Anda di halaman 1dari 174

PPL ONLINE VIA ZOOM WEBINAR

IKATAN KONSULTAN PAJAK INDONESIA (IKPI)


CABANG PEKANBARU

“ANALISA LAPORAN KEUANGAN DAN


POLA BENCHMARKING DALAM MENGUKUR KEPATUHAN
WAJIB PAJAK”

Oleh:
Sempurna Bahri
Komite Perpajakan IAPI
Partner KAP Jamaludin, Ardi, Sukimto & Rekan
Pengurus IKPI Jaksel Bagian Pendidikan

Selasa, 18 Agustus 2020


Laporan Keuangan
Pengertian Laporan Keuangan
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:1), laporan keuangan meliputi bagian dari proses
pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan
laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat
disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas/laporan arus dana),
catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari
laporan keuangan.

Menurut Munawir (2010:5), pada umumnya laporan keuangan itu terdiri dari neraca dan
perhitungan laba-rugi serta laporan perubahan ekuitas. Neraca
menunjukkan/menggambarkan jumlah aset, kewajiban dan ekuitas dari suatu perusahaan
pada tanggal tertentu. Sedangkan perhitungan (laporan) laba-rugi memperlihatkan hasil-
hasil yang telah dicapai oleh perusahaan serta beban yang terjadi selama periode tertentu,
dan laporan perubahan ekuitas menunjukkan sumber dan penggunaan atau alasan-alasan
yang menyebabkan perubahan ekuitas perusahaan.

Sedangkan menurut Harahap (2009:105),


laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan
pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Adapun jenis laporan keuangan yang lazim
dikenal adalah neraca, laporan laba-rugi atau hasil usaha, laporan perubahan ekuitas,
laporan arus kas, laporan posisikeuangan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
laporan keuangan untuk perusahaan terdiri dari laporan-
laporan yang melaporkan posisi keuangan perusahaan pada
suatu waktu tertentu, yang dilaporkan dalam neraca dan
perhitungan laba-rugi serta laporan perubahan ekuitas dan
laporan arus kas, dimana neraca menunjukkan jumlah aset,
kewajiban dan ekuitas perusahaan. Laporan laba-rugi
menunjukkan hasil operasi perusahaan selama periode
tertentu. Sedangkan laporan perubahan ekuitas menunjukkan
sumber dan penggunaan atau alasan-alasan yang
menyebabkan perubahan ekuitas perusahaan.
Tujuan Laporan Keuangan

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:3),


tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi
keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat
bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Sedangkan menurut Fahmi (2011:28),


tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi keuangan yang
mencakup perubahan dari unsur-unsur laporan keuangan yang ditujukan kepada pihak-
pihak lain yang berkepentingan dalam menilai kinerja keuangan terhadap perusahaan di
samping pihak manajemen perusahaan. Para pemakai laporan akan menggunakannya
untuk meramalkan, membandingkan, dan menilai dampak keuangan yang timbul dari
keputusan ekonomis yang diambilnya. Informasi mengenai dampak keuangan yang
timbul tadi sangat berguna bagi pemakai untuk meramalkan, membandingkan dan
menilai keuangan. Seandainya nilai uang tidak stabil, maka hal ini akan dijelaskan dalam
laporan keuangan. Laporan keuangan akan lebih bermanfaat apabila yang dilaporkan
tidak saja aspek-aspek kuantitatif, tetapi mencakup penjelasan-penjelasan lainnya yang
dirasakan perlu. Dan informasi ini harus faktual dan dapat diukur secara objektif.
Analisis Laporan Keuangan
Pengertian Analisis Laporan Keuangan

Menurut Munawir (2010;35), analisis laporan keuangan adalah analisis laporan


keuangan yang terdiri dari penelaahan atau mempelajari daripada hubungan
dan tendensi atau kecenderungan (trend) untuk menentukan posisi keuangan
dan hasil operasi serta perkembangan perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Harahap (2009:190), analisis laporan keuangan berarti menguraikan


akun-akun laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan
melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna
antara yang satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif maupun data
non-kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam
yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat.

Sedangkan menurut Sundjaja dan Barlian (2001:37), analisis laporan keuangan


perusahaan pada dasarnya merupakan perhitungan rasio-rasio untuk menilai
keadaan keuangan perusahaan di masa lalu, saat ini, dan kemungkinannya di
masa depan.
Beberapa Tujuan Laporan Keuangan Dari Berbagai Sumber
Di Atas, Maka Dapat Disimpulkan Bahwa :

1. Informasi posisi laporan keuangan yang dihasilkan dari kinerja dan aset
perusahaan sangat dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan,
sebagai bahan evaluasi dan perbandingan untuk melihat dampak
keuangan yang timbul dari keputusan ekonomis yang diambilnya.

2. Informasi keuangan perusahaan diperlukan juga untuk menilai dan


meramalkan apakah perusahaan di masa sekarang dan di masa yang
akan datang sehingga akan menghasilkan keuntungan yang sama atau
lebih menguntungkan.

3. Informasi perubahan posisi keuangan perusahaan bermanfaat untuk


menilai aktivitas investasi, pendanaan dan operasi perusahaan selama
periode tertentu. Selain untuk menilai kemampuan perusahaan,
laporan keuangan juga bertujuan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan investasi.
Tujuan Analisis Laporan Keuangan

Ada berbagai pihak yang akan menggunakan hasil analisis laporan


keuangan sehingga tujuan analisis tergantung dari pihak yang akan
menggunakannya. Secara umum pengguna analisis laporan keuangan
terdiri dari pihak internal perusahaan antara lain Direksi dan
pemegang saham, serta pihak eksternal perusahaan antara lain calon
investor dan calon kreditor misalnya Bank. Selain pihak-pihak
tersebut, Fiskus juga sangat berkepentingan terhadap hasil analisis
laporan keuangan untuk menilai kewajaran kepatuhan perpajakan
dari Wajib Pajak.
Tujuan Analisis Laporan Keuangan

Tujuan analisis laporan keuangan bagi pihak intern perusahaan antara


lain:

1. Untuk mengetahui perubahan posisi keuangan perusahaan pada


satu periode tertentu baik aktiva, kewajiban, dan harta maupun hasil
usaha yang telah dicapai untukbeberapa periode.

2. Untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan apa saja yang dimiliki


oleh perusahaan sehingga dapat menyususun langkah-langkah
perbaikan apa saja yang perlu dilakukan kedepan yang berkaitan
dengan posisi keuangan saat ini.

3. Untuk melakukan penilaian atau evaluasi kinerja manajemen


kedepan,apakah perlu penyegaran atau tidak karena sudah dianggap
berhasil ataugagal.
Tujuan analisis laporan keuangan bagi pihak eksternal
perusahaan (Calon investor dan calon kreditor) antara lain:

1. memahami posisi dan kinerja keuangan perusahaan saat ini dibanding


dengan perusahaan sejenis lainnya.

2. Melakukan prediksi kinerja keuangan di masa yang akan datang.

3. Menilai risiko perusahaan dimasa datang

Sehingga pihak calon kreditor dapat mempertimbangkan apakah akan


menyalurkan kredit pada perusahaan tersebut, bagi investor akan menjadi
alat pertimbangan untuk menginvestasikan dananya diperusahaan tersebut.
Karakteristik Laporan Keuangan

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:5-8), laporan keuangan yang


berguna bagi pemakai informasi bahwa harus terdapat empat karakteristik
kualitatif pokok yaitu dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat
diperbandingkan.

1. Dapat dipahami
2. Relevan
3. Keandalan
a) Penyajian jujur
b) Substansi mengungguli bentuk
c) Netralitas
d) Pertimbangan sehat
e) Kelengkapan
4. Dapat dibandingkan
Menurut Munawir (2010:9), Keterbatasan
Laporan Keuangan Antara Lain:
1. Laporan keuangan yang dibuat secara periodik pada dasarnya merupakan interim
report (laporan yang dibuat antara waktu tertentu yang sifatnya sementara) dan
bukan merupakan laporan yang final.
2. Laporan keuangan menunjukkan angka dalam rupiah yang kelihatannya bersifat pasti
dan tepat, tetapi sebenarnya dengan standar nilai yang mungkin berbeda atau
berubah-ubah.
3. Laporan keuangan disusun berdasarkan hasil pencatatan transaksi keuangan atau nilai
rupiah dari berbagai waktu atau tanggal yang lalu dimana daya beli (purchasing
power) uang tersebut menurun, dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya,
sehingga kenaikan volume penjualan yang dinyatakan dalam rupiah belum tentu
menunjukkan atau mencerminkan unit yang dijual semakin besar, mungkin kenaikan
tersebut disebabkan naiknya harga jual barang tersebut yang mungkin juga diikuti
kenaikan harga-harga.
4. Laporan keuangan tidak dapat mencerminkan berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi posisi atau keadaan keuangan perusahaan karena faktor-faktor
tersebut tidak dapat dinyatakan dengan suatu uang.
Jenis Laporan Keuangan

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:2),


Laporan Keuangan yang lengkap biasanya meliputi :

1. Neraca
2. Laporan Laba-Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas Dan
5. Catatan Atas Laporan Keuangan.
1. NERACA

Menurut Harahap (2009:107), neraca atau daftar neraca disebut juga


laporan posisi keuangan perusahaan. Laporan ini menggambarkan posisi
aset, kewajiban dan ekuitas pada saat tertentu. Neraca atau balance sheet
adalah laporan yang menyajikan sumber-sumber ekonomis dari suatu
perusahaan atau aset kewajiban-kewajibannya atau utang, dan hak para
pemilik perusahaan yang tertanam dalam perusahaan tersebut atau
ekuitas pemilik suatu saat tertentu. Neraca harus disusun secara
sistematis sehingga dapat memberikan gambaran mengenai posisi
keuangan perusahaan. Oleh karena itu neraca tepatnya dinamakan
statements of financial position. Karena neraca merupakan potret atau
gambaran keadaan pada suatu saat tertentu maka neraca merupakan
status report bukan merupakan flow report.
2. Laporan Laba-Rugi

Menurut Munawir (2010:26), laporan laba-rugi merupakan suatu laporan yang


sistematis tentang penghasilan, beban, laba-rugi yang diperoleh oleh suatu
perusahaan selama periode tertentu. Walaupun belum ada keseragaman tentang
susunan laporan laba-rugi bagi tiap-tiap perusahaan, namun prinsip-prinsip yang
umumnya diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Bagian yang pertama menunjukkan penghasilan yang diperoleh dari usaha
pokok perusahaan (penjualan barang dagangan atau memberikan service)
diikuti dengan harga pokok dari barang yang dijual, sehingga diperoleh laba
kotor.
2. Bagian kedua menunjukkan beban-beban operasional yang terdiri dari beban
penjualan dan beban umum/administrasi (operating expenses).
3. Bagian ketiga menunjukkan hasil-hasil yang diperoleh di luar operasi pokok
perusahaan, yang diikuti dengan beban-beban yang terjadi di luar usaha pokok
perusahaan (non operating/financial income dan expenses).
4. Bagian keempat menunjukkan laba atau rugi yang insidentil (extra ordinary
gain or loss) sehingga akhirnya diperoleh laba bersih sebelum pajak
pendapatan.
Manfaat Analisis Laporan Keuangan

Menurut Harahap (2009:195), kegunaan analisis laporan keuangan ini


dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Dapat memberikan informasi yang lebih luas, lebih dalam daripada


yang terdapat dari laporan keuangan biasa.
2. Dapat menggali informasi yang tidak tampak secara kasat mata
(explicit) dari suatu laporan keuangan atau yang berada di balik
laporan keuangan (implicit).
3. Dapat mengetahui kesalahan yang terkandung dalam laporan
keuangan.
4. Dapat membongkar hal-hal yang bersifat tidak konsisten dalam
hubungannya dengan suatu laporan keuangan baik dikaitkan dengan
komponen intern maupun kaitannya dengan informasi yang
diperoleh dari luar perusahaan.
5. Mengetahui sifat-sifat hubungan yang akhirnya dapat melahirkan model model dan
teori-teori yang terdapat di lapangan seperti untuk prediksi, peningkatan.
6. Dapat memberikan informasi yang diinginkan oleh para pengambil keputusan. Dengan
perkataan lain yang dimaksudkan dari suatu laporan keuangan merupakan tujuan
analisis laporan keuangan juga antara lain:
a. Dapat menilai prestasi perusahaan
b. Dapat memproyeksi laporan perusahaan
c. Dapat menilai kondisi keuangan masa lalu dan masa sekarang dari aspek waktu
tertentu:
1. Posisi keuangan (Aset, Neraca, dan Ekuitas)
2. Hasil Usaha Perusahaan (Hasil atau Beban)
3. Likuiditas
4. Solvabilitas
5. Aktivitas
6. Rentabilitas atau Profitabilitas
7. Indikator Pasar Modal
d. Menilai perkembangan dari waktu ke waktu
e. Menilai komposisi struktur keuangan, arus dana
7. Dapat menentukan peringkat (rating) perusahaan menurut kriteria tertentu yang
sudah dikenal dalam dunia bisnis.
Langkah-langkah Analisis Laporan Keuangan

1) Pertama, pahami lingkungan bisnis WP


• Apa jenis usahanya, berada dalam industri apa?
• Pahami proses bisnis Wajib Pajak
• Mengetahui pembeli (customer) nya

2) Baca dan pelajari laporan keuangan beserta catatan atas Laporan Keuangan

3) Selanjutnya lakukan analisis laporan keuangan dengan berbagai metode dan


teknik analisis

4) Terakhir lakukan penilaian kewajaran nilai hasil analisis dan sebagai fiskus
tentunya dengan menentukan potensi pajak yang dapat digali
Metode dan Teknik Analisis

Metode analisis laporan keuangan artinya bagaimana cara


menganalisis laporan keuangan dilakukan. Teknik artinya alat,
sehingga teknik analisis laporan keuangan artinya dengan alat
apa hasil dari suatu interpretasi laporan keuangan itu didapat
oleh analis laporan keuangan.

Metode dan teknik analisis laporan keuangan merupakan


suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam menghasilkan
suatu kesimpulan atau interpretasi analisis. Penggunaan
metode dan teknik analisis laporan keuangan terkait dengan
tujuan yang ingin diperoleh oleh analis maupun pengguna
laporan keuangan
Metode dan Teknik Analisis Laporan Keuangan

Menurut Munawir (2010:36)

ada dua metode analisis yang digunakan oleh setiap penganalisis


laporan keuangan, yaitu:

Analisis Horisontal Adalah analisis dengan mengadakan perbandingan


laporan keuangan untuk beberapa periode atau beberapa saat
sehingga akan diketahui perkembangannya.

Analisis Vertikal Adalah apabila laporan keuangan yang dianalisis


hanya meliputi satu periode atau satu saat saja, yaitu dengan
memperbandingkan antara akun yang satu dengan akun yang lain
dalam laporan keuangan tersebut sehingga hanya akan diketahui
keadaan keuangan atau hasil operasi pada saat itu saja.
Menurut Munawir (2010:36-37)
Teknik Analisis Laporan Keuangan terdiri dari :

1. Analisis Perbandingan Laporan Keuangan


2. Trend atau tendensi atau posisi dan kemajuan keuangan
perusahaan yang dinyatakan dalam persentase (Trend
Percentage Analysis)
3. Laporan dengan persentase per komponen (Common Size
Statement)
4. Analisis Sumber dan Penggunaan Modal Kerja
5. Analisis Sumber dan Penggunaan Kas (Cash Flow Statement
Analysis)
6. Analisis Rasio
7. Analisis Perubahan Laba Kotor (Gross Profit Analysis)
8. Analisis Break Even
Analisis Perbandingan Laporan Keuangan

Analisis Perbandingan Laporan Keuangan, adalah metode dan teknik


analisis dengan cara memperbandingkan laporan keuangan untuk dua
periode atau lebih, dengan menunjukkan:

a. Data absolut atau jumlah-jumlah dalam rupiah.


b. Kenaikan atau penurunan dalam jumlah rupiah.
c. Kenaikan atau penurunan dalam persentase.
d. Perbandingan yang dinyatakan dalam rasio.
e. Persentase dalam total.

