BAHAN AJAR
PBB Sektor P3
DAFTAR ISI
iiDTSD Pajak II i
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN
DAN PERTAMBANGAN
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
PENDAHULUAN
Tanah dan bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang ekonomi yang
berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara dan penduduknya. Negara
sebagai organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara
demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur
tata hidup dan pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat
tinggal. Untuk itu sudah sejak zaman kerajaan sampai dengan berdirinya Negara,
pendayagunaan tanah ini diatur oleh para penguasa atau Negara. Salah satu pengaturan
pendayagunaan tanah disamping melalui Undang-undang Pokok Peraturan Agraria, Land
Use dan Land Reform adalah melalui Perpajakan Atas Tanah.
Sebelum tahun 1985 disadari bahwa saat itu berlaku sistem perpajakan atas tanah dan
bangunan khususnya yang menyangkut pajak kebendaan dan pajak kekayaan yang
diciptakan sejak zaman Belanda, telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak
dengan pajak lainnya sehingga menyebabkan pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai
dengan amanat yang terkandung dalam GBHN perlu diadakan pembaharuan sistem
perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib
pajak dalam melaksanakan kewajibannya serta memenuhi haknya di bidang perpajakan
sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan
serta meratakan pendapatan masyarakat.
A. DASAR HUKUM
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kepada Undang-Undang No.12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah disempurnakan dengan Undang-
Undang No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UndangUndang No.12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya di dalam tulisan ini disebut dengan
UU PBB.
B. OBJEK DAN SUBJEK
Objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Menurut UU PBB, Bumi dapat diartikan
sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan. Di dalam memori penjelasan UU PBB yang termasuk bangunan adalah :
• jalan lingkungan dalam suatu komplek bangunan
• jalan tol
• kolam renang
• pagar mewah , taman mewah
• tempat olah raga
• galangan kapal , dermaga
• tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
• fasilitas lain yang memberi manfaat
Di dalam UU PBB juga diatur beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB yaitu:
1. objek yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan
2. Objek yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis
dengan itu
3. Objek yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah negara yang belum
dibebani suatu hak
4. Objek yang dipergunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan azas
perlakuan timbal balik
5. Objek yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Kuangan
Subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak tersebut dikenakan kewajiban
membayar pajak maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak.
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
C. TARIF
PBB mempunyai tarif tunggal (single tarif) sebesar 0,5% yang berlaku sejak UU PBB tahun
1985 sampai dengan sekarang.
D. DASAR PENGENAAN
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
mempunyai pengertian sebagai berikut: “harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual
beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai
perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
Berdasarkan pengertian NJOP tersebut terdapat 3(tiga) pendekatan penilaian yang dapat
dilakukan untuk menentukan besarnya NJOP yaitu :
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek
(properti) dengan jalan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain yang
sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan ini dapat juga disebut dengan
Metode Perbandingan Harga.
2. Pendekatan Biaya ( Cost Approach ) yaitu menentukan nilai suatu objek (properti) dengan
jalan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut.
Biaya yang diperhitungkan adalah biaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan
penyusutan yang ada.
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (properti)
dengan jalan mengkapitalisasikan pendapatan bersih dari objek tersebut dengan suatu
tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini dapat juga disebut Pendekatan
Kapitalisasi.
NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3(tiga) tahun, kecuali daerah tertentu
setiap tahun sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi setempat. Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010, klasifikasi bumi(tanah) dan
bangunan terbagi atas dua bagian besar yaitu pertama, untuk sektor perdesaan dan
perkotaan dan kedua adalah untuk sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
Untuk sektor perdesaan dan perkotaan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 100 kelas sedangkan
bangunan terdiri dari 40 kelas, sedangkan untuk sektor perkebunan, perhutanan dan
petambangan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 200 kelas sedangkan bangunan terdiri dari 100
kelas.
Yang menjadi dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu
persentase tertentu dari NJOP. Berdasarkan UU PBB, NJKP ditentukan serendah-
rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 ditetapkan bahwa untuk objek pajak
dengan nilai jual satu milyar atau lebih serta objek pajak sektor perkebunan, perhutanan
dan pertambangan NJKPnya sebesar 40% dari NJOP dan untuk objek pajak lainnya
sebesar 20% dari NJOP.
Di dalam pengenaan PBB terdapat suatu batas nilai yang tidak dikenakan pajak yang
disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan No: 23/PMK.03/2014 tanggal 3 Pebruari 2014 ditetapkan batas NJOPTKP
sebesar Rp12 juta per Wajib Pajak.
Dari beberapa parameter yang telah disebutkan di atas maka besarnya PBB terutang dapat
dihitung dengan menggunakan formula:
A. TATACARA PEMBAYARAN
Wajib Pajak langsung melakukan pembayaran ke Bank Tempat Pembayaran (Bank TP)
atau Kantor Pos Tempat Pembayaran (Kantor Pos TP) dengan membawa SPPT asli.
