Anda di halaman 1dari 16

EFEKTIFITAS DAN EVALUASI ATAS PEMILU SERENTAK

TAHUN 2019 DI INDONESIA

Yusdiandra Alfarishy
19203012067
Email: 19203012067@student.uin-suka.ac.id

Pendahuluan

Penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun 2019 telah menjadi tonggak


sejarah baru dalam proses pemilihan umum di Indonesia. Hal ini merupakan
konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang
mengubah waktu penyelenggaraan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan
presiden pada waktu bersamaan. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, pemilihan
anggota legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden selalu dilakukan
secara terpisah. Skema pemilu secara terpisah inilah yang kemudian dianggap
kurang efektif serta efisien.1

Pada dasarnya, pemilu serentak didesain untuk tujuan efisiensi anggaran;


waktu; serta merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak juga dinilai
akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen
untuk memperkuat basis kekuatan di lembaga-lembaga tinggi negara. Selain itu,
pemilu serentak juga diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan sistem
presidensial di Indonesia.2 Karena keterpisahan waktu pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden berimplikasi pada dukungan parlemen terhadap presiden
terpilih, jika dukungan koalisi presiden terpilih tersebut kecil maka akan
1
Keterpisahan pemilu legislatif dengan pemilu presiden setidaknya berdampak terhadap
beberapa hal: pertama, menghadirkan politik transaksional antara partai politik dangan individu
yang berniat menjadi pejabat publik atau antar partai politik untuk pengisian jabatan pejabat
publik; kedua, menyebabkan biaya politik yang tinggi; ketiga, tidak diperkuatnya sistem
pemerintahan presidensial yang diakibatkan oleh ketergantungan presiden terhadap parlemen; dan
keempat, tidak dilaksanakannya pemilu kepaa daerah dalam bingkai pemilu serentak berdampak
pada tinggina biaya penyelenggaraan pemilu. Lihat Khoirunnisa Agustyati (ed), Evaluasi Pemilu
Serentak 2019: Dari Sistem Pemilu Ke Manajemen Penyelenggaraan Pemilu, (Perludem), hlm. 11-
12.
2
Neneng Sobibatu Rohmah, Evaluasi Sistem Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019
Ditinjau Dari Beban Kerja Penyelenggara Pemilu (ADHOC), hlm. 3. www.Journal.kpu.go.id.
Diakses pada Rabu 3 April 2021 pada pukul 19.00 WIB.

1
berpengaruh pula terhadap program kerja serta kebijakan–karena secara teoritis
parlemen memiliki porsi kewenangan untuk menyetujui atau menolak usulan
kebijakan presiden.3

Namun tampaknya, pemilu serentak yang telah diselenggarakan pada


tahun 2019 masih menyisakan berbagai peroalan karena kompleksitas yang ada.
Bagaimana tidak, baik itu dari aspek efektifitas maupun efisiensi; antara idealitas
dan realitas belum sepenuhya terwujud. Bahkan salah satu persoalan krusial dan
mandasar yang paling banyak diperbincangkan adalah seputar isu kemanusian.
Setidaknya, sebanyak 527 orang Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) pada pemilu serentak 2019 dilaporkan meninggal dunia. Sedangkan
11.239 lainnya jatuh sakit saat menjalankan tugas.

Sehingga kemudian, menjadi sebuah keniscayaan akan adanya evaluasi


terhadap manajemen penyelenggaraan; sistem pemilu; serta desain pemilu secara
menyeluruh. Mengingat penyelenggaraan pemilu yang berintegritas, sistem
pemilu yang memadai, serta desain pemilu yang tepat adalah salah satu variabel
penentu kualitas demokrasi suatu negara –yang berikutnya dapat pula berdampak
terhadap kualitas kehidupan warga negara.

Pemilu dan Demokrasi

Pemilu atau pemilihan umum adalah salah satu instrumen penting di dalam
demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan negara4 yang berdasarkan
kedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan.5 Melalui pemilu, rakyat
dapat memilih para wakilnya untuk duduk di parlemen maupun struktur
pemerintahan–berikutnya dapat menentukan corak, cara, dan serta tujuan apa yang
hendak dicapai dalam kehidupan bernegara.6 Pemilu, dalam negara demokrasi

3
Ibid., hlm. 2.
4
Kekuasaan negara yang dimaksud adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut
kehendak rakyat, oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat itu sendiri.
5
Fiska Friyanti, Pelaksanaan Pemilihan Umum Dalam Sejarah Nasional Indonesia
(skripsi), Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2005, hlm. 1.
6
Triono, Menakar Efektifitas Pemilu Serentak 2019, Jurnal Wacana Politik, Vol. 2, No.
2, Oktober 2017, hlm. 156.

