Oleh:
Sempurna Bahri
Komite Perpajakan IAPI
Partner KAP Jamaludin, Ardi, Sukimto & Rekan
Pengurus IKPI Jaksel Bagian Pendidikan
Menurut Munawir (2010:5), pada umumnya laporan keuangan itu terdiri dari neraca dan
perhitungan laba-rugi serta laporan perubahan ekuitas. Neraca
menunjukkan/menggambarkan jumlah aset, kewajiban dan ekuitas dari suatu perusahaan
pada tanggal tertentu. Sedangkan perhitungan (laporan) laba-rugi memperlihatkan hasil-
hasil yang telah dicapai oleh perusahaan serta beban yang terjadi selama periode tertentu,
dan laporan perubahan ekuitas menunjukkan sumber dan penggunaan atau alasan-alasan
yang menyebabkan perubahan ekuitas perusahaan.
1. Informasi posisi laporan keuangan yang dihasilkan dari kinerja dan aset
perusahaan sangat dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan,
sebagai bahan evaluasi dan perbandingan untuk melihat dampak
keuangan yang timbul dari keputusan ekonomis yang diambilnya.
1. Dapat dipahami
2. Relevan
3. Keandalan
a) Penyajian jujur
b) Substansi mengungguli bentuk
c) Netralitas
d) Pertimbangan sehat
e) Kelengkapan
4. Dapat dibandingkan
Menurut Munawir (2010:9), Keterbatasan
Laporan Keuangan Antara Lain:
1. Laporan keuangan yang dibuat secara periodik pada dasarnya merupakan interim
report (laporan yang dibuat antara waktu tertentu yang sifatnya sementara) dan
bukan merupakan laporan yang final.
2. Laporan keuangan menunjukkan angka dalam rupiah yang kelihatannya bersifat pasti
dan tepat, tetapi sebenarnya dengan standar nilai yang mungkin berbeda atau
berubah-ubah.
3. Laporan keuangan disusun berdasarkan hasil pencatatan transaksi keuangan atau nilai
rupiah dari berbagai waktu atau tanggal yang lalu dimana daya beli (purchasing
power) uang tersebut menurun, dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya,
sehingga kenaikan volume penjualan yang dinyatakan dalam rupiah belum tentu
menunjukkan atau mencerminkan unit yang dijual semakin besar, mungkin kenaikan
tersebut disebabkan naiknya harga jual barang tersebut yang mungkin juga diikuti
kenaikan harga-harga.
4. Laporan keuangan tidak dapat mencerminkan berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi posisi atau keadaan keuangan perusahaan karena faktor-faktor
tersebut tidak dapat dinyatakan dengan suatu uang.
Jenis Laporan Keuangan
1. Neraca
2. Laporan Laba-Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas Dan
5. Catatan Atas Laporan Keuangan.
1. NERACA
2) Baca dan pelajari laporan keuangan beserta catatan atas Laporan Keuangan
4) Terakhir lakukan penilaian kewajaran nilai hasil analisis dan sebagai fiskus
tentunya dengan menentukan potensi pajak yang dapat digali
Metode dan Teknik Analisis
apabila dilihat dari sumber darimana rasio ini dibuat, maka dapat
digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
Total Kewajiban
Debt Ratio = -------------------------
Total Aset
Rasio ini menunjukkan sejauh mana kewajiban dapat ditutupi oleh aset.
Piutang
Day’s Sales Outstanding = ----------------------------------
Penjualan / 360 hari
Penjualan
Total Asset Turnover = ------------------------
Total Aset
Laba Bersih
Profit Margin = ------------------
Penjualan
Rasio ini merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total aset.
Laba Bersih
Return On Assets = ----------------------
Total Aset
Laba Bersih
Return On Equity = --------------------
Ekuitas
Rasio ini mengukur berapa persen diperoleh laba bersih bila diukur dari
modal pemilik. Menurut Harahap (2009:305), semakin besar rasionya
semakin bagus karena dianggap kemampuan perusahaan yang efektif
dalam menggunakan ekuitasnya untuk menghasilkan laba.
Analisis Du Pont
analisis Du Pont adalah ROA yang dihasilkan melalui pekalian antara keuntungan dari
komponen-komponen sales serta efisiensi penggunaan total aset di dalam
menghasilkan keuntungan tersebut. Sedangkan pendapat Sutrisno (2001:256),
analisis Du Pont adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengontrol perubahan
dalam rasio aktivitas dan net profit margin dan seberapa besar pengaruhnya
terhadap ROA.
analisis Du Pont penting bagi manajer untuk mengetahui faktor mana yang paling
kuat pengaruhnya antara profit margin dan total asset turnover terhadap ROA.
Disamping itu dengan menggunakan analisis ini, pengendalian beban dapat diukur
dan efisiensi perputaran aset sebagai akibat turun naiknya penjualan dapat diukur.
Menurut Soediyono (2001:137), yang dapat diuraikan dengan menggunakan analisis
Du Pont adalah ROA (Return On Assets) yang merupakan angka pembanding atau
rasio antara laba yang diperoleh perusahaan dengan besarnya total aset perusahaan.
Persamaan Du Pont (Du Pont equation) menurut Gitman
(2003, hal 147):
Laba Bersih
ROA = -------------------
Total Aset
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa analisis Du
Pont merupakan analisis yang digunakan untuk mengontrol perubahan
dalam aktivitas rasio dan marjin laba, serta sejauh mana pengaruhnya
terhadap tingkat pengembalian (rate of return). Sistematika kerja
analisis Du Pont ini adalah dengan menguraikan ROA yang merupakan
angka banding atau rasio, antara laba yang diperoleh perusahaan
(Marjin laba bersih) dengan besarnya total aset perusahaan. Melalui
persamaan Du Pont dapat dilihat bahwa ROA diperoleh dengan
mengalikan marjin laba bersih dan perputaran total aset.
Perputaran total aset diperoleh dari hasil bagi antara hasil penjualan
dengan jumlah aset, sedangkan marjin laba bersih merupakan hasil bagi
antara laba bersih dengan hasil penjualan. Laba bersih merupakan hasil
dari penjualan dikurangi beban-beban.
