Anda di halaman 1dari 48

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

UNTUK MEMENUHI SYARAT PEMBELAJARAN PERPAJAKAN


INTERNASIONAL

(Dosen Pengampu : Drs. H. Jiwa Pribadi Agustianto, MM)

Disusun Oleh Kelompok 1 :

Adelia Yunita Cesar (041602503126035) Rio Novrianto (041602503126027)

Rezky Adithiya Putra (041502503125083) Anisa Tami (041602503125047)

Arliandini Putri (041602503126029) Nadira Firsza (041602503125030)

Widya Vebryani (041602503126002) Novia Sherbeli (041602503125166)

Fioren Monica (041602503126041) Desty Ariyani (041603503125018)

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

FAKULTAS EKONOMI / JURUSAN AKUNTANSI

JAKARTA

2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Perpajakan International.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Jakarta, 01 Desember 2019

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB 1YURIDIKSI PEMAJAKAN ................................................................................. 5

1. YURIDIKSI ...................................................................................................... 5

A.Yuridiksi Domisili dan Yuridiksi Sumber .............................................. 7

1)Yuridiksi Domisilli.............................................................................. 7

2)Yuridiksi Fiskal ................................................................................... 8

2.BUT (BENTUK USAHA TETAP) ................................................................. 13

A.Pengertian bentuk usaha tetap ............................................................... 13

B.Perhitungan Pajak Penghasilan BUT ..................................................... 17

C.Tarif Pajak BUT .................................................................................... 17

D.Perhitungan PPh BUT ........................................................................... 19

3.KEWAJIBAN PAJAK WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN WAJIB


PAJAK LUAR NEGERI .................................................................................... 21

A.Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: ...................................................... 21

B.Subjek pajak luar negeri adalah: ............................................................ 22

C.Pemenuhan Kewajiban Pajaknya: ......................................................... 23

4.KETERBATASAN JANGKAUAN YURISDIKSI ........................................ 25

5.KERINGANAN PAJAK BERGANDA .......................................................... 27

BAB 2PAJAK INTERNASIONAL (BAGIAN 1) ......................................................... 29

1.PAJAK INTERNASIONAL............................................................................ 29

2.DIMENSI INTERNASIONAL APLIKASI YURISDIKSI ............................ 29

A.Pemajakan atas Penghasilan dari Transaksi Transnasional .............. 29

iii
B.Keterbatasan Jangkauan Yurisdiksi .................................................. 31

3.AZAS – AZAS PERPAJAKAN ...................................................................... 33

A.Azas Domisili ........................................................................................ 33

B.Azas Sumber .......................................................................................... 33

C.Azas Kewarganegaraan, ........................................................................ 33

D.Azas Teritorial ....................................................................................... 34

4.TUJUAN PAJAK INTERNASIONAL ........................................................... 34

5.PERPAJAKAN INTERNASIONAL INDONESIA ........................................ 35

6.KETENTUAN TENTANG SUMBER PENGHASILAN (KTSP) ................. 38

A.Sumber Penghasilan dalan Ketentuan Perpajakan ................................ 38

B.Sumber dari beberapa kategori penghasilan pada pasal 24 (3) : ........... 39

C.Sumber dari Beberapa Kategori Penghasilan lain: ................................ 40

BAB 3 PAJAK INTERNASIONAL (BAGIAN 2) ........................................................ 41

1. KONSEP ANTI TAX AVOLDANCE DALAM PERPAJAKAN


INTERNASIONAL ............................................................................................ 41

A.Konsep Anti-Tax Avoidance ................................................................. 41

2.METODE PENGHINDARAN PAJAK GANDA ........................................... 45

A.Metode Pengurangan Pajak (Tax Credit Method) ................................. 45

1)Full Tax Credit Method ..................................................................... 45

2)Ordinary Tax Credit Method ............................................................. 45

3)Tax Sparing Credit Method ............................................................... 45

3.Prinsip Non Diskriminasi ................................................................................ 46

iv
BAB I

YURIDIKSI PEMAJAKAN

1. YURIDIKSI

Masing-masing Negara mempunyai yuridiksi (Kewenangan untuk

mengatur) termasuk yiridiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang atau

objek yang berada dalam wilayah kekuasaannya.

Menurut Owen (1980) dan Ongwamuhana (1991) Yuridiksi Pemajakan

merupakan kewenangan suatu negara untuk merumuskan dan memberlakukan

ketentuan perpajakan.

Konstitusi Indonesia telah mengukuhkan yurisdiksi pemajakan negara dalam

pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi, “Segala pajak

untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” dan berdasarkan

ketentuan konstitusi tersebut undang-undang perpajakan diberlakukan.

Martha (1989) juga menyebutkan bahwa ada empat teori justifikasi legal hak

pemajakan suatu negara yaitu:

1. Realistis atau empiris

Teori realistis menyatakan bahwa yurisdiksi setara dengan kekuasaan fisik

(physical power) untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap orang dan harta

yang berada dalam wilayah kekuasaannya.Namun, secara empiris,

yurisdiksi pemajakan bukanlah semata karena kekuasaan fisik, tetapi

berdasarkan ketentuan perundangan dan tidak terbatas pada wilayah

5
kekuasaan, tetapi dapat meluas sampai kepada orang yang secara fisik

berada di luar kewenangan administrasi pengenaan pajak.

2. Etis atau retributive

Teori etis atau retributif menyatakan bahwa pemajakan merupakan

kontraprestasi atau imbalan ( return ) atas manfaat dan kemudahan yang

diperoleh dari negara. Suatu perusahaan yang merupakan bagian dari suatu

komunitas ekonomi memberikan kontribusi proporsional untuk

tersedianya fasilitas kemerdekaan ekonomis.Kontribusi yang dimaksud

lazim disebut dengan pajak.

3. Kontraktual

Teori kontraktual menyatakan bahwa pemajakan sepertinya merupakan

pembayaran atas barang dan jasa yang diterima dari negara pemungut

pajak berdasarkan anggapan adanya kontrak (perjanjian tak tertulis) antara

pemegang yurisdiksi pemajakan dengan subjek pajak.Namun, dalam

berbagai hal teori tersebut kurang tepat sehubungan dengan tidak adanya

konsensus atau kesepakatan dari kedua pihak sehingga merupakan

penyimpangan dari kebebasan atau kesukarelaan dari salah satu (kedua)

pihak dalam perjanjian kontrak tersebut.

4. Soverenitas

Teori soverenitas menyatakan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu

bentuk pelaksanaan dari yurisdiksi ketika yurisdiksi merupakan atribut

(kelengkapan) dari soverenitas. Sumber dari hak pemajakan ( right to tax )

suatu negara berasal dari soverenitas (kedaulatan) negara tersebut. Sebagai

6
kebutuhan historis (akan adanya suatu negara), hak, dan kewajiban utama

suatu negara adalah untuk mengamankan dan melestarikan keberadaannya.