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Setelah pembayaran WP akan memperoleh STTS asli yang telah diregister oleh Pejabat
Bank/Kantor Pos TP.
2. Wajib Pajak dapat mengirimkan uang (transfer) melalui Bank maupun Kantor Pos ke
rekening Kas Negara qq PBB.
3. Untuk Wajib Pajak sektor perdesaan dan perkotaan dapat membayar melalui petugas
pemungut yang ditunjuk. Dari petugas, Wajib Pajak akan menerima Tanda Terima
Sementara (TTS). Petugas akan menyetorkan uang yang diterimanya dari WP ke
Bank/Kantor Pos TP dan menerima STTS asli yang kemudian harus dikirimkannya
(dikembalikan) kepada Wajib Pajak yang telah membayar. Disamping itu untuk wajib
pajak sektor perdesaan dan perkotaan juga dapat melakukan pembayaran melalui
jaringan ATM yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam pembayaran
PBB
B. TATACARA PENAGIHAN
Jatuh tempo SPPT adalah 6 (enam) bulan. Pembayaran setelah lewat jatuh tempo WP akan
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan maksimum 24 bulan
(48%). Setelah jatuh tempo dan WP belum juga membayar PBB akan dikeluarkan Surat
Tagihan Pajak (STP) yang jatuh temponya 1(satu) bulan. Kemudian berturut-turut akan
dikeluarkan Surat Paksa (SP), Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dan akhirnya
barang sitaan akan dilelang untuk membayar PBB (Tata Urutan Penagihan diatur lebih
lanjut dalam Undang Undang Penagihan Pajak).
1. SPOP tidak kembali. SPOP yang dikirim ke Wajib Pajak harus dikembalikan dalam
waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterima oleh WP. Lewat waktu akan ditetapkan
secara jabatan dengan mengeluarkan SKP. Jumlah ketetapan pajak dalam SKP adalah
jumlah pokok pajak (secara jabatan) ditambah denda administrasi sebesar 25%. Jatuh
tempo SKP adalah 1(satu) bulan. Lewat jatuh tempo akan diberlakukan UU Penagihan
Pajak.
2. SPOP dikembalikan oleh WP kemudian diproses menjadi SPPT. Setelah terbit SPPT
terdapat data baru hasil pemeriksaan SPOP yang menyebabkan Pajak Terutang tambah
besar. Atas kekurangan pajak tersebut akan diterbitkan SKP yang jumlahnya adalah
sebesar kekurangan ditambah denda administrasi 25% dari kekurangan tersebut.
SPPT, SKP dan STP adalah merupakan dasar penagihan PBB (Pasal 12 UU PBB).
A. KEBERATAN PBB
2. Keberatan diajukan dalam waktu 3(tiga) bulan setelah terima SPPT/SKP, kecuali
apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
4. Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima, Direktorat Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas pengajuan
keberatan.
5. Apabila Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan maka pengajuan keberatan wajib pajak dianggap diterima.
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
B. BANDING PBB
C. PENGURANGAN PBB
a. Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak atau sebab-sebab tertentu lainnya yaitu :
1). Objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang
hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh
wajib pajak orang pribadi.
2). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan..
3). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata dari pensiunan, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi..
4). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit
dipenuhi.
5). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk
janda/dudanya.
6). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak
badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang
tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
b. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam seperti
gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya serta sebab-
sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama
tanaman.
b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Hasil penerimaan PBB yang diterima oleh Bank/Kantor Pos TP dari para WP dalam jangka
waktu satu minggu (setiap hari Jum’at) harus dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos Persepsi.
Oleh Bank/Kantor Pos Persepsi kemudian dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos Operasional III
juga pada setiap hari Jum’at. Kemudian oleh Bank/Kantor Pos Operasional III pelimpahan
penerimaan PBB dari Bank/Kantor Pos Persepsi tersebut pada setiap hari Jum’at
dibagikan kepada yang berhak menerimanya yaitu :
• 10 % untuk bagian Pemerintah Pusat
• 9 % untuk bagian Biaya Pemungutan
• 16,2 % untuk bagian Pemerintah Propinsi
• 64,8 % untuk bagian Pemerintah Kabupaten/Kota
Sejak tahun anggaran 1994/1995 bagian Pemerintah Pusat sebesar 10% dilimpahkan
kembali kepada daerah Kabupaten/Kota dengan imbangan sbb :
• 6,5 % dibagikan merata keseluruh daerah Kabupaten/Kota
• 3,5 % dibagikan sebagai insentif kepada daerah Kabupaten/Kota yang mengalami
surplus rencana penerimaan sektor pedesaan dan perkotaan.