Menurut Munawir (2010:91-92)
1. Sebagai salah satu teknik analisis keuangan yang sifatnya menyeluruh dan
manajemen bisa mengetahui tingkat efisiensi pendayagunaan aset.
2. Dapat membandingkan efisiensi penggunaan ekuitas pada perusahaannya
dengan perusahaan lain yang sejenis, sehingga dapat diketahui apakah
perusahaannya berada di bawah, sama, atau di atas rata-ratanya.
3. Dapat digunakan untuk mengukur efisiensi tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh divisi/bagian, yaitu dengan mengalokasikan semua beban
dan ekuitas ke dalam bagian yang bersangkutan.
4. Dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas dari masing-masing produk
yang dihasilkan oleh perusahaan.
5. Dapat digunakan untuk keperluan kontrol, juga berguna untuk keperluan
perencanaan.
Menurut Munawir (2010:92-93),
2. Kelemahan lain dari teknik analisa ini adalah terletak pada adanya
fluktuasi nilai dari uang (daya belinya).
dalam melakukan analisis laporan keuangan teknik perbandingan ini, kita dapat
membandingkannya dengan angka-angka laporan keuangan tahun lalu, angka
laporan keuangan perusahaan sejenis, rasio rata-rata industri, dan rasio normatif
sebagai standar perbandingan (yardstick). Perbandingan antarpos laporan
keuangan dapat dilakukan melalui:
1. Tidak hanya fokus pada Laporan Laba Rugi, perhatikan juga perubahan pos-pos neraca.
Kebanyakan fiskus hanya fokus pada perubahan laporan laba-rugi karena laporan laba rugi
mengarah langsung kepada penghasilan kena pajak. Perlu diketahui bahwa dalam perubahan-
perubahan pada pos-pos neraca juga terdapat aspek perpajakan yang dapat menjadi potensi pajak.
2. Nilai account/perubahan Account yang cukup material (baik nilai absolut maupun nisbi)
Hal yang paling mudah dalam analisis komparasi adalah melihat perubahan-perubahan pos yang
material yang ditunjukan oleh nilai absolut maupun nilai nisbi (prosentase). Lakukan evaluasi
apakah perubahan tersebut wajar.
3. Perubahan variable cost yang terkait dengan volume usaha (Cost driver)
Teliti biaya-biaya variabel yang merupakan pemicu (cost driver) volume usaha. Lakukan evaluasi
apakah perubahan biaya-biaya tersebut sebanding dengan perubahan usaha.
4. Perhatikan Account yang melekat kewajiban perpajakan.
Dalam Laporan Keuangan dapat dibaca pos-pos yang menggambarkan kewajiban perpajakan,
misalnya pos biaya gaji dan upah menggambarkan kewajiban pemotongan PPh Ps. 21, biaya sewa
menggambarkan kewajiban pemotongan PPh Ps. 23 atau PPh Ps. 4 (2) dan lain-lain. Fiskus harus
meneliti pos-pos dalam laporan keuangan yang nantinya akan digunakan dalam analisis ekualisasi
SPT
Analisis Laporan Laba-Rugi Komparasi
3. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmark adalah
data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari : Elemen-
elemen Surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan, Elemen-elemen Surat
Pemberitahuan Masa PPN dan Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan.
4. Beberapa Wajib Pajak yang dipilih sebagai sampel dari populasi masing-masing
kelompok usaha. Pemilihan dilakukan secara judgemental dengan
mempertimbangkan sampel tersebut harus memiliki nilai rasio-rasio yang dianggap
baik dan wajar dalam kelompok usahanya
No Ratio Rumus
3 Pretax Profit Margin (PPM) Laba bersih sebelum pajak x 100% Penjualan
5 Net Profit Margin (NPM) Laba bersih setelah pajak x 100% penjualan
6 Dividend Payout Ratio (DPR) dividen tunai yg dibayarkan x 100% laba bersih
stlh pajak
7 Rasio PPN Masukan (Pn) PPN Masukan yang dikreditkan setahun (excl.
PM antar cabang) x 100% Penjualan
Rasio-Rasio Benchmarking
No Ratio Rumus
8 Rasio biaya gaji terhadap penjualan (g) biaya gaji x 100% penjualan
9 Rasio biaya bunga terhadap penjualan (b) biaya bunga x 100% penjualan
10 Rasio biaya sewa terhadap penjualan (s) biaya sewa x 100% penjualan
11 Rasio biaya penyusutan terhadap penjualan (py) biaya penyusutan x 100% penjualan
Rasio penghasilan luar usaha terhadap penjualan penghasilan luar usaha x 100% penjualan
12 (pl)
13 Rasio biaya luar usaha terhadap penjualan (bl) biaya luar usaha x 100% penjualan
14 Rasio "input antara" lainnya terhadap penjualan (x) Input lainnya x 100% Penjualan
dengan tingkat laba perusahaan dan berbagai input dalam kegiatan usaha
dengan rasio- rasio yang sama yang dianggap standar untuk kelompok
usaha tertentu, serta melihat hubungan keterkaitan antar rasio untuk
menilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak. Dengan demikian total benchmarking memiliki
karakteristik:
2. Perbandingan rasio keuangan masa sekarang dengan rasio masa lalu atau dengan perusahaan
dalam industri yang sama.
Analisis lebih mudah dilakukan dengan menggunakan angka prosentase atau yang biasa disebut dengan
Rasio dibandingkan dengan menggunakan angka mutlak. Oleh karena itu analisis harus membuat satuan
rasio dan membandingkan rasio tersebut dengan rasio tahun-tahun sebelumnya atau dengan rasio dalam
industri yang sama.
3. Data Pembanding.
Untuk dapat menafsirkan dan mengambil kesimpulan atas angka-angka atau rasio-rasio laporan keuangan
diperlukan data pembanding. Data pembanding dapat berupa data laporan keuangan tahun-tahun
sebelumnya (data time series) atau data rata-rata industri sejenis. Untuk pembanding analisis SPT, Ditjen
Pajak telah menerbitkan Bench Marking yang berbagai rasio untuk Wajib Pajak dalam Klasifikasi Lapangan
Usaha (KLU) sejenis.
