Anda di halaman 1dari 107

DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK II

BAHAN AJAR

PBB Sektor P3 dan


Bea Meterai

Oleh:

Darwin
WIDYAISWARA UTAMA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
2014
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

DAFTAR ISI

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN DAN PERTAMBANGAN

DASAR HUKUM, OBJEK, SUBJEK, TARIF DAN DASAR PENGENAAN 4


A. DASAR HUKUM ......................................................................................... 4
B. OBJEK DAN SUBJEK ................................................................................ 4
C. TARIF ......................................................................................................... 5
D. DASAR PENGENAAN ................................................................................ 5

DASAR PERHITUNGAN DAN CARA MENGHITUNG PBB ................................. 7


A. DASAR PERHITUNGAN PBB .................................................................... 7
B. BATAS TIDAK KENA PAJAK ..................................................................... 7
C. CARA MENGHITUNG PBB ........................................................................ 7

PEMBAYARAN, PENAGIHAN DAN SURAT KETETAPAN PAJAK ..................... 8


A. TATACARA PEMBAYARAN ....................................................................... 8
B. TATACARA PENAGIHAN........................................................................... 8
C. PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) ................................... 9

KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN .............................................. 10


A. KEBERATAN PBB .................................................................................... 10
B. BANDING PBB ......................................................................................... 11
C. PENGURANGAN PBB ............................................................................. 11

PEMBAGIAN HASIL DAN KETENTUAN PIDANA ............................................. 13


A. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB ................................................. 13
B. KETENTUAN PIDANA.............................................................................. 13

PBB SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN, DAN PERTAMBANGAN ........ 15


A. SEKTOR PERKEBUNAN ......................................................................... 15
B. SEKTOR PERHUTANAN ......................................................................... 25
C. SEKTOR PERTAMBANGAN .................................................................... 34

REFERENSI ...................................................................................................... 48

DTSD Pajak II i
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

ii DTSD Pajak II
BEA METERAI

PENDAHULUAN ............................................................................................... 51

PENGERTIAN BEA METERAI .......................................................................... 53


A. BEA METERAI ADALAH PAJAK .............................................................. 53
B. DASAR HUKUM PEMUNGUTAN BEA METERAI .................................... 55
C. BEA METERAI ADALAH PAJAK ATAS DOKUMEN ................................. 56
D. OBJEK BEA METERAI ............................................................................. 58
E. BUKAN OBJEK BEA METERAI ................................................................ 60

SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA METERAI................................ 61


A. SUBJEK BEA METERAI ........................................................................... 61
B. SAAT TERUTANG BEA METERAI ........................................................... 61
C. TARIF BEA METERAI .............................................................................. 62

PELUNASAN BEA METERAI ............................................................................ 65


A. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MENGGUNAKAN BENDA
METERAI ................................................................................................. 65
B. PELUNASAN BEA METERAI MENGGUNAKAN CARA LAIN .................. 67
C. AKIBAT APABILA KETENTUAN CARA PELUNASAN BEA METERAI
TIDAK DIPENUHI ..................................................................................... 77
D. BENDA METERAI YANG SAAT INI MASIH BERLAKU DI INDONESIA ... 78
E. PENGADAAN DAN PENGELOAAN BENDA METERAI ........................... 79
F. PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN DAN PENJUALAN BENDA
METERAI ................................................................................................. 80
G. PEMETERAIAN KEMUDIAN .................................................................... 82

SANKSI, DALUWARSA, DAN KETENTUAN PIDANA ....................................... 86


A. SANKSI ATAS KEWAJIBAN PEMENUHAN BEA CUKAI ......................... 86
B. DALUWARSA BEA METERAI .................................................................. 87
C. KETENTUAN KHUSUS ............................................................................ 88
D. KETENTUAN PIDANA.............................................................................. 89
E. KETENTUAN PERALIHAN ....................................................................... 90

PENEGAKAN HUKUM BEA METERAI.............................................................. 91


A. PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGENAAN BEA METERAI. ............. 91

DTSD Pajak II iii


PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

B. PEMBENTUKAN TIM VERIFIKASI PENJUALAN BENDA METERAI ....... 91


C. PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN MESIN TERAAN
BEA METERAI ......................................................................................... 93
D. PEMANTAUAN PROSES PENUKARAN BENDA METERAI .............. 95
E. INTENSIFIKASI BEA METERAI ............................................................ 96
F. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK CLAN BILYET
GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGGANTI LOGO PERUSAHAAN ..... 97
G. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK DAN BILYET
GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGUBAH NAMA PERUSAHAAN...... 98
H. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS SURAT KOLEKTIF SAHAM
99
I. BEA METERAI ATAS KARTU KREDIT ............................................. 100

iv DTSD Pajak II
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN
DAN PERTAMBANGAN

DTSD Pajak II 1
PENDAHULUAN

Tanah dan bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang


ekonomi yang berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara dan
penduduknya. Negara sebagai organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat
serta kehidupan bernegara demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan pendayagunaan tanah
baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal. Untuk itu sudah sejak
zaman kerajaan sampai dengan berdirinya Negara, pendayagunaan tanah ini
diatur oleh para penguasa atau Negara. Salah satu pengaturan pendayagunaan
tanah disamping melalui Undang-undang Pokok Peraturan Agraria, Land Use
dan Land Reform adalah melalui Perpajakan Atas Tanah.

Sebelum tahun 1985 disadari bahwa saat itu berlaku sistem perpajakan atas
tanah dan bangunan khususnya yang menyangkut pajak kebendaan dan pajak
kekayaan yang diciptakan sejak zaman Belanda, telah menimbulkan tumpang
tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga menyebabkan pajak
berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam
GBHN perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan
sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan
kewajibannya serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat
mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta
meratakan pendapatan masyarakat.

DTSD Pajak II 3
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

DASAR HUKUM, OBJEK, SUBJEK, TARIF DAN


DASAR PENGENAAN

A. DASAR HUKUM

Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kepada Undang-Undang


No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah disempurnakan
dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya
di dalam tulisan ini disebut dengan UU PBB.

B. OBJEK DAN SUBJEK

Objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Menurut UU PBB, Bumi dapat
diartikan sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Sedangkan permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Di dalam memori
penjelasan UU PBB yang termasuk bangunan adalah :
 jalan lingkungan dalam suatu komplek bangunan
 jalan tol
 kolam renang
 pagar mewah , taman mewah
 tempat olah raga
 galangan kapal , dermaga
 tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
 fasilitas lain yang memberi manfaat

Di dalam UU PBB juga diatur beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB
yaitu:
1. objek yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan

4 DTSD Pajak II
2. Objek yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang
sejenis dengan itu
3. Objek yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah
negara yang belum dibebani suatu hak
4. Objek yang dipergunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat
berdasarkan azas perlakuan timbal balik
5. Objek yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Kuangan

Subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak
tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak maka subjek pajak tersebut
menjadi wajib pajak.

C. TARIF

PBB mempunyai tarif tunggal (single tarif) sebesar 0,5% yang berlaku sejak UU
PBB tahun 1985 sampai dengan sekarang.

D. DASAR PENGENAAN

Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
mempunyai pengertian sebagai berikut: “harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.

Berdasarkan pengertian NJOP tersebut terdapat 3(tiga) pendekatan penilaian


yang dapat dilakukan untuk menentukan besarnya NJOP yaitu :

1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) yaitu menentukan nilai


suatu objek (properti) dengan jalan membandingkan objek yang dinilai
dengan objek lain yang sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan
ini dapat juga disebut dengan Metode Perbandingan Harga.

DTSD Pajak II 5
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

2. Pendekatan Biaya ( Cost Approach ) yaitu menentukan nilai suatu objek


(properti) dengan jalan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh objek tersebut. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya
bangunan baru kemudian dikurangi dengan penyusutan yang ada.

3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) yaitu menentukan nilai suatu


objek (properti) dengan jalan mengkapitalisasikan pendapatan bersih dari
objek tersebut dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini
dapat juga disebut Pendekatan Kapitalisasi.

NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3(tiga) tahun, kecuali daerah
tertentu setiap tahun sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi
setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010,
klasifikasi bumi(tanah) dan bangunan terbagi atas dua bagian besar yaitu
pertama, untuk sektor perdesaan dan perkotaan dan kedua adalah untuk sektor
perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Untuk sektor perdesaan dan
perkotaan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 100 kelas sedangkan bangunan terdiri
dari 40 kelas, sedangkan untuk sektor perkebunan, perhutanan dan
petambangan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 200 kelas sedangkan bangunan
terdiri dari 100 kelas.

6 DTSD Pajak II
DASAR PERHITUNGAN DAN CARA
MENGHITUNG PBB

A. DASAR PERHITUNGAN PBB

Yang menjadi dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu
suatu persentase tertentu dari NJOP. Berdasarkan UU PBB, NJKP ditentukan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 ditetapkan
bahwa untuk objek pajak dengan nilai jual satu milyar atau lebih serta objek pajak
sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan NJKPnya sebesar 40% dari
NJOP dan untuk objek pajak lainnya sebesar 20% dari NJOP.

B. BATAS TIDAK KENA PAJAK

Di dalam pengenaan PBB terdapat suatu batas nilai yang tidak dikenakan pajak
yang disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No: 23/PMK.03/2014 tanggal 3 Pebruari 2014
ditetapkan batas NJOPTKP sebesar Rp12 juta per Wajib Pajak.

C. CARA MENGHITUNG PBB

Dari beberapa parameter yang telah disebutkan di atas maka besarnya PBB
terutang dapat dihitung dengan menggunakan formula:

PBB = Tarif x NJKP x (NJOP - NJOPTKP)


= 0,5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP) atau
= 0,5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP)

DTSD Pajak II 7
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

PEMBAYARAN, PENAGIHAN DAN SURAT


KETETAPAN PAJAK

A. TATACARA PEMBAYARAN

Wajib Pajak langsung melakukan pembayaran ke Bank Tempat Pembayaran


(Bank TP) atau Kantor Pos Tempat Pembayaran (Kantor Pos TP) dengan
membawa SPPT asli. Setelah pembayaran WP akan memperoleh STTS asli
yang telah diregister oleh Pejabat Bank/Kantor Pos TP.

1. Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran melalui pemidahbukuan uang


dari rekening WP ke rekening Kas Negara qq PBB (nama rekening Kas
Negara untuk penerimaan PBB).

2. Wajib Pajak dapat mengirimkan uang (transfer) melalui Bank maupun


Kantor Pos ke rekening Kas Negara qq PBB.

3. Untuk Wajib Pajak sektor perdesaan dan perkotaan dapat membayar


melalui petugas pemungut yang ditunjuk. Dari petugas, Wajib Pajak akan
menerima Tanda Terima Sementara (TTS). Petugas akan menyetorkan
uang yang diterimanya dari WP ke Bank/Kantor Pos TP dan menerima
STTS asli yang kemudian harus dikirimkannya (dikembalikan) kepada
Wajib Pajak yang telah membayar. Disamping itu untuk wajib pajak sektor
perdesaan dan perkotaan juga dapat melakukan pembayaran melalui
jaringan ATM yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam
pembayaran PBB

B. TATACARA PENAGIHAN

Jatuh tempo SPPT adalah 6 (enam) bulan. Pembayaran setelah lewat jatuh
tempo WP akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per
bulan maksimum 24 bulan (48%). Setelah jatuh tempo dan WP belum juga
membayar PBB akan dikeluarkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang jatuh
temponya 1(satu) bulan. Kemudian berturut-turut akan dikeluarkan Surat Paksa
(SP), Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dan akhirnya barang sitaan

8 DTSD Pajak II
akan dilelang untuk membayar PBB (Tata Urutan Penagihan diatur lebih lanjut
dalam Undang Undang Penagihan Pajak).

C. PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)

Sebab-sebab terbitnya SKP :

1. SPOP tidak kembali. SPOP yang dikirim ke Wajib Pajak harus dikembalikan
dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterima oleh WP. Lewat waktu
akan ditetapkan secara jabatan dengan mengeluarkan SKP. Jumlah
ketetapan pajak dalam SKP adalah jumlah pokok pajak (secara jabatan)
ditambah denda administrasi sebesar 25%. Jatuh tempo SKP adalah 1(satu)
bulan. Lewat jatuh tempo akan diberlakukan UU Penagihan Pajak.

2. SPOP dikembalikan oleh WP kemudian diproses menjadi SPPT. Setelah


terbit SPPT terdapat data baru hasil pemeriksaan SPOP yang menyebabkan
Pajak Terutang tambah besar. Atas kekurangan pajak tersebut akan
diterbitkan SKP yang jumlahnya adalah sebesar kekurangan ditambah denda
administrasi 25% dari kekurangan tersebut.

SPPT, SKP dan STP adalah merupakan dasar penagihan PBB (Pasal 12 UU
PBB).

DTSD Pajak II 9
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN

A. KEBERATAN PBB

1. WP dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP mengenai :


a. Luas objek bumi dan bangunan
b. NJOP/ klasifikasi bumi dan atau bangunan
c. Perbedaan penafsiran UU dan peraturan perundang-undangan antara
WP dengan fiskus, misalnya:
1). Penetapan Subjek Pajak sebagai wajib pajak
2). Objek Pajak yang seharusnya tidak dikenakan PBB
3). Penerapan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), Standar Investasi Tanaman
(SIT), Run Of Mine (ROM), Free On Board (FOB), Free On Rail (FOR)
4). Penentuan saat pajak terutang
5). Tanggal jatuh tempo

2. Keberatan diajukan dalam waktu 3(tiga) bulan setelah terima SPPT/SKP,


kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

3. Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak dapat


dipertimbangkan.

4. Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, Direktorat Jenderal Pajak harus memberikan keputusan
atas pengajuan keberatan.

5. Apabila Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan dalam


jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka pengajuan keberatan wajib pajak
dianggap diterima.

6. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima


seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak
yang terhutang.

7. Pengajuan keberatan oleh WP tidak menunda kewajiban membayar pajak

10 DTSD Pajak II
8. Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak
terhadap Keputusan Keberatan.

B. BANDING PBB

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada


badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.

2. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,


dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan
diterima, dilampiri surat keputusan tersebut.

3. Satu surat pengajuan banding untuk satu SK Keberatan.

4. Jumlah pajak terutang harus dibayar lebih dahulu sebesar 50%

5. (lebih lanjut lihat UU Peradilan Pajak)

C. PENGURANGAN PBB

1. Pengurangan PBB dapat diberikan kepada :

a. Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak
yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau sebab-sebab tertentu
lainnya yaitu :

1). Objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/


peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai, dan
atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi.

2). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya
meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan
lingkungan..

3). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata dari
pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi..

DTSD Pajak II 11
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

4). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi.

5). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela
kemerdekaan termasuk janda/dudanya.

6). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang
serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban
rutin perusahaan.

b. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam
seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan
sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran,
kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman.

c. Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela


kemerdekaan termasuk janda/dudanya.

2. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia


kepada Kepala KPP Pratama yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan
mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan.

3. Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan


terhitung:

a. Sejak tanggal diterimanya SPPT/SKP

b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

4. Keputusan atas permohonan pengurangan dapat berupa mengabulkan


seluruh, sebagian atau menolak permohonan.

5. Keputusan atas permohonan pengurangan harus diterbitkan selambat-


lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan dari
Wajib Pajak, apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum
diterbitkan, maka permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan.

12 DTSD Pajak II
PEMBAGIAN HASIL DAN KETENTUAN PIDANA

A. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB

Hasil penerimaan PBB yang diterima oleh Bank/Kantor Pos TP dari para WP
dalam jangka waktu satu minggu (setiap hari Jum’at) harus dilimpahkan ke
Bank/Kantor Pos Persepsi. Oleh Bank/Kantor Pos Persepsi kemudian
dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos Operasional III juga pada setiap hari Jum’at.
Kemudian oleh Bank/Kantor Pos Operasional III pelimpahan penerimaan PBB
dari Bank/Kantor Pos Persepsi tersebut pada setiap hari Jum’at dibagikan
kepada yang berhak menerimanya yaitu :
 10 % untuk bagian Pemerintah Pusat
 9 % untuk bagian Biaya Pemungutan
 16,2 % untuk bagian Pemerintah Propinsi
 64,8 % untuk bagian Pemerintah Kabupaten/Kota

Sejak tahun anggaran 1994/1995 bagian Pemerintah Pusat sebesar 10%


dilimpahkan kembali kepada daerah Kabupaten/Kota dengan imbangan sbb :
 6,5 % dibagikan merata keseluruh daerah Kabupaten/Kota
 3,5 % dibagikan sebagai insentif kepada daerah Kabupaten/Kota yang
mengalami surplus rencana penerimaan sektor pedesaan dan perkotaan.

B. KETENTUAN PIDANA

Apabila WP :
1. Karena alpa/lupa :
 tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada DJP;
 menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya
sebesar 2 (dua) kali pajak yang terhutang.
2. Karena sengaja :
 tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP;

DTSD Pajak II 13
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

 menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap


dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
 memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
 tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen
lainnya;
 tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang
diperlukan.
sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau setinggi-tingginya sebesar 5
(lima) kali pajak yang terhutang.

Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan, yang melakukan tindakan


sebagaimana tersebut di atas, dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah).

Ancaman pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi


tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau
sejak dibayarnya denda.

14 DTSD Pajak II
PBB SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN,
DAN PERTAMBANGAN

A. SEKTOR PERKEBUNAN

Perkebunan adalah usaha pertanian yang diusahakan dengan pengurusan yang


teratur dan sistematik, penjagaan tanaman yang rapi, kawasan tanaman yang
luas, pengeluaran produk yang teratur dan mengikuti jadual (Abd.Rachman,
1992: 109).

PBB sektor Perkebunan, peraturan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan


Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010 dan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-149/PJ/2010 tanggal 27
Desember 2010. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
64/PJ/2010 tersebut di atas, yang dimaksud dengan objek pajak sektor
perkebunan adalah objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha perkebunan.

