Anda di halaman 1dari 81

Nama : Fenty Nur Aini

NIM : 185030200111015

Mata Kuliah : Perpajakan

PRAKTIKUM PERPAJAKAN

MODUL 4: PAJAK DAERAH (Kota Malang)

A. Gambaran Umum Perusahaan

PT Dasukarta bergerak di bidang usaha perdagangan produk kebutuhan rumah tangga.


Berikut ini informasi umum PT Dasukarta.

Nama Wajib Pajak : PT Dasukarta

Alamat Wajib Pajak : Jl. MT Haryono No. 163 Kota Malang

Jenis Usaha : Dagang produk kebutuhan rumah tangga

NPWPD : 1693.65.400

No. Telepon : (021) 574999

B. Kasus-Kasus

Kasus 1

PT Dasukarta membeli sebuah kendaraan beroda 4 di dealer ABC. PT Dasukarta


membeli mobil tersebut dengan harga 226.400.000 juta (include tax). Diketahui tarif
PPN 10%, PKB 1,5%, bobot kendaraan 1 dan BBNKB Pembelian Pertama 20%,
pembelian kedua 1%.

Instruksi:

a. Hitunglah berapa Pajak Pertambahan Nilai terutang


b. Hitunglah berapa Pajak Kendaraan Bermotor terutang
c. Hitunglah Bea Balik Kendaraan Bermotor yang sudah dibayarkan PT Dasukarta?
d. Siapkan formulir SSPD

Jawab :

Harga = 226.400.000 (include tax)


DPP = 100/131,5 X 226.400.000

= Rp. 172.167.300

a. PPN = 10 % x 172.167.300
= Rp. 17. 216.730
b. PKB = 1,5 % X 172.167.300
= Rp. 2.582.509
c. BBNBK = 20 % X 172.167.300
= Rp. 34.433.460
d.

Kasus 2

PT Dasukarta ingin memasang Baliho ukuran 3 X 6 meter di area Kuningan (Protokol


A) sebanyak 6 buah selama 7 hari. Jika diketahui tarif Pajak Reklame sesuai perda
sebesar 20% dan Nilai Sewa Reklame Produk (NSR) sebagai berikut:

Jangka Ketinggian
No. Lokasi Ukuran NSR (Rp)
Waktu Reklame
1. Protokol A 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 125.000
2. Protokol B 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 100.000
3. Protokol C 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 75.000
4. Ekonomi Kelas I 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 50.000
5. Ekonomi Kelas II 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 25.000
6. Ekonomi Kelas III 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 15.000
7. Lingkungan 1 M2 1 Hari s.d 15 Meter 10.000

Instruksi:

a) Berapakah besarnya Pajak Reklame yang terutang?


b) Siapkan formulir SSPD

2
Jawab :

a. NSR = 6 X 18 X 125.000 X 7
= Rp. 94.500.000
Pajak Reklame = 20 % X 94.500.000

= Rp. 18.900.000

b.

Kasus 3

PT Dasukarta menggunakan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri (genset) secara murni
tanpa alat ukur, dengan perincian sbb:

Kapasitas Daya (kVA) = 2.115

Faktor Daya (FD) = 0,70

3
Jam Nyala = 409

Harga satuan listrik per kWH (Rp/KWh) = Rp. 338

Sebagai informasi tambahan, tarif penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri
sebesar 1.5%.

Instruksi:

a. Berapakah Pajak Penerangan Jalan yang terutang?


b. Siapkan formulir SSPD

Jawab :

a. NTJL = 2.115 X 0,70 X 409 X 388


= Rp. 204.667.281
PPJ = 1,5 % X 204.667.281

= Rp. 3.070.009

b.

Kasus 4

PT Dasukarta mempunyai objek pajak berupa:

- Tanah seluas 1.400 m2 dengan harga jual Rp1.000.000,00/m2;

- Bangunan Kantor seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp1.500.000,00/m2;

- Bangunan Gudang seluas 500 m2 dengan nilai jual Rp1.000.000,00/m2;

- Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2;

4
- Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual
Rp175.000,00/m2.

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah adalah
sebesar 0,1% (untuk NJOP kurang dari 1.000.000.000,00) dan 0,2% (untuk NJOP sama
dengan atau lebih dari 1.000.000.000,00) dengan NJOPTKP sebesar Rp. 10.000.000,00

Instruksi:

a. Hitunglah besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang?


b. Siapkan formulir SSPD

Jawab :

a. Tanah : 1.400 X 1.000.000 = 1.400.000.000


Kantor : 200 X 1.500.000 = 300.000.000
Gudang : 500 X 1.000.000 = 500.000.000
Taman : 200 X 50.000 = 10.000.000
Pagar : 120 X 1,5 X 175.000 = 31.500.000
Jumlah = Rp. 2.241.500.000

NJOP = 2.241.500.000 – 10.000.000

= Rp. 2.231.500.000

NJKP = 20% X 2.231.500.000

= Rp. 446.300.000

PBB = 0,2% X 446.300.000

= Rp. 892.600

b.

5
SALINAN
NOMOR 2/B, 2010

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG


NOMOR 16 TAHUN 2010
TENTANG
PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MALANG,

Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan


daerah yang sangat penting guna membiayai penyelenggaraan

6
pemerintahan dan pembangunan daerah dalam melaksanakan
pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan kemandirian
daerah;

b.
bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
beberapa Peraturan Daerah Kota Malang yang mengatur pajak
daerah, perlu dilakukan penyesuaian;

c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Pajak Daerah;
Mengingat : 1.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kota Besar dalam lingkungan Propinsi
JawaTimur, Jawa-Tengah, Jawa-Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1954 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 551);

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara


Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);

3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan


Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 3845);

7
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4199);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4377);

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4389);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

9. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan


(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4444);
10. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 4966);

11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

12. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);

13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 5059);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia

8
Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3258);

15. Peraturan Pemerintah 15 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas


Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang dan Kabupaten
Daerah Tingkat II Malang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1987 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3354);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4578);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

21. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara


Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5161);

22. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,


Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan
Perundangundangan;

23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang


Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59
Tahun 2007;

9
24. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah (Lembaran Daerah
Kota Malang Tahun 2008 Nomor 2 Seri D, Tambahan Lembaran
Daerah Kota Malang Nomor 59);

25. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 10 Tahun 2008 tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang
Tahun 2008 Nomor 2 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota
Malang Nomor 62);

26. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2009 tentang


Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) (Lembaran Daerah Kota
Malang Tahun 2009 Nomor 4 Seri E, Tambahan Lembaran
Daerah Kota Malang Nomor 73);
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MALANG


dan
WALIKOTA MALANG

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud

dengan :

1. Daerah adalah Kota Malang.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Malang.

3. Kepala Daerah adalah Walikota Malang.

4. Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang.

5. Instansi Pemungut adalah instansi yang oleh Undang-Undang diberi kewenangan


untuk memungut pajak daerah.

6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

10
8. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

9. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan hotel.

10. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait
lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, rumah
penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10
(sepuluh).

11. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

12. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

13. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.

14. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian
yang dinikmati dengan dipungut bayaran.

15. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.

16. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk, dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa atau
badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.

