UNIVERSITAS MULAWARMAN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga makalah dari kelompok kami dapat terselesaikan
dengan lancar. Makalah ini terbentuk atas dasar penugasan dari mata kuliah
Perpajakan II dengan dosen pengampu Bapak Cornelius Rante Langi, SE., Mm.,
Ak., CA., CTA., CSRS., BKP. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
pembentukan makalah ini. Maka dari itu saran dan juga masukkan dari para
pembaca sekalian akan sangat membantu dalam penyempurnaan makalah kami
untuk ke depannya. Kami berharap semoga makalah ini dapat membantu para
pembaca sekalian dalam memahami mengenai PBB, BPHTB, Bea Materaim PPN,
PPnBM, dan Laporan Keuangan Fiskal. Sekian yang dapat kami sampaikan,
kurang lebihnya mohon maaf dan terima kasih.
Dengan Hormat,
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
ii
A. Dasar Hukum .............................................................................................. 30
B. Istilah dan Pengertian .................................................................................. 30
C. Objek Pajak ................................................................................................. 31
D. Dikecualikan dari Objek Pajak .................................................................... 32
E. Subjek Pajak ............................................................................................... 33
F. Tarif Pajak ................................................................................................... 35
G. Cara Menghitung Pajak ............................................................................... 37
H. Saat dan Tempat Terutang ............................................................................ 37
I. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak ............................ 41
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH(PPnBM) ................................ 43
A. Perbedaan antara PPN dan PPnBM.............................................................. 43
B. Dasar Hukum PPnBM ................................................................................. 44
C. Pihak Pemungut PPnBM.............................................................................. 44
D. Subjek PPnBM ............................................................................................ 44
E. Objek yang Dikenakan PPnBM ................................................................... 45
F. Mekanisme Pemungutan PPnBM ................................................................ 47
G. Rumus dan Cara Menghitung PPnBM ......................................................... 49
KESIMPULAN ..................................................................................................... 51
LAPORAN KEUANGAN FISKAL ..................................................................... 52
A. Dasar Hukum dan Pengertian Koreksi Fiskal ............................................... 52
B. Tujuan Koreksi Fiskal ................................................................................. 53
C. Perbedaan Laporan Keuangan Fiskal dan Komersial.................................... 53
E. Jenis Koreksi Fiskal .................................................................................... 58
F. Laporan Keuangan Fiskal ............................................................................ 60
Jawaban Penghasilan Kena Pajak dari Rekonsiliasi Fiskal PPh Badan .............. 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 77
iii
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
A. DASAR HUKUM
Untuk menyesuaikan ketentuan klasifikasi objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan
sektor lainnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta untuk
meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak, oleh karena
itu dibentuk Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
234/PMK.03/2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan
yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
1
4. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar,
dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
5. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) adalah surat yang oleh
wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan da/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
6. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan
oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
7. Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir
atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh kepala daerah.
8. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) adalah surat Ketetapan Pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
9. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ( SPPT) adalah surat yang
digunakan untuk memberitahukan besarnya pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan yang terletak pada wajib pajak.
10. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administratif, dan jumlah yang masih harus dibayar.
11. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT)
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
2
12. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN) adalah surat Ketetapan
Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
13. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB) adalah surat
Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
14. Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
15. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah yang terdapat dalam surat-surat tersebut.
16. Surat keputusan keberatan adalah surat keputusan atas keberatan
terhadap surat-surat tersebut atau terhadap pemotongan atau pemungutan
oleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.
C. OBJEK PAJAK
Merujuk Pasal 77 UU PDRD, yang menjadi objek Pajak Bumi dan
Bangunan adalah yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Item-item yang termasuk dalam
pengertian bangunan adalah jalan lingkungan yang terletak dalam satu
kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang
merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut.
Objek pajak diklasifikasikan menjadi:
a. objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi bumi dan/atau bangunan
yang berada di kawasan perkebunan;
b. objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi bumi dan/atau bangunan yang
berada di kawasan perhutanan;
3
c. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi
bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak
dan/atau gas bumi;
d. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan
untuk pengusahaan panas bumi;
e. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi
bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau
batubara; dan
f. objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/ atau bangunan yang
berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana diatur dalam
undang-undang mengenai kelautan, yang;
1. selain diatur dalam peraturan perundangundangan yang mengatur
mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah, kecuali yang sudah diatur dalam peraturan daerah
mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah; dan
2. selain objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor
Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan
Panas Bumi, atau objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau
Batubara.
4
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara
yang belum dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
E. SUBJEK PAJAK
Subjek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang
pribadi atau badan yang dapat mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan
dialihkan kepada penyewanya atau pihak lain. Jika suatu objek pajak belum
diketahui secara pasti siapa wajib pajaknya maka yang menjadi objek pajak dapat
ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Beberapa ketentuan khusus mengenai siapa yang
bangunan milik orang lain bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-
5
atau menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib
pajak,
3. Subjek pajak yang dalam waktu lama berada di luar wilayah letak objek
orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk
Menghitung PBB
Besarnya PBB dihitung dengan cara mengalihkan tarif dan dasar pengenaan
pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
diformulasikan sebagai berikut :
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif × Dasar Pengenaan PajakPajak
Bumi dan Bangunan = Tarif × (NJOP – NJOPTKP)
Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan dasar pengenaan pajak adalah:
a. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP) dikurangi
nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP),
b. NJOP ditetapkan setiap periode tertentu (misalnya, 3 tahun) kecuali
untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya. NJOP PBB P2 ditetapkan oleh Kepala
Daerah (Bupati/Walikota). (klasifikasi NJOP untuk objek pajak sektor
pedesaan dan sektor perkotaan,
6
c. Besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah Rp.10.000.000 untuk
setiap wajib pajak (selanjutnya ditetapkan oleh masing-masing daerah
berdasarkan Perda).
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pemerintah resmi menaikkan
tarif PBB atau Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-
P2).Tarif PBB terbaru naik seiring berlakunya UU HKPD yang disahkan Presiden
Rumus NJKP :
40% x (Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)-NJOPTKP)
PT AAA memiliki lahan di daerah Jakarta dengan memiliki area tanah seluas
1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi.