A. Yuridiksi Domisili dan Yuridiksi Sumber

1) Yuridiksi Domisilli

Yurisdiksi Pemajakan menurut pasal 2 UU Pajak Penghasilan

Yurisdiksi Domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang

menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau

berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang

diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana

saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di

luar negeri.

Yurisdiksi domisili disebutkan juga merupakan hak pemajakan yang

didasarkan kepada siapa yang memperoleh penghasilan (berorientasi

hanya pada subjek pajak).

Indonesia berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan

Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya berdasarkan dua kaitan

fiskal yaitu objektif (memperhatikan status Wajib Pajak, seperti domisili

atau keberadaan dalam kasus wajib pajak orang pribadi, dan tempat

pendirian dalam kasus wajib pajak badan) dan subjektif (secara

personal).

7
2) Yuridiksi Fiskal

Yurisdiksi fiskal terdiri atas tiga unsur yaitu legislatif, penerimaan dan

administratif. Kebanyakan orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak

pada tiga prinsip:

1. Kewarganegaraan,

2. Domisili (dan residensi),

3. Sumber penghasilan (termasuk kekayaan).

a) Kewarganegaraan

Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang PPh 1984 yang mengatur

subjek pajak dalam negeri berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat

tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih

dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua

belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di

Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”

Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam

negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau

domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga

syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang

berdomisili.

b) Domisili

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili

diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh 1984.Suatu badan dapat

disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat bahwa badan

8
tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di

Indonesia.

Sehubungan dengan BUT kiranya perlu dicatat bahwa dalam

ketentuan lama (sebelum berlakunya UU No. 10 tahun 1994) BUT

tersebut juga dipakai sebagai salah satu penentu yurisdiksi domisili

(dengan dianggapnya BUT sebagai WPDN). Status BUT sebagai

subjek pajak tersendiri (sui generis) terpisah dari perusahaan

pengoperasinya tetapi bukan termasuk dalam kelompok WPDN

demikian tetap dilestarikan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun

2000 sebagai perubahan ke tiga dari Undang - Undang Nomor 7

Tahun 1983.

Undang-undang Pajak Penghasilan diungkapkan Gunadi,

menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu

aktivitas ekonomi secara signifikan ditentukan dengan keberadaan

BUT. Apabila aktivitas ekonomi tersebut sudah mencapai tingkat

BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (5), Indonesia dapat

mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan tersebut seperti

pemajakan dari penghasilan atas usaha yang dijalankan oleh orang

Indonesia. Dalam bahasa UU PPh, aktivitas ekonomi ini dapat berupa:

(a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b) melakukan kegiatan (profesi

atau pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B Model OECD sebelum

tahun 2000 terdapat dua konsep, yaitu permanent establishment (untuk

usaha) dan pangkalan tetap (untuk profesi) maka dalam rumusan UU

9
PPh kedua konsep tersebut diintegrasikan dalam satu konsep BUT

(yang berlaku baik untuk usaha maupun pekerjaan bebas profesi).

Namun, dengan penghapusan ketentuan Pasal 14 tentang

pangkalan tetap (fixed base), dalam P3B model OECD 2000 telah

terjadi integrasi konsep BUT dengan pangkalan tetap. Sehingga dalam

P3B Model OECD sekarang ini yang berlaku hanya konsep BUT saja.

Secara umum (Surrey, 1987 dan American Law Institute, 1987 dalam

Gunadi 2007) terdapat asumsi bahwa yurisdiksi sumber dianggap

lebih utama dari yurisdiksi domisili. Argumen yang mendukung hal

itu ialah, bahwa faktor pemroduksi penghasilan terletak di negara

sumber dan kemungkinan negara tersebut telah memberikan

perlindungan dan menciptakan keadaan yang mendukung terjadinya

produksi penghasilan, maka negara tersebut sudah sepantasnya

mempunyai hak pertama dan utama untuk memanen (memajaki)

penghasilan tersebut. Pemikiran bahwa hak pemajakan oleh negara

sumber lebih punya prioritas ( primary taxing rights) untuk

didahulukan dari hak pemajakan negara domisili sumber sebagai

pemegang hak pemajakan sekunder (secondarytaxing rights)

dimaksud juga diaplikasikan secara internasional termasuk Amerika

(Drernberg, 1989) dan Singapura (CCH, 1993).

c) Sumber

Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada

suatu asumsi bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada

perusahaan milik bukan WPDN untuk memperoleh penghasilan dari

10
negara tersebut. Implikasi dari yurisdiksi sumber ialah bahwa

Indonesia secara sah dapat memungut pajak dari orang pribadi atau

badan bukan WPDN yang menerima atau memperoleh penghasilan

dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.

Contoh kasus penerapan yurisdiksi domisili dan yurisdiksi sumber:

1) Tuan Iwan seorang warga negara indonesia (WNI) memperoleh

bunga dari Tuan Hadi di Tangerang sebesar Rp20.000.000,-. Dalam

hal ini maka Indonesia berhak memajaki Tuan Iwan menggunakan

yurisdiksi domisili dan juga yurisdiksi sumber.

2) Mr. Roco warga negara Australia memperoleh bunga dari Tuan

Mahpud di Bandung sebesar Rp50.000.000,- maka Indonesia

berhak memajaki Mr. Roco berdasarkan yurisdiksi sumber dan

Australia juga berhak memajaki berdasarkan yurisdiksi domisili.

3) Mrs. Suzana warga Warga Negara Malaysia melakukan pemberian

jasa konsultasi bidang investasi keuangan pada beberapa pengusaha

UKM di Indonesia. Selama tahun 2013 kegiatan dilakukan

sebanyak 20 kali kegiatan, dan dibutuhkan selama 6 hari untuk

setiap satu kali kegiatan. Honor yang disepakati antara Mrs Suzana

dengan penyelenggara kegiatan adalah sebesar Rp850.000.000,-.

Berdasarkan yurisdiksi pemajakan, negara mana yang berhak

memajaki dan berapa PPh terutang bila diasumsikan tidak ada tax

treaty antara Indonesia dan Malaysia.

11
Pembahasan :

1) Mrs Suzana merupakan Wajib Pajak Luar Negeri karena berada di

Indonesia kurang dari 183 hari (20 kali x 6 hari = 120 hari).

2) Indonesia berhak memajaki Tn. Steven berdasarkan yurisdiksi

sumber dan Singapore berhak memajaki berdasarkan yurisdiksi

domisili.