17. Nilai Jual Objek Reklame yang selanjutnya disebut NJOR adalah keseluruhan
pembayaran/pengeluaran biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemilik dan/atau
penyelenggara reklame termasuk dalam hal ini adalah biaya/harga beli bahan
reklame, konstruksi, instalasi listrik, instalasi penangkal petir, pembayaran/ongkos
perakitan, pemancaran, peragaan, penayangan, pengecatan, pemasangan dan
transportasi pengangkutan dan lain sebagainya sampai dengan bangunan reklame
rampung, dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan/atau terpasang ditempat yang
telah diijinkan.

18. Pajak Penerangan Jalan adalah pungutan daerah atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

19. Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum
yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

11
20. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.

21. Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat
dan ditinggalkan pengemudinya.

22. Badan Jalan adalah bagian jalan yang meliputi seluruh jalur lalu lintas dan bahu
jalan.

23. Bahu Jalan adalah bagian daerah manfaat jalan berdampingan dengan jalur lalu lintas
untuk menampung kendaraan yang berhenti, keperluan darurat, dan untuk pendukung
bagi lapis pondasi bawah, lapis pondasi, dan lapis permukaan.

24. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
25. Air Tanah adalah air yang berada di perut bumi termasuk mata air yang muncul
secara alamiah diatas permukaan tanah.

26. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.

27. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

28. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang
menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak
yang terutang.

29. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila
wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

30. Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa
pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

31. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek
dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan
penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.

32. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SPTPD adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.

33. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SSPD adalah bukti pembayaran
atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah

12
dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk
oleh Kepala Daerah.

34. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.

35. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disebut SKPDKB
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

36. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disebut
SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.

37. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disebut SKPDN adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

38. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disebut SKPDLB
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya
tidak terutang.

39. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut STPD adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

40. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
tertulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat
Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan.

41. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau terhadap pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan Wajib Pajak.

42. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap surat
keputusan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

43. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau

13
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

44. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,


keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

45. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah serta
menemukan tersangkanya.

BAB II
JENIS PAJAK

Pasal 2

Jenis Pajak Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, terdiri atas :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Parkir;
g. Pajak Air Tanah.

BAB III
PAJAK HOTEL

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 3

Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.

Pasal 4

(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan.

14
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah fasilitas telepon,
faksimile, teleks, internet, foto copy, pelayanan cuci, setrika, transportasi dan
fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.

(3) Termasuk dalam objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
a. motel;
b. losmen;
c. rumah penginapan;
d. rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh);
e. kegiatan usaha lainnya yang sejenis.

(4) Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
a. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Daerah;
b. Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan
dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang
dapat dimanfaatkan oleh umum.

Pasal 5

(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.

(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 6

Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada hotel.

Pasal 7

(1) Tarif Pajak Hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf e, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

(2) Tarif Pajak Hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d, ditetapkan
sebesar 5% (lima persen).

Pasal 8

15
Besarnya pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan dan Saat Pajak Terutang

Pasal 9

Masa Pajak Hotel adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

Pasal 10

(1) Setiap Wajib Pajak Hotel wajib mengisi SPTPD.

(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas, benar dan
lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.

(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan kepada Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
berakhirnya masa pajak.

(4) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Pasal 11

Pajak terutang dalam masa pajak, terjadi pada saat pembayaran kepada pengusaha hotel
atau sejak diterbitkan SPTPD.

BAB IV
PAJAK RESTORAN

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 12

Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.

Pasal 13

(1) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran.

(2) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli,
baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.

(3) Termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :

16
a. rumah makan;
b. kafetaria;
c. kantin;
d. warung;
e. depot;
f. bar;
g. pujasera/food court;
h. toko roti/bakery;
i. jasa boga/katering;
j. kegiatan usaha lainnya yang sejenis.

(4) Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu
pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan.

Pasal 14

(1) Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan
dan/atau minuman dari restoran.

(2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
restoran.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 15

Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima Restoran.

Pasal 16

Tarif Pajak Restoran ditetapkan, sebagai berikut :


a. Restoran dengan nilai penjualannya diatas Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai
dengan Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per bulan sebesar 5% (lima persen);
b. Restoran dengan nilai penjualannya diatas Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
per bulan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 17

Besarnya pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan dan Saat Pajak Terutang Pasal 18

17
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

Pasal 19

(1) Setiap Wajib Pajak, wajib mengisi SPTPD.

(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas, benar dan
lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.

(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan kepada Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
berakhirnya masa pajak.

(4) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Pasal 20

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran kepada restoran.

BAB V
PAJAK HIBURAN

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 21

Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan.

Pasal 22

(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut
bayaran.

(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :


a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, bar dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan billyar, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center), dan
sejenisnya;
j. pertandingan olahraga.

18
Pasal 23

(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan.

(2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
hiburan.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 24

(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.

(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima
jasa hiburan.

Pasal 25

(1) Tarif Pajak Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), ditetapkan
sebagai berikut :
a. tontonan film :
1. nasional sebesar 10% (sepuluh persen);
2. impor sebesar 20% (dua puluh persen).
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana sebesar 15% (lima belas
persen);
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya sebesar 15% (lima belas persen);
d. pameran sebesar 15% (lima belas persen);
e. diskotik, klab malam, bar, dan sejenisnya sebesar 35% (tiga puluh lima persen);
f. karaoke sebesar 20% (dua puluh persen);
g. sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 15% (lima belas persen);
h. billyar sebesar 15% (lima belas persen);
i. golf sebesar 25% (dua puluh lima persen);
j. bolling sebesar 15% (lima belas persen);
k. pacuan kuda, kendaraan bermotor, tempat rekreasi dan permainan ketangkasan
sebesar 15% (lima belas persen);
l. panti pijat, refleksi, mandi uap/Spa, dan pusat kebugaran (fitness center), dan
sejenisnya sebesar 25% (dua puluh lima persen);
m. pertandingan olah raga sebesar 15% (lima belas persen);
n. hiburan kesenian rakyat/tradisional sebesar 5% (lima persen).

Pasal 26

19
Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan dan Saat Pajak Terutang

Pasal 27

(1) Masa Pajak Hiburan adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

(2) Masa Pajak Hiburan yang sifatnya insidentil adalah jangka waktu yang lamanya
sama dengan jangka waktu penyelenggaraan hiburan.

Pasal 28

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.

(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas, benar dan
lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.

(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan kepada Kepala
Daerah selambat-lambatnya 15 (lima belas hari) setelah berakhirnya masa pajak.

(4) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Pasal 29

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan hiburan atau sejak
diterbitkannya SPTPD.

BAB VI
PAJAK REKLAME

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 30

Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas penyelenggaraan reklame.

Pasal 31

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.

(2) Objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :


a. reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, stiker;

20
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
i. reklame film/slide; dan
j. reklame peragaan.

(3) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame, adalah :


a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta
mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;

b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang


berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat
usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama
pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Daerah, TNI/POLRI dan Partai Politik dengan tidak mencantumkan
sponsor produk komersial .

Pasal 32

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang mengunakan reklame.

(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
reklame.

(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau
badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut.

(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, Wajib Pajak Reklame
adalah pihak ketiga.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 33

(1) Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.

(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.

(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame (NSR)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor
sebagai berikut :

21
a. jenis reklame;
b. bahan yang digunakan;
c. lokasi penempatan;
d. jangka waktu penyelenggaraan;
e. jumlah media reklame; dan
f. ukuran media reklame.

(4) Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak diketahui
dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Cara perhitungan nilai sewa reklame dihitung dengan rumus Nilai Sewa Reklame =
Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) + Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NS).