2
dipergunakan sebagai alat dan sarana kontestasi bagi para elit politik; sekaligus
sebagai proses pergantian diantara “elit” yang mewakili dan membawa suara
rakyat di dalam lembaga kekuasaan politik.7 Selain itu, juga bertujuan untuk
menguji dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap
keberhasilan serta kegagalan pemerintahan yang sedang berlangsung.8

Pemilu dan demokrasi seringkali dipersamakan dengan dua sisi mata uang.
Pelaksanaan pemilu yang menjadi hajat rakyat banyak dianggap menjadi ciri
masih tegaknya sistem demokrasi dalam suatu negara. Sebaliknya, perwujudan
prinsip dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dapat dilihat dalam kegiatan
pemilu telah dianggap pula sebagai bagian dari nilai demokrasi yang paling
utama.9 Sehingga dapat dipahami bahwa, pemilu maupun demokrasi merupakan
sebuah keniscayaan. Keduanya, memiliki arti penting sebagai entitas yang
memungkinkan dalam penyaluran serta perwujudan kehendak asasi politik setiap
individu warga negara–dalam rangka menuju negara demokratis serta
pemerintahan yang legitimate.

Bahkan, keyakinan akan pemilu sebagai sarana demokrasi serta


signifikansinya dalam kehidupan demokrasi telah menjadi tradisi politik yang
kuat di era modern ini. Pemilu seakan menjadi mantra bagi negara yang ingin
dikategorikan sebagai negara demokratis. Dalam konteks Indonesia misalnya,
pada rezim yang dianggap oktratis semisal Orde Baru sekalipun, pemilu tetap
dilaksanakan secara berkala sebagai wujud pengejawantahan sistem Demokrasi
Pancasila–terlepas dari realisasinya yang dianggap jauh dari kaidah serta nilai-
nilai demokrasi.10

7
Lihat Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ed. Revisi, Cet.7. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2017), hlm. 60. Lihat juga Kajian Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, Dan Sistem
Presidensil, Sekretariat Jendral Bawaslu RI, 2015, hlm. 1-2.
8
Ibid., Triono,..
9
Ibid., Triono, hlm.158.
10
Ibid., Kajian Sistem Kepartaian,.. hlm. 3-4.

3
Desain Pemilu Serentak Tahun 2019

Wacana pemilu serentak di Indonesia merupakan muara atas permohonan


judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi
(MK) oleh Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Sipil.11 Mahkamah
Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan sebagian permohonan judicial review
tersebut pada Mei 2013 kendati baru resmi disidangkan pada Januari 2014.
Dengan dikabulkannya sebagian permohonan tersebut sebagaimana Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013, maka berikutnya
berimplikasi pada skema dan format baru dalam sistem pemilu di Indonesia.12

Pemilu serentak diartikan pemilihan anggota legislatif (pileg) dan


pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) digelar pada hari yang sama.
Skema pemilu serentak merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 14/PUU-XI/2013 –kemudian diselenggarakan pertama kali pada pemilu
tahun 2019. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilu 2019 juga
menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara bersamaan. Dalam penyelenggaraan
empat pemilu sebelumnya, pileg dan pilpres dilaksanakan pada waktu terpisah
atau pileg mendahului pilpres.13

Adanya perubahan format pemilu ini bertujuan untuk memperkuat sistem


presidensial di Indonesia. Karena format pilpres yang didahului oleh pileg
seringkali memunculkan koalisi antar partai politik yang berjangka pendek.
11
Adapun pasal yang diajukan judicial review adalah Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal
(12) Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112.
12
Ganjar Prima Anggara dkk, Transformasi Model Pemilu Serentak Di Indonesia Tahun
2019 Pasca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, (makalah), hlm. 3-4.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://download.garuda.ristekdikti.go.i
d/artcle.php%3Farticle%3D188489%26val%3d466%title%3DTRANSFORMASI%2520MODEL
%2520PEMILU%2520SERENTAK%2520DI%2520INDONESIA%2520TAHUN%25202019%2
520PASCA%2520PUTUSAN%2520MK%2520NOMOR%252014/PUU-
XI/2013&ved=2ahUKEwirp_2KmP7vAhXo7XMBHZazAeYQFjAJegQIBhAC&usg=AOvVaw2
Nlci-iDUZHbGnxdYyHESx&cshid=1618420130155. Diakses pada Sabtu 3 April 2021 pada
pukul 20.00 WIB.
13
Ridho Imawan Hanafi dkk, Evaluasi Pemilu serentak 2019 Dan Upaya Penguatan
Sistem Presidensial, (Policy Paper), Pusat Penelitian Politik LIPI, 2019, hlm. 1.