Sebagaimana halnya dengan sektor pedesaan dan perkotaan, pendataan untuk


sektor perkebunan juga menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor
Perkebunan. SPOP sektor perkebunan ini dikirim ke wajib pajak yaitu
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan. Setelah diisi
secara jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh salah seorang dari direksi
perkebunan, SPOP tersebut kemudian dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak
Pratama dengan dilampiri data pendukung yang dibutuhkan berupa fotokopi
surat dari Dinas Perkebunan tentang izin (hak) pengelolaan perkebunan ataupun
fotokopi Hak Guna Usaha dari Badan Pertanahan Nasional. Untuk menguji
kebenaran data yang tercantum di dalam SPOP Perkebunan tersebut, Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dapat menggunakan data dari instansi terkait yaitu
Dinas Perkebunan setempat.

Penilaian untuk menentukan NJOP perkebunan menggunakan pendekatan biaya


(cost approach) yang tercermin dari adanya Standar Investasi Tanaman (SIT)

DTSD Pajak II 15
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

perkebunan. Standar Investasi Tanaman perkebunan adalah jumlah biaya


tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan,
penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Standar Investasi Tanaman
perkebunan ini masing-masing berbeda menurut umur dan jenis tanamannya.
Misalnya tanaman coklat yang berumur satu tahun akan berbeda dengan yang
telah berumur lebih dari satu tahun. Tanaman coklat akan berbeda Standar
Investasinya dengan tanaman karet walaupun umurnya sama. Demikian juga
Standar Investasi Tanaman ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lain,
sedangkan

Dalam penentuan SIT ini terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui sebagai
berikut:

Tanaman berumur panjang adalah tanaman yang berumur lebih dari satu tahun
dan pemungutan hasilnya dilakukan lebih dari satu kali dan tidak dibongkar sekali
panen.

Tanaman berumur pendek adalah tanaman yang berumur sampai dengan satu
tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan satu kali dan dibongkar sekali panen.

Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) adalah tanaman pada fase belum


menghasilkan yang dimulai dari umur tanaman satu tahun (TBM1) dan
seterusnya sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut belum menghasilkan
(TBMn) yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman.

Tanaman Menghasilkan (TM) adalah tanaman pada fase menghasilkan yang


dimulai dari tahun pertama tanaman menghasilkan (TM1) sampai dengan tahun
terakhir tanaman tersebut menghasilkan (TMn) yang rentang fasenya tergantung
masing-masing jenis tanaman.

Satuan Biaya Tanam (SBT) adalah satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun
berdasarkan umur dan jenis tanaman.

Satuan Biaya Pembangunan Kebun (SBPK) adalah satuan biaya tahunan


perkegiatan yang meliputi kegiatan pembukaan lahan dan penanaman yang
selanjutnya disebut P0, pemeliharaan tahun pertama yang disebut P1, dan
seterusnya sampai dengan pemeliharaan tahun terakhir sebelum tanaman
tersebut menghasilkan yang disebut Pn untuk setiap hektar perluasan kebun
disuatu wilayah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan,

16 DTSD Pajak II
Departemen Pertanian. SBPK yang diterbitkan ini dikelompokkan menjadi 6
(enam) wilayah, yaitu:
1. Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, Bali
2. Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, Bangka
Belitung
3. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau
4. Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
5. Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur
6. Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat

Secara empiris besarnya biaya tenaga kerja, bahan dan alat adalah sebesar 71%
dari biaya dalam SBPK, sedangkan sisanya sebesar 29% merupakan biaya
infrastruktur, sertifikasi lahan, management fee dan administrasi. Contoh SBPK
tahun 2009 seperti tabel berikut.

Gambar 1 Satuan Biaya Pembangunan Kebun

DTSD Pajak II 17
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Indeks Biaya Tanaman yang selanjutnya disebut IBT adalah angka yang
digunakan sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM dan disusun oleh
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tabel berikut.

Gambar 2 Tabel Indeks Biaya Tanaman

Tabel Indeks Biaya Tanam (IBT)

Penghitungan SIT untuk tanaman berumur panjang sebagai berikut:

1. SIT pada fase TBM ditetapkan sebagai berikut:


a. SIT pada fase TBM1 merupakan SBT pada fase TBM1
b. 2) SIT pada TBM2 merupakan penjumlahan dari SIT pada fase TBM1
dengan SBT pada fase TBM2.
c. 3) SIT pada fase TBMn merupakan penjumlahan dari SIT pada fase
TBMn-1 dengan SBT pada fase TBMn

18 DTSD Pajak II
2. SIT pada suatu tahun dalam fase TM ditetapkan sebesar SIT pada fase
TBM terakhir (TBMn) ditambah dengan SBT pada fase TM tahun tersebut.

3. Rincian fase TBM dan TM sesuai umur tanaman masing-masing jenis


tanaman adalah seperti tabel berikut.

Gambar 3 Fase TBM dan TM Sesuai Umur dan Jenis Tanaman

Tabel Rincian fase TBM dan TM sesuai umur tanaman

Penghitungan SBT pada tanaman berumur panjang adalah sebagai berikut:

1. SBT pada fase TBM:

a. SBT pada fase TBM1 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk
kegiatan P0 dan kegiatan P1

b. SBT pada fase TBM2 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk
kegiatan P2 dan seterusnya

DTSD Pajak II 19
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

c. SBPK pada angka 1) dan angka 2) di atas adalah SBPK untuk


tahun sebelum tahun pajak berjalan.

d. Dalam hal SBPK pada angka 3) di atas tidak diterbitkan, maka


SBT pada fase TBM tahun pajak berjalan ditentukan berdasarkan
penyesuaian SBT pada fase TBM tahun pajak sebelumnya
dengan tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut:

SBTt = SBTt-1 x ( 1 + i )
dimana:
SBTt = SBT tahun pajak berjalan
SBTt-1 = SBT tahun pajak sebelumnya
i = tingkat diskonto yang ditetapkan sebesar 10%

2. SBT pada fase TM ditetapkan sebesar SBT pada fase TBM terakhir
(TBMn) dikalikan dengan IBT pada fase TM tersebut.

Contoh perhitungan SIT Kelapa Sawit tahun 2011 dan penjelasannya adalah
sebagai berikut.

20 DTSD Pajak II
Penjelasan:
Kolom 1: Fase tanaman dikelompokkan menjadi fase TBM dan fase TM.
Fase TBM terdiri dari TBM1 (kegiatan P0 dan P1), TBM2 (kegiatan
P2) dan seterusnya. Fase TM terdiri dari TM1 sampai dengan TM22
Kolom 2: Umur tanaman kelapa sawit mulai dari umur 1 tahun sampai 25
tahun
Kolom 3: IBT yang digunakan sebagai dasar perhitungan SBT pada fase TM
Kolom 4: SBPK per ha yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada
tahun sebelum tahun pajak berjalan pada fase TBM.
Kolom 5: SBT per ha pada fase TBM untuk tahun pajak berjalan.

Perhitungan SBT untuk fase TBM sebagai berikut:

a. SBT TBM1 (P0)= 71% x (SBPK P0) = 71% x 13.768.000=


9.775.280 x (1+0,1) = Rp10.752.808,-

b. SBT TBM1 (P1)= 71% x (SBPK P1) = 71% x 7.950.000 =


5.644.500 x (1+0,1) = Rp6.208.950,-

c. SBT TBM2 (P2)= 71% x (SBPK P2) = 71% x 7.688.000 =


5.458.480 x (1+0,1) = Rp6.004.328,-

d. SBT TBM3 (P3)= 71% x (SBPK P3) = 71% x 8.365.000 =


5.939.150 x (1+0,1) = Rp6.533.065,-

Kolom 6: SBT per ha pada fase TM untuk tahun pajak berjalan.

Perhitungan SBT untuk fase TM sebagai berikut:

a. SBT TM1 = (SBT TBM3) x (IBT TM1) = 6.533.065 x 0,9514 =


Rp6.215.558,-

Kolom 7: SIT per ha untuk Tahun Pajak berjalan, merupakan nilai tanaman
sesuai umurnya, dihitung dengan cara sebagai berikut:

a. SIT TBM1 = (SBT TBM1) = (SBT P0) + (SBT P1) = 10.752.808


+ 6.208.950 = Rp16.961.758,-

b. SIT TBM2 = (SIT TBM1) + (SBT TBM2) = 16.961.758 +


6.004.328 = Rp22,966.086,-

DTSD Pajak II 21
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

c. SIT TBM3 = (SIT TBM2) + (SBT P3) = 22.966.086 + 6.533.065


= Rp29.499.151,-

d. SIT TM1 = (SIT TBM3) + (SBT TM1) = 29.499.151 +


6.215.558 = Rp35.714.709,-

e. SIT TM2 = (SIT TBM3) + (SBT TM2) = 29.499.151 +


5.913.730 = Rp35.412.881,-

f. SIT TM3 = (SIT TBM3) + (SBT TM3) = 29.499.151 +


5.626.929 = Rp35.126.080,-

g. Dan seterusnya

Kolom 8: SIT per M2 sebagai dasar ketetapan nilai tanaman.

Penghitungan SIT untuk tanaman berumur pendek ditentukan sebesar biaya


pengolahan tanah, penanaman, dan pemeliharaan untuk tanaman tersebut.

Di dalam suatu wilayah perkebunan terdapat beberapa jenis areal yaitu: a) areal
produktif, b) areal belum produktif, c) areal emplasemen dan d) areal lainnya.

Pengertian dari masing-masing areal dan penentuan NJOPnya adalah sebagai


berikut:

1. Areal Produktif adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan


yang telah ditanami dengan komoditas perkebunan baik telah
menghasilkan ataupun belum menghasilkan. Nilai tanah untuk areal ini
merupakan penjumlahan dari Nilai Dasar Tanah dengan Standar
Investasi Tanaman. Nilai Dasar Tanah diperoleh dari perkalian luas tanah
areal produktif dengan nilai dasar tanah areal produktif per meter persegi.
Nilai dasar tanah areal produktif merupakan hasil penilaian di lapangan
yang dihitung dalam satuan rupiah per meter persegi sedangkan Standar
Investasi Tanamannya dihitung dalam satuan rupiah per hektar.

2. Areal Belum Produktif merupakan suatu areal di dalam wilayah suatu


perkebunan yang terdiri dari areal yang sudah diolah tetapi belum
ditanami dan areal yang belum diolah. Nilai tanah untuk areal yang sudah
diolah tetapi belum ditanami merupakan perkalian luas tanah areal sudah
diolah tetapi belum ditanami dengan nilai dasar tanah areal sudah diolah
tetapi belum ditanami per meter persegi termasuk di dalamnya biaya

22 DTSD Pajak II
pembukaan lahan, sedangkan nilai tanah untuk areal yang belum diolah
merupakan perkalian luas tanah belum diolah dengan nilai dasar tanah
areal belum diolah per meter persegi.

3. Areal Emplasemen adalah suatu areal di dalam wilayah suatu


perkebunan yang diatasnya terdapat bangunan-bangunan dan sarana
pelengkap lainnya, seperti perumahan karyawan, kantor perusahaan,
gudang, dan lain-lain. Nilai tanah untuk areal emplasemen ini adalah
merupakan perkalian luas tanah areal emplasemen dengan nilai dasar
tanah emplasemen per meter persegi termasuk biaya pematangan tanah.

4. Areal Lainnya terdiri dari areal tidak produktif/tidak dapat dimanfaatkan


(seperti rawa, cadas, dan jurang) dan areal jalan yang meliputi jalan
utama yang terletak di dalam/di luar areal perkebunan, jalan produksi
yang berfungsi untuk pengumpulan hasil dan jalan kontrol yang berfungsi
untuk pengawasan areal perkebunan. Nilai tanah untuk areal tidak
produktif merupakan perkalian luas tanah areal tidak produktif dengan
nilai dasar tanah areal tidak produktif per meter persegi, sedangkan nilai
tanah areal jalan merupakan perkalian luas tanah areal jalan dengan nilai
dasar tanah areal jalan per meter persegi termasuk di dalamnya biaya
pematangan tanah.

Perhitungan nilai tanah per meter persegi suatu areal perkebunan adalah dengan
jalan membagi nilai tanah seluruh areal dengan luas tanah seluruh areal. Hasil
perhitungan ini yang merupakan nilai tanah per meter persegi suatu areal kebun
kemudian dikonversi ke dalam Tabel Klasifikasi Tanah untuk menentukan NJOP
per meter persegi dari areal perkebunan tersebut sebagai dasar untuk
menghitung PBB terutang.1

Contoh perhitungan PBB Perkebunan:

PT.Sawit Seberang, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah


Sumatera Utara memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari tanah dan
bangunan dengan rincian sebagai berikut :

1
Pola perhitungan seperti ini menimbulkan bias terhadap nilai yang sebenarnya dari masing-
masing areal, karena kemungkinan terdapat perbedaan nilai tanah yang sangat signifikan dari
masing-masing areal. Sebaiknya digunakan perhitungan masing-masing nilai tanah di dalam suatu
areal langsung dikonversi ke Tabel Klasifikasi.

DTSD Pajak II 23
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

A. Tanah

1. Areal kebun :
a. Usia tanaman 2 tahun : 100 Ha, Nilai Dasar Tanah (NDT) = Rp1.700,-
/ M2. SIT (TBM2) : Rp22.966.086,- per Ha
b. Tanaman sudah menghasilkan : 300 Ha, NDT = Rp1.700,-/M2
S I T ( TM1 ) : Rp35.714.709,- per Ha

2. Areal emplasemen :
a. Kantor : 0,5 Ha , NDT = Rp14.000,- / M2
b. Gudang : 1 Ha , NDT = Rp10.000,- / M2
c. Pabrik : 2 Ha, NDT = Rp10.000,- / M2

B. Bangunan :
a. Kantor : 500 M2 , Nilai Bangunan = Rp700.000,- / M2
b. Gudang : 1.000 M2, Nilai Bangunan = Rp505.000,- / M2
c. Pabrik : 4.000 M2 , Nilai Bangunan = Rp365.000,- / M2

Hitung PBB atas perkebunan tersebut bila NJOPTKP : Rp10 juta!

Jawaban:

A. Nilai Tanah:

1. Areal Kebun :
a. Usia tanaman 2 tahun : 100 x 10.000 x Rp1.700 = Rp 1.700.000.000,-
SIT (TBM2): 100 x Rp22.966.086,- = Rp 2.296.608.600
b. Tanaman sdh menghasilkan : 300 x 10.000 x Rp1.700= Rp
5.100.000.000,- SIT (TM1): 300 x Rp35.714.709,-=
Rp10.714.412.700,-

2. Areal Emplasemen :
a. Kantor : 0,5 x 10.000 x Rp14.000,- = Rp 70.000.000,-
b. b. Gudang : 1 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 100.000.000,-
c. c. Pabrik : 2 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 200.000.000,-
Nilai Tanah ( 1 + 2 ) = Rp20.181.021.300,-
Nilai Tanah/M2 = Rp20.181.021.300/4.035.000 = Rp5.001,49/M2
Hasil konversi : Kelas 161 = Rp5.000,- /M2

24 DTSD Pajak II
NJOP Tanah seluruhnya = 4.035.000 x Rp5.000 = Rp20.175.000.000,-

B. Nilai Bangunan :
a. Kantor : 500 x Rp700.000,- = Rp 350.000.000,-
b. Gudang : 1.000 x Rp505.000,- = Rp 505.000.000,-
c. Pabrik : 4.000 x Rp365.000,- = Rp 1.460.000.000,-
Nilai Bangunan seluruhnya = Rp 2.315.000.000,-

Nilai Bangunan/M2 = Rp2.315.000.000 / 5.500 = Rp420.909,09

Hasil konversi : Kelas 068 = Rp427.000,- /M2

NJOP Bangunan seluruhnya = 5.500 x Rp427.000,- = Rp2.348.500.000,-

NJOP Tanah dan Bangunan seluruhnya = Rp22.523.500.000,-

NJOPTKP = Rp 10.000.000,-

NJOP untuk perhitungan PBB = Rp22.513.500.000,-

PBB = 0,5% x 40% x Rp22.513.500.000,- = Rp45.027.000,-

B. SEKTOR PERHUTANAN

Eksploitasi hutan di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem konsesi


yang terdiri dari beberapa tipe yaitu (Wahyu, 2003: 223):

a. Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

b. Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH)

c. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI)

Berdasarkan penguasaannya hutan di Indonesia dapat dibagi dalam 3(tiga)


wilayah yaitu, wilayah hutan negara, wilayah pengusahaan hutan , dan wilayah
budidaya hutan. Wilayah hutan Negara jelas belum dikenakan PBB karena
merupakan milik Negara yang belum dibebani suatu hak diatasnya. Sedangkan
wilayah pengusahaan hutan dan wilayah budidaya hutan sudah dikenakan PBB.
Disamping itu berdasarkan kemanfaatannya, hutan dapat dibagi atas hutan
produksi, hutan tanaman, dan hutan alam.

DTSD Pajak II 25
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok


memproduksi hasil hutan, sedangkan hutan tanaman adalah hutan produksi yang
dibangun dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa penyiapan
lahan, pembenihan atau pembibitan, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan
atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Hutan alam
merupakan hutan produksi yang di dalamnya telah bertumbuhan pohon-pohon
alami dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa pemanenan atau
penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan
pemasaran hasil hutan.

Pengenaan PBB sektor perhutanan diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal


Pajak Nomor PER-36/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011 tentang Pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-89/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011. Berdasarkan
peraturan tersebut di atas, objek pajak PBB perhutanan adalah bumi dan/atau
bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak
pengusahaan hutan. Objek pajak bumi di dalam sektor perhutanan terdiri dari
areal produktif, areal belum produktif, areal emplasemen, dan areal lain.

Areal produktif adalah merupakan areal hutan yang telah ditanami pada hutan
tanaman, atau areal blok tebangan pada hutan alam. Areal belum produktif
merupakan areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman,
atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam.
Areal emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan
sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang
diperkeras, sedangkan yang dimaksud areal lain adalah areal hutan selain dari
areal produktif, areal belum produktif, dan areal emplasemen.

Sebagaimana halnya dengan sektor perkebunan, pendataan untuk sektor


perhutanan juga menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan
Lampiran SPOP (LSPOP) Sektor Perhutanan. SPOP dan LSPOP sektor
Perhutanan ini dikirim ke wajib pajak yaitu perusahaan- perusahaan yang
bergerak di bidang perhutanan. Setelah diisi secara jelas, benar, lengkap dan
ditandatangani SPOP dan LSPOP tersebut kemudian dikirim ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dengan dilampiri data pendukung yang dibutuhkan
berupa fotokopi surat-surat yang berhubungan dengan masalah perhutanan dari

26 DTSD Pajak II
instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan atau instansi lainnya yang mengeluarkan
izin usaha di bidang kehutanan.