B. KETENTUAN PIDANA
Apabila WP :
1. Karena alpa/lupa :
• tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada DJP;
• menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau
melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali
pajak yang terhutang.
2. Karena sengaja :
• tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP;
• menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau
melampirkan keterangan yang tidak benar;
• memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar;
• tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
• tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak
yang terhutang.
Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan, yang melakukan tindakan sebagaimana
tersebut di atas, dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 1 (satu) tahun atau
denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Ancaman pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana
di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesai menjalani
sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
A. SEKTOR PERKEBUNAN
Perkebunan adalah usaha pertanian yang diusahakan dengan pengurusan yang teratur
dan sistematik, penjagaan tanaman yang rapi, kawasan tanaman yang luas, pengeluaran
produk yang teratur dan mengikuti jadual (Abd.Rachman, 1992: 109).
Sebagaimana halnya dengan sektor pedesaan dan perkotaan, pendataan untuk sektor
perkebunan juga menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan.
SPOP sektor perkebunan ini dikirim ke wajib pajak yaitu perusahaan-perusahaan yang
11
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
bergerak di bidang perkebunan. Setelah diisi secara jelas, benar, lengkap dan
ditandatangani oleh salah seorang dari direksi perkebunan, SPOP tersebut kemudian
dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama dengan dilampiri data pendukung yang
dibutuhkan berupa fotokopi surat dari Dinas Perkebunan tentang izin (hak) pengelolaan
perkebunan ataupun fotokopi Hak Guna Usaha dari Badan Pertanahan Nasional. Untuk
menguji kebenaran data yang tercantum di dalam SPOP Perkebunan tersebut, Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dapat menggunakan data dari instansi terkait yaitu Dinas
Perkebunan setempat.
Dalam penentuan SIT ini terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui sebagai berikut:
Tanaman berumur panjang adalah tanaman yang berumur lebih dari satu tahun dan
pemungutan hasilnya dilakukan lebih dari satu kali dan tidak dibongkar sekali panen.
Tanaman berumur pendek adalah tanaman yang berumur sampai dengan satu tahun dan
pemungutan hasilnya dilakukan satu kali dan dibongkar sekali panen.
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) adalah tanaman pada fase belum menghasilkan yang
dimulai dari umur tanaman satu tahun (TBM1) dan seterusnya sampai dengan tahun
terakhir tanaman tersebut belum menghasilkan (TBMn) yang rentang fasenya tergantung
masing-masing jenis tanaman.
Tanaman Menghasilkan (TM) adalah tanaman pada fase menghasilkan yang dimulai dari
tahun pertama tanaman menghasilkan (TM1) sampai dengan tahun terakhir tanaman
tersebut menghasilkan (TMn) yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis
tanaman.
Satuan Biaya Tanam (SBT) adalah satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun
berdasarkan umur dan jenis tanaman.
Satuan Biaya Pembangunan Kebun (SBPK) adalah satuan biaya tahunan perkegiatan yang
meliputi kegiatan pembukaan lahan dan penanaman yang selanjutnya disebut P0,
pemeliharaan tahun pertama yang disebut P1, dan seterusnya sampai dengan
pemeliharaan tahun terakhir sebelum tanaman tersebut menghasilkan yang disebut Pn
untuk setiap hektar perluasan kebun disuatu wilayah yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. SBPK yang diterbitkan ini dikelompokkan
menjadi 6 (enam) wilayah, yaitu:
1. Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali
2. Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, Bangka Belitung
3. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Kepulauan Riau
4. Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
5. Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur
6. Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat
Secara empiris besarnya biaya tenaga kerja, bahan dan alat adalah sebesar 71% dari biaya
dalam SBPK, sedangkan sisanya sebesar 29% merupakan biaya infrastruktur, sertifikasi
lahan, management fee dan administrasi. Contoh SBPK tahun 2009 seperti tabel berikut.
13
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Indeks Biaya Tanaman yang selanjutnya disebut IBT adalah angka yang digunakan
sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM dan disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana tabel berikut.
3. Rincian fase TBM dan TM sesuai umur tanaman masing-masing jenis tanaman
adalah seperti tabel berikut.
a. SBT pada fase TBM1 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan
P0 dan kegiatan P1
b. SBT pada fase TBM2 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan
P2 dan seterusnya
15
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
c. SBPK pada angka 1) dan angka 2) di atas adalah SBPK untuk tahun
sebelum tahun pajak berjalan.
d. Dalam hal SBPK pada angka 3) di atas tidak diterbitkan, maka SBT
pada fase TBM tahun pajak berjalan ditentukan berdasarkan
penyesuaian SBT pada fase TBM tahun pajak sebelumnya dengan
tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut:
SBTt = SBTt-1 x ( 1 + i )
dimana:
SBTt = SBT tahun pajak berjalan
SBTt-1 = SBT tahun pajak sebelumnya i = tingkat
diskonto yang ditetapkan sebesar 10%
2. SBT pada fase TM ditetapkan sebesar SBT pada fase TBM terakhir (TBMn)
dikalikan dengan IBT pada fase TM tersebut.