7
Diketahui NJOP tanah per meter di daerah tersebut adalah Rp5.000.000 dan
harga bangunan per meter Rp1.000.000.
8
H. PENDAFTARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam pendaftaran/pendataan, penetapan,
dan penagihan PBB adalah:
1. Subjek pajak melakukan pendaftaran objek pajak dengan cara mengisi
2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, tepat waktu, serta
4. SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, tetapi untuk membantu Wajib Pajak,
SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada di
(SKPD) apabila:
9
7. Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar dalam STPD
bulan.
3. Pembayaran pajak dilakukan sekaligus atau lunas paling lambat pada saat
yang ditunjuk atas SPPT dan/atau SKPD dengan cara sebagai berikut:
jumlah pajak yang terutang atau kurang bayar yang ditetapkan oleh
10
b. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
dikabulkan.
Banding
dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu tiga bulan sejak keputusan
11
b. Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban pembayaran
Banding.
e. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% dari jumlah
Pajak berdasarkan
mengajukan keberatan.
Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% dari jumlah
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Rumah Sakit Swasta. Seiring dengan
12
berjalannya waktu, PTS dan Rumah Sakit Swasta dipandang tidak lagi hanya
berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan sosial saja, tetapi juga lembaga yang
mencari laba. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika PBB dikenakan pula
Ketentuan mengenai pengenaan PBB pada PTS diatur dalam Surat Keputusan
13
Pengenaan PBB pada Rumah Sakit Swasta
PBB yang harus dibayar sebesar 50 persen dari jumlah PBB yang seharusnya
1. Jumlah tempat tidur untuk pasien yang tidak mampu lebih besar dari 25
2. Sisa Hasil Usaha (SHU) untuk reinvestasi di dalam rumah sakit bukan
A. Dasar Hukum
Dasar hukum saat ini untuk pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Daerah sudah tidak sesuai lagi, sehingga diganti agar sesuai dengan
14
B. Subjek dan Objek BPHTB
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 45, subjek
pajak dalam BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 44, objek pajak
pelepasan hak.
15
Hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunhyai
Pokok Agraria.
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah
Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik yang bersifat
ketiga.
16
Untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara
Oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena
kepentingan ibadah.
C. Menghitung BPHTB
= 5% × (NPOP – NPOPTKP)
17
*NPOPKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
pajak yang dikenakan atas objek BPHTB paling tinggi 5%, tarif BPHTB
Rp80.000.000, namun bila perolehan secara waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah
NPOPTKP.
18
Pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian
pelepasan hak.
Bangunan.
19
Prosedur penelitian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD).
Bangunan.
BEA MATERAI
A. DASAR HUKUM
Dasar hukum saat ini pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Bea
masyarakat, dan kebutuhan tata kelola Bea Meterai saat ini sehingga perlu diganti.
20
2. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan
tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau
keterangan.
dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf,
teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau
4. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk
Tarif, Dan Saat Terutang Bea Materai. Bea Meterai dikenakan atas :
(2) Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi:
21
a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya
f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang,
g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari
Yang Tidak Dikenakan Bea Materai. Bea Meterai tidak dikenakan atas
2. konosemen;
22
3. surat angkutan penumpang dan barang;
c. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang
d. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah,
bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan ;
e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan
peraturan perundangundangan;
h. surat gadai;
23
i. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga,
j. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka
(1) Dokumen yang dibuat sepihak, Bea Meterai terutang oleh pihak yang
menerima Dokumen.
(2) Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
ayat (21) huruf d, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat
berharga.
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bea Meterai terutang oleh pihak
(5) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dibuat di luar negeri
24
(6) Ketentuan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tidak menghalangi pihak atau para pihak
Meterai.
Pasal 5
Pasal 6
(1) Besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai
pendapatan masyarakat.
(2) Besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikenai Bea Meterai
keuangan.
25
(4) Perubahan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana
dimaksud pada ayat (21, atau Dokumen dan besaran tarif tetap yang berbeda
(1) Pembayaran Bea Meterai yang terutang pada Dokumen dilakukan dengan
menggunakan:
a. Meterai; atau
a. Meterai tempel;
(3) Setiap Orang wajib memperoleh izin untuk membuat Meterai dalam bentuk
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Bea Meterai yang terutang
26
H. KETENTUAN PIDANA
Ketentuan Pidana :
Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai
Meterai tersebut sebagai Meterai asli, tidak dipalsu, atau sah; atau
Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, secara
melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
rupiah).
27
Kesimpulan
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Derah (PDRD). Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) awalnya merupakan pajak
pusat yang kemudian dialihkan menjadi pajak daerah kota/kabupaten. Objek dari
Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan bangunan. Dan Subjek Pajak Bumi dan
Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang dapat mempunyai suatu hak atas
atas bangunan.
BPHTB didasari UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Derah yang dimana subjek dari BPHTB ini adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, serta yang menjadi objek dari
BPHTB adalah perolehan tanah dan/atau bangunan yang meliputi pemindahan hak
karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, dan masih banyak lagi.
Yang dimana dalam BPHTB itu sendiri sudah lengkap dan jelas terkait kapan saat
satu cara mewujudkan peran serta masyarakat dalam Pembangunan Nasional adalah
yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan
28
Adapun Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat
manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak pihak yang bersangkutan
menentukan lain.
29
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
A. Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai terbaru yang telah disepakati dan
diputuskan oleh Dewan Perwakilan Republik Indonesia dan PresidenRepublik
Indonesia tertuang pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Yang merupakan perubahan
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2OO9
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
30
5. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai
pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
6. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.
7. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang KenaPajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena
Pajak
8. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
9. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan,
atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah tersebut.
C. Objek Pajak
Merujuk pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021
Pasal 4 Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
31
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha KenaPajak;
dan
g. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
32
dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
c. jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa
penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak daerah dan
retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
d. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan
dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh
bentuk usaha lain;
e. jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau
penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat
parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir kepada pengguna
tempat parkir yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pajak daerah dan retribusi daerah;
f. jasa boga atau katering, meliputi semua kegiatan pelayanan
penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak
daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
E. Subjek Pajak
Subjek Pajak tercantum pada Ketentuan Pasal 3A yaitu :
1. Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1A kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang terutang.:
33
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa
beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau
melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang
Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atausebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam
rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha
Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
2. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
pasal ayat 1.
