Anda di halaman 1dari 102

UNTUK KEPENTINGAN INTERNAL DJP

MODUL PEMERIKSAAN
TRANSAKSI PERUSAHAAN GRUP
SERI I
❶ RESTRUKTURISASI BISNIS ❷ PENGALIHAN SAHAM ❸ CASH POOLING

DIREKTORAT PEMERIKSAAN DAN PENAGIHAN


2020
MODUL PEMERIKSAAN TRANSAKSI
PERUSAHAAN GRUP

SERI I
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Jalan Gatot Subroto No. 40-42
Jakarta 12190
© Direktorat Jenderal Pajak

Buku ini merupakan tulisan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Temuan,


penafsiran dan simpulan yang dimuat dalam buku ini tidak mencerminkan
pandangan dan kebijakan resmi Direktorat Jenderal Pajak.
Meskipun telah berupaya untuk menjaga kualitas isi buku ini, Direktorat
Jenderal Pajak tidak bertanggung jawab atas keakuratan atau kelengka-
pan informasi yang dimuat dalam buku ini.
Pengguna dilarang menjual, mendistribusikan atau membuat karya
turunan dari buku ini dengan tujuan komersial tanpa persetujuan dari
Direktorat Jenderal Pajak.
PENYUSUN

Koordinator
Adi Prana Pribadi
Editor
Ujang Inan Iswara
Kontributor
Puput Sugiharto
V. Budi Jatmiko
Bambang Suprayogi
Rusman Affandi Nasution
Ni Luh Wulandari
Sofia Situmorang
Rizki Gigih Setiyayuda
Risda Adinda Hidayati Aisha

Credit Foto Sampul:


Pixabay (diakses dari web: www.pexels.com)
Daftar Isi

Daftar Isi .................................................................................................. i


Daftar Gambar .........................................................................................ii
Daftar Tabel ............................................................................................ iii
Kata Pengantar .......................................................................................iv
Pendahuluan ........................................................................................... v
BAB 1 RESTRUKTURISASI USAHA ................................................... 1
1.1 GAMBARAN UMUM TRANSAKSI ............................................ 1
1.2 KETENTUAN AKUNTANSI ....................................................... 2
1.3 KETENTUAN PERPAJAKAN .................................................. 13
1.4 CONTOH KASUS ................................................................... 26
BAB 2 PENGALIHAN SAHAM ........................................................... 37
2.1 GAMBARAN UMUM TRANSAKSI .......................................... 37
2.2 KETENTUAN AKUNTANSI ..................................................... 39
2.3 KETENTUAN PERPAJAKAN .................................................. 43
2.4 CONTOH KASUS ................................................................... 51
BAB 3 CASH POOLING .................................................................... 56
3.1 GAMBARAN UMUM TRANSAKSI .......................................... 56
3.2 KETENTUAN AKUNTANSI ..................................................... 63
3.3 KETENTUAN PERPAJAKAN .................................................. 65
3.4 CONTOH KASUS ................................................................... 68
BAB 4 PROSEDUR PEMERIKSAAN ................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 89

i
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Skema Transaksi Pengalihan Saham ................................ 38


Gambar 2.2 Skema Pengalihan Saham ................................................ 44
Gambar 2.3 Transaksi dengan Penerima Penghasilan WPDN .............. 46
Gambar 2.4 Transaksi dengan Penerima Penghasilan bukan SPDN .... 47
Gambar 2.5 Transaksi Pengalihan Saham Conduit Company............... 49
Gambar 3.1 Ilustrasi I ............................................................................ 58
Gambar 3.2 Ilustrasi II ........................................................................... 61

ii
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Akuntansi Investasi Saham ................................................... 39


Tabel 2.2 Ilustrasi Perbedaan Equity Method dan Fair Value Method ... 42
Tabel 3.1 Perbandingan Pembayaran Bunga dengan dan Tanpa Cash
Pooling .................................................................................. 60

iii
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
yang selalu melimpahkan rahmat, kekuatan dan semangat kepada kami
sehingga penyusunan Modul Pemeriksaan Transaksi Perusahaan Grup
Seri I ini dapat diselesaikan.
Perkembangan dinamika bisnis dalam konteks perusahaan grup
membawa risiko bagi penerimaan negara dari perpajakan. Risiko ini mun-
cul karena perusahaan grup mempunyai kemampuan mengatur transaksi
antar perusahaan yang tergabung dalam grup untuk berbagai tujuan yang
bisa menguntungkan perusahaan. Oleh karenanya institusi perpajakan
harus membekali diri secara memadai untuk bisa meminimalkan dampak
adanya upaya penghindaran pajak yang melibatkan perusahaan grup.
Untuk meminimalkan dampak tersebut diperlukan upaya pening-
katan kompetensi petugas pajak untuk mampu menganalisis aspek perpa-
jakan yang melibatkan perusahaan grup baik domestik maupun inter-
nasional. Modul ini disusun dalam rangka peningkatan pengetahuan da-
lam menganalisis transaksi perusahaan yang tergabung dalam sebuah
grup usaha.
Transaksi perusahaan grup meliputi banyak sekali jenis transaksi.
Modul Pemeriksaan Transaksi Perusahaan Grup Seri I ini tentu saja belum
bisa mencakup seluruh jenis transaksi yang ada. Transaksi yang dibahas
dalam Modul ini terbatas antara lain pada: Restrukturisasi Usaha,
Transaksi Pengalihan Saham dan Cash Pooling.
Modul ini tidak terlepas dari kekurangan sehingga perlu untuk dis-
empurnakan dan disesuaikan dengan perubahan ketentuan perpajakan
yang berlaku. Oleh karena itu, kerjasama dan partisipasi pembaca sangat
diharapkan dalam perbaikan dan penyempurnaan modul ini. Akhir kata
semoga modul ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam melaksanakan
tugas di Direktorat Jenderal Pajak.

iv
Pendahuluan
Secara umum, tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan
keuntungan bagi pemegang sahamnya. Beban pajak yang harus dibayar-
kan oleh perusahaan menjadikan tingkat keuntungan yang dapat dinikmati
oleh pemegang saham menjadi lebih sedikit. Dengan demikian seringkali
sebuah perusahaan berupaya untuk bisa meminimalkan kewajiban pajak-
nya. Upaya meminimalkan ini kadang dilakukan dengan cara tetap dalam
koridor ketentuan perpajakan, namun tidak jarang ditemui juga dilakukan
dengan cara yang melanggar ketentuan.
Perusahaan yang tergabung dalam sebuah grup usaha memiliki
beberapa keunggulan dibanding dengan perusahaan yang berdiri sendiri
secara independen. Keunggulan-keunggulan ini bisa dilihat dari aspek
bisnis seperti kemampuan pendanaan, jaringan supply chain, ketersedi-
aan sumberdaya, keunggulan manajemen dan lain-lain. Dalam hal perpa-
jakan, perusahaan yang tergabung dalam sebuah grup usaha juga sering-
kali memanfaatkan keberadaannya dalam grup untuk bisa memanfaatkan
keuntungan dalam meminimalkan beban pajak secara keseluruhan.
Upaya-upaya meminimalkan beban pajak tersebut dilakukan melalui se-
rangkaian transaksi yang umumnya tidak dilakukan apabila perusahaan
tersebut berdiri sendiri secara independen.
Modul ini membahas beberapa hal yang bisa ditemui dalam
transaksi perusahaan yang tergabung dalam satu grup usaha. Modul Seri
I ini menitikberatkan pembahasan pada:
1. Restrukturisasi Bisnis
Restrukturisasi usaha adalah salah satu hal yang seringkali dilakukan
oleh perusahaan terutama dalam konteks pengembangan grup
usaha. Restrukturisasi bisnis tentu saja selain terdapat aspek bisnis
juga memiliki aspek perpajakan yang perlu dicermati. Dalam modul
ini dibahas restrukturisasi bisnis dalam berbagai bentuk serta aspek
perpajakannya. Pembahasan meliputi akuisisi, merger, spin-off dan
inbreng.
2. Transaksi Pengalihan Saham
Secara khusus transaksi pengalihan saham dibahas dalam bab
tersendiri. Hal ini mengingat ada berbagai bentuk pengalihan saham
baik yang terjadi di dalam negeri maupun cross border yang memiliki

v
ketentuan tersendiri, bahkan diatur secara khusus dalam Undang-un-
dang Pajak Penghasilan. Pembahasan pada modul ini mencakup
transaksi pengalihan saham yang terjadi di bursa maupun di luar
bursa saham. Demikian juga pengalihan saham yang terjadi di luar
negeri namun pada esensinya adalah pengalihan saham perusahaan
di Indonesia.
3. Cash Pooling
Transaksi cash pooling erat kaitannya dengan kebutuhan pendanaan
perusahaan dalam sebuah grup usaha. Transaksi ini semakin banyak
dilakukan oleh berbagai grup usaha terutama perusahaan-perus-
ahaan grup yang cukup besar. Dalam modul ini akan dibahas
berbagai hal yang biasa muncul dalam cash pooling dan aspek perpa-
jakan yang timbul dari transaksi tersebut.
Untuk membantu memberi pemahaman bagi pemeriksa dalam me-
meriksa perusahaan yang tergabung dalam sebuah grup usaha pemba-
hasan dalam modul ini secara umum dibagi menjadi beberapa bagian
utama. Pembahasan tersebut dibagi dalam:
1. Gambaran Umum Transaksi
Pada bagian ini akan diuraikan gambaran umum dari masing-masing
transaksi yang dibahas. Subbagian ini diharapkan akan membantu
pembaca untuk memahami transaksi dengan baik dan mengidentifi-
kasi lebih awal potensi penghindaran pajak yang mungkin dilakukan
dalam transaksi-transaksi tersebut.
2. Ketentuan Akuntansi
Ketentuan akuntansi dipaparkan pada beberapa bahasan dengan
harapan pembaca akan memiliki pengetahuan bagaimana praktik
transaksi ini diperlakukan secara komersial. Dengan demikian pema-
haman terhadap transaksi ini dari sudut pandang komersial akan lebih
baik.
3. Ketentuan Perpajakan
Pada bagian ini akan diulas transaksi tersebut dari sudut pandang ke-
tentuan perpajakannya. Modul ini membahas berbagai transaksi ter-
sebut dan aturan-aturan perpajakan yang mendasarinya. Modul ini
tidak memberikan penegasan atau interpretasi atas aturan. Dengan
demikian ketentuan perpajakan dan penerapan aspek perpajakan
kembali kepada aturan perpajakannya itu sendiri dan tidak berdasar-
kan dari modul ini.

vi
5. Studi Kasus
Studi kasus yang dimuat pada modul kali ini adalah studi kasus hasil
pemeriksaan maupun putusan pengadilan yang sudah ada. Pada ba-
gian ini tidak hanya ditampilkan berbagai putusan yang menolak
permohonan banding Wajib Pajak, namun juga yang mengabulkan
permohonan Wajib Pajak. Dengan demikian, kedua hal tersebut
dapat dipelajari dan dijadikan pertimbangan dalam melakukan
pemeriksaaan sejenis.
4. Teknik dan Prosedur Pemeriksaan
Hal-hal yang diuraikan pada bagian ini adalah bagaimana teknik
pemeriksaan dilakukan atas transaksi-transaksi yang terjadi. Pemba-
hasan pada teknik pemeriksaan ini dibahas dalam bab yang terpisah
pada bagian akhir modul ini.
Modul ini masih sangat terbatas dan jauh dari kata sempurna serta
belum bisa menampung semua varian transaksi yang ada dalam praktik
perusahaan grup. Oleh karena itu, modul ini masih perlu untuk dilengkapi
dan disempurnakan dengan modul-modul berikutnya.

vii
BAB 1
RESTRUKTURISASI USAHA

1.1 GAMBARAN UMUM TRANSAKSI


Secara sederhana restrukturisasi berasal dari kata re- dan struktur-
yang berarti penataan kembali (supaya struktur atau tatanannya baik). Se-
dangkan menurut beberapa ahli, restrukturisasi memiliki beberapa definisi.
Robbins (2006:77) dalam bukunya mengartikan restrukturisasi organisasi
sebagai sebuah proses redesain atau penataan ulang terhadap tatanan
birokrasi yang telah ada ketika terjadi dinamika pada lingkungan baik in-
ternal maupun eksternalnya maka birokrasi juga harus mengadaptasi
dinamika tersebut agar dapat berkembang. Sedangkan menurut Bra-
mantyo (2004), restrukturisasi adalah melakukan perubahan dalam tim
unit, manajemen, strategi atau masuknya teknologi baru dalam perus-
ahaan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan perusahaan dengan
melakukan penataan ulang terhadap bisnisnya dengan berbagai cara atau
bentuk. Dalam cakupan yang lebih luas, salah satu upaya yang sering dil-
akukan oleh pemilik perusahaan dalam ruang lingkup restrukturisasi ada-
lah dengan melakukan konversi aset yang dimiliki menjadi modal perus-
ahaan atau lazim disebut dengan inbreng. Dalam beberapa literatur, sebe-
lum kita masuk pada substansi di peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia, restrukturisasi memiliki banyak bentuk dan variasi.
Secara teori tentu saja akan kita temukan banyak variasi dan ben-
tuk-bentuk dari restrukturisasi usaha atau bisnis. Menurut Bernadin dan
Russel (1998) misalnya, terdapat delapan cara yang dapat dilakukan oleh
pelaku bisnis untuk melakukan restrukturisasi, yaitu downsizing, delayer-
ing, decentralizing, reorganization, cost reduction strategy, IT innovation,
competency measurement dan performance related pay. Di literatur lain,
terdapat beberapa bentuk dari restrukturisasi usaha, yaitu merger, akui-
sisi, take over, divestasi, leveraged buyout dan likuidasi. Sedangkan jika
ditilik lebih dekat di beberapa ketentuan perundang-undangan Indonesia,
maka akan ditemukan beberapa bentuk dari restrukturisasi usaha terse-
but. Di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (selanjutnya disebut UU Perseroan Terbatas) terdapat beberapa
contoh restrukturisasi usaha, antara lain penggabungan, peleburan,

1
pengambilalihan, dan pemisahan. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (selanjutnya disebut UU PPh) terdapat beberapa terminologi yang
dipakai, yaitu likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemeca-
han dan pengambilalihan usaha.
Bentuk-bentuk restrukturisasi usaha tersebut akan dijalankan oleh
pelaku bisnis sesuai dengan tujuan dan latar belakang masing-masing
pelaku bisnis tersebut. Bramantyo (2004) mengungkapkan bahwa salah
satu tujuan dari restrukturisasi usaha adalah memperbaiki dan meningkat-
kan kinerja perusahaan. Tujuan lain dari restrukturisasi menurut Goiullart
dan Kelly (1995:7) adalah menyiapkan organisasi untuk dapat mencapai
tingkat kompetisi yang diinginkan. Di dunia usaha, banyak sekali contoh
yang bisa dilihat terkait dengan restrukturisasi usaha dan tujuan di balik
restrukturisasi tersebut. Bank Mandiri adalah salah satu contoh sukses
dari restrukturisasi bisnis dalam hal ini merger atau penggabungan usaha.
Bank ini adalah hasil merger dari empat bank, yaitu Bank Ekspor Impor
Indonesia (Bank Exim), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya
(BBD), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang saat ini
menduduki peringkat kedua untuk bank dengan aset terbesar di Indonesia.
Di Indonesia, praktik restrukturisasi usaha semakin lazim digunakan.
Sebagai contoh, dari data KPPU dapat kita lihat bahwa jumlah perusahaan
yang melakukan merger dan akuisisi semakin meningkat dari tahun ke ta-
hun. Dari hanya 3 laporan merger dan/atau akuisisi di tahun 2010 menjadi
90 di tahun 2019. Hal ini tentu saja menunjukkan banyak hal, salah
satunya adalah semakin mudahnya melakukan restrukturisasi usaha.

1.2 KETENTUAN AKUNTANSI


Pada bagian ini, akan dibahas bagaimana standar akuntansi yang
berlaku serta contoh kasus dan bagaimana perusahaan melakukan pen-
catatan akibat restrukturisasi usaha secara berurutan yaitu likuidasi, peng-
gabungan usaha (akuisisi/pengambilalihan dan penyatuan kepemilikan),
peleburan dan pemecahan/pemekaran serta sekaligus inbreng.
● Likuidasi

Menurut KBBI, likuidasi adalah “Pembubaran perusahaan sebagai


badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor

2
dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham (pe-
sero)”.
Dari sudut pandang akuntansi, Standar Akuntansi Keuangan di In-
donesia belum secara detail mengatur tentang likuidasi usaha, sehingga
proses pencatatannya dilakukan berdasarkan standar akuntansi yang ber-
laku umum. Sesuai dengan Pasal 142 UU Perseroan Terbatas, likuidasi
adalah proses yang dilakukan setelah adanya pembubaran perseroan ka-
rena suatu hal, misalnya karena adanya pencabutan izin usaha
perseroan.
Secara umum, proses likuidasi akan melibatkan dua aktivitas utama,
pertama adalah realisasi kas, di mana terjadi konversi aktiva perusahaan
termasuk kepemilikan saham, obligasi, atau komoditas, serta aset lainnya
menjadi kas. Kedua adalah mendistribusikan hasil konversi sebelumnya
kepada kreditor sesuai urutannya dan distribusi selanjutnya adalah
kepada pemilik modal sesuai dengan jumlah kepemilikan mereka pada pe-
rusahaan.Tetapi perlu diingat bahwa sebelum proses ini dilakukan, maka
perusahaan harus menyesuaikan akun-akun terkait dan didapatkan saldo
akhir untuk dilakukan realisasi kas. Hal ini sesuai dan sejalan dengan UU
Perseroan Terbatas, bahwa proses likuidasi perusahaan menurut Pasal
149 ayat (1), kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta
kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi harus meliputi pelaksanaan:
a. pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;
b. pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indone-
sia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
c. pembayaran kepada para kreditor;
d. pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham;
dan
e. tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan
kekayaan.
Berikut contoh sederhana likuidasi. PT ABC dengan susunan
kepemilikan modal A (40%), B (40%) dan C (20%) akan melakukan proses
pembubaran usaha dan diikuti dengan proses likuidasi. Setelah me-
nyesuaikan rekening-rekening pembukuan dan akun terkait, PT ABC
melakukan proses realisasi kas dengan posisi aktiva terakhir adalah se-
bagai berikut:

3
Kas Rp 1 M
Piutang Dagang Rp 500 jt
Persediaan Rp 300 jt
Aktiva Tetap Rp 100 jt
Jurnal realisasi kasnya adalah sebagai berikut (piutang dagang):
Kas Rp 500 jt
Piutang Dagang Rp 500 jt
Apabila realisasi kas aktiva kurang dari nilai buku, maka kekurangan
tersebut akan dicatat sebagai pengurang modal perusahaan sesuai
dengan proporsi kepemilikan, begitu pula apabila sebaliknya apabila nilai
realisasi melebihi nilai buku maka kelebihan tersebut akan dicatat menam-
bah modal perusahaan. Dari transaksi inilah akan muncul adanya keun-
tungan yang akan menjadi objek pajak.
Kas Rp 400 jt
Modal A (kerugian) Rp 40 jt
Modal B (kerugian) Rp 40 jt
Modal C (kerugian) Rp 20 jt
Piutang dagang Rp 500 jt
Untuk aktiva lainnya, penjurnalannya tidak jauh berbeda dengan jurnal
pada piutang dagang tersebut.
Selanjutnya adalah proses distribusi terkait dengan realisasi kas
yang sudah dilakukan sebelumnya. PT ABC, selain memiliki aktiva se-
bagaimana di atas, juga memiliki Hutang dagang kepada PT BCA sebesar
Rp200 jt, maka jurnalnya adalah:
Hutang Dagang Rp 200 jt
Kas Rp 200 jt
Apabila setelah perusahaan melakukan pembayaran kepada kredi-
tur dan terdapat sisa kas, maka uang tersebut akan dibagi kepada pemilik
modal sesuai dengan proporsi kepemilikan. Misalnya, setelah melakukan
semua kewajiban PT ABC masih memiliki sisa uang kas Rp 1,7 M, maka
jurnalnya adalah sebagai berikut:
Modal Tn A Rp 680 jt
Modal Tn B Rp 680 jt
Modal Tn C Rp 340 jt
Kas Rp 1,7 M