3) PPh terutang tahun 2013 = 20% x Rp850.000.000,- (tarif pajak

pasal 26) = Rp170.000.000,-.

12
2. BUT (BENTUK USAHA TETAP)

A. Pengertian bentuk usaha tetap

Dalam pasal 5 undang-undang KUP, BUT didefinisikan sebagai bentuk

usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di

Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka

waktu 12bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

di Indonesia. BUT dapat berupa:

1) tempat kedudukan manajemen;

2) cabang perusahaan;

3) kantor perwakilan;

4) gedung kantor;

5) pabrik;

6) bengkel;

7) gudang;

8) ruang untuk promosi dan penjualan;

9) pertambangan dan penggalian sumber alam;

10) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

11) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

12) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

13) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh

orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari

dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

13
14) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukan

nya tidakbebas;

15) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan

dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi

asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan

16) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, di

sewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa BUT adalah

bentukusaha yang dipergunakan Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan

usaha ataun melakukan kegiatan di Indonesia.Status BUT tidak ditegaskan

dalam UU PPh apakah termasuk dalam Subjek Pajak Luar Negeri atau Subjek

Pajak Dalam Negeri.

Yang dijelaskan adalah bahwa bagi Wajib Pajak luar negeri yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan

pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana

diatur dalam UU PPh maupun UU KUP.

Jika dikategorikan BUT yang diberikan pengertian oleh UU PPh ada empat:

1) BUT fisik yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk

mesin-mesin dan peralatan yang bersifat permanen digunakan untuk

14
menjalankan usaha dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau

badan yang tidak didirikan di Indonesia.

2) BUT aktivitas yaitu suatu aktivitas bersifat permanen dilakukan di Negara

lain dan telah melebihi batas waktu tertentu yang diatur dalam undang-

undang PPh atau Tax Treaty. Aktivitas ini berupa pelaksanaan berbagai

macam jasa seperti jasa kontruksi atau lainnya.

3) BUT keagenan orang pribadai atau badan suatu agen yang kedudukan tidak

bebas bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak

bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia sedangkan agen

mempunyai kedudukan bebas yang bertindak sepenuhnya menjalankan

perusahaannya sendiri tidak dianggap sebagai BUT.

4) BUT asuransi yaitu perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat

kedudukan diluar Indonesia yang menerima permbayaran premi asuransi di

Indonesia, atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai,

perwakilan, atau agennya di Indonesia yang perlu diperhatikan pihak

tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat tinggal di Indonesia.

15
B. Perhitungan Pajak Penghasilan BUT

Berdasarkan Pasal 5 UUD PPh diatur bahwa yang menjadi objek pajak

suatu BUT adalah:

1) Penghasilan dari usaha dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai, semua

penghasilan tersebut dikenai pajak di Indonesia.

2) Penghasilan kantor pusat dari usaha, penjualan barang atau pemberian

jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang

dilakukan oleh BUT.

3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang

terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang

memberikan penghasilan yang dimaksud.

Untuk menghitung PPh yang terutang bagi BUT, atas penghasilan dapat

dikurangi dengan biaya sebagai berikut:

1) Biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha BUT

(sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 UU PPh)

2) Biaya yang berkaitan langsung dengan penghasilan yang diterima atau

diperoleh kantor pusat sebagaimana dalam butir b dan c.

3) Biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang digunakan

untuk menunjang usaha BUT yang besarnya ditetapkan oleh dirjen pajak.

16
Namun demikian tidak semua biaya yang dapat dikurangkan dalam

menghitung PPh. Biaya-biaya yang tidak dapat mengurangi penghasilan

tersebut adalah:

1) Biaya-biaya yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan

kegiatan BUT (pasal 9 Undang-undang PPh)

2) Pembayaran kepada kantor pusat yang berupa :

a. Royalti atau imbalan sehubungan penggunaan harta, atau hak lainnya.

b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen atau jasa lainnya.

c. Bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang

sejenis yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagi

objek pajak kecuali bunga yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya

yang berkenaan dengan usaha perbankan.

C. Tarif Pajak BUT

Seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, tarif pajak yang

diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi BUT, dalam pasal 17 ayat (1

huruf a) adalah sebesar 28%.Berdasarkan pasal 17 ayat (2a) Tarif tersebut

menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Namun demikian ada perbedaan dengan wajib pajak badan dalam negeri,

berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU PPh Penghasilan Kena Pajak sesudah

dikurangi pajak dari suatu BUT akan dikenakan pajak tambahan (branch

profit tax) sebesar 20%, kecuali apabila penghasilan tersebut ditanamkan

17
kembali di Indonesia dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang

ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008,

yaitu :

1) penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak

setelah dikurang Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan

modalpadaperusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di

Indonesia sebagaipendiri atau peserta pendiri;

2) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di

Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif

melakukan kegiatanusaha sesuai dengan akta pendiriannya, paling lama 1

(satu) tahun sejakperusahaan tersebut didirikan;

3) penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling

lamatahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya

penghasilan tersebut;

4) tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling

singkatdalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru

tersebut telahberproduksi komersial.

18
D. Perhitungan PPh BUT

Untuk memberikan gambaran tentang penghitungan PPh BUT tahun paja

K 2010 diberikan ilustrasi sebagai berikut:

Peredaran bruto Rp 80.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memeliharapenghasilan Rp 55.000.000.000

Penghasilan BUT dari usaha/kegiatan/harta (1-2) Rp 25.000.000.000

Penghasilan bunga Rp 1.000.000.000

Penjualan langsung barang oleh kantor pusat

sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetapRp 40.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan, menagih,

dan memeliharapenghasilan no. 5 Rp 30.000.000.000

Sub total (5-6) Rp 10.000.000.000

Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat

yang mempunyai hubungan efektif dengan BUT Rp 400.000.000

Jumlah Penghasilan berdasarkan

Force of AttractionRule (3+4+7+8) Rp 36.400.000.00

19
Biaya administrasi kantor pusat yang

berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT Rp 1.400.000.000

Penghasilan Kena Pajak (9-10) Rp 35.000.000.000

PPh Tarif Pasal 17 Rp 8.750.000.000

Penghasilan Kena Pajak setelah PPh (11-12) Rp 26.250.000.000

Branch profit tax sesuai Pasal 26 ayat (4):

Rp 5.250.000.000

Berdasarkan ilustrasi di atas maka PPh yang terutang pada BUT

PPh tarif pasal 17: 8.750.000.000

Branch profit tax sesuai Pasal 26 ayat (4): 5.250.000.000

Jumlah total 14.000.000.000

Branch profit tax sebesar Rp 5.000.000.000 dapat tidak dikenakan jika

penghasilan kena pajak tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, sesuai

dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008.