(6) Nilai Jual Obyek Reklame, Nilai Strategis Pemasangan Reklame dan Hasil
Perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5), akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 34

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 35

Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan, dan Saat Pajak Terutang

Pasal 36

(1) Masa Pajak Reklame Tetap adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan
kalender.

(2) Masa Pajak Reklame Insidentil adalah jangka waktu lamanya penyelenggaraan
Reklame.

Pasal 37

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan pajak terutang dengan
menerbitkan SKPD.

(2) Apabila SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak atau kurang dibayar
setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan SKPD,
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan
dari kekurangan pajak yang harus dibayar dan ditagih dengan menerbitkan STPD.

22
Pasal 38

Pajak Reklame yang terutang terjadi pada saat penyelenggaraan reklame atau sejak
diterbitkan SKPD.

BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 39

Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas penggunaan tenaga listrik.
Pasal 40

(1) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.

(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
seluruh pembangkit listrik.

(3) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), adalah :
a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang
tidak memerlukan ijin dari instansi teknis terkait.

Pasal 41

(1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik.

(2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
tenaga listrik.

(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan
adalah penyedia tenaga listrik.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 42

(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.

(2) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan :

23
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai jual
tenaga listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya
pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.

Pasal 43

Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan :


a. Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain, dengan penggunaan untuk :
1) Rumah Tangga sebesar 7% (tujuh persen) dari Nilai Jual Tenaga Listrik;
2) Bisnis sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Jual Tenaga Listrik;
3) Sosial sebesar 0% (nol persen) dari Nilai Jual Tenaga Listrik;
4) Pemerintah sebesar 0% (nol persen) dari Nilai Jual Tenaga Listrik;
5) Industri sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Jual Tenaga Listrik.
b. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebesar 1,5% (satu koma lima
persen).

Pasal 44

(1) Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dengan dasar pengenaan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).

(2) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan
penerangan jalan.

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan dan Saat Pajak Terutang Pasal 45

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

Pasal 46

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.

(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas, benar dan
lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.

(3) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Pasal 47

(1) Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penggunaan tenaga listrik atau
sejak diterbitkan SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan.

24
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah
rekening listrik.

BAB VIII
PAJAK PARKIR

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 48

Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan.

Pasal 49

(1) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik
yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk tempat penitipan kendaraan bermotor dan penyedia tempat
parkir gratis sebagai bentuk layanan kepada pelanggannya.

(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan oleh
karyawannya sendiri.

Pasal 50

(1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor.

(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat
parkir.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 51

(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.

(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk
potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa
parkir.

Pasal 52

25
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 53

Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan dan Saat Pajak Terutang

Pasal 54

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
Pasal 55

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD.

(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas, benar dan
lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.

(3) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Pasal 56

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan parkir atau sejak
diterbitkannya SPTPD.

BAB IX
PAJAK AIR TANAH

Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak

Pasal 57

Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan
air tanah.

Pasal 58

(1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

(2) Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah, adalah :


a. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan;
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Daerah.

26
Pasal 59

(1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

(2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang atau badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Pasal 60

(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah nilai perolehan air tanah.
(2) Nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dalam
rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-
faktor berikut :
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.

(3) Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 61

Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 62

Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).

Bagian Ketiga
Masa Pajak, Penetapan, dan Saat Pajak Terutang

Pasal 63

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

Pasal 64

27
(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan pajak terutang dengan
menerbitkan SKPD.

(2) Apabila SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak atau kurang dibayar
setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPD diterima,
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari
kekurangan pajak yang harus dibayar dan ditagih dengan menerbitkan STPD.

Pasal 65

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Tanah atau sejak diterbitkan SKPD.

BAB X
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 66

Pajak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.

BAB XI
PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan

Pasal 67

(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.

(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat
ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala
Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan.

(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berupa
karcis atau nota perhitungan.

(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.

Pasal 68

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah
atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan :

28
a. SKPDKB dalam hal :
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang
ditunjuk dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;

c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit
pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak.

(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan apabila Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 3, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua
puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak
saat terutangnya pajak.

Pasal 69

Tata cara penerbitan, tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 ayat (3) dan ayat (5), akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak Daerah

Pasal 70

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD :

29
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
c. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak
saat terutangnya pajak.

(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih
melalui STPD.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 71

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menentukan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah saat terutangnya pajak.

(2) SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, surat keputusan pembetulan, surat
keputusan keberatan, dan putusan banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(3) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas permohonan Wajib Pajak setelah
memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada
Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak akan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 72

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD,
surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, dan putusan banding yang
tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan
surat paksa.

(2) Penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

30
Bagian Keempat
Keberatan dan Banding

Pasal 73

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau Pejabat
yang ditunjuk atas suatu :
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPDN; dan
f. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai
alasanalasan yang jelas.

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga
tidak dipertimbangkan.

(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau Pejabat
yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat
sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 74

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atau
keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang
terutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), telah lewat dan Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

31
Pasal 75

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada pengadilan
pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga)

bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai


dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.

Pasal 76

(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak bulan
pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.

(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), tidak dikenakan.

(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa pidana denda sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan
atau Pengurangan Sanksi

Pasal 77

(1) Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, Kepala Daerah atau Pejabat
yang ditunjuk dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.

32
(2) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak
yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena
kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD,


SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar; c.
mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan
membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB XII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 78

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

(2) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), telah dilampaui dan
Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan,
permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB
harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak, kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak tersebut.

(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya
SKPDLB.

(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua)
bulan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga

33
sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan
pembayaran pajak.

(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

(8) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB XIII
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 79

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.

(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh
apabila :
a. diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.

(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan surat paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat
paksa tersebut.

(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Pasal 80

(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih karena hak untuk melakukan penagihan
sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.

(2) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan keputusan penghapusan
piutang pajak daerah yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB VIX

34
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 81

(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan nilai penjualan paling sedikit
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan.

(2) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran nilai penjualan serta tata cara
pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 82

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka
melaksanakan peraturan perundangan-undangan perpajakan.

(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :


a. memperlihatkan dan/atau menunjukkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang
terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.

(3) Tata cara pemeriksaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB XV
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 83

(1) Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan pajak dapat diberi insentif atas
dasar pencapaian kinerja tertentu.

(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3) Petunjuk pelaksanaan dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB XVI
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 84

35
(1) Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli
yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
yaitu :
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah
yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.

(4) Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti
tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.

(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata,
atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata,
Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang
ada padanya.

(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus menyebutkan nama
tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara
pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

BAB XVII
PENYIDIKAN

Pasal 85

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

36
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti mengenai keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana bidang perpajakan daerah agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang dikaitkan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya


penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 86

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak
benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan

37
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pasal 87

Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau
berakhirnya bagian tahun pajak atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 88

(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena
kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta
rupiah).

(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan sengaja
tidak memenuhi kewajibannya atau seorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sesuai dengan
sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku wajib
pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.

Pasal 89

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (1), merupakan
penerimaan negara.

BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 90

38
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Pajak yang masih terutang
berdasarkan Peraturan Daerah sebelumnya, sepanjang tidak diatur dalam Peraturan
Daerah ini masih dapat ditagih selama jangka waktu terhitung sejak saat terutang.

BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 91

Pelaksanaan Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala
Daerah.