4
Pada praktiknya memang akan banyak ditemui variasi-variasi kasus
yang berbeda antara satu dengan yang lain. Contohnya, bagaimana jika
jumlah kas yang terealisasi jumlahnya lebih sedikit daripada Hutang atau
kewajiban yang harus dibayar, sehingga menimbulkan defisit modal pada
pemilik modal. Pertanyaan selanjutnya bagaimana jika pemilik modal ada
yang tidak mampu untuk membayar defisit modal tersebut kepada perus-
ahaan, dan kasus-kasus lainnya yang lebih rumit. Untuk lebih memu-
dahkan dalam proses likuidasi, biasanya likuidator akan menggunakan
ikhtisar likuidasi untuk memudahkan proses likuidasi.
● Penggabungan (Business combination)

Menurut PSAK 22, Penggabungan Usaha (Business combination)


adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu
entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan (uniting with)
perusahaan lain atau memperoleh kendali (control) atas aktiva dan operasi
perusahaan lain. Penggabungan usaha merupakan konsep umum yang
mencakup semua bentuk kombinasi perusahaan yang semula terpisah.
Jenis-jenis penggabungan usaha antara lain bisa berupa akuisisi atau
penyatuan kepemilikan menurut PSAK yang sama. Selanjutnya, dalam
modul ini akan dibahas standar akuntansi atas akuisisi dan penyatuan
kepemilikan.
a. Akuisisi
Secara istilah, akuisisi (Acquisition) atau disebut juga dengan
pengambilalihan adalah suatu penggabungan usaha dimana salah
satu perusahaan, yaitu pengakuisisi (acquirer) memperoleh kendali
atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi (acquiree),
dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau
mengeluarkan saham. Perusahaan dianggap mengakuisisi perus-
ahaan lain, apabila perusahaan tersebut memiliki pengendalian (con-
trol) di atas 50%. Metode yang digunakan dalam aktivitas ini adalah
metode pembelian dengan menggunakan cost method atau biaya
perolehan yang digunakan sebagai dasar pencatatan. Perusahaan
yang melakukan akuisisi mencatat semua biaya yang muncul serta
melaporkan hasil usaha perusahaan yang diakuisisi dalam laporan
laba rugi, serta melaporkan aktiva dan kewajiban perusahaan yang
diakuisisi termasuk goodwill atau badwill yang timbul akibat dari akui-
sisi tersebut.

5
Di bawah ini ilustrasi pencatatan akuntansi untuk akuisisi.
Kondisi Neraca PT. DEF per 31 Desember 2019 adalah sebagai beri-
kut:
Aktiva, Kewajiban dan Ekui- Nilai Buku Nilai Wajar
tas
Kas 45.000.000 45.000.000
Persediaan 65.000.000 75.000.000
Tanah 40.000.000 70.000.000
Bangunan dan Peralatan 400.000.000 350.000.000
Akumulasi Penyusutan (150.000.000)
Paten 80.000.000
Total Aktiva 400.000.000 620.000.000

Kewajiban Lancar 100.000.000 110.000.000


Saham Biasa (Rp 5.000 par) 100.000.000
Tambahan modal 50.000.000
Laba ditahan 150.000.000
Total Kewajiban dan Ekuitas 400.000.000
Nilai Wajar aktiva bersih 510.000.000

PT GHI melakukan pembelian atas seluruh saham PT DEF dengan


menerbitkan saham ke PT DEF 10.000 saham Rp10.000 par saham
biasa, dengan harga pasar Rp600.000.000. PT GHI mengeluarkan
biaya legal dan administrasi sebesar Rp40.000.000 dan biaya pen-
erbitan saham Rp25.000.000.
Maka pencatatan akuntansi yang akan dilakukan oleh PT GHI adalah
sebagai berikut:
Investasi di PT DEF 640.000.000
Saham biasa 100.000.000
Tambahan modal 475.000.000
Biaya legal dan administrasi 40.000.000
Biaya Penerbitan saham 25.000.000
Jika PT GHI melakukan pembelian dengan menggunakan uang kas
sebesar Rp640.000.000, maka jurnal yang akan dicatat oleh PT GHI
adalah sebagai berikut:

6
Investasi di PT DEF 640.000.000
Kas 640.000.000
Bagaimana jika pembelian yang dilakukan oleh PT GHI adalah pem-
belian terhadap aktiva bersih PT DEF? Dengan menggunakan data
yang sama, pencatatan yang akan dilakukan oleh PT GHI adalah se-
bagai berikut:
Biaya legal dan administrasi yg ditangguhkan 40.000.000
Kas 40.000.000
Biaya penerbitan saham yg ditangguhkan 25.000.000
Kas 25.000.000
Kedua jurnal ini muncul ketika PT GHI mengeluarkan biaya untuk
pembelian aktiva bersih PT DEF, munculnya akun biaya ditangguhkan
karena perusahaan telah mengeluarkan biaya di awal, tetapi transaksi
akuisisi perusahaan belum dilakukan sehingga perusahaan akan
mengakui sebagai aktiva dan akan diamortisasi ketika kombinasi
usaha dilakukan.
Pada tanggal akuisisi, PT GHI akan mencatat jurnal sebagai berikut:
Kas 45.000.000
Persediaan 75.000.000
Tanah 70.000.000
Bangunan dan Peralatan 350.000.000
Paten 80.000.000
Goodwill 130.000.000
Kewajiban lancar 110.000.000
Saham Biasa 100.000.000
Tambahan modal 475.000.000
Biaya legal yg ditangguhkan 40.000.000
Biaya penerbitan saham yg ditangguhkan 25.000.000
Perbedaan antara nilai wajar dan biaya yang dikeluarkan untuk akui-
sisi dicatat sebagai goodwill atau badwill, goodwill jika biaya yang
dikeluarkan lebih besar daripada nilai wajar dan begitu pula se-
baliknya. Sebaliknya, PT DEF sebagai perusahaan yang diakuisisi
akan mencatat jurnal sebagai berikut:
Investasi di PT GHI 600.000.000
Kewajiban lancar 100.000.000

7
Akumulasi Penyusutan 150.000.000
Kas 45.000.000
Persediaan 65.000.000
Tanah 40.000.000
Gedung dan Peralatan 400.000.000
Keuntungan penjualan aktiva 300.000.000
Perbedaan mendasar antara PT GHI dan PT DEF adalah, PT GHI
mencatat sebesar nilai wajar/pasar, sedangkan PT DEF mencatat
transaksi sebesar nilai buku tercatat.
Selanjutnya PT DEF mencatat nilai wajar atas saham PT GHI pada
saat transaksi dan mencatat keuntungan sebesar Rp300.000.000.
Kemudian PT DEF akan melakukan pencatatan sebagai berikut:
Saham Biasa 100.000.000
Tambahan modal 50.000.000
RE 150.000.000
Keuntungan penjualan 300.000.000
Investasi di PT GHI 600.000.000
Dalam kasus ini, saham yang ditawarkan kepada PT DEF (10.000 sa-
ham par 10.000) jumlahnya minoritas dibandingkan dengan saham
yang telah diterbitkan PT GHI, sehingga investasi yang dimiliki PT
DEF di PT GHI masih minoritas. Hal ini perlu dicatat jika saham yang
ditawarkan oleh PT GHI signifikan jumlahnya, maka bisa saja
transaksi yang dilakukan adalah penyatuan kepemilikan bukan akui-
sisi. Pada contoh berikutnya, transaksi yang dilakukan adalah pen-
yatuan kepemilikan karena saham yang ditawarkan sebesar 50%.
b. Penyatuan Kepemilikan
Berbeda dengan akuisisi yang menggunakan metode pembelian da-
lam pencatatan, maka pada penyatuan kepemilikan yang digunakan
adalah metode penyatuan kepemilikan. Pada metode ini beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. semua aktiva dan kewajiban milik perusahaan yang bergabung
dinilai pada nilai buku saat diadakan penggabungan;
2. besarnya nilai investasi pada perusahaan yang bergabung sebe-
sar jumlah modal perusahaan yang digabung atau sebesar aktiva
bersih perusahaan yang digabung;

8
3. bila terjadi selisih antara jumlah yang dibukukan sebagai modal
saham yang diterbitkan ditambah kompensasi pembelian lainnya
dalam bentuk kas ataupun aktiva lainnya dengan jumlah aktiva
bersih yang diperoleh, maka harus diadakan penyesuaian ter-
hadap modal perusahaan yang akan digabung;
4. laporan keuangan gabungan adalah penjumlahan dari laporan
keuangan milik perusahaan yang bergabung.
Pada metode ini, tidak ada pihak yang diidentifikasi sebagai pengakui-
sisi (aquirer) dan para pihak memikul bersama segala risiko dan
manfaat yang melekat pada entitas gabungan.
Berikut ini akan disajikan contoh penyatuan kepemilikan antara
dua perusahaan.
Dua buah perusahaan, PT B dan PT S, akan melakukan penggabun-
gan usaha dengan posisi neraca kedua perusahaan (dalam rupiah)
adalah sebagai berikut.
Akun PT B PT S
Kas 25.000.000 15.000.000
Piutang 35.000.000 25.000.000
Persediaan 40.000.000 40.000.000
Aktiva Tetap 80.000.000 60.000.000
Aktiva Lain-lain 20.000.000 10.000.000
Total Aktiva 200.000.000 150.000.000

Hutang Dagang 15.000.000 20.000.000


Hutang Bank 25.000.000 30.000.000
Total Hutang 40.000.000 50.000.000

Saham Biasa (@10.000) 100.000.000 50.000.000


Agio Saham 10.000.000 20.000.000
Laba Ditahan 50.000.000 30.000.000
Total Modal 160.000.000 100.000.000
Total Hutang & Modal 200.000.000 150.000.000
PT B akan mengganti aktiva bersih PT S. Untuk itu PT B mengeluar-
kan 5.000 lembar sahamnya untuk mengganti aktiva bersih milik PT
S. Dalam kasus ini, 5.000 lembar saham PT B diserahkan kepada PT
S sehingga jurnal yang harus dibuat oleh PT B pada saat pengeluaran
saham tersebut adalah sebagai berikut:

9
Investasi pada PT S Rp 100.000.000
Modal Saham Rp 50.000.000
Agio Saham Rp 20.000.000
Laba yang ditahan Rp 30.000.000
(Jurnal untuk mencatat pengeluaran 5.000 lembar saham nominal @
Rp10.000 kepada PT S), yang dimaksud aktiva bersih adalah total ak-
tiva dikurangi total hutang. Setelah adanya jurnal ini, maka pada ekui-
tas PT B akan bertambah sesuai dengan jurnal tersebut.
Setelah itu, PT B akan mencatat pemindahan aset dan hutang PT S,
yaitu:
Kas 15.000.000
Piutang 25.000.000
Persediaan 40.000.000
Aktiva Tetap 60.000.000
Aktiva lain-lain 10.000.000
Hutang Dagang 20.000.000
Hutang Bank 30.000.000
Investasi pada PT S 100.000.000
PT S akan membuat jurnal atas pemindahan aktiva, kewajiban dan
modal, yaitu:
Hutang Dagang 20.000.000
Hutang Bank 30.000.000
Saham Biasa 50.000.000
Agio Saham 20.000.000
Laba Ditahan 30.000.000
Kas 15.000.000
Piutang 25.000.000
Persediaan 40.000.000
Aktiva Tetap 60.000.000
Aktiva Lain-lain 10.000.000
Atas jurnal-jurnal tersebut, nantinya akan dibuat neraca gabungan an-
tara PT B dengan PT S yang dalam hal ini dibuat oleh PT B.
● Peleburan

Menurut UU Perseroan Terbatas, Peleburan adalah perbuatan hukum


yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri

10
dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum mem-
peroleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status
badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Secara akuntansi, peleburan usaha tidak diatur secara khusus karena
pada dasarnya konsep dari peleburan usaha termasuk dalam konsep
penggabungan usaha yang diatur dalam PSAK 22. Dalam PSAK tersebut
disebutkan bahwa Penggabungan usaha (business combination) dapat
mengakibatkan terjadinya legal merger, yang salah satunya merupakan
bentuk dari peleburan usaha (konsolidasi). Suatu legal merger biasanya
merupakan merger dua badan usaha melalui salah satu cara berikut:
Aktiva dan kewajiban dari dua atau lebih perusahaan dialihkan ke pe-
rusahaan baru dan kedua perusahaan yang melakukan pengalihan
tersebut dibubarkan.
Sebagai contoh, PT B dan PT S pada contoh sebelumnya, akan
melakukan legal merger (peleburan) dengan mengalihkan aktiva dan hu-
tang kepada perusahaan baru, yaitu PT Y kemudian kedua perusahaan
tersebut akan membubarkan diri atau dilakukan likuidasi. Maka jurnal yang
akan dicatat oleh PT B, PT S, dan PT Y adalah sebagai berikut.
PT B akan melakukan pencatatan:
Saham Biasa 100.000.000
Agio Saham 10.000.000
Laba Ditahan 50.000.000
Hutang Dagang 15.000.000
Hutang Bank 25.000.000
Kas 25.000.000
Piutang 35.000.000
Persediaan 40.000.000
Aktiva Tetap 80.000.000
Aktiva Lain-lain 20.000.000
Untuk PT S, pencatatan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan
yang dilakukan oleh PT B, yaitu mencatat pemindahan semua aktiva dan
kewajiban termasuk ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Se-
dangkan PT Y sebagai perusahaan baru yang dibentuk atas merger atau
peleburan PT B dan Y akan mencatat sesuai dengan nilai buku/nilai pasar
yang dicatat oleh kedua perusahaan tersebut.

11
● Pemekaran/Pemecahan

Pemekaran usaha adalah pemisahan satu badan usaha menjadi dua


badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru terse-
but yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
Secara akuntansi, pemekaran/pemecahan usaha tidak diatur secara khu-
sus dalam PSAK tertentu, sehingga prinsip-prinsip akuntansi umum yang
digunakan dalam proses ini. Sebagai contoh, PT B memiliki cabang di
Kota Balikpapan yang selama ini hanya bertindak sebagai gudang, karena
pertimbangan bisnis, PT B akan melakukan pemekaran usaha dengan
membentuk perusahaan baru di kota tersebut. PT B mengalihkan seba-
gian aset yang dimilikinya ke PT C (perusahaan baru). Sebagian aset ter-
sebut antara lain:
Kas 10.000.000
Aktiva Tetap 5.000.000
Aktiva lain-lain 5.000.000

PT B akan mencatat transaksi tersebut dengan jurnal:


Investasi di PT C 20.000.000
Kas 10.000.000
Aktiva Tetap 5.000.000
Aktiva Lain-lain 5.000.000

Sedangkan PT C akan mencatat:


Kas 10.000.000
Aktiva Tetap 5.000.000
Aktiva Lain-lain 5.000.000
Modal PT B 20.000.000

● Inbreng

Secara akuntansi, inbreng tidak diatur secara khusus karena pada da-
sarnya inbreng merupakan setoran modal yang dilakukan oleh pemegang
saham baik dalam bentuk aktiva tetap maupun aktiva lainnya. Selanjutnya,
aktiva yang disetorkan tersebut harus diperhitungkan dengan sejumlah sa-
ham. Sebagai contoh, Bapak A sebagai pemegang saham di perusahaan
PT X, mengalihkan sebidang tanah dengan nilai sebesar

12
Rp1.000.000.000, maka atas setoran tersebut, PT X akan menerbitkan sa-
ham senilai Rp1.000.000.000 dan mencatat transaksi tersebut dengan
jurnal sebagai berikut: Tuan X menyetorkan aktiva berupa tanah senilai
Rp1.000.000.000 sebagai setoran modal ke perusahaan, maka perus-
ahaan akan mencatat aktiva sekaligus memperhitungkannya dengan
sejumlah saham (misalnya 10.000 lembar saham @10.000) maka jurnal
yang akan dibuat adalah:
Aktiva Rp 1.000.000.000
Saham Rp 1.000.000.000
Tentu saja atas transaksi tersebut harus dibuat akta sebagaimana
dimaksud dalam UU Perseroan Terbatas. Terkait perlakuan perpajakan,
akan dibahas lebih lanjut pada subbagian aspek perpajakan. Dalam in-
breng juga dikenal konsep agio atau disagio apabila nilai aktiva yang di-
catat, berbeda dengan jumlah nilai par saham yang diterbitkan. Sebagai
contoh, Tuan X menyerahkan aktiva berupa mesin pabrik dan sebagai
gantinya perusahaan mengeluarkan saham (10.000 nilai par @10.000),
pada saat itu nilai pasar saham adalah Rp12.000, maka jurnal yang akan
dicatat oleh perusahaan adalah:
Mesin Pabrik 120.000.000 (10.000 @12.000)
Saham Biasa 100.000.000
Agio Saham 20.000.000

1.3 KETENTUAN PERPAJAKAN


Selanjutnya akan dibahas aspek perpajakan dalam ruang lingkup
restrukturisasi, termasuk juga aspek perpajakan akibat disahkannya Un-
dang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya
disebut UU Cipta Kerja). Jika kita membahas tentang restrukturisasi, maka
aspek penting yang akan menjadi perhatian adalah nilai aktiva yang diali-
hkan oleh perusahaan/orang pribadi pemilik aktiva kepada entitas lain.
Mengingat dalam Pasal 10 ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa nilai
perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilali-
han usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima ber-
dasarkan harga pasar, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Se-
hingga secara prinsip, pada saat terjadi pengalihan harta, penilaian harta
yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar/nilai wajar dan bukan
berdasarkan nilai buku.

13
Restrukturisasi usaha, terutama akuisisi atau pengambilalihan
usaha juga terkait dengan ada atau tidaknya hubungan istimewa. Jika ter-
dapat hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) UU PPh maka harga perolehan atau penjualan jika terjadi jual beli harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima. Sementara itu,
jika tidak terdapat hubungan istimewa, harga perolehan atau harga
penjualan yang digunakan adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan
atau diterima.
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf d
butir 3 UU PPh, atas keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta
termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apapun maka merupakan objek PPh.
Oleh karena itu, objek pajak akan muncul pada saat Wajib Pajak
menggunakan harga pasar dalam proses restrukturisasi usaha. Namun
apabila Wajib Pajak menggunakan nilai buku, maka objek pajak atas ke-
untungan tidak akan ada tetapi dimungkinkan muncul objek pajak yang
lain, misalnya PPh atas pengalihan tanah dan/atau bangunan, dan/atau
PPN atas pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk di-
perjualbelikan, serta PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak. Selain itu,
hal yang perlu diperhatikan adalah perlakuan pemeriksaan pajak pada ta-
hun-tahun sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan usaha.
Sesuai dengan SE-29/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai
Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan,
atau Pemekaran Usaha yaitu pada angka 16 menyatakan bahwa apabila
setelah penggabungan atau peleburan usaha dilakukan pemeriksaan pa-
jak terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta menyangkut
tahun-tahun pajak sebelum tahun terjadinya penggabungan atau
peleburan usaha, maka surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan pajak ter-
sebut serta tindakan penagihan dan/atau restitusinya diterbitkan atas
nama dan NPWP badan usaha lama yang melakukan pengalihan harta
q.q nama dan NPWP badan usaha baru yang menerima pengalihan harta.
Selanjutnya, untuk memberikan pemahaman yang lebih kompre-
hensif terkait dengan aspek perpajakan dalam konteks restrukturisasi,
berikut akan dibahas aspek perpajakan untuk masing-masing bentuk re-
strukturisasi sesuai dengan ketentuan perpajakan.