Data Yang Diperlukan dan Sumber Data
1. Internal DJP:
• Berkas fisik WP di KPP
• SIDJP
• Approweb,
• Portal DJP
2. Ekternal:
• Publikasi data keuangan :
• BEI (www. idx.co.id)
• Asosiasi perusahaan
Langkah-langkah Analisis Laporan Keuangan
1) Pertama, pahami lingkungan bisnis WP
Misalnya WP bergerak dalam bisnis developer dan dealer kendaraan bermotor, pada bisnis
developer dan sudah lazin developer meminta uang tanda jadi sebelum terjadi penjualan dan
sebagian besar pembeli didanai oleh kredit Bank. Dalam melakukan analisis Fiskus harus berhati-
hati terhadap aspek pemungutan PPN dan saat pengakuan penghasilannya di PPh Badan.
b.Pahami proses bisnis Wajib Pajak
Secara umum pemahaman proses bisnis WP dapat diperoleh dengan mempelajari input,
proses dan ouput dari WP. Pelajari bagaimana WP memperoleh bahan baku, bagaimana
proses produksinya dan bagaimana cara penjualan WP.
Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
Teliti apakah diantara suplier besar tsb masuk kedalam suspect List penerbit Faktur
Pajak Fiktif.
Bandingkan jumlah pembelian dengan Pajak Masukan dalam SPT Masa PPN, jika PM
lebih kecil maka pembelian WP lebih banyak berasal dari Non PKP, kondisi ini
berisiko WP memark-up pembelian. Jika pembelian lebih banyak berasal dari PKP
maka fiskus dapat menggunakan data PK-PM pada Portal DJP, sebagai alat uji
validitas pembelian.
2.Memahami proses produksinya
Setelah mengetahui jenis usaha dan produk dari WP, Fiskus dapat
mempelajari proses produksi Wajib Pajak. Pemahaman proses produksi
dapat dilakukan dengan mempelajari struktur biaya dari Wajib Pajak.
Tujuannya adalah untuk menilai kewajaran volume usaha berdasarkan input
produksinya.
1. Apabila Laporan LK telah diaudit Akuntan Publik, maka baca audit report,
apa opini Akuntan Publik. Apabila opini AP selain WTP, pelajari pos-pos yang
dikecualikan dari kesesuaian dengan SAK.
2. Baca laporan keuangan dan catatan atas LK. Laporan Keuangan tidak dapat
memberikan informasi yang terinci sehingga perlu untuk membaca catatan
atas LK sehingga dapat diperoleh informasi yang sejelas mungkin, tanpa
potensi bias.
Kedua metode di atas akan lebih bermanfaat jika digunakan bersamaan, misalnya
ketika menganalisis Gross Profit Margin, yang pertama dilihat adalah berapa besarnya
GPM pada tahun yang dianalisis (Common Size Method) kemudian bandingkan
besarnya GPM tersebut dengan tahun-tahun sebelumnya (Trend Method).
Analisis Vertikal (Common Size)
Benchmark/
135.439.866 X 100 ox2 Selisih
No Pos rata2 industri
148.199.316
% % %
A Penjualan 148.199.316 100,00
B Harga Pokok Penjualan 135.439.866 91,39 85,50 5,89
Laba Kotor (GPM) 12.759.449 8,61 14,50 (5,89)
C Pengurang Penghasilan Bruto
1B. Pemasaran 8.566.845 5,0 12.759.449 X 100
2Umum & Administrasi 3.872.554 2,0 148.199.316
Jumlah Peng. Penghasilan Bruto 12.439.399 8,0 (61)
Laba (Rugi) Usaha (OPM) 320.050 0,22 4,50 4,28
D Pendapatan/(Biaya) Luar Usaha (5.760.245) (3,89) 1,00 4,89
Laba Netto (PPM) (5.440.195) (3,67) 5,50 9,17
E Paiak Penghasilan
Pajak penghasilan-bersih -
Laba (Rugi) Setelah Pajak (5.440.195) (3,67)
Analisis Horisontal/Komparasi/Trend
Perbandingan data absolut atau dalam Perbandingan yang dinyatakan Kenaikan atau penurunan dlm Kenaikan atau penurunan dalam
jumlah rupiah dalam presentase jumlah rupiah presentase
Tenik analisis yang sering digunakan dalam analisis
laporan keuangan antara lain :
Dengan rasio keuangan maka akan diperoleh arti yang lebih jelas
mengenai informasi yang disajikan oleh suatu laporan keuangan.
Tenik analisis yang sering digunakan dalam analisis
laporan keuangan antara lain :
Teknik ini dilakukan dengan cara mengevaluasi sumber dan penggunaan dana/kas
dari aktivitas perusahaan selama periode tertentu, umumnya satu tahun. Dengan
teknik ini, analis dapat memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang.
Bagi fiskus, teknik ini dapat digunakan untuk meneliti apakah terdapat potensi
perpajakan dari setiap aliran uang masuk dan aliran uang keluar.
Contoh:
Dalam aktivitas investasi
Ketika kita melakukan analisis ditemukan GPM yang berfluktuasi, maka patut diduga
adanya ketidak wajaran. Lalu apa yang kita lakukan?. Cari cost drivernya, misalnya
penggunaan bahan baku, listrik atau tenaga kerja. Perhatikan pola perubahan cost driver
dibanding perubahan volume usaha.
Apabila hubungan antara penjualan, HPP dan Margin Laba Bruto
digambarkan dalam suatu grafik akan terlihat seperti pada gambar di
atas. Ketiganya mempunyai hubungan yang pararel. Semakin besar
volume penjualan, semakin besar HPP, begitu juga laba bruto.
Hubungan tersebut tidak hanya terjadi pada penjualan dan HPP saja
tetapi berlaku juga pada semua biaya yang merupakan cost driver.
Analisis Pos-pos Biaya Umum dan Administrasi
Terdapat Aset yang menghasilkan penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau
bukan objek PPh
Misalnya pada pos asset terdapat pos Deposito dan Investasi pada Entitas Asosiasi yang
penyertaanya 25% atau lebih
Potongan Neraca komparasi :
20x9 20x8 Naik/(Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
Aset Lancar
………………
Deposito 2.000.000 1.500.000 500.000
…………………
Aset Tidak Lancar
Investasi pada entitas asosiasi 30.000.000 25.000.000
…………………..