20
3. KEWAJIBAN PAJAK WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN WAJIB

PAJAK LUAR NEGERI

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi

kewajiban subjektif dan objektif.Subjek pajak badan dalam negeri menjadi

Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di

Indonesia.Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus

menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang

bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan

yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Dalam Undang- undang PPh Pasal 2 ayat (3) dan (4) yang termasuk Subjek

Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri sebagai berikut.

A. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah:

1) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang

berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam

jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu

tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat

tinggal di Indonesia;

2) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali

unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

3) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan;

a) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

21
b) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah; dan

c) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;

dan

d) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang

berhak.

B. Subjek pajak luar negeri adalah:

1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

dan

2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap

di Indonesia.

3. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di

Indonesia

22
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan

dari menjalankan usaha atau melakukan BUT di Indonesia.

C. Pemenuhan Kewajiban Pajaknya:

1. WP dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima

atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan WP luar

negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber

penghasilan di Indonesia.

2. WP dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto dengan

tarif umum sedangkan WP luar negeri dikenakan pajak berdasarkan

penghasilan bruto dengan tariff pajak yang berlaku.

3. WP dalam negeri wajib menyampaikan SPT sebagai sarana untuk

menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan WP

luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT karena pajaknya dipenuhi

melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

4. Khusus untuk BUT walaupun statusnya WP luar negeri akan tetapi

kewajiban pajaknya dipersamakan dengan kewajiban perpajakan WP

dalam negeri.

23
24
4. KETERBATASAN JANGKAUAN YURISDIKSI

Pada dasarnya, menurut Knechtle (1979) setiap negara termasuk Indonesia

bebas dari pembatasan legal negara asing untuk merumuskan sistem

perpajakan yang diinginkannya.Sebagai negara berdaulat, Indonesia dapat

mengatur seberapa jauh jangkauan kewajiban perpajakan seseorang.Sesuai

dengan soverenitas fiskal yang dimiliki, negara tersebut dapat merumuskan

pemajakan terhadap subjek dan objek yang berada di luar wilayah

kedaulatannya.

Namun pemikiran demikian, oleh Martha (1989) dianggap suatu konsep

yang kurang tepat.Yang tidak terbatas itu adalah soverenitas, yurisdiksi tidak

dapat dipersamakan dengan soverenitas.

Pemikiran Martha didukung oleh Van Raad (1986) yang menyatakan bahwa

secara umum terdapat batas legal ( legal restriction ) atas pemajakan terhadap

orang pribadi warga negara lain atau yang bertempat tinggal atau residen

negara lain dan objek di manca negara. Pembatasan tersebut dapat berasal dari

hukum internasional atausupranasional atau dari ketentuan umum dari undang-

undang domestik negara dimaksud. Selain itu, penegakan ( enforcement )

yurisdiksi fiskal dan hasil dari pelaksanaan klaim pemajakan manca negara

akan terbentur dengan beberapa hambatan legal maupun faktual. Secara

faktual, pelaksanaan yurisdiksi pemajakan hanya dapat berlaku efektif apabila

subjek dan objek dimaksud berada di bawah wilayah kekuasaan Indonesia.

Apabila subjek dan objek tersebut berada di luar jangkauan administrasi pajak,

secara praktis, pelaksanaan administrasi perpajakan (penetapan, penagihan,

25
pengawasan, dan sebagainya) akan banyak mengalami kesulitan. Sangat kecil

kemungkinannya untuk/dapat melaksanakan pemajakan terhadap subjek yang

baik secara personal maupun ekonomis tidak ada kaitan dengan

Indonesia.Pelaksanaan kewenangan fiskal oleh suatu negara juga terhambat

oleh ketentuan hukum publik internasional yang menyatakan bahwa suatu

negara hanya kompeten mengatur setiap subyek atau obyek maupun kejadian

yang mempunyai kaitan dengan wilayahnya (Knechtle 1979).Prinsip cakupan

tentorial tersebut membatasi jangkauan aplikasi hukum administratif termasuk

hukum pajak suatu negara.Apabila tidak ada pengaturan dalam perjanjian

bilateral atau multilateral, kegiatan pelaksanaan pemajakan ke luar wilayah

dapat menimbulkan benturan pengaturan dengan otoritas pemajakan manca

negara.Selain kesulitan dalam penagihan pajak domestik ke luar Negeri

(collection of domestic tax abroad), konfirmasi atau pembuktian fakta

perpajakan di luar negeri juga merupakan hal yang tidak mudah dilaksanakan.

Selain kedua pembatasan tersebut, secara legal sebagai penambah dari

pembatasan di atas, dalam ketentuan domestik (misalnya pidana) dalam rangka

melindungi kedaulatan suatu negara, kegiatan pencarian fakta (termasuk

pajak), tanpa sepengetahuan negara, juga pada umumnya tidak diperbolehkan.

Apalagi menyangkut rahasia usaha dan profesi tentu tidak dengan mudah untuk

dapat diabaikan suatu negara lain. Setiap negara pemungut pajak mempunyai

alasan tertentu untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan

nasionalnya.

26
5. KERINGANAN PAJAK BERGANDA

Yurisdiksi pemajakan atas penghasilan dari orang pribadi atau badan dapat

didasarkan atas status personal wajib pajak ( residence principle ) atauatas

sumber dari penghasilan yang akan dikenakan pajak ( source principle ).

Sementara yurisdiksi pemajakan yang dibangun atas dasar sumber penghasilan

memberikan hak pemajakan limitatif atau teritorial, yurisdiksi berdasar status

personal memberikan hak pemajakan penuh tidak terbatas atas penghasilan

global wajib pajak. Karena kebanyakan negara pemungut pajak pada umumnya

membangun yurisdiksi pemajakan berdasar kedua prinsip tersebut maka hal ini

akan menimbulkan benturan yurisdiksi antarnegara pemungut pajak. Multisitas

keterkaitan pajak dapat menyebabkan satu fakta ekonomi misalnya penghasilan

dikenakan pajak oleh negara sumber dan oleh Indonesia.