Analisis dengan menggunakan metode ini akan dapat diketahui


perubahan-perubahan yang terjadi dan perubahan mana yang
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Trend atau Tendensi

Trend atau tendensi atau posisi dan kemajuan


keuangan perusahaan yang dinyatakan dalam
persentase (Trend Percentage Analysis),

adalah suatu metode atau teknik analisis untuk mengetahui


tendensi daripada keadaan keuangannya, apakah menunjukkan
tendensi tetap, naik atau bahkan turun.
Laporan dengan persentase per komponen
(Common Size Statement)

Adalah suatu metode analisis untuk mengetahui


persentase investasi pada masing-masing aset
terhadap total asetnya, juga untuk mengetahui
struktur permodalannya dan komposisi pengeluaran
biaya yang terjadi dihubungkan dengan jumlah
penjualannya.
Analisis Sumber dan Penggunaan Modal Kerja

adalah suatu analisis untuk mengetahui sumber-


sumber serta penggunaan modal kerja atau untuk
mengetahui sebab-sebab berubahnya modal kerja
dalam periode tertentu.
Analisis Sumber dan Penggunaan Kas
(Cash Flow Statement Analysis)

adalah suatu analisis untuk mengetahui sebab-sebab


berubahnya jumlah uang kas dan bank (Cash
Equivalents) atau untuk mengetahui sumber-sumber
serta penggunaan uang kas selama periode tertentu.
Analisis Rasio

adalah suatu metode analisis untuk mengetahui


hubungan dari akun-akun tertentu dalam neraca atau
laporan laba-rugi secara individu atau kombinasi dari
kedua laporan tersebut.
Analisis Perubahan Laba Kotor
(Gross Profit Analysis)

adalah suatu analisis untuk mengetahui sebab-


sebab perubahan laba kotor suatu perusahaan dari
suatu periode ke periode yang lain atau perubahan
laba kotor dari suatu periode dengan laba yang
dibudgetkan untuk periode tersebut.
Analisis Break Even

adalah suatu analisis untuk menentukan tingkat


penjualan yang harus dicapai oleh suatu perusahaan
agar perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian,
tetapi juga belum memperoleh keuntungan. Dengan
analisis ini juga akan diketahui berbagai tingkat
keuntungan atau kerugian untuk berbagai tingkat
penjualan.
Metode dan teknik analisis manapun yang
digunakan, kesemuanya itu merupakan
permulaan dari proses analisis yang diperlukan
untuk menganalisis laporan keuangan, dan
setiap metode analisis mempunyai tujuan yang
sama yaitu untuk membuat agar data lebih
dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan
Kelemahan Analisis Laporan Keuangan

Menurut Harahap (2009:203), kelemahan analisis laporan keuangan


adalah :
1. Analisis laporan keuangan didasarkan pada laporan keuangan, oleh
karenanya kelemahan laporan keuangan harus selalu diingat agar
kesimpulan dari analisis itu tidak salah.
2. Objek analisis laporan keuangan hanya laporan keuangan. Untuk
menilai suatu laporan keuangan tidak cukup hanya angka-angka
laporan keuangan. Kita juga harus melihat aspek-aspek lainnya
seperti tujuan perusahaan, situasi ekonomi, situasi industri, gaya
manajemen, budaya perusahaan dan budaya masyarakat.
3. Objek analisis adalah data historis yang menggambarkan masa lalu
dan
4. kondisi ini bisa berbeda dengan kondisi masa depan.
Analisis Rasio Keuangan

Menurut Harahap (2009:297), rasio keuangan merupakan angka yang


diperoleh dari hasil perbandingan dari satu akun laporan keuangan dengan
akun lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan.
Menurut Simamora (2002:357), analisis rasio merupakan cara penting untuk
menyatakan hubungan-hubungan yang bermakna diantara komponen-
komponen dari laporan-laporan keuangan. Rasio menggambarkan suatu
hubungan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah lain, dan dengan
menggunakan alat analisis berupa rasio yang akan menjelaskan atau
menggambarkan kepada penganalisa baik atau buruknya keadaan posisi
keuangan suatu perusahaan.
Menurut Margaretha (2004:22)

penganalisaan rasio keuangan ada beberapa cara, di


antaranya :

a. Analisis horisontal/trend analysis, yaitu membandingkan


rasio-rasio keuangan perusahaan dari tahun-tahun yang
lalu dengan tujuan agar dapat dilihat trend dari rasio-rasio
perusahaan selama kurun waktu tertentu.

b. Analisis vertikal, yaitu membandingkan data rasio


keuangan perusahaan dengan rasio semacam dari
perusahaan lain yang sejenis atau standar industri untuk
waktu yang sama.
Sedangkan menurut Riyanto (2010:329)

dalam mengadakan analisis rasio keuangan pada dasarnya dapat melakukannya


dengan 2 macam cara pembandingan, yaitu :

a. Membandingkan rasio sekarang (present ratio) dengan rasio-rasio dari waktu-


waktu yang lalu (rasio historis) atau dengan rasio-rasio yang diperkirakan untuk
waktu-waktu yang akan datang dari perusahaan yang sama. Dengan cara
pembanding ini akan dapat diketahui perubahan perubahan dari rasio tersebut
dari tahun ke tahun. Kalau diketahui perubahan dari angka rasio tersebut maka
dapatlah diambil kesimpulan mengenai tendensi atau kecenderungan keadaan
keuangan serta hasil operasi perusahaan yang bersangkutan.

b. Membandingkan rasio-rasio dari suatu perusahaan dengan rasio-rasio semacam


dari perusahaan lain yang sejenis atau industri (rasio industri/rasio standar) untuk
waktu yang sama. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah perusahaan yang
bersangkutan dalam aspek keuangan tertentu berada di atas rata-rata industri,
berada pada rata-rata atau terletak dibawah rata-rata industri.
Menurut Fahmi (2011:133)

untuk dapat menginterpretasikan hasil perhitungan rasio, maka


diperlukan adanya pembanding. Pada pokoknya ada dua cara yang dapat
dilakukan dalam membandingkan rasio keuangan perusahaan, yaitu:

1. Cross sectional approach, merupakan suatu cara mengevaluasi


dengan jalan membandingkan rasio-rasio antara perusahaan yang
satu dengan perusahaan yang lainnya yang sejenis pada saat
bersamaan.

2. Time series analysis, merupakan suatu cara dengan membandingkan


rasio-rasio keuangan perusahaan dari satu periode ke periode
lainnya. Pembanding antara rasio yang dicapai saat ini dengan rasio-
rasio pada masa lalu akan memperhatikan apakah perusahaan
mengalami kemajuan atau kemunduran.
Menurut Riyanto (2010:330)

apabila dilihat dari sumber darimana rasio ini dibuat, maka dapat
digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

1. Rasio neraca (Balance Sheet Ratios), yang digolongkan dalam


katagori ini adalah semua data yag diambil dari atau
bersumber dari neraca.

2. Rasio-rasio laporan laba-rugi (Income Statement Ratios), yang


tergolong dalam katagori ini adalah semua data yang diambil
dari laba-rugi.

3. Rasio-rasio antar laporan (Interstatement Ratios), yang


tergolong dalam katagori ini adalah semua data yang diambil
dari neraca dan laporan labarugi
Menurut Riyanto (2010:331)

umumnya rasio dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) tipe dasar,


yaitu :
1. Rasio Likuiditas, adalah rasio yang mengukur kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka
pendeknya.

2. Rasio Leverage, adalah rasio yang mengukur seberapa jauh


perusahaan dibelanjai dengan hutang.

3. Rasio Aktivitas, adalah rasio yang mengukur seberapa efektif


perusahaan menggunakan sumber dananya.

4. Rasio Profitabilitas, adalah rasio yang mengukur hasil akhir dari


sejumlah kebijaksanaan dan keputusan-keputusan.
Menurut Prihadi (2008:8)

mengemukakan beberapa hal penggunaan rasio keuangan


dengan variasinya:

1. Setiap peneliti berhak menentukan rasio yang digunakan.

2. Tidak ada regulasi tentang penggunaan rasio tertentu.

3. Setiap rasio mempunyai keterbatasan arti di samping


kelebihannya.
Rasio Likuiditas

Menurut Harahap (2009:301), rasio likuiditas merupakan rasio


yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban
jangka pendeknya.

Untuk dapat memenuhi kewajibannya yang sewaktu-waktu ini,


maka perusahaan harus mempunyai alat-alat untuk membayar
yang berupa aset-aset lancar yang jumlahnya harus jauh lebih
besar dari pada kewajibankewajiban yang harus segera dibayar
berupa kewajiban-kewajiban lancar.
Mengenai rasio-rasio likuiditas sebagaimana yang diutarakan,
menurut Riyanto (2010: 332), dapat dilihat pada uraian sebagai berikut :

a. Rasio Lancar (Current Ratio)


Rasio ini merupakan perbandingan antara aset lancar dengan kewajiban
lancar. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Aset Lancar
Current Ratio = ------------------------
Kewajiban Lancar
Rasio ini merupakan cara untuk mengukur kesanggupan suatu perusahaan
untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, dengan pedoman 2:1 atau 200% ini
adalah rasio minimum yang akan dipertahankan oleh suatu perusahaan.
Menurut Fahmi (2011:61), kondisi perusahaan yang memiliki current ratio
yang baik adalah dianggap sebagai perusahaan yang baik dan bagus, namun
jika current ratio terlalu tinggi juga dianggap tidak baik karena dapat
mengindikasikan adanya masalah seperti jumlah persediaan yang relatif tinggi
dibandingkan taksiran tingkat penjualan sehingga tingkat perputaran
persediaan rendah dan menunjukkan adanya over investment dalam
persediaan tersebut atau adanya saldo piutang yang besar yang tak tertagih.
b. Rasio Cepat (Quick Ratio)

Rasio ini merupakan perbandingan antara aset lancar dikurangi persediaan


dengan kewajiban lancar. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Aset Lancar - Persediaan


Quick Ratio = --------------------------------------------
Kewajiban Lancar

Rasio ini merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi


kewajiban-kewajibannya dengan tidak memperhitungkan persediaan,
karena persediaan memerlukan waktu yang retaif lama untuk direalisir
menjadi uang kas, walaupun kenyataannya mungkin persediaannya lebih
likuid dari pada piutang. Menurut Fahmi (2011:62), apabila menggunakan
rasio ini maka dapat dikatakan bahwa jika suatu perusahaan mempunyai
nilai quick ratio sebesar kurang dari 100% atau 1:1, hal ini dianggap kurang
baik tingkat likuiditasnya.
Rasio Leverage

Menurut Harahap (2009:306), rasio leverage merupakan rasio


yang mengukur seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh
kewajiban atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang
digambarkan oleh ekuitas. Setiap penggunaan utang oleh
perusahaan akan berpengaruh terhadap rasio dan pengembalian.
Rasio ini dapat digunakan untuk melihat seberapa resiko
keuangan perusahaan. Mengenai rasio-rasio leverage
sebagaimana yang diutarakan,
menurut Riyanto (2010: 333)

dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:

a. Rasio Hutang (Debt Ratio)

Rasio ini merupakan perbandingan antara total kewajiban dengan total


aset. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Total Kewajiban
Debt Ratio = -------------------------
Total Aset

Rasio ini menunjukkan sejauh mana kewajiban dapat ditutupi oleh aset.

Menurut Fahmi (2011:63), semakin rendah rasio ini semakin baik


karena
aman bagi kreditor saat likuidasi.
b. Time Interest Earned
Rasio ini merupakan perbandingan antara laba sebelum bunga dan
pajak atau laba operasi (EBIT) dengan beban bunga. Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut:
EBIT
Time Interest Earned = ------------------------
Beban Bunga
Rasio ini menunjukkan sejauh mana besarnya jaminan keuntungan
sebelum bunga dan pajak atau laba operasi (EBIT) untuk membayar
beban bunganya.

Menurut Fahmi (2011:63), semakin tinggi rasio semakin baik karena


perusahaan dianggap mampu untuk membayar beban bunga periode
tertentu dengan jaminan laba operasi yang diperolehnya pada periode
tertentu.
Rasio Aktivitas

Menurut Harahap (2009:308), rasio aktivitas menggambarkan


aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam menjalankan
operasinya baik dalam kegiatan penjualan, pembelian, dan
kegiatan lainnya. Rasio ini dinyatakan sebagai perbandingan
penjualan dengan berbagai elemen aset. Elemen aset sebagai
pengguna dana seharusnya bisa dikendalikan agar bisa
dimanfaatkan secara optimal. Semakin efektif dalam
memanfaatkan dana semakin cepat perputaran dana tersebut,
karena rasio aktivitas umunya diukur dari perputaran masing-
masing elemen aset.
Mengenai rasio-rasio aktivitas sebagaimana yang diutarakan,
menurut Riyanto (2010: 334), dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:

a. Perputaran Persediaan (Inventory Turnover)

Rasio ini merupakan perbandingan antara harga pokok


penjualan dengan rata-rata persediaan. Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :

Harga Pokok Penjualan


Inventory Turnover = --------------------------------
Rata-rata persediaan
Rasio ini menunjukkan berapa cepat perputaran persediaan
dalam siklus persediaan normal. Menurut Harahap
(2009:308), semakin besar rasio ini semakin baik karena
dianggap bahwa kegiatan penjualan berjalan cepat.
b. Rata-Rata Periode Pengumpulan Piutang (Day’s Sales Outstanding)

Rasio ini merupakan perbandingan antara piutang dengan penjualan dibagi


jumlah hari dalam setahun. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Piutang
Day’s Sales Outstanding = ----------------------------------
Penjualan / 360 hari

Rasio ini mengukur waktu rata-rata yang diperlukan untuk mengumpulkan


piutang dari penjualan. Menurut Munawir (2010:76), kalau rata-rata periode
pengumpulan piutang lebih dari 60 hari menunjukkan perusahaan tersebut
kurang baik, terutama bagian penagihan, sehingga tidak mampu menagih
piutang pada saatnya, atau perusahaan tersebut telah memberikan syarat-
syarat kredit yang terlalu lunak pada langganannya. Di samping itu semakin
besar rasio ini bagi suatu perusahaan semakin besar pula resiko
kemungkinan tidak tertagihnya piutang.
c. Perputaran Total Aset (Total Asset Turnover)

Rasio ini merupakan perbandingan antara penjualan dengan total aset.


Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Penjualan
Total Asset Turnover = ------------------------
Total Aset

Rasio ini merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan


menghasilkan penjualan berdasarkan aset yang dimiliki perusahaan.
Menurut Harahap (2009:309), semakin besar rasio ini semakin baik
karena perusahaan tersebut dianggap efektif dalam mengelola asetnya.
Rasio Profitabilitas

Menurut Harahap (2009:309), rasio profitabilitas menggambarkan kemampuan


perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuannya, dan sumber yang
ada seperti kegiatan penjualan, kas, ekuitas, jumlah karyawan, jumlah cabang dan
sebagainya. Mengenai rasio-rasio profitabilitas sebagaimana yang diutarakan,
menurut Riyanto (2010: 335), dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:

a. Margin Keuntungan (Profit Margin)


Rasio ini merupakan perbandingan antara laba bersih dengan penjualan.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Laba Bersih
Profit Margin = ------------------
Penjualan

Rasio ini menunjukkan berapa besar persentase pendapatan bersih yang


diperoleh dari setiap penjualan. Menurut Harahap (2009:304), semakin besar
rasio ini semakin baik karena dianggap kemampuan perusahaan dalam
mendapatkan laba.
b. Tingkat Pengembalian Aset (Return On Assets)

Rasio ini merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total aset.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Laba Bersih
Return On Assets = ----------------------
Total Aset

Rasio ini menunjukkan berapa besar laba bersih diperoleh perusahaan


bila diukur dari nilai asetnya. Menurut Harahap (2009:305), semakin
besar rasionya semakin bagus karena perusahaan dianggap mampu
dalam menggunakan aset yang dimilikinya secara efektif untuk
menghasilkan laba.
c. Tingkat Pengembalian Ekuitas (Return On Equity)

Rasio ini merupakan perbandingan antara laba bersih dengan ekuitas.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Laba Bersih
Return On Equity = --------------------
Ekuitas

Rasio ini mengukur berapa persen diperoleh laba bersih bila diukur dari
modal pemilik. Menurut Harahap (2009:305), semakin besar rasionya
semakin bagus karena dianggap kemampuan perusahaan yang efektif
dalam menggunakan ekuitasnya untuk menghasilkan laba.
Analisis Du Pont

Menurut Syamsudin (2000:64),

analisis Du Pont adalah ROA yang dihasilkan melalui pekalian antara keuntungan dari
komponen-komponen sales serta efisiensi penggunaan total aset di dalam
menghasilkan keuntungan tersebut. Sedangkan pendapat Sutrisno (2001:256),
analisis Du Pont adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengontrol perubahan
dalam rasio aktivitas dan net profit margin dan seberapa besar pengaruhnya
terhadap ROA.

