Bangunan
Pengarah: Penulis:
Yuli Kristiyono Subagiyo, Muhamad Faried Kasaugie,
Yohannes Daniel Paserella Sihaloho
Ketua Tim Penyusun:
Mahdaniar Sekretariat dan Penyunting:
Elam Sanurihim Ayatuna, Siti Vibriyani,
Wakil Ketua Tim Penyusun: Imam Rio Mahendra, Annisa Puspita
Ahmad Hasan Su’aidy Dewi, Nindya Kartika Wahyudhiani,
Devi Triani, Wiwit Estiyani, Meilina
Desain dan Tata Letak: Rakhmi, Agung Pratama, Kun Syaifa
Kun Syaifa Muttaqi Muttaqi.
Agung Pratama
Disclaimer:
Isi dalam modul ini semata-mata hanya digunakan untuk
pembelajaran dalam rangka pengembangan kompetensi pegawai
DJP.
Rujukan utama tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Penerbit:
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI
@Desember 2022
Dunia kita terus mengalami perubahan, tidak terkecuali dengan kegiatan ekonomi
Wajib Pajak yang selalu bertransformasi. Selaras dengan hal tersebut,
administrasi pajak terus berupaya turut menyesuaikan dengan kondisi perubahan
yang ada. Berbagai regulasi perpajakan telah dilakukan penyempurnaan untuk
memaksimalkan pengumpulan potensi penerimaan negara. Beberapa regulasi
baru yang telah diterbitkan dan cukup fundamental dalam mengubah sistem
perpajakan Indonesia antara lain Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-
Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan beserta peraturan perundang-
undangan turunannya.
Selain penyempurnaan regulasi, hal yang tak kalah penting yang dilakukan adalah
menyiapkan dan mengembangkan potensi Sumber Daya Manusia yang mumpuni
yaitu pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mampu
mengimplementasikan berbagai regulasi perpajakan tersebut. Oleh karenanya,
pengembangan kompetensi pegawai DJP mutlak diperlukan, terutama kompetensi
terkait teknis peraturan perpajakan.
Maka dari itu, modul materi perpajakan ini hadir dan disusun oleh para Subject
Matter Expert (SME) dari masing masing unit di DJP sebagai salah satu sarana
pembelajaran dan pengembangan kompetensi pegawai DJP.
Tim Penyusun
A. Dasar Hukum
B. Subjek Pajak
Orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak yang
diwajibkan membayar PBB disebut dengan wajib pajak. Tujuan dari pengaturan ini
adalah bahwa tidak semua subjek pajak merupakan wajib pajak. Sebagai contoh, jika
suatu perusahaan mengusahakan objek pajak berupa tanah yang dimilikinya untuk
areal pekuburan, maka perusahaan tersebut adalah subjek pajak atas objek pajak
tersebut namun bukan merupakan wajib pajak. Hal ini dikarenakan kuburan merupakan
objek pajak yang tidak dikenakan PBB. Kemudian, jika atas suatu objek pajak belum
dapat diketahui pasti siapa wajib pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak)
dapat menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak atas objek pajak tersebut.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU PBB dinyatakan bahwa yang menjadi objek pajak
adalah bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang
ada dibawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD), maka objek pajak PBB di Indonesia diadministrasikan
oleh Pemerintah Daerah (PBB P2) dan Pemerintah Pusat (PBB P5L). Dalam pasal 77
ayat (1) UU PDRD dinyatakan bahwa objek pajak PBB P2 adalah bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan. Oleh sebab itu, objek pajak PBB yang
diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat (objek pajak PBB P5L) ialah bumi dan/atau
bangunan selain yang ditetapkan menjadi objek pajak PBB Pemerintah Daerah
berdasarkan UU PDRD, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.1.
Berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU PBB, klasifikasi objek pajak diatur oleh Menteri
Keuangan. Saat ini klasifikasi objek pajak PBB P5L diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi objek pajak dan Tata Cara
Penetapan Nilai Jual objek pajak PBB (PMK-186/2019). objek pajak PBB P5L antara
lain:
a. Sektor Perkebunan,
b. Sektor Perhutanan,
c. Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
d. Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi,
e. Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan
f. Sektor Lainnya.
Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada
dalam kawasan perkebunan. Kawasan perkebunan meliputi:
Bumi pada objek pajak PBB Sektor Perkebunan dikelompokkan menjadi beberapa
areal antara lain:
Objek pajak PBB Sektor Perhutanan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada dalam
kawasan perhutanan. Kawasan perhutanan meliputi:
1) areal sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan/ atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dan/atau Izin Usaha
Yang dimaksud dengan areal yang secara fisik tidak terpisahkan ialah areal yang
bersinggungan dengan areal yang diberikan izin atau penugasan atau areal yang
terhubung dengan areal melalui sungai, parit, jalan, atau jembatan. Jika terdapat areal
pada kawasan perhutanan yang dipunyai haknya dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya
secara nyata dan sah oleh selain subjek pajak atau wajib pajak, maka areal tersebut
tidak dikenakan PBB Sektor Perhutanan.