Penerapan hak pemajakan atas penghasilan global yang bernuansa

pemajakan ekstratorial kepada orang yang mempunyai pertalian pajak personal

oleh Indonesia dapat menyebabkan terjadinya pajak berganda internasional

(PBI). Pajak berganda terjadi karena negara sumber (pada umumnya) telah

mengenakan (memotong) pajak atas penghasilan dari orang (WPDN) yang

dikenakan pemajakan atas penghasilan global oleh Indonesia. PBI pada

umumnya dianggap dapat menghambat mobilitas sumber daya ekonomi global

karena menambah beban pajak wajib pajak. Oleh karena itu, untuk

meningkatkan mobilitas global usaha, modal dan sumber daya manusia PBI

perlu dieliminasi. Sebagai pemegang yurisdiksi domisili dengan hak pengenaan

sekunder pajak (secondary tax claim) atas penghasilan global, selaras dengan

27
kebiasaan internasional, Indonesia berkewajiban untuk menyediakan

keringanan PBI.Untuk tujuan itu, Pasal 24 UU PPh memberikan keringanan

PBI dalam bentnk kredit pajak luar negeri berdasarkan metode ordinary yang

dihitung per country basis.Pengkreditan pajak luar negeri ini merupakan

refleksi kebijakan netralitas ekspor kapital yang secara berkelanjutan dianut

oleh Indonesia. Seperti negara berkembang lainnya, sudah selayaknya

Indonesia melindungi pasaran investasi domestik agar tidak ditinggalkan para

pemodal domestik.Ketentuan pelaksanaan pemberian kredit pajak luar negeri

diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan No.164 tahun 2002.

Kredit pajak tersebut tersedia bagi WPDN yang membayar atau terutang pajak

kepada negara selain Indonesia atas penghasilan di sana.

28
BAB 1

PAJAK INTERNASIONAL (BAGIAN 1)

1. PAJAK INTERNASIONAL

“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara

negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan

pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina

(Pacta Sunservanda)”.

2. DIMENSI INTERNASIONAL APLIKASI YURISDIKSI

Menurut Gunadi (2007) dimensi internasional aplikasi yurisdiksi terdiri dari

dua dimensi yaitu:

A. Pemajakan atas Penghasilan dari Transaksi Transnasional

Transaksi transnasional dapat berupa transaksi keluar dari (outbound) atau

masuk ke (inbound) Indonesia. Pemajakan atas penghasilan dari transaksi

keluar merujuk kepada perlakuan perpajakan atas penghasilan yang

diperoleh atau diterima WPDN dari menjalankan usaha (melakukan

kegiatan) atau dari investasi di luar Indonesia. Karena mendasarkan pada

pertalian subjektif, Indonesia dapat mengaplikasikan yurisdiksi pemajakan

terhadap WPDN dengan menjangkau objek yang berada di luar wilayah

negara tersebut (ekstra teritorial). Atas transaksi keluar, Indonesia

mengenakan pajak berdasarkan yurisdiksi domisili. Semua WPDN

29
dikenakan pajak atas penghasilan 1.34 Pajak Penghasilan III  global

termasuk penghasilan dari usaha dan kegiatan serta investasi di

mancanegara. Sehubungan dengan penghasilan dari usaha di manca negara,

berdasarkan argumen netralitas pemajakan atas sumber (source neutrality),

Doernberg (1989) berpendapat bahwa pajak seharusnya dihitung

berdasarkan ketentuan domestik. Namun, untuk keperluan praktis

administratif Keputusan Menteri Keuangan No. 164/ KM K.04/2002

memberikan implikasi bahwa angka penghasilan sumber manca negara

dihitung berdasarkan ketetapan (ketentuan) pajak negara sumber.

Sehubungan dengan penghasilan dari investasi saham yang diterima oleh

badan WPDN terdapat perbedaan perlakuan antara investasi di dalam dan di

luar negeri. Berbeda dengan dividen dari investasi di dalam negeri, dengan

persyaratan tertentu yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4(3)(f) UU

PPh), dividen yang diterima dari sumber di luar Indonesia selalu dikenakan

pajak. Di pihak lain, atas penghasilan dari transaksi ke dalam (inbound

transactions), selain penghasilan dari usaha dan kegiatan yang dikenakan

pajak berdasar kriteria ambang batas (BUT), Indonesia menerapkan

yurisdiksi sumber. Penghasilan WPLN dan investasi di Indonesia dikenakan

pajak berdasarkan sistem pemotongan (withholding system) dengan basis

bruto dan tarif proporsional (20%) atau sesuai dengan tarif P3B yang

berlaku.

30
B. Keterbatasan Jangkauan Yurisdiksi

Pada dasarnya, menurut Knechtle (1979) setiap negara termasuk Indonesia

bebas dari pembatasan legal negara asing untuk merumuskan sistem

perpajakan yang diinginkannya. Sebagai negara berdaulat, Indonesia dapat

mengatur seberapa jauh jangkauan kewajiban perpajakan seseorang. Sesuai

dengan soverenitas fiskal yang dimiliki, negara tersebut dapat merumuskan

pemajakan terhadap subjek dan objek yang berada di luar wilayah

kedaulatannya. Namun pemikiran demikian, oleh Martha (1989) dianggap

suatu konsep yang kurang tepat. Yang tidak terbatas itu adalah soverenitas,

yurisdiksi tidak dapat dipersamakan dengan soverenitas. Pemikiran Martha

didukung oleh Van Raad (1986) yang menyatakan bahwa secara umum

terdapat batas legal (legal restriction) atas pemajakan terhadap orang pribadi

warga negara lain atau yang bertempat tinggal atau residen negara lain dan

objek di manca negara. Pembatasan tersebut dapat berasal dari hukum

internasional atau  PAJA3332/MODUL 1 1.35 supranasional atau dari

ketentuan umum dari undang-undang domestik negara dimaksud. Selain itu,

penegakan (enforcement) yurisdiksi fiskal dan hasil dari pelaksanaan klaim

pemajakan manca negara akan terbentur dengan beberapa hambatan legal

maupun faktual. Secara faktual, pelaksanaan yurisdiksi pemajakan hanya

dapat berlaku efektif apabila subjek dan objek dimaksud berada di bawah

wilayah kekuasaan Indonesia. Apabila subjek dan objek tersebut berada di

luar jangkauan administrasi pajak, secara praktis, pelaksanaan administrasi

perpajakan (penetapan, penagihan, pengawasan, dan sebagainya) akan

banyak mengalami kesulitan. Sangat kecil kemungkinannya untuk/dapat

31
melaksanakan pemajakan terhadap subjek yang baik secara personal

maupun ekonomis tidak ada kaitan dengan Indonesia. Pelaksanaan

kewenangan fiskal oleh suatu negara juga terhambat oleh ketentuan hukum

publik internasional yang menyatakan bahwa suatu negara hanya kompeten

mengatur setiap subyek atau obyek maupun kejadian yang mempunyai

kaitan dengan wilayahnya (Knechtle 1979). Prinsip cakupan tentorial

tersebut membatasi jangkauan aplikasi hukum administratif termasuk

hukum pajak suatu negara. Apabila tidak ada pengaturan dalam perjanjian

bilateral atau multilateral, kegiatan pelaksanaan pemajakan ke luar wilayah

dapat menimbulkan benturan pengaturan dengan otoritas pemajakan manca

negara. Selain kesulitan dalam penagihan pajak domestik ke luar Negeri

(collection of domestic tax abroad), konfirmasi atau pembuktian fakta

perpajakan di luar negeri juga merupakan hal yang tidak mudah

dilaksanakan. Selain kedua pembatasan tersebut, secara legal sebagai

penambah dari pembatasan di atas, dalam ketentuan domestik (misalnya

pidana) dalam rangka melindungi kedaulatan suatu negara, kegiatan

pencarian fakta (termasuk pajak), tanpa sepengetahuan negara, juga pada

umumnya tidak diperbolehkan. Apalagi menyangkut rahasia usaha dan

profesi tentu tidak dengan mudah untuk dapat diabaikan suatu negara lain.