14
1. Pengambilalihan Usaha
Sebagaimana telah dibahas dalam perlakuan akuntansi di atas,
bahwa dalam proses pengambilalihan usaha atau akuisisi, dimungkinkan
adanya selisih antara nilai buku dengan nilai wajar. Keuntungan atas
selisih tersebut merupakan objek PPh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh. Sebagai contoh, dalam kasus PT DEF
dan PT GHI di atas, PT DEF memperoleh keuntungan dari selisih nilai
buku dengan nilai wajar yang dibayarkan oleh PT GHI sebesar
Rp300.000.000 sehingga nilai ini merupakan objek PPh. Akan tetapi perlu
diingat, bahwa objek PPh yang muncul adalah berasal dari catatan Wajib
Pajak atau dengan kata lain masih berdasarkan penghitungan komersial,
sehingga masih perlu dilakukan penghitungan dan pengujian lebih lanjut
terkait dengan keuntungan atau kerugian fiskalnya. Berdasarkan Pasal 11
ayat (8) UU PPh, maka untuk menentukan jumlah keuntungan atau keru-
gian dalam pengalihan harta berwujud, diperlukan penghitungan selisih
antara jumlah nilai sisa buku harta tersebut dengan jumlah harga jual yang
diterima, yang nantinya akan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian
atas pengalihan aktiva. Hal ini tentu saja harus memperhatikan tarif
penyusutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya
menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009 ten-
tang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk dalam Kelompok Harta Berwujud
Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan. Karena dalam praktik,
dimungkinkan Wajib Pajak menggunakan metode dan tarif yang berbeda
dengan peraturan yang diperbolehkan.

Dalam proses akuisisi atau pengambilalihan usaha juga dimung-


kinkan munculnya goodwill atau bargain purchase sebagaimana disebut-
kan dalam PSAK 22. Perlakuan perpajakan atas kedua akun tersebut
menarik untuk dibahas karena tidak semua Wajib Pajak maupun petugas
pajak memahami akan hal tersebut. Goodwill sesuai dengan PSAK 22
merupakan selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian (interest) pe-
rusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aktiva dan kewajiban yang dapat
diidentifikasi pada tanggal dan disajikan sebagai aktiva yang nantinya
akan diamortisasi sesuai dengan ketentuan, misalnya harus
menggunakan metode garis lurus dan tidak boleh diamortisasikan lebih
dari 20 tahun. Sedangkan menurut Pasal 6 UU PPh, amortisasi sesuai
dengan Pasal 11 dan Pasal 11A dapat dikurangkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak, atau dengan kata lain amortisasi goodwill

15
dimungkinkan untuk dikurangkan atau diperlakukan sebagai biaya terma-
suk di dalamnya adalah amortisasi goodwill sebagaimana diatur dalam
Pasal 11A UU PPh. Pasal tersebut mengatur bahwa amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama
besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran
tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamor-
tisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Selanjutnya, bagaimana perlakuan pajak atas bargain purchase
atau goodwill negatif? Berdasarkan PSAK 22, goodwill negatif diperla-
kukan sebagai pendapatan ditangguhkan (deferred income) dan diakui se-
bagai pendapatan secara sistematis selama suatu periode yang tidak ku-
rang dari 20 tahun, sehingga dimungkinkan untuk dikenakan PPh. Karena
sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU PPh penghasilan adalah setiap tamba-
han kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipa-
kai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Selain itu, PT DEF juga dikenakan PPh Final terhadap pengalihan
hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No-
mor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pen-
galihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (selan-
jutnya disebut PP 34 Tahun 2016) sebesar 2,5% dari nilai yang lebih tinggi
antara NJOP dengan harga transaksi wajar. Selanjutnya, PT GHI sebagai
pihak yang melakukan akuisisi, akan dikenakan BPHTB atas perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai akibat dari transaksi tersebut.
Terkait dengan aspek pajak PPN, sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 ten-
tang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU PPN) yaitu dalam Pasal 1A ayat
(2) huruf d, pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,

16
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta
pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti sa-
ham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang
menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak tidak termasuk da-
lam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, sehingga tidak ada PPN
yang harus dipungut, asalkan memenuhi syarat yaitu pihak-pihak terkait
merupakan Pengusaha Kena Pajak. Selain itu, Pajak Masukan atas ba-
rang yang dialihkan dimungkinkan untuk dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menerima barang tersebut, sepanjang Faktur Pajaknya
diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum
dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi sesuai dengan Pasal 9 ayat
(14) UU PPN.
Objek PPh sebagaimana di atas juga bisa menjadi tidak ada jika
Wajib Pajak dalam proses pengambilalihan usaha menggunakan nilai
buku, sebagaimana diatur dalam PMK-205/PMK.010/2018 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam
Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan
Usaha (selanjutnya disebut dengan PMK-205/PMK.010/2018), karena
tidak ada selisih nilai yang muncul di antara pihak yang menyerahkan dan
menerima aktiva. Syarat untuk dapat menggunakan nilai buku, yaitu:
 penggabungan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang men-
jalankan kegiatan di bidang usaha bank dengan Wajib Pajak badan
dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara
mengalihkan seluruh atau sebagian harta dan kewajiban Bentuk
Usaha Tetap kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang modal-
nya terbagi atas saham dan membubarkan Bentuk Usaha Tetap
tersebut;
 permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta;
 dilengkapi dengan surat pernyataan yang mengemukakan alasan
dan tujuan pengambilalihan usaha;
 surat pernyataan yang menerangkan bahwa pengambilalihan
usaha yang dilakukan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (busi-
ness purpose test);
 surat keterangan fiskal dari Direktur Jenderal Pajak.

17
2. Likuidasi
Pada praktiknya, perusahaan dapat melakukan likuidasi karena be-
berapa hal seperti yang disebutkan dalam UU Perseroan Terbatas, yang
antara lain karena keputusan RUPS, dibubarkan atas penetapan penga-
dilan, dan lain-lain. Selanjutnya dalam proses likuidasi, tahap pertama
sebelum distribusi ke pemegang saham adalah tahap realisasi kas, di-
mana aktiva yang dimiliki oleh perusahaan akan dikonversi menjadi kas.
Pada tahap ini, dimungkinkan munculnya objek pajak baik PPh maupun
PPN. Objek PPh akan muncul apabila kas yang diterima lebih besar dari
nilai buku aktiva yang dikonversi tersebut, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh. Objek lain yang
mungkin muncul adalah dividen sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf g
UU PPh, yaitu pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah
modal yang disetor. Oleh karena itu, apabila terdapat pembayaran kembali
kepada pemegang saham yang dilakukan oleh perusahaan pada saat
likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor, maka dipotong PPh
Pasal 23 atau PPh Pasal 26. Selain itu, karena dalam proses realisasi kas
dimungkinkan mucul transaksi berupa pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, maka PPh pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebesar 2,5 % juga harus dibayar oleh pihak yang mengalihkan.
Sementara terkait PPN, sesuai dengan Pasal 1A ayat (1) huruf e UU
PPN, Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan termasuk dalam pengertian penye-
rahan Barang Kena Pajak sehingga dikenakan PPN. Akan tetapi, untuk
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, maka
tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.
Sesuai dengan perubahan UU PPN terbaru, yaitu di Pasal 112 UU
Cipta Kerja, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
“Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak
pengkreditan pertama kali Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak belum
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait
dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan

18
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikredit-
kan”. Ketentuan ini berlaku termasuk bagi PKP yang melakukan pembu-
baran usaha.
Selanjutnya, atas perusahaan yang tidak lagi memenuhi persyara-
tan subjektif dan objektif sebagai WP karena proses likuidasi harus
mengajukan permohonan penghapusan NPWP sebagaimana diatur da-
lam PMK-147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak
dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pen-
cabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Dalam PMK tersebut
(Pasal 30 dst) disebutkan bahwa proses penghapusan NPWP untuk WP
badan dilakukan paling lama 12 bulan dan harus memenuhi beberapa
syarat antara lain:
- tidak memiliki utang pajak;
- tidak sedang dilakukan pemeriksaan, penyidikan, atau penuntutan;
- tidak sedang dalam proses APA dan/atau MAP;
- seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan
- tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang
perpajakan.
Aspek perpajakan lain yang menarik dan perlu diperhatikan dalam
proses likuidasi adalah, apakah Wajib Pajak yang melakukan memiliki
utang pajak atau tidak. Karena sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Un-
dang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya
disebut UU KUP), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila ter-
dapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memin-
dahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya. Apabila diketahui kondisi se-
bagaimana disebutkan di atas, DJP dapat melakukan tindakan penagihan
seketika dan sekaligus tanpa melalui proses penagihan pajak dengan Su-
rat Paksa. Selain itu, sesuai dengan Pasal 21 UU KUP atas utang pajak
yang dimiliki oleh WP yang melakukan likuidasi Negara mempunyai hak
mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pa-
jak.

19
3. Penggabungan Usaha
Yang dimaksud dengan penggabungan usaha adalah penggabun-
gan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas
saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan
usaha.
Berikut ini ilustrasi penggabungan usaha.

Pada praktiknya, penggabungan usaha ini bisa dilakukan dengan


skema penggabungan ke induk perusahaan (upstream), ke anak perus-
ahaan (downstream) atau dengan skema horizontal. Perbedaannya hanya
pada perusahaan yang mengalihkan aktiva dan yang menerima aktiva,
apakah merupakan perusahaan induk, anak ataupun perusahaan yang
setara tingkatannya, tetapi termasuk dalam suatu grup usaha.
Konsekuensi perpajakan atas proses penggabungan usaha ini,
apapun skemanya, adalah adanya pengalihan aktiva dari satu perusahaan
ke perusahaan lain. Setidaknya akan muncul berbagai macam implikasi
perpajakan antara lain PPN, PPh Final 4 ayat 2, dan BPHTB, serta PPh
atas keuntungan selisih aktiva.
Akan tetapi, tidak semua konsekuensi perpajakan tersebut di atas
akan muncul apabila Wajib Pajak menggunakan nilai buku dalam proses
penggabungan usaha tersebut. Karena sesuai dengan Pasal 2 PMK-205
/PMK.010/2018 disebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Wajib
Pajak dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha,
setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal
Wajib Pajak ingin menggunakan nilai buku dalam rangka penggabungan,
maka WP harus memenuhi ketentuan dalam PMK tersebut, yaitu:
- penggabungan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak badan dalam
negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan
seluruh harta dan kewajiban kepada salah satu Wajib Pajak badan
yang tidak mempunyai sisa kerugian fiskal atau mempunyai sisa ke-
rugian fiskal yang lebih kecil dan membubarkan Wajib Pajak badan
yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut; atau
- penggabungan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat
kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri

20
yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mengalihkan se-
luruh harta dan kewajiban badan hukum yang didirikan atau ber-
tempat kedudukan di luar negeri kepada Wajib Pajak badan dalam
negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan badan
hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang
mengalihkan harta dan kewajiban tersebut
- permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta;
- dilengkapi dengan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan
tujuan pengambilalihan usaha;
- surat pernyataan yang menerangkan bahwa pengambilalihan usaha
yang dilakukan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business pur-
pose test);
- surat keterangan fiskal dari Direktur Jenderal Pajak.
Dengan menggunakan nilai buku, maka tidak akan ada selisih antara
nilai yang dicatat oleh pihak yang mengalihkan dengan pihak yang
menerima. Selain itu, beberapa konsekuensi lain yang akan muncul apa-
bila nilai buku digunakan antara lain:
a) apabila sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan usaha,
antara badan usaha yang mengalihkan harta (transferor company)
dan badan usaha yang menerima pengalihan harta (acquiring com-
pany) satu sama lain mempunyai hubungan utang-piutang, maka
tidak ada penghasilan maupun biaya yang timbul sebagai akibat
kompensasi timbal-balik (offset) atau utang-piutang tersebut;
b) tahun pajak terakhir bagi badan usaha melakukan pengalihan harta
akan berakhir pada tanggal berlakunya penggabungan atau
peleburan usaha.
Dalam suatu penggabungan atau peleburan usaha yang memenuhi
persyaratan, hak dan kewajiban perpajakan badan usaha yang melakukan
pengalihan harta (trasferor company) umumnya akan dilimpahkan kepada
badan usaha yang menerima pengalihan harta (acquiring company). Wa-
laupun penggunaan nilai buku memungkinkan tidak adanya objek PPh
yaitu keuntungan atas selisih aktiva dan terlihat lebih menguntungkan bagi
Wajib Pajak, penggunaan harga pasar juga memberikan keuntungan bagi
Wajib Pajak apabila terdapat goodwill yang muncul akibat proses tersebut.
Hal ini karena goodwill akan diakui sebagai aktiva tidak berwujud dan
dapat diamortisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, dimungkinkan tidak ada PPh Final atas pengalihan
Tanah dan/ atau Bangunan yang terutang, karena dalam Pasal 6 huruf e

21
PP 34 Tahun 2016 disebutkan bahwa dikecualikan dari kewajiban pem-
bayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud da-
lam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (3) adalah badan yang melakukan
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka peng-
gabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Men-
teri Keuangan untuk menggunakan nilai buku.
Selain itu, proses pengalihan aktiva dalam penggabungan usaha
juga bukan penyerahan Barang Kena Pajak sesuai dengan Pasal 1A ayat
(2) huruf d UU PPN. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pengalihan Ba-
rang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena
Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pen-
gusaha Kena Pajak tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak. Aspek PPN lainnya diatur dalam Pasal 9 ayat (14) UU PPN
yang menyatakan: “Dalam hal terjadi penggalihan Barang Kena Pajak da-
lam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang di-
alihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menga-
lihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pen-
galihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya penga-
lihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi”.
4. Peleburan Usaha
Peleburan usaha adalah proses dimana dua atau lebih Wajib Pajak
Badan yang modalnya terbagi atas saham melebur dengan cara mendiri-
kan badan usaha baru.

Seperti pada proses restrukturisasi usaha yang lain, maka akan


terjadi proses pengalihan aktiva dan kewajiban perusahaan yang lama ke
perusahaan atau badan hukum yang baru. Proses ini mempunyai implikasi
perpajakan seperti pada proses restrukturisasi yang lain, yaitu objek PPh
atas selisih nilai buku dengan harga pasar/wajar, PPh final atas penga-
lihan hak tanah dan/atau bangunan jika aktiva yang dialihkan merupakan
tanah dan/atau bangunan, serta BPHTB atas penerimaan hak tersebut
serta Pajak Pertambahan Nilai.

22
Akan tetapi implikasi perpajakan sebagaimana disebutkan di atas
bisa saja menjadi tidak ada, jika Wajib Pajak menggunakan nilai buku
pada saat proses peleburan usaha tersebut. Penggunaan nilai buku ini di-
atur dalam PMK-205/PMK.010/2018, dimana peleburan yang dapat
menggunakan nilai buku adalah:
- peleburan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri
yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan
usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan
kewajiban kepada Wajib Pajak badan baru serta membubarkan Wajib
Pajak badan yang melebur tersebut; atau
- peleburan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat
kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri
yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mendirikan badan
usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan
kewajiban kepada badan usaha baru serta membubarkan badan
hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dan
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melebur tersebut;
- permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta;
- dilengkapi dengan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan
tujuan pengambilalihan usaha;
- surat pernyataan yang menerangkan bahwa pengambilalihan usaha
yang dilakukan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business pur-
pose test);
- surat keterangan fiskal dari Direktur Jenderal Pajak.
Apabila menggunakan nilai buku, maka tidak akan ada selisih nilai
yang dicatat antara perusahaan yang lama dengan perusahaan yang baru,
sehingga potensi PPh atas selisih menjadi tidak ada. Selain itu, dalam
proses peleburan usaha juga tidak ada implikasi PPN karena sesuai
dengan Pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN, pengalihan aktiva dalam
peleburan usaha tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak. Aspek PPN lainnya diatur dalam Pasal 9 ayat (14) UU PPN
yang menyatakan: “Dalam hal terjadi penggalihan Barang Kena Pajak da-
lam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang di-
alihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menga-
lihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pen-

23
galihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya penga-
lihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau
dikapitalisasi”. Selain itu, dimungkinkan tidak ada PPh Final atas penga-
lihan tanah dan/atau bangunan yang terutang sesuai dengan Pasal 6 huruf
e PP 34 Tahun 2016.
5. Pemekaran Usaha
Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan
yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan seba-
gian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut tanpa
melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Implikasi perpajakannya tetap sama dengan proses restrukturisasi


usaha yang lain (penggabungan maupun peleburan usaha), yaitu objek
PPh atas selisih nilai buku dengan harga pasar/wajar, PPh final atas pen-
galihan hak tanah dan atau bangunan jika aktiva yang dialihkan merupa-
kan tanah dan/atau bangunan, serta BPHTB atas penerimaan hak terse-
but. Implikasi perpajakan bisa saja menjadi tidak ada, jika WP
menggunakan nilai buku pada saat proses pemekaran usaha.
Penggunaan nilai buku ini diatur dalam PMK-205/PMK.010/2018.
Pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu:
- pemisahan satu Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya
terbagi atas saham menjadi 2 (dua) Wajib Pajak badan dalam negeri
atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan menga-
lihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru terse-
but yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi usaha yang lama;
- permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang mengalihkan harta;
- dilengkapi dengan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan
tujuan pengambilalihan usaha;
- surat pernyataan yang menerangkan bahwa pengambilalihan usaha
yang dilakukan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business pur-
pose test);
- surat keterangan fiskal dari Direktur Jenderal Pajak.
Selanjutnya diatur lebih detail, perusahaan seperti apa yang dapat
menggunakan nilai buku dalam proses pemekaran usaha, yaitu:

24
a) Wajib Pajak yang belum Go Public yang bermaksud melakukan pena-
waran umum perdana (Initial Public Offering);
b) Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha
hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering);
c) Wajib Pajak badan yang melakukan pemisahan unit usaha syariah
dalam rangka menjalankan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d) Wajib Pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil
pemekaran mendapatkan tambahan modal dari penanam modal as-
ing paling sedikit Rp 500. 000.000. 000,00 (lima ratus miliar rupiah);
dan
e) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan
penyertaan modal Negara Republik Indonesia sepanjang pemekaran
dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk Badan Usaha Milik
Negara (holding).
Dengan menggunakan nilai buku, sama halnya dengan peleburan
usaha, maka tidak akan ada selisih nilai yang dicatat antara perusahaan
yang lama dengan perusahaan yang baru, sehingga potensi PPh atas
selisih menjadi tidak ada. Selain itu, dalam proses pemekaran usaha juga
tidak ada implikasi PPN karena sesuai dengan Pasal 1A ayat 2 huruf d UU
PPN, pengalihan aktiva dalam rangka pemekaran usaha tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Aspek PPN lainnya di-
atur dalam Pasal 9 ayat (14) UU PPN yang menyatakan: “Dalam hal ter-
jadi penggalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak
Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pa-
jaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut
belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi”. Selain itu, dimung-
kinkan tidak ada PPh Final atas pengalihan tanah dan/atau bangunan
yang terutang sesuai dengan Pasal 6 huruf e PP 34 Tahun 2016.
6. Inbreng
Aspek perpajakan untuk transaksi inbreng antara lain adalah PPh pen-
galihan hak atas tanah dan/atau bangunan, PPN dan BPHTB. Sesuai
dengan Pasal 4 ayat (3c) UU PPh, harta berupa tanah atau bangunan
yang diterima badan usaha sebagai pengganti saham atau pengganti

25
penyertaan modal, dikecualikan dari objek PPh. Sehingga, bagi perus-
ahaan yang menerima aset tersebut tidak dikenakan PPh. Akan tetapi
bagi pemegang saham, baik orang pribadi maupun badan yang menye-
rahkan tanah dan atau bangunan dalam transaksi inbreng tersebut, di-
wajibkan membayar PPh final sebesar 2,5% dari jumlah bruto sesuai
dengan PP 34 Tahun 2016.
Untuk aspek PPN, sesuai dengan perubahan terakhir UU PPN yaitu
dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja, atas pengalihan Barang Kena Pajak da-
lam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan
setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pa-
jak tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak se-
hingga tidak dikenakan PPN. Hal ini merupakan sesuatu yang baru, ka-
rena dalam aturan sebelumnya, inbreng tidak termasuk dalam pengecua-
lian penyerahan Barang Kena Pajak dan harus mengikuti ketentuan yang
berlaku. Oleh karena itu, mekanisme pemungutan dan pengkreditan Pajak
Masukan dan Pajak Keluaran harus dilakukan.
Selain itu, bagi perusahaan penerima tanah dan bangunan wajib mem-
bayar BPHTB sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

1.4 CONTOH KASUS

Kasus 1
Nomor Putusan : 3762X/PP/M.I/16/2012

A. SKEMA TRANSAKSI:

PT. BCIC adalah entitas yang dilebur

PT. BCIC + PT. BSAF = PT. BSAF


Penjelasan:
 Tahun Pajak: 2008
 PT. BCIC merger dengan PT. BSAF dengan PT. BSAF se-
bagai suviving company.