Contoh perhitungan SIT Kelapa Sawit tahun 2011 dan penjelasannya adalah sebagai
berikut.
Penjelasan:
Kolom 1: Fase tanaman dikelompokkan menjadi fase TBM dan fase TM.
Fase TBM terdiri dari TBM1 (kegiatan P0 dan P1), TBM2 (kegiatan
P2) dan seterusnya. Fase TM terdiri dari TM1 sampai dengan
TM22
Kolom 2: Umur tanaman kelapa sawit mulai dari umur 1 tahun sampai 25
tahun
Kolom 3: IBT yang digunakan sebagai dasar perhitungan SBT pada fase
TM
Kolom 4: SBPK per ha yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan
pada tahun sebelum tahun pajak berjalan pada fase TBM.
Kolom 5: SBT per ha pada fase TBM untuk tahun pajak berjalan.
Perhitungan SBT untuk fase TBM sebagai berikut:
17
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
g. Dan seterusnya
Penghitungan SIT untuk tanaman berumur pendek ditentukan sebesar biaya pengolahan
tanah, penanaman, dan pemeliharaan untuk tanaman tersebut.
Di dalam suatu wilayah perkebunan terdapat beberapa jenis areal yaitu: a) areal produktif,
b) areal belum produktif, c) areal emplasemen dan d) areal lainnya.
Pengertian dari masing-masing areal dan penentuan NJOPnya adalah sebagai berikut:
1. Areal Produktif adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang telah
ditanami dengan komoditas perkebunan baik telah menghasilkan ataupun belum
menghasilkan. Nilai tanah untuk areal ini merupakan penjumlahan dari Nilai Dasar
Tanah dengan Standar Investasi Tanaman. Nilai Dasar Tanah diperoleh dari
perkalian luas tanah areal produktif dengan nilai dasar tanah areal produktif per
meter persegi. Nilai dasar tanah areal produktif merupakan hasil penilaian di
lapangan yang dihitung dalam satuan rupiah per meter persegi sedangkan Standar
Investasi Tanamannya dihitung dalam satuan rupiah per hektar.
2. Areal Belum Produktif merupakan suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan
yang terdiri dari areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami dan areal yang
belum diolah. Nilai tanah untuk areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami
merupakan perkalian luas tanah areal sudah diolah tetapi belum ditanami dengan
nilai dasar tanah areal sudah diolah tetapi belum ditanami per meter persegi
termasuk di dalamnya biaya pembukaan lahan, sedangkan nilai tanah untuk areal
yang belum diolah merupakan perkalian luas tanah belum diolah dengan nilai dasar
tanah areal belum diolah per meter persegi.
3. Areal Emplasemen adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang
diatasnya terdapat bangunan-bangunan dan sarana pelengkap lainnya, seperti
perumahan karyawan, kantor perusahaan, gudang, dan lain-lain. Nilai tanah untuk
areal emplasemen ini adalah merupakan perkalian luas tanah areal emplasemen
dengan nilai dasar tanah emplasemen per meter persegi termasuk biaya
pematangan tanah.
4. Areal Lainnya terdiri dari areal tidak produktif/tidak dapat dimanfaatkan (seperti
rawa, cadas, dan jurang) dan areal jalan yang meliputi jalan utama yang terletak di
dalam/di luar areal perkebunan, jalan produksi yang berfungsi untuk pengumpulan
hasil dan jalan kontrol yang berfungsi untuk pengawasan areal perkebunan. Nilai
tanah untuk areal tidak produktif merupakan perkalian luas tanah areal tidak
produktif dengan nilai dasar tanah areal tidak produktif per meter persegi,
sedangkan nilai tanah areal jalan merupakan perkalian luas tanah areal jalan
dengan nilai dasar tanah areal jalan per meter persegi termasuk di dalamnya biaya
pematangan tanah.
