rivera, Semrad, &
orang yang dikalahkan oleh investasi
Khalizadeh, 2017). Oleh sebab itu
pemodal besar.Masyarakat harus menjadi
penelitian-penelitian solusi overtourism
konseptor yang mengambil peran atas
dantourism leakage haruslah menjadi top-
pengelolaan fasilitas utama (contoh: situs
notchpriority bagi pengembangan
wisata) maupun pendukung (contoh: hotel,
kepariwisataan di Indonesia. Selain itu,
restoran) di lingkungan mereka

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 144
dukungan politis serta komitmen dari 257
pemerintah pusat sampai daerah sangat
dibutuhkan dalam proses pembangunan Budilstari, N., Hutomo, M., & Ardiwidjaja,
pariwisata berkelanjutan, sehingga pariwisata R. (2014). Permasalahan Lingkungan
sebagaimana yang dicita-citakan— dapat Di Sempadan Pantai Taman Wisata
menjadi motor penggerak dalam Perairan Gili Trawangan, Nusa
menciptakan lapangan pekerjaan, Tenggara Barat. Jurnal
melestarikan budaya, melestarikan Kepariwisataan Indonesia, 9(1), 91-
lingkungan serta penghapusan kemiskinan. 107.

Budeanu, A., (2005). Impacts and


REFERENSI
responsibilities for sustainable tourism:
Adams, P.D., and Parmenter, B.R. (1995), a tour operator's perspective. J. Clean.
‘An applied general equilibrium Prod. 13 (2), 89-97.
analysis of the economic effects of
tourism in a quite small, quite open Butler, R. (1999). Sustainable tourism: a
economy’, Applied Economics, Vol 27, state-of-the-art review. Tourism
pp 985–994. Geographies, Vol 1, pp 7– 25.

Blackstock, K.L., White, V., McCrum, G., Butler, R., (1995). Introduction. In: Butler,
Scott, A., Hunter, C., (2008). R., Pearce, D. (Eds.), Change in
Measuring re- sponsibility: an appraisal Tourism: People, Places and Processes.
of a Scottish National Park's Routledge, New York, pp. 1-11.
sustainable tourism indicators. J.
Sustain. Tour. 16 (3), 276-297. Capocchi, Vallone, Pierotti, & Amaduzzi.
(2019). Overtourism: A Literature
Blake, A., and Sinclair, M.T. (2003), Review to Assess Implications and
‘Tourism crisis management US Future Perspectives. Sustainability,
response to September 11. Annals of 11(12), 3303.
Tourism Research, Vol 30, No 4, pp https://doi.org/10.3390/su11123303
813–832.
Carbone, M. (2005), ‘Sustainable tourism in
Blake, A., Arbache, J.S., Sinclair, M.T., and developing countries: poverty
Teles, V. (2008), ‘Tourism and poverty alleviation, participatory planning, and
relief’. Annals of Tourism Research, ethical issues’, European Journal of
Vol 35, No 1, pp 107–126. Development Research, Vol 17, No 3,
pp 559–565.
Bohdanowicz, P., Simanic, B., Martinac,
I.V.O., (2005). Environmental training Cawley, M., and Gillmor, D.A. (2007),
and measures at scandic hotels, ‘Integrated rural tourism: concepts and
Sweden. Tour. Rev. Int. 9 (1), 7-19. practice’, Annals of Tourism Research,
Vol 35, No 2, pp 316–337.
Bramwell, B., Lane, B., (1993). Sustainable
tourism: an evolving global approach. Chettiparamb, A., & Kokkranikal, J. (2012).
J. Sustain. Tour. 1 (1), 1-5 Responsible tourism and sustainability:
the case of Kumarakom in Kerala,
Bramwell, B., Lane, B., McCabe, S., India. Journal of Policy Research in
Mosedale, J., Scarles, C., (2008). Tourism, Leisure and Events, 4(3),
Research per- spectives on responsible 302-326.
tourism. J. Sustain. Tour. 16 (3), 253-

145 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

Cernat, L., and Gourdon, J. (2005), ‘Is the Ethics in Tourism. Practice, Theory,
concept of sustainable tourism Synthesis. Channel View Publications,
sustainable?’, Developing the Clevedon.
Sustainable Tourism Benchmarking
Tool, MPRA Paper No 4178 Garrigós Simon, F., Narangajavana, Y., and
(http://mpra.ub.uni- Marques, D. (2004), ‘Carrying capacity
muenchen.de/4178/, accessed 20 in the tourism industry: a case study of
October 2019). Hengistbury Head’, Tourism
Management, Vol 25, No 2, pp 275–
Cole, S. (2017). Water worries: An 283.
intersectional feminist political ecology
of tourism and water in Labuan Bajo, Goodwin, H., (2011). Taking Responsibility
Indonesia. Annals of Tourism for Tourism. Goodfellow Publishers
Research, 67, 14-24. Limited, Oxford.

Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D., Haddad, E.A., Porsse, A.A., and Rabahy, W.
Shepherd, R., and Wanhill, S. (1998), (2013), ‘Domestic tourism and regional
Tourism Principles and Practice, 2nd inequality in Brazil’, Tourism
edn, Longman, Harlow. Economics, Vol 19, No 1, pp 173–186.

CNTraveler. (2018). 15 Beloved Places Hall, M., (2012). Governance and


Struggling With Overtourism. responsible tourism. In: Leslie, D.
Retrieved October 2, 2019, from (Ed.), Responsible Tourism. Concepts,
https://www.cntraveler.com/galleries/2 Theory and Practice. CABI,
015-06-19/barcelona-bhutan-places- Wallingford, pp. 107-118.
that-limit-tourist-numbers
Hampton, M. P., & Jeyacheya, J. (2013).
Dasmann, R.F., Freeman, P.H., Milton, J.P., Bio-rock and roll? Dive tourism and
(1973). Ecological Principles for island communities: the case of Gili
Economic Development. John Wiley & Trawangan, Indonesia.
Sons, Washington.
Hohl, A.E., and Tisdell, C.A. (1995),
Dwyer, L., Forsyth, P., Madden, J., and ‘Peripheral tourism: development and
Spurr, R. (2000), ‘Economic impacts of management’, Annals of Tourism
inbound tourism under different Research, Vol 22, No 3, pp 517–534.
assumptions regarding the
macroeconomy’, Current Issues in Hughes, H.L. (1994), ‘Tourism multiplier
Tourism, Vol 3, No 4, pp 325–363. studies: a more judicious approach’,
Tourism Management, Vol 15, No 6,
Dwyer, L., Forsyth, P., and Spurr, R. (2006), pp 403–406.
‘Assessing the economic impacts of
events: a computable general Higgins-Desbiolles, F., 2010. The
equilibrium approach’, Journal of elusiveness of sustainability in tourism:
Travel Research, Vol 45, No 1, pp 59– the culture-ideology of consumerism
66. and its implications. Tour. Hosp. Res.
10 (2), 116-115.
Fennell, D.A., (2006). Tourism Ethics.
Channel View, Clevedon. Lejarraga, I., and Walkenhorst, P. (2010),
‘On linkages and leakages: measuring
Fennell, D., Malloy, D., 2007. Codes of the secondary effects of tourism’,

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 146
Applied Economics Letters, Vol 17, pp Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang
417–421. Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional.
Karagiannis, N. (2003).Tourism, linkages,
and economic development in Jamaica. Pitana, I. G., & Gayatri, P. G. (2005).
International Journal of Contemporary Sosiologi Pariwisata: Kajian sosiologis
Hospitality Management, 15(3), 184- terhadap struktur, sistem, dan dampak-
187. dampak pariwisata. Andi.

Kurniawan, F., Adrianto, L., Bengen, D. G., Pitanatri, P.D. S. (2018). Learn to Earn:
& Prasetyo, L. B. (2016). Patterns of Assessing Economic Impact of
landscape change on small islands: A Community Based Tourism in Gili
case of Gili Matra Islands, Marine Trawangan, Indonesia. International
Tourism Park, Indonesia. Procedia- Journal Of Multidisciplinary
Social and Behavioral Sciences, 227, Educational Research, 7 (1). Pp 220-
553-559. 236

Kusworo, H. A. (2015). Framing poverty: an Pitanatri, P. D. S., & Putra, I. N. D. (2016).


institutional entrepreneurship approach Wisata kuliner: atribut baru destinasi
to poverty alleviation through tourism. Ubud. JagatPress bekerja sama dengan
University of Groningen. Program Studi Magister Kajian
Pariwisata, Universitas Udayana.
Leslie, D., (2012a). Responsible Tourism.
Concepts, Theory and Practice. CABI, Pratt, S., and Blake, A. (2009), ‘The
Wallingford economic impact of Hawaii’s cruise
industry’, Tourism Analysis, Vol 14,
Leslie, D., (2012b). Introduction. In: Leslie, No 3, pp 337–352.
D. (Ed.), Responsible Tourism.
Concepts, Theory and Practice. CABI, Republika (2017).Prestasi Pariwisata
Wallington, pp. 1e16. Sumbang Suksesi Pembangunan
Nasional. Retrieved October 14, 2019,
Leslie, D., (2012c). The responsible tourism from
debate. In: Leslie, D. (Ed.), https://gayahidup.republika.co.id/berita
Responsible Tourism. Concepts, /gaya-hidup/pesona-
Theory and Practice. CABI, indonesia/ov14x5280/prestasi-
Wallingford, pp. 17e42. Mc Gugan, S., pariwisata-sumbang-suksesi-
2002. Asynchronous computer pembangunan-nasional
mediated conferencing to
Ritchie, J.R.B., Crouch, G.I., 2000. The
Mihalic, T. (2016). Sustainable-responsible competitive destination: a sustainable
tourism discourse–Towards perspective. Tour. Manag. 21 (1), 1-7.
‘responsustable’tourism. Journal of
Cleaner Production, 111, 461-470. RPJMN 2015-2019 bidang infrastruktur,
Direktorat Jenderal Cipta Karya
Mihalič, T., Žabkar, V., & Cvelbar, L. K. Kementerian Pekerjaan Umum dan
(2012). A hotel sustainability business Perumahan Rakyat (KemenPUPR)
model: evidence from Slovenia.
Journal of Sustainable Tourism, 20(5), RTP, (2002). Cape Town Declaration on
701-719. Responsible Tourism. Responsible
Tourism Partnership. Retrieved