26

PT. BCIC menyerahkan aset kepada PT. BSAF dalam rangka
merger.
B. KOREKSI:
DPP Pengalihan Aktiva dalam rangka Merger
Penjelasan:
Pemeriksa melakukan koreksi terhadap nilai bumi/tanah karena
dinilai tidak wajar. Nilai di SPPT PBB lebih besar Rp5.167.840.000
jika dibandingkan dengan nilai berdasarkan laporan penilaian aset
dari PT AAA Penilai sebagai perusahaan yang melakukan penilaian.
Data yang digunakan sebagai pembanding nilai bumi/tanah tersebut
sangat bias karena tidak menyebutkan secara detail nama dan letak
objek pajak serta sumber informasi harga pembanding.
Memperhatikan selisih yang sangat jauh, Pemeriksa berpendapat
harga pasar wajar sesungguhnya lebih tinggi. Namun untuk
menghindari kesalahan penetapan harga wajar, pemeriksa berpato-
kan pada nilai di SPPT PBB.
C. DASAR HUKUM:
a. UU PPN;
b. KMK 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain sebagai DPP s.t.d.d
KMK 251/KMK.03/2002;
c. UU PBB
D. DOKUMEN:
a. Akta Penggabungan;
b. Laporan Penilaian;
c. SPPT PBB
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
a. Pemanfaatan Informasi Internal dan/atau Eksternal DJP;
b. Penelusuran angka-angka;
c. Penelusuran Bukti;
d. Pengujian kebenaran matematis
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:
Bahwa penentuan nilai lain yang digunakan sebagai DPP aktiva yang
menurut tujuan semula tidak diperjualbelikan adalah harga pasar
wajar sesuai dengan KMK 251/2002. Pemohon Banding berpendapat
bahwa nilai harga pasar wajar sudah sesuai karena menggunakan

27
perusahaan penilai yang telah terdaftar sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
G. PENDAPAT MAJELIS:
Bahwa Pemohon Banding dalam persidangan tidak pernah menya-
takan keberatan atas penentuan nilai wajar di SPPT PBB tahun 2008,
bahwa berdasarkan data, fakta dan penjelasan dalam persidangan,
majelis berkesimpulan koreksi Terbanding tetap dipertahankan.

Kasus 2
Nomor Putusan : PUT.51X46/PP/M.IIA/16/2014

A. SKEMA TRANSAKSI:

PT. PPI adalah entitas yang dilebur

PT. PPI + PT. MTB = PT. MTB

Tidak berada di Berada di Kawasan


Kawasan Bebas Bebas Batam

Penjelasan:

 PT. PPI dan PT. MTB merger dengan PT. MTB sebagai surviving
company
 PT. PPI menyerahkan aset kepada PT. MTB dalam rangka mer-
ger
 PT. PPI berlokasi tidak di kawasan bebas (Medan), sedangkan
PT. MTB ada di kawasan Bebas
 Akta Perjanjian di tandantangi di Jakarta (bukan kawasan bebas)

B. KOREKSI:
PPN atas penyerahan aktiva dalam rangka penggabungan usaha
Penjelasan:

 Atas penyerahan aktiva dalam rangka penggabungan usaha ini,


wajib pajak membuat faktur pajak dengan Nilai PPN terutang
tidak dipungut sebesar Rp 80 M.

28
 Pemeriksa berpendapat bahwa transaksi pengalihan aktiva oleh
Pemohon Banding tidak memenuhi kriteria PPN yang terutang
tidak dipungut, karena penyerahan aktiva tersebut tidak berada
di dalam Kawasan Berikat Batam. Penyerahan tersebut merupa-
kan penyerahan di luar Kawasan Berikat Pulau Batam.
C. DASAR HUKUM:
a. Pasal 1A ayat (2) UU no 18 Tahun 2000
b. Pasal 13 ayat (8) PP 143 Tahun 2000
c. KMK 548/KMK.04/1994
D. DOKUMEN:
a. Akta Perjanjian Penggabungan;
b. Faktur pajak.
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
a. Pemanfaatan Informasi Internal dan/atau Eksternal DJP
b. Penelusuran angka-angka
c. Penelusuran Bukti
d. Pengujian kebenaran matematis
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:
Pemohon Banding dan PT. MTB melakukan penggabungan usaha
(merger) dimana PT. MTB sebagai surviving company. Penyerahan
seluruh aktiva pada saat merger dianggap dilakukan di Kawasan
Berikat Batam berdasarkan Akta Notaris/Perjanjian.
G. PENDAPAT MAJELIS:
 Bahwa penyerahan Aktiva atau Aset tersebut termasuk di dalam
penyerahan BKP di Kawasan Berikat Pulau Batam karena penye-
rahan tidak harus dilakukan dalam bentuk fisik melainkan dalam
hak dan harus dilihat kepada siapa hak atas BKP tersebut
diserahkan dan dimana tempat kedudukan penerima penye-
rahan hak atas BKP tersebut. Penyerahan hak tersebut telah ter-
jadi pada saat perjanjian dibuat (yaitu pada saat ditandatangan-
inya Akta Notaris) yang dilakukan di Kawasan Berikat Batam
karena PT. MTB berkedudukan di Batam.

 Bahwa berdasarkan ketentuan dan mempertimbangkan bukti-


bukti dokumen serta penjelasan para pihak di dalam per-
sidangan Majelis berpendapat koreksi Terbanding tersebut
tidak dapat dipertahankan.

29
Kasus 3
Nomor Putusan : PUT-0X1657.15/2018/PP/M.IIB

A. SKEMA TRANSAKSI:
Penjelasan:

 PT. BP dan PT. ILE melakukan merger dengan PT. BP sebagai


surviving company
 Terdapat pemeriksaan yang masih berjalan untuk tahun pajak
2014 ketika merger dilakukan
 Dilakukan pemeriksaan tahun pajak 2015 sebagai akibat atas
merger
 SKP diterbitkan bersamaan untuk tahun pajak 2014 & 2015 pada
10 April 2017
 Wajib Pajak diperiksa adalah PT. ILE

B. KOREKSI:
Penghasilan netto
Penjelasan:

 Pemeriksa melakukan koreksi atas peredaran usaha, hasil dari


teknik equalisasi antara SPT Tahunan dengan SPT masa PPN
sebesar Rp 25 M;
 Pernyataan WP (PT. ILE) tidak dapat melakukan pembetulan
SPT Masa PPN karena telah dimerger dengan PT. BP tidak
sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) UU KUP, yang menyatakan
“Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan

30
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan”. Pemeriksaan PPN atas
Pemohon Banding baru dilakukan pada Tahun 2017 sehingga
Pemohon Banding memiliki cukup waktu untuk membetulkan
SPT Masa PPN
C. DASAR HUKUM:
a. Pasal 8 ayat (1) UU KUP
b. Pasal 12 ayat (3) UU KUP;
c. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2) UU PPh;
D. DOKUMEN:
a. Akta Notaris Merger Nomor 57 tanggal 24 November 2015;
b. Laporan Auditor Independen;
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
a. Pemanfaatan Informasi Internal dan/atau Eksternal DJP
b. Penelusuran angka-angka
c. Penelusuran Bukti
d. Pengujian keterkaitan
e. Pengujian kebenaran matematis
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:
 Dari aspek hukum bahwa merger mempunyai konsekuensi
bahwa perusahaan yang menggabungkan diri berakhir demi
hukum sejak tanggal terjadinya penggabungan;
 WP belum melakukan penghapusan NPWP setelah penggabun-
gan karena masih dilakukan pemeriksaan untuk tahun pajak
2104;
 Sesuai dengan SE-29/PJ/2015 bahwa kewajiban menyampaikan
SPT berakhir sampai dengan tanggal merger;
 bahwa nilai Penjualan Lokal yang Pemohon Banding cantumkan
dalam PPh Badan sudah tepat sebesar Rp417.874.079.415,00,
setelah adanya Adjusment dari Tim Auditor. Pemohon Banding
mengakui SPT Masa PPN Pemohon Banding salah karena
Pemohon Banding melaporkan lebih besar yaitu
Rp443.118.594.243,00 yang seharusnya Rp417.874.079.415,00,
tapi Pemohon Banding tidak bisa lagi membetulkan karena Tang-
gal 1 Desember 2018 Pemohon Banding sudah merger.

31
G. PENDAPAT MAJELIS:
 Bahwa Majelis dapat meyakini bahwa selisih sebesar
Rp25.244.514.828,00 ekualisasi antara SPT Masa PPN
disandingkan dengan SPT PPh Badan, adalah karena audit ad-
justment dari pihak auditor independen;

 bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas SPT Masa PPN


Masa Pajak Januari sd Desember diketahui, bahwa PPN telah
dibayar oleh Pemohon Banding sehingga tidak ada kerugian bagi
Negara;
 bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis dan fakta-fakta serta
berdasarkan peraturan yang ada, Majelis berkesimpulan bahwa
tidak terdapat Peredaran usaha yang tidak dilaporkan oleh Pemo-
hon Banding sebagaimana telah didalilkan oleh Terbanding;
 bahwa berdasarkan uraian diatas, Majelis berpendapat koreksi
Peredaran Usaha sebesar Rp25.244.514.828,00 tidak dapat di-
pertahankan;

Kasus 4
Nomor Putusan : PUT-4439X/PP/M.XVI/16/2013

A. SKEMA TRANSAKSI:

Penjelasan:
 PT. SI, PT B, PT. GSO dan PT. BP melakukan penggabungan
usaha dengan PT BP sebagai surviving company;

32
 Tanggal efektif penggabungan usaha menurut WP adalah tang-
gal 16 Agustus 2006 yaitu tanggal persetujuan para pihak
(RUPS);
 Tanggal efektif penggabungan usaha menurut Pemeriksa adalah
tanggal efektif penggabungan usaha yang tertera pada akta
penggabungan;
 Dilakukan koreksi atas selisih peredaran usaha antara SPT Ta-
hunan PPh Badan dengan SPT Masa PPN atas surviving com-
pany.
B. KOREKSI:
Pajak Pertambahan Nilai
Penjelasan:
Pemeriksa melakukan koreksi atas DPP penyerahan, hasil dari teknik
equalisasi antara SPT Tahunan dengan SPT masa PPN dengan
menggunakan laporan gabungan perusahaan-perusahaan yang telah
melakukan penggabungan usaha per 1 Juni 2006.
C. DASAR HUKUM:
a. Pasal 4 ayat 1 UU PPN;
b. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-465/PJ.42/2001;
D. DOKUMEN:
a. Akta Notaris Merger Nomor 45 tanggal 16 Agustus 2006
b. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-465/PJ.42/2001;
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
a. Pemanfaatan Informasi Internal dan/atau Eksternal DJP
b. Penelusuran angka-angka
c. Penelusuran Bukti
d. Pengujian keterkaitan
e. Pengujian kebenaran matematis
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:
 Bahwa atas hasil equalisasi selisih tersebut sudah dilaporkan da-
lam SPT Masa PPN perusahaan yang melakukan penggabungan
(transferor company);
 Bahwa terhadap perusahaan yang melakukan penggabungan, te-
lah dilakukan pemeriksaan oleh DJP.

33
G. PENDAPAT MAJELIS:
 bahwa pada dasarnya Terbanding menerima aspek formal yaitu
pelaporan SPT ketiga perusahaan yang bergabung yang belum
tergabung dalam SPT PB dan hal ini sejalan dengan prinsip “sub-
stance over form” yang dianut sistem perpajakan Indonesia ka-
rena sudah dilakukan pemeriksaan atas ketiga perusahaan yang
melakukan penggabungan tersebut;
 Majelis berpendapat bahwa koreksi material yang dilakukan, te-
lah dilaporkan baik oleh perusahaan yang menggabungkan diri,
maupun perusahaan yang menerima penggabungan sehingga
koreksi Terbanding menyebabkan pengenaan ganda PPN Masa
Pajak Juni s.d Agustus 2006;
 terdapat bukti yang cukup meyakinkan untuk tidak mempertahan-
kan koreksi Terbanding dan mengabulkan seluruhnya permo-
honan Banding Pemohon Banding

Kasus 5
Nomor Putusan : PUT-4413X/PP/M/I/15/2013

A. SKEMA TRANSAKSI:

Penjelasan:
 Pada 16 Mei 2008 PT XXX dan PT LI melakukan penggabungan
usaha, dengan PT LI sebagai surviving company;
 Selanjutnya pada 21 Januari 2010, PT LI dan PT SBAF
melakukan penggabungan usaha dengan PT SBAF sebagai sur-
viving company;

34
 Pada bulan Januari dan Februari 2010, DJP mengeluarkan ke-
tetapan berupa SKPKB atas PT XXX;
 Atas produk ketetapan tersebut, WP melakukan keberatan dan
dikeluarkan surat keputusan keberatan pada 24 Januari 2011;
 Atas surat keputusan keberatan, Wajib Pajak mengajukan permo-
honan banding kepada pengadilan pajak dengan KOP surat &
tanda tangan direktur PT XXX.
B. KOREKSI:
 bahwa dalam persidangan terbanding mempersoalkan formalitas
surat Banding yang menggunakan kop surat dan cap surat atas
nama PT. XXX, padahal pada saat penanda tanganan Surat
Banding, PT XXX, sudah dibubarkan karena sudah merger
dengan PT. SBAF.
C. DASAR HUKUM:
 Pasal 122 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 ttg PT;
 Pasal 32 ayat 1 huruf a UU Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP);
D. DOKUMEN:
 akta penggabungan nomor 145 tanggal 16 Mei 2008;
 akta penggabungan nomor 10;
 Surat Banding Nomor FCF/Tax Dept./060/IV/2011 tanggal 20
April 2011.
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
-
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:
 Pemohon Banding mengajukan Surat Keberatan tertanggal 18
Mei 2010 dengan menggunakan nama PT XXX dan Terbanding
tetap memproses surat keberatan dimaksud;
 Pemohon Banding belum melakukan permohonan pencabutan
NPWP PT XXX dengan pertimbangan seluruh hak dan kewajiban
pajak PT XXX belum selesai, maka untuk konsistensi keperluan
administrasi perpajakan dan banding maka Pemohon Banding
tetap menggunakan kop surat atas nama PT XXX.
G. PENDAPAT MAJELIS:
 bahwa Majelis berpendapat, Surat Banding Nomor: FCF/Tax
Dept./060/IV/2011 tanggal 20 April 2011 yang ditanda tangani

35
oleh XX, jabatan: Direktur, dengan menggunakan kop surat dan
cap atas nama PT. XXX, tidak sesuai dengan fakta hukum;

 bahwa Majelis berkesimpulan Surat Banding Nomor: FCF/Tax


Dept./060/IV/2011 tanggal 20 April 2011 yang ditanda tangani
oleh XX, jabatan: Direktur, mengandung cacat hukum sehingga
tidak dapat diterima.

36
BAB 2
PENGALIHAN SAHAM

2.1 GAMBARAN UMUM TRANSAKSI


Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan saham sebagai su-
rat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memberi hak
atas dividen dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor.
Pengertian lain dari saham dapat pula merujuk pada UU Perseroan
Terbatas yaitu dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “Perseroan
terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Dengan pengertian tersebut
di atas, maka dapat dipahami bahwa saham adalah salah satu bukti
kepemilikan (hak) atas sebuah perseroan terbatas.
Dalam konteks perusahaan grup, seringkali perusahaan melakukan
investasi dengan membeli saham perusahaan lain. Tentu saja penge-
luaran dana untuk membeli saham perusahaan lain tersebut memiliki
tujuan ekonomis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tujuan ter-
sebut bisa berupa keuntungan langsung berupa dividen, atau keuntungan
tidak langsung seperti memperbesar usaha, keamanan supply chain
usaha, bahkan dalam rangka mengurangi persaingan bisnis.
Kepemilikan saham sama dengan kepemilikan suatu harta. Oleh ka-
rena itu, atas kepemilikan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain me-
lalui berbagai macam skema seperti jual beli, tukar menukar (swap) atau
hibah. Transaksi pengalihan kepemilikan saham dapat dilakukan dalam
mekanisme perdagangan saham di pasar modal ataupun di luar pasar
modal.
Indonesia dan sebagian negara-negara di dunia sudah memiliki
pasar saham. Namun demikian perusahaan yang terdaftar di pasar saham
Indonesia masih sangat sedikit. Untuk mendapatkan informasi transaksi
pengalihan saham melalui pasar saham tentu saja relatif lebih bisa
didapatkan karena diadministrasikan oleh otoritas bursa.