Penentuan NJOP masing-masing areal perhutanan ditentukan sebagai berikut:

1. Nilai tanah untuk hutan tanaman ditentukan sebesar nilai dasar tanah,
kecuali untuk areal produktif ditambah dengan Standar Investasi
Tanaman (SIT). Nilai dasar tanah diperoleh melalui proses penilaian yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan SIT adalah jumlah
biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan
lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Nilai tanah per meter
persegi dihitung dengan jalan membagi nilai tanah seluruh areal
perhutanan dengan luas seluruh areal perhutanan, kemudian dikonversi
ke dalam tabel klasifikasi sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor
PER-150/PMK.03/2010 untuk memperoleh NJOP per meter persegi areal
tanah perhutanan.

2. Nilai tanah untuk hutan alam ditentukan sebesar nilai dasar tanah, kecuali
untuk areal produktif sebesar perkalian pendapatan bersih setahun
dengan Angka Kapitalisasi. Pendapatan bersih setahun ditentukan
sebesar pendapatan kotor (jumlah produksi kayu dan bukan kayu
dikalikan harga satuan produksi) setahun dikurangi Biaya Produksi
setahun, sebelum tahun pajak. Biaya produksi setahun ditentukan
sebesar Rasio Biaya Produksi dikalikan pendapatan kotor setahun. Angka
Kapitalisasi dan Rasio Biaya Produksi ditetapkan dengan keputusan
Direktur Jenderal Pajak.

Untuk menghitung SIT perlu diketahui beberapa istilah yang berhubungan


dengan formula perhitungan SIT tersebut yaitu:
1. Satuan Biaya Tanaman (SBT) yaitu satuan biaya yang diinvestasikan tiap
tahun berdasarkan umur dan jenis tanaman.
2. Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman (SBPHT) yaitu satuan
biaya tahunan per kegiatan yang meliputi kegiatan pembukaan lahan dan
penanaman (P0), pemeliharaan tahun pertama (P1), dan seterusnya
sampai pemeliharaan tahun terakhir (Pn) untuk setiap hektar

DTSD Pajak II 27
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

pembangunan hutan tanaman di suatu wilayah, yang diterbitkan oleh


Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Selanjutnya formula perhitungan SIT dapat digambarkan sebagai berikut.

SBPHT SBPHT

Terendah - Tertinggi Median SBPHT x 72% x Indeks Wilayah x Indeks


Tanaman

Per Wilayah SBPHT x 72% x Indeks Tanaman

Per Jenis Tanaman SBPHT x 72% x Indeks Wilayah

SIT SIT P1 = SBT P0 + SBT P1

SIT P2 = SBT P0 + SBT P1 + SBT P2

SBTt = SBT t-1 x (1+i)

Dalam hal SBPHTB pada tahun sebelum Tahun Pajak tidak diterbitkan, SBT
ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT Tahun Pajak sebelumnya dengan
tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut:

Dimana: SBTt = SBT Tahun Pajak


SBTt-1 = SBT Tahun Pajak sebelumnya
i = tingkat diskonto (10%)
Indeks Wilayah terbagi atas:
Wilayah I Wilayah II Wilayah III Wilayah IV
(0,900) (0,970) (1,030) (1,100)
Banten Sulawesi Selatan Kalimantan Timur Papua

Jawa Barat Sulawesi Tengah Riau Papua Barat

Jawa Tengah Sulawesi Utara NAD Maluku

DIY Gorontalo Kep. Riau

28 DTSD Pajak II
Jawa Timur Sulawesi Tenggara

Sumatera Utara

Banten

Indeks Tanaman adalah sebagai berikut:

No. Jenis Tanaman Indeks Tanaman


1 Jelutung Pulai 1,0000
2 Rotan 0,8850
3 Sengon 0,9380
4 Jabon 0,9780
5 Akasia 0,8780
6 Jati 1,0120
7 Tanaman Lainnya 1,0000
Berikut akan ditampilkan konsep penilaian dan perhitungan PBB sektor
Perhutanan, yaitu hutan tanaman dan hutan alam.

KONSEP PENILAIAN DAN PERHITUNGAN PBB SEKTOR PERHUTANAN


HUTAN TANAMAN

Nilai Tanah
a. Areal Produktif = Luas x (Nilai Dasar Tanah/m2 + SIT/m2)
Total Nilai Tanah : Total Luas Tanah b. Areal Belum Produktif = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
c. Areal Emplasemen = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
d. Areal Lainnya = Luas x Nlilai Dasar Tanah/m2

Nilai Tanah/m2 Klasifikasi NJOP Bumi/m2 x Luas Tanah NJOP BUMI

NJOP

Nilai Bgn/m2 Klasifikasi NJOP Bgn/m2 X Luas Bgn NJOP BGN

Total Nilai Bangunan : Total Luas Bangunan Tarif NJKP NJOP TKP

Nilai Bangunan

a. Pabrik/Kilang i. MCK PBB


b. Perkantoran j. Jalan diperkeras Terhutang (X)
c. Perumahan k. Landasan Pesawat
d. Mess/Guest House l. Pelabuhan
e. Gudang m.Jembatan
f. Ruang WorkShop n. Gorong-gorong (X)
g. Sarana Olah Raga/Rekreasi o. Bangunan Lainnya
h. Poliklinik

DTSD Pajak II 29
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

KONSEP PENILAIAN DAN PERHITUNGAN PBB SEKTOR PERHUTANAN


HUTAN ALAM

Nilai Tanah
a. Areal Produktif = Nilai Tanah Areal Produktif
b. Areal Belum Produktif = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
Total Nilai Tanah : Total Luas Tanah
c. Areal Emplasemen = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
d. Areal Lainnya = Luas x Nlilai Dasar Tanah/m2

Nilai Tanah/m2 Klasifikasi NJOP Bumi/m2 x Luas Tanah NJOP BUMI

NJOP

Nilai Bgn/m2 Klasifikasi NJOP Bgn/m2 X Luas Bgn NJOP BGN

Total Nilai Bangunan : Total Luas Bangunan Tarif NJKP NJOP TKP

Nilai Bangunan

a. Pabrik/Kilang i. MCK PBB


b. Perkantoran j. Jalan diperkeras Terhutang (X)
c. Perumahan k. Landasan Pesawat
d. Mess/Guest House l. Pelabuhan
e. Gudang m.Jembatan
f. Ruang WorkShop n. Gorong-gorong (X)
g. Sarana Olah Raga/Rekreasi o. Bangunan Lainnya
h. Poliklinik

Contoh Perhitungan PBB Perhutanan (Hutan Tanaman)

PT. Wanasetra, sebuah perusahaan pengelola hutan tanaman industri


memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian
sebagai berikut :

A. Bumi/Tanah
1. Areal produktif
a. Tanah yang ditanami komoditas hutan industri dan telah
menghasilkan :
Tanaman sonokeling : 500 Ha, Nilai Dasar Tanah: Rp5.000,- / M2 )
Standar Investasi Tanaman (SIT) = Rp29.308.000,- / Ha.
b. Tanah yang belum menghasilkan :
Sonokeling tahun ke-4 : 100 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2
SIT = Rp24.278.000,- / Ha
Sonokeling tahun ke-5 : 200 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2
SIT = Rp27.698.000,- / Ha

30 DTSD Pajak II
2. Log Ponds (perairan) : 20 Ha, NDT = Rp140,- /M2

3. Areal lainnya (rawa, payau) : 50 Ha, NDT = Rp140,- / M2

4. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,- / M2
b. Gudang : 5.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
c. Kantor : 1.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2

B. Bangunan :
1. Pabrik : 3.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,- / M2
2. Gudang : 500 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2
3. Kantor : 200M2 ; Nilai = Rp310.000,- / M2
4. Perumahan : 1.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2

Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanasetra tersebut apabila NJOPTKP
ditentukan sebesar Rp10.000.000,-

Jawaban
A. NJOP Bumi/Tanah
1. Areal Produktif
a. Tanah sudah menghasilkan tanaman sonokeling :
500 x 10.000 x Rp5.000,- = Rp25.000.000.000,-
SIT = 500 x Rp29.308.000,- = Rp14.654.000.000,-
b. Tanaman belum menghasilkan :
Sonokeling tahun ke-4 : 100x10.000xRp5.000,- = Rp 5.000.000.000,-
SIT = 100 x Rp24.278.000,- = Rp 2.427.800.000,-
Sonokeling tahun ke-5 : 200x10.000xRp5.000,- = Rp10.000.000.000,-
SIT = 200 x Rp27.698.000,- = Rp 5.539.600.000,-

2. Log Ponds = 20 x 10.000 x Rp140,- =Rp 28.000.000,-


3. Areal lainnya = 50 x 10.000 x Rp140,- =Rp 70.000.000,-
4. Areal Emplasemen :
a. Pabrik = 10.000 x Rp1.200,- = Rp 12.000.000,-

DTSD Pajak II 31
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

b. Gudang = 5.000 x Rp1.200,- = Rp 6.000.000,-


c. Kantor = 1.000 x Rp1.200,- = Rp 1.200.000,-
d. Perumahan = 10.000 x Rp1.200,- = Rp 12.000.000,-
Nilai Tanah ( 1 + 2 + 3 + 4 ) = Rp62.750.600.000,-
Nilai tanah/M2 = 62.750.600.000/8.726.000 = Rp7.191,22
Hasil konversi: Klas 154 = Rp7.150,-/M2
NJOP Bumi/Tanah seluruhnya = 8.726.000 x Rp7.150,- = Rp62.390.900.000,-

B. NJOP Bangunan :
1. Pabrik = 3.000 x Rp225.000,- = Rp 675.000.000,-
2. Gudang = 500 x Rp225.000,- = Rp 112.500.000,-
3. Kantor = 200 x Rp310.000,- = Rp 62.000.000,-
4. Perumahan = 1.000 x Rp225.000,- = Rp 225.000.000,-
Nilai Bangunan = Rp 1.074.500.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 1.074.500.000/4.700 = Rp228.617,02
Hasil konversi: Klas 090 = Rp225.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 4.700 x Rp225.000,- = Rp1.057.500.000,-

NJOP Bumi dan Bangunan = Rp63.448.400.000,-


NJOPTKP = Rp 10.000.000,-
NJOP sebagai dasar perhitungan PBB = Rp63.438.400.000,-
PBB = 0,5% x 40% x Rp63.438.400.000,- = Rp126.876.800,-

Contoh perhitungan PBB Perhutanan (Hutan Alam):

PT. Wanalestari, suatu perusahaan bidang perhutanan (hutan alam) di


Kalimantan Selatan memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan
bangunan sbb :

A. Bumi/Tanah
1. Areal produktif: tanah hutan blok tebangan : 200 Ha.
2. Areal belum/tidak produktif : Tanah hutan non blok tebangan : 4.000 Ha ;
NDT = Rp200,-/M2
3. a. Log ponds : 10 Ha; NDT = Rp140,-/M2

32 DTSD Pajak II
b. Log yards : 5 Ha; NDT = Rp200,-/M2
4. Areal lainnya (rawa, payau) : 100 Ha; NDT = Rp140,- / M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2
b. Gudang : 2.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2
c. Kantor : 1.000 M2 ; NDT = Rp660.-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2 ; NDT = Rp910,-/ M2

B. Bangunan

1. Pabrik : 1.000 M2; Nilai = Rp264.000,- / M2

2. Gudang : 500 M2; Nilai = Rp264.000,-/M2

3. Kantor : 200 M2 ; Nilai = Rp310.000,- / M2

4. Perumahan : 5.000 M2 ; Nilai = Rp310.000,-/M2

C. Angka kapitalisasi : 8,5


Hasil bersih sebelum tahun pajak berjalan : Rp1.000.000.000,-

Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanalestari tersebut bila NJOPTKP =
Rp10.000.000,-!!

Jawaban:

A. NJOP Bumi/Tanah:
1. Areal produktif : 8,5 x Rp1.000.000.000,- = Rp 8.500.000.000,-
2. Areal belum produktif : 4.000 x 10.000 x Rp200,- = Rp 8.000.000.000,-
3. a. Log ponds : 10 x 10.000 x Rp140,- = Rp 14.000.000,-
b. Log yards : 5 x 10.000 x Rp200,- = Rp 10.000.000,-
4. Areal lainnya : 100 x 10.000 x Rp140,- = Rp 140.000.000,-
5. Areal Emplasemen :
1. Pabrik : 20.000 x Rp660,- = Rp 13.200.000,-
2. Gudang : 2.000 x Rp660,- = Rp 1.320.000,-
3. Kantor : 1.000 x Rp660,- = Rp 660.000,-
4. Perumahan : 10.000 x Rp910,- = Rp 9.100.000,-
Nilai Bumi (1+2+3+4+5) = Rp16.688.280.000,-
Nilai Bumi/M2 = 16.688.280.000/43.183.000 = Rp386,45/M2

DTSD Pajak II 33
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Hasil konversi: Klas 193 = Rp390,-/M2


NJOP Bumi seluruhnya = 43.183.000 x Rp390,- = Rp16.841.370.000,-

B. NJOP Bangunan :
a.Pabrik : 1.000 x Rp264.000,- = Rp 264.000.000,-
b.Gudang : 500 x Rp264.000,- = Rp 132.000.000,-
c. Kantor : 200 x Rp310.000,- = Rp 62.000.000,-
d. Perumahan : 5.000 x Rp310.000,- = Rp1.550.000.000,-
Nilai Bangunan : = Rp2.008.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 2.008.000.000/6.700 = Rp299.701,49/M2
Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 6.700 x Rp310.000,- = Rp2.077.000.000,-

NJOP Bumi dan Bangunan : = Rp18.918.370.000,-


NJOPTKP : = Rp 10.000.000,-
NJOP untuk perhitungan PBB = Rp18.908.370.000,-
PBB : 0,5% x 40% x Rp18.908.370.000,- = Rp37.816.740,-

C. SEKTOR PERTAMBANGAN

Usaha bidang pertambangan dapat diklasifikasikan berdasarkan kepada hasil


tambang dan lokasi penambangannya (Wahyu, 2003: 215). Berdasarkan hasil
tambang terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu pertama pertambangan minyak, gas dan
panas bumi, dan kedua pertambangan bukan minyak, gas dan panas bumi yang
mengeksploitasi bahan tambang logam (seperti bijih besi) dan bukan logam
(seperti batubara, pasir). Sedangkan berdasarkan lokasi penambangan, usaha
bidang pertambangan terdiri dari pertama, pertambangan lepas pantai (off shore)
dan kedua pertambangan daratan (on shore).

Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pertambangan, yang dimaksud dengan bahan galian adalah unsur-unsur
kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu
mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Bahan-bahan galian ini terbagi
atas 3 (tiga) jenis yaitu:

34 DTSD Pajak II
1. Bahan galian strategis dalam arti strategis bagi pertahanan dan
keamanan serta perekonomian negara, antara lain seperti minyak bumi,
bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, batubara,
uranium dan bahan radio aktif lainnya, nikel, timah.

2. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak,
antara lain seperti besi, mangaan, wolfram, tembaga, emas, perak,
platina, yodium, belerang.

3. Bahan galian yang tidak termasuk jenis a atau b dalam arti karena
sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional,
antara lain seperti nitrat-nitrat, garam batu, asbes, batu permata, pasir
kwarsa, batu apung, batu kapur, granit, andesit.

Sektor pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi
areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua jenis golongan yaitu
bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pajak Bumi
dan Bangunan sektor pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam 3(tiga) jenis
yaitu:
 Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
 Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)
 Pertambangan Energi Panas Bumi

1. Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Pengenaan PBB sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) diatur di


dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012 tanggal 28
Desember 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-64/PJ/2012 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012. Di
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan PBB Mineral
dan Batubara adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di
kawasan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba meliputi
wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis dan wilayah di

DTSD Pajak II 35
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

luar wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis yang


merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan
Minerba.

Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang
meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas
pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah
permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum
produktif (areal cadangan produksi dan areal yang belum dimanfaatkan), areal
tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh bumi yang
berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan
eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi.

Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP yang
merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi
areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas
areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP
tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang kegiatan operasi produksi merupakan
hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan
merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan
per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil
konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan
yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP
Bangunan.

Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:

1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum

36 DTSD Pajak II
dimanfaatkan dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan
harga tanah sejenis, dan areal cadangan produksi, areal tidak produktif,
dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi
per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan.

2. Tubuh bumi operasi produksi merupakan hasil pembagian antara nilai


bumi untuk tubuh bumi operasi produksi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai
bumi untuk tubuh bumi operasi produksi merupakan perkalian Angka
Kapitalisasi dengan hasil bersih galian tambang dalam satu tahun
sebelum Tahun Pajak. Hasil bersih ditentukan melalui pengurangan
pendapatan kotor dengan biaya produksi galian tambang sedangkan
besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.

3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan


Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore
ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal
daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.