4
Sehingga pada praktiknya, koalisi yang dibangun parta politik tersebut dinilai
tidak mendukung memperkuat sistem presidensial. Melalui skema pileg yang
mendahului pilpres, mekanisme pencalonan presiden akan tergantung dengan
partai-partai politik hasil pemilu sehingga praktik presidensial seringkali dianggap
bernuansa parlementer. Untuk itu, perubahan skema pemilu menjadi serentak
diharapkan menjadi jawaban atas persoalan diatas. Dengan skema pemilu
serentak, keterpilihan presiden diharapkan mampu memberi pengaruh pada
pemilu legislatif. Kecenderungan ini membuat peluang pasangan calon presiden
yang terpilih diikuti oleh penguasaan kursi legislatif, sehingga presiden memiliki
dukungan yang cukup untuk membuat dan menerjemahkan berbagai kebijakan
tanpa rintangan yang berarti dari parlemen.14

Selain itu, perubahan signifikan juga terjadi terhadap desain pemilu.


Selama era reformasi berlangsung, metode kuota dengan teknik The Hare
Quota15 (Kuota Hare) selalu menjadi pilihan dalam menentukan alokasi kursi di
parlemen. Namun pada pemilu 2019, sistem kuota ini digantikan dengan metode
Divisor dengan metode Sainte Lague. Dengan formula baru ini, penghitungan
perolehan kursi dilakukan dengan membagi suara sah partai dengan bilangan
ganjil secara berurutan (1,3,5,7, dan seterusnya). Perubahan lainnya adalah
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dari 3,5% ditingkatkan menjadi 4%; ambang batas pencalonan
presiden disesuaikan pula dengan skema pemilu serentak sehingga didasarkan
pada hasil pileg sebelumnya di tahun 2014; selain itu adanya peningkatan jumlah
dapil dari 77 dapil menjadi 80 dapil serta meningkatnya jumlah kursi dari 560
menjadi 575 kursi di DPR.16

14
Ibid.,
15
Dengan metode ini, perolehan kursi partai di parlemen dihitung dengan membagi total
suara sah dengan harga satu kursi parlemen, atau disebut Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
16
Penerapan ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada hasil pemilu
sebelumnya dianggap tidaklah relevan. Sedangkan dari hasil pemilu legislatif 2019, tidak
menunjukkan adanya perubahan politik yang signifikan terutama dalam konfigurasi politik di
parlemen. Sama seperti pemilu sebelumnya, pada pemilu 2019, tidak ada kekuatan mayoritas yang
muncul di parlemen. Hasil pemilu 2019 juga belum berhasil menyederhanakan sistem kepertaian
di Indoensia. Opcit., Ridho Imawan Hanafi dkk, hlm. 3-4.

5
Efektifitas dan Evaluasi Pemilu Serentak 2019

Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),


partisipasi pemilih pada pemilu serentak 2019 mencapai 81, 97% untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden (pilpres); dan sekitar 81,67% untuk pemilihan
anggota legislatif (pileg). Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya,
partisipasi pemilih pada pemilu 2019 mengalami peningkatan signifikan
dibanding pemilu tahun 2014 yang hanya mencapai 70% untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden (pilpres) dan sekitar 75% untuk pemilihan anggota
legislatif (pileg). Hal ini menunjukkan bahwa pemilu serentak 2019 cukup
memiliki dampak posistif terhadap pastisipasi pemilih.17

Namun demikian, dengan digabungkannya pileg dan pilpres sekaligus


kemudian berdampak pada partisipasi masyarakat yang tidak merata terhadap
keduanya. Menurut Denny JA, diskusi masyarakat terhadap pileg menjadi
tenggelam dan seakan dianak tirikan. Karena sekitar 70% diskusi masyarakat
terfokus pada pilpres dan sisanya 30% seputar pileg.18 Hal ini disebabkan oleh
mayoritas aspek yang diliput media adalah terkait pilpres. Sehingga informasi
yang didapatkan terkait calon, visi dan misi, sertai partai politik pengusung capres
dan cawapres memiliki porsi yang lebih banyak di media dibandingkan dengan
pileg.19

Selain itu, lima surat suara yang diberikan secara bersamaan kepada
pemilih juga kemudian turut memunculkan berbagai kerumitan. Terutama bagi
pemilih untuk mengenali para kandidat dalam pemilihan legislatif yang diikuti
oleh banyak calon. Besaran alokasi kursi di daerah pemilihan (dapil) dianggap
sangat berdampak pada pemilih dalam menentukan pilihannya. Sehingga faktor
desain sistem pemilu serentak yang dikombinasikan dengan sistem proposional

17
Mushaddiq Amir, Keserentakan Pemilu 2024 yang Paling Ideal Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal AL-ISHLAH: Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 23,
No. 2, November 2020.hlm. 122.
18
Andri Saubani, Denny JA Soroti Dampak Negatif Pilpres dan Pileg Serentak,
https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/04/18/pq5t85409-denny-ja-sorot-dampak-
negatif-pilpres-dan-pileg-serentak. Diakses pada 3 April 2021 pada pukul 21.00 WIB.
19
Ibid., Mushaddiq Amir, hlm. 122-123.