37
Berbeda halnya dengan transaksi di luar bursa saham. Dengan sedi-
kitnya jumlah perusahaan yang terdaftar di bursa, maka transaksi penga-
lihan saham yang tidak dilakukan melalui pasar saham tentu sangat ban-
yak. Berbeda dengan transaksi di pasar saham, transaksi pengalihan sa-
ham yang dilakukan oleh perusahaan tertutup tidak bisa dengan mudah
didapatkan.
Pada praktiknya, skema transaksi pengalihan saham bisa ber-
macam-macam bentuknya. Namun secara sederhana transaksi dapat dii-
lustrasikan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 2.1 Skema Transaksi Pengalihan Saham

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa PT. A dimiliki oleh dua pihak
yaitu XYZ. Ltd dan Tn. C. Kepemilikan masing-masing pihak atas PT. A
adalah 90% oleh XYZ Ltd dan 10% oleh Tn. C. Dalam gambar tersebut
diilustrasikan terdapat dua peristiwa transaksi pengalihan saham. Yang
pertama adalah pengalihan dari XYZ. Ltd kepada PT. D sebesar 90%.
Transaksi kedua adalah pengalihan dari Tn. C kepada PT. D sebesar 5%.
Dengan dua transaksi tersebut maka komposisi kepemilikan yang baru un-
tuk PT. A adalah 95% oleh PT. D dan 5% oleh Tn. C.
Dilihat dari sudut pandang Pajak Penghasilan, dari gambaran terse-
but di atas terdapat dua pihak yang menerima penghasilan atas transaksi
tersebut. Kedua pihak tersebut adalah penerima penghasilan yaitu XYZ.
Ltd dan Tn. C. Transaksi sederhana tersebut akan berbeda aspek pajak
penghasilannya apabila kondisi yang menyertai transaksi tersebut ber-
beda. Sebagai contoh apakah transaksi PT. A adalah perusahaan terbuka
(sahamnya diperdagangkan di bursa efek) atau tidak. Kondisi lain yang
juga bisa berbeda aspek pajak penghasilannya adalah apakah para pihak
yang melakukan transaksi tersebut terdapat hubungan istimewa se-
bagaimana Pasal 18 UU PPh ataukah mereka adalah pihak yang inde-
penden.

38
2.2 KETENTUAN AKUNTANSI
Mengutip dari Mahrus dan Biswan (2020), dalam hal investasi saham,
seberapa besar tingkat pengaruh pemegang saham pada manajamen pe-
rusahaan dapat berdampak pada perlakuan akuntansi. Tingkat pengaruh
investor pada manajemen perusahaan dapat dikategorikan menjadi:
1. memiliki pengaruh yang kecil/ tidak berpengaruh signifikan
(kepemilikan kurang dari 20%);
2. memiliki pengaruh signifikan (kepemilikan antara 20% s.d 50%);
3. memiliki kendali atas perusahaan (>50% kepemilikan).
Perbedaan perlakuan akuntansi pada ketiga kondisi tersebut di atas
dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1 Akuntansi Investasi Saham

No Kategori Penilaian Unreallized Dampak Lain Ter-


Holding hadap
Gains or Income
Losses
1 Kepemilikan
<20%
a. Trading Fair Value Diakui sebagai  Mencatat adanya
bagian net in- pendapatan divi-
come den saat pengu-
muman dividen
 Mencatat gain
atau loss dari
penjualan saham
b. Non-Trading Fair Value Dicatat dalam  Mencatat adanya
Option akun “Other pendapatan divi-
Comprehensive den saat pengu-
Income” dan muman dividen
masuk kompo-  Mencatat gain
nen “Equity” atau loss dari
penjualan saham
2 Kepemilikan Equity Tidak diakui  Mencatat pengu-
20% - 50% rangan investasi
saat pengumu-
man dividen
 Mencatat penam-
bahan investasi
(proporsional)
saat pengumu-
man net income
oleh investee

39
3 Kepemilikan Konsolidasi Tidak diakui Tidak dapat diterap-
>50% kan
Sumber: Kieso, Weygandt, & Warfield (2018) sebagaimana Mahrus dan Biswan (2020)

Mengadopsi penjelasan dan contoh dari Mahrus dan Biswan (2020),


atas ketiga kategori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Tidak memiliki pengaruh (<20%)
Pada kategori ini dapat dibedakan lagi menjadi 2 jenis dan dijelaskan
dengan contoh sebagai berikut:

a. Fair Value through Profit and Loss (FVTPL)


Pada tanggal 1 Agustus 2019 PT. Maju membeli saham dengan
kepemilikan masing-masing <20% dengan tujuan untuk diperdagangkan
sebagai berikut:
Perusahaan Biaya Perolehan
PT. Terus Rp 500.000.000
PT. Bersama Rp 200.000.000
PT. Jaya Rp 100.000.000
Atas transaksi tersebut, PT. Maju membuat jurnal sebagai berikut:
Equity Investment Rp 800.000.000
Cash Rp 800.000.000
Pada tanggal 5 Desember 2019 menerima dividen tunai sebesar
Rp4.000.000 dari PT. Bersama dan dibuat jurnal sebagai berikut:
Cash Rp 4.000.000
Dividen revenue Rp 4.000.000
Pada tanggal 31 Desember 2019, saham yang dimiliki PT. Maju
diasumsikan memiliki fair value sebagai berikut:

Perusahaan Carriying Value Fair Value Unrealized Gain


(loss)

PT. Terus Rp 500.000.000 Rp 515.000.000 Rp 15.000.000

PT. Bersama Rp 200.000.000 Rp 187.000.000 (Rp 13.000.000)

PT. Jaya Rp 100.000.000 Rp 70.000.000 (Rp 30.000.000)

Total Rp 800.000.000 Rp 772.000.000 (Rp 28.000.000)

40
Previous Fair -0-
Value Adjustment

Fair Value Adjust- (Rp 28.000.000)


ment

Jurnal yang dibuat PT. Maju untuk menyesuaikan fair value pada
tanggal 31 Desember 2019 adalah sebagai berikut:
Unrealized Gain or Loss Rp 28.000.000
Fair Value Adjustment Rp. 28.000.000
Pada tanggal 20 Januari 2020 kepemilikan saham PT. Terus ijual
dengan harga Rp530.000.000, maka jurnal atas transaksi tersebut adalah
sebagai berikut:
Cash Rp 530.000.000
Gain on Sale of Investment Rp 30.000.000
Equity Investment Rp 500.000.000
b. Fair Value Other Comprehenship Income (FVOCI)
Investasi saham diukur pada FVOCI jika investasi saham dimak-
sudkan tidak untuk diperdagangkan (non trading) dan entitas memilih
untuk menggunakan opsi FVOCI. Perbedaan pencatatan antara FVTPL
dan FVOCI adalah terkait pencatatan unrealized holding gain (loss).
Pada FVOCI, unrealized holding gain (loss) dicatat sebagai other com-
prehensive income dan unrealized holding gain (loss) menambah atau
mengurangi akun Equity Investment, bukan akun Fair Value Adjust-
ment karena klasifikasi investasi saham-FVOCI diterapkan per instrumen
investasi, bukan berbasis portofolio.

Misal, pada tanggal 1 Agustus 2019 PT. Unggul membeli saham PT.
Makmur seharga Rp100.000.000 dengan kepemilikan <20% dan tujuan
tidak untuk diperdagangkan serta entitas memilih opsi FVOCI. Atas
transaksi tersebut dicatat sebagai berikut:

Equity Investment Rp 100.000.000


Cash Rp 100.000.000
Pada tanggal 20 Desember 2019 PT. Unggul menerima dividen dari
PT. Makmur sebesar Rp10.000.000. Atas transaksi tersebut dicatat se-
bagai berikut:

41
Cash Rp 10.000.000
Dividen Revenue Rp 10.000.000
Jika pada 31 Desember 2019 atas investasi tersebut diasumsikan
memiliki fair value Rp 115.000.000 maka jurnal yang dibuat adalah:
Equity Investment (PT. Makmur) Rp 15.000.000
Unrealized Holding Gain Rp 15.000.000
Jika pada 20 Desember 2020, PT. Unggul menjual saham PT Makmur
seharga Rp110.000.000. Karena bersifat no recycling, atas transaksi
tersebut, PT Unggul membuat jurnal untuk menyesuaikan nilai tercatat
(carrying value) investasi saham PT Makmur sesuai dengan harga
jual. Penyesuaian tersebut tetap dicatat pada OCI. Jurnal yang dibuat PT
Unggul untuk menyesuaikan nilai tercatat (carrying value) investasi sa-
ham PT Makmur adalah sebagai berikut:
Unrealized Holding Gain Rp 5.000.000
Equity Investment Rp 5.000.000
Jurnal untuk mencatat transaksi penjualan adalah sebagai berikut:
Cash Rp 110.000.000
Equity Investment Rp 110.000.000
2. Pengaruh Signifikan (Kepemilikan 20% s.d 50%)
Sesuai PSAK 15, kepemilikan dengan pengaruh signifikan (20%-
50%) dicatat dengan menggunakan metode ekuitas. Dalam equity
method, setiap pengumuman dividen akan mengurangi nilai investasi
perusahaan dan setiap pengumuman net income oleh investee akan
menambah nilai investasi perusahaan. Selain itu, tidak ada jurnal
penyesuaian fair value yang dibuat. Ilustrasi perbedaan pencatatan
antara metode ekuitas dengan metode fair value disajikan dalam tabel
berikut:
Tabel 2.2 Ilustrasi Perbedaan Equity Method dan Fair Value Method
Fair Value Method Equity Method
Pada 2 Januari 2019 PT. Unggul membeli saham PT. Makmur (setara 20%)
dengan nilai Rp500.000.000
Equity Invst 500.000.000 Equity Invst 500.000.000
Cash 500.000.000 Cash 500.000.000
PT. Makmur mengumumkan net income Rp300.000.000
Tidak ada jurnal Equity Invst 60.000.000
Invst Income 60.000.000

42
Pada tanggal 31 Desember 2019, fair value saham PT. Makmur sebesar
Rp600.000.000
Fair Value Adjustment 100.000.000 Tidak ada jurnal
Unrealized Holding Gain 100.000.000
Pada 6 Februari 2020 PT. Unggul menerima dividen sebesar Rp25.000.000
Cash 25.000.000 Cash 25.000.000
Dividen Revenue 25.000.000 Equity Invst 25.000.000
PT. Makmur mengumumkan rugi Rp100.000.000
Tidak ada jurnal Investment Loss 20.000.000
Equity Invst 20.000.000

3. Kepemilikan lebih dari 50%


Jika perusahaan mempunyai kepemilikan lebih dari 50% pada kor-
porasi lain maka perusahaan tersebut dianggap memiliki kendali (con-
trolling interest). Perusahaan investor disebut perusahaan induk (par-
ent), sedangkan perusahaan investee disebut sebagai perusahaan anak
(subsidiary). Perusahaan induk akan mencatat investasi saham pada
anak perusahaan sebagai investasi jangka panjang. Perusahaan induk
akan membuat laporan keuangan konsolidasi.

2.3 KETENTUAN PERPAJAKAN

Aspek Perpajakan atas Transaksi Pengalihan Saham


● Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh menyebutkan bahwa yang menjadi
objek pajak antara lain adalah keuntungan karena penjualan atau
karena pengalihan harta.
● Pasal 4 ayat (2) huruf c UU PPh menyebutkan bahwa atas pengha-
silan dari penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perus-
ahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
dikenakan pajak yang bersifat final.
● Pasal 10 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa
harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual
beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang
sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila ter-
dapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima.

43
● Pasal 26 ayat (2) UU PPh
Sebagai salah satu bentuk harta, penghasilan yang diperoleh dari
pengalihan saham juga merupakan salah satu bentuk objek pajak
sebagaimana Pasal 4 UU PPh. Apabila Wajib Pajak mengalihkan
harta (saham) dengan harga yang lebih tinggi dari nilai perolehan
atau nilai sisa buku selisih tersebut dapat dianggap sebagai
penghasilan dan karenanya dapat dikenakan pajak penghasilan.
Aturan perpajakan memuat ketentuan yang berbeda untuk penga-
lihan saham yang dilakukan di pasar saham dan yang dilakukan tidak di
pasar saham. Untuk transaksi pengalihan saham di pasar saham berlaku
ketentuan PPh final sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, se-
dangkan untuk transaksi pengalihan saham di luar bursa berlaku tarif
umum apabila penerima penghasilan adalah Wajib Pajak dalam negeri.
Apabila penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, maka ber-
laku Pasal 26 ayat (2) UU PPh dengan tarif sebesar 20% dari perkiraan
penghasilan netto, apabila berdasarkan perjanjian penghindaran pajak
berganda (P3B), hak pemajakan berada di Indonesia.
Skema Pengalihan Saham dan Aspek Perpajakannya
Secara umum skema transaksi pengalihan saham dapat digam-
barkan dalam bagan sebagai berikut:

Mengalihkan Saham
WP.A WP.B

Dilakukan di Bursa Dilakukan di Luar Bursa

Objek PPh Final Pasal 4 Penerima Penghasilan Penerima Penghasilan Transaksi dan Penerima
(2) DN di LN Penghasilan di LN

PP 41 Tahun 1994
PPh Pasal 26 (2a) dan
S.t.d.d PPh Pasal 4 (1) huruf d PPh Pasal 26 (2)
PPh Pasal 18 (3c)
PP 14 Tahun 1997

Gambar 2.2 Skema Pengalihan Saham

Skema di atas menggambarkan bahwa pengalihan saham dari


WP.A kepada WP.B merupakan pengalihan harta yang atas keuntungan
dari transaksi ini adalah objek pajak. Kemungkinan pertama adalah
transaksi tersebut dilakukan di pasar saham (bursa). Sedangkan kemung-
kinan kedua transaksi tersebut dilakukan tanpa melalui bursa.

44
a. Transaksi di Bursa
Untuk transaksi pengalihan saham yang dilakukan di bursa efek,
maka aspek perpajakan dapat merujuk pada ketentuan sebagai berikut:
1) UU PPh Pasal 4 ayat (2)
2) UU PPN;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Pengha-
silan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek;
4) KMK-282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di
Bursa Efek;
5) SE-06/PJ.4/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasi-
lan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek;
6) SE-15/PJ.42/1997 tentang Petunjuk Lebih Lanjut Pelaksanaan SE
06/PJ.4/1997 tanggal 20 Juni 1997 dan SE-09/PJ.24/1997 tanggal 25
Juli 1997 Dalam Kaitannya dengan Pengenaan Tambahan Pajak
Penghasilan atas Saham Pendiri.
Secara umum transaksi pengalihan saham di bursa bisa dilakukan
di tiga jenis transaksi di pasar sekunder. Pertama adalah pasar reguler,
kedua adalah pasar negosiasi dan yang ketiga adalah pasar tunai. Pada
pasar reguler, harga dibentuk dengan cara tawar-menawar yang terus
menerus terjadi berdasarkan kekuatan pasar. Pada pasar reguler saham
diperdagangkan dengan satuan lot (100 lembar) dan penyelesaian pem-
bayaran bisa dilakukan maksimal 2 hari setelah transaksi (T+2). Se-
dangkan pada pasar negosiasi, pembentukan harga efek dilakukan
dengan cara negosiasi antara pihak penjual dan pihak pembeli. Pada
pasar negosiasi satuan transaksi penjualan saham dimungkinkan tidak ge-
nap 1 lot. Pasar tunai memiliki karakteristik sama dengan pasar regular,
namun ketentuan penyelesaian pembayaran harus dilakukan pada hari
yang sama (T+0).
Atas transaksi pengalihan saham yang dilakukan di bursa efek,
aspek Pajak Penghasilan meliputi PPh atas capital gain yang diterima baik
oleh penjual maupun penghasilan atas jasa pihak-pihak yang terlibat da-
lam pengalihan jasa di bursa.
1. PPh Final Pasal 4 ayat (2)
PPh final dikenakan dengan tarif sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan. Pengenaan PPh Final ini dilakukan melalui

45
mekanisme pemotongan yang dilakukan oleh perantara pedagang
efek.
2. Tambahan untuk saham pendiri
Atas saham pendiri yang dijual di bursa efek maka dikenakan tamba-
han Pajak Penghasilan sebesar 0,5% dari nilai saham.
3. PPh atas jasa-jasa di bursa
Berbagai pihak dimungkinkan untuk dilibatkan dalam transaksi di
bursa, terutama untuk transaksi Initial Public Offering (IPO). Pihak-
pihak tersebut antara lain Akuntan Publik, Konsultan Hukum, Penilai,
Penjamin Emisi, dan agen penjual. Atas jasa yang mereka peroleh
dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dan dipotong oleh emiten.
4. PPN atas jasa broker
Transaksi jual beli saham di bursa efek menggunakan jasa broker.
Atas jasa yang diberikan ini terutang PPN sebesar 10% dari broker
fee.
b. Transaksi di Luar Bursa
Hal yang lebih sulit untuk dideteksi adalah transaksi yang dilakukan di
luar pasar modal (bursa). Kesulitan ini terkait dengan ketersediaan data
dan juga transparansi transaksi dimana tidak terdapat informasi yang me-
madai sebagaimana transaksi yang terjadi di bursa saham. Berikut adalah
contoh sederhana mengenai pengalihan saham di luar bursa.
1. Transaksi dengan Penerima Penghasilan adalah Wajib Pajak
Dalam Negeri

PT. B Tn. C PT. D Tn. C

90% 10% 95% 5%

PT. A PT. A

Gambar 2.3 Transaksi dengan Penerima Penghasilan WPDN

Pada gambar tersebut, saham PT. A dimiliki oleh PT. B (90%) dan
Tn. C (10%). Keduanya adalah Wajib Pajak Dalam Negeri. Penga-
lihan saham dilakukan kepada PT. D sehingga komposisi pemegang
saham PT. A menjadi milik PT. D (95%) dan Tn. C tinggal memiliki 5%
saham.

46
Proses transaksi secara umum adalah PT. B, Tn. C dan PT. D
mengadakan perjanjian jual beli saham yang dituangkan dalam akta
jual beli dengan menyebut jumlah lembar saham yang ditransaksikan,
nilai transaksinya dan waktu pembayaran. Selanjutnya PT. A akan
mencatatkan perubahan susunan kepemilikan tersebut dengan
melakukan perubahan akta di notaris/pejabat yang berwenang.
Aspek Perpajakan dan Hubungan Istimewa

Aspek Perpajakan yang timbul atas penghasilan yang diterima oleh


PT. B dan Tn C adalah PPh Pasal 4 ayat (1) huruf d. Hal yang perlu
diperhatikan dalam transaksi ini adalah apakah antar pihak yang terli-
bat dalam transaksi memiliki hubungan istimewa sebagaimana Pasal
18 ayat (4) atau tidak. Jika para pihak memiliki hubungan istimewa
maka sudah selayaknya transaksi tersebut dilakukan dengan
mengacu pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Apabila
pemeriksa menemukan adanya hubungan istimewa dalam transaksi
tersebut maka nilai transaksi menjadi titik krusial yang harus
mendapatkan perhatian. Apabila terdapat hubungan istimewa maka
harga penjualan yang digunakan dalam perhitungan Pajak Penghasi-
lan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima se-
bagaimana Pasal 10 ayat (1) UU PPh.
2. Transaksi dengan Penerima Penghasilan Bukan Subjek Pajak
Dalam Negeri

Gambar 2.4 Transaksi dengan Penerima Penghasilan bukan SPDN

Pada gambar tersebut, saham PT. A (tidak terdaftar di bursa


efek) dimiliki oleh XYZ.Ltd (90%) yang merupakan perusahaan di luar
negeri dan Tn. C (10%). Pengalihan saham dilakukan kepada ABC.Co
(Wajib Pajak Luar Negeri) sehingga komposisi pemegang saham PT.
A menjadi milik ABC.Co (95%) dan Tn. C tinggal memiliki 5% saham.