Penghasilan bunga deposito dikenakan PPh Final pasal 4 (2) UU PPh dan Dividen
atas Investasi pada Entitas Asosiasi yang penyertaanya 25% atau lebih
merupakan penghasilan yang bukan objek pajak sesuai Pasal 4 (3) UU PPh.
Apabila dalam pos neraca ditemukan pos-pos demikian maka atas seluruh biaya
untuk memperoleh penghasilan tersebut harus dikoreksi sekalipun belum
terdapat penghasilan.
Contoh:
Dari potongan neraca di atas, WP memiliki deposito dan investasi lebih dari 25%
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Selain
itu, WP memiliki hutang Bank yang dibebani bunga, maka bunga atas utang
Bank yang dananya ditempatkan dalam deposito dan investasi pada entitas
asosiasi tidak dapat dikreditkan
Saldo rata-rata Deposito Th. 20x9 = Saldo awal + Saldo akhir
2
= 1,500,000 + 2.000.000 = Rp 1.750.000,
2
Misalnya Bunga Bank = 12 % dan tahun 20x2 WP membebankan biaya bunga sebesar
Rp 5.500.000.
Beban Bunga yang dapat dibebankan =
(Saldo rata-rata utang bank - saldo rata-rata deposito dan investasi) x beban bunga
Perhatikan pos-pos pada potongan neraca di atas, piutang-piutang di atas adalah pem-
berian pinjaman atau dana perusahan ke pihak lain yang umumnya bukan dalam rangka
transaksi usaha dengan Wajib pajak atau tidak berhubungan dengan kegiatan 3M Wajib
Pajak.
Apabila WP memiliki piutang-piutang seperti di atas, disisi lain WP juga memiliki utang yang
dibebani bunga. Apa artinya?, artinya sebagian dana yang diterima oleh WP dari Bank
digunakan bukan oleh WP sendiri melainkan digunakan oleh pemegang saham, perusahaan
asosiasi atau group dan pegawai Wajib Pajak. Dengan demikian, dana yang tidak digunakan
untuk kegiatan usaha WP seharusnya beban bunga tidak dibebankan pada penghasilan WP,
maka beban bunga tidak dapat dibebankan dengan perhitungan yang sama dengan cara
penghitungan sebelumnya.
Perubahan Aset Tetap
Perubahan tanah dan/atau bangunan
Pos Th 20x9 Th 20x8 Pertambahan
Aset Tetap
Apabila terdapat penambahan tanah dan/atau bangunan, maka analis harus meneliti:
1. Teliti dari siapa tanah dan/atau bangunan diperoleh. Apakah diperoleh dari pihak
yang memiliki hubungan istimewa?. Jika diperoleh dari pihak yang memiliki
hubungan istimewa maka ada kemungkinan harga peroleh tidak wajar.
2. Apabila penambahan tanah dan/atau bangunan diperoleh dari pembelian, teliti
apakah WP telah melunasi BPHTB
3. Apabila penambahan bangunan diperoleh dari membangun dengan menggunakan
jasa kontraktor, teliti apakah WP telah memotong PPh pasal 4 ayat (2) atas jasa
konstruksi.
Apabila terdapat penambahan tanah dan/atau
bangunan, maka analis harus meneliti:
4. Teliti dalam SPT PPN WP apakah terdapat Pajak Masukan dari penjual
tanah dan/atau bangunan atau dari kontraktor, jika tidak terdapat Pajak
Masukan maka biasanya KPP akan di buat alat keterangan untuk
disampaikan kepada KPP tempat domisili kontraktor guna menindaklanjuti
Pajak Keluarannya. Apabila ternyata pajak keluaran tidak dapat ditagih
kepada penjual atau kontraktor, maka WP bertanggung jawab renteng atas
pembayaran PPN yang terutang sesuai pasal 16F UU PPN.
Apabila dalam kelompok Utang terdapat Utang Kepada Pemegang Saham, Fiskus biasanya
mencermati kewajiban perpajakannya. Perhatikan, apakah dalam Laporan Laba Rugi
terdapat beban bunga utang pemegang saham atau tidak
Potongan Neraca :
20x9 20x8 Naik/(Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
Liabilitas Jk. Panjang
Hutang Pemegang Saham 15.000.000 10.000.000 5.000.000
…………………………………..
Apabila WP tidak memberikan bunga atas pinjaman dari pemegang saham , maka harus
diteliti apakah WP memenuhi ketentuan PP 94/2010, Pasal 12 , sbb:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan be-
rasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah
disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. PT penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan
usahanya.
Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka atas utang pemegang saham terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar atas bunga tersebut terutang PPh Ps. 23/26
Mari kita uji angka laba setelah pajak menurut laporan laba rugi dan angka
retained earning menurut neraca dibawah ini ke dalam rumus di atas.
Neraca
Bagi Fiskus digunakan untuk menilai kepatuhan WP atau menggali potensi pajak
Jenis-jenis Rasio
2. Activity Ratios
Menilai efektifitas dan efisiensi aktivitas yang berhubungan dg pemakaian
sumber ekonomi
3. Financial Ratios:
a) Liquidity Ratios
Kemampuan melunasi hutang jangka pendek
a) Leverage Ratios
Kemampuan melunasi hutang jangka panjang
4. Valuation Ratios
Menilai saham perusahaan (tidak dibahas dalam pembelajaran ini)
Analisis Rasio Operasi (Operational Ratio)
Keterangan:
• Laba bersih dapat menggunakan laba bersih sebelum pajak atau laba bersih setelah
pajak tergantung data pembandingnya
• Modal sendiri = Modal saham + Laba ditahan tidak termasuk laba tahun berjalan
Rasio operasi ditunjukan dengan nilai prosentase, semakin
tinggi prosentase tersebut, menunjukan kinerja atau
kemampuan menghasilkan laba perusahaan semakin baik.
Bagi Fiskus laba ini dapat digunakan untuk menilai kewajaran laba kotor, laba operasi,
laba bersih dengan melakukan perbandingan dengan perusahaan sejenis atau data time
series.