Perhitungan nilai tanah per meter persegi suatu areal perkebunan adalah dengan jalan
membagi nilai tanah seluruh areal dengan luas tanah seluruh areal. Hasil perhitungan ini
yang merupakan nilai tanah per meter persegi suatu areal kebun kemudian dikonversi ke
dalam Tabel Klasifikasi Tanah untuk menentukan NJOP per meter persegi dari areal
perkebunan tersebut sebagai dasar untuk menghitung PBB terutang.1
PT.Sawit Seberang, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah Sumatera Utara
memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari tanah dan bangunan dengan rincian sebagai
berikut :
A. Tanah
1. Areal kebun :
a. Usia tanaman 2 tahun : 100 Ha, Nilai Dasar Tanah (NDT) = Rp1.700,-
/ M2. SIT (TBM2) : Rp22.966.086,- per Ha
b. Tanaman sudah menghasilkan : 300 Ha, NDT = Rp1.700,-/M2
S I T ( TM1 ) : Rp35.714.709,- per Ha
2. Areal emplasemen :
1Pola perhitungan seperti ini menimbulkan bias terhadap nilai yang sebenarnya dari masingmasing areal,
karena kemungkinan terdapat perbedaan nilai tanah yang sangat signifikan dari masing-masing areal.
Sebaiknya digunakan perhitungan masing-masing nilai tanah di dalam suatu areal langsung dikonversi ke
Tabel Klasifikasi.
19
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
B. Bangunan :
a. Kantor : 500 M2 , Nilai Bangunan = Rp700.000,- / M2
b. Gudang : 1.000 M2, Nilai Bangunan = Rp505.000,- / M2
c. Pabrik : 4.000 M2 , Nilai Bangunan = Rp365.000,- / M2 Hitung PBB atas
Jawaban:
A. Nilai Tanah:
1. Areal Kebun :
a. Usia tanaman 2 tahun : 100 x 10.000 x Rp1.700 = Rp 1.700.000.000,-
SIT (TBM2): 100 x Rp22.966.086,- = Rp 2.296.608.600
b. Tanaman sdh menghasilkan : 300 x 10.000 x Rp1.700= Rp 5.100.000.000,- SIT
(TM1): 300 x Rp35.714.709,-=
Rp10.714.412.700,-
2. Areal Emplasemen :
a. Kantor : 0,5 x 10.000 x Rp14.000,- = Rp 70.000.000,-
b. b. Gudang : 1 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 100.000.000,-
c. c. Pabrik : 2 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 200.000.000,-
Nilai Tanah ( 1 + 2 ) = Rp20.181.021.300,-
Nilai Tanah/M2 = Rp20.181.021.300/4.035.000 = Rp5.001,49/M2
Hasil konversi : Kelas 161 = Rp5.000,- /M2
NJOP Tanah seluruhnya = 4.035.000 x Rp5.000 = Rp20.175.000.000,-
B. Nilai Bangunan :
a. Kantor : 500 x Rp700.000,- = Rp 350.000.000,-
b. Gudang : 1.000 x Rp505.000,- = Rp 505.000.000,-
c. Pabrik : 4.000 x Rp365.000,- = Rp 1.460.000.000,- Nilai
Bangunan seluruhnya = Rp 2.315.000.000,-
NJOPTKP = Rp 10.000.000,-
B. SEKTOR PERHUTANAN
Eksploitasi hutan di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem konsesi yang terdiri
dari beberapa tipe yaitu (Wahyu, 2003: 223):
Berdasarkan penguasaannya hutan di Indonesia dapat dibagi dalam 3(tiga) wilayah yaitu,
wilayah hutan negara, wilayah pengusahaan hutan , dan wilayah budidaya hutan. Wilayah
hutan Negara jelas belum dikenakan PBB karena merupakan milik Negara yang belum
dibebani suatu hak diatasnya. Sedangkan wilayah pengusahaan hutan dan wilayah
budidaya hutan sudah dikenakan PBB. Disamping itu berdasarkan kemanfaatannya, hutan
dapat dibagi atas hutan produksi, hutan tanaman, dan hutan alam.
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan, sedangkan hutan tanaman adalah hutan produksi yang dibangun dan dimanfaatkan
melalui serangkaian kegiatan berupa penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan,
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran
hasil hutan. Hutan alam merupakan hutan produksi yang di dalamnya telah bertumbuhan
pohon-pohon alami dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa pemanenan
atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran
hasil hutan.
Pajak Nomor PER-36/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011 tentang Pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan Sektor Perhutanan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
21
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
89/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011. Berdasarkan peraturan tersebut di atas, objek pajak
PBB perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan. Objek pajak bumi di dalam sektor
perhutanan terdiri dari areal produktif, areal belum produktif, areal emplasemen, dan areal
lain.
Areal produktif adalah merupakan areal hutan yang telah ditanami pada hutan tanaman,
atau areal blok tebangan pada hutan alam. Areal belum produktif merupakan areal yang
sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman, atau areal hutan yang dapat
ditebang selain blok tebangan pada hutan alam. Areal emplasemen adalah areal yang
digunakan untuk berdirinya bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan
termasuk areal jalan yang diperkeras, sedangkan yang dimaksud areal lain adalah areal
hutan selain dari areal produktif, areal belum produktif, dan areal emplasemen.