6
terbuka serta alokasi kursi yang besar per-daerah, turut berimplikasi implikasi
terhadap teknis pemilihan yang kemudian membuat pemilih kebingungan.20

Jika mengacu pada data suara tidak sah pada pemilu serentak 2019,
kiranya dua faktor diatas turut berperan pula terhadap disparitas yang terjadi
antara pileg dan pilpres. Bagaimana tidak, secara nasional surat suara tidak sah
untuk pemilihan preisden sangat rendah jika dibandingkan dengan surat suara
tidak sah pemilihan DPR dan DPD. Surat suara tidak sah untuk pemilihan
presiden hanya 2,38% atau setara dengan 3,7 juta. Sedangkan untuk pemilihan
DPR mencapai angka 17,5 juta dan Pemilihan DPD mencapai 29,7 juta.21

Salah satu alasan diselenggarakannya pemilu secara serentak adalah


persoalan efisiensi anggaran. Seperti yang dikutip dari tulisan Lita Tyesta ALW
“bahwa berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia
Rizkiyansyah, “penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp. 5
triliun sampai Rp. 10 triluin.”22 Melalui Kementerian Keungan, pemerintah
mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 25,59 triliun atau naik 61% dibanding
anggaran untuk pemilu 2014 sebesar 15,62 triliun. Adapun faktor utama masih
tingginya biaya tersebut karena adanya pemekaran daerah. KPU Provinsi
jumlahnya betambah dari 33 menjadi 34. Kemudian untuk KPU Kabupaten
bertambah 17 KPU Kabupaten dari 497 menjadi 514. Sehingga selanjutnya
berdampak pula pada kenaikan jumlah penyelenggara pemilu di daerah baik PPK,
PPS, hingga KPPS. Selain itu kenaikan honorium bagi penyelenggara pemilu juga
berdampak terhadap kenaikan biaya penyelenggaraan.

Meskipun demikian, menurut Kepala Biro Perencanaan Data Komisi


Pemilihan Umum (KPU) pelaksanaan pemilu serentak 2019 juga mampu

20
Ibid., Mushaddiq Amir, hlm. 122-123.
21
Merujuk pada survei yang dilakukan oleh LIPI, sebanyak 77% responden mengaku
memilih untuk mencoblos surat suara residen terlebih dahulu dibandingkan surat suara legislatif.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bisa saja pemilih yang kebingungan dan yang belum
memiliki pilihan cenderung mengabaikan surat suara pemilihan legislatif dan kemudian tidak
mencoblos. Ibid., Lihat Khoirunnisa Agustyati (ed), Evaluasi Pemilu Serentak 2019:,.. hlm. 14-20.
22
Lita Tyesta ALW, Evaluasi Administrasi Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 Terhadap
Nilai-Nilai Pancasila, Jurnal Admistrative &Governance Vol. 2, No. 3, Agustus 2019, hlm. 472.

7
menghemat anggaran yang cukup signifikan. Untuk honor petugas pemilu,
efisiensi anggaran mencapai 50%, selain itu KPU juga bisa memangkas biaya
pemuktakhiran data pemilih karena hanya perlu dilakukan satu kali pada awal
persiapan. Dalam hal pengadaan logistik, Tahun Anggara 2018 dapat menghemat
50,57 persen atau setara Rp. 438 milir, sedangkan Tahun Anggaran 2019, efisiensi
mencapai 31,4% atau setara Rp. 355 miliar.23

Dari sisi teknis penyelenggaran, pemilu serentak juga masih menyisakan


persoalan seputar logistik pemilu yang mengalami sejumlah kendala hingga
persoalan daftar pemilih (DPT) yang masih terulang. DPT merupakan isu krusial
yang menjadi catatan penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Isu ini dapat
menjadi bahan sengketa pemilu dan memunculkan kecurigaan publik atau peserta
pemilu terhadap penyelenggaraan pemilu itu sendiri.24 Sedangkan dari sisi kinerja
penyelenggara pemilu, isu profesionalitas dan integritas menjadi masih menjadi
perhatian publik, merujuk data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan
Umum (DKPP) per tanggal 24 Juli 2019 setidaknya terdapat 374 aduan terkait
profesionalitas penyelenggara di mana 190 diantaranya naik ke tahap persidangan
dan diantaranya telah diputus.25