47
Proses transaksi secara umum adalah XYZ.Ltd, Tn. C dan
ABC.Co mengadakan perjanjian jual beli saham yang lazimnya di-
tuangkan dalam surat perjanjian/perikatan (sales purchase agree-
ment) dengan menyebut jumlah lembar saham yang ditransaksikan,
nilai transaksinya dan waktu pembayaran. Selanjutnya, PT. A akan
mencatatkan perubahan susunan kepemilikan tersebut dengan
melakukan perubahan akta di notaris/pejabat berwenang.
Variasi dari transaksi tersebut di lapangan bisa saja pihak yang
melakukan pembelian saham adalah Wajib Pajak dalam negeri. Na-
mun hal ini tidak menjadi permasalahan karena faktor utama yang
dilihat adalah pihak yang menerima penghasilan yaitu pihak penjual.
Aspek Perpajakan yang timbul atas penghasilan yang diterima
oleh XYZ.Ltd adalah PPh Pasal 26 ayat (2). Aspek perpajakan ini juga
perlu memperhatikan ketentuan di bawahnya yaitu KMK-
434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
Atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keun-
tungan dari Penjualan Saham (selanjutnya disebut KMK-
434/KMK.04/1999).
Pada contoh di atas, penerima penghasilan adalah XYZ Ltd
yang merupakan Wajib Pajak Luar Negeri. Ketentuan perpajakan
yang terlebih dahulu dilihat dalam kasus ini adalah ada atau tidaknya
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan
negara tempat kedudukan XYZ Ltd tersebut. Apabila terdapat P3B,
maka yang harus diperhatikan adalah hak pemajakan yang diatur da-
lam P3B tersebut.
Apabila hak pemajakan berada di pihak Indonesia, maka ke-
tentuan yang berlaku adalah ketentuan sebagaimana dalam Pasal 26
ayat (2) UU PPh dan aturan pelaksanaan dibawahnya yaitu KMK-
434/KMK.04/1999. Dalam ketentuan ini diatur bahwa atas penghasi-
lan dari penjualan saham Perseroan Terbatas Dalam Negeri yang
sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham WPLN dan tidak
berstatus sebagai Emiten (Perusahaan Publik), yang diperoleh
WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

48
Berdasarkan ketentuan di atas, pihak yang dibebani kewajiban
untuk melakukan pemotongan adalah pembeli yang ditunjuk sebagai
pemotong. Dalam hal pembeli adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka
yang ditunjuk sebagai pemungut adalah perusahaan yang sahamnya
diperjualbelikan (dalam contoh skema di atas adalah PT. A.)
3. Transaksi Pengalihan saham conduit company sebagaimana
Pasal 18 ayat 3c dan PMK 258/PMK.03/2008
Transaksi pengalihan kepemilikan saham bisa saja terjadi di luar
negeri dan dilakukan oleh Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh. Pasal tersebut mengatur mengenai
penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit com-
pany atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax ha-
ven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk
usaha tetap di Indonesia. Pasal tersebut mengatur bahwa atas
transaksi tersebut dapat ditetapkan sebagai penjualan atau penga-
lihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indo-
nesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
Secara umum transaksi tersebut dapat digambarkan sebagaimana
dalam gambar berikut:

Gambar 2.5 Transaksi Pengalihan Saham Conduit Company

Pada gambar tersebut, saham PT. A dimiliki oleh XYZ.Ltd (99%)


yang merupakan SPV/Conduit Company di Tax Haven Country. XYZ
Ltd sendiri dimiliki oleh ABC Corp. Transaksi yang terjadi adalah ABC
Corp mengalihkan kepemilikannya atas XYZ. Ltd kepada PT. B se-
hingga pemegang saham XYZ. Ltd sekarang adalah PT.B.

49
Proses transaksi secara umum adalah PT. B dan ABC Corp
melakukan perjanjian untuk mengalihkan kepemilikan saham XYZ.
Ltd dari ABC Corp ke PT. B. Perjanjian tersebut lazimnya memuat ke-
tentuan mengenai jumlah lembar saham yang ditransaksikan, nilai
transaksinya dan waktu pembayaran.
Dalam transaksi tersebut penerima penghasilan adalah ABC. Corp
dan transaksi terjadi di luar negeri. Namun demikian berdasarkan ke-
tentuan dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh transaksi tersebut dapat
ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha
tetap di Indonesia.
Lebih lanjut Pasal 26 ayat (2a) UU PPh menyebutkan bahwa atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Aturan turunan dari ketentuan tersebut adalah PMK
258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham Se-
bagaimana Dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pa-
jak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri, yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
● besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dan bersifat
final;
● terhadap penjual yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri,
pemotongan hanya dilakukan apabila hak pemajakan dalam
P3B berada pada pihak Indonesia;
● dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
o pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah
badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia
yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham
Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan
o badan tersebut harus mencatat akta pemindahan hak
atas saham yang dijual.

50
2.4 CONTOH KASUS

Kasus 1
Nomor Putusan : Put-10092X.13/2011/PP/M.IIIA Tahun 2018
A. SKEMA TRANSAKSI:

2011 2012
Menjual dengan Nilai transaksi $ 100

Menjual dengan Nilai transaksi $ 10

SDT Holding SDF Trading SDP Sdn.


SD Holding
Pte.Ltd Sdn.Bhd Bhd

1% 99% 1% 99%
$ 6.000 $ 5.400 $ 6.000 $ 5.400

PT. A PT. A

SDT Holding dan SD Holding menjual saham yang dimilikinya


dibawah nilai nominal.
B. KOREKSI:
Koreksi yang dilakukan adalah koreksi DPP PPh Pasal 26.
Penjelasan:
 Berdasarkan informasi yang diperoleh, dapat diketahui bahwa
nilai jual saham jauh dibawah nilai nominalnya. Hal ini sangat
tidak wajar karena dipengaruhi antara pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
 nilai penjualan saham berdasarkan nilai wajar berdasarkan nilai
nominal yang tercantum dalam akta yaitu sebesar US$600.000
sebagai DPP PPh Pasal 26 karena tidak adanya data mengenai
harga pasar
C. DASAR HUKUM:
 Pasal 10 ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa harga perolehan
atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan

51
atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima;

 PMK 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan


Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan
Saham Sebagaimana Dimaksud Da-lam Pasal 18 Ayat (3c) Un-
dang-Undang Pajak Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri.
D. DOKUMEN:
1. Laporan Keuangan
2. Akta Notaris
3. Sale and Purchace of share agreement
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
1. Pemanfaatan Informasi Internal dan Eksternal DJP
2. Penelusuran Angka-angka
3. Penelusuran Bukti
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:
 Nilai pengalihan saham tersebut disepakati oleh kedua belah pihak
yang mengalihkan saham dikarenakan besarnya akumulasi keru-
gian yang dimiliki oleh WP pada 30 Juni 2011 (audit report per 30
Juni 2011).
 Sesuai dengan butir 10 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No-
mor SE-18/PJ.31/1992 tanggal 10 September 1992 tentang Pene-
gasan Perlakuan PPh atas Pemindahtanganan Harta, ditegaskan
bahwa apabila nilai pasar dari saham yang dipertukarkan tidak
diketahui karena tidak diperdagangkan di bursa, maka nilai yang
dipakai adalah nilai yang dihitung berdasarkan kekayaan bersih
(net worth) dari perseroan yang bersangkutan, yaitu selisih antara
seluruh harta dikurangi dengan seluruh kewajiban pada saat ter-
jadinya transaksi;
G. PENDAPAT MAJELIS:
 bahwa penggunaan dasar hukum Pasal 10 ayat (1) Undang-Un-
dang PPh oleh Terbanding, menurut Majelis sudah tepat, namun
Terbanding seharusnya dapat membuktikan berapa nilai yang
seharusnya diterima dan dikeluarkan atas transaksi pengalihan
saham Pemohon Banding a quo;

52
 penghitungan nilai transaksi oleh Terbanding yang mengacu pada
nilai nominal saham yang tercatat dalam laporan keuangan, sebe-
sar US$ 600,000 tidak tepat, karena tidak didasarkan pada bukti
transaksi yang menunjukkan bahwa nilai transaksi pengalihan sa-
ham adalah sebesar US$600,000, namun faktanya nilai riil yang
diterima dan dikeluarkan atas transaksi pengalihan saham tersebut
adalah US$110, dan telah didukung oleh bukti berupa sale and
purchase of shares agreement tanggal 17 Oktober 2011
 Majelis berpendapat, nilai riil transaksi sebesar US$110 dapat
digunakan oleh karena nilai yang seharusnya diterima atau
dikeluarkan dalam transaksi pengalihan saham tersebut tidak
diperoleh dan tidak dapat dibuktikan oleh Terbanding

Kasus 2
Nomor Putusan : Put-1113X8.14/2010/PP/M.XXB Tahun 2018

A. SKEMA TRANSAKSI:

Sebelum Sesudah

Menjual 14.25% senilai Rp 24.367.500.000

Tn. RVK Lainnya PT. MM Tn. RVK Lainnya

4.75%

19% 81%
75%
Rp 1.520.000.000 Rp 6.480.000.000
20.25%
PT. MA PT. MA

Penjelasan:
Tn. RVK menjual 14.25% saham PT. MA yang dimilikinya kepada PT.
MM senilai Rp 24.367.500.000.
B. KOREKSI:
Penghasilan Dalam Negeri Lainnya senilai Rp 23.227.500.000
Penjelasan:
Menurut Pemeriksa, penerima penghasilan (Tn. RVK) adalah Wajib
Pajak Dalam Negeri dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

53
o Tn. RVK terdaftar (mendaftarkan diri melalui pemberi kerja) se-
bagai Wajib Pajak pada KPP Pratama Jakarta Setiabudi.
o Selalu Melaporkan SPT Tahunan PPh OP
o Meskipun di Indonesia kurang dari 183 hari tetapi berdasarkan
hal tersebut di atas dianggap mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di indonesia
C. DASAR HUKUM:
 Pasal 2 ayat 3 UU PPh
 PER-16/PJ/2007
D. DOKUMEN:
1. Akta Notaris
2. Sale and Purchace of share agreement
3. SPT. Wajib Pajak
4. Paspor
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
1. Pemanfaatan Informasi Internal dan Eksternal DJP
2. Penelusuran Bukti
3. Pengujian Kebenaran Matematis

F. PENDAPAT WAJIB PAJAK:


 Mr RVK memiliki COD dari IBR Malaysia maka seharusnya
menggunakan Tax Treaty Pasal 4 ayat 2;
 Mr RVK berada di Indonesia pada tahun 2010 selama 139 hari,
kurang dari 183 hari;
 Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 Tax Treaty antara Indonesia-Malaysia,
Mr RVK merupakan Subjek Pajak Luar Negeri
 Pemohon Banding memiliki NPWP karena didaftarkan oleh pihak
manajemen perusahaan dan bukan karena kemauan/niat Pemo-
hon Banding;
 Dengan demikian Tn RVK tetap berpendapat bahwa Tn RVK ada-
lah Wajib Pajak Luar Negeri, sehingga pengenaan pajaknya ada-
lah sesuai KMK-434/KMK.04/1999 dalam. Pasal 2 ayat (3)
besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% x 5% dari harga jual.
G. PENDAPAT MAJELIS:
 Tn. RVK adalah WNA dibuktikan dengan paspor Nomor
A106xxxxx.

54
 Bahwa meskipun keberadaan Tn RVK di Indonesia pada tahun
2010 tidak lebih dari 183 hari, namun telah nyata-nyata mempunyai
Niat untuk bertempat tinggal di Indonesa dengan alasan sebagai
berikut:
o Tn RVK bekerja pada PT AM dengan kedudukan sebagai Pres-
iden Direktur pada tahun 2010, hingga Komisaris di tahun 2015.
o Tn RVK selalu melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadinya ke
KPP Jakarta Setia Budi selama 5 tahun berturut turut
o Tn RVK tidak pernah mengajukan keberatan terhadap NPWP
yang diberikan oleh Ditjen Pajak
 Bahwa penyertaan saham Tn RVK adalah di PT AM yang notabene
adalah PT Tertutup, yaitu belum listing di bursa efek. Untuk perus-
ahaan belum listing (PT tertutup) atas transaksi saham tidak
dipotong PPh Final. Jika ada keuntungan dari transaksi saham ter-
sebut (selisih harga jual dengan nilai buku) dikenakan PPh dengan
tarif progresif Pasal 17.
 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas Majelis berpendapat
untuk mempertahankan koreksi yang dilakukan oleh Terbanding.

55
BAB 3
CASH POOLING

3.1 GAMBARAN UMUM TRANSAKSI


“In today’s situation, finance has become the most important natural function
and inseparable part of our daily life process”. Delphi Education
Pentingnya pendanaan dalam satu perusahaan mendorong perus-
ahaan-perusahaan untuk bersaing mendapatkan suntikan modal.
Umumnya, pendanaan diperoleh dari pihak eksternal melalui pinjaman
dari bank, menerbitkan instrumen keuangan, atau melakukan Initial Public
Offering (IPO). Akan tetapi, tidak semua perusahaan dapat memperoleh
pendanaan yang cukup besar dari kegiatan-kegiatan tersebut. Oleh sebab
itu, beberapa perusahaan menerapkan alternatif sumber pendanaan yang
berasal dari internal perusahaan, terutama perusahaan yang tergabung
dalam perusahaan grup. Pada skenario tersebut, pada umumnya penda-
naan dilakukan melalui skema pinjaman intra grup, antara lain: cash pool-
ing, lease financing, debt factoring, asset-backed securitization, dan se-
bagainya1.
Selain itu, berbicara tentang perusahaan grup, tujuan utama dari
para stakeholders adalah untuk memaksimalkan laba dari perusahaan
grup secara keseluruhan. Salah satu langkah yang sering dilakukan oleh
perusahaan grup adalah dengan meminimalkan biaya yang dikeluarkan
bukan hanya oleh masing-masing entitas perusahaan, tetapi juga untuk
keseluruhan perusahaan. Oleh sebab itu, terkait tujuan untuk mendapat-
kan pendanaan internal sekaligus meminimalkan biaya, salah satu ke-
bijakan yang lazim ditempuh oleh perusahaan grup adalah Cash Pooling.
Secara umum sistem Cash Pooling diatur dalam suatu perjanjian
atau kontrak yang melibatkan induk perusahaan (pada umumnya sebagai
cash pool leader), anak perusahaan (pada umumnya sebagai cash pool
participants), dan pihak perbankan sebagai fasilitator. Berdasarkan Pera-
turan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.03/2019 tanggal 3 Desem-
ber 2019 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pengungkit Bagi Bank

1
Deloitte, Transfer Pricing Law and Practice in India, 2nd Edition, 2009 dalam Darussalam
et al. 2013 , hal. 429

56
Umum, cash pooling didefinisikan sebagai mekanisme Bank dalam meng-
gabungkan saldo kredit dan/atau debit dari beberapa rekening milik satu
nasabah yang menggunakan layanan cash pooling ke dalam saldo reken-
ing tunggal atas nama nasabah tersebut untuk memfasilitasi manajemen
kas dan/atau likuiditas.
Poskart (2011) mendefinisikan cash pooling sebagai suatu
kegiatan finansial dimana perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam
satu grup menempatkan dananya dalam satu rekening bank. Dalam ak-
tivitas ini, bank yang disebut juga sebagai pool leader berdasarkan per-
mintaan dari anggota dalam satu grup perusahaan, mengatur rekening
bank dari seluruh entitas dalam satu perusahaan grup melalui suatu re-
kening konsolidasi. Akibatnya, biaya bunga bank yang harus dibayarkan
oleh perusahaan grup secara keseluruhan menjadi lebih kecil karena re-
kening seluruh anak perusahaan grup berada dalam satu akun, sehingga
mengakibatkan biaya bunga bank juga hanya dikenakan atas satu reken-
ing saja.
Dalam aktivitas cash pooling, perusahaan grup mengatur likuiditas
(aliran modal) yang dibutuhkan oleh perusahaan grup dengan mekanisme
dimana surplus dana yang dihasilkan oleh satu anak perusahaan
digunakan untuk menutup kekurangan dana pada anak perusahaan
lainnya. Dengan kata lain, aktivitas cash pooling ini memberikan dukungan
likuiditas internal bagi para anak perusahaan dalam satu perusahaan grup
tanpa perlu melibatkan pihak eksternal (dana eksternal) yang seringkali
justru membebani perusahaan dengan beban bunga yang tinggi.
Dengan menggunakan aktivitas cash pooling, akumulasi bunga
yang harus dibayarkan oleh perusahaan grup secara keseluruhan menjadi
lebih kecil dibandingkan total bunga yang harus dikeluarkan jika setiap
anak perusahaan memiliki rekening perusahaan masing-masing. Selain
itu, biaya bunga untuk pinjaman jika menggunakan dana pihak eksternal
juga dapat dihindari karena aktivitas ini memungkinkan adanya pinjaman
internal sehingga perusahaan akan lebih fokus pada pengelolaan biaya
operasional untuk modal kerja, termasuk mengelola likuiditas operasional
dan investasi non strategis (jangka pendek).
Umumnya, perusahaan-perusahaan grup menggunakan aktivitas
cash pooling bertujuan untuk:

57
i. pemusatan manajemen kas dan memudahkan pengambilan kepu-
tusan strategis di bidang keuangan;
ii. mendapatkan suku bunga yang lebih menguntungan ketika terjadi ke-
naikan kas;
iii. mengurangi biaya terkait transaksi perbankan;
iv. memperoleh keuntungan atas selisih antara suku bunga tabungan
(debit) dan pinjaman (kredit).
Menurut Chand (2016), terdapat 2 jenis Cash Pooling, yaitu:
1. Physical cash pooling (penggabungan kas secara fisik);
a. Zero Balancing Method (Real Cash Pooling)
Dalam metode ini, para partisipan cash pooling mentransfer se-
luruh kas yang mereka miliki ke rekening cash pool leader. Trans-
fer dilakukan secara otomatis setiap akhir hari kerja atau sesuai
dengan batasan tertentu yang disepakati.
b. Target Balancing Method
Dalam metode ini, para partisipan cash pooling mentransfer se-
luruh kas yang mereka miliki ke rekening cash pool leader jika
telah melewati nilai batas tertentu. Jika partisipan mengalami kas
negatif, maka cash pool leader akan mentransfer dana ke reken-
ing partisipan tersebut.
Ilustrasi I:

HARI I
CPL CPL

100

100 100 300


BANK BANK

PT. A PT. B PT. A PT. B


KAS +100 KAS +100 0 0

HARI II

CPL CPL

200

100 300 200


BANK BANK

PT. A PT. B PT. A PT. B


KAS +100 KAS - 200 0 0

Gambar 3.1 Ilustrasi I

58
Tiga perusahaan dalam satu grup menerapkan skema Cash Pool-
ing dengan ketentuan saldo anak perusahaan (cash pool participant) pada
akhir setiap harinya haruslah berjumlah Rp0,- (skema zero balance cash
pooling). Dengan demikian, adanya kelebihan kas (surplus kas/saldo kas
positif) pada anak perusahaan (perusahaan A dan perusahaan B) pada
akhir hari harus ditransfer kepada induk perusahaan (perusahaan CPL).
Demikian sebaliknya, dalam hal anak perusahaan kekurangan kas untuk
membiayai operasi perusahaannya (saldo kas negatif), induk perusahaan
akan mentransfer sejumlah kas untuk menutup kekurangan kas anak pe-
rusahaan tersebut.
Pada hari I, saldo kas induk perusahaan 100 dan kedua anak pe-
rusahaan masing-masing memperoleh kas bersih (surplus kas/saldo kas
positif) dari hasil operasi perusahaan sejumlah 100. Surplus kas kedua
anak perusahaan tersebut kemudian ditransfer ke induk perusahaan pada
akhir hari I. Atas peristiwa pada hari I, saldo kas masing-masing anak pe-
rusahaan menjadi 0 dan saldo kas induk perusahaan menjadi 300 (saldo
kas CPL=100 + transfer dari A dan B=200).
Pada hari II, induk perusahaan tidak memperoleh tambahan kas
dari operasi, perusahaan A memperoleh kas bersih dari hasil operasi
sejumlah 100, dan perusahaan B overdraft 200 untuk membiayai operasi
perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan yang memiliki surplus kas/saldo
kas positif (perusahaan A) tetap mentransfer kepada induk perusahaan
sebesar 100. Sedangkan perusahaan B yang mengalami overdraft akan
memperoleh transfer kas dari induk perusahaan sebesar 200. Atas peri-
stiwa pada hari II, saldo kas masing-masing anak perusahaan tetap 0 dan
saldo kas induk perusahaan menjadi 200 (saldo kas CPL=300 + transfer
dari A=100 – transfer ke B=200).
Ilustrasi II:
PT. A (Induk) yang berdomisili di Jakarta membuat perjanjian Zero
Balancing Cash Pooling dengan anak perusahaannya, yaitu PT. B domisili
di Bandung, PT. C domisili di Surabaya, dan PT. D domisili Medan. Sesuai
perjanjian, selaku cash pool leader, PT. A membuka rekening master di
Bank Z di Jakarta. PT. B, PT. C, dan PT. D membuka rekening yang meru-
pakan sub-rekening dari rekening master milik PT. A di Bank Z. Menurut
perjanjian (Zero Balancing), Bank Z akan memindahkan kas dari masing
rekening partisipan, yaitu PT. B, PT. C dan PT. D ke rekening master PT.