3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena PajakTidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal
4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
34
Selain itu subjek pajak juga disebutkan pada Undang-undang Nomor 7 Tahun
2021 Pasal 9A :
F. Tarif Pajak
Berdasarkan dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan Bab IV Pasal 7 dan Pasal 8A Tentang Tarif Pajak, adapun tarif
yang digunakan saat ini, yaitu :
Pasal 7
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April
2022;
b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada
tanggal 1 Januari 2025.
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15%
(lima belas persen).
35
(4) Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh
Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan AnggaranPendapatan
dan Belanja Negara.
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar
Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Eks por, atau nilai lain.
(2) Dihapus.
(3) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang dalam penghitungan Pajak
Pertambahan Nilai terutang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak berupa
nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikreditkan.
36
G. Cara Menghitung Pajak
Untuk menghitung PPN, kita harus menggunakan rumus yakni: tarif
PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau 11% x DPP. Agar lebih mudah
memahami penggunaan tarif tersebut, mari kita lihat bersama contoh kasus
di bawah ini.
Contoh kasus:
PT. Cinday merupakan PKP yang menjual BKP pada PT. ABC dengan
harga Rp50.000.000. Maka, PPN terutang yang perlu disetorkan adalah:
PPN terutang: 11% x Rp50.000.000 = Rp5.500.000
Jadi, PPN Rp5.500.000 menjadi pajak keluaran yang dipungut PT. Cinday
dari PT ABC adalah Rp5.500.000.
37
Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran
dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya
pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) Dihapus.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat
terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau
terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) Dihapus.
Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h
terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
38
(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat
pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak
dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan
huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau
tempat kegiatan usaha.
Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf h.
(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan
Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
39
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling
lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling
sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. identitas pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang meliputi:
1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk
kependudukan atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang
pribadi; atau
2. nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan
merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
Undang mengenai Pajak Penghasilan;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(5a) Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak
tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama
dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik
40
konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan
tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atas
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
Pasal 14
(1) Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
(2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak
ke Kas Negara.
41
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena PajakTidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
42
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(PPnBM)
Pajak pusat
Pajak objektif
Pajak atas konsumsi umum dalam negeri
Pajak tidak langsung
PPN dan PPnBm diatur dalam undang-undang yang sama karena PPnBM
tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa pengenaan PPN. Meski begitu, keduanya
tetap memiliki perbedaan, yaitu PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur
produksi maupun jalur distribusi barang atau jasa. Sedangkan PPnBM hanya
43
dikenakan 1 kali pada saat impor barang mewah atau pada saat penyerahan barang
yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan barang atau jasa
tersebut di dalam Daerah Pabean, dalam kegiatan usaha atau pekerjaannyan. Selain
itu, PPN dapat dikreditkan melalui mekanisme pajak masukan dan pajak keluaran.
Sementara PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN maupun PPnBM lainnya.
PPnBM memiliki dasar hukum yang sama dengan PPN, yaitu Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2009, yang sudah diganti atau dicabut dengan UU No.
7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Di dalam undang-
undang tersebut diatur mengenai objek pengenaan PPnBM, ketentuan tarif secara
umum, hingga cara pemungutan pajak. Selain itu, terdapat PMK No.
05/PMK.010/2022 yang mengatur PPnBM ditanggung oleh pemerintah di tahun
2022 ini.
Berbeda dengan PPN, pajak ini hanya disetorkan 1 kali, yaitu pada saat impor
BKP tergolong mewah atau pada saat penyerahan BKP merwah dari produsennya.
Jadi, pajak penjualan barang mewah ini tidak perlu dikenakan lagi pada saat proses
penyerahan tingkat/tahap selanjutnya.
D. Subjek PPnBM
44
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
45
Objek pajak bukan merupakan barang-barang kebutuhan pokok.
Objek pajak umumnya hanya dikonsumsi oleh orang-orang
yang memiliki penghasilan tinggi.
Objek pajak hanya dikonsumsi oleh orang-orang atau
masyarakat tertentu.
Objek pajak dikonsumsi demi status atau untuk menunjukkan
status sosialnya.
46
barang mewah. Lebih rinci lagi, pungutan PPnBm tidak dikenakan atas
impor atau penyerahan:
Kendaraan CKD.
Kendaraan Sasis.
Kendaraan Pengangkutan Barang.
Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder
sampai dengan 250 cc.
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 (enam belas)
orang atau lebih termasuk pengemudi.
47
1. Pemungutan Pajak Barang Mewah oleh PKP
Pemungutan pajak barang mewah oleh PKP mirip seperti PPN, yang mana
PKP produsen yang menyerahkan bkp tergolong mewah, menerbitkan faktur
pajak kepada pihak pembeli dan melaporkan pungutan pajak atas transaksi
tersebut di dalam SPT Masa pajak. Faktur pajak yang digunakan untuk
transaksi penyerahan bkp tergolong mewah ini adalah faktur pajak dengan
kode 01.
Pada dasarnya, PKP produsen wajib menerbitkan faktur pajak dan surat
setoran pajak (SSP), kemudian dibuat dalam beberapa rangkap untuk
diserahkan kepada pihak-pihak terkait. Proses Pengenaan Tarif dan
Penghitungan PPnBM
Tarif pajak 10% untuk kendaraan umum kategori tertentu, alat rumah tangga,
alat pendingin, hunian mewah, televisi, dan minuman bebas alkohol.
Tarif pajak 20% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, alat fotografi,
permadani, dan peralatan olahraga impor.
Tarif pajak 25% untuk kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar.
48
Tarif pajak 35% untuk minuman bebas alkohol, barang berbahan kulit impor,
batu kristal, bis, dan barang pecah belah.
Pada saat ini, pemerintah memberikan diskon PPnBM untuk mobil baru
2022. Diskon PPnBM tertuang dalam PMK No. 05/PMK.010/2022. Untuk
menghitung besaran PPnBM, terlebih dahulu menghitung dasar pengenaan
pajaknya (DPP) yang meliputi:
Kemudian, harus mengetahui tarif PPN yang berlaku, saat ini sebesar 11%.