23
Naik 61% dibanding 2014 Anggaran Penyelenggaraan Pemilu 2019 Capai Rp. 25,59
Triliun, https://setkab.go.id/naik-61-dibanding-2014-anggaran-penyelenggaraan-pemilu-2019-
capai-rp2559-
triliun/#:~:text=Untuk%20mendukung%20suksesnya%20pelaksanaan%20pemilu,2014%20sebesar
%20Rp15%2C62%20triliun. Diakses pada selasa selasa 20 April 2021 pada pukul 19.00 WIB.
24
Dalam hal manajemen logistik, di sejumlah daerah melakukan pemungutan suara
susulan karena diakibatkan oleh keterlambatan logistik. Salah satu kendala yang dihadapi dalam
persoalan distribusi adalah faktor cuaca buruk yang melanda beberapa wilayah di tanah air.
Sedangkan dalam hal daftar pemilih, persoalan krusial yang terjadi berulang kali adalah mengenai
DPT yang tidak valid atau bahkan ganda. Loc.cit., Ridho Imawan Hanafi dkk, hlm. 7.
25
Lihat Ridho Imawan Hanafi dkk, Evaluasi Pemilu serentak 2019 Dan Upaya Penguatan
Sistem Presidensial, (Policy Paper), Pusat Penelitian Politik LIPI, 2019., hlm. 6. Salah satu kunci
untuk membangun demokrasi yang baik adalah penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Tentu
integritas yang demikian menuntut kesadaran dari semua pihak secara sekaligus. Idealnya, baik itu
dari sisi penyelenggara pemilu, peserta pemilu, kandidat atau calon, bahkan para pemilih sekalipun
yakni sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Karena untuk mengembangkan sistem pemilu yang
berintegritas, tidak cukup dengan hanya sekedar bersandar pada hal-hal yang bersifat formalistik
prosedural semata, melainkan didukung dengan sistem etika yang kuat.
Seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie:
“Standar perilaku ideal dalam kehidupan politik nasional, sebagaimana praktik dipelbagai negara
dewasa ini, tidak lagi hanya menyandarkan diri pada ukuran ukuran kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan hukum berdasarkan prinsip-prinsip rule of law, tetapi lebih dari itu, pemilu dan

8
Dinamika politik pasca pemilu 2019 pun juga patut menjadi menjadi
perhatian, yakni karena lahirnya “kartel koalisi” sebagai kekuatan mayoritas
pendukung politik presiden di parlemen. Secara teoritik, kombinasi sistem
presidensial dengan multipartai ekstrem kecenderungannya sulit menghasilkan
kekuatan politik yang terkonsolidasi di parlemen. Presiden terpilih biasanya
kesulitan dalam membangun koalisi yang solid, sehingga di parlemen jarang
memperoleh dukungan maoyoritas. Namun dalam kasus Indonesia, hasil pemilu
2019 menunjukkan hasil yang berbeda. Untuk tahap awal, Presiden/Wakil
Presiden terpilih–Jokowi–Ma’ruf mampu mengkonsolidasikan kabinet dengan
berhasil menarik Partai Gerindra ke dalam Kabinet Indonesia Maju dengan jatah 2
kursi. Masuknya Gerindra membuat kekuatan pendukung Presiden Jokowi di
Parlemen sangat besar, sekitar 74,98 persen. Sisanya, hanya tinggal tiga partai
yang berada di luar pemerintahan yakni PAN, PKS, dan Demokrat degan
kekuatan sekitar 25,74 persen.26

Selain itu koalasi “plus-plus” juga terjadi di parlemen, yakni dengan fakta
bahwa partai pendukung Jokowi-Ma’ruf menguasai hampir semua alat strategis
yang penting di DPR, MPR, dan DPD. Dengan dikuasainya 4 pimpinan DPR, dan
4 Ketua Alat Kelengakapan Dewan (AKD) serta 14 Wakil Ketua AKD
menunjukkan politik sapu bersih dalam rangka mengukuhkan kekuasaan politik.
Ini menunjukkan bahwa, hasil pemilu 2019 turut mendorong terjadinya koalasi
kartel yang berdasarkan kepentingan politik pragmatis.27 Dengan kata lain, hal ini
pada akhirnya akan menimbulkan suatu problematika baru dalam sistem
demokrasi di Indonesia. Meskipun pemerintahan eksekutif akan bekerja secara

praktik kegiatan politik di zaman sekarang diidealkan agar lebih berintegritas dengan landasan
etika politik yang lebih substansial (rule of ethic). Hukum sangat penting, tetapi tidak lagi
mencukupi untuk mengawal dan mengendalikan perilaku ideal masyarakat pasca modern.
Demokrasi yang hanya mengandalkan kontrol hukum dan keadilan hukum hanya membuat
demokrasi berjalan secara prosedural dan formalistik namun tidak substantif.” Jimly Asshiddiqie,
Pemilihan Umum Serentak Dan Penguatan Sistem Pemerintahan, (makalah)., hlm. 9-10.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.jimly.com/makalah/namef
ile/173/PEMILIHAN_UMUM_SERENTAK.pdf&ved=2ahUKEwijhtPVjP3vAhWSXSsKHSsYC
M4QFjAAegQIBBAC&usg=AOvVaw169bszh3Tai11mZQTrbQR&cshid=1618384030773.
Diakses pada rabu 14 April 2021 pada pukul 14.00 WIB.
26
Ibid., Ridho Imawan Hanafi dkk,.. hlm. 8.
27
Ibid.,

9
efektif karena efek dukungan mayoritas di parlemen, namun disisi lain justru
dapat menjadi suatu jalan terbentuknya rezim yang cenderung otoriter karena
telah menghilangkan (setidaknya melemahkan) esensi check and balance.28