59
A atau sebaliknya secara otomatis secara regular (misalnya harian,
mingguan, atau bulanan).
Saldo kas PT. B dan PT. C menunjukkan angka positif senilai 100
dan 150, sedangkan PT. D mengalami overdraft Rp200. Bank Z menetap-
kan kebijakan suku bunga senilai 10% untuk saldo positif dan 15% untuk
overdraft. Jika dihitung secara terpisah, PT. B dan PT. C, masing-masing
akan memperoleh pendapatan bunga senilai 10 dan 15, sedangkan PT. D
akan membayar beban bunga senilai 30 sehingga secara akumulasi pe-
rusahaan grup akan membayar beban bunga net sebesar 5.
Akan tetapi, dengan perjanjian cash pooling, secara keseluruhan
perusahaan grup mempunyai saldo positif senilai 5 (25 – 20), sehingga
alih-alih harus membayar beban bunga, perusahaan akan memperoleh
pendapatan bunga 0,5.
Tabel 3.1
Perbandingan Pembayaran Bunga dengan dan Tanpa Cash Pooling

Tanpa Cash Pooling Cash Pooling


PT. B PT. C PT. D Total Keuntungan
Saldo* 100 150 (20) 5 5
Suku 10 10 15 - 10
Bunga
Bunga* 10 15 (30) (5) 0.5 5.5

Dalam metode physical cash pooling ini, cash pool leader ber-
tindak sebagai entitas penyedia jasa keuangan yang menanggung
risiko transaksi. Partisipan yang mendapatkan benefit membayarkan
bunga layaknya bunga pinjaman sedangkan partisipan yang memiliki
kelebihan dana mendapatkan pendapatan bunga.

2. Virtual/Notional cash pooling (penggabungan kas secara virtual)


Dalam metode ini, kas tidak ditransfer secara fisik (transfer
hanya terjadi di atas kertas saja), sehingga tidak memungkinkan untuk
melakukan pinjaman intra grup. Melalui metode ini, partisipan mem-
buka rekening secara langsung dengan bank. Bank kemudian
menghitung suku bunga debit dan kredit dari masing rekening

60
partisipan kemudian menghitung saldo notional (virtual) gabungan
dari keseluruhannya yang disebut juga sebagai konsolidasi virtual dan
membayar/mengenakan bunga pada saldo konsolidasi saja.
Dalam metode ini, cash pool leader hanya bertindak sebagai
koordinator dana tanpa menanggung risiko. Dalam skema ini, risiko
ada pada pihak bank, sehingga seringkali para partisipan diminta un-
tuk menyediakan garansi bank sebagai jaminan jika terjadi gagal
bayar oleh partisipan. Bank harus menjaga dana cadangan untuk
semua aset sekaligus memperhitungkan saldo pada rekening sumber
terlepas dari akumulasi keseluruhan. Metode ini biasanya digunakan
jika seluruh perusahaan dalam grup memiliki rekening di satu bank.
Berbeda dengan physical cash pooling, pada metode ini tidak terdapat
biaya bunga dan pendapatan bunga karena tidak adanya perpindahan
kas.
Ilustrasi:
HARI I
CPL CPL DA

0 100 300

BANK BANK

PT. A PT. B PT. A PT. B


KAS +100 KAS +100 100 100

HARI II

CPL CPL DA

100 100 100

BANK BANK
KAS - 300
KAS +100

PT. A PT. B PT. A PT. B


100 100 200 -200

Gambar 3.2 Ilustrasi II

Tiga perusahaan dalam satu grup menerapkan skema Cash


Pooling secara virtual (skema virtual/notional cash pooling). Dalam
skema ini, adanya kelebihan kas (surplus kas/saldo kas positif) pada
anak perusahaan (perusahaan A dan perusahaan B) pada akhir hari
tidak ditransfer kepada induk perusahaan (perusahaan CPL).

61
Pada hari I, saldo kas induk perusahaan 100 dan masing-mas-
ing anak perusahaan memperoleh kas bersih (surplus kas) dari hasil
operasi perusahaan sejumlah 100. Atas peristiwa pada hari I, saldo
kas masing-masing perusahaan adalah 100 dan saldo grup Cash
Pooling dicatat dalam dummy account (DA) sebesar 300. (saldo kas
DA = saldo induk(100) + saldo A(100) + saldo B(100).
Pada hari II, perusahaan induk tidak memperoleh tambahan
kas dari operasi, perusahaan A memperoleh kas bersih dari hasil
operasi sejumlah 100, dan perusahaan B mengeluarkan kas sebesar
300 untuk membiayai operasi. Perusahaan A yang memperoleh tam-
bahan kas bersih akan memiliki saldo kas positif sebesar 200. Se-
dangkan perusahaan B akan overdraft sebesar 200. Atas peristiwa
pada hari II, saldo kas perusahaan induk menjadi 100, perusahaan A
menjadi 200, dan perusahaan B overdraft 200. Saldo grup Cash Pool-
ing dicatat dalam dummy account sebesar 100. (saldo kas DA = saldo
induk(100) + saldo A(200) + overdraft B(-200).
Singkatnya, cash pooling adalah suatu metode penggabungan kas
baik secara fisik maupun secara virtual yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, yang pada prinsipnya merupakan
transaksi pinjam-meminjam di antara pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa (pinjaman intra-grup/intra-group loans) yang sewajarnya
dikenakan biaya bunga bagi penerima pinjaman dan diperoleh imbalan
bunga bagi pemberi pinjaman.
Perlu menjadi perhatian bahwa aktivitas cash pooling tidak mem-
iliki bentuk yang standar karena sifatnya yang “tailor-made”, yaitu dis-
esuaikan menurut kepentingan dan kehendak pengguna. Oleh karena itu,
semua elemen yang terkait merupakan hal yang dapat diatur dan dinego-
siasikan secara individual. Begitu pula dengan besaran tingkat suku
bunga, yang mana nilainya tergantung dari jenis cash pooling yang
digunakan, kondisi keuangan masing-masing pihak dan manfaat yang
akan dihasilkan.
Selain menguntungkan bagi perusahaan, aktivitas cash pooling
juga memberikan manfaat bagi pihak bank. Selain efek semakin kecilnya
biaya transaksi dan/atau bunga bank karena aktivitas cash pooling, be-
berapa manfaat yang diperoleh pihak bank dari aktivitas adalah sebagai
berikut:

62
1. berkurangnya risiko pinjaman karena saldo negatif satu partisipan
langsung dikompensasi oleh akumulasi dana partisipan lain;
2. membatasi aliran dana keluar atas saldo positif rekening partisipan ke
bank lain;
3. kewenangan untuk menetapkan syarat dan ketentuan atas cash pool-
ing sehingga dapat memperkecil kerugian atas selisih bunga ta-
bungan dengan bunga pinjaman;
4. dapat meningkatkan branding bank di masa yang akan datang karena
volume turnover yang besar.
3.2 KETENTUAN AKUNTANSI
Berdasarkan hasil konferensi IAS Maret 2016 terkait Pencatatan
atas Instrumen Keuangan: Cash Pooling, The Interpretation Committee
berkesimpulan bahwa tidak diperlukan aturan khusus ataupun
amandemen atas standar akuntansi yang berlaku terkait aktivitas cash
pooling. Hal ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa cash pooling merupakan
aktivitas yang sifatnya transaksional (mengingat banyaknya jenis transaksi
dalam cash pooling yang sifatnya “tailor-made”), sehingga pencatatan
akuntansinya disesuaikan dengan transaksi yang dilakukan. Transaksi-
transaksi yang dimaksud, secara umum telah diatur dalam standar
akuntansi yang berlaku sehingga tidak diperlukan aturan tambahan/peru-
bahan.
Misal, PT. A merupakan cash pool leader dalam skema zero bal-
ancing method cash pooling dalam satu perusahaan grup yang terdiri atas
PT. A (induk), PT. B dan PT. C. Dalam suatu periode, PT. B merupakan
partisipan yang memiliki saldo positif, sedangkan PT. C merupakan
partisipan yang mengalami overdraft.
I. Pencatatan pada PT. A selaku cash pool leader
 Saat menerima dana surplus dari PT. B
Bank PT. A xxx.xxx
Utang xxx.xxx
 Saat transfer dana ke PT. C
Account Payable xxx.xxx
Bank PT. C xxx.xxx
 Saat terima pelunasan utang dari PT. C
Bank PT C xxx.xxx
Account Payable xxx.xxx

63
 Saat menerima imbalan bunga dari PT. C
Bank PT. A xxx.xxx
Interest Income xxx.xxx
 Saat menerima jasa manajemen dari PT. B dan PT.C
Bank PT. A xxx.xxx
Management Fee xxx.xxx

II. Pencatatan pada PT. B selaku partisipan yang memiliki saldo pos-
itif

 Saat transfer dana ke PT. A


Piutang xxx.xxx
Bank PT. B xxx.xxx
 Saat menerima imbalan bunga dari PT. A atas penggunaan dana
oleh PT. C (jika diatur dalam perjanjian cash pooling)
Bank PT. B xxx.xxx
Interest Income xxx.xxx
 Saat pembayaran jasa manajemen ke PT. A
Management Expense xxx.xxx
Bank PT. B xxx.xxx

III. Pencatatan pada PT. C selaku partisipan yang mengalami over-


draft

 Saat menerima dana dari cash pool leader (PT. A)


Bank PT. C xxx.xxx
Account Payable xxx.xxx
 Saat pelunasan pinjaman ke PT. A
Account Payable xxx.xxx
Bank PT. C xxx.xxx
 Saat pembayaran biaya bunga pinjaman ke PT. A
Interest Expense xxx.xxx
Bank PT. C xxx.xxx
 Saat pembayaran jasa manajemen ke PT. A
Management Expense xxx.xxx
Bank PT. C xxx.xxx

64
3.3 KETENTUAN PERPAJAKAN
OECD dan UN Model sepakat bahwa transaksi yang dilakukan
oleh perusahaan afiliasi harus dilakukan sesuai nilai pasar wajar. Ber-
dasarkan hal tersebut, besarnya biaya bunga dan pendapatan bunga yang
diperoleh atas aktivitas pinjaman intra grup melalui physical cash pooling
harus dilakukan berdasarkan nilai pasar wajar. Begitu juga dengan nilai
garansi bank yang disampaikan harus sesuai dengan nilai pasar wajar.
Secara garis besar, aktivitas cash pooling secara substansi hanya
merupakan manajemen kas perusahaan-perusahaan yang memiliki hub-
ungan istimewa yang tujuan utamanya adalah untuk efisiensi dan efektifi-
tas manajemen keuangan perusahaan grup yang dilakukan dalam skema
pinjaman intra grup. Oleh sebab itu, pengaturan aspek pajaknya mengikuti
ketentuan umum yang mengatur perpajakan terkait transaksi pinjam mem-
injam, yaitu pembayaran imbalan bunga dan jasa manajemen.
I. Perlakuan Perpajakan atas Imbalan Bunga
1) Penerapan sistem Cash Pooling pada prinsipnya merupakan
suatu bentuk Pinjaman Intra-Grup (Intra-Group Loans). Pinjaman
Intra-Grup merupakan transaksi pinjam-meminjam di antara
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang sewajarnya
dikenakan biaya bunga bagi penerima pinjaman dan diperoleh
imbalan bunga bagi pemberi pinjaman.
2) Pihak penerima pinjaman dalam sistem cash pooling adalah
sebagai berikut:
a) pendekatan Physical Cash Pooling:
(1) cash pool leader yang menerima transfer kas dari cash
pool participants (cash pool participants memiliki saldo
pinjaman positif pada cash pool leader); atau
(2) cash pool participants yang menerima transfer kas dari
cash pool leader (cash pool participants memiliki saldo
pinjaman negatif pada cash pool leader).
b) pendekatan Virtual/Notional Cash Pooling:
(1) cash pool leader yang mengalami overdraft; atau
(2) cash pool participants yang mengalami overdraft.
3) Pihak pemberi pinjaman dalam sistem cash pooling adalah
sebagai berikut:
a) pendekatan Physical Cash Pooling:

65
(1) cash pool participants yang mentransfer kas ke cash
pool leader; atau
(2) cash pool leader yang mentransfer kas ke cash pool
participants.
b) pendekatan Virtual/Notional Cash Pooling:
(1) cash pool leader yang memiliki saldo kas positif pada
rekeningnya; atau
(2) cash pool participants yang memiliki saldo kas positif
pada rekeningnya.
4) Pembebanan/pembayaran imbalan bunga kepada cash pool
leader atau cash pool participants pada umumnya dilakukan
secara periodik dan dihitung secara harian berdasarkan saldo
pinjaman untuk Physical Cash Pooling atau berdasarkan
besarnya overdraft dan saldo kas positif untuk Virtual/Notional
Cash Pooling.
5) Imbalan bunga yang diperoleh suatu anggota grup dalam
penerapan sistem Cash Pooling merupakan penghasilan yang
terutang Pajak Penghasilan dan wajib dilakukan pemotongan
PPh Pasal 23 oleh pihak yang wajib membayarkan pada saat
jatuh tempo atau pada saat dilakukan pembayaran.
6) Pembayaran imbalan bunga merupakan biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak oleh pihak yang membayarkan.
7) Dalam hal imbalan bunga dibayarkan kepada induk perusahaan
dan berada pada tingkat harga di atas harga wajar (arm’s length
price), maka selisih antara harga yang dibayarkan dengan harga
wajar dianggap sebagai pembayaran dividen (deemed dividend)
dari anak perusahaan kepada induk perusahaan.
8) Dividen yang diterima induk perusahaan sebagaimana dimaksud
pada angka 7) merupakan penghasilan yang terutang Pajak
Penghasilan dan wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh
pihak yang wajib membayarkan pada saat jatuh tempo atau pada
saat dilakukan pembayaran.
9) Selisih antara harga yang dibayarkan dengan harga wajar yang
dianggap sebagai pembayaran dividen sebagaimana dimaksud
pada angka 7) tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak anak
perusahaan.

66
10) Dalam hal imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada angka 5)
dan dividen sebagaimana dimaksud pada angka 7) dibayarkan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri, maka atas penghasilan tersebut
dipotong menurut ketentuan PPh Pasal 26 atau menurut
ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
yang berlaku.
11) Penentuan pemenuhan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
(Arm's Length Principle/ALP) atas imbalan atau biaya bunga
harus memperhatikan ketentuan dalam:
a) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013
tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa; dan
b) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013
tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
12) Selain pemenuhan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman usaha
sebagaimana dimaksud angka 11), penentuan biaya bunga yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak harus memperhatikan
besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan
antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghi-
tungan Pajak Penghasilan.

II. Perlakuan Perpajakan atas Jasa Manajemen


1) Penerapan sistem cash pooling dapat diikuti dengan adanya
suatu pengelolaan atas kas hasil penggabungan peserta cash
pooling.
2) Pengelolaan atas kas sebagaimana dimaksud angka 1) pada
prinsipnya merupakan jasa manajemen yang diserahkan oleh
cash pool leader kepada anggota grup peserta Cash Pooling.
3) Transfer kas antar perusahaan dengan sistem Cash Pooling pada
prinsipnya merupakan jasa meminjamkan dana antar perusahaan
yang termasuk dalam kelompok jasa keuangan yang tidak dikenai
PPN, sehingga atas penyerahannya tidak terutang PPN.