Menurut Syafarudin (2003:128),

analisis Du Pont penting bagi manajer untuk mengetahui faktor mana yang paling
kuat pengaruhnya antara profit margin dan total asset turnover terhadap ROA.
Disamping itu dengan menggunakan analisis ini, pengendalian beban dapat diukur
dan efisiensi perputaran aset sebagai akibat turun naiknya penjualan dapat diukur.
Menurut Soediyono (2001:137), yang dapat diuraikan dengan menggunakan analisis
Du Pont adalah ROA (Return On Assets) yang merupakan angka pembanding atau
rasio antara laba yang diperoleh perusahaan dengan besarnya total aset perusahaan.
Persamaan Du Pont (Du Pont equation) menurut Gitman
(2003, hal 147):

ROA = Profit Margin x Total Assets Turnover

Laba Bersih Penjualan


ROA = ------------------- x ------------------
Penjualan Total Aset

Laba Bersih
ROA = -------------------
Total Aset
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa analisis Du
Pont merupakan analisis yang digunakan untuk mengontrol perubahan
dalam aktivitas rasio dan marjin laba, serta sejauh mana pengaruhnya
terhadap tingkat pengembalian (rate of return). Sistematika kerja
analisis Du Pont ini adalah dengan menguraikan ROA yang merupakan
angka banding atau rasio, antara laba yang diperoleh perusahaan
(Marjin laba bersih) dengan besarnya total aset perusahaan. Melalui
persamaan Du Pont dapat dilihat bahwa ROA diperoleh dengan
mengalikan marjin laba bersih dan perputaran total aset.

Perputaran total aset diperoleh dari hasil bagi antara hasil penjualan
dengan jumlah aset, sedangkan marjin laba bersih merupakan hasil bagi
antara laba bersih dengan hasil penjualan. Laba bersih merupakan hasil
dari penjualan dikurangi beban-beban.
Menurut Munawir (2010:91-92)

adapun keunggulan analisis Du Pont antara lain:

1. Sebagai salah satu teknik analisis keuangan yang sifatnya menyeluruh dan
manajemen bisa mengetahui tingkat efisiensi pendayagunaan aset.
2. Dapat membandingkan efisiensi penggunaan ekuitas pada perusahaannya
dengan perusahaan lain yang sejenis, sehingga dapat diketahui apakah
perusahaannya berada di bawah, sama, atau di atas rata-ratanya.
3. Dapat digunakan untuk mengukur efisiensi tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh divisi/bagian, yaitu dengan mengalokasikan semua beban
dan ekuitas ke dalam bagian yang bersangkutan.
4. Dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas dari masing-masing produk
yang dihasilkan oleh perusahaan.
5. Dapat digunakan untuk keperluan kontrol, juga berguna untuk keperluan
perencanaan.
Menurut Munawir (2010:92-93),

adapun kelemahan dari analisis Du Pont adalah :

1. ROA suatu perusahaan sulit dibandingkan dengan ROA


perusahaan lain yang sejenis, karena adanya perbedaan praktek
akuntansi yang digunakan.

2. Kelemahan lain dari teknik analisa ini adalah terletak pada adanya
fluktuasi nilai dari uang (daya belinya).

3. Dengan menggunakan ROA saja tidak akan dapat digunakan untuk


mengadakan perbandingan antara dua permasalahan atau lebih
dengan mendapatkan kesimpulan yang memuaskan.
Analisis Perbandingan

Menurut Harahap (2009:227), analisis perbandingan adalah


teknik analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara
menyajikan laporan keuangan secara horizontal dan
membandingkan antara satu dengan yang lain, dengan
menunjukkan informasi keuangan atau data lainnya baik dalam
rupiah atau dalam unit. Teknik perbandingan ini juga dapat
menunjukkan kenaikan dan penurunan dalam rupiah atau unit
dan juga dalam persentase atau perbandingan dalam bentuk
angka perbandingan atau rasio. Tujuan analisis perbandingan ini
adalah untuk mengetahui perubahan-perubahan berupa kenaikan
atau penurunan akun-akun laporan keuangan atau data lainnya
dalam dua atau lebih periode yang dibandingkan.
Menurut Kasmir (2011:104)

Membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan


cara membagi satu angka dengan angka lainnya. Perbandingan dapat
dilakukan antara satu komponen dengan komponen yang ada di antara
laporan keuangan. Kemudian angka yang diperbandingkan dapat berupa
angka-angka dalam satu periode maupun beberapa periode.
Menurut Harahap (2009:227-228)

dalam melakukan analisis laporan keuangan teknik perbandingan ini, kita dapat
membandingkannya dengan angka-angka laporan keuangan tahun lalu, angka
laporan keuangan perusahaan sejenis, rasio rata-rata industri, dan rasio normatif
sebagai standar perbandingan (yardstick). Perbandingan antarpos laporan
keuangan dapat dilakukan melalui:

1. Perbandingan dalam dua atau beberapa tahun (horisontal) misalnya laporan


keuangan tahun 2016, dibandingkan dengan laporan keuangan tahun 2015.
Perbandingan antara tahun 2017, 2016, 2015, dan seterusnya.
2. Perbandingan dengan perusahaan yang dianggap terbaik.
3. Perbandingan dengan angka-angka standar industri yang berlaku (industrial
norm). Di Indonesia standar ini belum ada tetapi di USA beberapa
perusahaan mengkhususkan diri mensupply informasi rasio ini misalnya
Moody’s, Standar & Poor dan lain-lain.
4. Perbandingan dengan budget (anggaran).
5. Perbandingan dengan bagian, divisi, atau seksi yang ada dalam suatu
perusahaan.
Keunggulan dan Keterbatasan Analisis Rasio

Menurut Harahap (2009:298),


analisis rasio mempunyai keunggulan dibandingkan teknik analisa lainnya,
yaitu :

1. Rasio merupakan angka-angka atau ikhtisar statistik yang lebih mudah


dibaca dan ditafsirkan.
2. Merupakan pengganti yang lebih sederhana dari informasi yang disajikan
laporan keuangan yang sangat rinci dan rumit.
3. Mengetahui posisi perubahan ditengah industri lain.
4. Sangat bermanfaat untuk bahan dalam mengisi model-model pengambilan
keputusan dan model prediksi.
5. Menstandarisir ukuran perusahaan.
6. Lebih mudah memperbandingkan perusahaan dengan perusahaan lain
atau melihat perkembangan perusahaan secara periodik atau time series.
7. Lebih mudah melihat trend perusahaan serta melakukan prediksi dimasa
yang akan datang.
Menurut Harahap (2009:298),

keterbatasan analisis rasio itu adalah:

1. Kesulitan dalam memilih rasio yang tepat yang dapat digunakan


untuk kepentingan pemakai.
2. Keterbatasan yang dimiliki akuntansi atau laporan keuangan juga
menjadi keterbatasan teknik seperti ini.
3. Jika data untuk menghitung rasio tidak tersedia, akan
menimbulkan kesulitan menghitung rasio.
4. Sulit jika data yang tersedia tidak singkron.

Dua perusahaan yang dibandingkan bisa saja teknik dan standar


akuntansi yang dipakai tidak sama.

Oleh karenanya jika dilakukan perbandingan bisa menimbulkan


kesalahan.
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN KOMPARASI

Analisis komparasi dilakukan dengan membandingkan Laporan


Keuangan suatu periode atau saat tertentu dengan periode
lainnya sehingga dapat diketahui kenaikan atau penurunan
atas pos-pos Laporan Keuangan. Dengan teknik ini akan
diketahui perubahan- perubahan yang terjadi, serta perubahan
mana yang memerlukan penelitian lebih lanjut.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Fiskus dalam
melakukan analisis komparasi, yaitu :

1. Tidak hanya fokus pada Laporan Laba Rugi, perhatikan juga perubahan pos-pos neraca.
Kebanyakan fiskus hanya fokus pada perubahan laporan laba-rugi karena laporan laba rugi
mengarah langsung kepada penghasilan kena pajak. Perlu diketahui bahwa dalam perubahan-
perubahan pada pos-pos neraca juga terdapat aspek perpajakan yang dapat menjadi potensi pajak.
2. Nilai account/perubahan Account yang cukup material (baik nilai absolut maupun nisbi)
Hal yang paling mudah dalam analisis komparasi adalah melihat perubahan-perubahan pos yang
material yang ditunjukan oleh nilai absolut maupun nilai nisbi (prosentase). Lakukan evaluasi
apakah perubahan tersebut wajar.
3. Perubahan variable cost yang terkait dengan volume usaha (Cost driver)

Teliti biaya-biaya variabel yang merupakan pemicu (cost driver) volume usaha. Lakukan evaluasi
apakah perubahan biaya-biaya tersebut sebanding dengan perubahan usaha.
4. Perhatikan Account yang melekat kewajiban perpajakan.
Dalam Laporan Keuangan dapat dibaca pos-pos yang menggambarkan kewajiban perpajakan,
misalnya pos biaya gaji dan upah menggambarkan kewajiban pemotongan PPh Ps. 21, biaya sewa
menggambarkan kewajiban pemotongan PPh Ps. 23 atau PPh Ps. 4 (2) dan lain-lain. Fiskus harus
meneliti pos-pos dalam laporan keuangan yang nantinya akan digunakan dalam analisis ekualisasi
SPT
Analisis Laporan Laba-Rugi Komparasi

1. Analisis Pos-pos Harga Pokok Penjualan


Hal yang paling sederhana yang pertama kita lihat dalam analisis laba rugi
komparasi adalah perubahan Margin Laba Kotor (Gross Profit Margin/GPM),
kenapa?

Rumus GPM = Gross Profit X 100% Sales


Hampir seluruh unsur harga pokok merupakan biaya variabel (variable cost) yang
perubahannya relatif sejajar dengan perubahan volume usaha atau peredaran usaha.
Contoh:
 Semakin besar peredaran usaha maka semakin besar memerlukan persediaan, apa-
bila perusahaan tersebut merupakan manufaktur maka akan semakin besar
penggunaan bahan baku dan bahan pembantu
 Semakin besar peredaran usaha maka semakin besar memerlukan tenaga kerja
langsung.
 Semakin besar besar peredaran usaha semakin besar memerlukan biaya overhead,
misalnya ongkos angkut, listrik dll.
Tujuan analisis laporan keuangan bagi fiskus antara lain:

Mengidentifikasi tingkat kepatuhan WP dengan cara


menilai kewajaran pelaporan unsur-unsur dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) yang pada akhirnya dapat menggali
potensi pajak yang masih terdapat pada Wajib Pajak.

Bagi Pemeriksaan Pajak digunakan untuk mengidentifikasi


masalah yang mungkin terdapat dalam pos-pos laporan
keuangan sehingga pemeriksa dapat menentukanpos- pos
yang perlu diperdalam dalam pemeriksaan (Audit Scope)

Tujuan perpajakan lain seperti membuat benchmarking.


Benchmarking

Benchmarking seringkali menjadi pintu masuk oleh


Account Representative dalam menilai tingkat
kewajaran pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dan
sebagai bentuk pembinaan dan pengawasan terhadap
Wajib Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak
Pengertian Benchmarking

Benchmarking adalah suatu proses sistematik dalam


membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi
terhadap kompetitor atau pemimpin industri untuk menentukan
apa yang harus dilakukan dalam mencapai tingkat kinerja yang
tinggi. Dalam melakukan benchmarking, suatu organisasi
membandingkan nilai-nilai tertentu (dari dalam organisasi)
dengan suatu titik referensi atau standar keunggulan yang
sebanding dengan tujuan menentukan langkah-langkah yang
sistematik dan terarah dalam mencapi tujuan yang diharapkan
Benchmarking ala Direktorat Jenderal Pajak

Model benchmarking umum digunakan dalam dunia bisnis.


Namun oleh Direktorat Jenderal Pajak, model ini ini diadopsi
dalam rangka melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan
dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Dengan asumsi bahwa
Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama akan
cenderung memiliki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan
dan perpajakan masing-masing Wajib Pajak dapat dibandingkan
dengan suatu benchmark yang mewakili karakteristik Wajib Pajak
yang bersangkutan. Benchmarking yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang
disebut Total Benchmarking.
Karakteristik Total Benchmarking

Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE 96/PJ/2009


Tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatnya
disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1. Rasio total benchmarking disusun berdasarkan kelompok
usaha
2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan
dengan tingkat laba dan input-output perusahaan
3. Ada keterkaitan antar rasio benchmark
4. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan
pemenuhan kewajiban perpajakan.
Tujuan Total benchmarking

1. Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan


kondisi SPT Tahunan yang dilaporkan Wajib Pajak

2. Membantu pengawasan kepatuhan Wajib Pajak,


terutama menyangkut kepatuhan materialnya
Manfaat Total Benchmarking

1. Supporting tools bagi program intensifikasi/


penggalian potensi

2. Alat bantu dalam penghitungan tax gap


Proses dan Metode penetapan Benchmark

1. Nilai masing-masing benchmark ditetapkan untuk masing-masing kelompok usaha


berdasarkan 5 digit kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak

2. Penetapan rasio-rasio benchmark untuk keseluruhan kelompok usaha dilakukan


secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak

3. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmark adalah
data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari : Elemen-
elemen Surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan, Elemen-elemen Surat
Pemberitahuan Masa PPN dan Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan.