Korban Jiwa Pemilu Serentak

Berdasarkan hasil investigasi Kementerian Kesehatan di 28 Provinsi


melalui Dinas Kesehatan per tanggal 15 Mei 2019, tercatat setidaknya 11.239
petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sakit saat
menjalankan tugas. Sedangkan sebanyak 527 orang dilaporkan meninggal dunia.
Secara garis besar, banyaknya korban yang berjatuhan disebabkan riwayat
penyakit bawaan yang dimiliki serta dipicu oleh beban kerja yang berat dan
kompleks saat menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Sedangkan
mengutip KOMPAS.com, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman
mengungkapkan bahwa jumlah penyelenggara pemilu yang meninggal pada
pemilu 2019 lalu mencapai 894 orang dan 5.175 petugas mengalami sakit.29

Jika dilihat dari sisi teknis, KPPS memiliki jenis pekerjaan yang berlipat,
mulai dari masa persiapan yakni bimbingan teknis, sosialisasi ke masyarakat,
mengisi form C6 yang kemudian harus diantar ke rumah pemilih, hingga
membangun TPS. Pada hari pencoblosan petugas diaharuskan pula untuk
melakukan penghitungan hasil suara hingga menyelesaikan administrasi pemilu
dari berbagai jenis formulir untuk lima jenis pemilu yang jumlahnya sangat
banyak. Rangkaian-rangkaian iniliah yang kemudian disiyalir menjadi penyebab
utama para petugas mengalami kelelahan.30

Selain itu, ketidaksiapan antisipasi serta kegagapan berbagai pihak dalam


menghadapi pemilu serentak turut berkontribusi terhadap banyaknya korban
28
Andi Muhfi Zandi, Juliansyah Rahmat Maulana dan Nada Afra, Pemilu Serentak:
Dilema Antara Pragmatisme dan Efektifitas Sistem Presidensial, hlm. 177.
29
Refleksi Pemilu 2019 Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia, Kompas.com,
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/01/22/15460191/refleksi-
pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia. dikases pada 22 April 2021 pada
pukul 21.00 WIB.
30
Neneng Sobibatu Rohmah, Evaluasi Sistem Penyelenggara Pemilu Serentak 2019
Ditinjau ADari Beban Kerja Penyelenggara Pemilu (ADHOC), www.Journal.kpi.go.id, hlm. 8-9.

10
berjatuhan hingga meninggal. Hal itu didorong pula oleh terlalu padatnya agenda
demokrasi Indonesia selama lima tahun terakhir, dengan tiga tahapan pilkada
serentak yang diakhiri dengan pilpres dan pileg serentak, sehingga berikutnya
mengalihkan pandangan terhadap hal-hal yang berisifat substantif alih-alih hanya
mementingkan penyelenggaran formalistik yang pragmatis.

Idealnya, ketika masyarakat ditempatkan sebagai bagian terpenting dari


eksistensi sebuah negara, maka menjadi sebuah konsekuensi logis bahwa negara
berkewajiban untuk melindungi segenap kepentingan rakyatnya. Namun faktanya,
di era reformasi masih belum mampu menjawab cita-cita tersebut yakni
memperoleh hakikat demokrasi secara substansial. Akhirnya demokrasi yang
terimplementasi hanya sebatas prosedural semu yang marak dibumbui dengan
permainan elit oligarki.31

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pun telah


mengajukan uji materil terkait pemilu serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK)
yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU
Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota. Pasal yang diuji adalah Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347
ayat (1) UU Pemilu; Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9)
UU Pilkada terhadap Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Adapun alasannya adalah
bahwa sistem pemilu serentak dengan model lima kota tidak sesuai dengan asas
pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selai itu, desain
pelaksanaan pemilu lima kotak suara pada satu hari secara bersamaan membuat
pemenuhan prinsip demokratis yang merupakan cerminan dari asas pemilu dalam
pasal 22E ayat (2) UUD 1945 telah terlanggar. Selain itu, tujuan desain pemilu
serentak adalah sesuatu yang memiliki pengaruh signifikan terhadap check and
balances terutama terkait efektifitas sistem presidensial di Indonesia. Namun,
desain yang demikian justru dianggap dapat berakibat pada lemahnya posisi
presiden untuk menyelaraskan agenda pemerintah dan pembangunan. Hal ini
terjadi karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan,

31
Ibid., Andi Muhfi Zandi, Juliansyah Rahmat Maulana dan Nada Afra, hlm. 170.

11
sedangkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat sekaligus
sebagai penyelenggara otonomi daerah.32