Pasal 92

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku :


1. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang Nomor 2 Tahun 1998
tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang
Tahun 1998 Nomor 2/A) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;

2. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang Nomor 4 Tahun 1998


tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang
Tahun 1998 Nomor 4/A) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;

3. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pajak Parkir (Lembaran
Daerah Kota Malang Tahun 2002 Nomor 1/B) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku;

4. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel (Lembaran
Daerah Kota Malang Tahun 2002 Nomor 7/B) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
5. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran
(Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2002 Nomor 8/B) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku;

6. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan
(Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2002 Nomor 9/B) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 93

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah


ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Malang.

Ditetapkan di Malang pada tanggal 30 Desember 2010

39
WALIKOTA MALANG,

ttd.
Drs. PENI SUPARTO, M.AP

Diundangkan di Malang
pada tanggal 31 Desember 2010

SEKRETARIS DAERAH KOTA MALANG,

ttd.
Dr. Drs. H. SHOFWAN, SH, M.Si
Pembina Utama Muda
NIP. 19580415 198403 1 012

LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2010 NOMOR B SERI 2

Salinan sesuai aslinya


KEPALA BAGIAN HUKUM,

DWI RAHAYU, SH, M.Hum.


Pembina
NIP. 19710407 199603 2 003

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA MALANG
NOMOR 16 TAHUN 2010
TENTANG
PAJAK DAERAH

I. UMUM

Bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah memberikan kewenangan yang semakin besar
kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat,
khususnya pada sektor pajak.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut, sesuai dengan Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua
kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, maka perluasan kewenangan perpajakan bagi daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam
penetapan tarif.

40
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis
pajak baru. Sehubungan dengan hal tersebut, perluasan basis pajak tersebut dilakukan
sesuai dengan prinsip pajak yang baik, maka diperlukan pedoman dalam bentuk Peraturan
Daerah.

Peraturan Daerah ini sebagai instrumen dan sarana mengoptimalkan pajak daerah sebagai
salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat penting guna membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dalam melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat serta mewujudkan kemandirian daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam Peraturan Daerah ini.
Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-
pasal yang bersangkutan sehingga para pihak yang berkaitan dengan Pajak Daerah yang
diatur dalam Peraturan Daerah ini, dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dapat
berjalan dengan lancar dan akhirnya dapat dicapai tertib administrasi. Pengertian ini
diperlukan karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis
dalam bidang Pajak Daerah.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

41
Kegiatan usaha lainnya yang sejenis, diantaranya home stay, guest house, wisma
penginapan dan pesanggrahan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan
melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan/mengisi SPTPD (Surat
Pemberitahuan Pajak
Daerah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.

42
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Nilai penjualan tidak melebihi Rp 5.000.000,00 per bulan merupakan nilai akumulasi atas
pendapatan restoran dimaksud selama satu bulan.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Untuk pendapatan restoran antara Rp 5.000.000,00 sampai dengan Rp
15.000.000,00 per bulan tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Untuk
pendapatan restoran diatas Rp 15.000.000,00 per bulan tarif pajak ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen).
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan
melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan/mengisi SPTPD (Surat
Pemberitahuan Pajak
Daerah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22

43
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Tontonan film terbagi menjadi film nasional dengan tarif pajak 10 %
(sepuluh persen) dan film impor dengan tarif pajak 20 % (dua puluh persen).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan hiburan berupa kesenian
rakyat/tradisional adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional yang dipandang perlu
untuk dilestarikan dan diselenggarakan di tempat yang dapat dikunjungi oleh semua
lapisan masyarakat.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.

44
Pasal 28
Ayat (1)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan
melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan/mengisi SPTPD (Surat
Pemberitahuan Pajak
Daerah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan reklame papan/billboard adalah reklame yang terbuat dari rangka
baik dari besi, kayu atau sejenisnya, termasuk juga didalamnya reklame bando. Yang
dimaksud dengan reklame videotron/megatron dan sejenisnya adalah reklame yang
menggunakan layar
monitor elektronik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan reklame kain adalah reklame yang terbuat dari kain berupa
gambar atau dengan tulisan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan reklame melekat dan striker adalah reklame yang dapat
dilekatkan yang bahannya dapat terbuat dari kertas atau pun plastik berupa gambar atau
dengan tulisan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan reklame selebaran adalah reklame dalam bentuk lembaran-
lembaran, yang bahannya terbuat dari kertas atau pun sejenisnya berupa gambar atau pun
tulisan.
Huruf e

45
Yang dimaksud dengan reklame berjalan adalah reklame yang ditempatkan atau
ditempelkan pada suatu benda bergerak yang berupa gambar atau dengan tulisan. Yang
dimaksud dengan reklame kendaraan adalah reklame yang ditempatkan atau ditempelkan
pada kendaraan.
Huruf f
Yang dimaksud reklame udara adalah reklame yang ditempatkan atau ditempelkan pada
benda-benda atau yang dapat terbang diudara berupa gambar atau tulisan.

Huruf g
Yang dimaksud reklame apung adalah reklame yang ditempatkan pada benda-benda yang
dapat mengapung
diatas air berupa gambar atau tulisan.
Huruf h
Yang dimaksud reklame suara adalah reklame yang berupa suara.
Huruf i
Yang dimaksud reklame film/slide adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara
mempergunakan klise, slide atau film atau pun bahan-bahan sejenisnya yang
dipancarkan melalui proyeksi atau dipancarkan pada layar atau benda lain dalam ruangan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan reklame peragaan adalah reklame yang menggunakan alat peraga.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Pejabat yang ditunjuk menetapkan pajak terutang Wajib Pajak Reklame dengan
menerbitkan SKPD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.

46
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan
melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan/mengisi SPTPD (Surat
Pemberitahuan Pajak
Daerah).
Ayat (2)

47
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Pejabat yang ditunjuk menetapkan pajak terutang Wajib Pajak Air Tanah dengan
menerbitkan SKPD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah
atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh
Kepala Daerah melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan
kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.

48
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan
melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar,
dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
mestinya, dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi
sarana penagihan.
Pasal 68
Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri.
Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib
Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian
SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk
untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus
tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban
material.
Contoh :
1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada
tahun pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu
juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah atau Pejabat yang
ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang
terutang;
2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada
tahun pajak 2009. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang
disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang
bayar tersebut, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat
menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi
administratif;
3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah
diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data
baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang

49
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan
SKPDKBT;
4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah
atau Pejabat yang ditunjuk ternyata jumlah pajak yang terutang
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak, Kepala Daerah atau Pejabat
yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDN.
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya
pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk
berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau
Pejabat yang ditunjuk.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi
administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya SKPDKB.

Ayat (3)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula
belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang
bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak
dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan
tindakan
pemeriksaan.
Ayat (4)

50
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya
dilakukannya, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua
puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, Kepala Daerah atau
Pejabat yang ditunjuk menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan
SKPDKB.
Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya SKPDKB.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

51
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu objek pajak , antara lain, lahan pertanian yang
sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan
Wajib Pajak tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan instansi yang melaksanakan pemungutan adalah
dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak
dan Retribusi.

Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)

52
Pengenaan pidana kurungan dan pidana denda kepada Pejabat tenaga ahli yang ditunjuk
oleh Kepala Daerah dimaksudkan untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai
perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak
dalam memberikan data dan keterangan kepada Pejabat mengenai
perpajakan daerah tidak ragu-ragu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2010 NOMOR 12

53
SALINAN

NOMOR 4, 2011

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG


NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MALANG,

Menimbang : a. bahwa pajak daerah meru pakan salah satu su mber pendapatan
daerah yang penting dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dan kemandirian daerah;

b.
bahwa kebijakan pajak daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan
akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;

c. bahwa dengan berlaku nya Undang-Undang


Nomor 28 Tahu n 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribu si
Daerah, ditegaskan bahwa Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
merupakan jenis pajak kabupaten/kota;
d. bahwa dalam rangka pelaksanaan pemu ngu tan Pajak Bu mi dan
Bangu nan Perkotaan di wilayah

54
Kota Malang serta sebagai pelaksanaan ketentuan
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahu n 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu
membentu k Peratu ran Daerah
tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksu d dalam hu ru f a, hu ru f b, hu ru f c dan huruf d, perlu
membentu k Peratu ran Daerah
tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 16 Tahu n 1950 tentang Pembentu kan
Daerah-daerah Kota Besar dalam lingku ngan Propinsi J awa-
Timu r, J awa-Tengah, Jawa-Barat dan Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagaimana telah diu bah dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahu n 1954 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahu n 1954 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahu n 1960 tentang


Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Repu blik
Indonesia Tahu n 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahu n 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Su rat Paksa (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 1997 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia Nomor 3686)
sebagaimana telah diu bah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahu n 2000 (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2000 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Nomor 3987);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahu n 2002 tentang
Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Repu blik
Indonesia Tahu n 2002 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2002
Nomor 4199);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahu n 2004 tentang

55
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Repu blik
Indonesia Tahu n 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diu
bah kedu a kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahu n
2008 (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Nomor 4844);
7. Undang-Undang Nomor 28 Tahu n 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribu si Daerah (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Nomor 5049);

8. Undang-Undang Nomor 12 Tahu n 2011 tentang


Pembentu kan Peratu ran Peru ndang-undangan
(Lembaran Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Repu blik
Indonesia Nomor 5234);

9. Peratu ran Pemerintah 15 Tahu n 1987


tentang
Peru bahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II Malang dan Kabu paten Daerah Tingkat II
Malang (Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Tahun 1987 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3354);

10. Peratu ran Pemerintah Nomor 135 Tahu n 2000 tentang


Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Su
rat Paksa (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2000 Nomor 247,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia Nomor 4049);

11. Peratu ran Pemerintah Nomor 58 Tahu n 2005 tentang


Pengelolaan Keu angan Negara (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2005 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia Nomor 4578);

56
12. Peratu ran Pemerintah Nomor 79 Tahu n 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Repu blik Indonesia Tahu n 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Nomor 4593);
13. Peratu ran Pemerintah Nomor 69 Tahu n 2010 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pemanfaatan
Insentif Pemu ngu tan Pajak Daerah dan Retribu si
Daerah (Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Tahu n 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5161);

14. Peratu ran Pemerintah Nomor 91 Tahu n 2010 tentang J


enis Pajak Daerah yang Dipu ngu t Berdasarkan Penetapan
Kepala Daerah atau
Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara
Repu blik Indonesia Tahu n 2010 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia
Nomor 5179);

15. Peratu ran Presiden Nomor 1 Tahu n 2007 tentang


Pengesahan, Pengu ndangan dan Penyebarlu asan
Peraturan Perundang-undangan;

16. Peratu ran Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahu n 2006


tentang Pedoman Pengelolaan Keu angan Daerah sebagaimana
telah diu bah kedua kalinya dengan Peratu ran Menteri Dalam
Negeri
Nomor 21 Tahun 2011;

17. Peratu ran Daerah Kota Malang Nomor


6
Tahu n 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang
Tahu n 2008 Nomor 2 Seri D, Tambahan Lembaran
Daerah Kota Malang Nomor 59);

18. Peratu ran Daerah Kota Malang Nomor


10
Tahu n 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

57
(Lembaran Daerah Kota Malang Tahu n 2008
Nomor 2 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota
Malang Nomor 62);

19. Peratu ran Daerah Kota Malang Nomor


5
Tahu n 2009 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) (Lembaran Daerah Kota Malang Tahu n 2009 Nomor 4
Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota
Malang Nomor 73);
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MALANG dan


WALIKOTA MALANG

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK BUMI DAN


BANGUNAN PERKOTAAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Kota Malang.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Malang.

3. Walikota adalah Walikota Malang.

4. Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota


Malang.

5. Pejabat adalah pegawai yang diberi tu gas tertentu di bidang perpajakan daerah
sesu ai dengan ketentuan peratu ran peru ndang-
undangan.

6. Pajak Daerah yang selanju tnya disebu t Pajak adalah kontribu si wajib kepada
daerah yang teru tang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan u ndang-u ndang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsu ng
dan digu nakan u ntu k
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

58
7. Badan adalah seku mpu lan orang dan/ atau modal yang meru pakan kesatu an,
baik yang melaku kan u saha mau pu n yang tidak melaku kan u saha yang melipu ti
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam
bentu k apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiu n, perseku tu an, perku mpu
lan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentu k badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
8. Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/ atau bangu nan yang dimiliki, dikuasai, dan/ atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau Badan u ntu k perkotaan kecu ali kawasan yang digu nakan u ntu k
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan.

9. Bu mi adalah permu kaan bu mi yang melipu ti tanah dan perairan


pedalaman serta laut wilayah kota.

10. Bangu nan adalah konstru ksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/ atau perairan pedalaman dan/ atau
laut.

11. Nilai J u al Objek Pajak yang selanju tnya disingkat NJOP adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi ju al beli yang terjadi secara wajar, dan
bilamana tidak terdapat transaksi ju al beli, NJ OP ditentu kan melalu i perbandingan
harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

12. Su bjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang


dapat
dikenakan Pajak.

13. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, melipu ti pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemu ngu t pajak, yang mempu nyai hak dan kewajiban
perpajakan sesu ai dengan ketentu an peraturan
perundang-u ndangan perpajakan daerah.

14. Tahu n Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu ) tahun
kalender.

15. Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam Masa Pajak, dalam Tahu n Pajak, atau dalam Bagian Tahu n Pajak sesu ai
dengan ketentu an peratu ran peru ndang-

59
undangan perpajakan daerah.

16. Su rat Pemberitahu an Objek Pajak yang selanju tnya disingkat SPOP
adalah su rat yang digu nakan oleh Wajib Pajak u ntu k melaporkan data su bjek dan
objek Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan sesuai dengan ketentu an peratu ran
peru ndang-u ndangan perpajakan
daerah.

17. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanju tnya disingkat SKPD adalah su
rat ketetapan pajak yang menentu kan besarnya ju mlah pokok pajak yang terutang.
18. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bu kti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggu nakan
formu lir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas u mu m daerah melalu i tempat
pembayaran yang ditunjuk
oleh Walikota.

19. Su rat Pemberitahu an Pajak Teru tang yang selanju tnya disingkat SPPT
adalah su rat yang digu nakan u ntu k memberitahu kan besarnya Pajak Bu mi dan
Bangu nan Perkotaan yang teru tang
kepada Wajib Pajak.

20. Su rat Ketetapan Pajak Daerah Ku rang Bayar yang selanjutnya disingkat
SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya ju mlah pokok
pajak, ju mlah kredit pajak, ju mlah keku rangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi
administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

21. Su rat Ketetapan Pajak Daerah Ku rang Bayar Tambahan yang


selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah su rat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

22. Su rat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanju tnya disingkat
SKPDLB adalah su rat ketetapan pajak yang menentu kan ju mlah kelebihan
pembayaran pajak karena ju mlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang teru
tang atau seharusnya tidak
terutang.