Sebagaimana halnya dengan sektor perkebunan, pendataan untuk sektor perhutanan juga
menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran SPOP (LSPOP)
Sektor Perhutanan. SPOP dan LSPOP sektor Perhutanan ini dikirim ke wajib pajak yaitu
perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perhutanan. Setelah diisi secara jelas,
benar, lengkap dan ditandatangani SPOP dan LSPOP tersebut kemudian dikirim ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dengan dilampiri data pendukung yang dibutuhkan berupa
fotokopi surat-surat yang berhubungan dengan masalah perhutanan dari instansi terkait
yaitu Dinas Kehutanan atau instansi lainnya yang mengeluarkan izin usaha di bidang
kehutanan.
1. Nilai tanah untuk hutan tanaman ditentukan sebesar nilai dasar tanah, kecuali untuk
areal produktif ditambah dengan Standar Investasi Tanaman (SIT). Nilai dasar tanah
diperoleh melalui proses penilaian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
sedangkan SIT adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang
diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
Nilai tanah per meter persegi dihitung dengan jalan membagi nilai tanah seluruh
areal perhutanan dengan luas seluruh areal perhutanan, kemudian dikonversi ke
dalam tabel klasifikasi sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor PER-
150/PMK.03/2010 untuk memperoleh NJOP per meter persegi areal tanah
perhutanan.
2. Nilai tanah untuk hutan alam ditentukan sebesar nilai dasar tanah, kecuali untuk
areal produktif sebesar perkalian pendapatan bersih setahun dengan Angka
Kapitalisasi. Pendapatan bersih setahun ditentukan sebesar pendapatan kotor
(jumlah produksi kayu dan bukan kayu dikalikan harga satuan produksi) setahun
dikurangi Biaya Produksi setahun, sebelum tahun pajak. Biaya produksi setahun
ditentukan sebesar Rasio Biaya Produksi dikalikan pendapatan kotor setahun.
Angka Kapitalisasi dan Rasio Biaya Produksi ditetapkan dengan keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
Untuk menghitung SIT perlu diketahui beberapa istilah yang berhubungan dengan formula
perhitungan SIT tersebut yaitu:
1. Satuan Biaya Tanaman (SBT) yaitu satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun
berdasarkan umur dan jenis tanaman.
2. Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman (SBPHT) yaitu satuan biaya tahunan
per kegiatan yang meliputi kegiatan pembukaan lahan dan penanaman (P0),
pemeliharaan tahun pertama (P1), dan seterusnya sampai pemeliharaan tahun
terakhir (Pn) untuk setiap hektar pembangunan hutan tanaman di suatu wilayah,
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian
Kehutanan.
SBPHT SBPHT
23
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Dalam hal SBPHTB pada tahun sebelum Tahun Pajak tidak diterbitkan, SBT ditentukan
berdasarkan penyesuaian SBT Tahun Pajak sebelumnya dengan tingkat diskonto 10%,
dengan formula sebagai berikut:
Sumatera Utara
Banten
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
A. Bumi/Tanah
1. Areal produktif
a. Tanah yang ditanami komoditas hutan industri dan telah
menghasilkan :
Tanaman sonokeling : 500 Ha, Nilai Dasar Tanah: Rp5.000,- / M2 ) Standar
Investasi Tanaman (SIT) = Rp29.308.000,- / Ha.
b. Tanah yang belum menghasilkan :
Sonokeling tahun ke-4 : 100 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2
SIT = Rp24.278.000,- / Ha
Sonokeling tahun ke-5 : 200 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2
SIT = Rp27.698.000,- / Ha
2. Log Ponds (perairan) : 20 Ha, NDT = Rp140,- /M2 3. Areal lainnya (rawa, payau) : 50
4. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,- / M2
b. Gudang : 5.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
c. Kantor : 1.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
B. Bangunan :
1. Pabrik : 3.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,- / M2
2. Gudang : 500 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2
3. Kantor : 200M2 ; Nilai = Rp310.000,- / M2
4. Perumahan : 1.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanasetra tersebut apabila NJOPTKP ditentukan
sebesar Rp10.000.000,-
Jawaban
A. NJOP Bumi/Tanah
1. Areal Produktif
a. Tanah sudah menghasilkan tanaman sonokeling :
500 x 10.000 x Rp5.000,- = Rp25.000.000.000,-
SIT = 500 x Rp29.308.000,- = Rp14.654.000.000,-
b. Tanaman belum menghasilkan :
Sonokeling tahun ke-4 : 100x10.000xRp5.000,- = Rp 5.000.000.000,-
SIT = 100 x Rp24.278.000,- = Rp 2.427.800.000,-
Sonokeling tahun ke-5 : 200x10.000xRp5.000,- = Rp10.000.000.000,-
SIT = 200 x Rp27.698.000,- = Rp 5.539.600.000,-
B. NJOP Bangunan :
1. Pabrik = 3.000 x Rp225.000,- = Rp 675.000.000,-
2. Gudang = 500 x Rp225.000,- = Rp 112.500.000,-
3. Kantor = 200 x Rp310.000,- = Rp 62.000.000,- 4. Perumahan =
1.000 x Rp225.000,- = Rp 225.000.000,- Nilai Bangunan
= Rp 1.074.500.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 1.074.500.000/4.700 = Rp228.617,02
Hasil konversi: Klas 090 = Rp225.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 4.700 x Rp225.000,- = Rp1.057.500.000,-
27
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
PT. Wanalestari, suatu perusahaan bidang perhutanan (hutan alam) di Kalimantan Selatan
memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan bangunan sbb :