Bumi pada objek pajak PBB Sektor Perhutanan dikelompokkan menjadi beberapa
areal, antara lain:
1) areal produktif perhutanan merupakan:
a) areal blok tebangan pada hutan alam dengan IUPHHK-HA dan/atau areal blok
pemanenan pada hutan alam dengan IUPHHBK-HA; atau
b) areal yang telah ditanami pada hutan tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau
IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum
Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, meliputi tanah dan pengembangan tanah berupa
tanaman;
2) areal belum produktif perhutanan merupakan:
a) areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam dengan
IUPHHK-HA dan/atau areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada
hutan alam dengan IUPHHBK-HA; atau
b) areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau areal yang
sudah diolah pada hutan tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-
HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan
Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
3) areal tidak produktif perhutanan merupakan:
a) areal pada hutan alam dengan IUPHHK-RE yang belum tercapai
keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu; dan/ atau
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan/atau Gas Bumi yaitu bumi
dan/atau bangunan yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas
bumi. Bumi yang dimaksud adalah meliputi permukaan bumi onshore, permukaan bumi
offshore; dan/atau tubuh bumi. Kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi
meliputi:
1) wilayah kerja minyak dan gas bumi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja
Sama (KKS); dan
2) areal di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi yang merupakan satu kesatuan
yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi
dan secara fisik tidak terpisahkan. Yang dimaksud dengan areal yang secara fisik
tidak terpisahkan ialah areal yang bersinggungan dengan wilayah kerja minyak
dan gas bumi atau areal yang terhubung dengan wilayah kerja minyak dan gas
bumi melalui sungai, jaringan pipa, jalan, atau jembatan.
Wilayah kerja minyak dan/atau gas bumi merupakan daerah di dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan/atau gas bumi. Sedangkan KKS ialah kontrak bagi hasil atau
Permukaan bumi onshore pada objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi dikelompokkan menjadi beberapa areal antara lain:
1) areal belum produktif pertambangan minyak dan gas bumi merupakan areal yang
belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
2) areal produktif pertambangan minyak dan gas bumi merupakan areal yang sedang
diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
3) areal tidak produktif pertambangan minyak dan gas bumi merupakan areal yang
tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi
minyak dan/atau gas bumi;
4) areal pengaman pertambangan minyak dan gas bumi merupakan areal yang
dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan
minyak dan/atau gas bumi; dan
5) areal emplasemen pertambangan minyak dan gas bumi merupakan areal yang di
atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
Pada permukaan bumi offshore, terdapat areal offshore pertambangan minyak dan gas
bumi, yang merupakan areal perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha
pertambangan minyak dan/atau gas bumi. Sedangkan untuk tubuh bumi,
dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu tubuh bumi eksplorasi dan tubuh bumi
eksploitasi. Pengelompokan ini sangat berguna nantinya dalam penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP).
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi yaitu bumi
dan/atau bangunan yang berada dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan
panas bumi. Dimana bumi tersebut meliputi permukaan bumi onshore, permukaan
bumi offshore; dan/atau tubuh bumi. Untuk saat ini belum ada subjek pajak atau wajib
pajak PBB yang melakukan kegiatan pengusahaan panas bumi di permukaan bumi
offshore. Kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi meliputi:
1) wilayah kerja panas bumi sebagaimana tercantum dalam Izin Panas Bumi, Kuasa
Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama
Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara yaitu bumi dan/atau
bangunan yang berada dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara. Dimana
bumi tersebut meliputi permukaan bumi onshore, permukaan bumi offshore; dan/atau
tubuh bumi. Kawasan pertambangan mineral atau batubara meliputi:
1) areal sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha
Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); dan
2) areal di luar areal diberikan izin atau kontrak, dimana areal tersebut merupakan
satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau
batubara dan secara fisik tidak terpisahkan. Yang dimaksud dengan areal yang
secara fisik tidak terpisahkan ialah areal yang bersinggungan dengan areal yang
diberikan izin, kontrak, atau perjanjian, atau areal yang terhubung dengan areal
yang diberikan izin, kontrak, atau perjanjian melalui sungai, jaringan pipa, jalan,
atau jembatan.
Jika terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan pertambangan mineral atau
batubara yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak
atau wajib pajak, maka areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan
Mineral atau Batubara. Permukaan bumi onshore pada objek pajak PBB Sektor
Pertambangan Mineral atau Batubara dikelompokkan menjadi beberapa areal antara
lain:
1) areal belum dimanfaatkan pertambangan mineral atau batubara merupakan areal
yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan mineral atau batubara
atau yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan/atau
studi kelayakan;
2) areal cadangan produksi pertambangan mineral atau batubara merupakan areal
yang belum dilakukan pengambilan mineral atau batubara;
3) areal tidak produktif pertambangan mineral atau batubara merupakan areal yang
tidak dapat diusahakan penambangan mineral atau batubara, atau yang telah
selesai diusahakan penambangan mineral atau batubara;
4) areal pengaman pertambangan mineral atau batubara merupakan areal yang
dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman penambangan mineral atau
batubara; dan
5) areal emplasemen pertambangan mineral atau batubara merupakan areal yang di
atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
Objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan selain objek pajak
PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk
Pengusahaan Panas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau
Batubara, atau objek pajak PBB-P2. PBB sektor lainnya memiliki keunikan tersendiri
karena seluruh objek pajaknya berada di wilayah perairan (permukaan bumi offshore)
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan
kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, atau perairan di dalam
Batas Landas Kontinen Indonesia. Penggunaan permukaan bumi offshore yang
ditetapkan sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya yaitu perairan yang digunakan
untuk:
1) perikanan tangkap;
2) pembudidayaan ikan;
3) jaringan pipa;
4) jaringan kabel;
5) ruas jalan tol; atau
6) fasilitas penyimpanan dan pengolahan meliputi Floating Storage and Offloading
(FSO), Floating Production System (FPS), Floating Processing Unit (FPU),
Floating Storage Unit (FSU), Floating Production Storage and Offloading (FPSO),
Floating Storage Regasification Unit (FSRU).
Perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang termasuk dalam kategori objek
pajak PBB Sektor Lainnya merupakan perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan
yang telah diberikan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Sedangkan bangunan pada sektor lainnya merupakan konstruksi teknik yang ditanam
atau dilekatkan secara tetap pada bumi di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang meliputi jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, atau fasilitas
penyimpanan dan pengolahan.
Walaupun seluruh bumi dan bangunan merupakan objek pajak PBB, namun pada
dasarnya terdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB, baik PBB P2
maupun PBB P5L. Sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU PBB, objek pajak
yang tidak dikenakan PBB adalah sebagai berikut:
a) objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Yang dimaksud dengan tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu
diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.
b) objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu. Perlu diperhatikan bahwa objek pajak yang dimaksud disini
tidak mengharuskan objek pajak tersebut tidak digunakan untuk mencari
keuntungan, sehingga meskipun objek pajak dalam kategori ini diusahakan untuk
memperoleh keuntungan, maka objek pajak tersebut tetap tidak dikenai PBB.
c) Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
d) objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik. Dengan kata lain, objek pajak ini tidak dikenakan PBB
jika objek pajak serupa milik Indonesia di negara perwakilan diplomatik atau
konsulat yang bersangkutan juga tidak dikenakan PBB atau sejenisnya.
e) objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Dengan demikian, jika pada kawasan objek pajak PBB P5L terdapat areal
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) UU PBB, maka areal tersebut tidak
dikenakan PBB.
K. Latihan
1. Objek pajak PBB Sektor Perkebunan yaitu bumi dan/atau bangunan yang berada
dalam kawasan perkebunan yang tercantum dalam dokumen berikut ini, kecuali....
a. Izin Usaha Perkebunan Budidaya
b. Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan
B. Pendaftaran
Pendaftaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak untuk mendaftarkan objek pajak yang belum terdaftar dalam sistem
administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pendaftaran merupakan awal dari segala rangkaian dalam penatausahaan
objek pajak PBB P5L. Setelah objek pajak terdaftar, objek pajak wajib dilaporkan
melalui media Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Kemudian atas SPOP yang
dilaporkan oleh wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak melakukan kegiatan
pendataan. Untuk saat ini, pengaturan teknis mengenai pendaftaran objek pajak PBB
P5L diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2021 tentang Tata
Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan objek pajak PBB (PMK-
48/PMK.03/2021). PMK-48/PMK.03/2021 ini merupakan amanat dari pasal 9 ayat (3)
UU PBB yang berbunyi “Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran objek pajak
sebagaimana dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.”
Atas suatu objek pajak yang telah memenuhi kriteria objek pajak PBB P5L
sebagaimana telah diulas pada bab sebelumnya, maka wajib pajak wajib
mendaftarkan objek pajak tersebut paling lama 1 (satu) bulan melalui Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) setelah saat terpenuhinya subjektif untuk diberikan Surat
Suatu objek pajak dikatakan memenuhi persyaratan subjektif, dimulai saat tanggal:
a. izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau HGU yang
diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertanahan, untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan;
b. izin usaha atau penugasan, yang diterbitkan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, untuk objek pajak
PBB Sektor Perhutanan;
c. KKS yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama,
untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
Selain itu, keenam poin di atas merupakan dokumen objek pajak yang harus dilampiri
pada pendaftaran objek pajak PBB beserta dengan dokumen wajib pajak. Dokumen
wajib pajak terdiri atas:
a. Kartu tanda penduduk untuk orang pribadi, atau akta pendirian perusahaan
dan/atau perubahannya serta kartu tanda penduduk salah satu pengurus untuk
badan; dan
Contoh 1:
Contoh 2:
Jika PT KLM di atas tidak mendaftarkan objek pajaknya setelah melewati 1 Mei 2022,
maka Kepala KPP melakukan pemeriksaan atau penelitian administrasi untuk
diterbitkan SKT PBB berdasarkan kewenangan secara jabatan.
Contoh 3:
Pada 12 Mei 2022, PT XYZ (anak usaha PT KLM) mendaftarkan hutan produksi yang
dikuasainya ke KPP dengan melampirkan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan
sebagai dokumen objek pajak. Oleh karena itu, KPP melakukan penelitian
administrasi dan menerbitkan surat penolakan permohonan pendaftaran objek pajak
paling lama 22 Mei 2022.