4. Beberapa Wajib Pajak yang dipilih sebagai sampel dari populasi masing-masing
kelompok usaha. Pemilihan dilakukan secara judgemental dengan
mempertimbangkan sampel tersebut harus memiliki nilai rasio-rasio yang dianggap
baik dan wajar dalam kelompok usahanya

5. Penentuan nilai benchmark dilakukan dengan menghitung rata-rata rasio-rasio


keuangan perusahaan-perusahaan yang diambil sebagai sampel, dengan
menggunakan metode penghitungan rata-rata tertimbang (weighted average)
Macam-macam Rasio Benchmark

Rasio-rasio yang digunakan dalam total benchmarking


meliputi 14 rasio yang terdiri dari rasio-rasio yang
mengukur kinerja operasional, rasio input, rasio PPN
dan rasio aktivitas luar usaha. Pemilihan rasio tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa rasio yang
digunakan sedapat mungkin mampu memberikan
gambaran secara menyeluruh atas kegiatan operasional
perusahaan dalam suatu periode dan berkaitan dengan
semua jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.
Rasio- rasio tersebut meliputi :

1. Gross Profit Margin (GPM)


2. Operating Profit Margin (OPM)
3. Pretax Profit Margin (PPM)
4. Corporate Tax to Turn Over Ratio (C TTOR)
5. Net Profit Margin (NPM)
6. Dividend Payout Ratio (DPR)
7. Rasio PPN (pn)
8. Rasio Gaji/Penjualan (g)
9. Rasio Bunga/ Penjualan (b)
10. Rasio Sewa/ Penjualan (s)
11. Rasio Penyusutan/ Penjualan (py)
12. Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl)
13. Rasio Biaya Luar Usaha/ Penjualan (bl)
14. Rasio Input Lainnya/ Penjualan (x)
Rasio-Rasio Benchmarking

Rasio-rasio yang digunakan dalam total benchmarking meliputi 14 rasio yang


terdiri dari rasio-rasio yang mengukur kinerja operasional, rasio input, rasio PPN
dan rasio aktivitas luar usaha.
Rasio-rasio tersebut meliputi:

No Ratio Rumus

1 Gross Profit Margin (GPM) Laba kotor x 100% Penjualan

2 Operating Profit Margin (OPM), Laba bersih operasi x 100% Penjualan

3 Pretax Profit Margin (PPM) Laba bersih sebelum pajak x 100% Penjualan

4 Corporate Tax to Turn Over Ratio PPh Terhutang x 100% Penjualan


(CTTOR)

5 Net Profit Margin (NPM) Laba bersih setelah pajak x 100% penjualan

6 Dividend Payout Ratio (DPR) dividen tunai yg dibayarkan x 100% laba bersih
stlh pajak

7 Rasio PPN Masukan (Pn) PPN Masukan yang dikreditkan setahun (excl.
PM antar cabang) x 100% Penjualan
Rasio-Rasio Benchmarking

No Ratio Rumus

8 Rasio biaya gaji terhadap penjualan (g) biaya gaji x 100% penjualan

9 Rasio biaya bunga terhadap penjualan (b) biaya bunga x 100% penjualan

10 Rasio biaya sewa terhadap penjualan (s) biaya sewa x 100% penjualan

11 Rasio biaya penyusutan terhadap penjualan (py) biaya penyusutan x 100% penjualan

Rasio penghasilan luar usaha terhadap penjualan penghasilan luar usaha x 100% penjualan
12 (pl)
13 Rasio biaya luar usaha terhadap penjualan (bl) biaya luar usaha x 100% penjualan

14 Rasio "input antara" lainnya terhadap penjualan (x) Input lainnya x 100% Penjualan

Sejak diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-40/PJ/2012 telah


dikembangkan Benchmark Behavioral Model (BBM). BBM merupakan
pengembangan Total Benchmarking yang semula nasional akan ditetapkan per
Kantor Wilayah.
Total Benchmarking

Pengertian Total Benchmarking :

dengan tingkat laba perusahaan dan berbagai input dalam kegiatan usaha
dengan rasio- rasio yang sama yang dianggap standar untuk kelompok
usaha tertentu, serta melihat hubungan keterkaitan antar rasio untuk
menilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak. Dengan demikian total benchmarking memiliki
karakteristik:

• Benchmark disusun berdasarkan kelompok usaha

• Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio berkaitan dengan tingkat laba


dan input-output perusahaan

• Hubungan keterkaitan antar rasio-rasio diperhatikan


Sumber Data Benchmarking

Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan


benchmark adalah data internal dalam sistem informasi perpajakan
DJP, yang terdiri dari :

• Elemen-elemen Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan;

• Elemen-elemen Surat Pemberitahuan Masa PPN;

• Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan;


Data Yang Diperlukan dan Sumber Data
Data diperlukan dalam melakukan analisis laporan keuangan adalah:
1. Laporan Keuangan dan SPT
Data utama yang diperlukan dalam analisis laporan keuangan adalah laporan keuangan yang terdiri dari:
Neraca; Laporan Laba Rugi; Laporan Arus Kas dan Laporan Perubahan Modal, yang meliputi lebih dari satu
tahun. Untuk kepentingan analisis perpajakan, selain Laporan Keuangan diperlukan Surat Pemberitahuan
Pajak (SPT) yang terdiri dari SPT Tahunan PPh; SPT Masa PPN dan SPT Masa PPh Potput yang menjadi
kewajiban WP dan meliputi lebih dari satu tahun pajak.

2. Perbandingan rasio keuangan masa sekarang dengan rasio masa lalu atau dengan perusahaan
dalam industri yang sama.
Analisis lebih mudah dilakukan dengan menggunakan angka prosentase atau yang biasa disebut dengan
Rasio dibandingkan dengan menggunakan angka mutlak. Oleh karena itu analisis harus membuat satuan
rasio dan membandingkan rasio tersebut dengan rasio tahun-tahun sebelumnya atau dengan rasio dalam
industri yang sama.

3. Data Pembanding.
Untuk dapat menafsirkan dan mengambil kesimpulan atas angka-angka atau rasio-rasio laporan keuangan
diperlukan data pembanding. Data pembanding dapat berupa data laporan keuangan tahun-tahun
sebelumnya (data time series) atau data rata-rata industri sejenis. Untuk pembanding analisis SPT, Ditjen
Pajak telah menerbitkan Bench Marking yang berbagai rasio untuk Wajib Pajak dalam Klasifikasi Lapangan
Usaha (KLU) sejenis.
Data Yang Diperlukan dan Sumber Data

Data-data yang diperlukan untuk melakukan analisis laporan keuangan


dapat diperoleh dari:

1. Internal DJP:
• Berkas fisik WP di KPP
• SIDJP
• Approweb,
• Portal DJP

2. Ekternal:
• Publikasi data keuangan :
• BEI (www. idx.co.id)
• Asosiasi perusahaan
Langkah-langkah Analisis Laporan Keuangan
1) Pertama, pahami lingkungan bisnis WP

a. Apa jenis usahanya, berada dalam industri apa?


• Mengetahui apakah produk WP dipengaruhi harga pasar.
Misalnya, WP bergerak dalam pertambangan batubara. Batu bara memiliki Harga Batubara Acuan
(HBA) sebagai acuan Transaksi Jual-Beli Batubara. Harga jual batubara yang dijual oleh WP
seharusnya tidak terlalu jauh menyimpang HBA yang berlaku untuk periode yang dianalisis.
WP yang bergerak dalam perkebunan sawit atau produsen CPO, harga sawit atau CPO sangat
tergantung pada harga pasar dunia, historis harga dapat dilihat pada harga di bursa komoditi,
fiskus dapat mengamati apakah harga yang dilaporkan WP tidak terlalu berbeda dengan harga
menurut bursa komoditi.

• Mengetahui apakah produk WP terpengaruh kondisi ekonomi atau tidak.


Contoh: Produsen/pedagang barang kebutuhan harian atau kebutuhan primer seperti produk
makanan, volume penjualan dan harga tidak terlalu dipengaruhi perubahan kondisi perekonomian.

• Mengetahui apakah WP bergerak dalam proses bisnis yang spesifik

Misalnya WP bergerak dalam bisnis developer dan dealer kendaraan bermotor, pada bisnis
developer dan sudah lazin developer meminta uang tanda jadi sebelum terjadi penjualan dan
sebagian besar pembeli didanai oleh kredit Bank. Dalam melakukan analisis Fiskus harus berhati-
hati terhadap aspek pemungutan PPN dan saat pengakuan penghasilannya di PPh Badan.
b.Pahami proses bisnis Wajib Pajak
Secara umum pemahaman proses bisnis WP dapat diperoleh dengan mempelajari input,
proses dan ouput dari WP. Pelajari bagaimana WP memperoleh bahan baku, bagaimana
proses produksinya dan bagaimana cara penjualan WP.
Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:

1. Siapa pemasok utamanya.

 Identifikasi suplier utamanya, misalnya ambil 5 suplier terbesar Teliti apakah


diantara suplier besar tsb memiliki hubungan istimewa dengan WP

 Teliti apakah diantara suplier besar tsb masuk kedalam suspect List penerbit Faktur
Pajak Fiktif.

 Bandingkan jumlah pembelian dengan Pajak Masukan dalam SPT Masa PPN, jika PM
lebih kecil maka pembelian WP lebih banyak berasal dari Non PKP, kondisi ini
berisiko WP memark-up pembelian. Jika pembelian lebih banyak berasal dari PKP
maka fiskus dapat menggunakan data PK-PM pada Portal DJP, sebagai alat uji
validitas pembelian.
2.Memahami proses produksinya

Setelah mengetahui jenis usaha dan produk dari WP, Fiskus dapat
mempelajari proses produksi Wajib Pajak. Pemahaman proses produksi
dapat dilakukan dengan mempelajari struktur biaya dari Wajib Pajak.
Tujuannya adalah untuk menilai kewajaran volume usaha berdasarkan input
produksinya.

Cara paling mudah adalah dengan mengidentifikasikan cost drivernya. Cost


driver adalah biaya variable yang berhubungan langsung dengan volume
produksi sehingga perubahan biaya variabel tersebut berbanding lurus
dengan volume usaha. Misalnya: WP yang melakukan usaha garmen yang
banyak menggunakan tenaga kerja, maka seharusnya perubahan jumlah
upah buruh sebanding dengan perubahan volume usaha. Wajib Pajak yang
bergerak dalam industri besi yang banyak menggunakan energi listri, maka
seharusnya perubahan jumlah biaya listrik sebanding dengan perubahan
volume usaha.
c) Mengetahui pembeli (customer) nya

Tujuannya mengetahui siapa pembelinya adalah menilai kewajaran penjualan


dan memprediksi risiko ketidak patuhan WP dalam melaporkan penjualan:

Langka-langkah yang dpat dilakukan:

• Identifikasikan pembeli utamanya, misalnya ambil 5 pembeli terbesar


• Teliti apakah diantara pembeli besar tsb memiliki hubungan istimewa dengan
WP, jika ada maka terdapat risiko WP kurang melaporkan peredaran
usahanya.
• Bandingkan jumlah penjualan dengan Pajak Keluaran, Jika penjualan lebih
banyak menggunakan Faktur pajak tanpa nama pembeli dan Faktur Pajak
Pedagang eceran, maka terdapat risiko WP tidak melaporkan seluruh
penjualannya.
• Perhatikan perubahan cost driver dari penjualan, misalnya ongkos angkut.
Apabila biaya ini meningkat dengan prosentase peningkatan yang lebih tinggi
dari penjualan, maka ada kemungkinan WP kurang melaporkan penjualannya.
Baca dan pelajari laporan keuangan beserta
catatan atas Laporan Keuangan

1. Apabila Laporan LK telah diaudit Akuntan Publik, maka baca audit report,
apa opini Akuntan Publik. Apabila opini AP selain WTP, pelajari pos-pos yang
dikecualikan dari kesesuaian dengan SAK.

2. Baca laporan keuangan dan catatan atas LK. Laporan Keuangan tidak dapat
memberikan informasi yang terinci sehingga perlu untuk membaca catatan
atas LK sehingga dapat diperoleh informasi yang sejelas mungkin, tanpa
potensi bias.

3. Dari catatan atas LK kita dapat mengidentifikasikan transaksi-transaksi


penting yang dapat diduga terdapat potensi pajak.
Keterbatasan Analisis Laporan Keuangan

Analisis Laporan Keuangan banyak memiliki manfaat, namun


penggunaanya harus dilakukan secara hati-hati karena Analisis Laporan
Keuangan juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan Analisis
Laporan Keuangan antara lain:

A. Katagori industri seringkali sulit untuk diidentifikasi


B. Rata-rata industri yang dipublikasikan hanya sekedar pedoman
C. Praktik akuntansi cenderung berbeda antar perusahaan
D. Seringkali sulit untuk menginterpretasikan penyimpangan/variasi
dalam rasio
E. Kondisi musiman sering mempengaruhi ratio
Ada dua metode yang sering digunakan dalam
analisis laporan keuangan:

• Metode Vertikal/Common size percentage method


Mengukur kontribusi variable laporan keuangan terhadap totalnya.Pos-pos laporan
keuangan yang satu dibandingkan dengan pos laporan keuangan yang lain masih
dalam periode atau saat yang sama. Karena analisis ini masih dalam periode atau
saat yang sama maka disebut dengan metode statis.

• Metode Horisontal/Trend percentage method.


Mengukur trend (arah) variable laporan keuangan secara horizontal (Time serries).
laporan keuangan suatu periode atau saat tertentu dibandingkan dengan periode
yang lainnya sehingga dapat diketahui kemajuan atau
kemundurannya(perkembangan), sehingga metode ini sering disebut dengan
metode dinamis.

Kedua metode di atas akan lebih bermanfaat jika digunakan bersamaan, misalnya
ketika menganalisis Gross Profit Margin, yang pertama dilihat adalah berapa besarnya
GPM pada tahun yang dianalisis (Common Size Method) kemudian bandingkan
besarnya GPM tersebut dengan tahun-tahun sebelumnya (Trend Method).
Analisis Vertikal (Common Size)

Benchmark/
135.439.866 X 100 ox2 Selisih
No Pos rata2 industri
148.199.316
% % %
A Penjualan 148.199.316 100,00
B Harga Pokok Penjualan 135.439.866 91,39 85,50 5,89
Laba Kotor (GPM) 12.759.449 8,61 14,50 (5,89)
C Pengurang Penghasilan Bruto
1B. Pemasaran 8.566.845 5,0 12.759.449 X 100
2Umum & Administrasi 3.872.554 2,0 148.199.316
Jumlah Peng. Penghasilan Bruto 12.439.399 8,0 (61)
Laba (Rugi) Usaha (OPM) 320.050 0,22 4,50 4,28
D Pendapatan/(Biaya) Luar Usaha (5.760.245) (3,89) 1,00 4,89
Laba Netto (PPM) (5.440.195) (3,67) 5,50 9,17
E Paiak Penghasilan
Pajak penghasilan-bersih -
Laba (Rugi) Setelah Pajak (5.440.195) (3,67)
Analisis Horisontal/Komparasi/Trend

2007 2006 Naik/(Turun)


No Uraian Rp % Rp % Rp %
A Penjualan 145.199.318 100,00 65.239.611 100,00 79.959.705 117,2
B Harga Pokok Penjualan 135.439.566 91,39 61.697.407 90,41 73.742.459 119,5
Laba Kotor 12.759.449 5,61 6.542.204 9,59 6.217.245 39,0
C Beban Usaha
1Beban Pemasaran 8.566.545 5,79 2.059.576 3,02 6.507.265 316,0
2Umum & Administrasi 3.572.554 2,61 2.456.249 3,64 1.356.304 55,5
Jumlah B. Usaha 12.439.399 8,39 4.545.525 6,66 (1.676.325) 173,6
Laba (Rugi) Usaha 320.050 0,22 1.996.373 2,93 5.355.892 (34,0)
D Pendapatan (Biaya) Luar Usaha (5.760.245) 3,89 (371.352) 0,54 5.355.892 1.451,2
Laba Netto (5.440.195) 3,67 1.625.025 2,38 (7.065.221) (434,8)
E Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan - bersih 465.928 0,71 (465.928) (100,0)
Laba (Rugi) Setelah Pajak (5.440.195) 3,67 1.156.097 1,67 (6.596.292) (570,6)

Perbandingan data absolut atau dalam Perbandingan yang dinyatakan Kenaikan atau penurunan dlm Kenaikan atau penurunan dalam
jumlah rupiah dalam presentase jumlah rupiah presentase
Tenik analisis yang sering digunakan dalam analisis
laporan keuangan antara lain :

a. Teknik Analisis Rasio.

b. Teknik Analisis Perbandingan (Comparative)

c. Teknik Analisis Arus Kas.


Tenik analisis yang sering digunakan dalam analisis
laporan keuangan antara lain :

a. Teknik Analisis Rasio.

Rasio keuangan adalah perbandingan satu pos yang satu dengan


pos laporan keuangan yang lain dalam laporan keuangan, sehingga
menunjukan suatu kondisi keuangan atau prestasi keuangan
tertentu atas perusahaan tersebut pada saat atau periode tersebut.
Misalnya Rasio Laba Kotor, rasio ini membandingkan Laba Kotor
terhadap penjualan.

Dengan rasio keuangan maka akan diperoleh arti yang lebih jelas
mengenai informasi yang disajikan oleh suatu laporan keuangan.
Tenik analisis yang sering digunakan dalam analisis
laporan keuangan antara lain :

b. Teknik Analisis Perbandingan (Comparative)

Analisis dengan membandingan laporan keuangan, merupakan salah satu


teknik analisis laporan keuangan dari sekian teknik analisis laporan
keuangan yang dipakai oleh para pemakai yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan perusahaan. Dengan menggunakan teknik ini akan dapat
diketahui perubahan-perubahan yang terjadi, serta perubahan mana yang
memerlukan penelitian lebih lanjut.

Perubahan-perubahan yang dapat ditunjukkan dengan teknik ini adalah:


1. Data absolut atau jumlah-jumlah dalam rupiah.
2. Kenaikan atau penurunan dalam jumlah rupiah.
3. Kenaikan atau penurunan dalam presentase.
4. Perbandingan yang dinyatakan dalam ratio.
5. Dinyatakan dalam presentase total.
c. Teknik Analisis Arus Kas

Teknik ini dilakukan dengan cara mengevaluasi sumber dan penggunaan dana/kas
dari aktivitas perusahaan selama periode tertentu, umumnya satu tahun. Dengan
teknik ini, analis dapat memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang.