A. Bumi/Tanah
1. Areal produktif: tanah hutan blok tebangan : 200 Ha.
2. Areal belum/tidak produktif : Tanah hutan non blok tebangan : 4.000 Ha ;
NDT = Rp200,-/M2
3. a. Log ponds : 10 Ha; NDT = Rp140,-/M2
b. Log yards : 5 Ha; NDT = Rp200,-/M2
4. Areal lainnya (rawa, payau) : 100 Ha; NDT = Rp140,- / M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2
b. Gudang : 2.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2
c. Kantor : 1.000 M2 ; NDT = Rp660.-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2 ; NDT = Rp910,-/ M2
B. Bangunan
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanalestari tersebut bila NJOPTKP =
Rp10.000.000,-!!
Jawaban:
A. NJOP Bumi/Tanah:
1. Areal produktif : 8,5 x Rp1.000.000.000,- = Rp 8.500.000.000,-
2. Areal belum produktif : 4.000 x 10.000 x Rp200,- = Rp 8.000.000.000,-
3. a. Log ponds : 10 x 10.000 x Rp140,- = Rp 14.000.000,-
b. Log yards : 5 x 10.000 x Rp200,- = Rp 10.000.000,-
4. Areal lainnya : 100 x 10.000 x Rp140,- = Rp 140.000.000,-
5. Areal Emplasemen :
B. NJOP Bangunan :
a.Pabrik : 1.000 x Rp264.000,- = Rp 264.000.000,-
b.Gudang : 500 x Rp264.000,- = Rp 132.000.000,-
c. Kantor : 200 x Rp310.000,- = Rp 62.000.000,-
d. Perumahan : 5.000 x Rp310.000,- = Rp1.550.000.000,- Nilai Bangunan : =
Rp2.008.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 2.008.000.000/6.700 = Rp299.701,49/M2
Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 6.700 x Rp310.000,- = Rp2.077.000.000,-
29
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
C. SEKTOR PERTAMBANGAN
1. Bahan galian strategis dalam arti strategis bagi pertahanan dan keamanan serta
perekonomian negara, antara lain seperti minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas
alam, bitumen padat, aspal, batubara, uranium dan bahan radio aktif lainnya, nikel,
timah.
2. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak, antara lain
seperti besi, mangaan, wolfram, tembaga, emas, perak, platina, yodium, belerang.
3. Bahan galian yang tidak termasuk jenis a atau b dalam arti karena sifatnya tidak
langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, antara lain seperti
nitrat-nitrat, garam batu, asbes, batu permata, pasir kwarsa, batu apung, batu kapur,
granit, andesit.
Sektor pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha
penambangan bahan-bahan galian dari semua jenis golongan yaitu bahan galian strategis,
bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pajak Bumi dan Bangunan sektor
pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam 3(tiga) jenis yaitu:
• Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
• Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas) Pertambangan Energi
Panas Bumi
Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah
dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan
kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Sedangkan objek
bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal
onshore dan/atau areal offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal
produktif, areal belum produktif (areal cadangan produksi dan areal yang belum
dimanfaatkan), areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh bumi
yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi
dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi.
Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP yang merupakan
penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore atau areal
offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP
bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang
kegiatan operasi produksi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan
NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil
konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di
dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan
merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter
persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai
bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
31
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas
areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-
masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masingmasing areal, dimana nilai
bumi per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan dan areal emplasemen
ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal cadangan
produksi, areal tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui
penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
dimanfaatkan.