Karena PPnBM tidak bisa terpisahkan oleh PPN, berikut ini rumus penghitungan
PPN untuk barang mewah:
49
Contoh Soal
PT ABC yang merupakan PKP, akan membuat tempat fitness atau gym di salah
satu area di Jakarta Barat. Karena itu, PT ABC berencana membeli peralatan
olahraga impor dari luar negeri dengan total invoice sebesar Rp2,5 miliar. Berapa
PPnBM dan PPN yang harus dibayar atas transaksi ini?
Pertama-tama, PT ABC harus mencari tahu besaran PPnBM yang harus dibayar.
Karena mengimpor peralatan olahraga, tarif yang dikenakan adalah sebesar 20%.
PPnBM= Rp500,000,000
Selanjutnya, PT ABC harus menghitung PPN yang dikenakan pada transaksi ini.
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 11%.
PPN= Rp220,000,000
Jadi, total harga dan pajak yang harus PT ABC bayar atas transaksi ini adalah:
= Rp3,200,000,000
50
KESIMPULAN
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 11% yang mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2022, dan sebesar 12% yang mulaia berlaku paling lambat pada
tanggal 1 Januari 2025. Rumus menghitung PPN adalah ; tarif PPN x Dasar
Pengenaan Pajak. Adapun terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan barang
kena pajak, impor barang kena pajak. penyerahan jasa kena pajak, pemanfaatan
barang kena pajak, pemanfaatan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak
berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan ekspor jasa kena pajak.
Pengusaha yang melakukan penyerahan kecuali pengusaha kecil, dan orang
pribadi atau badan wajib melaporkan usahanya, memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai untuk diperhitungkan pengenaan pajak yang
diterima dan tata caranya diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.
51
LAPORAN KEUANGAN FISKAL
dilaporkan ke dirjen pajak dan selainnya. Umumnya, revisi ini dilakukan apabila
draft laporan tidak sesuai dengan format yang menjadi standar pajak. Dasar Hukum
Undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan diubah
52
bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi. Koreksi fiskal terjadi
karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Neraca fiscal
Perhitungan laba rugi dan perubahan laba ditahan
Penjelasan laporan keuangan fiscal
Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan koreksi fiscal
Ikhtisar kewajiban pajak
53
Berikut ini adalah perbedaan laporan keuangan fiskal dankomersial
berdasarkan beberapa hal:
1. Pendapatan atau Penghasilan
Konsep penghasilan menurut akuntansi dan perpajakan berbeda. Ini merupakan hal
yang wajar, mengingat tujuan dan pembuat kebijakan pada kedua laporan keuangan
tersebut juga berbeda. Pada akuntansi atau komersial, pendapatan (revenue) dan
penghasilan (income) adalah hal yang berbeda, tetapi keduanya masuk dalam laporan
penghasilan. Definisi pendapatan menurut IFRS dalam IAS 18, Pendapatan atau
revenue adalah arus masuk bruto atas manfaat ekonomi selama periode tertentu yang
timbul dari aktivitas biasa dari suatu perusahaan atau entitas di mana arus kas masuk
kontribusi dari para pemilik modal. Sedangkan, menurut UU No. 36 Tahun 2008
ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia
atau luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan
Wajib Pajak dengan nama serta dalam bentuk apapun.” Selanjutnya pajak merinci
penghasilan kedalam tiga kategori, yaitu; penghasilan yang merupakan objek pajak,
penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak penghasilan. Atas perbedaan tersebut, maka terjadilah perbedaan laba
dalam akuntansi komersial dan akuntansi fiskal di mana pada akuntansi fiskal
terdapat penghasilan yang bukan merupakan 4 objek pajak yang artinya penghasilan
Sama halnya dengan konsep pendapatan yang berbeda antara akuntansi komersial
dan akuntansi fiskal, konsep beban pada kedua laporan ini juga berbeda. Beban
54
pada akuntansi komersial didefinisikan sebagai penurunan manfaat ekonomi
selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva
manfaat ekonomi di masa mendatang untuk biaya. Pada akuntansi pajak beban
Akan tetapi, tidak semua biaya dapat diakui sebagai pengurang pada laporan
Hal ini dikarenakan pada akuntansi fiskal biaya dikelompokan menjadi dua, yaitu
biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense) dan
biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible
dan non deductible diatur oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah, perusahaan
yaitu rumus biaya masuk pertamakeluar pertama ( First In First Out), rata-rata
tertimbang (Weigth Average Cost Method) dan masuk terakhir keluar pertama
menggunakan dua metode, yaitu metode rata-rata atau dengan metode FIFO.
Metode LIFO tidak diperbolehkan pada akuntansi fiskal hal ini dikarenakan
perhitungan dengan metode LIFO membuat nilai pajak terutang menjadi lebih
kecil.
4. Metode Penyusutan
55
Akuntansi menentukan umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya walaupun
Metode garis lurus atau straight line method yang menghasilkan pembebanan
yang tetap selama umur manfaat aset jika dinilai residunya tidak berubah.
Metode Jumlah Unit atau sum of the unit method yang menghasilkan
hanya menetapkan dua metode penyusutan yang harus dilaksanakan wajib pajak
berdasarkan pasal UU No. 36 tahun 2008 pasal 11 tentang Pajak Penghasilan yaitu
berdasarkan metode garis lurus dan metode 6 saldo menurun yang dilaksanakan
jenis harta dan masa manfaat. Adapun rinciannya tertuang pada peraturan menteri
56
Dimana bagian yang mengatur dan mengelola semua jenis anggaran yang masuk
dan digunakan adalah bagian operasional. Nantinya ini akan menjabarkan semua
anggran master serta produksi. Bahkan hal penting lainnya yang tidak boleh
luput adalah laporan dan pengetahuan perusahaan akan adanya laporan laba rugi
sebuah priode.
2. Perbedaan Penelitian Investor Hal lainnya yang membuat adanya perbedaan
adalah tentang penelitian yang dilakukan oleh para investor. Sang pemegang
saham atau yang kita kenal dnegan istilah investor ini nantinya akan menggunakan
bagian dai laopran keuangan tersebut. Ini sangat dibutuhkan dalam penelitian
primer dan juga bisa untuk perhitungan seberapa banyak aset yang dimiliki oleh
perusahaan tersebut. Laporan juga akan digunakan oleh investor untuk
mengetahui bagaimana anggran dan bagaimana laporan alokasi dana yang
digunakan.