23. Su rat Tagihan Pajak Daerah yang selanju tnya disingkat STPD adalah su
rat u ntu k melaku kan tagihan pajak dan/ atau sanksi
administratif berupa bunga dan/atau denda.

60
24. Banding adalah u paya hu ku m yang dapat dilaku kan oleh Wajib Pajak
atau penanggu ng pajak terhadap su atu kepu tu san yang dapat diaju kan banding
berdasarkan peratu ran peru ndang-undangan
perpajakan.

25. Pu tu san Banding adalah pu tu san badan peradilan pajak atas banding
terhadap Su rat Kepu tu san Keberatan yang diaju kan oleh Wajib Pajak.

26. Pemu ngu tan adalah su atu rangkaian kegiatan mu lai dari penghimpunan
data objek dan su bjek pajak, penentu an besarnya pajak yang teru tang sampai
kegiatan penagihan pajak kepada Wajib
Pajak serta pengawasan penyetorannya.
27. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentu
kan oleh Walikota u ntu k menampu ng selu ru h penerimaan daerah dan digu nakan
u ntu k membayar selu ru h pengelu aran
daerah.

28. Menara Telekomu nikasi yang selanju tnya disebu t Menara adalah
bangunan-bangu nan u ntu k kepentingan u mu m yang didirikan diatas tanah, atau
bangu nan yang meru pakan satu kesatu an konstru ksi dengan bangu nan gedu ng
yang dipergu nakan u ntu k
kepentingan u mu m yang stru ktu r fisiknya dapat beru pa rangka baja yang diikat
oleh beberapa simpu l atau berbentu k tu nggal tanpa simpu l, dimana fu ngsi, desain
dan konstru ksinya disesu aikan
sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi.

29. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpu n dan mengolah


data, keterangan, dan/ atau bu kti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan su atu standar pemeriksaan u ntu k mengu ji kepatuhan pemenu han
kewajiban perpajakan daerah dan/ atau u ntu k tu ju an lain dalam rangka
melaksanakan ketentu an peratu ran peru ndang-undangan
perpajakan daerah.

30. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian


tindakan yang dilakukan oleh Penyidik u ntu k mencari serta mengu mpu lkan bu kti
yang dengan bu kti itu membu at terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah
yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.

61
BAB II NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK

Pasal 2

Setiap Bu mi dan/ atau Bangu nan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan u ntu k perkotaan kecu ali
kawasan yang digunakan u ntu k kegiatan u saha perkebunan, perhutanan dan
pertambangan dipungu t pajak dengan nama Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan.
Pasal 3

(1) Objek Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan adalah Bu mi dan/ atau
Bangu nan yang dimiliki, diku asai dan/ atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan u ntu k perkotaan, kecu ali kawasan yang digu nakan u ntu k kegiatan u saha
perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.

(2) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :


a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik dan emplasemennya yang meru pakan su atu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. taman mewah;
g. tempat penampungan minyak, air dan gas, pipa minyak; dan h. menara.

(3) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bu mi dan Bangunan


adalah objek pajak yang :
a. digunakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digu nakan semata-mata u ntu k melayani kepentingan u mu m di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebu dayaan
nasional, yang tidak dimaksu dkan u ntu k memperoleh
keuntungan;
c. digu nakan u ntu k ku bu ran, peninggalan pu rbakala, atau yang
sejenis dengan itu;
d. meru pakan hu tan lindu ng, hu tan su aka alam, hu tan wisata, taman
nasional dan tanah negara yang belu m dibebani su atu

62
hak.

(4) Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar


Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Pasal 4

Su bjek Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempu nyai su atu hak atas Bu mi dan/ atau memperoleh manfaat
atas Bu mi, dan/ atau memiliki, mengu asai
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

Pasal 5

(1) Wajib Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempu nyai su atu hak atas Bumi dan/ atau memperoleh
manfaat atas Bu mi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

(2) Dalam hal atas Objek Pajak belu m jelas diketahu i Wajib Pajaknya,
Walikota dapat menetapkan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak.

(3) Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
memberikan keterangan secara tertu lis kepada Walikota
bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak dimaksud.

(4) Bila keterangan yang diaju kan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksu d
pada ayat (3) disetu ju i, maka Walikota membatalkan penetapan sebagai Wajib
Pajak sebagaimana dimaksu d pada ayat (2), dalam jangka waktu 1 (satu )
bu lan sejak diterimanya surat
keterangan dimaksud.

(5) Bila keterangan yang diaju kan itu tidak disetu ju i, maka Walikota
mengeluarkan keputusan penolakan dengan disertai alasan-
alasannya.

(6) Apabila setelah jangka waktu 1 (satu ) bu lan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Walikota tidak memberikan kepu
tu san, maka keterangan yang diaju kan itu dianggap disetu ju i dan Walikota segera
membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksu d pada
ayat (2).

BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA MENGHITUNG PAJAK

63
Pasal 6

(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah


NJOP.
(2) Besarnya NJ OP sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), ditetapkan setiap 3
(tiga) tahu n, kecu ali u ntuk Objek Pajak tertentu dapat
ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.

(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


ditetapkan dengan Keputusan Walikota.

Pasal 7

(1) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ditetapkan sebagai


berikut :
a. untuk NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar ru piah)
ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) per tahun;
b. u ntu k NJ OP diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar ru piah)
ditetapkan sebesar 0,2 % (nol koma dua persen) per tahun.

(2) Dalam hal pemanfaatan bu mi dan/ atau bangu nan ramah


lingkungan dan/ atau meru pakan bangu nan atau lingku ngan cagar bu daya, maka
dapat diberikan pengu rangan sebesar 50 % (lima pu lu h persen) dari tarif Pajak Bu
mi dan Bangunan Perkotaan sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), sehingga
menjadi sebagai
berikut :
a. untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,05 % (nol koma nol lima persen) per tahun;
b. u ntu k NJ OP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar ru piah)
ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) per tahun.

Pasal 8

Besaran pokok Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan yang terutang dihitu ng dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksu d dalam Pasal 7, dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksu d dalam Pasal 6 ayat (1), setelah diku rangi NJOP Tidak
Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4).
BAB IV WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 9

Pajak Bu mi dan Bangu nan Perkotaan terutang dipungut di wilayah

64
daerah.

BAB V MASA PAJAK

Pasal 10

(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.

(2) Saat yang menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan


objek pajak pada tanggal 1 Januari.

(3) Masa pajak dimulai tanggal 1 J anu ari dan


berakhir
31 Desember pada tahun berkenaan.

BAB VI PENDATAAN DAN PENETAPAN PAJAK

Pasal 11

(1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.

(2) SPOP sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), haru s diisi dengan jelas,
benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Walikota atau
Pejabat yang ditu nju k, selambat-lambatnya
30 (tiga pu lu h) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak
sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 12

(1) Berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),


Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPPT.
(2) Walikota atau Pejabat yang ditu nju k dapat mengelu arkan SKPD
dalam hal-hal, sebagai berikut :
a. apabila SPOP sebagaimana dimaksu d dalam Pasal 11 ayat (2), tidak
disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis
oleh Walikota atau Pejabat yang ditu nju k sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata ju
mlah pajak yang teru tang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitu ng
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

65
BAB VII PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu Tata Cara Pemungutan

Pasal 13

(1) Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dilarang diborongkan.