Contoh perhitungan PBB sektor Pertambangan Batubara:

PT. Equatorial Mining, sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan


Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan sebagai berikut
:
A. Bumi (Tanah )
1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,-/M2
2. Areal Belum Produktif :
a. Areal Cadangan Produksi : 500 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
b. Areal Belum Dimanfaatkan : 100 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp1.200,-/M2
b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp1.200,-/M2
c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp5.000,-/M2

DTSD Pajak II 37
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp10.000,-/M2


B. Bangunan
1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp310.000,-/M2
2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp310.000,-/M2
3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2

C. Hasil bersih penjualan bahan galian tambang setahun = Rp1 Milyar.


Angka Kapitalisasi = 9,5

Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT.Equatorial Mining tersebut apabila


NJOPTKP = Rp10 juta

Jawaban:

A. NJOP Bumi/Tanah :
1. Tubuh Bumi Operasi Prouduksi = 9,5 x Rp1milyar = Rp9.500.000.000,-
2. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 400 = Rp 800.000.000,-
3. Areal Belum Produktif :
a. Areal Cadangan Produksi = 500 x 10.000 x 300 = Rp1.500.000.000,-
b. Areal Belum Dimanfaatkan = 100 x 10.000 x 300 =Rp 300.000.000,-
4. Areal tidak produktif : 100 x 10.000 x Rp200,- = Rp 200.000.000,-
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20 x 10.000 x Rp1.200,- = Rp 240.000.000,-
b. Gudang : 2 x 10.000 x Rp1.200,- = Rp 24.000.000,-
c. Kantor : 1 x 10.000 x Rp5.000,- = Rp 50.000.000,-
d. Perumahan : 5 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 500.000.000,-
Nilai Bumi/Tanah ( 1+2+3+4+5) : = Rp13.114.000.000,-
Nilai Bumi/M2 = 13.114.000.000/9.280.000 = Rp1.413,15/M2
Hasil konversi: Klas 180 = Rp1.440,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 9.280.000 x Rp1.440,- = Rp13.363.200.000,-

B. NJOP Bangunan
1. Pabrik : 50.000 x Rp310.000,- = Rp15.500.000.000,-
2. Gudang : 5.000 x Rp310.000,- = Rp 1.550.000.000,-
3. Kantor : 2.000 x Rp365.00,- = Rp 730.000.000,-

38 DTSD Pajak II
4. Perumahan : 10.000 x Rp429.000,- = Rp 4.290.000.000,-
Nilai Bangunan ( 1+2+3+4 ) : = Rp22.070.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 22.070.000.000/67.000 = Rp329.402,98/M2
Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x 310.000 = Rp20.770.000.000,-

NJOP Bumi + Bangunan : = Rp34.133.200.000,-


NJOPTKP : = Rp 10.000.000,-
NJOP untuk perhitungan PBB : = Rp34.123.200.000,-
PBB= 0,5% x 40% x Rp34.123.200.000,- = Rp68.246.400,-

2. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Pengenaan PBB sektor pertambangan migas diatur di dalam Peraturan Direktur


Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2012 tanggal 20 April 2012 tentang Tata Cara
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk
Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2012 tanggal 20 April 2012.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini Pajak Bumi dan Bangunan
sektor Migas adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi dan/atau bangunan
yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait dengan
pertambangan Migas yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). KKKS ini merupakan badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi
pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan kontrak kerja sama.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan meliputi bumi dan
bangunan. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi
yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan
lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah
permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum
produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh

DTSD Pajak II 39
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk
kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.

Dasar pengenaan dari PBB sektor Migas adalah NJOP yang merupakan
penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore
atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang
dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi
baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas
Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter
persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana
NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.

Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:

1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal dimana
nilai bumi per meter persegi untuk areal belum produktif dan areal
emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan
areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui
penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif.

2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi


untuk tubuh bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk
tubuh bumi eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan
hasil penjualan Migas dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak dimana
Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan


Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore

40 DTSD Pajak II
ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal
daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.

Contoh perhitungan PBB sektor Pertambangan Migas

PT. Mutiara Hitam, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di
pedalaman Kalimantan menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan
bangunan dengan rincian sbb:

A. Bumi (Tanah )
1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
2. Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2
d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2

B Bangunan :
1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2
3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2

C.Hasil penjualan minyak bumi setahun sbb:


1. Triwulan pertama produksi sebesar: 25.000 barrel dengan harga US $45
per barrel
2. Triwulan kedua produksi sebesar: 30.000 barrel dengan harga US $46
per barrel
3. Triwulan ketiga produksi sebesar 33.000 barrel dengan harga US $45,5
per barrel
4. Triwulan keempat produksi sebesar 34.000 barrel dengan harga US $46
per barrel.
Angka Kapitalisasi = 9,5
Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00

DTSD Pajak II 41
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT.Mutiara Hitam tersebut apabila


NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00

Jawaban:
Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:
Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150 = Rp10.293.750.000,-
Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150 = Rp12.627.000.000,-
Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150 = Rp13.738.725.000,-
Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150 = Rp14.310.600.000,- +
Total hasil penjualan setahun = Rp50.970.075.000,-

A. NJOP Bumi:
a. Tubuh bumi eksploitasi = 9,5 x 50.970.075.000 = Rp484.215.713.000,-
b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,- = Rp 600.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200 = Rp 600.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150 = Rp 150.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 150 = Rp 1.500.000,-
f. Areal Emplasemen:
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 900 = Rp 180.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 900 = Rp 18.000.000,-
3. Kantor: 10.000 x 1.000 = Rp 10.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100 = Rp 55.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi: = Rp485.830.213.000,-
Nilai Bumi/M2 = 485.830.213.000/6.290.000 = Rp77.238,51
Hasil konversi: Klas 105 = Rp78.000,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 6.290.000 x Rp78.000 = Rp490.620.000.000,-

B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000 = Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58

42 DTSD Pajak II
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-

Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp517.956.000.000,-


NJOPTKP: = Rp 12.000.000,- -
NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp517.944.000.000,-
PBB= 0,5% x 40% x 517.944.000.000 = Rp1.035.888.000,-

3. Pertambangan Panas Bumi

Pengenaan PBB atas sektor pertambangan panas bumi diatur di dalam


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2012 tanggal 20 April 2012
tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan
Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2012 tanggal 20 April 2012.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini Pajak Bumi dan Bangunan
sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi adalah Pajak Bumi dan
Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja
atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh pengusaha Panas Bumi. Pengusaha
Panas Bumi adalah Pertamina atau perusahaan penerusnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kontraktor kontrak operasi bersama
(joint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan sumber daya panas
bumi.

Objek PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang
diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha
Panas Bumi. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan
bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau
perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di
bawah permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal
offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal

DTSD Pajak II 43
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

belum produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman.
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk
kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.

Dasar pengenaan dari PBB Panas Bumi adalah NJOP yang merupakan
penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore
atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang
dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi
baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas
Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter
persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana
NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.

Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:

1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga
tanah sejenis, dan areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman
ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi
untuk areal belum produktif.

2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi


untuk tubuh bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk
tubuh bumi eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan
hasil produksi dan harga produksi uap dan/atau harga produksi listrik,
untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya dikelola sendiri oleh
Pengusaha Panas Bumi atau Angka Kapitalisasi dengan hasil produksi
dan harga produksi uap untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit

44 DTSD Pajak II
listriknya tidak dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi. Besarnya
Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan


Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore
ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal
daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.

Contoh Perhitungan PBB Panas Bumi:

PT.Saptapertala, sebuah perusahaan di bidang sumber energi panas bumi di


daerah Jawa Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan
dengan rincian sebagai berikut:
A. Bumi (Tanah )
a. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,-/M2
b. Areal Belum Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp350,-/M2
c. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
d. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
e. Areal Emplasemen :
1. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp3.500,-/M2
2. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp5.000,-/M2
3. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp5.000,-/M2
4. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp10.000,-/M2

B Bangunan :
a. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
b. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
c. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2

C.Hasil penjualan uap panas bumi setahun sbb:


1. Triwulan pertama produksi sebesar: 150 Kwh dengan harga US $20 per
Kwh
2. Triwulan kedua produksi sebesar: 135 Kwh dengan harga US $25 per
Kwh
3. Triwulan ketiga produksi sebesar 160 Kwh dengan harga US $26 per Kwh

DTSD Pajak II 45
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

4. Triwulan keempat produksi sebesar 165 Kwh dengan harga US $30 per
Kwh
Angka Kapitalisasi = 9,5
Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00

Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Sapta Pertala tersebut apabila
NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00

Jawaban:

Hasil penjualan uap panas bumi setahun sebagai berikut:


1.Triwulan pertama: 150 x US $20 x Rp9.150,- = Rp 27.450.000,-
2.Triwulan kedua: 135 x US $25 x Rp9.150,- = Rp 30.881.250,-
3.Triwulan ketiga: 160 x US $26 x Rp9.150,- = Rp 38.064.000,-
4.Triwulan keempat: 165 x US $30 x Rp9.150,- = Rp 45.292.500,-
Jumlah total hasil penjualan uap panas bumi = Rp141.687.750,-

A. NJOP Bumi:
a. Tubuh Bumi eksploitasi = 9,5 x 141.687.750,- = Rp1.346.033.630,-
b. Areal Produktif:= 200 x 10.000 x 400 = Rp 800.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 200 x 10.000 x 350 = Rp 700.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 300 = Rp 300.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 200 = Rp 2.000.000,-
f. Areal Emplasemen:
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 3.500 = Rp 700.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 5.000 = Rp 100.000.000,-
3. Kantor: 1 x 10.000 x 5.000 = Rp 50.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 10.000 = Rp 500.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi: = Rp4.498.033.630,-
Nilai Bumi/M2 = 4.498.033.630/5.290.000 = Rp850,29/M2
Hasil konversi: Klas 186 = Rp820,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 5.290.000 x Rp820,- = Rp4.337.800.000,-

B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 365.000 = Rp 1.825.000.000,-

46 DTSD Pajak II
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp27.035.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.035.000.000/67.000 = Rp403.507,46/M2
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-

Jumlah NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp31.673.800.000,-


NJOPTKP: = Rp 12.000.000,- -
NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp31.661.800.000,-
PBB= 0,5% x 40% x Rp31.661.800.000,- = Rp63.323.600,-

DTSD Pajak II 47
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

REFERENSI

1. Undang-undang Nomor 12/1985 jo. Undang-undang Nomor 12/1994.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010

3. Peraturan direktur Jenderal Pajak Nomor 64/PJ/2010

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 36/PJ/2011

5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2012

6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 45/PJ/2013

48 DTSD Pajak II
BEA METERAI

DTSD Pajak II 49
PENDAHULUAN

Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar sudah
sepatutnya dikelola dengan sebaik-baiknya agar penerimaan negara dapat
terjaga kesinambungannya guna mendukung kegiatan pemerintahan umum dan
pembiayaan pembangunan yang dijalankan Pemerintah. Jumlah penerimaan
pajak pada APBN 2008 sebesar Rp.601,476 trilyun, dimana Rp 3,341 trilyun
lebih berasal dari penerimaan pajak lainnya termasuk bea meterai. Bila kita amati
dari kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia pada dewasa ini, pengelolaan bea
meterai oleh Pemerintah dirasa belum optimal, ini dapat dilihat dari masih banyak
praktik-praktik melawan hukum yang sulit dicegah maupun diambil tindakan oleh
penegak hukukm, seperti pemalsuan bea meterai, ketidaklancaran distribusi,
sampai pada pembuatan dokumen yang tidak dipenuhi kewajiban bea
meterainya.

Adalah tugas Direktorat Jenderal Pajak agar Undang-Undang Nomor 13 Tahun


1985 Tentang Bea Meterai dan peraturan perundang-undangan terkait terlaksana
dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang
kompeten dan handal di bidang bea meterai, mengingat permasalahan bea
meterai yang tidak boleh dibilang sederhana karena kompleksitas kegiatan
ekonomi dan sosial masyarakat, jumlah penduduk, serta wilayah peredaran yang
luas di seluruh nusantara. Untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap
bea meterai, sampai saat ini masih dirasa sulit, karena masih sedikit tersedianya
literatur tentang bea meterai, baik dalam bentuk kompilasi peraturan perundang-
undangan maupun dalam bentuk buku. Dengan tersusunnya bahan ajar ini
diharapkan dapat menambah alternatif bahan bacaan tentang bea meterai guna
memperluas khasanah pengetahuan para pembacanya.

Bahan ajar ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan ajar di
lingkungan Pusdiklat Pajak Jakarta. Mengingat batasan waktu yang tersedia
untuk penyajian materi dalam diklat, maka kedalaman isi bahan ajar ini
disesuaikan dengan jumlah pelatihan yang tersedia serta diselaraskan dengan
tujuan Diklat Teknis Substantif Dasar II Pajak..

DTSD Pajak II 51
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Tujuan umum pembelajaran Bea Meterai ini adalah agar peserta diklat
memahami ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang bea meterai dan
tugas-tugas DJP dalam pengelolaan bea meterai.

Adapun Tujuan Khusus dari pembelajaran Bea Meterai ini agar peserta diklat :

1. Memahami pengertian bea meterai


2. Dapat menjelaskan subjek, saat terutang, dan tarif bea meterai
3. Dapat menjelaskan cara pelunasan bea meterai
4. Dapat menjelaskan sanksi-sanksi atas kewajiban pemenuhan bea
meterai, daluwarsa, dan ketentuan Pidana
5. Dapat menjelaskan penegakan hukum Bea Meterai.

52 DTSD Pajak II
PENGERTIAN BEA METERAI

Bila kita amati dalam kehidupan sehari-hari, dari berbagai hal yang berlangsung
di masyarakat berkaitan dengan bea meterai, tampak bahwa pemahaman
masyarakat tentang bea meterai memang masih rendah. Bea meterai lebih
sering dianggap sebagai suatu keharusan yang mutlak dilakukan dalam
pembuatan dokumen. “Surat perjanjian itu tidak sah karena tidak diberi meterai”
misalnya. Atau Setiap tanda terima uang harus diberi meterai supaya sah, tanpa
tahu apa yang dimaksud dengan sah itu. Mengenai pemenuhan bea meterai
apakah sesuai dengan kententuan atau tidak sering kali tidak diperhatikan oleh
masyarakat. Kondisi ini tentunya harus diperbaiki mengingat bea meterai
merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diterapkan di seluruh
indonesia. Masyarakat perlu memahami mengapa harus melunasi bea meterai
dan bagaimana ketentuan yang benar. Selanjutnya bea meterai dapat diterima
sebagai salah satu jenis pajak di Indonesia, dimana pembayarannya hanya untuk
kepentingan pajak dan tidak ada kaitannya dengan hal – hal lain diluar pajak.

A. BEA METERAI ADALAH PAJAK

Bea meterai adalah pajak, ini dapat dibuktikan dengan melihat ciri-ciri yang
melekat pada pengertian bea meterai dengan disandingkan dengan ciri-ciri pajak.
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak antara lain :
1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemeerintah
2. Pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan;
3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan oleh Pemerintah;
4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah;
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemaasukannya masih terdapat surplus, maka surplus tersebut
digunakan untuk investasi publik.

DTSD Pajak II 53
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
Pemerintah.
7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

Selanjutnya tentang bea meterai dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang –
Undang Nomor. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai :”Dengan nama bea meterai
dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang – undang ini”. Hal ini
menunjukkan bahwa UU Bea Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea
meterai adalah pengenaan pajak atas dokumen.

Apabila diperhatikan, pemungutan bea meterai oleh pemerintah dari masyarakat


(orang atau badan) yang membuat dokumen memang memenuhi kriteria tentang
pajak diatas. Hal ini dapat dilihat dari uraian berikut ini :
1. Bea meterai dipungut oleh pemerintah pusat, yang berwenang
menertibkan benda meterai dan mengedarkannya sebagtai alat
pembayaran bea meterai yang terurtang ataupun memberikan izin
pelunasan bea meterai dengan cara lain. Memang penerbitan dan
pengedaran benda meterai tidak ditangani secara langsung oleh
pemerintah, tetapi diserahkan kepada Perum Peruri untuk mencetak
benda meterai dan menunjuk PT Pos Indonesia untuk mengedarkannya.
Hanya saja tetap saja kedua hal ini dilakukan atas nama Pemerintah
Pusat.
2. Hasil penjualan benda meterai maupun pembayaran sejumlah uang
tertentu untuk mendapatkan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain
semuanya masuk ke kas Pemerintah Pusat.
3. Orang atau badan yang membuat dokumen yang terutang bea meterai di
pungut bea meterai yang terutang oleh pemerintah tanpa ada balas jasa
(kontra prestasi) atau pembayaran bea meterai terutang yang
dilakukannya.
4. Hasil penerimaan bea meterai bersama dengan hasil penerimaan pajak
pusat lainnya digunakan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan, yang hasilnya juga dinikmati oleh
pembayar bea meterai. Hal ini menunjukan sebenarnya ada kontra
prestasi yang diberikan oleh pemerintah

54 DTSD Pajak II
Ditinjau dari ciri-ciri tersebut di atas, tentu dapat dikatakan bahwa bea meterai
memenuhi kriteria pungutan yang dimaksud dalam pajak. Bea meterai adalah
pajak.

B. DASAR HUKUM PEMUNGUTAN BEA METERAI

Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 merupakan pengganti dari Aturan Bea


Meterai tahun 1921 yang sampai dengan 31 desember 1985 menjadi dasar
hukum pemungutan bea meterai Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 tahun
1985 disahkan dan diundangkan di Jakarata pada tanggal 27 Desember 1985
dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Undang-Undang
Nomor 13 tahun 1985 dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 69 dan penjelasan undang- undang ini dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313.

Ditinjau dari hukum pajak, Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985, selanjutnya


disebut sebagai UU Bea Meterai, memiliki dua fungsi, yantu sebagai hukum
pajak material dan sekaligus sebagai hukum pajak formal, hukum pajak material
mengatur tentang norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan, dan peristiwa- peristiwa hukum yang haru dikenakan
pajak, siapa saja yang dikenakan pajak, serta besarnya pajak yang terutang.
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum ini memuat segala
sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan haPusnya hutang pajak dan hubungan
hukum antara pemerintah dan wajib pajak, peraturan yang memuat kenaikan-
kenaikan, denda -denda dan hukuman-hukuman serta tata cara pembebasan
dan pengembalian pajak serta hak tagihan yang memiliki fiskus.

Hukum pajak formal mengatur tentang tata cara mengimplementasikan hukum


pajak material sebagai menjadi suatu kenyataan. Termasuk didalamnya
penyelenggaraan pemungutan pajak, antara lain mengenai penetapan suatu
utang pajak, pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban
para wajib pajak baik sebelum maupun sesudah diterimanya surat ketetapan
pajak, kewajiban pihak ketiga dan prosedur dalam pemungutan pajak, hak wajib
pajak, dan sanksi terhadap wajib pajak yang melanggar, kewenangan fiskus,
kewajiban fiskus, serta sanksi terhadah fiskus yang tidak menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tujuan pengaturan hukum pajak

DTSD Pajak II 55
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

formal ini adalah untuk melindungi fiskus dan wajib pajak serta memberi jaminan
agar hukum pajak material dapat diselenggaraan dengan tepat.