3. Penggunaan Dari Laporan Keuangan Pastinya pengeurus dan bagian penting dari
etiunitas yang memiliki laporan keuangan tersebut akan menggunakan kedua jenis
laporan keuangan ini untuk beragam tujuan masingmasing. Misalnya saja laporan
fisikal yang digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penganggaran dana
yang digunakan dan dipakai dari tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan yang
satunya lagi untuk mengetahui seberapa besar dan abgaimana kegunaan dari
produksi dan penjualan serta bersangkutan dnegan hasil untung rugi yang telah di
dapat. Adanya tahun anggaran yang sudah mendapatkan banyak hasil dan
terbilang sukses ini bisa menjadi titik tumpu dan menginspirasi banyak kinerja
lainnya.
4. Kegunaan dan Dampak Laporan Keuangan Komersil Tentunya berbeda dengan
laporan keuangan fisikal yang sebelumnya kita bahas, laporan keuangan komersil
unu akan dibuat berdasarkan acuan dari prinsip keuangan yang bersifat netral.
Pengakuan pendapatan dan penyusunan keuangan pada kedua jenis laporan
keuangan ini biasnaya menjadi dasar perbedaan yang kian mencolok diantara
keduanya.
5. Perbedaan Jenis Pelaporan Keuangan Di Bidang Pendapatan Konsep pendapatan
dari kedua jenis pelaporan keuangan ini sendiri sangat berbeda. dimana laporan
Fisikal akan terbagi dari 3 jenis pendapatan yang umum digunakan dan sesuai
dnegan UUD. Sedangkan untuk penyusunan pelaporan komersial akan berbeda
lagi tentunya. Dan semua ini berlaku untuk penghasilan yang sudah dilaporkan
57
dan terdapat baik di dalam maupun diluar negeri.
6. Perbedaan Konsep Dari Persediaan dan Penyusutan Faktor lainnya yang
membedakan kedua jenis laporan keuangan ini adalah perbedaan dari masalah
penyusutan dan persedian dariu aset dan segala jenis finansial yang ada. kedua
jenis pelaporan keuangan ini akan menggunakan metode dan mendapatkan data
yang berbeda di setiap hasilnya. Jadi, laporan keuangan fisikal dan kemorsial pada
dasarnya akan berbeda dan menghasilkan hasil yang tak sama. Jadi, pada
dasarnya, perbedaan ini akan mengacu pada metode, penetapan dan bagaimana
prinsip dari perhitungan masingmasing laporan keuangan tersebut. Dan, ini juga
yang nantinya menjadi penyebab mengapa terdapat perbedaan mendasar kepada
dua jenis laporan tersebut sehingga Kita bisa mengelompokkan dan membedakan
diantara keduanya dan menggunakannya sesuai dnegan keperluannya masing-
masing. Karena kedua jenis laporan keuangan ini memiliki kegunaanya tersendiri
yang tidak bisa diabaikan dan tidak bisa digantikan oleh faktor lainnya dalam
sebuah perusahaan.
E. Jenis Koreksi Fiskal
58
1. Koreksi fiskal positif
Koreksi positif umumnya disebabkan oleh biaya-biaya yang tidak
diperkenankan oleh pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh.
Biaya-biaya tersebut di antaranya:
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungannya.
Dana cadangan.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang di bayarkan kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan.
Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan.
Pajak penghasilan.
Gaji yang dibayarkan kepada pemilik.
Sanksi administrasi.
Selisih penyusutan atau amortisasi komersial diatas
penyusutan/amortisasi fiskal.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang
tidak termasuk objek pajak.
Penyesuaian fiskal positif lain yang tidak berasal dari hal-hal
yang telah disebutkan di atas.
2. Koreksi fiskal negative
Koreksi fiskal negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang atau
pengurangan PPh terutang. Sebab, pendapatan lebih tinggi daripada
pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersial yang lebih kecil daripada
biaya-biaya fiskal.
59
Penyebab dari munculnya koreksi negatif seperti penghasilan yang
dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
tetapi termasuk dalam peredaran usaha (PPh Pasal 4 ayat (2), selisih
penyusutan/amortisasi komersial komersial di bawah
penyusutan/amortisasi fiskal, dan penyesuaian fiskal negatif lain. Contoh
Jenis Koreksi Fiskal Negatif:
Penghasilan hadiah atau undian.
Penghasilan transaksi saham
Penghasilan transaksi pengalihan harta
Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan
Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
Setelah memahami tentang apa itu koreksi fiskal, langkah
selanjutnya adalah memenuhi ketentuan perpajakan sebagai
WP Badan/Perusahaan, salah satunya pelaporan Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan.
60
Laporan keuangan fiscal, merupakan laporan keuangan yang
disusun berdasarkan peraturan perpajakan dan digunakan untuk
kepentingan penghitungan pajak seperti PPh dan lainnya.
Penyusunan Laporan Keuangan fiscal, harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
beserta aturan pelaksanaannya.
61
3. Cara Menyusun Laporan Keuangan Fiskal
Bagi yang tidak memiliki skill dalam bidang Accounting, pasti akan
bingung dan kesusahan dalam pembuatan laporan keuangan Fiskal yang
sesuai dengan peraturan perpajakan. Karena memang hal ini biasanya harus
dilakukan oleh profesional yang kompeten di bidangnya, seperti seorang
Akuntan. Namun berikut, langkah singkat dan simplenya dalam penyusunan
laporan keuangan.
Input dokumen dasar
Hal pertama yang dibutuhkan adalah memasukkan data yang berisi
dokumen dasar (Berdasarkan ketentuan keuangan fiskal dan aturan
perpajakan).
Pencatatan di buku jurnal
Untuk menyesuaikan data yang ada, maka penting bagi Anda untuk
melakukan pencataan di jurnal buku harian, khusus laporan
keuangan fiskal juga.
Klasifikasi
Setelah melakukan dua langkah di atas, maka Anda juga diharuskan
untuk mengklasifikasi laporan dengan cara mempostingnya di buku
besar. Hal ini dilakukan guna meminimalisir terjadinya resiko
kesalahan dalam penyusunan laporan.