C. Pelaporan
Pelaporan adalah kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk melaporkan data
objek pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa pelaporan atas objek pajak hanya bisa dilakukan setelah objek pajak PBB
terdaftar. Setelah objek pajak terdaftar atau memperoleh SKT PBB, wajib pajak wajib
melaporkan objek pajaknya dengan menggunakan SPOP elektronik (e-SPOP) untuk
setiap tahun pajak. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 4 UU PBB, SPOP
adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek pajak.
Contoh:
a. jelas berarti bahwa pengisian data dalam e-SPOP tidak menimbulkan salah
tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri;
b. benar berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya; dan
c. lengkap berarti bahwa e-SPOP memuat semua unsur yang harus dilaporkan
dan dilampiri dokumen pendukung isian e-SPOP. Adapun dokumen
pendukung isian e-SPOP untuk masing-masing sektor objek pajak PBB P5L
adalah sebagai berikut:
Untuk wajib pajak badan, e-SPOP ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
Adapun untuk e-SPOP yang ditandatangani oleh kuasa wajib pajak, e-SPOP
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal saluran yang telah ditentukan mengalami gangguan dan/atau terjadi
keadaan kahar, Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP menyampaikan SPOP
tidak secara elektronik, yaitu secara langsung, melalui pos dengan bukti
pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan
bukti pengiriman surat. Tanggal penyampaian SPOP yang dilakukan tidak secara
elektronik oleh wajib pajak merupakan tanggal tanda terima untuk SPOP yang
disampaikan secara langsung atau tanggal bukti pengiriman untuk SPOP yang
dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.
D. Pendataan
Pendataan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek pajak dan/atau wajib
pajak, termasuk informasi geografis objek pajak untuk keperluan administrasi
perpajakan. Pendataan dilakukan oleh petugas pendataan dan hasilnya dilaporkan
dalam bentuk laporan hasil pendataan. Pendataan terbagi 2 (dua) jenis yaitu
pendataan kantor dan pendataan lapangan.
a. Pendataan Kantor
b. Pendataan Lapangan
Pendataan lapangan dilakukan dengan cara peninjauan pada lokasi fisik objek
pajak dan/ atau lokasi lain di luar lokasi fisik objek pajak, atas data objek pajak
yang seharusnya dilaporkan dalam SPOP. Ruang lingkup pendataan kantor
terdiri dari pengumpulan data dan pemetaan. Pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan data objek pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam
SPOP. Sedangkan pemetaan, dilakukan melalui pengukuran dengan sistem
pengukuran berbasis satelit, bantuan data penginderaan jauh, dan alat ukur
manual.
E. Latihan
1. Output yang diterbitkan oleh Kepala KPP sebagai pemberitahuan bahwa objek
pajak dan wajib pajak telah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan
Direktorat Jenderal Pajak ialah….
a. NPWP
b. Nomor objek pajak (NOP)
c. SPOP
d. SKT PBB
2. Financial Quarterly Report triwulan IV merupakan salah satu dokumen
pendukung isian SPOP untuk objek pajak PBB Sektor….
a. Pertambangan Mineral dan Batubara
b. Pertambangan Pengusahaan Panas Bumi
c. Pertambangan Migas
d. Lainnya
3. PT YDPS merupakan wajib pajak atas objek pajak PBB Sektor Perkebunan yang
memiliki SKT PBB dengan tahun terdaftar tahun pajak 2022. Sehingga untuk
A. Dasar Hukum
B. Penilaian PBB
Penilaian PBB adalah serangkaian kegiatan untuk menentukan berapa Nilai Jual
objek pajak (NJOP) dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang PBB. NJOP ditetapkan dan akan menjadi dasar dalam
pengenaan PBB. Ruang lingkup dalam pembahasan kegiatan Penilaian meliputi
ketentuan, penetapan, dan pendekatan penilaian PBB.
1. Ketentuan
Penilaian dilaksanakan dengan tujuan untuk penetapan NJOP sebagai dasar
pengenaan PBB pada keadaan 1 Januari tahun pajak. Penetapan NJOP sebagai
dasar pengenaan PBB dapat dilakukan dalam rangka penerbitan SPPT,
penerbitan SKP PBB, penyelesaian keberatan atau permohonan pengurangan
SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau menghitung PBB terutang atas tindak
pidana di bidang PBB.