(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak teru tang berdasarkan
SPPT atau SKPD.

Pasal 14

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahu n sesu dah saat teru tangnya
pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan :
a. SKPDKB jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. SKPDN jika ju mlah pajak yang teru tang sama besarnya dengan ju mlah
kredit pajak atau pajak tidak teru tang dan tidak ada
kredit pajak.

(2) Jumlah keku rangan pajak yang teru tang dalam


SKPDKB
sebagaimana dimaksu d pada ayat (1) hu ru f a, dikenakan sanksi administratif
berupa bunga 2% (dua persen) setiap bulan dihitu ng dari pajak yang ku rang atau
terlambat dibayar u ntu k jangka waktu paling lama 24 (du a pu lu h empat) bu lan,
dihitu ng
sejak saat terutangnya pajak.
(3) J u mlah pajak yang teru tang dalam SKPDKB
sebagaimana
dimaksu d pada ayat (1) hu ru f a, dikenakan sanksi administrasi beru pa kenaikan
sebesar 25% (du a pu lu h lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi
administrasi beru pa bu nga sebesar 2% (du a persen) setiap bu lan, dihitu ng dari
pajak yang ku rang atau terlambat dibayar u ntu k jangka waktu paling lama 24 (du
a puluh
empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Pasal 15

(1) Tata cara penerbitan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDN sebagaimana


dimaksu d dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 14
ayat (1), akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

66
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPOP, SPPT,
SKPD, SKPDKB, SKPDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (1), akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.

Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak

Pasal 16

(1) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD jika :
a. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPOP terdapat keku rangan pembayaran
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga
dan/atau denda.

(2) J u mlah keku rangan pajak yang teru tang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administratif
beru pa bu nga sebesar 2% (du a persen) setiap
bu lan u ntu k paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terutangnya pajak.

(3) SKPD yang tidak atau ku rang dibayar setelah jatu h tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dan ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 17

(1) Pajak yang teru tang berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 12 ayat (1), haru s dilu nasi selambat-lambatnya
6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.

(2) SKPD, SKPDKB, STPD, Su rat Kepu tu san Pembetu lan, Su rat Kepu tu
san Keberatan dan Pu tu san Banding, yang menyebabkan ju mlah pajak yang haru
s dibayar bertambah meru pakan dasar penagihan pajak dan haru s dilu nasi dalam
jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(3) Pajak yang teru tang sebagaiman a dimaksu d pada ayat (1) dan ayat
(2), pada saat jatu h tempo pembayarannya tidak dibayar atau ku rang dibayar,
dikenakan sanksi administratif beru pa bu nga sebesar 2% (du a persen) sebu lan

67
yang dihitu ng dari saat jatu h tempo sampai dengan hari pembayaran u ntu k
jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(4) Walikota atau Pejabat yang ditu nju k atas permohonan Wajib Pajak
setelah memenu hi persyaratan yang ditentu kan dapat memberikan persetu ju an
kepada Wajib Pajak u ntu k mengangsu r atau menu nda pembayaran pajak, dengan
dikenakan bu nga sebesar 2% (du a
persen) setiap bulan.

(5) Pajak yang teru tang dibayar di Kas Umu m Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Walikota.

(6) Ketentuan mengenai tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota, tata
cara pembayaran, penyetoran, angsu ran dan penu ndaan pembayaran pajak, akan
diatur lebih lanju t dengan Peraturan Walikota.

Pasal 18

(1) Pajak yang teru tang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, STPD, Su rat
Kepu tu san Pembetu lan, Su rat Kepu tu san Keberatan dan Putusan Banding yang
tidak atau ku rang dibayar oleh Wajib Pajak
pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

(2) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Keberatan dan Banding

Pasal 19

(1) Wajib Pajak dapat mengaju kan keberatan hanya kepada Walikota
atau Pejabat yang ditunjuk atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDLB; dan
e. SKPDN.

(2) Keberatan diajukan secara tertu lis dalam Bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas.

(3) Keberatan haru s diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bu lan
sejak tanggal su rat sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), kecu ali jika Wajib Pajak
dapat menunju kkan bahwa jangka waktu

68
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(4) Keberatan dapat diaju kan apabila Wajib Pajak telah membayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana


dimaksu d pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), tidak
dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(6) Tanda penerimaan Su rat Keberatan yang diberikan oleh Walikota atau
Pejabat yang ditu nju k atau tanda pengiriman Su rat Keberatan melalu i su rat pos
tercatat sebagai tanda bu kti penerimaan Su rat Keberatan.

Pasal 20

(1) Walikota atau Pejabat yang ditu nju k dalam jangka waktu paling lama 12
(du a belas) bu lan sejak tanggal Su rat Keberatan diterima,
harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Walikota atau Pejabat yang ditu nju k atas keberatan dapat beru
pa menerima selu ru hnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya pajak yang terutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), telah lewat
dan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan
yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 21

Ketentu an mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan,


akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 22

(1) Wajib Pajak dapat mengaju kan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak terhadap kepu tu san mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksu d pada ayat


(1),
diaju kan secara tertu lis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam
jangka waktu 3 (tiga) bu lan sejak kepu tu san diterima, dilampiri salinan dari surat
keputusan keberatan
tersebut.

69
(3) Pengaju an permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar
pajak sampai dengan 1 (satu ) bu lan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding.

Pasal 23

(1) J ika pengaju an keberatan atau permohonan banding dikabu lkan sebagian
atau selu ru hnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bu nga sebesar 2% (dua persen) setiap bu lan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat
bulan).

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak
bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian,
Wajib Pajak dikenai sanksi administratif beru pa denda sebesar 50% (lima pu lu h
persen) dari ju mlah pajak berdasarkan kepu tusan keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelu m
mengajukan keberatan.

(4) Dalam hal Wajib Pajak mengaju kan permohonan banding, sanksi
administratif beru pa denda sebesar 50% (lima pu lu h persen)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian,
Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
100% (seratu s persen) dari ju mlah pajak berdasarkan Pu tu san Banding diku rangi
dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.

Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau
Pengurangan Sanksi Administratif

Pasal 24

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota atau
Pejabat yang ditu nju k dapat membetu lkan SPPT, SKPD, SKPDKB, STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tu lis dan/
atau kesalahan hitu ng dan/ atau kekeliru an penerapan ketentu an tertentu dalam
peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.

70
(2) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat :
a. mengu rangkan atau menghapu skan sanksi administratif beru pa bu nga,
denda dan kenaikan pajak yang teru tang menu ru t peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebu t dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
e. mengu rangkan atau membatalkan ketetapan pajak teru tang dalam hal
objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain
yang luar biasa;
f. mengu rangkan ketetapan pajak teru tang berdasarkan pertimbangan
kemampu an membayar Wajib Pajak atau kondisi
tertentu objek pajak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan
sanksi administratif dan pengu rangan atau
pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksu d pada ayat (2), akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.
BAB VIII

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 25

(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengaju kan
permohonan pengembalian kepada Walikota atau Pejabat yang
ditunjuk.

(2) Walikota atau Pejabat yang ditu nju k dalam jangka waktu paling lama 12
(du a belas) bu lan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), harus memberikan keputusan.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), telah
dilampaui dan Walikota atau Pejabat yang ditu nju k tidak memberikan su atu kepu
tu san, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabu lkan dan
SKPDLB haru s
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

71
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), langsu ng diperhitungkan
untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak
tersebut.