147 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS
ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

October 14, 2019 from: http://www. tourism sector’, IIIEE master’s theses
responsibletourismpartnership.org/RT (http://luplub.lu.se/luur/download?func
World.html. =downloadFileandrecordOId=1329250
andfileOId=132925, accessed 21
Saarinen, J. (2006). Traditions of October 2019).
sustainability in tourism studies.
Annals of Tourism Research, 33(4), Swarbrooke, J., 1999. Sustainable Tourism
1121–1140. Management. CABI, Wallingford.

Sandbrook, C.G. (2010), ‘Putting leakage in Thomas, R.N., Pigozzi, B.W. and Sambrook,
its place: the significance of retained R.A. (2005), ‘Tourist carrying capacity
tourism revenue in the local context in measures: crowding syndrome in the
rural Uganda’, Journal of International Caribbean’, The Professional
Development, Vol 22, No 1, pp 124– Geographer, Vol 57, pp 13–20.
136.
United Nation World Tourism Organization.
Séraphin, H., Zaman, M., Olver, S., (2011). Sustainable Development and
Bourliataux-Lajoinie, S., & Dosquet, F. Tourism Program. Brochure. 2 p.
(2019). Destination branding and
overtourism. Journal of Hospitality and United Nation Environmental Programme.
Tourism Management, 38 (November (2009). Sustainable Coastal Tourism.
2018), 1–4. An Integrated Planning and
https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2018.11. Management Approach. Nairobi,
003 Kenya, 164p.

Sheng, L., and Tsui, Y. (2009),’ Taxing United Nations Environment Programme dan
tourism: enhancing or reducing United Nation World Tourism
welfare?’, Journal of Sustain- able Organization (2005). Making Tourism
Tourism, Vol 17, No 5, pp 627–635. More Sustainable. Paris: United
Nations Envi- ronment Programme.
SindoNews. (2018). Kontribusi Pertumbuhan World Tourism Organization, Madrid.
Pariwisata di Sektor Ekonomi UNWTO,
Terbesar... Retrieved October 14, 2019,
from United Nations Environment Programme.
https://ekbis.sindonews.com/read/1231 (2010). Assessing the Environmental
216/34/kontribusi-pertumbuhan- Impacts of Consumption and
pariwisata-di-sektor-ekonomi-terbesar- Production: Priority Products and
dan-tercepat-1502940648 Materials, A Report of the Working
Group on the Environmental Impacts
Singh, D. R. (2008). Small Island of Products and Materials to the
Developing States (SIDS): tourism and International Panel for Sustainable
economic development. Tourism Resource Management. Hertwich, E.,
Analysis, 13(5-6), 629-636. van der Voet, E., Suh, S., Tukker, A.,
Huijbregts M., Kazmierczyk, P.,
Stanford, D., (2008). Exceptional visitors: Lenzen, M., McNeely, J., Moriguchi,
dimensions of tourist responsibility in Y.
the context of New Zealand. J. Sustain.
Tour. 16 (3), 258-275 WCED, 1987. Our Common Future. Oxford
University Press, Oxford.
Supradist, N. (2004). ‘Economic leakage in

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 148
Van Marrewijk, M., 2003. Concepts and
definitions of CSR and corporate
sustain- ability: between agency and
communion. J. Bus. Ethics, 44 (23),
95-105.

Zhou, D., Yanagida, J.F., Chakravorty, U.,


and Leung, P. (1997), ‘Estimating
economic impacts from tourism’,
Annals of Tourism Research, Vol 24,
No 1, pp 76–89.

BIODATA PENULIS
Putu Diah Sastri Pitanatri, adalah dosen
Politeknik Pariwisata Bali Bali yang saat ini
sedang melanjutkan studi doctoral pada
kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada.
Selain aktif dalam berbagai asosiasi nasional
dan internasional, Diah telah menulis
beberapa buku diantaranya Mozaik
Pariwisata Berbasis Kerakyatan (2018, eds
bersama I Wayan Mertha), dan bersama I
Nyoman Darma Putra menulis buku Wisata
Kuliner Atribut Baru Destinasi Ubud (2016).
Penghargaan yang pernah diterima antara
lain dosen terbaik di Kementerian Pariwisata
dalam Win Way Award (2018) dan best
paper presenter dalam 1st International
Conference OBOROT-Palembang (2018)
Id Scholar:
https://scholar.google.com/citations?user=9G
HeVtkAAAAJ&hl=en

149 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Anda mungkin juga menyukai