Setiap negara pemungut pajak mempunyai alasan tertentu untuk

mempertahankan dan melindungi kepentingan nasionalnya.

32
3. AZAS – AZAS PERPAJAKAN

A. Azas Domisili

Artinya mereka berdomisili di negara tersebut akan dikenai pajak di negara

tersebut, atas penghasilan, dari manapun penghasilan itu berasal. Hal

penting dalam azas ini adalah masalah domisili yaitu mengenai bagaimana

seseorang dapat dikategorikan sebagai penduduk suatu negara.

1) Alat Uji yang paling umum diterapkan adalah time test yaitu pengujian

berdasarkan jangka waktu keberadaan seseorang disuatau Negara

2) Penentuan domisili bagi badan usaha dapat berbeda-beda antara satu

negara dengan negara lain

B. Azas Sumber

Menentukan sesorang dikenal pajak atas penghasilannya di negara dari

mana penghasilan itu berasal. Penentu sumber ini ditentukan oleh 2 hal,

yaitu:

1) Penghasilan itu sendiri atau dari usaha atau dari modal.

2) Definisi source of income menurut negara menjadi sumber penghasilan.

C. Azas Kewarganegaraan,

Menentukan bahwa seseorang dikenal pajak atas penghasilannya ditempat

mana ia menjadi warga Negara

33
D. Azas Teritorial

Menentukan bahwa seseorang dikenal pajak yang penghasilan yang berasal

dari wilayah negara yang menganut azas ini.

4. TUJUAN PAJAK INTERNASIONAL

Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak

ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara:

A. Dengan cara unilateral, mana kala negara yang bersangkuatan

memasukkan dalam perundang-undangan pajaknya ketentuan untuk

menghindari pajak berganda seperti:

1) Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted

terrirorial principle.

2) Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax

credit, dan fictious tax credit/tax sparing.

B. Dengan cara bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar

negara yang dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran

pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty

dengan 57 negara.

C. Perjanjian multilateral, misalnya General Agreement Tariffs and Trade

(GATT) yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan WTO.

Regulasiregulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin 

PAJA3332/MODUL 1 1.17 membebaskan aktivitas perdagangan dan

34
mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan

perdagangan internasional.

5. PERPAJAKAN INTERNASIONAL INDONESIA

A. UU PPh danaturan pelaksanaannya:

1) PeraturanPemerintah

2) PeraturanMenteriKeuangan

3) PeraturanDirjenPajak,

B. Yang mengaturperlakuanpajakatas:

1) penghasilan yang bersumberdari Indonesia yang

diperolehSubjekPajakluarnegeri(taxing outbound income)

2) Penghasilan yang diperolehsubjekpajakdalamnegeri(taxing inbound

income)

C. Aspek Internasionl dalam UU PPH :

35
D. Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah Internasional

adalah:

1) Perjanjian Internasional baik yang bersifat umum maupun khusus

2) Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang

telah di terima sebagai hokum

3) Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab

4) Keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka

dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah

umum.

Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian

hukum bangsa-bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan

antara negara-negara. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem

hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan

36
kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara

nasional.

E. Sumber- Sumber Hukum Pajak Internasional

Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin kita

kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-

sumber hukum tersebut antara lain :

1) Kaedah hukum pajak nasional / unilateral yang mengandung unsur

asing,antara lain:

a) Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU

PPh): ”Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan

pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda

dan pencegahan pengelakan pajak.”

b) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek

PajakLuar Negeri dan Bentuk usaha Tetap (BUT)

c) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak

Termasuk Subjek Pajak

d) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 (2) UU PPh) tentang:

Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak

Termasuk Subjek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal

3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap

e) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan

Istimewa, Bilamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan

37
f) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit

Pajak Luar Negeri

6. KETENTUAN TENTANG SUMBER PENGHASILAN (KTSP)

A. Sumber Penghasilan dalan Ketentuan Perpajakan

Untuk memberikan justifikasi legal atas hak pemajakan (untuk WPLN)

dan kewajiban pemberian keriangan pajak (untuk WPDN), keberadaan

KTSP / Source Rules sangat relevan.

Dua masalah penting yang sengat bergantung pada KTSP :

1) Pemajakan WPLN yang pada umumnya terutang atas penghasialn yang

bersumber di Indonesia

2) Pemberian kredit pajak luar negeri bagi WPDN terhadap pajak yang

terutang / dibayar atas penghasilan yang bersumber di luar Indonesia.

Pires (1989) mengelompokkan dua pendekatan dasar pengertian sumber

penghasilan :

1) Sumber Produksi (Producing-source approach) = Sumber suatu

penghasialn terletak di negara tempat pemanfaatan faktor produksi

2) Sumber Pebayaran (Paying-source approach) = Sumber penghasilan

terletak di negara tempat penghasilan tersebut disediakan atau

diterimakan/ tempat, sesuai dengan jumlah tersebut .

38
Pendekatan pembayaran muncul sebagai alternative atas pendekatan

produksi yang dalam praktik banyak mengalami kesulitan penentuan lokasi

tempat pelaksanaan aktivitas ekonomi pemroduksi penghasilan.