ROI diperoleh dari laba bersih dibagi total asset, jika ROI menurun berarti terjadi
penurunan kapasitas produksi dari asset atau volume penjualan, pada kondisi normal
seharusnya prosentase ROI tidak banyak berubah sekalipun nilai pembagi atau asetnya
bertambah, karena penambahan asset terutama asset produksi akan diikuti dengan
peningkatan volume produksi dan penjualan. Apabila terjadi penurunan ROI dapat diduga
WP tidak melaporkan seluruh hasil produksinya yang pada akhirnya tidak melaporkan
sebagian volume penjualan. Fiskus dapat menindak-lanjuti dengan cara visit ke pusat-
pusat produksi WP untuk memastikan bahwa tidak ada kapasitas produksi yang
menganggur.
ROE diperoleh dari laba bersih dibagi ekuitas atau modal, patokan yang paling mudah
dalam mengukur kewajaran nilai ROE jika tidak ada pembanding lain adalah tingkat bung
deposito. Dengan pertanyaan sederhana "Untuk apa WP menanamkan uangnya sebagai
modal dalam perusahaan kalau hasilnya lebih kecil dari tingkat bunga deposito yang tidak
berisiko?".
Contoh
PT Stratregic
Laporan Laba Rugi Tahun 20x9 dan 20x8
2019 % Th 2018 %
Penjualan Bersih 754,569 679,112
Harga Pokok Penjualan
- Persediaan Awal 25,000 22,500
- pembeliaan 618,650 560,444
- Persediaan Akhir (28,125) (25,000)
Harga Pokok Penjualan 615,525 81.6% 557,944 82.2%
Rasio Laba
Laba Kotor 139,044 18.4% 121,168 17.8% Kotor
Biaya Penjualan, Umum dan Adm 108,542 14.4% 104,872 15.4%
Rasio Laba
Laba Operasi 30,502 4.0% 16,296 2.4% Operasi
Biaya (Penghasilan) Lain:
Biaya Bunga 8,500 1.1% 10,200 1.5%
R asio Laba
Laba Sebelum Pajak 22,002 2.9% 6,096 0.9% bersih
Beban Pajak Penghasilan 5,501 0.7% 1,524 0.2%
Laba Bersih setelah pajak 16,502 2.2% 4,572 0.7%
Rasio-rasio laba tahun 20x9 jika dibandingkan dengan tahun 20x8 seluruhnya mengalami kenaikan, hal
ini menunjukan perbaikan kinerja laba dari tahun sebelumnya.
Misalnya Ratio rata-rata industry sejenis pada tahun 20x9 menunjukan Ratio Laba Kotor = 16%, Ratio
Laba Operasi = 7,5%. Hal ini menunjukan kemampuan perusahaan menghasilkan laba kotor diatas rata-
rata perusahaan sejenis namun tidak efisien dalam mengelola biaya operasionalnya.
20x9 20x8
ROI 22,002 atau 16,502 6,096 atau 4,572
Rumus:
Harga pokok penjualan
[( persediaan awal+persediaan akhir)/2]
Rasio ini menggambarkan berapa kali persedian berputar dalam setahun. Hasilnya dinyatakan
dalam kali. Makin tinggi inventory turnover, semakin efisien perusahaan itu. Tapi, jika inventory
turnovernya rendah, ini pertanda buruk. Sebab, sebagian persediaannya hanya mengendap di
gudang.
Dari rasio perputaran persediaan dapat dihitung rata-rata umur persediaan.
Rumus:
365 hari
Perputaran persediaan
Ratio ini menunjukan berapa lama persediaan rata-rata persediaan mengendap dalam gudang.
Lama atau cepatnya persediaan terjual tergantung dari jenis usahanya. Untuk barang- barang
kebutuhan hari-hari perputaranya akan sangat cepat sebaliknya untuk barang- barang yang
jarang digunakan misalnya bidang usaha alat berat maka perputaran persediaan akan sangat
lambat.
Sudut pandang Fiskus:
Fiskus dapat menindak-lanjuti hasil analisis rata-rata umur piutang dengan cara
visit ke gudang WP, melakukan observasi kewajaran perputaran persediaan,
melihat banyaknya jumlah barang yang mengendap digudang dan jika
memungkinkan melihat catatan gudang barang masuk dan barang keluar untuk
membandingkan lamanya barang mengendap digudang.
Rasio perputaran piutang (Account Recievable Turnover) dan Rata-rata umur
piutang Rasio perputaran persediaan:
Rumus :
Penjualan neto
[( piutang awal + piutang akhir)/2]
Menggambarkan berapa kali perputaran piutang dalam satu periode/tahun. Makin tinggi
AR. turnover, semakin efektive perusahaan melakukan penagihan.
Rumus:
365 hari
Perputaran piutang
Persediaan :
- Barang jadi 9,131,794 3,729,644 4.521.256
130.871.968 61.909.347
(9.131.794 + 3.729.644)/2 (3.729.644 + 4.521.256)/2
20,35X 15.01X
172.199.317 88.239.611
(27.217.2016 + 13.820.405)/2 (13.820.405 + 12.505.045)/2
8,39X 6,70X
Rata-rata umur piutang
Th. 20x9 Th. 20x8
Rumus :
Aset Lancar
Utang Lancar
Rumus :
Aset Lancar – Persediaan
Utang Lancar
Kedua rasio di atas hasilnya dinyatakan dalam "kali". Semakin tinggi rasio semakin baik
kondisi perusahaan
Tujuan analisis rasio likuiditas
adalah untuk:
1. mengukur likuiditas suatu perusahaan.
2. mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka
pendeknya.
3. Untuk rasio cepat adalah mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban finansial jangka pendeknya tanpa melakukan penjualan persediaan.
Likuiditas perusahaan biasanya dianggap baik jika Rasio Lancar nilainya lebih dari 2 dan
Rasio Cepat lebih dari 1,5.
Sudut pandang Fiskus:
Bagi Fiskus rasio ini berguna untuk menilai kelengkapan pencatatan aset
lancar/kewajiban lancar:
• Aset lancar tidak secara lengkap dilapor, yang dapat berakibat penjualan tidak
seluruhnya dilapor, misalnya dengan cara tidak melaporkan rekening koran untuk
menyembunyikan penjualan.
• Utang lancar dilaporkan terlalu besar, kemungkinan HPP/Biaya dlapor terlalu tinggi.