(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksu d pada


ayat (1), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB.

(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2


(du a) bulan, Walikota atau Pejabat yang ditu nju k memberikan imbalan bu nga
sebesar 2% (du a persen) setiap bu lan
atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.

(7) Ketentuan lebih lanju t mengenai tata cara pengembalian kelebihan


pembayaran pajak sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

72
(1)
BAB IX
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 26

Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedalu warsa setelah melampau i
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat teru tangnya pajak, kecu ali apabila Wajib
Pajak melaku kan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah.

(2) Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksu d pada


ayat (1), tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa; atau
b. ada pengaku an u tang pajak dari Wajib Pajak, baik langsu ng
maupun tidak langsung.

(3) Dalam hal diterbitkan Su rat Tegu ran dan Su rat Paksa sebagaimana
dimaksu d pada ayat (2) hu ru f a, kedalu warsa penagihan dihitu ng
sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.

(4) Pengaku an u tang pajak secara langsu ng sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) hu ru f b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya
menyatakan masih mempu nyai u tang Pajak dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

(5) Pengaku an u tang secara tidak langsu ng sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) hu ru f b, dapat diketahu i dari pengaju an permohonan angsu ran atau penu
ndaan pembayaran dan permohonan keberatan
oleh Wajib Pajak.

Pasal 27

(1) Piu tang Pajak yang tidak mu ngkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.

(2) Walikota atau Pejabat yang ditu nju k menetapkan Kepu tu san
Penghapusan Piutang Pajak Daerah yang su dah kedaluwarsa

73
(1)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentu an lebih lanju t mengenai tata cara penghapu san piutang Pajak
yang su dah kedaluwarsa, akan diatur lebih lanju t dengan
Peraturan Walikota.
BAB X PEMERIKSAAN

Pasal 28

Walikota atau Pejabat yang ditu nju k berwenang melaku kan pemeriksaan untuk
mengu ji kepatu han pemenu han kewajiban perpajakan daerah dalam rangka
melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.

(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :


a. memperlihatkan dan/ atau meminjamkan dokumen yang menjadi dasarnya
dan doku men lain yang berhu bu ngan dengan Objek
Pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dianggap perlu dan memberikan bantu an gu na kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.

(3) Apabila pada saat pemeriksaan, Wajib Pajak tidak melaksanakan


kewajiban sebagaimana dimaksu d pada ayat (2), maka pajak
terutang ditetapkan secara jabatan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan Pajak, akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.

BAB XI INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 29

(1) Instansi yang melaksanakan pemu ngu tan Pajak Bu mi dan Bangunan
Perkotaan dapat diberi insentif atas dasar pencapaian
kinerja tertentu.

74
(1)
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksu d pada ayat
(1),
ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3) Ketentu an mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif


sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), akan diatur lebih lanju t dengan Peraturan
Walikota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII KETENTUAN KHUSUS

Pasal 30

Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesu atu yang
diketahu i atau diberitahu kan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
atau pekerjaannya u ntu k menjalankan
ketentuan peraturan perundang-u ndangan perpajakan daerah.

(2) Larangan sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), berlaku ju ga terhadap


tenaga ahli yang ditu nju k oleh Walikota untu k membantu dalam pelaksanaan
ketentu an peratu ran peru ndang-undangan
perpajakan daerah.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2), adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam
sidang pengadilan;
b. Pejabat dan/ atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk
memberikan keterangan kepada Pejabat lembaga negara
atau instansi Pemerintah yang berwenang melaku kan
pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.

(4) Untu k kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberi izin tertu lis
kepada Pejabat sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksu d pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertu
lis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.

75
(1)
(5) Untu k kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata, atas permintaan hakim sesu ai dengan Hu ku m Acara Pidana dan Hukum
Acara Perdata, Walikota dapat
memberi izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), u ntu k memberikan dan
memperlihatkan bu kti tertu lis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(6) Permintaan hakim sebagaiman a dimaksu d pada ayat (5), haru s menyebu
tkan nama tersangka atau nama tergu gat, keterangan
yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan
dengan keterangan yang diminta.
BAB XIII KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 31

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi


wewenang khu su s sebagai Penyidik u ntu k
melaku kan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah
sebagaimana dimaksu d dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), yaitu Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat
yang berwenang sesu ai dengan ketentu an
peraturan perundang-undangan.

(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), terdiri


dari :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan
atau laporan tersebu t
menjadi lebih lengkap dan jelas;

76
(1)
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehu bu ngan dengan
tindak pidana perpajakan
Daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehu
bu ngan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
Daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain
berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
e. melaku kan penggeledahan u ntu k mendapatkan bahan bu kti pembu ku
an, pencatatan, dan doku men lain, serta melaku kan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantu an tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tu gas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
g. menyu ru h berhenti dan/ atau melarang seseorang meninggalkan ru angan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/ atau dokumen yang
dibawa;

77
(1)

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;


i. memanggil orang u ntu k didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melaku kan tindakan yang perlu u ntu k kelancaraan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan Daerah sesu ai dengan
ketentuan peraturan perundang-u ndangan.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksu d pada ayat (1), memberitahu kan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penu ntu t Umu m melalu i
Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Repu blik Indonesia, sesu ai dengan ketentu an yang
diatu r
dalam Undang-Undang Huku m Acara Pidana.

BAB XIV KETENTUAN PIDANA

Pasal 32

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPOP atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga meru gikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPOP atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga meru gikan keu angan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (du a) tahu n atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pasal 33

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampau i jangka waktu 5
(lima) tahu n sejak saat teru tangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya
Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 34

(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditu nju k oleh Walikota yang karena
kealpaanya tidak memenu hi kewajiban merahasiakan hal

78
(1)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana ku
ru ngan paling lama 1 (satu) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah).

(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditu nju k oleh Walikota yang dengan sengaja
tidak memenu hi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksu d dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), dipidana
dengan pidana ku ru ngan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Penu ntu tan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksu d pada ayat (1) dan
ayat (2), hanya dilaku kan atas pengadu an orang yang
kerahasiaannya dilanggar.

(4) Tu ntu tan pidana sebagaimana dimaksu d pada ayat (1) dan ayat (2), sesu ai
dengan sifatnya adalah menyangku t kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku
Wajib Pajak, karena itu dijadikan
tindak pidana pengaduan.

Pasal 35

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2), merupakan penerimaan negara.

BAB XV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36

Hal-hal yang belu m cu ku p diatu r dalam Peratu ran Daerah ini, sepanjang mengenai
pelaksanaannya akan diatu r lebih lanju t dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 37

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengu ndangan Peratu ran Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Malang.

Ditetapkan di Malang pada tanggal 30


Nopember 2011

WALIKOTA MALANG,

79
(1)

ttd.

Drs. PENI SUPARTO, M.AP

Diundangkan di Malang
pada tanggal 7 Desember 2011

SEKRETARIS DAERAH KOTA MALANG,

ttd.

Dr. Drs. H. SHOFWAN, SH, M.Si


Pembina Utama Madya
NIP. 19580415 198403 1 012

LEMBARAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2011 NOMOR 4

Salinan sesuai aslinya


KEPALA BAGIAN HUKUM,

ttd.

DWI RAHAYU, SH, M.Hum.


Pembina
NIP. 19710407 199603 2 003

80
(1)

81

Anda mungkin juga menyukai