Dalam UU Bea Meterai dapat ditemui ketentuan tentang apa yang menjadi objek,
tarif, pihak yang terutang, saat terutang, dan cara pelunasan bea meterai yang
merupakan bagian dari hukum pajak material. Di bagian lain juga dapat ditemui
ketentuan tentang ketentuan bagi pejabat yang dalam jabatannya berhubungan
dengan dokumen, sanksi administrasi bagi wajib bea meterai yang tidak
memenuhai kewajibannya sebagaimana mestinya, dan ketentuan pidana
terhadap barang siapa yang meniru dan memalsukan benda meterai, yang pada
dasarnya merupakan bagian dari hukum pajak formal.

C. BEA METERAI ADALAH PAJAK ATAS DOKUMEN

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai


menyatakan ” dengan nama bea meterai dikenakan pajak atas dokumen yang
disebut dalam undang – undang ini ”. Hal ini menunjukkan bahwa UU Bea
Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea meterai adalah pengenaan pajak
atas dokumen. Dengan demikian, yang dikenakan pajak adalah dokumen yang
dibuat oleh orang atau badan yang berkepentingan atas dokumen tersebut.
Karena bea meterai adalah pajak atas dokumen, maka merupakan hal yang
sangat penting unutuk memahami apa yang dimaksud dengan dokumen.

1. Pengertian Dokumen

Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai memberikan definisi dokumen sebagai kertas
yang berisikan tulisan yag mengandung arti dan maksud tentang perbuatan,
keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan. Definisi ini memberikan pengertian dokumen secara sempit,
yaitu terbatas pada kertas yang berisikan tulisan. Dikatakan secara sempit
karena dalam kehidupan sehari-hari dokumen tidak hanya terbatas dalam bentuk
kertas yang berisikan tulisan, tetapi juga bentuk lain seperti film, rekaman vidio,
kaset, dan sebagainya.

Pengertian dokumen secara harfiah dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan

56 DTSD Pajak II
Pengembangan Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, dokumen memiliki tiga
pengertian, yaitu:

1. Surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti
keterangan (seperti kelahiran, surat nikah, dan surat perjanjian);
2. Barang cetakan atas naskah karangan yang dikirim melalui pos; atau
3. Rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang dapat dijadikan
bukti keterangan.

Hanya saja, karena secara umum yang digunakan oleh masyarakat (setidaknya
sampai dengan 1983 pada saat UU Bea Meterai dibuat) adalah kertas sebagai
dokumen yang membuktikan adanya perbuatan hukum, keadaan, atau
kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan, maka
dokumen yang dikenakan pajak dalam UU Bea Meterai dibatasi hanya pada
kertas yang berisi tulisan.

2. Jenis-Jenis Surat / Dokumen

Dokumen sebagaimana didefinisiskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai


oleh masyarakat luas dikenal sebagai surat atau akta. Untuk dapat memahami
dokumen secara lebih komprehensif, perlu juga diketahui tentang pembagian
surat.

Surat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu surat di bawah tangan dan surat
autentik. Selanjutnya surat dibawah tangan dapat dibedakan menjadi surat biasa
dan akta di bawah tangan, dan surat autentik dapat dibedakan menjadi akta
autentik dan surat dinas. Lebih lanjut, akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu akta
autentik menurut Hukum Publik dan akta autentik menurut Hukum Perdata.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai dokumen dapat diperhatikan
skema pada gambar 1 di bawah ini:

DTSD Pajak II 57
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Gambar 4 Skema Surat

Keterangan :

 Surat adalah serangkaian kata-kata dalam bentuk tulisan yang


mengandung maksud tertentu dari pembuatnya.
 Surat di bawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat umum
 Surat Autentik adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum
( Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah dan
ditugaskan serta diberi wewenang untuk melakukan sebagian dari
pekerjaan pemerintah untuk membuat akta yang berkaitan dengan
peeristiwa atau perbuatan hukum)
 Akta adalah surat yang ditandatangani , yang khusus dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum.

D. OBJEK BEA METERAI

Sebagaimana telah dikemukan di awal kegiatan belajar ini, Pasal 1 UU Bea


Meterai menyebutkan bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen
yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Objek bea meterai adalah
dokumen. Jika tidak dibuat dokumen, maka tidak ada masalah pengenaan bea
meterai. Selanjutnya UU Bea Meterai mengisyaratkan bahwa yang menjadi objek
bea meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian
sewa-menyewa, menerima uang, melakukan pemborongan pekerjaan, dan
sebagainya; melainkan dokumen yang dibuat untuk melakukan telah terjadi
perbuatan itu, seperti akta jual beli, akta atau surat perjanjian sewa-menyewa,

58 DTSD Pajak II
kuitansi, surat perjanjian pemborongan pekerjaan, dan sebagainya. Isi surat
perjanjian yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, misalnya saja jual beli tanah
di bulan atau perjanjian mengenai perbuatan yang dilarang, tidak menjadi
penghalang untuk mengenakan bea meterai atas surat perjanjian mengenai hal-
hal tersebut.

Dalam praktik di masyarakat di mungkinkan dua pihak atau lebih mengadakan


perjanjian tersebut, tetapi tanpa membuat dokumen yang berkaitan dengan
perjanjian dimaksud (tanpa surat perjanjian). Terhadap keadaan ini tidak ada
permasalahan mengenai bea meterai karena yang dikenakan bea meterai adalah
dokumen, bukan perjanjian yang diadakan tersebut.

1. Dokumen yang DikenakanBea Meterai


Sesuai dengan pasal 2 UU Bea Meterai dokumen yang dikenakan bea meterai
adalah :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan,
atau keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta notaris dan salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
termasuk rangkap-rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah Uang, yaitu;
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang
dalam rekening di bank;
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dan
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau
sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep , dan cek.
f. Efek dalam nama dan bentuk apapun

Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut pada huruf d, e, dan f diatas
juga dimaksudkan termasuk jumlah uang atau harga nominal yang dinyatakan
dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau
harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri

DTSD Pajak II 59
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui
apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan bea meterai.

E. BUKAN OBJEK BEA METERAI

Pasal 4 UU Bea Meterai menentukan tidak dikenakan bea meterai atas


dokumen, antara lain :
a. dokumen yang berupa :
1) surat penyimpanan barang;
2) konosemen;
3) surat angkutan penumpang dan barang;
4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen
sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. segala bentuk Ijazah;
c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta
surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah
Daerah, dan bank;
e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang
dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah
dan bank;
f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan
kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang
bergerak di bidang tersebut;
h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.

60 DTSD Pajak II
SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA
METERAI

A. SUBJEK BEA METERAI

Pasal 6 UU Bea Meterai menentukan bahwa Bea Meterai terhutang oleh pihak
yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak
atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan subjek bea meterai


untuk tiap-tiap jenis dokumen sebagai berikut:
a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai
terhutang oleh penerima kuitansi.
b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat
perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea
Meterai atas dokumen yang diterimanya.
c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang
terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun
salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terhutang
oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang
dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika
pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea
Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam
dokumen tersebut.

B. SAAT TERUTANG BEA METERAI

Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan
besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan
daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda admininistrasi yang terutang. Saat
terutang bea meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat.
Pasal 5 UU Bea Meterai menentukan saat terutang bea meterai sebagai berikut:

a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu
diserahkan;

DTSD Pajak II 61
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud saat dokumen itu diserahkan
termasuk juga bahwa pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak
untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya
kuintansi, cek, dan sebagainya.
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat
selesainya dokumen dubuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan
dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea
Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di
Indonesia.

C. TARIF BEA METERAI

Tarif bea meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif berdasarkan jenis
dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang disebutkan dalam
dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak disebutkan secara jelas dalam
UU Bea meterai, namun secara implisit dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu
dokumen yang merupakan surat ya.ng dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai barang bukti di pengadilan, seperti akta notaris dan akta PPAT
dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi dari dokumen tersebut. Selain itu
dokumen yang memuat jumlah uang akan dikenakan tarif bea meterai
berdasarkan jumlah uang yang termuat dalam dokumen itu.

Tarif bea meterai ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan tarif-tarif yang


dikenakan atas dokumen-dokumen sebagaimana tersebut pada Pasal 2 UU Bea
Meterai, tarif bea meterai adalah Rp 1.000,- dan Rp 500,-.

Selanjutnya dalam Pasal 3 UU BeaMeterai disebutkan bahwa dengan Peraturan


Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas
pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan,
diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Berdasarkan ketentuan ini, seiring
dengan adanya perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan
dua kali penyesuaian tarif dan besarnya harga nominal yang dikenakan bea
meterai, yaitu perbahan pertama dengan Peraturan Pemerinth Nomor 7 tahun
1995, tarif bea meterai diubah menjadi Rp 1.000,-- dan Rp 2.000,-. Perubahan

62 DTSD Pajak II
kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, yaitu tarif bea
meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,-- dan Rp 6.000,-.

Perkembangan tarif bea meterai per jenis dokumen tercantum dalam tabel 1
berikut:

Tabel 1 Perbandingan Tarif Bea Meterai dari Waktu ke Waktu

Tarif Bea Meterai


No
Dokumen
. UU No. 13 PP No. 7 PP No. 24
Th. 1985 Th. 1995 th. 2000
1. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya
(a.l. Surat Kuasa, surat hibah, surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan
Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00
untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan/keadaan
yang bersifat perdata.
2, Akta Notaris dan salinannya Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00
3. Akta yang dibuat PPAT termasuk
Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00
rangkapannya
4,a Surat yang memuat sejumlah uang lebih
. dari Rp 1 juta (harga nominal yang
dinyatakan dalam mata uang asing)
a. Yang menyebutkan penerimaan uang;
b. Yang menyatakan pembukuan uang
atau penyimpanan uang dalam
Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00
rekening di bank;
c. Yang berisi beerisi pembeitahuan saldo
rekening di bank, dan
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang
uang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.
4.b Surat yang memuat jumlah uang lebih dari
. Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp Rp 500,00 Rp 1.000,00 Rp 3.000,00
1.000.000,00
4c Surat yang memuat jumlah uang lebih dari
Tidak Tidak
Rp 100.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp Rp 500,00
terutang dikenakan
250.000,00
4d Surat yang memuat jumlah uang tidak lebih Tidak Tidak Tidak
dari Rp 1.00.000,00 terutang terutang dikenakan
5a Surat berharga seperti wesel, promes,dan
aksep yang hargaa nominalnya lebih dari Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00
Rp 1.000.000,00
5b Surat berharga seperti wesel, promes, dan
aksep yang hargaa nominalnya lebih dari
Rp 500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00
Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00
5c Surat berharga seperti wesel, promes,dan
Tidak Tidak
aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih Rp 500,00
terutang dikenakan
dari Rp 250000,00
5d Surat berharga seperti wesel, promes,dan Tidak Tidak Tidak

DTSD Pajak II 63
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih terutang terutang dikenakan


dari Rp 100.000,00
6a Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya
Rp 1000,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00
lebih dari Rp 1.000.000,-
6b Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya
lebih dari Rp 250.000,- terapi tidak ebih dari Rp500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00
Rp 1.000.000,--
6c Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya
lebih dari Rp 100.000,00 tetapi tidak lebh Rp 500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00
dari Rp 250.000,00
6d Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya Tdk terutang
Rp 1000,00 Rp 3.000,00
tidak lebih dari Rp 100.000,- *)
7a Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp
Rp 1.000,00 Rp 2.000,00 Rp 6.000,00
1.000.000
7b Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000.,00 tetapi tidak lebih dari Rp Rp 500,00 Rp 1.000,00 Rp 3.000,00
1,000,000,00
7c Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp
Tidak
100.000.,00 tetapi tidak lebih dari Rp Rp 500,00 Rp 3.000,00
terutang
250000,00
7d Efek yang harga nominalnya tidak lebih dari Tidak Tidak
Rp 3.000,00
Rp 100.000.,00 terutang terutang
8. Dokumen yang akan digunakan sebagai
alat bukti di muka pengadilan melputi :
a. Surat-surat biasa dan surat
kerumah-tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak
Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00
dikenakan bea meterai
berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau
digunakan oleh orang lain, selain
dari masksud semula.

Keterangan :

*) Berdasarkan Peraturan Pemerintah anomor 13 Tahun 1989 tentang


Perubahan Besarnya Tarif Bea Meterai dan besarnya bea meterai atas batas
harga nominal yang dikenakan bea meterai ata cek dan bilyet giro, diubah
menjadi Rp 500,00.

64 DTSD Pajak II
PELUNASAN BEA METERAI

Secara umum bea meterai atas dokumen yang terutang dilunasi denga dua cara,
yaitu dengan menggunakan benda meterai atau menggunakan cara lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada umumnya bea meterai atas dokumen
dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam undang-
undang dan pelaturan pemerintah. Benda meterai yang dapat digunakan untuk
melunasi bea meterai yang terutang adalah meterai tempel dan kertas meterai.
Disampig itu, dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain
bagi pelunasan bea meterai, misalnya membubuhkan tanda tera sebagai
pengganti benda meterai diatas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan
pelaturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.

A. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MENGGUNAKAN BENDA


METERAI

Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana pelunasan benda meterai
terutang adalah benda meterai sebagaimana dimaksud dalm Pasal 1 ayat (2)
huruf b UU Bea Meterai, yaitu meterai tempel dan kertas metereai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

1. Meterai Tempel

Pelunasan bea meterai dengan menggunakan meterai tempel dilakukan


sesuai dengan Pasal 7 ayat( 3) – (6) UU Bea Meterai, yaitu sebagai berikut.
a. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas
dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan
dibubuhkan.
c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan,
dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga
sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas
meterai tempel.

DTSD Pajak II 65
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus
dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas
kertas.
Letak perekatan meterai tempel bergantung kepada dimana letak tanda
tangan akan dibubuhkan diatas kertas yang bersangkutan. Pada umumnya di
bawah tulisan yang sudah selesai. Jika suatu dokumen yang dibubuhi
meterai tempel harus ditanda-tangani oleh lebih dari satu orang, penanda
tanga pertama harus mempergunakan meterai tempel tersebut.

2. Kertas Meterai

Pelunasan bea meterai dengan menggunakn kertas meterai dilakukan sesua


dengan Pasal 7 ayat (7) – (8) UU Bea Meterai, yaitu dengan cara menuliskan
dokumen yang menjadi objek bea meterai pada kertas meterai yang
ditentukan. Tanda tangan pihak yang membuat dokumen tersebut dilakukan
di atas kertas meterai, pada bagian yang sesuai dengan dokumen yang
dibuat (tidak ditentukan harus pada sisi tertentu dari kertas meterai). Jika isi
dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi
yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak ber meterai. Suatu
dokumen yang menggunakan beberapa helai kertas (misalnya akta pendirian
sebuah perseroan terbatas) dan akta pendirian tersebut menggunakan kertas
meterai, maka hanya bagian awal (helai pertama) saja yang menggunakan
meterai, kemudia helai-helai berikutnya dapat menggunakan kertas biasa
tanpa meterai. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan
lagi.

Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi. Hal ini berarti
bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakai,
sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas
meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai.
Andaikan bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan
akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau
keterangan lain tersebut terutang bea meterai tersendiri yang besarnya
disesuaikan dengan besarnya tarif bea meterai yang berlaku. Jika sehelai kertas

66 DTSD Pajak II
meterai karena suatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum
ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam
kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang
belum merupakan suatu dokumen yang selesai, kemudian tulisan yang ada pada
kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka
kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai
lagi.

Apabila ketentuan tentang bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas
meterai, demikian pula pencetakan, serta tata cara pelunasan bea meterai tidak
dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

B. PELUNASAN BEA METERAI MENGGUNAKAN CARA LAIN

Pelunasan bea meterai lainnya adalah dengan menggunakan cara lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 104/KMK.04/1986 tanggal 22 Februari 1986, pelunasan bea meterai
degan menggunakan cara lain adalah dengan menggunakan mesin teraan
meterai atau alat lain dengan teknologi tertentu, yang penggunaannya harus
mendapat izin tertululis dari Direktur Jendral Pajak. Izin penggunaan diberikan
kepada pemakai yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak. Ketentuan dengan cara lain ini telah mengalami berbagai
perubahan, seiring dengan perkembangan teknologi yang dapat dipergunakan
untuk memperlancar pelunasan bea meterai. Terakhir, ketentuan mengenai
pemeteraian dengan cara lain diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
133b/KMK.04/2000 tanggal 28 April 2000 sebagai berikut:

1. Pemeteraian dengan cara lain dilakukan dengan tiga cara, yaitu:


a. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan mesin teraan
meterai;
b. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan teknologi
percetakan; atau
c. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan sistem
komputerisasi
2. Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain harus mendapat
ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak.

DTSD Pajak II 67
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

3. Hasil pencetakan tanda Bea Meterai Lunas harus dilaporkan kepada


Direktur Jenderal Pajak; Pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan
menggunakan teknologi percetakan dilaksanakan oleh Perusahaan
Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dan/atau
Perusahaan sekuriti yang mendapat ijin dari Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) yang di tunjuk oleh Bank
Indonesia.
4. Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang
tercetak pada dokumen yang tidak terutang Bea Meterai ataupun yang
belum digunakan untuk mencetak tanda Bea Meterai Lunas, dapat
dialihkan untuk penggunaan berikutnya.
5. Penerbit dokumen dengan tanda Bea Meterai Lunas yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dilunasi harus melunasi Bea Meterai yang
terutang berikut dendanya 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai
yang tidak atau kurang dilunasi dengan cara menyetorkannya ke Kas
Negara atau Bank Persepsi.
6. Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek yang tanda Bea
Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan
menggunakan mesin teraan Meterai atau dengan menggunakan meterai
tempel.