B. Sumber dari beberapa kategori penghasilan pada pasal 24 (3) :

Jenis Penghasilan Sumber Penghasilan


Penghasilan dari Saham Negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
dan Sekuritas sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan
Bunga, Royalti dan Sewa Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
Harta Bergerak bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat
kedudukan atau berada
Sewa Harta tak Bergerak Negara tempat harta tersebut terletak
Imbalan sehubungan Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
dengan Jasa, Pekerjaan imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada
dan Kegiatan
Penghasilan BUT Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
Penghasilan dari Negara tempat lokasi penambangan berada
Pengalihan sebagai atau
seluruh hak penambahan
Keutungan karena Negara tempat bentuk usaha tetap berada
Pengalihan Harta yang
menjadi bagian BUT

39
C. Sumber dari Beberapa Kategori Penghasilan lain:

Jenis Penghasilan Sumber Penghasilan


Keutungan karena Negara tempat harta tetap berada
Pengalihan Harta Tetap
Imbalan karena Jaminan Di negara tempat pihak yang membayar atau
Pengembalian Utang dibebani bunga tersebut bertempat kedudukan atau
berada
Hadiah dari undian atau Negara domisili pembayar atau temoat pembebanan
pekerjaan atau kegiatan hadiah dan undian
dan penghargaan
Penerimaan kembali Negara pembayar pengembalian atau pemberi
pembayaran pajak yang pengurang pajak
telah dibebankan sebagai
biaya
Penerimaan atau perolehan Negara domisili pembayar
pembayaran berkala
Keuntungan kerena Negara tempat berkedudukan kreditor (yang
pembebasan utang menghapuskan piutang) Pendekatan biaya
Keutungan karena selisih Sesuai kasus yang dihadapi diikuti penalaran
kurs penentuan sumber untuk laba usaha (lokasi tempat
usaha) / kriteria lainnya (tempat kedudukan penerbit
sekuritas, pembayar/penanggung beban)
Penghasilan dari kegiatan Negara tempat pihak yang membayar (penyedia
di Angkasa Luar dan Laut penghasilan) atau penanggung beban
Lepas
Premi Asuransi Di negara tempat pihak yang membayar premi
asuransi tersebut kedudukan atau berada
Penghasilan dari Selisih Negara tempat aktiva tetap tersebut terletak atau
Lebih karena penilaian wajib pajak mana yang akan membebankan
kembari aktiva depresiasi dari tambahan nilai dimaksud.

40
BAB 2

PAJAK INTERNASIONAL (BAGIAN 2)

1. KONSEP ANTI TAX AVOLDANCE DALAM PERPAJAKAN

INTERNASIONAL

A. Konsep Anti-Tax Avoidance

Upaya Pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan (tax

compliance), seperti penerapan Sunset Policy, tidak diimbangi dengan

pengaturan yang komprehensif terhadap skema-skema penghindaran

pajak (tax avoidance schemes). Perlu dicatat bahwa UU Pajak

Penghasilan (selanjutnya UU PPh) amandemen ke-IV (UU Nomor 36

Tahun 2008), memang menambah beberapa ayat pada Pasal 18 yang

mengidentifikasi beberapa skema penghindaran pajak baru berikut aturan

yang menetapkan konsekuensi hukum dari penyusunan skema-skema

tersebut. Namun, anti-avoidance rules yang telah lebih dulu ada,

seperti thin capitalization dan CFC tidak mengalami perubahan. Hal

yang sama juga terjadi terhadap definisi hubungan istimewa. Hal ini

dapat menimbulkan kerugian bagi negara, karena pengaturan-pengaturan

tersebut dapat dengan mudah diantisipasi oleh Wajib Pajak (WP).

Sebaliknya, istilah-istilah seperti “perusahaan” dan “kontrol” belum

diberikan definisi dalam UU PPh atau dirujuk pada definisi dalam

Undang-Undang lain.

41
Istilah penghindaran pajak (tax avoidance) berbeda dengan

pengelakan pajak (tax evasion). Dalam tax evasion, upaya WP untuk

mengurangi pembayaran pajak yang terutang dilakukan dengan

melanggar ketentuan pidana dalam Undang- Undang di bidang

perpajakan Berbeda dengan tax evasion, istilah penghindaran pajak (tax

avoidance) dapat diartikan sebagai upaya WP untuk mengurangi beban

pajaknya dengan tidak melakukan tindak pidana seperti diatur dalam

Undang-Undang di bidang perpajakan. Berdasarkan paparan diatas, dapat

disimpulkan beberapa karakteristik tax avoidance yang membedakannya

dengan tax evasion.

Pertama, dalam tax avoidance, hutang pajak (tax liability) belum

timbul, karena kewajiban subjektif dan/atau kewajiban objektifnya belum

terpenuhi. Kedua, tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban tersebut

dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan

(abusive) dari peraturan-peraturan di bidang perpajakan namun tidak

dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan

memanfaatkan celah-celah hukum yang tedapat dalam peraturan-

peraturan tersebut atau bahkan yang terdapat dalam konsep dan

rasionalisasi adanya kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan. Ketiga,

pemanfaatan celah-celah hukum tersebut memuat elemen artificiality

atau buatan. Dengan kata lain, upaya-upaya yang dilakukan oleh WP

tidak mencerminkan keadaan ekonomis yang sebenarnya atau seharusnya

terjadi.

42
Mekanisme kerja anti-avoidance rules (peraturan-peraturan yang

dibuat untuk mengantisipasi skema-skema penghindaran pajak (tax

avoidance)) di Indonesia, khususnya yang terdapat dalam UU PPh pasca

amandemen ke-IV. Peraturan-peraturan tersebut berlaku bagi WP Badan

dan/atau WP Orang Pribadi. Tinjauan historis terhadap aturan-aturan

tersebut juga akan dilakukan untuk mengetahui saat mulai berlakunya

dan latar belakang pemberlakuan kebijakan-kebijakan tersebut serta

perubahan-perubahannya. Perlu diketahui bahwa UU PPh tidak mengenal

general anti-avoidance rules. Anti-avoidance rules yang terdapat dalam

Pasal 18 UU PPh mengatur jenis-jenis penghindaran pajak yang spesifik

dan tertuju pada Wajib Pajak tertentu yang melakukan penghindaran

pajak tersebut. Dengan kata lain, pengaturannya tidak bersifat sebagai

pasal-pasal pengaman (safeguard articles) dalam mengantisipasi abuse of

law saja.

Suatu sistem hukum pajak yang koheren akan membebankan biaya

pada satu pihak (pihak yang membayarkan penghasilan) dan pada saat

bersamaan memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh penerima

penghasilan tersebut. Jika para pihak berada di jurisdiksi yang berbeda,

maka akan terjadi dislokasi antara penghasilan dan biaya. Pengurangan

biaya yang eksesif di satu jurisdiksi akan menyebabkan pengurangan

penghasilan kena pajak yang eksesif pula di jurisdiksi yang lain. Hal ini

disebut juga dengan base erosion. Pengaturan anti- avoidance rules

dilakukan untuk mencegah terjadinya dislokasi antara penghasilan dan

biaya, sehingga mencegah pula terjadinya base erosion. Keberadaan anti-

43
avoidance rules yang lebih baik dan lebih ketat dari pengaturan yang

sekarang diperlukan oleh Indonesia, karena walaupun telah mengalami

penurunan di tahun 2009, tarif PPh Badan di Indonesia masih tergolong

tinggi. Hal ini dapat memicu munculnya skema-skema penghindaran

pajak baru yang dilakukan oleh WP.