Bagi fiskus, teknik ini dapat digunakan untuk meneliti apakah terdapat potensi
perpajakan dari setiap aliran uang masuk dan aliran uang keluar.

Contoh:
Dalam aktivitas investasi

1. terdapat pembelian tanah dan bangunan maka dalam transaksi tersebut


terdapat kewajiban BPHTB.

2. Terdapat penjualan asset tetap maka dalam transaksi tersebut terdapat


kewajiban PPN psal 16 D, jika yang dijual adalah asset berupa bangunan maka
terdapat kewajiban PPh atas pengalihan tanah dan bangunan.
Maka dugaannya adalah dari tahun ketahun seharusnya GPM relatif sama, perubahan
peredaran usaha akan merubah tingkat laba secara absolut atau Rupiah tetapi tidak
merubah % GPM atauHPP.

Ketika kita melakukan analisis ditemukan GPM yang berfluktuasi, maka patut diduga
adanya ketidak wajaran. Lalu apa yang kita lakukan?. Cari cost drivernya, misalnya
penggunaan bahan baku, listrik atau tenaga kerja. Perhatikan pola perubahan cost driver
dibanding perubahan volume usaha.
Apabila hubungan antara penjualan, HPP dan Margin Laba Bruto
digambarkan dalam suatu grafik akan terlihat seperti pada gambar di
atas. Ketiganya mempunyai hubungan yang pararel. Semakin besar
volume penjualan, semakin besar HPP, begitu juga laba bruto.

Hubungan tersebut tidak hanya terjadi pada penjualan dan HPP saja
tetapi berlaku juga pada semua biaya yang merupakan cost driver.
Analisis Pos-pos Biaya Umum dan Administrasi

Berbeda dengan HPP, umumnya biaya yang dikelompokan


dalam Biaya Umum dan Administrasi merupakan biaya tetap
(Fixed Cost). Seharusnya beban dalam kelompok biaya umum
dan administrasi relatif tidak mengalami perubahan yang
signifikan dari tahun ke tahun walaupun volume penjualan
berubah, kecuali terdapat ekspansi atau investasi baru.

Untuk kelompok biaya-biaya ini analisis difokuskan pada biaya-


biaya yang mengalami kenaikan yang signifikan atau tidak wajar
baik dalam nilai rupiah maupun dalam prosentase,
kemungkinan WP menggelembungkan (mark-up) biaya tersebut.
Contoh potongan Laporan Laba Rugi

Pos 20x9 20x8 Naik/(Turun) 20x9-20x8


Rp % Rp % Rp %
Umum & Administrasi
B. gaji t kerja 3,252,201 1.4% 3,173,197 2.7% 79,004 2.5%
B. transportasi 866,121 0.4% 795,232 0.7% 70,889 8.9%
B. Penyusutan 204,597 0.1% 132,081 0.1% 72,516 54.9%
B. Sewa 300.000 0.1% 450,000 0.4% (150,000) -33.3%
B. Pemilharaan & perbaikan 550,000 0.2% 184,871 0.2% 365,129 197.5%
a) Listrik. Air dan Telp 1,296,795 0.5% 965,296 0.8% 331,499 34.3%
B. Piutang Tak Tertagih 1,695.686 0.7% 214,946 0.2% 1,480,740 688.9%
B. ATK dan perlengkapan kantor 981,340 0.4% 632,425 0.5% 348,915 55.2%
B. Konsultan 65,756 0.0% 52,500 0.0% 13,256 25.2%
B. Pajak 18,650 0.0% 75,034 0.1% (56,384) -75.1%
B. Katering 412,504 0.2% 375,612 0.3% 36,891 9.8%
Terdapat kenaikan biaya-biaya yang cukup signifikan
antara lain:

Beban Pemeliharaan dan Perbaikan Kantor, biaya ini umumnya tidak


terkait langsung dengan perubahan volume penjualan, apabila tidak
terdapat penambahan Asset tetap untuk kantor seharusnya biaya ini
tidak mengalami kenaikan yang material dalam nilai rupiah.

Beban Piutang Tak Tertagih, walaupun masuk dalam kelompok Beban


Umum dan Administrasi, biaya ini umumnya berubah sesuai perubahan
volume penjualan. Namun secara prosentase dari penjualan (common
size) umumnya tidak mengalami perubahan. Dalam kasus di atas, biaya
ini secara prosentase mengalami kenaikan yang cukup material dari
0,2% menjadi 0,7% dari penjualan. Perlu ditindak-lanjuti untuk
memastikan validitas biaya ini.
Analisis Neraca (Laporan Posisi Keuangan) Komparasi

Walaupun penghasilan kena pajak dihitung berdasarkan


Laporan Laba Rugi, bukan berarti neraca dapat diabaikan dalam
melakukan analisis laporan keuangan. Dari pos-pos neraca dan
perubahannya, fiskus dapat menganalisis apakah Wajib Pajak
telah memenuhi kewajiban perpajakannya yang pada akhirnya
dapat menggali potensi pajak.

Berikut akan dibahas beberapa contoh dari pos-pos neraca


yang dapat kita gali potensi pajaknya
Analisis Perubahan Aset

Terdapat Aset yang menghasilkan penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau
bukan objek PPh

Misalnya pada pos asset terdapat pos Deposito dan Investasi pada Entitas Asosiasi yang
penyertaanya 25% atau lebih
Potongan Neraca komparasi :
20x9 20x8 Naik/(Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
Aset Lancar
………………
Deposito 2.000.000 1.500.000 500.000
…………………
Aset Tidak Lancar
Investasi pada entitas asosiasi 30.000.000 25.000.000

20x9 20x8 Naik/(Turun)


Uraian
RP % Rp % Rp %
…………………..
Hutang Bank 50.000.000 4.000.000 10.000.000 1225%

…………………..
Penghasilan bunga deposito dikenakan PPh Final pasal 4 (2) UU PPh dan Dividen
atas Investasi pada Entitas Asosiasi yang penyertaanya 25% atau lebih
merupakan penghasilan yang bukan objek pajak sesuai Pasal 4 (3) UU PPh.
Apabila dalam pos neraca ditemukan pos-pos demikian maka atas seluruh biaya
untuk memperoleh penghasilan tersebut harus dikoreksi sekalipun belum
terdapat penghasilan.

Contoh:

Dari potongan neraca di atas, WP memiliki deposito dan investasi lebih dari 25%
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Selain
itu, WP memiliki hutang Bank yang dibebani bunga, maka bunga atas utang
Bank yang dananya ditempatkan dalam deposito dan investasi pada entitas
asosiasi tidak dapat dikreditkan
Saldo rata-rata Deposito Th. 20x9 = Saldo awal + Saldo akhir
2
= 1,500,000 + 2.000.000 = Rp 1.750.000,
2

Saldo rata-rata Investasi entitas asosiasi Th. 20x9 = 25.000.000 + 30.000.000


2
= Rp 27.500.000

Saldo rata-rata deposito dan investasi = Rp 1.750.000 + Rp 27.500.000


= Rp 29.250.000

Saldo rata-rata Utang Bank Th. 20x9 = 40.000.000 + 50.000.000


2
= Rp 45.000.000

Misalnya Bunga Bank = 12 % dan tahun 20x2 WP membebankan biaya bunga sebesar
Rp 5.500.000.
Beban Bunga yang dapat dibebankan =

(Saldo rata-rata utang bank - saldo rata-rata deposito dan investasi) x beban bunga

(Rp 45.000.000 - 29.250.000) X 12% = Rp 23.850.000 X 12% = Rp 2.862.000

Rp 23.850.000 adalah dana dari pinjaman Bank yang benar-benar digunakan


WP untuk membiaya penghasilan yang dihitung dengan cara sesuai pasal 16
ayat (1) UU PPh. Dalam penyesuaiaan fiscal di SPT WP seharusnya terdapat
penyesuaiaan fiskal positif atas beban bunga sebesar Rp 5.500.000 - Rp
2.862.000 = Rp 2.538.000.
Apabila WP membebankan biaya-biaya atas perolehan investasi, misalnya biaya
legal dan komisi broker, maka biaya tersebut juga tidak dapat dibebankan.
Terdapat Aset yang dimanfatkan oleh pihak lain dan bukan dalam rangka
kegiatan untuk memperoleh, menagih dan memeliharan (3M) penghasilan

Pos Th 20x9 Th 20x8 Naik/(Turun)


Aset
................................
Piutang pemegang saham 1.000.000.000 1.000.000.000
Piutang afiliasi 2.000.000.000 1.500.000.000 500.000.000
Piutang Pegawai 500.000.000 300.000.000 200.000.000
................................

Perhatikan pos-pos pada potongan neraca di atas, piutang-piutang di atas adalah pem-
berian pinjaman atau dana perusahan ke pihak lain yang umumnya bukan dalam rangka
transaksi usaha dengan Wajib pajak atau tidak berhubungan dengan kegiatan 3M Wajib
Pajak.

Apabila WP memiliki piutang-piutang seperti di atas, disisi lain WP juga memiliki utang yang
dibebani bunga. Apa artinya?, artinya sebagian dana yang diterima oleh WP dari Bank
digunakan bukan oleh WP sendiri melainkan digunakan oleh pemegang saham, perusahaan
asosiasi atau group dan pegawai Wajib Pajak. Dengan demikian, dana yang tidak digunakan
untuk kegiatan usaha WP seharusnya beban bunga tidak dibebankan pada penghasilan WP,
maka beban bunga tidak dapat dibebankan dengan perhitungan yang sama dengan cara
penghitungan sebelumnya.
Perubahan Aset Tetap
Perubahan tanah dan/atau bangunan
Pos Th 20x9 Th 20x8 Pertambahan
Aset Tetap

Tanah 9.737.093 5.475.329 4.261.764

Bangunan 6.785.932 4.526.485 2.259.447

Apabila terdapat penambahan tanah dan/atau bangunan, maka analis harus meneliti:

1. Teliti dari siapa tanah dan/atau bangunan diperoleh. Apakah diperoleh dari pihak
yang memiliki hubungan istimewa?. Jika diperoleh dari pihak yang memiliki
hubungan istimewa maka ada kemungkinan harga peroleh tidak wajar.
2. Apabila penambahan tanah dan/atau bangunan diperoleh dari pembelian, teliti
apakah WP telah melunasi BPHTB
3. Apabila penambahan bangunan diperoleh dari membangun dengan menggunakan
jasa kontraktor, teliti apakah WP telah memotong PPh pasal 4 ayat (2) atas jasa
konstruksi.
Apabila terdapat penambahan tanah dan/atau
bangunan, maka analis harus meneliti:
4. Teliti dalam SPT PPN WP apakah terdapat Pajak Masukan dari penjual
tanah dan/atau bangunan atau dari kontraktor, jika tidak terdapat Pajak
Masukan maka biasanya KPP akan di buat alat keterangan untuk
disampaikan kepada KPP tempat domisili kontraktor guna menindaklanjuti
Pajak Keluarannya. Apabila ternyata pajak keluaran tidak dapat ditagih
kepada penjual atau kontraktor, maka WP bertanggung jawab renteng atas
pembayaran PPN yang terutang sesuai pasal 16F UU PPN.

5. Apabila penambahan bangunan diperoleh dengan membangun sendiri


tanpa menggunakan kontraktor, teliti apakah WP telah menyetor PPN atas
kegiatan membangun sendiri sesuai pasal 16C UU PPN.

6. Umumnya perolehan Tanah & Bangunan menggunakan jasa perantara,


teliti apakah atas komisi terhadap jasa perantara tersebut telah dipotong
PPh Ps. 21/23.
Bagaimana Jika Terjadi Penurunan Tanah
Dan/Atau Bangunan?
Baik terjadi kenaikan maupun penurun nilai atas pos Tanah dan/atau bangunan tetap
terdapat potensi pajak karena dalam kedua transaksi tersebut terdapat kewajiban-
kewajiban perpajakan.
Apabila terdapat penurunan tanah dan/atau bangunan, maka analis harus
meneliti:
• Apakah WP telah dipotong atau menyetor PPh pasal 4 ayat (2) atas pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
• Apakah WP telah memungut PPN pasal 16D.
• Umumnya perolehan Tanah & Bangunan menggunakan jasa perantara. Baik
penjual maupun pembeli biasanya dikenakan komisi jasa perantara, teliti apakah
atas komisi terhadap jasa perantara tersebut telah dipotong PPh Ps. 21/23.
• Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan PPh Final,
maka atas seluruh biaya untuk memperoleh penghasilan tersebut tidak dapat
dibebankan sesuai pasal 6 ayat (1) UU PPh. Perhatikan SPT WP dalam bagian
Penyesuaiaan Fiskal Positif, apakah WP telah melakukan penyesuaian fiskal positif
atas pembebanan nilai buku dan biaya-biaya pengalihan hak atas Tanah dan/atau
bangunan.
Perubahan Aset Tetap selain Tanah dan/atau
Bangunan
Perubahan aset tetap selain tanah dan bangunan juga meiliki potensi perpajakan.
Apabila terdapat kenaikan pos Aset Tetap, fiscus biasanya meneliti:
• Dari siapa aset diperoleh, apakah dari pihak yang memiliki hubungan istimewa? Jika di-
peroleh dari pihak yang memiliki hubungan istimewa maka ada kemungkinan harga
peroleh tidak wajar
• Perolehan aset tetap dari dalam negeri umumnya diperoleh dari Pengusaha Kena
Pajak (PKP), Fiskus dapat meneliti lampiran Pajak Masukan dalam SPT masa PPN,
apakah WP mengkreditkan PPN-nya. Jika tidak ada Pajak Masukan maka Fiskus
membuat Alat Keterangan untuk disampaikan kepada KPP tempat penjual terdaftar
guna ditagih PPN nya. Jika PPN sudah tidak dapat ditagih ke penjualnya maka PPN
ditagih kepembeli sebagai tanggung jawab renteng atas pelunasan PPN sesuai Ps. 16 F
UU PPN
Sebaliknya jika tejadi penurunan Aset Tetap maka:
• Perlu diteliti kepada siapa aset dialihkan, jika kepada pihak yang memiliki hubungan is-
timewa maka perlu diteliti kewajaran harganya.
• Teliti dalam Daftar Pajak Keluaran pada SPT Masa PPN, apakah WP telah memungut
PPN pasal 16D.
Analisis Perubahan Utang

Apabila dalam kelompok Utang terdapat Utang Kepada Pemegang Saham, Fiskus biasanya
mencermati kewajiban perpajakannya. Perhatikan, apakah dalam Laporan Laba Rugi
terdapat beban bunga utang pemegang saham atau tidak
Potongan Neraca :
20x9 20x8 Naik/(Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
Liabilitas Jk. Panjang
Hutang Pemegang Saham 15.000.000 10.000.000 5.000.000
…………………………………..

Potongan Laporan Laba-Rugi:

20x9 20x8 Naik/(Turun)


Uraian
Rp % Rp % Rp %
Biaya Luar Usaha
Bunga Hutang Pemegang Saham 1.500.000 1.000.000 500.000
………………………………
Potensi Pajak Yang Dapat Digali Antara Lain :

Apabila WP tidak memberikan bunga atas pinjaman dari pemegang saham , maka harus
diteliti apakah WP memenuhi ketentuan PP 94/2010, Pasal 12 , sbb:

a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan be-
rasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah
disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. PT penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan
usahanya.

Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka atas utang pemegang saham terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar atas bunga tersebut terutang PPh Ps. 23/26

Sebaliknya jika WP membebankan bunga , maka harus diteliti ketentuan Dividen


terselubung sesuai Ps. 18 ayat (3) UU PPh Jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
169/PMK.010/2015 Tentang Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan
untuk Keperluan Penghitungan Pajak penghasilan.
Analisis Perubahan Ekuitas

Perubahan ekuitas yang perlu dicermati:

a) Perubahan Modal Saham


• Apabila terdapat penambahan modal saham, teliti apakah penambahan
berasal dari setoran pemegang saham atau dari kapitalisasi Laba Ditahan
yang merupakan dividen sesuai Ps. 4 ayat (1) huruf g.
• Apabila terdapat penurunan modal saham, berarti terjadi pembelian
kembali saham yang beredar. Jika terdapat selisih antara uang yang
dibayar dengan setoran modal maka selisih merupakan dividen.

b) Perubahan Retained Earning (RE).