Penilaian dilakukan atas objek pajak Bumi dan Bangunan. Penilaian atas Bumi
meliputi permukaan bumi yang terdiri atas tanah dan tubuh bumi di bawah
permukaan bumi. Termasuk dalam ruang lingkup tanah adalah pengembangan
tanah berupa tanaman dan perairan darat serta laut wilayah Indonesia. Penilaian
Baik penilaian kantor maupun lapangan dapat dilakukan secara massal ataupun
individual dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Penilaian massal adalah untuk objek pajak yang memiliki karakteristik yang
sama dan/atau umum, menggunkaan kertas kerja dan/atau analisis
berdasarkan aplikasi tertentu untuk mendukung penilaian. Contoh penilaian
massal antara lain adalah penilaian atas perumahan, gudang, pabrik,
perkantoran, tubuh bumi eksplorasi, areal offshore, tubuh bumi eksploitasi
yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi, dan bangunan sederhana
atau umum lainnya.
b. Penilaian individu adalah untuk objek pajak yang memiliki karakteristik
yang spesifik, menggunakan kertas kerja dan/atau analisis tertentu sesuai
kaidah penilaian. Contoh peniliaan individu antara lain pada areal onshore,
tubuh bumi eksploitasi atau operasi produksi yang terdapat hasil produksi,
bangunan platform, konveyor, sumur minyak dan gas bumi, sumur panas
bumi, kilang pipa, fasilitas penampungan, dan bangunan dengan
karakteristik yang spesifik lain.
Kegiatan penilaian menghasilkan NJOP yang akan dijadikan dasar pengenaan PBB
atas suatu objek pajak sebagaimana Pasal 6 Ayat (1) UU PBB. NJOP yang akan
dikenakan atas suatu objek pajak terdiri atas penjumlahan NJOP Bumi dan NJOP
Bangunan. Penghitungan PBB untuk selanjutnya adalah NJKP dimana didapatkan
dari perkalian persentase tertentu atas selisih NJOP dengan NJOPTKP sebesar 12
juta rupiah sebagaimana diatur dalam PMK-23/PMK.03/2012. Besaran persentase
untuk NJKP tersebut berdasarkan Pasal 6 Ayat (3) UU PBB ditetapkan serendah-
rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dimana lebih lanjut ditapkan oleh
Peraturan Pemerintah nomor PP-25 Tahun 2002. Saat ini, nilai persentase untuk
NJKP adalah sebagai berikut:
PBB terutang didapatkan dari mengalikan tarif PBB, yaitu 0,5% dengan NJKP. Berikut
adalah alur penghitungan PBB terutang:
Penghitungan PBB terutang adalah untuk setiap objek pajak yang dimiliki atau
dikuasai oleh WP. Artinya apabila WP memiliki atau menguasai dua objek pajak,
maka PBB terutang dihitung masing-masing atas setiap objek pajak. Adapun
NJOPTKP hanya boleh dikurangkan satu kali untuk satu objek pajak saja. Misalkan
terdapat WP PT A pada Sektor Pertambangan Minyak Bumi dan Gas yang memiliki
objek pajak Onshore dan Tubuh Bumi. PBB terutang dihitung untuk kedua objek pajak
tersebut dihitung PBB terurangnya. Adapun NJOPTKP hanya dapat dikurangkan
Pertanyaan: Berapakah PBB terutang atas kedua objek pajak yang dimiliki oleh PT
Minigas pada tahun 2021?
Tahun pajak dalam pengadministrasian PBB adalah hanya memakai tahun takwim,
yaitu dari 1 Januari s.d. 31 Desember. Hal ini berbeda dengan pengertian tahun pajak
berdasarkan Undang-Undang KUP yang dapat menggunakan tahun pajak sesuai
dengan periode pembukuan WP.
Sementara itu, saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan
objek pajak pada tanggal 1 Januari. Contoh, terdapat WP X yang pada 1 Januari 2021
menguasai suatu objek pajak Bumi kemudian pada 2 Februari 2021 dilakukan
pembangunan objek pajak Bangunan. Atas WP X tersebut dikenakan PBB terutang
atas objek pajak Bumi saja. Baru kemudian pada tahun berikutnya, pada tahun 2022,
PBB terutang atas WP X adalah atas objek pajak Bumi dan Bangunan.
F. Latihan
1. Berikut ini yang bukan merupakan kegiatan yang memerlukan Penilaian PBB
adalah:
a. Penerbitan SPPT.
b. Penerbitan SKP PBB.
c. Penyelesaian Keberatan.
d. Pengurangan Denda Administrasi.
2. Penilaian Lapangan dalam rangka Pengawasan untuk menerbitkan SPPT
dilakukan dengan kriteria berikut, yaitu:
a. Selama 5 tahun kebelakang tidak pernah dilakukan Penilaian Lapangan.
b. WP sedang mengajukan Permohonan Keberatan.
c. Ada data, informasi, dan/atau keterangan yang mengindikasikan adanya
potensi penurunan luas bumi dan/atau bangunan yang cukup signifikan.
d. WP tidak melaporkan SPOP setelah kemudian dikirimkan Surat Teguran.
3. Yang menjadi ketentuan antara kapan harus melaksanakan Penilaian Massal
dengan Penilaian Individu adalah:
a. Tidak ada ketentuan khusus dan Petugas Penilai dapat bebas memilih
diantara keduanya.
b. Jenis sektor objek pajak menentukan apakah harus melaksanakan
Penilaian Massal atau Penilaian Individu.
A. Dasar Hukum
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memberitahukan besarnya pajak terutang
kepada Wajib Pajak (WP). SPPT diterbitkan berdasarkan data SPOP yang dilaporkan
WP serta dari hasil penilaian NJOP dan penghitungan PBB terutang. SPPT
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah berakhirnya tahun
pajak terutang.
