1. Standar Kompetensi
Mahasiswa dapat mengetahui kedudukan Sosiologi hukum, sejarah
latar belakang lahirnya sosiologi hukum dan membedakan sosiologi
hukum empirik dan sosiologi hukum evaluatif.
2. Kompetensi Dasar
1. Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan tentang kedudukan
sosiologi hukum dan bagian-bagiannya
2. Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan tentang sejarah latar
belakang lahirnya sosiologi hukum dan perkembangannya.
3. Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan tentang perbedaan
sosiologi hukum empirik dan sosiologi hukm evaluatif
3. Indikator
1. Mahasiswa dapat mengemukakan tentang sosiologi hukum dan bagian-
bagiannya
2. Mahasiswa dapat mengemukakan tentang sejarah latar belakang
lahirnya sosiologi hukum
3. Mahasiswa dapat mengemukakan tentang perbedaan sosiologi
hukum empirik dan sosiologi hukum evaluatif
5. Pengalaman Belajar
Kegiatan Awal - Dosen menjelaskan kontrak belajar, peraturan
kelas, kehadiran kelas, tugas, bahan bacaan
dan lain-lain.
- Mahasiswa memperhatikan, mengajukan
pertanyaan dan memberikan masukan.
- Media/alat : white board dan infocus Kegiatan
Inti - Dosen menjelaskan tentang pengertian sosiologi
hukum, tentang ruang lingkup, metode
kajian dan obyek dari sosiologi hukum serta
tentang pengaruh dari sejarah dan filsafat
hukum.
Kegiatan Akhir - Dosen mengulang point-point penting sesuai
dengan topik, menanyakan kepada mahasiswa
tentang beberapa poin perkuliahan.
- Mahasiswa menanyakan hal-hal yang belum
jelas dan menjawab pertanyaan dosen secara
spontan.
- Media/alat : white board dan infocus
SKEMA / BAGAN
Ilmu Hukum
Normwissenschaften Tatsachenwissenscahften
(Sollenwissenschaften) (Seinwissenschaften)
Dalam kajian ilmu hukum paling tidak ada tiga factor yang menjadi
parameter sebuah produk hukum dapat berfungsi dengan baik, yakni :
a. Berfungsi secara Filosofis
Setiap masyarakat selalu mempunyai Rechtsidee, yakni apa yang
masyarakat haeapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk
menjamin adanya keadilan, kemanfaatan dan ketertiban maupun kesejahteraan.
Cita hukum atau rechtsidee tumbuh dalam system nilai masyarakat tentang
baik dan buruk, pandangan mereka tentang individual dan kemasyarakatan
dan lain sebagainya termasuk pandangan tentang dunia ghaib. Semua ini
bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat
sesuatu. Hukum diharapkan dapat mencerminkan sistem nilai baik sebagai
sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya
dalam tingkah laku masyarakat.
Menurut Rudolf Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang
merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang
diinginkan masyarakat. Selanjutnya Gustav Radburg seorang ahli filsafat
hukum menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang
bersifat regulative dan konstruktif. Tanpa cita hukum, maka hukum akan
kehilangan maknanya. (Bagir Manan, 1992, 17)
Dakam pembentukan peraturan perundang-undangan proses
terwujudnya nilai-nilai yang terkandung cita hukum ke dalam norma
hukum tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai
tersebut oleh para pembentuk hukum. Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai
tersebutdapat menjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum
yang dibuat.
Oleh karena itu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
memiliki cita hukum Pancasila sekaligus sebagai norma fundamental Negara,
sudah seharusnya setiap hukum yang akan dibuat hendaknya diwarnai dan
dialiri nilai-nilai yang terkandung di dalam cita hukum tersebut.
Pancasila pada era reformasi banyak mendapat kecaman dan hujatan
dari berbagai kalangan, karena Pancasila selama berkuasanya rezim orde
baru yang lalu telah dijadikan instrument legitimasi bagi kepentingan
kekuasaan. Interpretasi terhadap Pancasila yang dilakukan oleh kalangan
“luar” kekuasaan orde baru dianggap sebagai interpretasi yang keliru dan
harus ditolak. Dibalik hujatan dan kecaman terhadap Pancasila, dari sisi
nilai Pancasila tetaplah seperangkat nilai luhur yang harus terus
dipertahankan, karena Pancasila merupkan titik pertemuan (kalimatun
sawa) dari berbagai perbedaan-perbedaan yang ada di negri ini. Dalam
hal ini penulis tertarik dengan pendapat bahwa Pancasila merupakan
pendukung besar, karena dari semula ia mencerminkan tekad untuk
bertemu dalam titik kesamaan antara berbagai golongan di Negara kita.
(Nurcholis Madjid, 2000, xciii).
b. Berfungsi secara Sosiologis/Empiris
Dasar keberfungsian secara sosiologis/empirisa maksudnya adalah
jika para warga masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu
diberlakukan. Keberlakuan empiris dapat dilihat melalui sarana
penelitian empiris tentang perilaku warga masyarakat. Jika dalam
penelitian tewrsebut tampak bahwa
masyarakat berperilaku dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah
hukum, maka terdapat keberlakuan empiris kaidah hukum. Dengan
demikian norma hukum mencerminkan kenyatan yang hidup dalam
masyarakat. (Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka,1993,88-89)
Dengan dasar sosiologis sebuah produk hukum yang dibuat dan
diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Soerjono
Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menambahkan ada dua landasan
teoritis sebagai dasar sosiologis berfungsinya suatu kaidah hukum, yakni
:
1. Teori Kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena
paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2. Teori Pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan
dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. (Soerjono Soekanto
dan Purnadi Purbacaraka, 1993,91-92)