Contoh:
Misalnya dari perhitungan diperoleh rasio sebagai berikut
20x9 20x8
Current Ratio 2.57X 4.56X
Quick Ratio 1.46X 2.75X
Jika analisis dilakukan secara komparasi, maka terlihat pada tahun 20x9 likuiditas perusahaan
mengalami penurunan disbanding tahun 20x8 walaupun perusahaan mengalami kenaikan volume
penjualan.
Misalnya WP bergerak dalam bidang perdagangan barang-barang konsumsi (Con- sumer goods), Rata-
rata industry perdagangan barang konsumsi pada tahun 20x8, Rasio Lancar = 2X dan Rasio Cepat =
1,5X. Jika dibandingkan rata-rata industry sejenis, WP memiliki Rasio Lancar diatas rata-rata dan Rasio
Cepat mendekati rata-rata maka Likuiditas WP dapat disimpulkan memiliki likuiditas yang baik.
Fiskus melihat bahwa dibanding tahun 20x8 likuiditas PT Strategic mengalami penurunan pada tahun
20x9, hal ini berbanding terbalik dengan volume penjualan yang semakin besar di tahun 20x9. Fiskus
akan menduga kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
• Kemungkinan WP tidak melaporkan secara lengkap aset lancarnya (Kas/Bank, piutang usaha,
persediaan) untuk menyembunyikan omzet; atau
• WP terlalu tinggi melaporkan kewajiban lancarnya (hutang usaha, hutang lain2) untuk
menggelembungkan HPP atau Biaya
Laverage Ratios
Terdiri dari:
1. Rasio Utang (Debt Ratio)
Rumus :
Total Uang
Total Aset
Rasio ini membandingkan Utang dengan Aset atau Modal, apabila DR atau DER tinggi artinya WP lebih banyak
menggunakan utang dari pada modalnya sendiri dalam pembiayaan usahanya. Yang menjadi pertanyaan adalah:
mungkinkah kreditur independen bersedia memberikan pinjaman hampir sama dg nilai aset ?. Apakah kreditur
berani mengambil risiko jika pembayaran macet, jaminan aset yang disita tidak dapat menutup pokok utangnya?.
Salah satu "C" dalam analisis kredit adalah Colateral atau jaminan, hampir mustahil kreditur memberikan pinjaman
lebih besar dari nilai jaminannya. Dengan demikian apabila DR atau DER tinggi dapat diduga hal-hal sebagai berikut:
Hanya pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang mau mengambil risiko yang tidak wajar. Rasio ini dapat
menjadi indikasi adanya hub. Istimewa antara kreditur dengan debitur. Ffiskus harus cermat dalam melihat beban
bunga yang kemungkinan adalah dividen yang dikamuflase sebagi beban bunga yang umum dikenal dengan nama
"Dividen Terselubung".
Jika kreditur memang pihak yang independen, kemungkinan terdapat Laporan Keuangan yang berbeda dengan
Laporan Keuangan yang diberikan kepada kreditur/Bank atau Aset yang dilaporkan kepada kreditur/Bank berbeda
dengan yang dilaporkan dalam SPT WP. Fiskus harus berusaha untuk mendapatkan Perjanjian kredit untuk melihat
jaminan kredit yang diberikan WP kepada kreditur atau jika memungkinkan dapat memperoleh Laporan Keuangan
yang diserahkan kepada kreditur/Bank.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 Tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Penghitungan Pajak Penghasilan. Fiskus harus
memperhatikan besarnya DER sebagaimana diatur dalam peraturan ini untuk menentukan besarnya biaya pinjaman
yang dapat dibebankan.
Contoh:
4. Biaya Pinjaman (biaya bunga dan biaya terkait lainnya) sebesar Rp. 228.000.000.000
terdiri dari :
a. biaya pinjaman kepada PT. ABC sebesar Rp. 96.000.000.000,-
b. biaya pinjaman kepada PT. JKL sebesar Rp. 20.660.000.000,-
c. biaya pinjaman kepada WWW Co. Ltd. Sebesar Rp. 100.575.000.000,-
d.Biaya pinjaman atas Utang Dagang (Interest Bearing) sebesar Rp. 10.765.000.000,-
Contoh A. 2 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)
Saldo rata-rata utang dihitung berdasarkan rata rata saldo utang tiap akhir bulan selama tahun pajak 2016
sebagai berikut:
Saldo Akhir Bulan (dalam Juta Rupiah)
Utang Utang ke Utang
Bulan ke PT. Utang WWW Co Dagang
Jumlah
ABC ke PT. JKL Ltd (Interest
Bearing)
Januari 800.000 900.000 2.500.000 800.000 5.000.000
Februari 750.000 900.000 2.500.000 790.000 4.940.000
Maret 750.000 900.000 2.500.000 750.000 4.900.000
April 750.000 900.000 2.500.000 820.000 4.970.000
Mei 740.000 900.000 2.500.000 850.000 4.990.000
Juni 740.000 900.000 2.500.000 720.000 4.860.000
Juli 740.000 660.000 1.970.000 800.000 4.170.000
Agustus 740.000 660.000 1.970.000 810.000 4.180.000
September 725.000 660.000 1.970.000 845.000 4.200.000
Oktober 725.000 660.000 1.970.000 860.000 4.215.000
Nopember 725.000 660.000 1.970.000 805.000 4.160.000
Desember 725.000 660.000 1.970.000 810.000 4.165.000
Rata-Rata 742.500 780.000 2.235.000 805.000 4.562.500
Jumlah saldo rata-rata modal PT. XXX tahun 2016 = Tp. 4.562.500.000.000,-
Contoh A. 3 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)
Saldo rata-rata modal dihitung berdasarkan rata rata saldo modal tiap akhir bulan selama tahun pajak 2016
sebagai berikut:
Saldo Akhir Bulan (dalam Juta Rupiah)
Pinjaman
Bulan Modal Agio Laba Tanpa Bunga Jumlah
Saham Saham Ditahan dari
XXX Ltd
Januari 150.000 110.000 425.000 50.000 735.000
Februari 150.000 110.000 425.000 50.000 735000
Maret 150.000 110.000 575.000 50.000 885.000
April 150.000 110.000 300.000 50.000 610.000
Mei 150.000 110.000 300.000 70.000 630.000
Juni 150.000 110.000 600.000 70.000 930.000
Juli 150.000 110.000 400.000 70.000 730.000
Agustus 150.000 110.000 400.000 30.000 690.000
September 150.000 110.000 700.000 30.000 990.000
Oktober 150.000 110.000 400.000 30.000 690.000
Nopember 150.000 110.000 400.000 50.000 710.000
Desember 150.000 110.000 475.000 50.000 785.000
Rata-Rata 150.000 110.000 450.000 50.000 760.000
Jumlah saldo rata-rata modal PT. XXX tahun 2016 = Tp. 760.000.000.000,-
Contoh A. 4 - Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)
Biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak =
4/6 x biaya pinjaman dari masing – masing utang, yaitu Rp. 152.000.000.000.000; dengan
perhitungan sebagai berikut:
Mengingat bahwa utang kepada PT. ABC merupakan utang kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, maka biaya pinjaman terkait utang kepada
PT. ABC sebesar Rp. 64.000.000.000,- yang dapat diperhitungkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan ketentuan peraturan menteri
ini harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang 36 Tahun 2008.