SPPT diterbitkan untuk 1 (satu) tahun pajak. Kantor Pelayanan Pajak tempat objek
pajak terdaftar menyampaikan SPPT kepada WP secara langsung maupun melalui
pos/jasa pengiriman. WP harus melunasi pajak yang terutang dalam SPPT selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT. Lebih lanjut, bentuk dan
format SPPT adalahre sebagaimana Gambar 4.1 dan diatur dalam Peraturan Dirjen
Pajak Nomor PER-25/PJ/2020.
Atas dasar SPOP yang disampaikan atau dikembalikan oleh WP, KPP tempat objek
pajak terdaftar menerbitkan SPPT untuk Tahun Pajak 2021 dan berikutnya paling
lambat, dengan prosedur sebagai berikut:
SPPT yang telah terbit disampaikan kepada WP oleh KPP dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Paling lambat 30 April Tahun Pajak PBB terutang untuk PBB Sektor Perkebunan,
Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Sektor Pertambangan untuk
Penguasaan Panas Bumi.
2. Paling lambat 30 Juni Tahun Pajak PBB terutang untuk PBB Sektor Perhutanan,
Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Sektor Lainnya.
3. 14 (empat belas) hari setelah tanggal penerbitan SPPT untuk objek pajak baru.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka penerbitan kembali SPPT.
Pertama, Isi dari SPPT yang diterbitkan kembali disesuaikan dengan isi keputusan
atau putusan. Kedua, status dari SPPT awal adalah dinyatakan tidak berlaku apabila
dilakukan penerbitan kembali SPPT. Terakhir, SPPT hasil penerbitan kembali juga
ditetapkan bahwa tidak dapat diajukan keberatan oleh WP.
Surat Ketetapan PBB (SKP PBB) adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya
pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB
yang terutang. Sama seperti SPPT, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
berakhirnya Tahun Pajak, Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP PBB berdasarkan
hasil Penelitian atau Pemeriksan PBB. Lebih lanjut, Bentuk dan format SKP PBB
adalah sebagaimana Gambar 4.2 dan diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-25/PJ/2020.
Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun penerbitan SKP PBB telah lewat, Dirjen Pajak
tetap dapat menerbitkan SKP PBB. Hal tersebut dilakukan dalam hal WP setelah
jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB adalah pokok pajak ditambah denda
administrasi, sebagaimana dalam Pasal 10 Ayat (3) dan (4) UU PBB. Jumlah pajak
tersebut dihitung dari pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25%
Contoh soal:
a. WP A tidak menyampaikan SPOP. Berdasarkan data yang ada, DJP
menerbitkan SKP PBB dengan rincian sebagai berikut:
Pokok Pajak = Rp5.000.000
Sanksi administrasi 25% x Rp5.000.000 = Rp1.250.000
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB = Rp6.250.000
b. WP A menyampaikan SPOP namun terindikasi tidak benar maka dilakukan
pemeriksaan dengan rincian sebagai berikut:
Selisih Pajak Terutang (hasil pemeriksaan dengan data SPOP) = Rp2.000.000
Sanksi administrasi 25% x Rp2.000.000 = Rp500.000
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB = Rp2.500.000
Jumlah PBB yang terutang dalam SKP PBB harus dilunasi paling lambat 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterimanya SKP PBB oleh WP. SKP PBB yang telah terbit
disampaikan oleh KPP kepada WP baik secara langsung atau melalui pos atau jasa
pengiriman. Tanggal diterimanya SKP PBB adalah menggunakan tanggal tanda
terima secara langsung atau tanggal bukti pengiriman dalam hal SKP PBB dikirim
melalui pos atau jasa pengiriman lainnya.
Surat Tagihan Pajak (STP) PBB adalah alat untuk menagih ketetapan pajak, baik
SPPT atau SKP PBB yang telah jatuh tempo dan tidak atau kurang dibayar oleh WP,
sebagaimana dalam Pasal 11 Ayat (4) UU PBB. STP PBB berisi jumlah pajak yang
terutang yang tidak atau kurang dibayar ditambah denda administrasi. Denda
administrasi pada STP PBB adalah sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung
dari saat jatuh tempo (SPPT atau SKP PBB) sampai dengan tanggal pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan. Lebih lanjut, Bentuk dan format STP PBB adalah
sebagaimana Gambar 4.3 dan diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
25/PJ/2020.
Dalam hal diterbitkan keputusan atau putusan sehingga diketahui terdapat PBB yang
masih harus dibayar, STP PBB diterbitkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila STP PBB belum pernah diterbitkan maka DJP menerbitkan STP PBB
yang mencakup PBB yang masih harus dibayar berdasarkan keputusan atau
putusan yang terbit ditambah dengan denda administrasi yang dihitung dari saat
jatuh tempo SPPT atau SKP PBB sampaik tanggal penerbitan STP PBB.
b. apabila STP PBB sudah pernah diterbitkan maka DJP melakukan pembetulan
STP PBB secara jabatan. Pembetulan yang dimaksud adalah pembetulan atas
pokok PBB terutang menjadi berdasarkan keputusan atau putusan yang telah
terbit. STP PBB yang telah dilakukan pembetulan secara jabatan menjadi dasar
penagihan.