1. Tata Cara Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas


dengan Mesin Teraan Meterai

Ketentuan pelaksanaan tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan


Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai
tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep -
122b/Pj./2000 sebagai berikut :
a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit
dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap
hari minimal sebanyak 50 dokumen.
b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai

68 DTSD Pajak II
harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun
pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta
melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang
harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai
harus melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.
d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin penggunaan mesin teraan
meterai mempunyai kewajiban sebagai berikut :
(1) Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat
tanggal 15 setiap bulan.
(2) Menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat paling lambat satu bulan setelah mesin teraan meterai tidak
dipergunakan lagi atau terjadi perubahan alamat/tempat kedudukan
pemilik/pemegang ijin penggunaan mesin teraan meterai.
e. Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak
tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
f. Bea meterai yang belum dipergunakan karena mesin teraan meterai
rusak atau tidak dipergunakan lagi, dapat dialihkan untuk pengisian
deposit mesin teraan meterai lain atau pencetakan tanda Bea Meterai
Lunas dengan teknologi percetakan ataupun dengan sistem
komputerisasi.
g. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai, harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan alasan dan jumlah
Bea Meterai yang akan dialihkan.
h. Penggunaan mesin teraan meterai tanpa ijin tertulis dari Direktur Jenderal
Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

DTSD Pajak II 69
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

i. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian


dari deposit yang disetor dikenakan sanksi denda administrasi sebesar
200 % dari Bea Meterai kurang bayar, dan pencabutan ijin penggunaan
mesin teraan meterai.
j. Penggunaan mesin teraan meterai yang melewati masa berlakunya ijin
yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan ijin.
k. Penyampaian laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat
yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi
pencabutan ijin.

Seiring dengan perkembangan teknologi digital pada berbagai perlatan


perkantoran, termasuk dalam teknologi mesain tera, maka untuk mengantisipasi
perkembangan teknologi tesebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor Per - 45/Pj/2008 Tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai
Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai
Digital.

Pada prinsipnya hal-hal yang diatur dalam peraturan ini sama dengan hal-hal
yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122b/Pj./2000
tanggal 29 Oktober 2009. Namun terdapat beberapa hal baru yang diatur antara
lain :

a. Aplikasi Kode Deposit; adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik
distributor Mesin Teraan Meterai Digital yang ditempatkan pada Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang berfungsi sebagai penerbit Kode
Deposit Mesin Teraan Meterai Digital setelah mendapat informasi hasil
verifikasi pembayaran deposit dari Aplikasi e- meterai;
b. Aplikasi e- meterai adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik
Direktorat Jenderal Pajak yang melayani pendaftaran Mesin Teraan
Meterai Digital, verifikasi pembayaran deposit, dan pelaporan Bea
Meterai, yang dapat diakses melalui portal intranet Direktorat Jenderal
Pajak,
c. Petugas Kantor Pelayanan Pajak meneliti dan meng-input data yang
disampaikan oleh wajib Pajak ke Aplikasi e- meterai.

70 DTSD Pajak II
d. Petugas Kantor Pelayanan Pajak mencetak Surat Izin Pembubuhan
Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital dari
Aplikasi e- meterai.
e. Wajib Pajak setelah membayar deposit Mesin Teraan Meterai Digital akan
memperoleh Kode Deposit paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
pembayaran deposit dilakukan.
f. izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
Meterai Digital berlaku selama 4 (empat) tahun sejak tanggal ditetapkan,
dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
g. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan
akan berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan
Mesin Teraan Meterai Digital. Surat pemberitahuan tersebut dikirimkan
kepada Wajib Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sebelum batas waktu
berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan Meterai Digital.
h. Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin
pembubuhan Wajib Pajak tidak melakukan perpanjangan izin
pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim
Surat Teguran kepada Wajib Pajak paling lambat 5 (lima) hari sejak
berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan.
i. Wajib Pajak yang tidak melakukan perpanjangan izin pembubuhan dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal pengiriman Surat
Teguran, dikenakan sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan
selama 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat
Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea
Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.
j. Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda
Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital harus
diterbitkan paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas
waktu berlakunya izin pembubuhan.
k. Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas
Dengan Mesin Teraan Meterai Digital diatur sebagai berikut:
1) Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai

DTSD Pajak II 71
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Digital Wajib Pajak belum juga melakukan perpanjangan izin


pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim
Surat Teguranpaling lambat 5 (lima) hari sejak berakhirnya batas
waktu berlakunya izin pembubuhan.
2) Wajib Pajak harus menindaklanjuti Surat Teguran sebagaimana
dimaksud pada huruf C yaitu dengan melakukan perpanjangan izin
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai
Digital dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal Surat
Teguran dikirim.
3) Apabila Wajib Pajak tidak menindaklanjuti Surat Teguran sampai
dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada
huruf D, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengenakan
sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan selama 1 (satu)
tahun dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan
Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai
Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.
4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus nnencrbitkan Surat Keputusan
Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai
Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital kepada Wajib Pajak
paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas waktu
berlakunya izin pembubuhan Mesin Teraan Meterai Digital yang telah
selesai masa penangguhan perpanjangan izin pembubuhannya,
dapat digunakan lagi oleh Wajib Pajak.
5) Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal pajak ini, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tata Cara
Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai
Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai sepanjang mengatur tata cara
pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai
Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Manual, dinyatakan masih
berlaku sampai dengan tanggal 28 April 2010.
6) Saldo deposit yang masih tersisa karena Mesin Teraan Meterai
Manual yang digunakan sampai dengan tanggal 28 April 2010 belum
habis, dapat dialihkan ke setoran jenis pajak yang lain dengan cara
pemindahbukuan (Pbk).

72 DTSD Pajak II
7) Prosedur pengalihan saldo deposit diatur sebagai berikut:
a) Wajib Pajak harus mengajukan Surat Permohonan Pengalihan
Deposit kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar, dengan:
- Mencantumkan jumlah saldo deposit yang akan dialihkan, dan
- Memberitahukan perhitungan ke setoran pajak yang lain untuk
dilakukan pemindahbukuan atas saldo deposit yang akan
dialihkan.
b) Untuk mengetahui jumlah saldo deposit yang dialihkan Petugas
Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penelitian fisik dan
administrasi terhadap Mesin Teraan Meterai Manual yang hasilnya
dibuatkan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam lampiran 10
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.5/2001
tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda Bea Meterai
Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai.
c) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada huruf b
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Pengalihan
Saldo Deposit Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam
lampiran 13 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
07/PJ.5/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda
Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai.
d) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyelesaikan
pemindahbukuan (Pbk) terhadap saldo deposit yang dialihkan dan
mengirimkan Surat Pengalihan Saldo Deposit Bea Meterai paling
lambat 10 (lima) hari kerja sejak Surat Permohonan Pengalihan di
terima lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak.
e) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 29 April
2008.

2. Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas


Dengan Teknologi Percetakan.

Ketentuan pelaksanaan tentang tata cara pelunasan bea meterai dengan

DTSD Pajak II 73
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan tekonologi percetakan diatur


dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor Kep - 122c/Pj./2000
sebagai berikut :
a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan teknologi percetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang
berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan
harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah
dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan enggunakan Surat
Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.
c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan,
harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi
Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
d. Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri)
dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai
Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun, harus menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur Jenderal
Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(1) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya
dibubuhkan sebelum tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan
menggunakan mesin teraan meterai atau dengan menggunakan
meterai tempel.
(2) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya
dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan
menggunakan mesin teraan meterai atau dengan menggunakan
meterai tempel dengan ditambah denda administrasi sebesar 200%
dari Bea Meterai kurang bayar tersebut.

74 DTSD Pajak II
(3) Pelunasan denda administrasi seperti tersebut pada ayat (2) di atas
dilakukan dengan menyetorkan ke Kas Negara melalui Bank
Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(4) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang
tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang belum dipergunakan dapat dialihkan untuk
pengisian deposit mesin teraan Meterai, pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas lainnya dengan teknologi percetakan atau
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi.
(5) Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai,
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea
Meterai yang akan dialihkan.
e. Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan
tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea
Meterai.
f. Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri)
atau perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas tanpa adanya ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak
dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor
13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pencabutan ijin penunjukan
sebagai pelaksana pembubuhan tanda BeaMeterai Lunas dengan
teknologi percetakan.
g. Penyampaian laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan
ijin penunjukan sebagai pelaksana pembubuhan tanda Bea Meterai
Lunas dengan teknologi percetakan.

3. Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas


dengan Sistem Komputerisasi

Ketentuan Pelaksanaan Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda

DTSD Pajak II 75
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Bea Meterai Lunas Dengan Sistem Komputerisasi Diatur Dengan Keputusan


Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122d/PJ./2000 Tanggal 1 Mei 2000
sebagai berikut:
a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang
berbentuk surat yang memuat jumlah uang sebagaimana dimaksud Pasal
1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 dengan jumlah
rata-rata peMeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.
b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi,
harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan
jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi
harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar
perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank
Presepsi.
d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi
harus menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan
saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal
15 setiap bulan.
e. Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai
Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai
yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi
kebutuhan pe meteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
f. Penerbit dokumen yang mempunyai saldo Bea Meterai kurang dari
estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan permohonan ijin baru
dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran Bea Meterai di muka
minimal sebesar kekurangan yang harus dipenuhi untuk mencukupi
kebutuhan 1 (satu) bulan.

76 DTSD Pajak II
g. Bea Meterai yang belum dipergunakan karena sesuatu hal, dapat
dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan
tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan.
h. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai
sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan
dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.
i. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan sistem komputerisasi tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak
dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 ndang-undang Nomor 13
tahun 1985 tentang Bea.
j. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian
dari pembayaran di muka yang dilakukan, dikenakan sanksi denda
administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai kurang bayar.
k. PembubuhanTanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisai yang
melewati masa berlakunya ijin yang diberikan, dikenakan sanksi
pencabutan ijin.
l. Penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati
batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin.

C. AKIBAT APABILA KETENTUAN CARA PELUNASAN BEA


METERAI TIDAK DIPENUHI

Pelunasan bea meterai, baik dengan menggunakan benda bea meterai maupun
dengan cara lain, harus memenuhi ketentuan yang telah dikemukakan di atas.
Apabila ternyata ketentuan pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka
dokumen tersebut dinyatakan tidak ber meterai dan tentunya dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang bea meterai dengan
tegas menentukan apabila ketentuan tentang cara pelunasan bea meterai tidak
dipenuhi, maka berlaku ketentuan di bawah ini.

1) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan benda bea meterai tidak


memenuhi ketentuan, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak ber
meterai (Pasal 7 ayat (9) UU Bea Meterai). Hal ini berakibat akan dikenakan

DTSD Pajak II 77
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

sanksi berupa denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak
dibayar.
2) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan mesin teraan meterai atau cara
lainnya sebagaimana dimaksudkan dalm Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Bea
Meterai dilakukan tanpa izin, maka berdasarkan Pasal 14, perubahan
tersebut merupakan kejahatan sehingga dapat diancam dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun.

D. BENDA METERAI YANG SAAT INI MASIH BERLAKU DI


INDONESIA

Benda meterai yang saat ini masih berlaku di Indonesia sebagai sarana
pelunasan bea meteai adalah benda meterai desain tahun 2005, yang diterbitkan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 April 2005. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam
peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 adalah peraturan tersebut
pada dasarnya hanya mengubah ketentuan tentang meterai tempel, yaitu
mengganti meterai tempel desain tahun 2002 dengan desain tahun 2005. hanya
saja ternyata dalam ketentuan penutup peraturan tersebut menyatakan bahwa
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002 dinyatakan tidak
berlaku. Hal ini berarti dasar hukum pemberlakuan kertas meterain desai tahun
2002 juga dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 tentunya


kurang sesuai dengan UU Bea Meteai yang menentukan bahwa kertas meterai
juga merupakan sarana pelunasan bea meterai terutang. Oleh karena inu,
Menteri Keuangan kemudian melakukan perubahan atas aturan dimaksud
dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005
tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005, yang
ditetapkan tanggal 5 Oktober 2005 dan berlaku pada tanggal ditetapkan.

Peraturran Menteri Keuangan Nomor 90/OMK.03/2005 mengubah Pasl 4


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 sehingga menjadi
berbunyi: “Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002, tentang Bentuk, Ukuran, dan
Warna Benda Meterai Desain Tahun 2002, sepanjang yang mengatur mengenai

78 DTSD Pajak II
meterai tempel dinyatakan tidak berlaku.” Dengan demikian, sebenarnya
ketentuan tentang kertas meterai yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 323/KMK. 03/2002 tetap berlaku. Dengan berlakunya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 memberikan kepastian
hukum tentang tetap berlakunya kertas meterai sebagai sarana pelunasan bea
meterai terutang. .

E. PENGADAAN DAN PENGELOAAN BENDA METERAI

Pengadaan, Pengelolaan, dan penjualan benda meterai tidak dilaksanakan


sendiri oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang mengelola pajak
pusat, melainkan diserahkan kepada instansi lain yang dipandang berkompeten
dalam hal pengadaan maupun pengelolaan dan penjualan benda meterai. Hal ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1986 tentang Pengadaan,
Pengelolaan, dan Penjualan Benda Meterai yang ditetapkan pada tanggal 5 Juni
1986 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Dalam peraturan
pemerintah tersebut disebutkan bahwa pencetakan dalam rangka pengadaan
benda meterai dilaksanakan oleh Perum Percetakan Uang Republik Indonesia
(Peruri). Tata cara dan persyaratan pencetakan benda metera diatur lebih lanjut
oleh Menteri Keuangan. Sementara itu, pengelolaan dan penjualan benda
meterai dilaksanakan oleh Perum Pos dan Giro. Tata cara dan persyaratan
pengelolaan dan penjualan benda meterai diatur lebih lanjut oleh Menteri
Keuangan.

Saat ini tata cara dan persyaratan pengelolaan dan penjualan benda meterai
diatur oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nimor
133a/KMK.04/2000 tentangPengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda
Meterai, dan ditetapkan tanggal 28 April 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei
2000. sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pencetakan dalam
rangka pengadaan benda meterai dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum)
Percatakan Uang Republik Indonesia (Perurit). Hasil pencetakan benda meterai
dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Tata cara dan persyaratan
pencetakan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak. Adapun pengelolaan
dan penjualan benda meterai dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia dan atau

DTSD Pajak II 79
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

badan usaha lain yang ditunjuk. Hasil penjualan dan persediaan Benda Materai
dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Sebagai imbalan atas perannya mengelola dan menjual benda meterai maka
kepada PT Pos Indonesia diberikan provisi atas penjualan benda meteai.
Besarnya provisi penjualan benda meterai ditetapkan oleh Direktur Jendersl
Pajak. Untuk melaksanakan ketentuan ini Direktur Jenderal Pajak telah
mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 448/PJ./2000 tanggal
17 Oktober 2000 tentang Besarnya Provisi Penjualan Benda Meterai. Dalam
keputusan tersebut diatur provisi penjualan benda meterai desain tahun 2000
kopur Rp. 3.000,00 dan Rp.6000,00 sebesar Rp.110,00 (seratus sepuluh rupiah)
per lembar/keping. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2000.

Benda meterai yang tidak berlaku lagi dan benda meterai yang rusak, cacat, atau
kotor sehingga tidak jelas lagi ciri-ciri keasliannya dimusnahkan berdasarkan
keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan Tata cara pemusnahan benda meterai
ditetapkam oleh Direktur Jenderal Pajak. Pelaksanaan pemusnahan dilakukan
oleh Direktur Jenderal Pajak, yang terdiri dari unsur Direktur Jenderal Pajak, PT
Pos Indonesia, dan Perum Peruri. Biaya pemusnahan dibebankan pada mata
anggaran Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

F. PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN DAN PENJUALAN


BENDA METERAI

Sehubungan dengan pengelolaan dan penjualan pada meterai milik Direktorat


Jenderal Pajak yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia ( Persero ), Direktur
Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pajak NOMOR SE -
23/PJ.53/2003 Tentang Pengelolaan dan Panjualan Benda Meterai pada tanggal
17 September 2003. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa PT Pos
Indonesia ( Persero ) mempunyai kewajiban antara lain :

1. Menjual benda meterai dan menyetorkan seluruh uang hasil penjualannya


setiap hari ke rekening giro atas nama kas negara c.q. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor
Pos Pemeriksa ; dan
2. Menyampaikan laporan bulanan penjualan dan persediaan benda meterai
beserta bukti setor uang hasil penjualan, yang dapat berupa Surat Setoran

80 DTSD Pajak II
Pajak (SSP) standar bagi Kantor Pos Pemeriksa yang belum on line atau
SSP khusus bagi Kantor Pos Pemeriksa yang sudah on line, kepada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor
Pos Pemeriksa, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Dalam rangka pengawasan terhadap kewajiban PT Pos Indonesia (Persero)


tersebut Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kedudukan Kantor Pos Pemeriksa wajib melaksanakan hal-hal di bawah ini:

1) Mencocokan jumlah penjualan benda meterai yang tercantum pada


laporan yang disampaikan Kantor Pos Pemeriksa dengan lembar ketiga
SSP standar atau SSP khsus atas hasil penjualan benda meterai dan
meneliti MAP/kode jenis pajak dan kode jenis storan yang tercantum pada
SSP tersebut.

a) Mencocokan bukti setor atas hasil penjualan benda meterai yang


dilaporkan oleh Kantor Pos Pemeriksa dengan lembar kedua SSP
standar atau SSP khusus dari KPKN;

b) Menatausahakan laporan penjualan benda meterai beserta bukti setor


atas hasil penjualan benda meterai dengan baik.

3. Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan surat teguran kepada Kantor


Pos Pemeriksa dalam hal:
a) Kantor pos pemeriksa belum menyampaikan laporan bulanan penjualan
dan persediaan beda meterai sampai dengan batas waktu yang
ditentukan; dan atau
b) Kantor pos pemeriksa tidak menyetorkan hasil penjualan benda meterai
setiap hari ke rekening giro atas nama kas negara c.q. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Kantor Pos Pemeriksa.
4. Dalam rangka meneliti kebenaran laporan bulanan penjualan dan persediaan
benda meterai dan memantau persediaan benda meterai di wilayah kerjanya,
Kantor Pelayanan Pajak bersama-sama dengan Kantor Pos Pemeriksa wajib
melakukan verifikasi atas penjualan dan pesediaan benda meterai, dengan
ketentuan sebagai berikut.

DTSD Pajak II 81
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

a) Verifikasi penjualan dan persediaan benda meterai dilakukan secara


berkala setiap tiga bulan sekali (setiap triwulan) paling lambat 21 hari
setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.

 Hasil verifikasi penjualan dan pesediaan benda meterai dicantumkan


dalam berita acara yang ditandatangani kedua belah pihak dan
dituangkan dalam laporan Verifikasi Penjualan dan Persediaan Benda
Meterai.