Rumus RE: RE awal + Laba setelah pajak-Dividen= RE Akhir.

Mari kita uji angka laba setelah pajak menurut laporan laba rugi dan angka
retained earning menurut neraca dibawah ini ke dalam rumus di atas.
Neraca

No Uraian 20x9 20x8 Naik/(Turun)


Rp % Rp % Rp %
3. a Ekuitas Modal saham 17.000.000 20,8% 15.000.000 31,8% 2.000.000 13,3%
3. b Laba (Rugi) Ditahan 15.942.043 19,5% 11.658.366 24,8% 4.283.677 36,7%
Jml Ekuitas 32.942.043 40,2% 26.658.366 56,6% 6.283.677 23,6%

Laporan Laba Rugi

20x9 20x8 / Naik/(Turun)


No Uraian
Rp % Rp % Rp %
Laba bersih sebelum pajak 11.409.133 6,6% 10.531.548 6,6% 877.586 6,6%
E pajak Penghasilan
pajak penghasilan 3.125.456 1,8% 2.758.319 1,8% 367.137 1,8%
Laba bersih setelah Pajak 823.677 4,8% 7.773.229 4,8% 510.449 4,8%
Apabila tidak terdapat pembagian dividen atau kapitalisasi laba ditahan kedalam modal
saham, maka seharusnya laba setelah pajak tahun berjalan (20x2) sama dengan
perubahan RE. Dalam kasus ini laporan keuangan di atas terdapat perbedaan.
Analisis Retained earning:
Retained earning awal (31-12-200x1) : 11,658,366
Laba setelah pajak th berjalan 20x2 : 8,283,677
Retained earning akhir Th. 20x2 : 19,942,043
Retained earning akhir Th. 20x2 cfm LK : 15,942,043
Pembagian dividen : 4,000,000
Dari hasil pengujian perhitungan di atas, ternyata RE hasil perhitungan rumus berbeda
sebesar Rp. 4.000.000 dengan RE akhir dineraca. Hal ini menunjukan terjadi pembagian
dividen.
Jika kita lihat dalam perubahan modal saham tedapat selisih kurang Rp 4.000.000, maka
kemungkinan WP telah membagi dividen dalam bentuk:
Dividen saham (stock dividen) = Rp 2.000.000
Dividen kas (cash dividen) = Rp 2.000.000
ANALISIS RASIO

Pengertian dan Tujuan Analisis Rasio:

Analisis Rasio adalah analisis laporan keuangan perusahaan dengan cara


membandingkan ratio dan membandingkannya dengan trend dan rata-rata
industri (Total Benchmarking)

Tujuan Analisis Rasio :

• Menstandarkan informasi keuangan untuk tujuan perbandingan


• Evaluasi hasil usaha & risiko usaha
• Membandingkan kinerja sekarang dengan tahun sebelumnya
• Membandingkan kinerja perusahaan dgn perusahaan lain atau standard
industri

Bagi Fiskus digunakan untuk menilai kepatuhan WP atau menggali potensi pajak
Jenis-jenis Rasio

Jenis rasio laporan keuangan, biasanya dikelompokkan ke dalam 3 kelompok rasio,


yaitu:
1. Operational Ratios:
• Profitability Ratios
• Kemampuan menghasilkan laba

2. Activity Ratios
Menilai efektifitas dan efisiensi aktivitas yang berhubungan dg pemakaian
sumber ekonomi

3. Financial Ratios:
a) Liquidity Ratios
Kemampuan melunasi hutang jangka pendek
a) Leverage Ratios
Kemampuan melunasi hutang jangka panjang

4. Valuation Ratios
Menilai saham perusahaan (tidak dibahas dalam pembelajaran ini)
Analisis Rasio Operasi (Operational Ratio)

Rasio Operasi menunjukan:

• Mengukur tingkat laba perusahaan.


• menggambarkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari
kegiatan penjualannya, menggunakan asetnya, maupun memutar modalnya.

Rasio Operasi terdiri dari:

a. Rasio margin laba kotor atau gross profit margin.

Rumus = Laba Kotor


Penjualan

b. Rasio margin laba operasi atau operating profit margin.

Rumus = Laba Operasi


Penjualan
c. Rasio margin laba bersih atau net profit margin.

Rumus = Laba Bersih


Penjualan
d. Rasio pengembalian investasi (Return on Investment/ROI)

Rumus = Laba Bersih


Total Investasi (Total Aset)

e. Rasio pengembalian modal (Return on Equity/ROE)

Rumus = Laba Bersih


Modal sendiri

Keterangan:
• Laba bersih dapat menggunakan laba bersih sebelum pajak atau laba bersih setelah
pajak tergantung data pembandingnya
• Modal sendiri = Modal saham + Laba ditahan tidak termasuk laba tahun berjalan
Rasio operasi ditunjukan dengan nilai prosentase, semakin
tinggi prosentase tersebut, menunjukan kinerja atau
kemampuan menghasilkan laba perusahaan semakin baik.

ROI menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan


laba dari jumlah aset atau investasinya, sedangkan ROE
menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
dari modalnya saja. Semakin tinggi ROI dan ROE semakin bagus
perusahaan tersebut.
Sudut Pandang Fiskus:

Bagi Fiskus laba ini dapat digunakan untuk menilai kewajaran laba kotor, laba operasi,
laba bersih dengan melakukan perbandingan dengan perusahaan sejenis atau data time
series.

ROI diperoleh dari laba bersih dibagi total asset, jika ROI menurun berarti terjadi
penurunan kapasitas produksi dari asset atau volume penjualan, pada kondisi normal
seharusnya prosentase ROI tidak banyak berubah sekalipun nilai pembagi atau asetnya
bertambah, karena penambahan asset terutama asset produksi akan diikuti dengan
peningkatan volume produksi dan penjualan. Apabila terjadi penurunan ROI dapat diduga
WP tidak melaporkan seluruh hasil produksinya yang pada akhirnya tidak melaporkan
sebagian volume penjualan. Fiskus dapat menindak-lanjuti dengan cara visit ke pusat-
pusat produksi WP untuk memastikan bahwa tidak ada kapasitas produksi yang
menganggur.

ROE diperoleh dari laba bersih dibagi ekuitas atau modal, patokan yang paling mudah
dalam mengukur kewajaran nilai ROE jika tidak ada pembanding lain adalah tingkat bung
deposito. Dengan pertanyaan sederhana "Untuk apa WP menanamkan uangnya sebagai
modal dalam perusahaan kalau hasilnya lebih kecil dari tingkat bunga deposito yang tidak
berisiko?".
Contoh

PT Stratregic
Laporan Laba Rugi Tahun 20x9 dan 20x8
2019 % Th 2018 %
Penjualan Bersih 754,569 679,112
Harga Pokok Penjualan
- Persediaan Awal 25,000 22,500
- pembeliaan 618,650 560,444
- Persediaan Akhir (28,125) (25,000)
Harga Pokok Penjualan 615,525 81.6% 557,944 82.2%
Rasio Laba
Laba Kotor 139,044 18.4% 121,168 17.8% Kotor
Biaya Penjualan, Umum dan Adm 108,542 14.4% 104,872 15.4%
Rasio Laba
Laba Operasi 30,502 4.0% 16,296 2.4% Operasi
Biaya (Penghasilan) Lain:
Biaya Bunga 8,500 1.1% 10,200 1.5%
R asio Laba
Laba Sebelum Pajak 22,002 2.9% 6,096 0.9% bersih
Beban Pajak Penghasilan 5,501 0.7% 1,524 0.2%
Laba Bersih setelah pajak 16,502 2.2% 4,572 0.7%
Rasio-rasio laba tahun 20x9 jika dibandingkan dengan tahun 20x8 seluruhnya mengalami kenaikan, hal
ini menunjukan perbaikan kinerja laba dari tahun sebelumnya.

Misalnya Ratio rata-rata industry sejenis pada tahun 20x9 menunjukan Ratio Laba Kotor = 16%, Ratio
Laba Operasi = 7,5%. Hal ini menunjukan kemampuan perusahaan menghasilkan laba kotor diatas rata-
rata perusahaan sejenis namun tidak efisien dalam mengelola biaya operasionalnya.

20x9 20x8
ROI 22,002 atau 16,502 6,096 atau 4,572

186,574 186,574 168,396 168,396


11.8% 8.8% 3.6% 2.7%

ROE 22,002 atau 16,502 6,096 atau 4,572

94,572 94,572 90,000 90,000


23.3% 17.4% 6.8% 5.1%

Sudut pandang Fiskus:


Fiskus dapat menduga adanya kemungkinan PT Strategic menggelembungkan biaya operasional untuk
mengurangi laba kena pajaknya.
Analisis Rasio Aktivitas (Activity Ratios)

Beberapa rasio aktivitas antara lain:

• Rasio perputaran persediaan (inventory turnover)

• Rata-rata umur persediaan

• Rasio perputaran piutang (Account Recievable Turnover)

• Rata-rata umur piutang/Jangka waktu penagihan piutang


Rasio Perputaran Persediaan (Inventory Turnover) dan Rata-rata
Umur Persediaan Rasio Perputaran Persediaan:

Rumus:
Harga pokok penjualan
[( persediaan awal+persediaan akhir)/2]
Rasio ini menggambarkan berapa kali persedian berputar dalam setahun. Hasilnya dinyatakan
dalam kali. Makin tinggi inventory turnover, semakin efisien perusahaan itu. Tapi, jika inventory
turnovernya rendah, ini pertanda buruk. Sebab, sebagian persediaannya hanya mengendap di
gudang.
Dari rasio perputaran persediaan dapat dihitung rata-rata umur persediaan.
Rumus:
365 hari
Perputaran persediaan
Ratio ini menunjukan berapa lama persediaan rata-rata persediaan mengendap dalam gudang.
Lama atau cepatnya persediaan terjual tergantung dari jenis usahanya. Untuk barang- barang
kebutuhan hari-hari perputaranya akan sangat cepat sebaliknya untuk barang- barang yang
jarang digunakan misalnya bidang usaha alat berat maka perputaran persediaan akan sangat
lambat.
Sudut pandang Fiskus:

Fiskus dapat menggunakan rasio perputaran persediaan untuk menilai


kewajaran kelengkapan penjualan dengan memperhatikan jenis usaha dan
karakteristrik barang yang diperdagangkan.

Misalnya Inventory Turnover dibawah rata-rata usaha sejenis atau WP yang


usahanya perdagangan barang kebutuhan sehari-hari (Consumer goods) tapi
rasionya rendah, fiskus meneliti lebih lanjut apakah WP merendahkan harga
pokok untuk mengecilkan volume usaha (penjualan).

Fiskus dapat menindak-lanjuti hasil analisis rata-rata umur piutang dengan cara
visit ke gudang WP, melakukan observasi kewajaran perputaran persediaan,
melihat banyaknya jumlah barang yang mengendap digudang dan jika
memungkinkan melihat catatan gudang barang masuk dan barang keluar untuk
membandingkan lamanya barang mengendap digudang.
Rasio perputaran piutang (Account Recievable Turnover) dan Rata-rata umur
piutang Rasio perputaran persediaan:

Rumus :
Penjualan neto
[( piutang awal + piutang akhir)/2]

Menggambarkan berapa kali perputaran piutang dalam satu periode/tahun. Makin tinggi
AR. turnover, semakin efektive perusahaan melakukan penagihan.

Dari rasio perputaran piutang dapat dihitung rata-rata umur piutang.

Rumus:
365 hari
Perputaran piutang

Sudut pandang Fiskus :

Fiskus dapat menggunakan rasio perputaran piutang untuk menilai kewajaran


kelengkapan pencatatan piutang dan menilai kewajaran jangka waktu pemberian kredit
kepada pelanggan yang mengakibatkan kemungkinan WP tidak melaporkan penjualan
secara lengkap.
CONTOH

Neraca parsial PT Strategic

20x9 20x8 20x7


No Pos Rp Rp Rp
Piutang usaha 29.938.938 15.202.446 13.755.550

Persediaan :
- Barang jadi 9,131,794 3,729,644 4.521.256

Laporan Laba Rugi Parsial

No Pos 20x9 20x8


Penjualan 172.199.317 130.871.968 88.239.611 61.909.347

Harga Pokok Penjualan


Rasio perputaran persediaan

Th. 20x9 Th. 20x8

130.871.968 61.909.347
(9.131.794 + 3.729.644)/2 (3.729.644 + 4.521.256)/2
20,35X 15.01X

Rata –Rata Umur Persediaan


Th. 20x9 Th. 20x8

365 Hari 365 Hari


20,35 15,01
17,94 hari 17 Hari
Pada tahun 20x9 menunjukan bahwa rata-rata persediaan berputar sebanyak
32,45 X dalam setahun atau lama rata-rata persediaan mengendap dalam
gudang selama 11 hari.

Pada tahun 20x8 menunjukan bahwa rata-rata persediaan berputar sebanyak


21,39 X dalam setahun atau lama rata-rata persediaan mengendap dalam
gudang selama 17 hari.

Kinerja aktivitas PT Strategic menunjukan kinerja yang semakin membaik pada


tahun 20x9 dibandingkan tahun 20x8, namun fiskus harus jeli untuk
mengetahui jenis barang yang dijual oleh PT Strategic. Apabila barang yang
dijual adalah produk elektronik nilai perputaran di atas mungkin wajar-wajar
saja, akan tetapi apabila barang yang dijual adalah produk pertanian yang
mudah rusak, bisa jadi nilai perputaran di atas terlalu rendah dan waktu
mengendap dalam gudang terlalu lama dan mungkin persediaan sudah
membusuk dalam jangka waktu 11 hari
Rasio perputaran piutang
Untuk Wajib Pajak yang sudah PKP, nilai piutang usaha dalam neraca sudah termasuk PPN,
sebaiknya Fiskus melakukan analisis dengan mengeluarkan nilai PPN dalam nilai piutang usaha
karena nilai penjualan yang akan dihitung adalah nilai tanpa PPN.

Termasuk PPN Tidak Termasuk PPN


• Piutang Tahun 20x9 Rp 29.938.938 Rp. 27.217.2016
• Piutang Tahun 20x8 Rp 15.202.446 Rp. 13.820.405
• Piutang Tahun 20x7 Rp 13.755.550 Rp. 12.505.045

Th. 20x9 Th. 20x8

172.199.317 88.239.611
(27.217.2016 + 13.820.405)/2 (13.820.405 + 12.505.045)/2
8,39X 6,70X
Rata-rata umur piutang
Th. 20x9 Th. 20x8

365 Hari 365 Hari


20,35 15,01
17,94 hari 17 Hari
Rasio perputaran piutang menunjukan kinerja penagihan piutang yang semakin baik ditahun 20X2
dibanding tahun sebelumnya, akan tetapi, apakah lama pencairan piutang mulai dari penjualan
sampai diterima pembayaran selama 43 hari adalah wajar?
Apabila rata-rata perputaran piutang perusahaan sejenis menunjukan rasio sebesar 12 X ditahun
20X2, kemungkinan WP menyembunyikan peredaran usaha dapat dihitung dengan mengalikan rasio
rata-rata perusahaan sejenis dengan rata-rata saldo piutang:

• Peredaran usaha dengan menggunakan rasio rata-rata industri =


12 X (27.217.2016 + 13.820.405)/2 = Rp. 246.225.731
• Peredaran Usaha yang dilaporkan PT. Strategic = Rp. 172.199.317
• Dugaan peredaran usaha yang belum terlapor = Rp. 74.026.414
Fiskus dapat melakukan visit ke tempat kegiatan usaha WP untuk mengetahui berapa lama syarat
pembayaran untuk penjualan kredit. Dapatkan perjanjian kredit dan lihat klausul tentang syarat
jangka waktu pembayaran atau dapatkan faktur penjualan (in- voice), biasanya dalam invoice tertulis
jangka waktu pembayaran.
Misalnya fiskus memperoleh data bahwa syarat pembayaran menurut perjanjian penjualan atau yang
tertulis dalam invoice adalah 30 hari, terdapat selisih 13 hari. Apa yang dapat diduga oleh fiskus?
Fiskus dapat menduga terdapat 13/30 atau 0,43 X peredaran usaha yang tidak dilapor. Peredaran
usaha yang tidak dilapor = 0,43 X Rp 172.199.317 = Rp 74.026.414
Analisis Rasio Keuangan (Financial Ratio)

a) Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios)


Rasio Likuiditas terdiri dari

1) Rasio Lancar (Current Ratio)

Rumus :
Aset Lancar
Utang Lancar

2) Rasio Cepat (Acid/Quick Ratio)

Rumus :
Aset Lancar – Persediaan
Utang Lancar

Kedua rasio di atas hasilnya dinyatakan dalam "kali". Semakin tinggi rasio semakin baik
kondisi perusahaan
Tujuan analisis rasio likuiditas

adalah untuk:
1. mengukur likuiditas suatu perusahaan.
2. mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka
pendeknya.
3. Untuk rasio cepat adalah mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban finansial jangka pendeknya tanpa melakukan penjualan persediaan.