Untuk itu dibuatlah beberapa aturan yang memberikan ruang untuk

pihak yang berwenang dalam menentukan kewajaran sesuatu transaksi.

Ketentuan khusus anti penghindaran pajak antara lain:

Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan besarnya

perbandingan antara utang dan modal perusahaan (debt to equity ratio/

DER rule).

Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan saat diperolehnya

dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan modal pada

badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di

bursa efek (controlled foreign corporation/ CFC rule).

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali

besarnya penghasilan dan pengurangan (transfer pricing rule) serta

menentukan utang sebagai modal (hybrid loan recharacterization rule)

untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak

yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai

dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh

hubungan istimewa.

44
2. METODE PENGHINDARAN PAJAK GANDA

A. Metode Pengurangan Pajak (Tax Credit Method)

Metode ini memandang bahwa penghasilan dari luar negeri merupakan

objek Pajak dan harus digabungkan dengan penghasilan dari dalam

negeri. Namun, pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak di luar negeri

atas penghasilan dari luar negeri tersebut dapat dikurangkan dari jumlah

pajak terutang yang harus dibayar di dalam negeri.

1) Full Tax Credit Method

Seluruh pajak yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan dari

jumlah pajak yang terutang atas seluruh penghasilan.

2) Ordinary Tax Credit Method

Jumlah pajak yang dibayar di luar negeri dapat dikurangkan tidak

boleh melebihi jumlah pengurangan pajak yang dihitung berdasarkan

undang-undang domestik.

3) Tax Sparing Credit Method

Penghasilan dari negara sumber yang mendapat fasilitas pembebasan

pajak (tax holiday) dianggap tetap terutang pajak di negara sumber untuk

menghindari penghasilan tersebut dikenai pajak di dalam negeri (negara

domisili).

45
3. Prinsip Non Diskriminasi

Dalam konteks pajak internasional, istilah diskriminasi diartikan sebagai

perlakuan pajak yang kurang menguntungkan terhadap suatu subjek pajak

tertentu dibandingkan dengan subjek pajak lainnya dalam kondisi yang sama.

Pasal 24 OECD Model mengatur mengenai penghindaran diskriminasi dalam

kondisi-kondisi yang ditentukan secara spesifik.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, diskriminasi dalam konteks Pasal 24 OECD

Model dapat diartikan sebagai:

a. Perlakuan yang tidak sama atas kasus yang sama (dapat diperbandingkan);

b. Perlakuan yang sama atas kasus yang tidak sama (dapat diperbandingkan).

Tujuan diadakannya Pasal 24 OECD Model bukan untuk menghindari

pajak berganda, namun untuk menghindari adanya pemajakan yang tidak adil.

Hal ini berbeda dengan pasal-pasal lain dalam P3B yang umumnya diadakan

untuk menghindari pajak berganda.

Pasal 24 ayat (1), (2) dan (5) OECD Model memiliki formulasi yang

sebanding satu dengan yang lainnya dan oleh karena itu akan dijelaskan secara

bersamaan.

Pasal 24 ayat (1) OECD Model mengatur tentang larangan untuk

mengenakan pajak yang kurang menguntungkan atas dasar kewarganegaraan

dari subjek pajak. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) OECD Model, subjek pajak

(misal, Subjek Pajak D) yang mempunyai status kewarganegaraan di negara

46
asalnya (misal, di Negara D) tidak boleh dikenakan pajak secara lebih berat di

negara lainnya.

Misalkan di negara sumber penghasilan (Negara S), dibandingkan dengan

subjek pajak (misal, Subjek Pajak S) yang merupakan warganegara dari

Negara S. Prinsip non-diskriminasi ini berlaku dengan syarat kondisi antara

Subjek Pajak D dan Subjek Pajak S adalah sama. Misalnya, sama-sama

menjadi subjek pajak dalam negeri Negara S.

Diskriminasi pemajakan dapat diperkenankan apabila status subjek pajak

dalam negeri (resident) antara Subjek Pajak D dan Subjek Pajak S berbeda.

Dalam hal ini, negara sumber penghasilan (Negara S) dapat membedakan

perlakuan pajak antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar

negeri.

Konsisten dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) OECD Model, Pasal 24 ayat

(2) OECD Model menyatakan bahwa subjek pajak yang tidak mempunyai

status kewarganegaraan yang menjadi subjek pajak dalam negeri di negara

yang mengadakan P3B (misal, Negara D) tidak boleh diberi perlakuan pajak

yang kurang menguntungkan di negara mitra perjanjian lainnya (misal, Negara

S) dibandingkan dengan subjek pajak dalam negeri lainnya yang mempunyai

status kewarganegaraan di negara yang mengadakan P3B tersebut (Negara S).

Sedangkan ketentuan Pasal 24 ayat (5) OECD Model melarang suatu

negara (misalkan Negara S) mengenakan pajak yang kurang menguntungkan

kepada suatu perusahaan (misalkan Perusahaan D) yang menjalankan kegiatan

47
usaha di Negara S, di mana Perusahaan D tersebut dimiliki oleh subjek pajak

dalam negeri dari Negara D. OECD Commentaries menegaskan bahwa prinsip

non-diskriminasi ini ditujukan untuk ‘enterprise’ (perusahaan) dan bukan

untuk ‘person’ yang memiliki atau mengendalikan perusahaan tersebut.

Ketentuan mengenai non-diskriminasi terhadap Bentuk Usaha Tetap

(BUT) diatur dalam Pasal 24 ayat (3). Maksud dari Pasal 24 ayat (3) OECD

Model adalah jika Perusahaan D yang merupakan subjek pajak dalam negeri

dari Negara D mempunyai BUT di Negara S maka perlakuan pajak atas BUT

tersebut di Negara S tidak boleh kurang menguntungkan dibandingkan

dengan, misalkan Perusahaan S yang merupakan subjek pajak dalam negeri

dari Negara S.

Hal tersebut berlaku dengan syarat kegiatan usaha yang dilakukan oleh

BUT dan Perusahaan S tersebut adalah sama. Mengenai persamaan perlakuan

pajak atas biaya bunga, royalti, dan pembebanan biaya lainnya sebagai

pengurangan penghasilan kena pajak, diatur dalam Pasal 24 ayat (4) OECD

Model. Berdasarkan ketentuan ini perlakuan pajak atas biaya bunga, royalti,

dan pembebanan biaya lainnya tidak boleh dibedakan antara biaya yang

dibayarkan kepada subjek pajak dalam negeri dari negara sumber atau negara

domisili.

48

Anda mungkin juga menyukai