Contoh C.1 Penghitungan Biaya Pinjaman (DER 4:1)
Berdasarkan data dari contoh 1, dana yang diperoleh dari utang kepada PT ABC digunakan untuk
membeli saham di PT ZZZ dengan kepemilikan 60% dan dividen yang diterima dari PT ZZZ bukan
merupakan objek pajak. Biaya pinjaman (biaya bunga dan biaya terkait lainnya) yang dibayarkan kepada
PT ABC adalah Rp.96.000.000.000,00
Besaran DER:
RP. 3.820.000.000.000 : Rp. 760.000.000.000 = 5:1
Besar DER paling tinggi yang diperkenanakan = 4:1
Besarnya biaya bunga dan biaya terkait lainnya atas utang selain utang kepada PT ABC :
Rp228.000.000.000 - Rp96.000.000.000 = Rpl32.000.000.000
Penghitungan biaya bunga dan biaya terkait lainnya yang dapat diperhitungkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak = 4/5 x biaya bunga dan biaya terkait lainnya dari masing-masing utang =
Rp 105.600.000.000; dengan penghitungan sebagai berikut:
Salah satu analisa yang sering dilakukan adalah melakukan analisa pada
beberapa rasio keuangan WP dan membandingkannya dengan rasio
keuangan yang sama WP lain.
Berikut adalah beberapa rasio laporan keuangan terkait
dengan laba yang sering diintip dan dianalisa oleh Fiskus:
1 Penjualan - HPP
GPM = x 100%
Penjualan
4 NPM = Penjualan - (HPP + Biaya Usaha Lainnya) - Biaya Diluar Usaha - PPh x 100%
Penjualan
5 PPh Terutang
CTTOR = x 100%
Penjualan
Ketika Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka
Wajib Pajak juga berkewajiban menyampaikan SPT Masa PPN atas pelaksanaan kewajiban PPNnya.
Beberapa data dari berbagai SPT sebenarnya berasal dari sumber yang sama, misalnya Wajib Pajak
membayar gaji pegawai, atas pembayaran gaji pegawai tersebut Wajib Pajak wajib memotong PPh Ps. 21,
menyetor dan melaporkan dalam SPT masa PPh Ps. 21. Pembayaran gaji pegawai tersebut meupakan
pengurang penghasilan bruto di SPT PPh Badan/Orang Pribadi Wajib Pajak.
Ketika Wajib Pajak membayar sewa, Wajib Pajak berkewajiban memotong PPh Ps. 23, menyetor dan
melaporkan. Beban sewa tersebut merupakan pengurang penghasilan Bruto dalam SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak.
Dengan demikian, antara SPT-SPT yang menjadi kewajiban dari Wajib Pajak dapat dilakukan pengujian
dengan melakukan ekualisasi antara objek-objek pajak yang terdapat pada masing-masing SPT. Analisis
Ekualisasi adalah proses analisis dengan cara membandingkan data serupa dari berbagai jenis SPT sehingga
dapat dipastikan Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakannya.
SPT Tahunan PPh dibandingkan dengan SPT Masa PPN
1. Pos peredaran usaha ditambah pos penghasilan lain-lain menurut SPT Tahunan PPh
dibandingkan dengan jumlah Penyerahan Barang dan Jasa menurut SPT Masa PPN selama
setahun.
Jika terdapati perbedaan angka, fiskus harus meneliti penyebab perbedaanya, bisa jadi
perbedaan-perbedaan tersebut tidak menyebabkan timbulnya pajak terutang.
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang antara lain:
• Pos penghasilan lain-lain bukan objek PPN, misalnya penghasilan bunga deposito;
• Terdapat uang muka penjualan yang sudah wajib dipungut PPN tetapi belum diakui
sebagai penjualan;
• Perbedaan waktu antara pengakuan penjualan dengan tanggal penerbitan faktur pajak
(jika faktur pajak terlambat diterbitkan, maka hanya diterbitkan STP pengenaan sanksi)
Apabila perbedaan-perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang sudah dieliminir
namun masih terdapat perbedaan, maka fiskus patut menduga:
• PPN kurang dipungut, jika terjadi kondisi pos peredaran usaha ditambah pos penghasilan
lain menurut SPT Tahunan PPh lebih besar dari jumlah Penyerahan Barang dan Jasa menurut
SPT Masa PPN selama setahun.
• Peredaran usaha kurang dilaporkan, , jika terjadi kondisi pos peredaran usaha + pos
penghasilan lain menurut SPT Tahunan PPh lebih kecil dari jumlah Penyerahan Barang dan
Jasa menurut SPT Masa PPN selama setahun
2. Kenaikan pos asset tetap berupa bangunan dalam neraca Wajib Pajak
dengan PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri (PPN pasal 16C)
menurut SPT Masa PPN selama setahun.
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Wajib Pajak menggunakan revaluation model dalam menilai asset tetapnya,
sehingga kenaikan bangunan bukan disebabkan adanya pertambahan fisik
bangunan;
• Wajib pajak menggunakan jasa kontraktor untuk membuat bangunan, jika
demikian fiskus harus meneliti apakah terdapat pajak masukan dari
kontraktor;
• Bangunan diperoleh dengan cara membeli, jika demikian fiskus harus
meneliti apakah terdapat pajak masukan atas pembelian bangunan.