 Berita acara dan laporan Verifikasi Pejualan dan Pesediaan Benda


Meterai disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP dengan
tembusan disampaikan kepada Manajemen Prangko dan Meterai PT
Pos Indonesia (Persero) dan Direktur PPN dan PTLL paling lambat
akhir bulan pada bulan dilakukannya verifikasi.

5. Kepala Kantor Wilayah DJP wajib mengawasi pelaksanaan veifikasi


penjualan dan persediaan benda meterai di wilayah kerjanya dan wajib
menyampaikan Laporan Triwulanan Penjualan dan Persediaan Benda
Meterai kepada Direktur PPN dan PTLL paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah bulan diterimanya Laporan Verifikasi Penjualan dan
Persediaan Benda Meterai. Hal ini perlu dipahami dan dilaksanakan oleh
pejabat pajak terkait demi tertib administrasi pengelolaan benda meterai.

G. PEMETERAIAN KEMUDIAN

Pemeteraian kemudian merupakan salah satu cara pelunasan bea meterai selain
pelunasan dengan menggunakan benda meterai dan pelunasan dengan cara
lain. Hal ini untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 yang
menyatakan : Pemeteraian kemudian dilakukan atas:

a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana
mestinya.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.

82 DTSD Pajak II
1. Ketentuan Pelaksanaan Pemeteraian Kemudian

Ketentuan pelaksanaan tentang pemeteraian kemudian diatur dalam Keputusan


Menteri Keuangan RI Nomor 476/Kmk.03/2002 Tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Cara Pemeteraian Kemudian yang ditetapkan dan mulai berlaku pada
tanggal 19 November 2002 sebagai berikut:

a. Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen


sebagaimana dimaksud pasal 10 UU Bea Meterai dengan menggunakan
meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan harus disahkan oleh Pejabat
Pos.
b. Lembar kesatu dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak yang digunakan untuk
pemeteraian kemudian harus dilampiri dengan daftar dokumen yang
dimeteraikan kemudian dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Setoran Pajak dimaksud.
c. Pengesahan atas pemeteraian kemudian dapat dilakukan setelah pemegang
dokumen membayar denda :
1) Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagaimana mestinya, wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus
persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi.
2) Dalam hal pemeteraian kemudian atas dokumen yang dibuat di luar
negeri yang akan digunakan di Indonesia, baru dilakukan setelah
dokumen digunakan, maka pemegang dokumen wajib membayar denda
sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang.
3) Denda sebagaimana dimaksud dalam a) dan b) dilunasi dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
d. Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi dengan cara pemeteraian
kemudian adalah:
1) Atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan adalah sebesar
Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada
saat pemeteraian kemudian dilakukan.
2) Atas dokumen yang tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya
adalah sebesar Bea Meterai yang terutang;

DTSD Pajak II 83
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

3) Atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di


Indonesia adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan
peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan.

2. Tata Cara Pemeterian Kemudian dengan menggunakan Meterai Tempel

Tata cara pemeteraian kemudian dengan menggunakan meterai tempel diatur


dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/PJ/2003 tanggal 6
januari 2003, sebagai berikut :

a. Pemegang dokumen membawa dokumen yang akan dilunasi dengan Cara


pemeteraian kemudian kepada Pejabat pos pada Kantor Pos terdekat;
b. Pemegang dokumen melunasi Bea Meterai vang terutang atas dokumen
yanq dimeteraikan kemudian tersebut sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai Dengan Cara
Pemeteraian Kemudian dengan cara menempelkan Meterai Tempel pada
dokumen yang akan dimeteraikan kemudian.
c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau Kurang dilunasi
sebagaimana mestinya Wajib membayar denda administrasi sebesar 200%
dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak dengan kode jenis MAP 0174.
d. Dokumen telah dimeteraikan kernudian dan SSP dicap "TELAH
DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 1985 sebagaimana diatur Iebih lanjut dengan KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 476/KMK.03/2002" oleh Pejabat Pos
disertai dengan tanda tangan, nama terang dan Nomor Pegawai Pos yang
bersangkutan.

3. Tata Cara Pemeteraian Kemudian Menggunakan SSP

Pemeteraian Kemudian dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) diatur


dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/PJ/2003 tanggal 6
januari 2003, sebagai berikut :
a. Membuat daftar dokumen yang akan dimeteraikan kemudian.
b. Membayar Bea Meterai yang terutang berdasarkan daftar tersebut sesuai
ketentuan di dalam Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor

84 DTSD Pajak II
476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan bea Meterai Dengan Cara
Pemeteraian Kemudian dengan menggunakan SSP.
c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagairnana mestinya vvajib membayar denda administrasi sebesar
200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan
menggunakan SSP terpisah dengan SSP yang digunakan untuk
memeteraikan kemudian.
d. Cara pengisian SSP adalah sebagai berikut
1) SSP yang digunakan untuk melunasi pemeteraian kemudian, diisi
dengan Kode Jenis Pajak (MAP) 0171.
2) SSP yang digunakan untuk membayar denda administrasi, diisi
dengan Kode Jenis (MAP) 0174.
e. Daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian dan SSP yang telah
digunakan untuk membayar pemeteraian kemudian dicap "TELAH
DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 1985 sebagaimana diatur lebih lanjut dengan KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 476/KMK.03/2002" oleh Pejabat Pos
disertai dengan tanda tangan, nama terang dan Nomor Pegawai Pejabat
Pos yang bersangkutan.

DTSD Pajak II 85
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

f.

SANKSI, DALUWARSA, DAN KETENTUAN


PIDANA

A. SANKSI ATAS KEWAJIBAN PEMENUHAN BEA CUKAI

Salah satu daya paksa yang dapat dilakukan oleh fiskus untuk menerapkan pajak
terhadap masyarakat atau wajib pajak adalah adanya sanksi yang tegas
terhadap barang siapa yang melakukan pelanggaran ketentuan perpajakan. Hal
ini juga berlaku dalam pengenaan dan pemungutan bea meterai. Pasal 8 UU
Undang Bea Meterai dengan tegas mengatur bahwa dokumen yang bea
meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda
administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar.
Pemegang dokumen dimaksud harus melunasi bea meterai yang terutang berikut
dendanya dengan cara pemeteraian kemudian. Pengenaan sanksi denda ini
dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

1. Dokumen yang menurut ketentuan dikenakan bea mcterai Rp 6.000,00


tetapi temyata tidak diberi meterai. Besarnya pemeteraian kemudian yang
harus dilakukan terhadap dokumen tersebut adalah sebesar Rp
18.000,00 dengan perincian sebagai berikut:
 Bea Meterai yang tidak dibayar = Rp. 6.000,00
 Denda Administrasi 200 % = Rp. 12.000,00
 Jumlah = Rp. 18.000,00

2. Jika dokumen sebagaimana contoh 1 diatas hanya diberi meterai Rp.


3.000,00 maka besarnya pemeteraian kemudian adalah Rp. 9.000,00
dengan perincian sebagai berikut:
 Bea Meterai yang kurang dibayar = Rp. 3.000,00
 Denda Administrasi 200 % = Rp. 6.000,00
 Jumlah = Rp. 9.000,00

86 DTSD Pajak II
B. DALUWARSA BEA METERAI

Berdasarkan Pasal 12 UU Bea Meterai kewajiban pemenuhan bea meterai dan


denda administrasi yang terutang daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun,
terhitung sejak tanggal dokumen dibuat. Ditinjau dari segi kepastian hukum
daluwarsa lima tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk
seluruh dokumen termasuk kuitansi. UU Bea Meterai menentukan bahwa yang
daluwarsa adalah kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi
yang terutang. Hal ini berarti apabila dokumen yang dibuat, baik sepihak maupun
oleh beberapa pihak, merupakan dokumen yang harus dikenakan bea meterai,
tetapi ternyata tidak dipenuhi oleh pihak pembuat pemegang dokumen tersebut
dalam jangka lima tahun dan tidak terjadi sengketa, maka setelah lewat lima
tahun kewajiban bea meterai atas dokumen tersebut menjadi tidak berlaku lagi.

Ketentuan saat daluwarsa kewajiban pemenuhan bea meterai tersebut di atas,


dalam praktiknya mungkin mengalami kendala, yaitu apabila ketentuan
daluwarsa tersebut dikaitkan dengan saat terutang bea meterai atas dokumen
yang dibuat sepihak, dalam hal ini kwitansi misalnya. Kutitansi terutang, apabila
nilai nominalnya sudah memenuhi ketentuan, terutang bea meterai saat
diserhakan dan diterima oleh pihak pembayar. Permasalahan akan timbul
apabila tanggal saat menyerahkan/saat diterima tidak sama dengan tanggal
kuitansi.

Dokumen yang dibuat di luar negeri pada dasarnya tidak terutang bea meterai
pada saat dokumen tersebut dibuat di luar negeri. Kewajiban bea meterai
Indonesia baru timbul pada saat dokumen tersebut dipergunakan di Indonesia.
Dengan demikian, tentunya daluwarsa bea meterai Indonesia atas dokumen
tersebut tidak bisa dihitung sejak tanggal dibuatnya dokumen tersebut (di luar
negeri), melainkan seharusnya dihitung sejak tanggal dipergunakan di Indonesia.
Apabila dokumen tersebut dipergunakan di Indonesia enam tahun setelah dibuat
di luar negeri, tentunya apabila menurut ketentuan tentang daluwarsa bea
meterai menurut UU Bea Meterai, maka pemenuhan kewajiban bea meterai di
Indoesia telah daluwarsa sehingga dokumen tersebut dapat dipergunakan di
Indonesia tanpa perlu membayar bea meterai Indonesia. Hal ini tentunya
bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 UU Bea Meterai yang menegaskan
bahwa justru pada saat dokumen dipergunakan di Indonesia (walaupun setelah

DTSD Pajak II 87
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

enam tahun sejak dokumen dibuat di luar negeli) pada saat itulah terutang bea
meterai Indonesia.

C. KETENTUAN KHUSUS

Dalam UU Bea Meterai terdapat ketentuan khusus bagi para pejabat tertentu
yang tidak dibenarkan untuk melakukan sesuatu jika dokumen yang diajukan
kepadanya ternyata bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sesuai dengan
tarif yang berlaku. Sesuai Pasal 11 UU Bea Meterai pejabat pemerintah,
hakim, panitera, juru sita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing
dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan di
antaranya:

1. Menerima, mempertimbangkan, atau menyimpan dokumen yang bea


meterainya tidak atau kurang dibayar;

2. Melekatkan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar


sesuai dengan tarifnya pada dokumen yang lain yang berkaitan;

3. Membuat salinan, tembusan, rangkapan, atau petikan dari dokumen


yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar; atau

4. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau


kurang dibayar sesuai dengan tarif bea meterainya.

Ketentuan Pasal 11 ini menunjukkan bahwa mereka juga harus turut


mengawasi pelaksanaan UU Bea Meterai. Dalam pekerjaan sehari-hari para
pejabat tersebut memiliki kewenangan tertentu yang diberikan oleh undang--
undang dan peraturan lainnya untuk mengesahkan ataupun mempergunakan
dokumen, yang pada umumnya merupakan objek bea meterai. Oleh karena
itu, untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor bea meterai, para
pejabat tersebut memiliki kewajiban untuk tidak menggunakan dokumen yang
bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dikenakan sanksi administratif


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi para
pejabat yang dimaksud apabila melanggar atau tidak mengindahkan
ketentuan itu dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku bagi masing-masing pejabat yang

88 DTSD Pajak II
bersangkutan. Misalnya bagi pegawai negeri sipil dapat diterapkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 30 Tahun 1980. Bagi Notaris dapat
diterapkan Peraturan Jabatan Notaris (Stbl 1860 No.3).

D. KETENTUAN PIDANA

Sebagaimana dengan jenis pajak lainnya, pada bea meterai juga terdapat
kemungkinan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait
terutama oleh wajib pajak bea meterai. Untuk menjaga agar ketentuan dalam
bea meterai dapat dijalankan secara benar, maka terhadap pihak yang
melakukan tindak pidana dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Sesuai Pasal 13 dan 14 UU Bea Meterai, ketentuan berkaitan
dengan tindak pidana di bidang bea adalah sebagai berikut:

1. Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum


Pidana :
a. barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai
atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan
meterai;
b. barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk
diedarkan atau memasukan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang
dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;
c. barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan,
menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukan ke Negara
Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda-tangannya, tanda
sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-
olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain
menggunakan denganmelawan hak;
d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang
diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk
meniru dan memalsukan benda meterai.
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud di atas adalah kejahatan.
2. Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

DTSD Pajak II 89
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Pasal 13 UU Bea Meterai tidak menentukan besarnya hukuman dan juga


tidak mencantumkan kualifikasi perbuatannya. Hal ini diserahkan kepada
hakim yang mengadilinya sesuai dengan ketentuan dalam KUHP.

E. KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15 UU Bea Meterai mengatur tentang ketentuan peralihan pemberlakuan


UU Bea Meterai yang baru. Hal ini perlu diatur untuk mencegah kevakuman bea
meterai pada awal pemberlakuan bea meterai yang baru sesuai dengan UU Bea
Meterai. Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar bea meterainya yang
dibuat sebelum UU Bea Meterai berlaku, bea meterainya tetap terutang
berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921( Zegel- verordening 1921 ). Pelaksanaan
ketentuan ini diatur oleh Menteri Keuangan.

Walaupun ketentuan peralihan ini dengan tegas dicantumkan, untuk


melaksanakan ketentuan tersebut perlu diperhatikan mengenai kapan saat
terutangnya bea meterai sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 5
UndangUndang Bea Meterai, sebagaimana contoh di bawah ini.
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu
diserahkan. Oleh karena itu, kuitansi, cek dan sebagainya, yang
walaupun dibuat (ditandatangani) dalam bulan Desember 1985, tetapi
baru diserahkan dalam bulan Januari 1986 berlaku ketentuan Undang-
Undang Bea Meterai.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat
selesainya dokumen itu dibuat. Oleh karena itu, kontrak pemborongan
yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 1985 atau sebelumnya,
berlaku ketentuan ABM 1921.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di
Indonesia. Dengan demikian, dokumen, misalnya surat perjanjian kredit
yang dibuat.

90 DTSD Pajak II
PENEGAKAN HUKUM BEA METERAI

Bea meterai merupakan pajak yang menjadi salah satu sumber penerimaan
negara yang memberikan kontribusi penerimaan yang cukup besar. Hal ini
menuntut fiskus sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan
untuk menatausahakan bea meterai harus dapat memasyarakatkan, memantau,
dan mengawasi agar bea meterai dapat dilaksanakan secara benar oleh
masyarakat. Untuk pengamanan dan kelancaran pelaksanaan ketentuan tentang
bea meterai, fiskus perlu memerhatikan dan melakukan beberapa tindakan di
antaranya :

A. PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGENAAN BEA METERAI.

Langkah-langkah pemantauan diperlukan dalam rangka menjamin keamanan


penerimaan negara berkaitan dengan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bea
meterai oleh masyarakat. Pemantauan dapat berupa:

1. Melakukan pengamatan di tempat-tempat penjualan benda meterai


untuk memantau kemungkinan beredarnya benda meterai palsu;

2. Secara cermat mengawasi penggunaan mesin teraan bea meterai;

3. Segera mengadakan penyuluhan terhadap pengusaha hotel, rumah


makan, pedagang (partai dan eceran), pabrikan, dan pengusaha
lainnya yang membuat nota, faktur yang juga berfungsi sebagai
tanda terima uang bahwa mereka harus membubuhkan meterai
tempel pada nota / faktur tersebut sesuai dengan UU Bea Meterai;

4. Memantau pemeteraian cek, bilyet giro, surat yang menyatakan


pembukuan uang dan penyimpanan uang dalam rekening di bank,
serta surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank,
apakah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

B. PEMBENTUKAN TIM VERIFIKASI PENJUALAN BENDA METERAI

Sebagaimana telah dikemukakan wewenang penjualan dan pengelolaan


peredaran benda meterai diserahkan kepada PT Pos Indonesia (Persero).

DTSD Pajak II 91
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Untuk memastikan bahwa penjualan dan pelaporan penjualan benda


meterai dilakukan secara benar, fiskus memiliki tugas untuk memantau
pelaksanaan penjua1an benda meterai. Guna melaksanakan tugas ini,
Direktur Jenderal Pajak membentuk tim verifikasi penjualan benda meterai
dengan pertimbangan bahwa untuk ketertiban dan kelancaran pelaksanaan
verifikasi penjualan benda meterai, perlu dibentuk tim yang bertugas
melaksanakan penelitian, penatausahaan, dan pelaporan terhadap hasil
penjualan benda meterai yang telah dilakukan oleh PT Pos Indonesia
(Persero). Hal ini dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Kep565/PJ.53/1998 tentang Pembentukan Tim Verifikasi Penjualan
Benda Meterai yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 1998 dan mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.

Berdasarkan keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim verifikasi


penjualan benda meterai yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur
Direktorat Jenderal Pajak dan PT Pos Indonesia (Persero). Unsur Direktorat
Jenderal Pajak beranggotakan Kepala Subdit PPN Jasa dan Pajak Tidak
Langsung Lainnya (PTLL), Kepala Bagian Keuangan Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak, Kepala Seksi Pajak Tidak Langsung Lainnya, Kasubag
Pembukuan dan Verifikasi, Kaur Pengadaan Bagian Perlengkapan, dan
Pelaksana Subdit PPN Jasa dan ITLL. Unsur PT Pos Indonesia (Persero)
terdiri dari Manajer Keagenan, Manajer Verifikasi, Manajer Prangko, Manajer
Tarif & HI', Manajer Pandapos, dan Asman Pandapos.

Tim verifikasi penjualan benda meterai mempunyai tugas-tugas antara lain:


1. Melaksanakan penelitian, baik secara administrasi maupun fisik atas
hasil penjualan benda meterai dan persediaan benda meterai;
2. Melakukan pencatatan, penatausahaan, dan pelaporan yang
berhubungan dengan pelaksanaan tugas pada huruf a; dan
3. Melaporkan hasil pelaksanaan verifikasi penjualan dan persediaan
benda meterai kepada Direktur Jenderal Pajak.