Likuiditas perusahaan biasanya dianggap baik jika Rasio Lancar nilainya lebih dari 2 dan
Rasio Cepat lebih dari 1,5.
Sudut pandang Fiskus:
Bagi Fiskus rasio ini berguna untuk menilai kelengkapan pencatatan aset
lancar/kewajiban lancar:
• Aset lancar tidak secara lengkap dilapor, yang dapat berakibat penjualan tidak
seluruhnya dilapor, misalnya dengan cara tidak melaporkan rekening koran untuk
menyembunyikan penjualan.
• Utang lancar dilaporkan terlalu besar, kemungkinan HPP/Biaya dlapor terlalu tinggi.
Contoh:
Misalnya dari perhitungan diperoleh rasio sebagai berikut
20x9 20x8
Current Ratio 2.57X 4.56X
Quick Ratio 1.46X 2.75X
Jika analisis dilakukan secara komparasi, maka terlihat pada tahun 20x9 likuiditas perusahaan
mengalami penurunan disbanding tahun 20x8 walaupun perusahaan mengalami kenaikan volume
penjualan.
Misalnya WP bergerak dalam bidang perdagangan barang-barang konsumsi (Con- sumer goods), Rata-
rata industry perdagangan barang konsumsi pada tahun 20x8, Rasio Lancar = 2X dan Rasio Cepat =
1,5X. Jika dibandingkan rata-rata industry sejenis, WP memiliki Rasio Lancar diatas rata-rata dan Rasio
Cepat mendekati rata-rata maka Likuiditas WP dapat disimpulkan memiliki likuiditas yang baik.
Fiskus melihat bahwa dibanding tahun 20x8 likuiditas PT Strategic mengalami penurunan pada tahun
20x9, hal ini berbanding terbalik dengan volume penjualan yang semakin besar di tahun 20x9. Fiskus
akan menduga kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
• Kemungkinan WP tidak melaporkan secara lengkap aset lancarnya (Kas/Bank, piutang usaha,
persediaan) untuk menyembunyikan omzet; atau
• WP terlalu tinggi melaporkan kewajiban lancarnya (hutang usaha, hutang lain2) untuk
menggelembungkan HPP atau Biaya
Laverage Ratios

Rasio laverage menggambarkan seberapa besar sebuah perusahaan menggunakan


utang dari luar untuk membiayai operasi maupun ekspansi dirinya.

Terdiri dari:
1. Rasio Utang (Debt Ratio)
Rumus :
Total Uang
Total Aset

2. Rasio Utang terhadap Modal (Debt To Equity Ratio/DER)


Rumus :
Total Uang
Modal

Kedua rasio hasilnya dinyatakan dengan persentase atau perbandingan Semakin


rendah rasio, semakin bagus kondisi perusahaan itu.
Sudut Pandang Fiskus :

Rasio ini membandingkan Utang dengan Aset atau Modal, apabila DR atau DER tinggi artinya WP lebih banyak
menggunakan utang dari pada modalnya sendiri dalam pembiayaan usahanya. Yang menjadi pertanyaan adalah:
mungkinkah kreditur independen bersedia memberikan pinjaman hampir sama dg nilai aset ?. Apakah kreditur
berani mengambil risiko jika pembayaran macet, jaminan aset yang disita tidak dapat menutup pokok utangnya?.

Salah satu "C" dalam analisis kredit adalah Colateral atau jaminan, hampir mustahil kreditur memberikan pinjaman
lebih besar dari nilai jaminannya. Dengan demikian apabila DR atau DER tinggi dapat diduga hal-hal sebagai berikut:

Hanya pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang mau mengambil risiko yang tidak wajar. Rasio ini dapat
menjadi indikasi adanya hub. Istimewa antara kreditur dengan debitur. Ffiskus harus cermat dalam melihat beban
bunga yang kemungkinan adalah dividen yang dikamuflase sebagi beban bunga yang umum dikenal dengan nama
"Dividen Terselubung".

Jika kreditur memang pihak yang independen, kemungkinan terdapat Laporan Keuangan yang berbeda dengan
Laporan Keuangan yang diberikan kepada kreditur/Bank atau Aset yang dilaporkan kepada kreditur/Bank berbeda
dengan yang dilaporkan dalam SPT WP. Fiskus harus berusaha untuk mendapatkan Perjanjian kredit untuk melihat
jaminan kredit yang diberikan WP kepada kreditur atau jika memungkinkan dapat memperoleh Laporan Keuangan
yang diserahkan kepada kreditur/Bank.

Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 Tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Penghitungan Pajak Penghasilan. Fiskus harus
memperhatikan besarnya DER sebagaimana diatur dalam peraturan ini untuk menentukan besarnya biaya pinjaman
yang dapat dibebankan.
Contoh:

PT ABC dalam neracanya memiliki total utang Rp 75 miliar sementara total


asetnya Rp 100 miliar dan modal Rp 50 Milyar,

Rasio utang = 75 x 100% = 75% atau 1 : 1, 33


100

DER = 75 x 100% = 150% atau 1,5 : 1


50
Contoh A. 1 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

PT. XXX merupakan perusahaan yang bergerak dibidang industri manufaktur.


Berdasarkan Laporan Posisi Keuangan dan Laporan Laba Rugi yang disampaikan oleh
PT. XXX, diketahui hal-hal sebagai berikut:

1. Liabilitas (dalam juta Rupiah)

Liabilitas Posisi per 31 Desember


Tahun 2016 Tahun 2015
a. Utang Dagang
• Interest Bearing 810.000 800.000
• Non Interest Bearing 700.000 600.000
b. Pinjaman Tanpa Bungan dari XXX Ltd 50.000 50.000
(Pihak Yang Memiliki Hubungan Istimewa)
c. Utang Dagang
• Utang kepada PT. ABC 725.000 725.000
(Pihak Yang Memiliki Hubungan Istimewa)
d. Utang Jangka Panjang
• Utang Kepada PT. JKL 660.000 900.000
• Utang kepada WWW Co.Ltd. 1.970.000 2.500.000
Contoh A. 1 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

2. Ekuitas (dalam juta Rupiah)


Liabilitas Posisi per 31 Desember
Tahun 2016 Tahun 2015
a. Modal Saham 150.000 150.000

b. Agio Saham 110.000 110.000

c. Laba Ditahan 475.000 425.000

3. Penghasilan Bruto sebesar Rp.20.000.000.000,-

4. Biaya Pinjaman (biaya bunga dan biaya terkait lainnya) sebesar Rp. 228.000.000.000
terdiri dari :
a. biaya pinjaman kepada PT. ABC sebesar Rp. 96.000.000.000,-
b. biaya pinjaman kepada PT. JKL sebesar Rp. 20.660.000.000,-
c. biaya pinjaman kepada WWW Co. Ltd. Sebesar Rp. 100.575.000.000,-
d.Biaya pinjaman atas Utang Dagang (Interest Bearing) sebesar Rp. 10.765.000.000,-
Contoh A. 2 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

Perhitungan perbandingan utang dan modal (Debt to Equity Ratio/DER)

Saldo rata-rata utang dihitung berdasarkan rata rata saldo utang tiap akhir bulan selama tahun pajak 2016
sebagai berikut:
Saldo Akhir Bulan (dalam Juta Rupiah)
Utang Utang ke Utang
Bulan ke PT. Utang WWW Co Dagang
Jumlah
ABC ke PT. JKL Ltd (Interest
Bearing)
Januari 800.000 900.000 2.500.000 800.000 5.000.000
Februari 750.000 900.000 2.500.000 790.000 4.940.000
Maret 750.000 900.000 2.500.000 750.000 4.900.000
April 750.000 900.000 2.500.000 820.000 4.970.000
Mei 740.000 900.000 2.500.000 850.000 4.990.000
Juni 740.000 900.000 2.500.000 720.000 4.860.000
Juli 740.000 660.000 1.970.000 800.000 4.170.000
Agustus 740.000 660.000 1.970.000 810.000 4.180.000
September 725.000 660.000 1.970.000 845.000 4.200.000
Oktober 725.000 660.000 1.970.000 860.000 4.215.000
Nopember 725.000 660.000 1.970.000 805.000 4.160.000
Desember 725.000 660.000 1.970.000 810.000 4.165.000
Rata-Rata 742.500 780.000 2.235.000 805.000 4.562.500

Jumlah saldo rata-rata modal PT. XXX tahun 2016 = Tp. 4.562.500.000.000,-
Contoh A. 3 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

Perhitungan saldo rata-rat modal:

Saldo rata-rata modal dihitung berdasarkan rata rata saldo modal tiap akhir bulan selama tahun pajak 2016
sebagai berikut:
Saldo Akhir Bulan (dalam Juta Rupiah)
Pinjaman
Bulan Modal Agio Laba Tanpa Bunga Jumlah
Saham Saham Ditahan dari
XXX Ltd
Januari 150.000 110.000 425.000 50.000 735.000
Februari 150.000 110.000 425.000 50.000 735000
Maret 150.000 110.000 575.000 50.000 885.000
April 150.000 110.000 300.000 50.000 610.000
Mei 150.000 110.000 300.000 70.000 630.000
Juni 150.000 110.000 600.000 70.000 930.000
Juli 150.000 110.000 400.000 70.000 730.000
Agustus 150.000 110.000 400.000 30.000 690.000
September 150.000 110.000 700.000 30.000 990.000
Oktober 150.000 110.000 400.000 30.000 690.000
Nopember 150.000 110.000 400.000 50.000 710.000
Desember 150.000 110.000 475.000 50.000 785.000
Rata-Rata 150.000 110.000 450.000 50.000 760.000

Jumlah saldo rata-rata modal PT. XXX tahun 2016 = Tp. 760.000.000.000,-
Contoh A. 4 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

Besar DER = Rp. 4.562.500.000.000 : Rp. 760.000.000.000


= 6:1

BesarDER paling tinggi yang diperkenankan = 4:1

Biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak =
4/6 x biaya pinjaman dari masing – masing utang, yaitu Rp. 152.000.000.000.000; dengan
perhitungan sebagai berikut:

Jenis Utang Saldo Biaya Biaya Pinjaman


Rata-Rata Pinajaman yang Dapat
Utang Diperhitungkan
Utang kepada PT. ABC 742.500 96.000 64.000
Utang kepada PT. JKL 800.000 20.660 13.773
Utang keada WWW Co. Ltd. 2.235.000 100.575 67.050
Utang Dagang (Interest Bearing) 805.000 10.765 7.177
Total 4.562.500 228.000 152.000
Contoh A. 5 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

Mengingat bahwa utang kepada PT. ABC merupakan utang kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, maka biaya pinjaman terkait utang kepada
PT. ABC sebesar Rp. 64.000.000.000,- yang dapat diperhitungkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan ketentuan peraturan menteri
ini harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang 36 Tahun 2008.
Contoh C.1 Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

Berdasarkan data dari contoh 1, dana yang diperoleh dari utang kepada PT ABC digunakan untuk
membeli saham di PT ZZZ dengan kepemilikan 60% dan dividen yang diterima dari PT ZZZ bukan
merupakan objek pajak. Biaya pinjaman (biaya bunga dan biaya terkait lainnya) yang dibayarkan kepada
PT ABC adalah Rp.96.000.000.000,00

Mengingat bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, biaya


pinjaman (biaya bunga dan biaya terkait lainnya) atas utang yang digunakan untuk • membeli saham
tersebut tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak, maka utang kepada PT.
ABC tersebut harus terlebih dahulu dikeluarkan dari penghitungan DER.

Penghitungan kembali saldo rata-rata utang selain utang dari PT ABC:

Saldo rata-rata utang jangka panjang kepada = Rp 780.000.000.000


PT JKL
Saldo rata-rata utang jangka panjang kepada = Rp 2.235.000.000.000
WWW Co. Ltd.
Saldo rata-rata utang dagang (Interest Bearing) = Rp 805.000.000.000
Jumlah saldo rata-rata utang PT XXX tahun = Rp 3.820.000.000.000
2016
Jumlah saldo rata-rata modal PT XXX tahun = Rp 760.000.000.000
2016
Contoh C.2 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)

Besaran DER:
RP. 3.820.000.000.000 : Rp. 760.000.000.000 = 5:1
Besar DER paling tinggi yang diperkenanakan = 4:1
Besarnya biaya bunga dan biaya terkait lainnya atas utang selain utang kepada PT ABC :
Rp228.000.000.000 - Rp96.000.000.000 = Rpl32.000.000.000
Penghitungan biaya bunga dan biaya terkait lainnya yang dapat diperhitungkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak = 4/5 x biaya bunga dan biaya terkait lainnya dari masing-masing utang =
Rp 105.600.000.000; dengan penghitungan sebagai berikut:

Jenis Utang Saldo Bunga & Biaya


Rata-Rata Bunga dan Biaya Terkait Lainnya Yang
Utang Terkait Lainnya Dapat Diperhitungkan
Utang kepada PT. JKL 780.000 20.660 13.773
Utang keada WWW Co. Ltd. 2.235.000 100.575 67.050
Utang Dagang (Interest 805.000 10.765 7.177
Bearing)
Total 4.562.500 228.000 152.000
Rasio Keuangan WP Yang Sering ‘Diintip’ oleh Fiskus
(Bagian: Rasio Terkait Laba)

Upaya fiskus (aparat pajak) dalam melakukan penggalian potensi terhadap


Wajib Pajak (WP) begitu beragam. Tidak jarang penggalian potensi tersebut
didasarkan pada pengetahuan fiskus terhadap peraturan perpajakan,
kemampuan mengolah data dan pemahaman atas proses bisnis/usaha WP.

Salah satu upaya penggalian potensi perpajakan dari WP adalah dengan


melakukan analisa terhadap laporan keuangan WP yang nyata-nyata
dilaporkan sebagai lampiran dari Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan (PPh) oleh WP.