Buku Tambahan
Untuk menghindari kerancuan data utama, maka catatan penting
seperti masalah hutang dan piutang bisa dicatat dalam buku
tambahan. Hal ini dapat memudahkan Anda dalam mencari data
apapun yang diperlukan.
Menyusun Neraca Percobaan
Pada fase akhir dari periode akuntansi, maka neraca percobaan akan
disusun sesuai dengan fakta yang ada di akhir tahun dan juga
penutup catatan.
Menyusun Laporan Keuangan Komersial
62
Apabila penyusunan neraca percobaan telah selesai dilakukan, dan
mendapatkan suatu hasil yang tepat dan akurat. Maka laporan
keuangan komersial bisa langsung disusun berdasarkan neraca
percobaan tersebut.
Rekonsiliasi
Sesuai dengan peraturan perpajakan yang sudah ditetapkan, akan
dilakukan rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiskal.
Yang kemudian dimasukkan dalam ketentuan pajak.
Laporan Keuangan Fiskal
Apabila laporan keuangan tersebut di atas sudah diatur di dalam
ketentuan perpajakan, maka hasil tersebutlah yang dinamakan .
PT BBB dan Pak Jak masing-masing memiliki saham 30% dan 15%.
Berikut laporan laba/rugi PT AAA pada 2020 untuk rekonsiliasi fiskal pph
badan:
63
No Keterangan Jumlah Komersial
1 Penjualan bruto Rp240.000.000.000
2 Potongan penjualan -Rp10.000.000.000
3 Retur penjualan -Rp15.000.000.000
4 Penjualan neto (1+2+3) Rp215.000.000.000
5 Harga pokok penjualan (HPP) -Rp125.000.000.000
6 Laba kotor (4+5) Rp90.000.000.000
7 Biaya umum
a Gaji karyawan, THR, bonus Rp15.750.000.000
b Asuransi BPJS karyawan Rp3.250.000.000
c Perjalanan dinas Rp2.125.000.000
d Perlengkapan kantor Rp3.075.000.000
e Biaya Listrik Rp2.575.000.000
f Biaya internet dan telepon Rp1.427.000.000
g Piutang ragu-ragu Rp927.500.000
h Sewa mesin Rp2.825.000.000
i Biaya perbaikan Rp1.927.000.000
j Royalti Rp1.755.500.000
k Pengangkutan Rp4.127.500.000
l Penyusutan Rp3.090.000.000
m Pemasaran Rp3.277.500.000
n Biaya lain-lain Rp3.227.500.000
o Jumlah biaya (a +…+ n) -Rp47.207.500.000
8. Laba usaha (6 – 70) Rp42.792.500.000
9 Pendapatan (beban) luar usaha:
a Dividen PT ABC (penyertaan 15%) Rp297.500.000
b Dividen PT DEF (penyertaan 30%) Rp475.000.000
c Keuntungan penjualan saham Rp299.700.000
d Penjualan gudang Rp225.000.000
e Persewaan Rp637.000.000
f Bunga pinjaman Bank GHI -Rp790.000.000
g Kerugian selisih kurs -Rp625.000.000
h Laba cabang pabrik di Thailand Rp275.000.000
i Rugi cabang pabrik di Taiwan -Rp977.000.000
j Dividen dari CCC.Ltd., Singapura Rp325.000.000
Jumlah pendapatan (beban) luar usaha (a
k Rp141..700.000
+…+ j)
11 Laba sebelum pajak (8+9k) Rp42.934.200.000
64
2. Perhitungan HPP:
Keterangan:
a. Perusahaan menggunakan metode “harga perolehan (FIFO) atau net realis the
Value (NRV) mana yang paling rendah” untuk penilaian persediaan bahan baku
produksi.
Harga
Keterangan NRV
perolehan
Persediaan
Rp22.500.000.000 Rp23.750.000.000
awal
Persediaan
Rp21.500.000.000 Rp20.500.000.000
akhir
a. Biaya gaji, THR, dan bonus terdapat PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan
Rp275.000.000 dan gaji asisten rumah tangga para direksi Rp100.000.000.
b. Biaya premi asuransi karyawan terdapat biaya asuransi jiwa pemegang saham
65
Rp225.000.000.
c. Biaya perjalanan dinas yang didukung dengan bukti dan berhubungan dengan
kegiatan usaha adalah Rp375.000.000.
d. Biaya listrik termasuk listrik rumah dinas para direksi perusahaan
Rp112.500.000.
e. Beban piutang ragu-ragu yang dihapuskan secara fiskal Rp152.500.000.
f. Biaya penyusutan aset tetap yang dialokasikan ke biaya usaha secara fiskal
Rp6.376.250.000.
g. Rincian biaya lain-lain:
a. Pendapatan dividen dari PT A yang dilaporkan setelah dipotong PPh Pasal 23,
sedangkan dari PT B tidak dipotong PPh Pasal 23.
b. Keuntungan penjualan investasi saham berasal dari transaksi penjualan melalui
Bursa Efek Indonesia, setelah dipotong PPh Final 0,1%. Jumlah keuntungan
penjualan gudang sebelum dipotong PPh final.
c. Pendapatan sewa berasal dari pendapatan sewa truk PT DDD setelah dipotong PPh
Pasal 23.
d. Rugi selisih kurs dihitung sesuai standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku.
e. Pajak yang dipotong atas penghasilan di Thailand Rp47.500.000.
66
f. Pajak yang dibayar di Singapura atas dividen yang diterima dari CCC Ltd., sebesar
Rp112.500.000.
5. PPh Pasal 22 impor yang dipungut Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) selama 2020
sebesar Rp225.000.000.
6. PPh Pasal 25 yang telah dibayar pada Januari-November 2020 Rp6.600.000.000.
Selain itu, telah diterbitkan STP PPh Pasal 25 oleh KPP setempat pada 10 Februari
2020 untuk masa pajak Desember 2020 sebesar Rp677.500.000 (termasuk denda dan
bunga Rp77.500.000) dan jumlah tersebut sudah dibayar oleh PT AAA.