Apabila terdapat penurunan asset tetap dalam neraca, fiskus harus meneliti apakah dalam
Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam negeri terdapat faktur pajak keluaran dengan
kode transaksi "x9" untuk penyerahan Aktiva pasal 16 D kepada Selain Pemungut PPN. Jika
tidak terdapat faktur pajak dengan kode "x9", fiskus melanjutkan meneliti apakah terdapat
penjualan/pengalihan aset tetap ke pemungut PPN dengan kode "x1" dan "x2".
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Aset tetap yang dialihkan merupakan asset tetap yang pada saat perolehannya pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
huruf b (yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha) dan huruf c
(sedan dan station wagon). Atas pengalihan asset tetap ini tidak wajib memungut PPN.
• Penurunan asset disebabkan force majeur, misalnya kebakaran, bencana alam,
pencurian atau kerusakan berat yang menyebabkan asset tidak dapat digunakan lagi
dan dikeluarkan dari pembukuan.
Apabila perbedaan-perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang sudah dieliminir
namun masih terdapat perbedaan, maka fiskus patut menduga bahwa atas pengalihan
asset tetap belum dipungut PPN pasal 16D
4. Pos pembelian persediaan, pos-pos biaya yang diduga merupakan objek PPN
dalam laporan laba rugi, kenaikan asset tetap dalam neraca Wajib Pajak
dengan Pajak Masukan menurut SPT Masa PPN selama setahun.
Ekualisasi ini agak sulit dilakukan karena banyaknya jenis pos-pos biaya dalam
laporan laba rugi dan sulit menduga apakah suatu pos biaya didalamnya berisi
pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh BKP dan JKP, belum lagi kemungkinan
biaya dikeluarkan kepada non PKP yang tidak menerbitkan faktur pajak.
Walaupun sulit, analisis ekualisasi ini dapat dilakukan dan bermanfaat bagi fiskus
untuk:
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Terdapat pembebanan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam pos biaya yang bukan objek PPh
Ps. 21
• Terdapat perbedaan waktu antara pengakuan pembebanan dalam laporan laba rugi dengan saat
pemotongan pajak.
• Biaya-biaya dalam laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 telah
dipotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau
Pasal 26.
• Di dalam pos-pos biaya laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 21 dan/atau pasal 26 juga
terdapat pembebanan yang bukan objek PPh potput. Misalnya, dalam biaya perbaikan dan reparasi
didalam terdapat pembelian suku cadang.
• Objek PPh Pasal 21 dan/atau pasal 26 tidak dibebankan sebagai biaya tetapi dikapitalisir dalam asset.
Misalnya upah buruh, fee arsitek, dikapitalisir ke dalam harga bangunan; biaya jasa instalasi mesin
dikapitalisir ke dalam nilai mesin.
• Objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 tersebar didalam pos-pos biaya yang tidak diduga terdapat
pengeluaran objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26
Ekualisasi dilakukan dengan membandingkan antara pos Biaya Jasa, Biaya Sehubungan Dengan
Jasa dan Biaya Jasa pada SPT Tahunan Badan lampiran 1771-II atau pos-pos biaya yang diduga
merupakan objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 dan dividen yang dibayar pada Laporan Laba
Rugi dengan objek SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 selama setahun.
Perbedaan yang tidak menimbulkan pajak terutang dapat terjadi antara lain:
• Terdapat perbedaan waktu antara pengakuan pembebanan dalam laporan laba rugi dengan
saat pemotongan pajak.
• Biaya-biaya dalam laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 telah
dipotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21
dan/atau Pasal 26
• Di dalam pos-pos biaya laporan laba rugi yang diduga objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26
juga terdapat pembebanan yang bukan objek PPh potput. Misalnya, dalam biaya perbaikan
dan reparasi didalam terdapat pembelian suku cadang.
• Objek PPh Pasal 23 dan/atau pasal 26 tidak dibebankan sebagai biaya tetapi dikapitalisir
dalam asset. Misalnya upah buruh, fee arsitek, dikapitalisir ke dalam harga bangunan; biaya
jasa instalasi mesin dikapitalisir ke dalam nilai mesin.
• Objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 tersebar didalam pos-pos biaya yang tidak diduga
terdapat pengeluaran objek PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.
SPT Tahunan PPh dengan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) berbeda dengan SPT Masa PPh Potput lainnya, karena
kewajiban PPh psal 4 (2) bukan hanya sebagai pemotong, akan tetapi juga sebagai
penyetor. Oleh karena itu pos-pos dalam SPT Tahunan PPh atau pos-pos dalam laporan
keuangan yang akan dibandingkan dengan SPT Masa PPh pasal 4 ayat (2) bukan hanya
dari sisi pengeluaran atau biaya dan penambahan asset, tetapi juga dari sisi penerimaan
atau penghasilan dan penurunan asset.
• Penghasilan dan Biaya Sewa bangunan atau penghasilan penjualan tanah dan
bangunan dan penurunan asset tanah dan bangunan dengan objek menurut SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
• Penghasilan bunga deposito, diskonto SBI dan jasa giro di laporan keuangan untuk
usaha bank dengan objek menurut SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
Ekualisasi Lainnya
Analisis ekualisasi juga dapat dilakukan terhadap SPT Masa PPh Potput dengan
SPT Masa PPN, karena dalam satu transaksi bisa melibatkan lebih dari satu
kewajiban pajak. Suatu transaksi dapat dilaporkan dalam lebih satu SPT masa,
misalnya pengeluaran sewa selain tanah dan bangunan, apabila disewa dari
PKP maka atas biaya sewa dilaporkan sebagai pajak masukan dalam SPT Masa
PPN dan dilaporkan sebagai objek dalam dalam SPT PPh Potput.
Analisis Ekualisasi
CURICULUM VITAE
• IDENTITAS
• PENDIDIKAN
1995 – 1997 PT. Pratama Abadi Industri (Nike Footwear) Chief Accountant
1999 – 2007 Kantor Akuntan Publik Drs. Sukrisno Agoes, MM dan Rekan Manager
Feb 2009 – Sekarang Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Ardi, Sukimto & Rekan Partner
Member Of Auditrust International
174