Salah satu analisa yang sering dilakukan adalah melakukan analisa pada
beberapa rasio keuangan WP dan membandingkannya dengan rasio
keuangan yang sama WP lain.
Berikut adalah beberapa rasio laporan keuangan terkait
dengan laba yang sering diintip dan dianalisa oleh Fiskus:

1. Penjualan terhadap peredaran usaha (Gross Profit


Margin/GPM)

Nilai ini menunjukkan seberapa besar proporsi penjualan WP


yang tersisa setelah digunakan untuk menutup ongkos untuk
menghasilkan atau memperoleh produk yang dijual (HPP).
2. Laba bersih dari operasi terhadap peredaran usaha
(Operating Profit Margin/OPM)

Laba bersih dari operasi menunjukkan nilai laba bersih Wajib


Pajak yang diperoleh semata-mata dari kegiatan operasional
Wajib Pajak. Nilai OPM menunjukkan seberapa besar proporsi
penjualan Wajib Pajak masih tersisa setelah digunakan untuk
menutup seluruh biaya operasional Wajib Pajak (HPP dan biaya
usaha lainnya). Makin besar nilai OPM menunjukkan bahwa
Wajib Pajak makin efisien dalam memanfaatkan biaya-biaya
yang dikeluarkannya untuk menghasilkan penjualan.
3. Laba bersih sebelum pajak terhadap peredaran
usaha (Pretax Profit Margin/PPM)

Laba bersih sebelum pajak merupakan nilai dari


penambahan Laba Bersih dari Operasi dengan Penghasilan
dari Luar Usaha, dikurangi Biaya dari luar Usaha. Nilai PPM
menunjukkan besarnya laba bersih Wajib Pajak relatif
terhadap nilai penjualan. Makin besar PPM menunjukkan
makin tingginya tingkat laba bersih yang dihasilkan baik
dari kegiatan operasional maupun dari kegiatan lainnya.
Pajak Penghasilan Terutang terhadap peredaran usaha
(Corporate Tax Turn Over Ratio/CTTOR)

Nilai CTTOR menunjukkan besarnya PPh yang


terutang dalam suatu tahun relatif terhadap
Penjualan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Makin
besar CTTOR menunjukkan makin besar proporsi
hasil penjualan Wajib Pajak yang digunakan untuk
membayar Pajak Penghasilan.
Margin laba bersih setelah pajak (Net Profit Margin /NPM)

Laba bersih setelah pajak adalah laba bersih Wajib Pajak


setelah memperhitungkan Pajak Penghasilan yang terutang
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Nilai
NPM menunjukkan besarnya Laba Bersih yang dihasilkan
Wajib Pajak setelah memperhitungkan PPh yang terutang.
Makin besar NPM menunjukkan makin tingginya kemampuan
Wajib Pajak dalam menghasilkan laba bagi pemilik (pemegang
saham).
6. Rasio penghasilan luar usaha terhadap peredaran
usaha (kita singkat dengan istilah: PLU/PU)

Nilai rasio penghasilan luar usaha terhadap peredaran


usaha menunjukan besarnya proporsi penghasilan
yang dari kegiatan yang tidak terkait langsung dengan
usaha Wajib Pajak.
Rasio Keuangan Terkait dengan Profit/Laba

1 Penjualan - HPP
GPM = x 100%
Penjualan

2 Penjualan - HPP - Biaya Usaha Lainnya


OPM = x 100%
Penjualan

3 Penjualan - (HPP + Biaya Usaha Lainnya) - Biaya Diluar Usaha


PPM = x 100%
Penjualan

4 NPM = Penjualan - (HPP + Biaya Usaha Lainnya) - Biaya Diluar Usaha - PPh x 100%
Penjualan

5 PPh Terutang
CTTOR = x 100%
Penjualan

6 Jumlah Penghasilan Luar Usaha


PLU/PU = x 100%
Penjualan
ANALISIS EKUALISASI SPT
Sesuai dengan system self assessment, Wajib Pajak berkewajiban untuk menghitung sendiri, menyetor pajak
yang terhutang dan menyampaikan SPTnya ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempatnya terdaftar. Selain
self assessment, system perpajakan di Indonesia juga mengenal withholding system, yaitu memberikan
kewajiban kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas
penghasilan yang diberikan kepada Wajib Pajak Lainnya. Dengan demikian, selain menyampaikan SPT
Tahunan PPh Badan/Orang Pribadi, Wajib Pajak juga berkewajiban untuk menyampaikan SPT Masa PPh atas
kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh yang telah dlakukan.

Ketika Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka
Wajib Pajak juga berkewajiban menyampaikan SPT Masa PPN atas pelaksanaan kewajiban PPNnya.

Beberapa data dari berbagai SPT sebenarnya berasal dari sumber yang sama, misalnya Wajib Pajak
membayar gaji pegawai, atas pembayaran gaji pegawai tersebut Wajib Pajak wajib memotong PPh Ps. 21,
menyetor dan melaporkan dalam SPT masa PPh Ps. 21. Pembayaran gaji pegawai tersebut meupakan
pengurang penghasilan bruto di SPT PPh Badan/Orang Pribadi Wajib Pajak.

Ketika Wajib Pajak membayar sewa, Wajib Pajak berkewajiban memotong PPh Ps. 23, menyetor dan
melaporkan. Beban sewa tersebut merupakan pengurang penghasilan Bruto dalam SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak.

Dengan demikian, antara SPT-SPT yang menjadi kewajiban dari Wajib Pajak dapat dilakukan pengujian
dengan melakukan ekualisasi antara objek-objek pajak yang terdapat pada masing-masing SPT. Analisis
Ekualisasi adalah proses analisis dengan cara membandingkan data serupa dari berbagai jenis SPT sehingga
dapat dipastikan Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakannya.
SPT Tahunan PPh dibandingkan dengan SPT Masa PPN

1. Pos peredaran usaha ditambah pos penghasilan lain-lain menurut SPT Tahunan PPh
dibandingkan dengan jumlah Penyerahan Barang dan Jasa menurut SPT Masa PPN selama
setahun.
Jika terdapati perbedaan angka, fiskus harus meneliti penyebab perbedaanya, bisa jadi
perbedaan-perbedaan tersebut tidak menyebabkan timbulnya pajak terutang.
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang antara lain:
• Pos penghasilan lain-lain bukan objek PPN, misalnya penghasilan bunga deposito;
• Terdapat uang muka penjualan yang sudah wajib dipungut PPN tetapi belum diakui
sebagai penjualan;
• Perbedaan waktu antara pengakuan penjualan dengan tanggal penerbitan faktur pajak
(jika faktur pajak terlambat diterbitkan, maka hanya diterbitkan STP pengenaan sanksi)
Apabila perbedaan-perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang sudah dieliminir
namun masih terdapat perbedaan, maka fiskus patut menduga:
• PPN kurang dipungut, jika terjadi kondisi pos peredaran usaha ditambah pos penghasilan
lain menurut SPT Tahunan PPh lebih besar dari jumlah Penyerahan Barang dan Jasa menurut
SPT Masa PPN selama setahun.
• Peredaran usaha kurang dilaporkan, , jika terjadi kondisi pos peredaran usaha + pos
penghasilan lain menurut SPT Tahunan PPh lebih kecil dari jumlah Penyerahan Barang dan
Jasa menurut SPT Masa PPN selama setahun
2. Kenaikan pos asset tetap berupa bangunan dalam neraca Wajib Pajak
dengan PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri (PPN pasal 16C)
menurut SPT Masa PPN selama setahun.

Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Wajib Pajak menggunakan revaluation model dalam menilai asset tetapnya,
sehingga kenaikan bangunan bukan disebabkan adanya pertambahan fisik
bangunan;
• Wajib pajak menggunakan jasa kontraktor untuk membuat bangunan, jika
demikian fiskus harus meneliti apakah terdapat pajak masukan dari
kontraktor;
• Bangunan diperoleh dengan cara membeli, jika demikian fiskus harus
meneliti apakah terdapat pajak masukan atas pembelian bangunan.

Apabila perbedaan-perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang sudah


dieliminir namun masih terdapat perbedaan, maka fiskus patut menduga
bahwa penambahan asset bangunan diperoleh dengan cara membangun
sendiri dan belum disetor PPNnya.
3. Penurunan pos asset tetap dalam neraca Wajib Pajak dengan
Pajak Keluaran menurut SPT Masa PPN selama setahun.

Apabila terdapat penurunan asset tetap dalam neraca, fiskus harus meneliti apakah dalam
Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam negeri terdapat faktur pajak keluaran dengan
kode transaksi "x9" untuk penyerahan Aktiva pasal 16 D kepada Selain Pemungut PPN. Jika
tidak terdapat faktur pajak dengan kode "x9", fiskus melanjutkan meneliti apakah terdapat
penjualan/pengalihan aset tetap ke pemungut PPN dengan kode "x1" dan "x2".
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:

• Aset tetap yang dialihkan merupakan asset tetap yang pada saat perolehannya pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
huruf b (yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha) dan huruf c
(sedan dan station wagon). Atas pengalihan asset tetap ini tidak wajib memungut PPN.
• Penurunan asset disebabkan force majeur, misalnya kebakaran, bencana alam,
pencurian atau kerusakan berat yang menyebabkan asset tidak dapat digunakan lagi
dan dikeluarkan dari pembukuan.
Apabila perbedaan-perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang sudah dieliminir
namun masih terdapat perbedaan, maka fiskus patut menduga bahwa atas pengalihan
asset tetap belum dipungut PPN pasal 16D
4. Pos pembelian persediaan, pos-pos biaya yang diduga merupakan objek PPN
dalam laporan laba rugi, kenaikan asset tetap dalam neraca Wajib Pajak
dengan Pajak Masukan menurut SPT Masa PPN selama setahun.

Ekualisasi ini agak sulit dilakukan karena banyaknya jenis pos-pos biaya dalam
laporan laba rugi dan sulit menduga apakah suatu pos biaya didalamnya berisi
pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh BKP dan JKP, belum lagi kemungkinan
biaya dikeluarkan kepada non PKP yang tidak menerbitkan faktur pajak.

Walaupun sulit, analisis ekualisasi ini dapat dilakukan dan bermanfaat bagi fiskus
untuk:

• Apabila jumlah pembelian persediaan ditambah pos-pos biaya yang diduga


merupakan objek PPN lebih besar dibandingkan pajak masukan, fiskus terutama
pemeriksa pajak harus berhati-hati pada saat menguji keterjadian (eksistensi) dan
kesahihan (validitas) suatu transaksi untuk memastikan bahwa WP tidak
menggelembungkan biaya.

• Sebaliknya apabila jumlah pembelian persediaan ditambah pos-pos biaya yang


diduga merupakan objek PPN lebih kecil dibandingkan pajak masukan, maka fiskus
harus memastikan bahwa faktur pajak yang dikreditkan bukan faktur pajak yang
tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau faktur pajak fiktif.
SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPh Pasal 21
dan/atau Pasal 26
Ekualisasi dilakukan dengan membandingkan antara pos gaji, upah bonus, gratifikasi, honorarium dan
sebagainya ditambah Biaya Sehubungan Dengan Jasa pada SPT Tahunan Badan lampiran 1771-II atau
pos-pos biaya yang diduga objek PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 pada Laporan Laba Rugi dengan objek
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 selama setahun.

Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Terdapat pembebanan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam pos biaya yang bukan objek PPh
Ps. 21
• Terdapat perbedaan waktu antara pengakuan pembebanan dalam laporan laba rugi dengan saat
pemotongan pajak.
• Biaya-biaya dalam laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 telah
dipotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau
Pasal 26.
• Di dalam pos-pos biaya laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 juga
terdapat pembebanan yang bukan objek PPh potput. Misalnya, dalam biaya perbaikan dan reparasi
didalam terdapat pembelian suku cadang.
• Objek PPh Pasal 21 dan/atau pasal 26 tidak dibebankan sebagai biaya tetapi dikapitalisir dalam asset.
Misalnya upah buruh, fee arsitek, dikapitalisir ke dalam harga bangunan; biaya jasa instalasi mesin
dikapitalisir ke dalam nilai mesin.
• Objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 tersebar didalam pos-pos biaya yang tidak diduga terdapat
pengeluaran objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26

Ekualisasi dilakukan dengan membandingkan antara pos Biaya Jasa, Biaya Sehubungan Dengan
Jasa dan Biaya Jasa pada SPT Tahunan Badan lampiran 1771-II atau pos-pos biaya yang diduga
merupakan objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 dan dividen yang dibayar pada Laporan Laba
Rugi dengan objek SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 selama setahun.

Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Terdapat perbedaan waktu antara pengakuan pembebanan dalam laporan laba rugi dengan
saat pemotongan pajak.
• Biaya-biaya dalam laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 telah
dipotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21
dan/atau Pasal 26
• Di dalam pos-pos biaya laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26
juga terdapat pembebanan yang bukan objek PPh potput. Misalnya, dalam biaya perbaikan
dan reparasi didalam terdapat pembelian suku cadang.
• Objek PPh Pasal 23 dan/atau pasal 26 tidak dibebankan sebagai biaya tetapi dikapitalisir
dalam asset. Misalnya upah buruh, fee arsitek, dikapitalisir ke dalam harga bangunan; biaya
jasa instalasi mesin dikapitalisir ke dalam nilai mesin.
• Objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 tersebar didalam pos-pos biaya yang tidak diduga
terdapat pengeluaran objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)

SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) berbeda dengan SPT Masa PPh Potput lainnya, karena
kewajiban PPh psal 4 (2) bukan hanya sebagai pemotong, akan tetapi juga sebagai
penyetor. Oleh karena itu pos-pos dalam SPT Tahunan PPh atau pos-pos dalam laporan
keuangan yang akan dibandingkan dengan SPT Masa PPh pasal 4 ayat (2) bukan hanya
dari sisi pengeluaran atau biaya dan penambahan asset, tetapi juga dari sisi penerimaan
atau penghasilan dan penurunan asset.

Fiskus dapat membandingkan pos-pos antara lain sebagai berikut:


• Laba atau rugi lain-lain yang berasal dari penjualan sekuritas saham dan penurunan
atau kenaikan investasi pada sekuritas saham di laporan keuangan dengan objek
menurut SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

• Penghasilan dan Biaya Sewa bangunan atau penghasilan penjualan tanah dan
bangunan dan penurunan asset tanah dan bangunan dengan objek menurut SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

• Penghasilan bunga deposito, diskonto SBI dan jasa giro di laporan keuangan untuk
usaha bank dengan objek menurut SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
Ekualisasi Lainnya

Analisis ekualisasi juga dapat dilakukan terhadap SPT Masa PPh Potput dengan
SPT Masa PPN, karena dalam satu transaksi bisa melibatkan lebih dari satu
kewajiban pajak. Suatu transaksi dapat dilaporkan dalam lebih satu SPT masa,
misalnya pengeluaran sewa selain tanah dan bangunan, apabila disewa dari
PKP maka atas biaya sewa dilaporkan sebagai pajak masukan dalam SPT Masa
PPN dan dilaporkan sebagai objek dalam dalam SPT PPh Potput.
Analisis Ekualisasi
CURICULUM VITAE
• IDENTITAS

Nama : Sempurna Bahri


Telephone : 021 – 3910580
Fax : 021 – 3910583
Handphone : 08129086283/0811 9207780

• PENDIDIKAN

- Sarjana Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang


- Brevet A,B dan C Pajak Widya Bhakti
PENGALAMAN PROFESI
1990 – 1994 Koperasi Jasa Audit (KJA) Sumatra Barat Senior Auditor

1995 – 1997 PT. Pratama Abadi Industri (Nike Footwear) Chief Accountant

1999 – 2007 Univ. Tarumanegara, Univ. Mpu Tantular, YAI, UKRIDA


untuk mata kuliah Akuntansi,Auditing dan Perpajakan Dosen Tidak Tetap

1999 – 2007 Kantor Akuntan Publik Drs. Sukrisno Agoes, MM dan Rekan Manager

2007 – Sekarang Pengadilan Pajak Kuasa Hukum

2005 – Sekarang Kantor Konsultan Pajak Drs. Sempurna Bahri, Ak Pimpinan

Feb 2009 – Sekarang Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Ardi, Sukimto & Rekan Partner
Member Of Auditrust International

Feb 2017 – Sekarang PT. Sempurna Strategic Consulting CEO


PENGALAMAN ORGANISASI
• Anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
• Ketua Tim Adhoc IAPI dalam Penyusunan Standar Audit Dana Kampanye
Pileg, Pilpres Indoneisa
• Wakil Ketua Komite Perpajakan IAPI
• Anggota Tim Penyusunan AD/ART IAPI 2016
• Anggota Komite Nominasi dan Pemilihan Pengurus IAPI
• Anggota Tim Pemberantasan Akuntan Palsu (TPAP) IAPI
• Anggota Forum Akuntan Pasar Modal (FAPM)
• Anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
• Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
• Ketua PPL IKPI Jakarta Selatan
• Ketua Alumni SMA 2 Padang di Jabodetabek
• Bendahara Umum IKA – UNAND Jabodetabek
• Wakil Ketua Forum Komunikasi Keluarga Besar Akuntan Unand
• Komite Organisasi dan Hubungan Kelembagaan IAPI 2012-2017
Semoga Bermanfaat bagi Kita Semua

174

Anda mungkin juga menyukai