67
6 Laba kotor (4+5) Rp90.000.000.000 Rp6.607.500.000 Rp96.607.500.000
Keuntungan penjualan
c Rp299.700.000 -Rp299.700.000 Rp0
saham
Keuntungan penjualan
d Rp225.000.000 -Rp225.000.000 Rp0
gudang
68
Penghasilan neto luar
13
negeri:
2) PPh terutang
Rp628.571.875
(50%x25%xa1)
PPh yang
18 dipotong/dipungut pihak
lain
69
b PPh Pasal 23 (5) Rp65.500.000
Total PPh
d dipotong/dipungut pihak Rp441.906.000
lain (a+b+c)
Muncul koreksi positif Rp3.750.000.000 (Pasal 9 ayat [1] huruf c UU PPh) karena
penggunaan retur penjualan yang terealisasi Rp11.250.000.000. Sebab penggunaan
metode cadangan retur penjualan tidak diperbolehkan, sehingga biaya terkait tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Penghitungan HPP:
Pembelian = pemakaian bahan baku + saldo akhir bahan baku – saldo awal akhir
bahan baku.
2. Biaya PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan pada gaji dan upah tidak dapat menjadi
biaya pengurang penghasilan bruto. Sehingga muncul koreksi sebesar
Rp2.125.000.000 (Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh).
3. Diketahui biaya penyusutan secara fiskal yang dimasukkan ke harga pokok
penjualan adalah Rp9.842.500.000. Sehingga muncul koreksi positif sebesar
Rp767.500.000 (Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 UU PPh).
4. Biaya perawatan kendaraan pribadi Pak Kelik sebesar Rp500.000.000 dalam biaya
lain-lain tidak dapat jadi pengurang. Sebab merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk kepentingan pribadi pemegang saham (Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh).
Berikut ini penghitungan HPP secara fiskal berdasarkan koreksi fiskal tersebut:
71
14 Barang jadi produksi -Rp12.250.000.000 -Rp12.250.000.000
1. Pada komponen biaya gaji, THR, dan bonus ada biaya yang tidak dapat
dikurangkan. Biaya tersebut adalah biaya PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan
sebesar Rp275.000.000 dan biaya gaji asisten rumah tangga para direksi
perusahaan Rp100.000.000. Total keduanya Rp175.000.000 harus dikoreksi dari
biaya usaha (Pasal 9 ayat (1) huruf e dan h UU PPh).
2. Biaya asuransi jiwa pemegang saham sebesar Rp225.000.000 tidak bisa menjadi
biaya fiskal, sehingga harus dikoreksi (Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh).
3. Dari total biaya perjalanan dinas Rp2.125.000.000, hanya Rp375.000.000 yang
didukung bukti dan berhubungan dengan kegiatan perusahaan. Sehingga muncul
koreksi Rp1.750.000.000 (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).
4. Biaya listrik untuk rumah dinas para direksi sebesar Rp112.500.000 dikoreksi
karena tidak diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto (Pasal 9 ayat (1)
huruf e UU PPh).
5. Dari total piutang tak tertagih Rp927.500.000, hanya Rp152.500.000 yang dihapus
secara fiskal. Dalam hal ini diasumsikan telah memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1)
huruf h UU PPh.
6. Biaya penyusutan yang diperkenankan secara fiskal Rp6.376.250.000, lebih besar
dari jumlah menurut komersial sebesar Rp3.090.000.000. Sehingga muncul koreksi
Rp3.286.250.000. (Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 UU PPh).
7. Biaya lain-lain:
Biaya kursus komputer anak dari komisaris juga harus dikoreksi fiskal. Sebab
tidak berhubungan dengan biaya 3M. Selain itu, pengeluaran ini juga
dilakukan untuk kepentingan pribadi Sehingga tidak boleh menjadi biaya
fiskal (Pasal 6 ayat (1) huruf h dan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh).
Biaya denda dan bunga STP harus dikoreksi fiskal Sebab sanksi administrasi
meliputi bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundangan-undangan di bidang perpajakan
tidak boleh jadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh).
72
Biaya PBB kantor tidak dikoreksi karena berhubungan dengan biaya 3M
perusahaan. Begitu juga dengan biaya pajak selain PPh dapat dibebankan
secara fiskal (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).
Syarat agar biaya jamuan tamu boleh dibebankan sebagai biaya adalah dibuat
daftar nominatif sesuai ketentuan yang diatur dalam Surat Ederan Dirjen Pajak
Nomor SE-27/PJ.22/1986. Maka, biaya jamuan tamu tanpa daftar nominatif
sebesar Rp162.500.000 harus dikoreksi. Sedangkan, biaya jamuan tamu
dengan daftar nominatif tidak perlu dikoreksi.
73
FP tidak lengkap: pembelian perlengkapan
4 Rp8.500.000 Rp8.500.000
kantor
FP tidak lengkap: suku cadang kendaraan
5 Rp9.000.000 Rp4.500.000 Rp4.500.000
dinas
FP tidak lengkap: suku cadang kendaraan
6 Rp5.000.000 Rp5.000.000
karyawan
7 Biaya jamuan tamu tidak ada daftar normatif Rp162.500.000 -Rp162.500.000 Rp0
8 Biaya jamuan tamu yang ada daftar normatif Rp377.500.000 Rp377.500.000
9 Sumbangan Hari Karyawan Rp250.000.000 -Rp250.000.000 Rp0
10 Sumbangan ke Yayasan Pemuda Karya Rp112.500.000 Rp112.500.000
Sumbangan pada karyawan dalam bentuk
11 Rp62.500.000 -Rp62.500.000 Rp0
natura
12 Jumlah biaya lain-lain (1+…+11) Rp1.125.000.000 -Rp589.500.000 Rp535.500.000
Berikut rekapitulasi penghitungan biaya usaha secara fiskal berdasarkan koreksi biaya
usaha di atas:
a. Pendapatan dividen dari PT ABC yang dilaporkan setelah dipotong PPh Pasal 23
sebesar Rp297.500.000 perlu dikoreksi sebesar nilai PPh Pasal 23 yang dipotong.
Buat keperluan rekonsiliasi fiskal, jumlah yang tercantum seharusnya adalah
jumlah sebelum dipotong PPh Pasal 23 (tarif 15%). Maka, koreksi fiskalnya
Rp52.500.000, yang dihitung dengan rumus: 15% x Rp297.500.000/(100%-15%).