Penerbitan STP PBB oleh KPP pada poin 1) dan 2) dilakukan paling lambat 1 (satu)
bulan sejak tanggal keputusan atau Putusan diterima oleh KPP. Berikut ini adalah
macam-macam keputusan dan putusan yang mempengaruhi penerbitan atau
pembetulan STP PBB:
a. Surat Keputusan Pembetulan SPPT atau SKP PBB
b. Surat Keputusan Pengurangan PBB
c. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan PBB Yang Tidak Benar
d. Surat Keputusan Pengurangan/Penghapusan Denda Administrasi PBB
e. Surat Keputusan Keberatan PBB
f. Putusan Banding
g. Putusan Peninjauan Kembali
STP PBB diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat
berakhirnya tahun pajak. Jumlah PBB terutang dalam STP PBB harus dilunasi paling
lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB oleh wajib pajak.
Penentuan tanggal diterima STP PBB adalah menggunakan tanggal tanda terima
saat STP PBB disampaikan langsung atau menggunakan tanggal bukti pengiriman
saat STP PBB dikirim melalui pos atau jasa pengiriman lainnya. Jumlah pajak yang
terutang berdasarkan STP PBB yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih
dengan Surat Paksa.
Contoh Kasus:
a. Penerbitan STP PBB dalam hal terdapat PBB yang terutang dalam SPPT yang
tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Jawab:
No Deskripsi Jumlah (Rp)
1 PBB terutang menurut SKP PBB 12.500.000
2 PBB yang telah dibayar 0
3 PBB yang tidak/kurang dibayar 12.500.000
4 Denda Administrasi 250.000
(2% x 1 bulan xRp12.500.000)
5 PBB yang masih harus dibayar 12.750.000
b. Penerbitan STP PBB dalam hal wajib pajak melakukan pelunasan pembayaran
atas pokok pajak terutang dalam SPPT atau SKP PBB.
Jawab:
Untuk model contoh kasus lainnya pada bagian ini bisa merujuk pada Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-51/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penerbitan Surat Tagihan Pajak PBB.
E. LATIHAN
A. Dasar Hukum
B. Keberatan PBB
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas:
Keberatan hanya diajukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB yang
terutang pada SPPT atau SKP PBB. Adapun syarat pengajuan keberatan adalah
sebagai berikut:
4. dilampiri dengan fotokopi SPPT atau SKP PBB yang diajukan keberatan;
6. diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP
PBB, kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (misalnya bencana alam,
7. ditandatangani oleh WP, atau dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh
bukan WP, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan; dan
a. pengurangan atau pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar;
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB terutang dan Direktur
Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan dalam
jangka waktu paling lama 12 bulan terhitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima.
C. Pengurangan PBB
Pengurangan PBB merupakan salah satu fasilitas yang dapat diberikan oleh Menteri
Keuangan kepada wajib pajak karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak atau dalam hal objek pajak terkena bencana alam
atau sebab lain yang luar biasa.
1. Pengurangan PBB karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya
dengan subjek pajak. Kondisi tertentu yang dimaksud adalah kerugian dan
kesulitan likuiditas pada akhir tahun buku atau tahun kalender. Pengurangan
karena kondisi tertentu diberikan kepada wajib pajak atas SPPT, SKP PBB, atau
STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan. Pengurangan
PBB yang dapat diberikan yaitu sebesar paling tinggi 75% dari PBB terutang.
Dalam hal permohonan pengurangan PBB diajukan karena kondisi tertentu harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
c. wajib pajak tidak mengajukan atau wajib pajak mengajukan tetapi dianggap
bukan sebagai permintaan atau permohonan:
3) Pembatalan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas
dasar surat keputusan keberatan.
3) 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP PBB yang diterbitkan atas
dasar surat keputusan keberatan; atau
2. Pengurangan PBB dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain
yang luar biasa. Bencana alam yang dimaksud merupakan bencana diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah
longsor. Sebab lain yang luar biasa yang dimaksud antara lain kebakaran, wabah
penyakit, wabah hama, huru-hara, kerusuhan, atau tindakan anarkis.
Pengurangan karena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa diberikan
kepada wajib pajak atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB. Pengurangan PBB yang
dapat diberikan yaitu sebesar paling tinggi 100% dari PBB terutang.
a. diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
a. satu permohonan untuk satu SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
c. ditandatangani oleh wajib pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan
wajib pajak harus dilampiri dengan surat kuasa khusus;
Dalam hal telah diterbitkan keputusan pengurangan PBB dan wajib pajak
mengajukan permintaan keterangan secara tertulis mengenai keputusan yang
diberikan, Kepala Kanwil DJP memberikan keterangan secara tertulis mengenai
hal-hal yang menjadi dasar untuk mengabulkan sebagian atau menolak
permohonan wajib pajak. Atas permohonan pengurangan PBB yang telah
diterbitkan surat keputusan, wajib pajak tidak dapat lagi mengajukan permohonan
pengurangan PBB untuk objek pajak yang sama pada tahun pajak yang sama.