Meski menolak permohonan uji materi pemilu serentak, Mahkamah


Konstitusi (MK) memberikan banyak opsi jenis gelaran pemilu serentak. Hal
tersebut dimungkinkan dan tetap sah sepanjang sejalan dengan penguatan sistem
presidensial. Adapun enam opsi variasi pemilu serentak tersebut adalah: pertama,
pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan
wakil presiden. Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD,
presiden dan wakil presiden, gubernur, dan bupati/walikota; Ketiga, pemilu
serentak memiliih DPR, DPD, presiden serta wakil presiden, DPRD, gubernur,
dan bupati/walikota. Keempat, pemilu yang member jeda antara pemilu serentak
nasional dan daerah. Bentuknya, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR,
DPD, serta presiden dan wakil presiden. Selang beberapa waktu kemudian
dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD prvinsi,
anggota DPRD kabuaten/kota, gubernur, dan bupati/walikota. Kelima, pemilu
serentak dengan memisahkan antara pemilu nasional, pemilu tingkat provinsi, dan
pemilu tingkat kabupaten/kota. Dalam hal ini dapat dipilih juga pemilu serentak
nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, selang
beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih
anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur. Kemudian beberapa waktu
setelehnya dilaksanakan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota
DPRD kabupaten/kota serta bupati dan walikota. Keenam, Mahkamah Konstitusi
(MK) memperbolehkan pemilu serentak jenis lain sepanjang pemilu untuk
anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden digelar bersamaan.33

32
Perludem Gugat Konstiusionalitas Desain Pemilu Serentak, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15894&menu=2.
Diakses pada Kamis 22 April 2021 pada pukul 19.30 WIB.
33
Enam Opsi Pemilu Serentak Usai MK Tolak Gugatan Uji Materi, CNN Indonesia,
https://WWW.cnnindonesia.com/nasional/2020/0227102606-12478644/enam/-opsi-pemilu-
serentak-usai-mk-tolak-gugatan-uji-materi. Diakses pada Kamis 22 April 2021 pada pukul 20.00
WIB.

12
Selain beberapa opsi variasi keserentakan diatas, sudah sepatutnya
pemerintah mempertimbangkan secara serius penerapan teknologi sistem
elektronik pada penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Misalnya, penerapan
teknologi rekapitulasi secara elektronik untuk mengurangi beban
pengadministrasian pemilu bagi petugas penyelenggara. Selain itu, juga untuk
memangkas waktu rekapitulasi penghitungan suara yang terlalu panjang dan lama.

Pandangan perihal perlunya penggunanan sistem teknologi dalam proses


penghitungan dan rekapitulasi suara sebenarnya sama dengan sikap KPU. Sebagai
penyelenggara pemilu, KPU telah menunjukkan keinginan agar system e-
rekapitulasi digunakan pada pemilu yang akan datang. Keinginan itu terlihat dari
pernyataan salah satu Komisioner KPU Ilham Saputra, ia menilai system
rekapitulasi secara elektronik lebih dibutuhkan KPU dibandingkan e-voting.
Menurutnya, e-voting pada dasarnya bukanlah persoalan mendasar, akan tetapi
masalah utama yaitu terletak pada rekapitulasi. Ketika sistem elektronik
digunakan, penghitungan suara dibayangkan bisa berjalan dengan cara
memasukkan surat suara ke mesin penghitung. Sementara itu, e-rekapitulasi
dibayangkan sebagai sistem rekapitulasi menggunakan mesin, bukan oleh
penyelenggara pemilu.34

Terlepas dari anggaran yang cukup besar jika menggunakan sistem


tersebut, namun jika didasarkan akan kebutuhan serta efektifitas yang dhasilkan
maka dapat dianggap sebagai konsekuensi yang wajar dan patut dicoba. Meskipun
pilihan tersebut harus terlebih dahulu didasarkan pada kajian yang matang dengan
melakukan simulasi ujicoba secara berulang, melakukan audit teknologi secara
akuntabel, serta menyesuaikan dengan keadaan dan kesiapan sarana infrastruktur
pendukung.

34
Ibid., Neneng Sobibatu Rohmah, hlm. 10-11.

13
Kesimpulan

Pemilu serentak yang awalnya didesain untuk tujuan efisiensi anggaran


negara, biaya politik bagi peserta pemilu serta penguatan sistem presidensial
nyatanya masih belum optimal. Walaupun mampu menghemat anggaran cukup
signifikan, namun berbagai persoalan masih mengiringi pelaksanaan pemilu
serentak. Mulai dari persoalan teknis bagi pemilih dalam memberikan hak suara
yang berikutnya memunculkan kerumitan dan kebingungan, profesionalitas dan
integritas penyelenggara pemilu yang dipertanyakan, sampai pada isu kemanusian
yakni banyaknya korban berjatuhan sampai meninggal dunia dari pihak
penyelenggara pemilu (KPPS). Sehingga evaluasi penguatan dan pembenahan
sistem pemilu serentak serta manajemen penyelenggaraan pemilu tetap menjadi
sebuah keniscayaan dalam rangka menciptakan pemilu yang berintegritas
sekaligus bermakna bagi demokrasi di Indonesia tanpa mengorbankan nyawa-
nyawa warga negara. Terutama perihal manajemen penyelenggaraan yang
berkaitan dengan beban kerja serta waktu kerja bagi petugas pemilu dengan
terobosan-terobosan baru seperti penggunaan sistem teknologi.