74
penghasilan dividen dari PT DEF tidak dipotong PPh Pasal 23 karena kepemilikan
saham PT AAA di PT BEF sebesar 30% (termasuk bukan objek penghasilan
menurut Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh). Oleh karena itu, jumlah dividen tersebut
harus dikoreksi fiskal.
b. Keuntungan penjualan investasi saham berasal dari transaksi penjualan melalui
BEI merupakan objek PPh final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 0,1% (PP No. 41
Tahun 1994 s.t.d.d PP No. 14 Tahun 1997). PPh yang dipotong Rp300.000 (0,1%x
Rp299.700.000/(100%-0,1%), sehingga penghasilan brutonya menjadi
Rp300.000.000 yang dilaporkan sebagai objek PPh final dalam lampiran SPT
tahunan PPh Badan. Sedangkan untuk keuntungan penjualan gudang juga
dilakukan koreksi fiskal karena merupakan objek PPh final Pasal 4 ayat (2) dan
peraturan pelaksananya (PP No. 34 Tahun 2016).
c. Jumlah pendapatan sewa truk dari PT Indotruck diketahui telah dipotong PPh
Pasal 23 dengan tarif 2% (Pasal 23 UU PPh).Perlu mengetahui jumlah bruto sewa
sebelum dipotong pajak untuk keperluan rekonsiliasi fiskal. Berikut rumus
menghitung jumlah tersebut:
= Rp637.000.000/(100%-2%) = Rp650.000.000
d. Rugi selisih kurs dihitung sesuai standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku.
Rugi selisih kurs dapat dibebankan dalam penghitungan penghasilan kena pajak,
dengan demikian tidak perlu dilakukan koreksi (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh).
e. Biaya pajak yang dipotong atas penghasilan di Thailand Rp47.500.000 menjadi
koreksi fiska. Sebab laba cabang pabrik di Thailand yang dicantumkan dalam
pembukuan komersial hanya sebesar Rp275.000.000 (neto setelah PPh). Maka
dari itu, dalam rekonsiliasi fiskal harus dimasukkan nilai brutonya, yaitu
Rp322.500.000. PPh yang dipotong di Thailand dapat dikreditkan sesuai
mekanisme kredit pajak luar negeri sesuai Pasal 24 dan Pasal 28 UU PPh dan
peraturan pelaksananya (PMK No. 192/PMK.03/2018). Sedangkan, rugi cabang
pabrik di Taiwan sebesar Rp977.500.000. Untuk diketahui, kerugian yang dialami
di luar negeri tidak dapat digabungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
(PMK 192/2018).
f. Sedangkan untuk pajak yang dibayar di Singpura atas dividen yang diterima dari
75
CCC Ltd., sebesar Rp112.500.000 merupakan kredit PPh Pasal 24 yang dapat
dilakukan dengan cara menghitung PPh badan terutang PT AA ( Pasal 24 dan
Pasal 28 UU PPh, serta PMK No. 192/PMK.03/2018). Jumlah bruto penghasilan
dividen harus dicantumkan untuk kepentingan koreksi fiskal, sehingga menjadi
Rp437.500.000 (Rp325.000.000 + Rp112.500.000). Untuk penghitungan kredit
pajak luar negeri berdasarkan penjelasan huruf e dan f di atas, dapat dilihat dalam
tabel berikut.
Diketahui:
5. Kredit PPh dan bisa menjadi pengurang PPh Badan terutang di akhir tahun dari PPh
Pasal 22 impor yang dipungut DJBC selama 2019 sebesar Rp225.000.000. Begitu
juga dengan PPh Pasal 23 atas sewa kendaraan sebesar Rp13.000.000 dan PPh
Pasal 23 atas dividen sebesar Rp52.500.000 sebagaimana diatur dalam Pasal 28
ayat (1) huruf b UU PPh. Total kredit PPh Pasal 23 adalah Rp65.500.000.
6. Dapat mengkreditkan PPh Pasal 25 yang telah dibayar sendiri sebesar
Rp6.600.000.000 (masa pajak Januari-November 2020) ataupun melalui STP untuk
masa pajak Desember 2020 sebesar pokok pajak Rp600.000.000 (Pasal 28 ayat (1)
huruf e UU PPh). Untuk pembayaran denda dan bunga sebesar Rp77.500.000 hanya
beban yang tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak,
76
bukan merupakan uang muka PPh (Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh).
Ketika rekonsiliasi fiskal selesai dan diketahui total penghasilan neto pada 2020,
beriktunya WP dapat menghitung besaran angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2021
berdasarkan informasi yang ada.
Berikut penghitungannya:
No Deskripsi Fiskal
1 Total penghasilan neto Rp50.285.750.000
2 Penghasilan neto dari penghitungan angsuran PPh Pasal 25
a Rugi (laba) pengalihan harta Rp0
b Rugi (laba) selisih kurs Rp625.000.000
c Penghasilan dividen:
– Dividen PT ABC -Rp350.000.000
– Dividen CCC Ltd., -Rp437.500.000
DAFTAR PUSTAKA
77
Kementerian Hukum dan HAM. 2009. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Resmi, Siti. 2015. Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 2. Jakarta: Salemba
Empat.
https://klikpajak.id/blog/cara-menghitung-pajak-bumi-dan-bangunan-perusahaan/
https://ddtc.co.id/uploads/pdf/Susunan-Dalam-Satu-Naskah-UU-PPN-
sebagaimana-diubah-terakhir-dengan-UU-HPP.pdf
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/cara-menghitung-
ppn#:~:text=Untuk%20menghitung%20PPN%2C%20kita%20harus,)%20atau%2
011%25%20x%20DPP.
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/mengenal-ppnbm
https://smpn6gnkencana.sch.id/contoh-laporan-keuangan-fiskal/
https://www.mrbfinance.com/blog/laporan-keuangan-fiska-untuk-spt-tahunan
https://www.jurnal.id/id/blog/perbedaan-laporan-keuangan-fiskal-dan-komersial/
https://www.harmony.co.id/blog/perbedaan-laporan-keuangan-fiskal-dan-
komersial-pelajari-lengkapnya/
https://kledo.com/blog/koreksi-fiskal/
https://news.ddtc.co.id/contoh-soal-dan-jawaban-rekonsiliasi-fiskal--17680
78