a. kealpaan WP;
Pengurangan denda administrasi PBB juga dapat diberikan secara jabatan apabila
denda tersebut dikenakan bukan karena kesalahan WP.
d. WP telah melunasi PBB yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar
penghitungan denda administrasi yang tercantum dalam SKP PBB atau STP
PBB;
e. ditandatangani oleh WP, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan WP harus
dilampiri dengan surat kuasa khusus; dan
1) keberatan PBB;
2) pengurangan PBB;
3) pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar;
4) pengurangan denda administrasi dalam SKP PBB (jika WP mengajukan
pengurangan denda administrasi atas STP PBB); atau
5) pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan denda
administrasi PBB dalam jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal
surat permintaan pengurangan denda administrasi PBB diterima. Keputusan
Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan
sebagian, atau menolak permintaan WP.
Permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar dapat diajukan
oleh wajib pajak paling banyak 2 kali untuk SPPT atau SKP PBB yang sama.
Adapun syarat pengajuan permohonan adalah sebagai berikut:
1) keberatan PBB;
2) pengurangan PBB;
Permohonan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar sebagaimana
dimaksud tidak dapat diajukan dalam hal SPPT atau SKP PBB tersebut diajukan
keberatan tetapi dicabut oleh wajib pajak.
Dalam jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal permohonan
pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar diterima, Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak
benar. Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya,
mengabulkan sebagian, atau menolak permintaan WP.
3. Pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang Tidak Benar
Permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang tidak benar dapat
diajukan oleh wajib pajak paling banyak 2 kali. Adapun syarat pengajuan
permohonan adalah sebagai berikut:
a. satu perrnohonan untuk satu SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
b. permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia melalui Kepala
KPP;
Pada dasarnya, ketentuan mengenai upaya hukum banding, gugatan, dan peninjauan
kembali tidak diatur secara khusus. Dalam UU PBB Pasal 23 UU PBB menyebutkan
bahwa terhadap suatu pengaturan yang tidak diatur secara khusus dalam UU PBB,
maka berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka ketentuan mengenai upaya hukum banding, gugatan, dan peninjauan
kembali secara umum mengikuti ketentuan yang terdapat dalam UU KUP tetapi
dengan beberapa penyesuaian.
1. Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib
Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada Badan
Peradilan Pajak. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima surat keputusan keberatan. Terhadap 1 (satu) surat keputusan keberatan,
diajukan 1 (satu) surat banding. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan
yang jelas, mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding, dan
melampirkan salinan surat keputusan keberatan.
2. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap
keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Wajib pajak atau penanggung pajak dapat
mengajukan gugatan hanya kepada badan peradilan pajak terhadap:
b. 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal diterima keputusan yang digugat untuk objek
gugatan selain pelaksanaan penagihan pajak.
F. Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa kepada Mahkamah Agung untuk
memeriksa dan memutus kembali putusan pengadilan pajak. Peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung masih dapat diaajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa apabila
terdapat ketidakpuasan terhadap hasil putusan banding atau putusan gugatan
c. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut lebih dari yang dituntut;
d. Ada suatu bagian dari tuntuan belum diputus tanpa dipertimbangan sebab-
sebabnya;
G. Latihan
1. Manakah dari hal-hal berikut yang tidak benar mengenai pengajuan keberatan
PBB?
a. Keberatan diajukan dalam bahasa Indonesia
b. Satu surat keberatan untuk satu SPPT PBB
c. Menunda kewajiban membayar PBB
d. Disampaikan melalui Kepala KPP
2. Apabila terdapat ketidakbenaran materi dalam penetapan besarnya PBB yang
terutang pada SPPT atau SKP PBB, WP dapat mengajukan:
a. Pengurangan Denda Administrasi PBB
b. Pengurangan PBB
c. Pengurangan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar
d. Pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar
3. Manakah dari permohonan berikut yang dapat diajukan sebanyak 2 kali oleh WP?
a. Pengurangan PBB
b. Pengurangan Denda Administrasi atas SKP PBB
c. Pengurangan Denda Administrasi atas STP PBB
d. Pembatalan SKP PBB yang tidak benar
BAB 1 BAB 4
1. C 1. A
2. A 2. C
3. A 3. D
4. D 4. C
5. A 5. A
BAB 2 BAB 5
1. D 1. C
2. C 2. C
3. B 3. D
4. A 4. B
5. A 5. C
BAB 3
1. D
2. A
3. D
4. B
5. D
Undang-Undang
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2020 Tentang Bentuk dan Isi Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Pajak
Peraturan Dirjen Pajak Nomor KEP-23/PJ/2021 Tentang Surat Pemberitahuan objek pajak
Pajak Bumi dan Bangunan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-46/PJ/2021 Tentang Penetapan Harga Uap dan Harga
Listrik yang Digunakan Dalam Penentuan Nilai Jual objek pajak Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pengusahaan Panas Bumi Untuk Tubuh Bumi
Eksploitasi.
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor Nomor SE-51/PJ/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penertbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.