14
Daftar Pustaka

Agustyati, Khoirunnisa (ed), Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem Pemilu
Ke Manajemen Penyelenggaraan Pemilu, (Perludem).

Amir, Mushaddiq, Keserentakan Pemilu 2024 yang Paling Ideal Berdasarkan


Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal AL-ISHLAH:
Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 23, No. 2, November 2020.

Friyanti, Fiska, Pelaksanaan Pemilihan Umum Dalam Sejarah Nasional Indonesia


(skripsi), Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2005.

Imawan Hanafi, Ridho dkk, Evaluasi Pemilu serentak 2019 Dan Upaya Penguatan
Sistem Presidensial, (Policy Paper), Pusat Penelitian Politik LIPI, 2019.

Kajian Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, Dan Sistem Presidensil, Sekretariat


Jendral Bawaslu RI, 2015.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ed. Revisi, Cet.7, Jakarta: Rajawali
Pers, 2017.
Sobibatu Rohmah, Neneng, Evaluasi Sistem Penyelenggaraan Pemilu Serentak
2019 Ditinjau Dari Beban Kerja Penyelenggara Pemilu (ADHOC),
www.Journal.kpu.go.id. Diakses pada Rabu 3 April 2021 pada pukul
19.00 WIB.
Triono, Menakar Efektifitas Pemilu Serentak 2019, Jurnal Wacana Politik, Vol. 2,
No. 2, Oktober 2017.

Tyesta ALW, Lita, Evaluasi Administrasi Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019


Terhadap Nilai-Nilai Pancasila, Jurnal Admistrative & Governance Vol.
2, No. 3, Agustus 2019.

Asshiddiqie, Jimly, Pemilihan Umum Serentak Dan Penguatan Sistem


Pemerintahan, (makalah)
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.ji
mly.com/makalah/namefile/173/PEMILIHAN_UMUM_SERENTAK.pd
f&ved=2ahUKEwijhtPVjP3vAhWSXSsKHSsYCM4QFjAAegQIBBAC
&usg=AOvVaw169bszh3Tai11mZQTrbQR&cshid=1618384030773.
Diakses pada rabu 14 April 2021 pada pukul 14.00 WIB.

Prima Anggara, Ganjar dkk, Transformasi Model Pemilu Serentak Di Indonesia


Tahun 2019 Pasca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, (makalah)
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://downl
oad.garuda.ristekdikti.go.id/artcle.php%3Farticle%3D188489%26val%3
d466%title%3DTRANSFORMASI%2520MODEL%2520PEMILU%252

15
0SERENTAK%2520DI%2520INDONESIA%2520TAHUN%25202019
%2520PASCA%2520PUTUSAN%2520MK%2520NOMOR%252014/P
UU-
XI/2013&ved=2ahUKEwirp_2KmP7vAhXo7XMBHZazAeYQFjAJegQI
BhAC&usg=AOvVaw2Nlci-
iDUZHbGnxdYyHESx&cshid=1618420130155. Diakses pada Sabtu 3
April 2021 pada pukul 20.00 WIB.

Saubani, Andri, Denny JA Soroti Dampak Negatif Pilpres dan Pileg Serentak,
https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/04/18/pq5t85409-
denny-ja-sorot-dampak-negatif-pilpres-dan-pileg-serentak. Diakses pada
3 April 2021 pada pukul 21.00 WIB.

Enam Opsi Pemilu Serentak Usai MK Tolak Gugatan Uji Materi, CNN Indonesia,
https://WWW.cnnindonesia.com/nasional/2020/0227102606-
12478644/enam/-opsi-pemilu-serentak-usai-mk-tolak-gugatan-uji-materi.
Diakses pada Kamis 22 April 2021 pada pukul 20.00 WIB.

Naik 61% dibanding 2014 Anggaran Penyelenggaraan Pemilu 2019 Capai Rp.
25,59 Triliun, https://setkab.go.id/naik-61-dibanding-2014-anggaran-
penyelenggaraan-pemilu-2019-capai-rp2559-
triliun/#:~:text=Untuk%20mendukung%20suksesnya%20pelaksanaan%2
0pemilu,2014%20sebesar%20Rp15%2C62%20triliun. Diakses pada
selasa selasa 20 April 2021 pada pukul 19.00 WIB.

Perludem Gugat Konstiusionalitas Desain Pemilu Serentak, Mahkamah Konstitusi


Republik Indonesia,
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15894&menu=2.
Diakses pada Kamis 22 April 2021 pada pukul 19.30 WIB.

Refleksi Pemilu 2019 Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia,


Kompas.com,
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/01/
22/15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-
meninggal-dunia. dikases pada 22 April 2021 pada pukul 21.00 WIB.

16

Anda mungkin juga menyukai