92 DTSD Pajak II
C. PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN MESIN
TERAAN BEA METERAI

Pemberian izin penggunaan mesin teraan bea meterai dilakukan atas dasar
pertimbangan kemudahan dan pemberian pelayanan yang secepatya kepada
para pemakai mesin teraan bea meterai. Dan memberikan jaminan keamanan
yang memadai bagi penerimaan negara. Mesin teraan bea meterai merupakan
mesin buatan manusia yang mungkin saja mengalami kerusakan dalam
pemakaiannya. Apabila terjadi kerusakan salah satu implikasi yang perlu
diperhatikan adalah status deposit pembayaran dimuka untuk mendapatkan izin
pemakaian mesin tersebut, apakah masih dapat digunakan, dianggap hangus,
atau dapat diminta kembali oleh pemilik / atau pemegang izin mengunakan mesin
teraan bea meterai.

Pada dasarnya apabila mesin teraan bea meterai rusak masih menyimpan
deposit atau sisa deposit, maka sisa deposit tersebut dapat dipakai untuk
pengisian deposit yang akan dilaksanakan kemudian, setelah mesin teraan
bea meterai diperbaiki dan dapat dipergunakan dengan semestinya. Dengan
demikian, tidak dilakukan pengembalian atas pembayaran bea meterai yang
telah disetor.

Untuk setiap pembukaan dan pemasangan segel mesin teraan bea meterai
baik untuk keperluan perbaikan mesin teraan bea meterai yang
bersangkutan maupun untuk pengisian deposit, dibuat Berita Acara
Pembukaan dan Pemasangan Segel dan dicatat pada buku register
pengisian deposit mesin teraan bea meterai. Setiap pengisian deposit mesin
teraan bea meterai dicatat juga dalam Kartu Pengawasan Pengisian Deposit
Mesin Teraan bea meterai. Untuk pengawasan, terhadap pemakai mesin
teraan bea meterai yang ada dilakukan pendataan sehingga dapat diketahui
jumlah pemakai, jumlah mesin teraan bea meterai, merek mesin teraan, dan
ketertiban pengiriman laporan pemakaian mesin teraan.

Terhadap para pemilik / pemegang izin mesin teraan bea meterai perlu
dilakukan pengawasan agar mereka tidak menyalahgunakan izin yang
diberikan kepadanya. Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap
para pemilik pemegang izin menggunakan mesin teraan bea meterai, fiskus

DTSD Pajak II 93
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

harus mengefektifkan sarana administrasi pengawasan yang sudah ada


untuk menghindari penyimpangan yang mungkin terjadi dalam penggunaan
mesin teraan bea meterai. Berkaitan dengan pengawasan tersebut ada
beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh fiskus, sebagaimana di bawah
ini :
1. Fiskus harus mengawasi kepatuhan para pemegang izin pemilik
mesin teraan bea meterai dalam memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan bulanan. Dalam hal pemegang lzin tidak
mematuhi kewajibannya, fiskus harus segera mengirim surat
peringatan dan dilanjutkan dengan mengirim surat teguran sesuai
dengan ketentuan yang belaku. Apabila peringatan dan teguran tidak
diindahkan, fiskus segera melakukan penyegelan terhadap mesin
teraan bea meterai milik pemegang izin pemilik mesin teraan bea
meterai tersebut.
2. Izin penggunaan mesin teraan bea meterai diberikan untuk jangka
waktu dua tahun untuk mesin teraan manual dan empat tahun utuk
mesin teraan digital, sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian izinnya, dan dapat diperpanjang lagi. Apabila batas waktu
dua tahun/empat tahun hampir habis, atau angka depositnya sudah
mendekati angka pembilang akhir, fiskus mengingatkan kepada yang
bersangkutan untuk menyetor kembali dan mengajukan permohonan
perpanjangan izinnya.
3. Apabila izin tidak akan diperpanjang, fiskus segera melakukan
penyegelan dan pencabutan izin pemakaiannva.
4. Apabila deposit yang telah dibayarkan oleh pemegang Izin pemilik
mesin teraan bea meterai hampir habis sebelum jangka waktu dua
tahun berdasarkan laporan bulanannya, fiskus harus menganjurkan
kepadanya untuk segera menyetor kembali dalam waktu tujuh hari
sebelum depositnya habis dan selanjutnya dilakukan pembukaan
segel dan pengisian deposit yang baru dengan dibuatkan Berita
Acara Pembukaan Segel Mesin teraan bea meterai serta
memperpanjang / memperbaharui izin pemakaiannya.
5. Terhadap pemegang izin pemilik mesin teraan bea meterai yang
melaporkan bahwa mesin teraan bea meterainya rusak, fiskus harus

94 DTSD Pajak II
melakukan pemeriksaan untuk memastikan kebenaran laporan
tersebut. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melakukan
pembukaan segel mesin teraan untuk mengetahui jumlah deposit
yang masih tersedia, untuk selanjutnya dikompensasikan untuk
pengisian deposit mesin teraan bea meterai yang baru, atau terus
digunakan hingga habis setelah mesin yang rusak tersebut
diperbaiki.
6. Untuk menjaga kerapihan dokumen pemegang izin mesin teraan
meterai, fiskus perlu membuat berkas khusus bagi setiap pemilik /
pemegang izin mesin teraan bea meterai, yang menampung
dokumen-dokumen berupa: arsip Surat Keputusan Pemberian Izin,
surat setoran deposit, laporan bulanan, arsip surat peringatan, arsip
surat teguran, arsip Surat Keputusan Perpanjangan Izin, arsip Berita
Acara Pemasangan Segel, arsip Berita Acara Pembukaan dan
Pemasangan Segel, serta surat-surat lain yang berkenaan dengan
pemilik mesin teraan

D. PEMANTAUAN PROSES PENUKARAN BENDA METERAI

Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana perunasan bea meterai
selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini dapat terjadi
karena adanya perubahan tarif bea meterai terutang yang diatur dengan
peraturan pemerintah, untuk menghindari upaya pemalsuan dari pihak yang tidak
bertanggung jawab, maupun karena alasan teknis perubahan angka tahun dari
abad ke-20 menjadi abad ke-21. Umumnya apabila dilakukan perubahan desain
benda meterai tidak begitu saja membuat benda meterai desain yang lama
(sebelumnya) menjadi tidak berlaku pada saat keputusan Menteri Keuangan
tentang desain benda meterai yang baru dikeluarkan atau diberlakukan. Selalu
ada jangka waktu pemberlakuan benda meterai yang lama agar tidak terjadi
kekosongan benda meterai di masyarakat. Selanjutnya apabila masa ·berlaku
benda meterai desain lama telah terlampaui benda meterai desain lama masih
dapat ditukarkan dengan benda meterai desain yang baru dengan nilai tukar
yang sarna sampai jangka waktu tertentu. Penukaran dapat dilakukan pada
kantor-kantor pos di seluruh Indonesia.

DTSD Pajak II 95
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Dalam praktik masih sering dijumpai Kantor pos melakukan penjualan benda
meterai desain lama walaupun masa berlaku benda meterai tersebut telah
berlalu. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fiskus harus
senantiasa memantau penjualan benda meterai dan meminta kantor pos untuk
segera menghentikan penjualan tersebut Apabila benda meterai desain lama
temyata masih ada di kantor-kantor pos, fiskus harus meminta IT Pos Indonesia
(Persero) untuk segera menariknya ke gudang Kantor Pusat IT Pos Indonesia
(Persero) di Bandung.

Penukaran benda meterai desain lama dengan benda meterai desain yang baru
dapat dilakukan apabila masa berlaku benda meterai desain lama sebagai
sarana pelunasan bea meterai telah dilampaui. Apabila jangka waktu tersebut
masih belum dilampaui, benda meterai desain lama tidak dapat ditukarkan
dengan desain yang baru karena pada dasamya dalam jangka waktu tersebut
benda meterai desain lama masih dinyatakan sebagai sarana pelunasan bea
meterai. Apabila sampai batas waktu terakhir penukaran benda meterai desain
lama terlampaui dan temyata masyarakat masih memiliki benda meterai desain
lama, orang atau badan yang memiliki benda meterai tersebut tidak dapat lagi
melakukan penukaran dengan benda meterai desain baru. Hal ini perlu
disampaikan kepada masyarakat umum agar memahami kapan saat penukaran
benda meterai desain lama dapat dilakukan.

E. INTENSIFIKASI BEA METERAI

Sebagai instansi yang diberi kewenangan untuk mengelola pajak, Direktorat


Jenderal Pajak harus selalu berusaha untuk meningkatkan penerimaan
pajak. Hal ini juga dilakukan terhadap bea meterai. Sehubungan dengan
pelaksanaan UUBea Meterai serta peraturan pelaksanaannya fiskus dapat
melakukan upaya intensifikasi bea meterai atas dokumen yang menjadi
objek bea meterai yang dibuat oleh institusi tertentu.

1. Menghimbau kepada penerbit dokumen untuk segera mengenakan


bea meterai atas dokumen yang diterbitkan;

2. Memberitahukan kepada penerbit dokumen bahwa pemenuhan


kewajiban bea meterai atas dokumen yang diterbitkan dapat

96 DTSD Pajak II
dilakukan dengan cara pembubuhan tanda bea meterai lunas
dengan sistem kamputerisasi;

3. Bilamana dalam pemeriksaan pajak ditemukan dokumen yang bea


meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya, atas
dokumen tersebut wajib dikenakan bea meterai dengan ditambah
denda administrasi sebesar 200 % dari bea meterai yang tidak atau
kurang dibayar dengan cara pemeteraian kemudian.

F. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK CLAN


BILYET GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGGANTI LOGO
PERUSAHAAN

Dalam kegiatan bisnis dimungkinkan suatu perusahaan mengganti logo


perusahaan karena alasan tertentu. Salah satu dampak dari perubahan logo
ini adalah terkait dengan penggunaan izin pelunasan bea meterai dengan
cara lain, apakah tetap dapat dipergunakan atau tidak, mengingat salah satu
identitas perusahaan tersebut, yaitu logo perusahaan telah mengalami
perubahan.

Demi tertib administrasi pemberian izin pelunasan bea meterai dengan cara
lain, perusahaan dapat meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
diberikan izin yang baru dengan. logo perusahaan yang baru. Dalam hal ini
akan diberikan izin yang baru, di mana pembayaran di muka yang telah
dilakukan oleh perusahaan tersebut untuk memperoleh izin sebelumnya
dapat dialihkan untuk pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet
giro guna mendapatkan izin yang baru sehubungan dengan perubahan logo
perusahaan.

Untuk maksud ini, pihak perusahaan hams mengadakan stock opname


bersama-sama dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak sehingga
diperoleh kepastian mengenai jumlah blanko cek dan bilyet giro yang telah
dipergunakan dan jumlah yang masih dalam persediaan. Sisa blanko cek
dan bilyet giro harus dimusnahkan dengan disaksikan oleh pejabat
Direktorat Jenderal Pajak dengan dibuatkan Berita Acara Pemusnahan
Blanko Cek dan Bilyet Giro tersebut. Hari, tanggal, dan jam pemusnahan
harus diberitahukan oleh pihak perusahaan dimaksud kepada Direktur

DTSD Pajak II 97
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

Jenderal Pajak, melalui Kantor Pelayanan Pajak setempat. Segala biaya


yang timbul dari pemusnahan blanko cek dan bilyet giro menjadi beban
perusahaan tersebut.

G. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK DAN


BILYET GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGUBAH NAMA
PERUSAHAAN

Selain pengalihan karena adanya perubahan logo perusahaan, pengalihan


pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet giro guna
mendapatkan izin pelunasan bea meterai, dengan cara lain juga dapat
dilakukan oleh perusahaan yang mengubah nama perusahaan. Karena
alasan tertentu dimungkinkan perusahaan melakukan perubahan nama
perusahaan. Dengan mengubah nama perusahaan salah satu implikasi
yang terjadi adalah dalam hal penggunaan izin pelunasan bea meterai
dengan cara lain oleh perusahaan sebelum nama perusahaan diubah tidak
otomatis dapat digunakan oleh perusahaan setelah melakukan perubahan
nama. Izin yang telah diberikan sebelumnya otomatis dibatalkan, tetapi
perusahaan tersebut dapat mengajukan permohonan baru untuk
mendapatkan izin kembali pelunasan bea meterai dengan cara lain. Karena
pada dasarnya perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sama
hanya melakukan perubahan nama, Direktur Jenderal Pajak akan
memberikan izin kepada perusahaan tersebut

Pada saat perusahaan melakukan perubahan nama, dimungkinkan masih


terdapat deposit pembayaran di muka bea meterai apabila jumlah dokumen
yang dimeteraikan kurang dari pembayaran di muka yang telah dilakukan
perusahaan tersebut. Dalam hal demikian, kelebihan pembayaran tersebut
tidak hilang, tetapi juga tidak dapat diminta kembali atau direstitusi oleh
perusahaan dengan nama lama. Hal yang mungkin dilakukan adalah
perusahaan dengan nama yang baru mengajukan permohonan pemakaian
pengalihan pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet giro guna
mendapatkan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain sehubungan
dengan adanya perubahan nama perusahaan. Tata cara pengajuan dan
pengalihan pembayaran di muka dimaksud sama dengan pengalihan

98 DTSD Pajak II
pernbayaran di muka karena perusahaan melakukan perubahan logo
perusahaan.

H. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS SURAT KOLEKTIF


SAHAM

Saham sebagai tanda kepemilikan seseorang atau suatu badan.pada suatu


perusahaan dapat dibuat dalam bentuk surat kolektif saham. Sesuai dengan
ketentuan dalam UndangUndang Bea Meterai, surat kolektif saham, yang
merupakan salah satu contoh efek, merupakan bentuk dokumen yang
dikenakan bea meterai. Pelunasan bea .meterai terutang dapat dilakukan
dengan pembubuhan tanda bea meterai lunas dengan mesin teraan bea
meterai atau teknologi percetakan sesuai dengan izin yang diberikan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

Bentuk surat kolektif saham adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
pada saat diterbitkannya saham tersebut. Pada penerbitan tersebut bea
meterai harus dilunasi oleh pemegang saham. Dalam praktik bisnis
dimungkinkan adanya perubahan bentuk sura kolektif saham, antara lain
disebabkan oleh adanya perubahan peraturan yang ditetapkan oleh bursa
efek dan adanya perubahan modal dasar dari daftar pemegang saham
perseroan. Hal ini berakibat surat kolektif saham yang telah diterbitkan
sebelumnya dinyatakan tidak berlaku/tidak dapat dipakai lagi. Salah satu
konsekuensi dari hal ini terkait dengan pelunasan bea meterai yang telah
dilakukan atas surat kolektif saham yang lama.

Perusahaan menerbitkan surat kolektif saham dalam jumlah tertentu, sesuai


dengan kebutuhan,dana yang diinginkan dari pihak luar perusahaan.Pada
saat diterbitkan perusahaan telah melunasi bea meterai terutang atas
seluruh saham yang diterbitkan. Saham tersebut dapat ditawarkan secara
terbatas ataupun secara terbuka melalui bursa efek.

Dalam praktik dimungkinkan saham yang telah dicetak tidak laku seluruhnya
dibeli oleh pihak luar perusahaan. Apabila karena suatu hal terjadi
perubahan bentuk surat kolektif saham, surat kolektif saham yang lama yang
belum laku tidak berlaku lagi. Dalam kondisi demikian, bea meterai yang
telah dilunasi pada saat pencetakan surat saham yang lama dan ternyata

DTSD Pajak II 99
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai

belum dibeli oleh pihak luar perusahaan dapat dialihkan pada pencetakan
bilyet giro yang baru milik perusahaan yang menerbitkan saham dimaksud.
Hal ini dimaksudkan agar perusahaan tersebut tidak dirugikan karena
adanya perubahan bentuk surat saham kolektif yang lama.

Untuk maksud pengalihan, ini perusahaan dimaksud dapat mengajukan


permohonan mengalihkan bea meterai lunas atas saham kolektif sejumlah
surat kolektif lama yang belum digunakan. Atas permohonan ini, petugas
pajak akan melakukan pemeriksaan, dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Direktur Jenderal Pajak (atau pejabat yang berwenang) akan memberikan
izin pengalihan dimaksud. Pengalihan dilakukan sesuai dengan jumlah bea
meterai yang telah dilunasi atas surat saham yang belum digunakan dan
pengalihan dilakukan untuk pencetakan blanko bilyet giro yang baru atau
pelunasan bea meterai atas dokumen dengan menggunakan mesin teraan
bea meterai. Pengalihan dilakukan sesuai dengan tarif bea meterai yang
berlaku pada saat pengalihan. Surat kolektif saham lama yang belum
digunakan dimusnahkan oleh petugas pajak dengan disaksikan oleh wajib
pajak dan untuk itu dibuatkan berita acara pemusnahannya.

I. BEA METERAI ATAS KARTU KREDIT

Salah satu dokumen yang menjadi objek bea meterai adalah tanda terima
pembayaran tagihan (billing statement) kartu kredit. Tanda terima ini selain
berfungsi sebagai bukti penerimaan uang juga berfungsi sebagai dokumen
yang berbentuk surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya
atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. Ketentuan tentang
batas nilai nominal uang yang menentukan terutang atau tidaknya dan
berapa tarif bea meterai yang terutang atas dokumen tersebut disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku pada saat dibuatnya dokumen dimaksud.
Pelunasan bea meterai atas dokumen tersebut dapat dilakukan dengan
sistem komputerisasi ataupun dengan menggunakan meterai temple.

Nilai dalam tagihan kartu kredit yang dipergunakan sebagai harga nominal
yang dikenakan bea meterai adalah nilai pembayaran yang dilakukan oleh
pemegang kartu kredit dalam satu periode tagihan karena jumlah tersebut
menunjukkan suatu pengakuan dari penerbit kartu kredit atas pelunasan

100 DTSD Pajak II


sebagian atau seluruh utang pemegang kartu kredit. Sebagai contoh, pada
bulan Juli 2001 pemegang kartu kredit melakukan pembayaran sebanyak tiga
kali dengan jumlah sebesar Rp1.500.000,00. Maka, bea meterai yang
dikenakan atas tagihan kartu kredit yang memuat pembayaran tersebut
adalah sebesar Rp. 6.000,00.

DTSD Pajak II 101

Anda mungkin juga menyukai