2. Tubuh bumi operasi produksi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk
tubuh bumi operasi produksi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk tubuh
bumi operasi produksi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil bersih
galian tambang dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak. Hasil bersih ditentukan
melalui pengurangan pendapatan kotor dengan biaya produksi galian tambang
sedangkan besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan
dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat
dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
C. Hasil bersih penjualan bahan galian tambang setahun = Rp1 Milyar. Angka Kapitalisasi = 9,5
Jawaban:
A. NJOP Bumi/Tanah :
1. Tubuh Bumi Operasi Prouduksi = 9,5 x Rp1milyar = Rp9.500.000.000,-
2. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 400 3. = Rp 800.000.000,-
Areal Belum Produktif :
B. NJOP Bangunan
1. Pabrik : 50.000 x Rp310.000,- = Rp15.500.000.000,-
33
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Pengenaan PBB sektor pertambangan migas diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-11/PJ/2012 tanggal 20 April 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk
Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2012 tanggal 20 April 2012. Berdasarkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini Pajak Bumi dan Bangunan sektor Migas adalah Pajak Bumi dan
Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau
sejenisnya terkait dengan pertambangan Migas yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). KKKS ini merupakan badan
usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan
Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan meliputi bumi dan bangunan. Objek
pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah
dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan
kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Sedangkan objek
bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal
onshore dan/atau areal offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal
produktif, areal belum produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal
pengaman. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi
untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.
Dasar pengenaan dari PBB sektor Migas adalah NJOP yang merupakan penjumlahan dari
NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan
hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter
persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi
merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter
persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri
Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP
bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi
ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri
Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas
areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-
masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masingmasing areal, dimana nilai
bumi per meter persegi untuk areal dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal
belum produktif dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga
tanah sejenis, dan areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan
melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif.
2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh
bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk tubuh bumi
eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil penjualan Migas
dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak dimana Angka Kapitalisasi ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan
dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat
dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
35
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
PT. Mutiara Hitam, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di pedalaman
Kalimantan menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian
sbb:
A. Bumi (Tanah )
1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
2. Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2
d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2
B Bangunan :
1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2
3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
Jawaban:
Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:
Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150 = Rp10.293.750.000,-
Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150 = Rp12.627.000.000,-
Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150 = Rp13.738.725.000,-
Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150 = Rp14.310.600.000,- +
Total hasil penjualan setahun A. NJOP = Rp50.970.075.000,-
Bumi:
B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000 = Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-
37
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Pengenaan PBB atas sektor pertambangan panas bumi diatur di dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2012 tanggal 20 April 2012 tentang Tata Cara Pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas
Bumi, dan Panas Bumi dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2012
tanggal 20 April 2012. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini Pajak Bumi dan
Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi adalah Pajak Bumi dan
Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau
sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh pengusaha Panas Bumi. Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina atau
perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kontraktor kontrak operasi bersama (joint operation contract), dan pemegang izin
pengusahaan sumber daya panas bumi.
Objek PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah
Kerja atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang diperoleh haknya,
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha Panas Bumi. Objek pajak bumi
dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan
pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh
bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau
areal offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum
produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh bumi yang
berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan
tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.
Dasar pengenaan dari PBB Panas Bumi adalah NJOP yang merupakan penjumlahan dari
NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan
hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter
persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi
merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter
persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri
Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP
bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi
ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri
Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas
areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-
masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masingmasing areal, dimana nilai
bumi per meter persegi untuk areal belum produktif dan areal emplasemen
ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal produktif, tidak
produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi
per meter persegi untuk areal belum produktif.
2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh
bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk tubuh bumi
eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil produksi dan
harga produksi uap dan/atau harga produksi listrik, untuk PBB Panas Bumi yang
pembangkit listriknya dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi atau Angka
Kapitalisasi dengan hasil produksi dan harga produksi uap untuk PBB Panas Bumi
yang pembangkit listriknya tidak dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi.
Besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan
dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat
dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
PT.Saptapertala, sebuah perusahaan di bidang sumber energi panas bumi di daerah Jawa
Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sebagai
berikut:
A. Bumi (Tanah )
a. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,-/M2
b. Areal Belum Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp350,-/M2
c. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
39
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
B Bangunan :
a. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
b. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
c. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Sapta Pertala tersebut apabila
NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00
Jawaban:
A. NJOP Bumi:
a. Tubuh Bumi eksploitasi = 9,5 x 141.687.750,- = Rp1.346.033.630,-
b. Areal Produktif:= 200 x 10.000 x 400 = Rp 800.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 200 x 10.000 x 350 = Rp 700.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 300 = Rp 300.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 200 = Rp 2.000.000,-
f. Areal Emplasemen:
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 3.500 = Rp 700.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 5.000 = Rp 100.000.000,-
3. Kantor: 1 x 10.000 x 5.000 = Rp 50.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 10.000 = Rp 500.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi: = Rp4.498.033.630,-
Nilai Bumi/M2 = 4.498.033.630/5.290.000 = Rp850,29/M2
Hasil konversi: Klas 186 = Rp820,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 5.290.000 x Rp820,- = Rp4.337.800.000,-
B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 365.000 = Rp 1.825.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp27.035.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.035.000.000/67.000 = Rp403.507,46/M2
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-
41
DTSD Pajak II
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
REFERENSI