67
4) Namun demikian, pengelolaan penerapan sistem Cash Pooling
oleh cash pool leader kepada anggota grup peserta Cash Pooling
pada prinsipnya merupakan jasa manajemen yang diserahkan
oleh cash pool leader kepada anggota grup peserta Cash
Pooling.
5) Penyerahan jasa manajemen oleh cash pool leader kepada
anggota grup peserta Cash Pooling tidak termasuk dalam jenis
jasa yang tidak dikenai PPN, sehingga atas penyerahannya
terutang PPN.
6) Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan jasa manajemen oleh
cash pool leader kepada anggota grup peserta Cash Pooling
adalah penggantian berupa imbalan atas jasa manajemen yang
dibayarkan oleh anggota grup peserta Cash Pooling kepada cash
pool leader.
7) Dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang dibayarkan
kepada cash pool leader berada pada tingkat harga di bawah
harga wajar maka penggantian dihitung atas dasar harga pasar
wajar saat penyerahan jasa manajemen tersebut.
3.4 CONTOH KASUS

Kasus 1
Nomor Putusan : 171X/B/PK/PJK/2016
A. SKEMA TRANSAKSI

68
Seluruh penerimaan yang diterima oleh PT. SAMI dari pembayaran
atas jasa maklon PT. SAI langsung dicatat dan dihitung dengan selisih
pemakaian dengan dana yang dipinjam PT.SAMI dari PT. SAI.
Dalam Intercompany Loan Agreement dari PT. SAI kepada PT. SAMI
disebutkan bahwa bunga yang dikenakan atas pinjaman tersebut ada-
lah sejumlah SIBOR + 0,375% + 1 %, yang mana SIBOR + 0,375%
merupakan bunga pinjaman yang dikenakan oleh Bank UFJ Indonesia
kepada PT. SAI, sedangkan 1% adalah penghasilan bunga yang
diterima PT. SAI atas pemberian pinjaman kepada PT. SAMI.
B. KOREKSI
Koreksi Biaya Luar Usaha dengan jumlah koreksi atas dasar adanya
beban bunga (interest expense) yang tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto karena beban bunga tersebut merupakan bentuk
dividen terselubung. Koreksi tersebut didasarkan pada beberapa kon-
disi sebagai berikut:
1) Terdapat hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan pemberi
pinjaman,
2) Dalam kegiatan operasinya PT. SAMI (Wajib Pajak) hanya mem-
berikan jasa maklon kepada perusahaan afiliasinya,
3) Berdasarkan perjanjian tersebut maka seluruh penerimaan Wajib
Pajak langsung dicatat dan dihitung dengan selisih pemakaian
dana yang dipinjam Wajib Pajak dari PT (PSAI),
4) Dari struktur modal yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam
SPT Tahunannya diketahui bahwa sampai dengan akhir tahun
2006 modal yang ditempatkan dan disetor oleh pemegang saham
belum melebihi modal dasar dalam AD/ART sebesar
US$5,000,000.00,
5) Dalam perjanjian tidak disebutkan jumlah pinjaman yang diberi-
kan tetapi pinjaman dari PSAI tersebut dananya berasal dari fasil-
itas kredit dari Bank UFJ Indonesia dengan total pinjaman sebe-
sar USD26,000,000.00 dan Wajib Pajak terikat Cash Manage-
ment Agreement;
6) Terdapat beberapa kejanggalan dan ketidakwajaran, yaitu PSAI
memberikan pinjaman ke Wajib Pajak dengan plafon maksimal
sebesar US$26,000,000.00 yang berarti Wajib Pajak berpotensi

69
mencatat hutang dari pemegang saham sebesar lebih dari 500%
dari jumlah modal dasarnya sebesar US$5,000,000.00,
7) Dalam praktik bisnis yang lazim antara pihak-pihak yang tidak di-
pengaruhi oleh hubungan istimewa, transaksi semacam ini tidak
wajar terjadi dimana kepada Wajib Pajak diberikan pinjaman
dengan mekanisme pooling account dengan jumlah yang sangat
besar,
8) Mekanisme perhitungan selisih antara jumlah uang yang ditarik
Wajib Pajak sebagai pinjaman dengan pendapatan jasa maklon
yang Wajib Pajak menunjukkan bahwa transaksi tersebut pada
substansinya merupakan penyetoran laba Wajib Pajak kepada
PSAI selaku pemegang sahamnya, di mana dengan mekanisme
ini Wajib Pajak tidak pernah mendapatkan laba dari usaha jasa
maklon yang dilakukannya karena keuntungan tersebut langsung
diakui oleh PSAI sebagai pembayaran hutang Wajib Pajak.
C. DASAR HUKUM
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sttd Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000:
 Pasal 6 ayat (1) huruf a
 Pasal 9 ayat (1) huruf a
 Pasal 18 ayat (3)
 Pasal 18 ayat (4)
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas sttd Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007.
D. DOKUMEN:
1) Intercompany Loan Agreement/Cash Management Agreement,
2) SPT Wajib Pajak,
3) Laporan Keuangan,
4) Akta Notaris dan AD/ART Wajib Pajak,
5) Kontrak Jasa Maklon,
6) Rekening Koran Bank.
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
1) Pemanfaatan Informasi Internal dan Eksternal DJP
2) Penelusuran Bukti
3) Pengujian Kebenaran Matematis

F. PENDAPAT WAJIB PAJAK

70
1) Sejak dimulai operasi, Wajib Pajak menggunakan dana pinjaman
(modal kerja) 100% dari PT. SAI (PSAI) sebagai pemegang sa-
ham mayoritas,
2) Sejak tahun 2004 dibentuklah Intercompany Pooling System,
3) Selisih penggunaan dana untuk modal kerja dan pinjaman lebih
besar dibandingkan dengan penerimaan dana atas jasa maklon,
maka dari selisih tersebut menjadi biaya bunga bagi Wajib Pajak
dan pendapatan bunga bagi PSAI,
4) Atas pendapatan bunga yang diterima oleh PSAI telah dipotong
Pasal 23 oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan UU Pajak
Penghasilan,
5) Wajib Pajak beranggapan bahwa mereka layak untuk mendapat-
kan pinjaman untuk modal kerja 100% dari PSAI sebagai
pemegang saham mayoritas. Sehingga atas pembayaran beban
bunga sebagai konsekuensi atas skema Intercompany Pooling
System tersebut seharusnya dapat dikurangkan dalam menen-
tukan penghasilan kena pajak dalam perhitungan SPT Tahunan
PPh Badan Tahun 2006.
G. PENDAPAT MAJELIS
1) Meskipun tidak dinyatakan secara jelas oleh DJP (terbanding),
dengan mendasarkan pada Pasal 18 ayat (3), terbanding telah
menentukan utang PT.SAMI (Pemohon Banding) kepada PSAI
sebagai modal dari PSAI pada pemohon banding, sehingga
jumlah yang dibayarkan berkaitan dengan pinjaman tersebut se-
bagai Dividen.
2) Penerapan kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat
(3) harus didahului dengan keyakinan adanya ketidakwajaran
transaksi yang dimaksud dan didukung oleh bukti yang men-
dasarinya.
3) Majelis tidak memperoleh bukti-bukti dari terbanding mengenai
ketidakwajaran transaksi.
4) Ketidakwajaran pinjaman dari pemegang saham kepada suatu
perusahaan terjadi apabila pemegang saham selaku pemberi pin-
jaman terbukti belum menyetor seluruh atau sebagian saham te-
lah ditempatkannya dalam perusahaan tersebut.

71
5) Pembebanan biaya bunga telah wajar dan sesuai dengan tingkat
suku bunga pinjaman yang berlaku, sehingga dapat dibebankan
sebagai biaya.

Pendapat Majelis Peninjauan Kembali


Koreksi Biaya Luar Usaha atas biaya bunga tidak dapat dibenarkan,
karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan
dalam Memori Peninjauan Kembali oleh DJP, dan Wajib Pajak tidak
mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali, tidak dapat
menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang ter-
ungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pen-
gadilan Pajak, karena dalam perkara tersebut merupakan substansi
yang didukung dengan bukti yang memadai dan telah dilakukan
penilaian oleh Majelis Pengadilan Pajak dengan benar.

Kasus 2
Nomor Putusan : 18X/B/PK/PJK/2013

A. SKEMA TRANSAKSI

Penentuan Utang dan Piutang dari sudut pandang PT. GISP.


Pada tahun pajak yang diperiksa, PT. GPIS mencatat kelebihan dana,
dimana dana ditempatkan oleh PT. GPIS lebih besar dari pada dana

72
yang dipinjam. Atas kondisi ini, PT. GISP mendapatkan penghasilan
bunga.
B. KOREKSI
Koreksi Penghasilan Dari Luar Usaha berupa Pendapatan Bunga sebe-
sar Rp2.325.138.714,00 dikarenakan terdapat selisih pengenaan tarif
bunga antara Wajib Pajak dengan pemeriksa dalam kegiatan cash
pooling. Wajib Pajak mengenakan tarif bunga sebesar 6.5% per tahun
dari saldo piutang cash pooling dan saldo piutang hubungan rekening
koran antar perusahaan, dan sebaliknya harus membayar bunga 15%
per tahun dari saldo utang cash pooling dan saldo hutang hubungan
rekening koran antar perusahaan. Atas pendapatan bunga cash pool-
ing, pemeriksa pajak mengenakan tarif bunga 12% per tahun. Adapun
dasar dilakukannya koreksi adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan Perjanjian Cash Pooling antara PT. ALA dengan
PT.GPIS (Wajib Pajak), dana Major Account (PT. ALA) maupun
Minor Account (Wajib Pajak) ditempatkan pada Bank Universal,
Tbk. (Pada Februari 2002 Bank Universal dll dimerger menjadi
Bank Berlian,Tbk);
2) Sengketa ini berkaitan dengan adanya kelebihan dana Wajib Pajak
sebagai Minor Account yang ditransfer ke rekening Major Account
(PT. ALA), sehingga atas transaksi ini sesuai Perjanjian Cash Pool-
ing, Wajib Pajak mendapatkan penghasilan atas bunga cash pool-
ing dengan tingkat suku bunga 6.5%;
3) Dalam proses keberatan, DJP telah menggunakan suku bunga de-
posito sebesar 13% per tahun, sesuai suku bunga deposito Bank
Berlian tempat dimana Wajib Pajak dan PT. ALA menempatkan
dana;
4) Pada Catatan Laporan Keuangan Wajib Pajak dicantumkan bahwa
Wajib Pajak mempunyai deposito on call sebesar
Rp3.490.000.000,00 dengan suku bunga 13% per tahun, sehingga
penentuan kewajaran besarnya bunga pinjaman oleh Wajib Pajak
telah sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-01/PJ.7/1993.
C. DASAR HUKUM
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sttd Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000:

73
 Pasal 18 ayat (3)
 Pasal 18 ayat (4)
2) KEP-01/PJ.7/1993.
D. DOKUMEN:
1) Cash Pooling Agreement,
2) SPT Wajib Pajak,
3) Laporan Keuangan,
4) Akta Notaris,
5) Rekening Koran Bank.
E. TEKNIK PEMERIKSAAN:
1) Pemanfaatan Informasi Internal dan Eksternal DJP,
2) Penelusuran Bukti,
3) Pengujian Kebenaran Matematis.
F. PENDAPAT WAJIB PAJAK
1) Pengenaan tarif bunga sebesar 6,5% per tahun untuk pendapatan
bunga dikarenakan adanya perjanjian adanya ketetapan (perjan-
jian cash pooling) yang sudah ditentukan oleh PT. ALA (yang meru-
pakan pemegang Major Account pada sistem Cash Pooling) se-
hingga Pendapatan Bunga yang Wajib Pajak akui harus sesuai
dengan biaya bunga yang diakui/dicatat oleh PT. ALA.
2) Apabila DJP menetapkan tingkat bunga untuk menghitung penda-
patan bunga adalah sebesar 12%, hal ini menjadi tidak sinkron
dengan biaya bunga yang telah diakui dan dicatat oleh PT. ALA.
yang pada laporan keuangannya (audited) telah mencatat biaya
bunga untuk rate sebesar 6.5%.
G. PENDAPAT MAJELIS
Atas Permohonan Banding tersebut, Majelis Hakim mengabulkan se-
bagian permohonan Wajib Pajak dalam permohonannya dengan mem-
batalkan Koreksi Pendapatan Bunga Cash Pooling antar perusahaan
sebesar Rp2.885.886.394,00, dengan pertimbangan bahwa dari
pemeriksaan dalam persidangan Majelis tidak memperoleh bukti-bukti
dari DJP mengenai ketidakwajaran transaksi, kecuali fakta bahwa
adanya hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan PT. ALA. Selain
itu, berdasarkan data pembanding yang digunakan oleh Majelis Hakim
berupa Suku Bunga Penjaminan Bank Indonesia untuk tingkat suku
bunga bulan Januari 2005, Majelis berpendapat bahwa suku bunga
yang ditetapkan oleh Wajib Pajak berada pada nilai wajar sehingga

74
tidak perlu dilakukan penyesuaian sebagaimana yang ditetapkan oleh
pemeriksa pajak.
Pendapat DJP
Atas pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menggunakan
data pembanding Suku Bunga Penjaminan Bank Indonesia untuk ting-
kat suku bunga bulan Januari 2005, maka DJP berpendapat sebagai
berikut:
a) Suku Bunga Penjaminan Bank Indonesia diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tentang Suku Bunga Penja-
minan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank;
b) Suku Bunga Penjaminan Bank Indonesia dilakukan dalam hal
penetapan maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dan
Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah yang sampai
saat ini masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa penetapan maksimum suku bunga
penjaminan tersebut sampai saat ini merupakan kebijakan yang
dapat mempengaruhi kegiatan moneter. Dalam rangka pelaksa-
naan kebijakan moneter khususnya kebijakan suku bunga diper-
lukan upaya penyelarasan struktur suku bunga melalui
penyesuaian terhadap dasar perhitungan penetapan maksimum
suku bunga penjaminan pihak ketiga dan pasar uang antar bank
dalam Rupiah maupun valuta asing;
c) Maka sesuai Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, Suku
Bunga Penjaminan Bank Indonesia tidak dapat diterapkan sebagai
pembanding (data yang dapat diperbandingkan) dalam menen-
tukan kewajaran tingkat suku bunga deposito on call, karena Suku
Bunga Penjaminan Bank Indonesia tersebut mengatur suku bunga
penjaminan bukan suku bunga atas dana yang ditempatkan/de-
posito;
d) Pada prinsipnya transaksi antara pihak yang memiliki hubungan is-
timewa harus sesuai dengan kewajaran bisnis dan harga yang ber-
laku di pasar (arm's length);
e) Tingkat suku bunga menurut perhitungan DJP adalah wajar dan
dalam butir 1 Perjanjian Cash Pooling juga telah diatur bahwa:
"Pihak pertama akan memberikan bunga berdasarkan tingkat
bunga di Major Account, maksimal sebesar tingkat bunga pasar

75
(selanjutnya disebut bunga Pooling)", artinya bunga sebesar 13%
masih dalam range bunga yang dapat diberikan oleh PT. ALA.

Pendapat Majelis Peninjauan Kembali


Memperhatikan alasan-alasan yang telah disampaikan oleh DJP,
majelis berpendapat bahwa putusan Pengadilan Pajak sudah tepat dan
benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Contoh Sengketa Cash Pooling di Luar Negeri

a. Kasus ConocoPhillips Inc di Norwegia


ConocoPhillips Inc, merupakan perusahaan yang bermarkas di
Amerika Serikat yang memiliki anak perusahaan yang tersebar di seluruh
dunia. Perusahaan ini memiliki dua anak perusahaan Norwegia, yaitu
COPSAS dan NCOPAS. ConocoPhillips Inc, bersama-sama dengan
anak perusahaannya (sebagai cash pool participants), membentuk suatu
Perjanjian Physical Cash Pooling dengan Bank of America (bank), di-
mana ConocoPhillips UK, selaku kantor pusat ConocoPhillips Inc, ber-
peran sebagai pengelola (cash pool leader). Berdasarkan perjanjian,
para cash pool participants diminta untuk menempatkan kelebihan cash
mereka pada sub-rekening bank. Bunga akan didebit atau dikreditkan
berdasarkan saldo rekening master (sub-rekening dikumpulkan ke dalam
akun master). Saldo positif pada rekening master berhak untuk
mendapatkan tingkat bunga LIBID -0,25% (bunga dari bank), sedangkan
saldo negatif akan dikenakan bunga senilai LIBOR + 0,25% (pem-
bayaran untuk bank). Sehingga tersedia rentang sekitar 0,625% dalam
skema ini, sebab suku bunga LIBOR lebih tinggi 0,125% basis poin dari
suku bunga LIBID. Namun, penyetoran dan penarikan dana oleh masing-
masing partisipan dikenai suku bunga yang sama senilai tarif dari LIBID
-0,25%, yaitu senilai suku bunga tabungan.
Dalam kasus ini, rekening master selalu menunjukkan saldo positif.
Lebih lanjut, ConocoPhillips Inc menjamin seluruh rekening (termasuk
sub-rekening) meskipun sebenarnya semua partisipan bertanggung ja-
wab atas rekening masing-masing sesuai perjanjian cash pooling terse-
but. COPSAS dan NCOPAS adalah net depositors pada perjanjian ini
dan berhak atas suku bunga sebesar LIBID -0,25%. Pertanyaan kunci
yang muncul dalam kasus ini, dari perspektif pajak dan transfer pricing

76
Norwegia adalah apakah tingkat bunga yang diterima oleh Wajib Pajak,
yaitu COPSAS dan NCOPAS, berada pada nilai yang wajar (arm’s
length)?
Wajib Pajak berpendapat bahwa pihak independen tidak ikut serta
dalam perjanjian cash pooling, sehingga tidak mungkin untuk mem-
bandingkan transaksi terkontrol dengan transaksi yang tidak terkontrol
dalam perjanjian cash pooling. Akibatnya, perlu untuk mendapatkan
transaksi pembanding yang paling dekat dengan transaksi yang dimak-
sud dalam cash pooling. Transaksi yang paling dekat adalah transaksi
jika Wajib Pajak menyetor dana kepada bank independen. Meskipun
demikian, perbandingan tersebut tidak dapat juga dianggap wajar karena
suku bunga yang Wajib Pajak terima dari bank akibat perjanjian cash
pooling lebih tinggi dari pada suku bunga yang diterima jika menyetor
dana ke bank independen. Alasan lain yang cukup diperdebatkan adalah
adanya klausul dimana keuntungan transaksi cash pooling tidak
dibagikan ke seluruh partisipan dengan alasan keuntungan yang
dihasilkan oleh entitas pengelola dana sudah selayaknya jika dinikmati
oleh entitas itu sendiri.
Otoritas pajak Norwegia berpendapat bahwa perjanjian cash pool-
ing seharusnya dilihat secara menyeluruh dimana keuntungan yang di-
peroleh atas perjanjian ini sudah selayaknya diatribusikan ke seluruh
partisipan sesuai dengan kontribusinya. Hal lain yang menjadi perten-
tangan adalah adanya kesamaan tingkat suku bunga yang diterima oleh
kreditor dengan suku bunga yang harus dibayar oleh debitur, yaitu
dengan nilai suku bunga LIBID -0,25%. Dengan skema seperti itu, debi-
tur sangat diuntungkan dengan kegiatan cash pooling ini karena menik-
mati suku bunga yang sama dengan kreditur.
Pengadilan Pajak Norwegia (The Bogarting Court of Appeal)
memutuskan dan sependapat dengan otoritas pajak Norwegia. Majelis
Hakim setuju bahwa keuntungan atas kegiatan cash pooling harus
dibagikan ke seluruh partisipan dengan memperhatikan kontribusi mas-
ing-masing partisipan. Para deposan (pemilik dana) memiliki posisi tawar
yang tinggi karena merekalah yang menciptakan potensi laba bagi
kegiatan cash pooling ini sehingga jika mereka mengikuti perjanjian yang
sama dengan pihak independen, maka mereka juga akan mendapatkan
suku bunga yang lebih tinggi sesuai dengan kontribusi mereka. Oleh

77
sebab itu, Wajib Pajak akan mendapatkan kompensasi yang menc-
erminkan kontribusinya sehingga penghasilan yang dapat dikenai pajak
menjadi lebih tinggi.
b. Kasus Bombardier di Denmark
The Canadian Bombardier Group merupakan perusahaan yang
memiliki anak perusahaan di seluruh dunia, salah satunya di Denmark
(selanjutnya disebut Wajib Pajak). Wajib Pajak membuat suatu perjanjian
zero-balancing cash pooling dengan perusahaan afiliasi di Swiss yang
ditunjuk sebagai cash pool administrator. Sesuai dengan perjanjian cash
pooling, Wajib Pajak wajib menyetorkan kelebihan dananya ke dalam
cash pool. Kemudian, Wajib Pajak dapat juga melakukan pinjaman dana
yang telah disimpan dan menarik dana tambahan jika dibutuhkan. Pihak
afiliasi Swiss bertanggung jawab untuk membuat rekening master cash
pool, mengkoordinasi cash pool, menyediakan dokumen dan menetap-
kan suku bunga cash pool, sekaligus mengelola aktivitas pendanaan
terkait lainnya. Berdasarkan perjanjian, deposit yang disetorkan akan
dikenakan bunga senilai Suku Bunga Bank – 0,5%, sedangkan penari-
kan dana dikenakan Suku Bunga Bank + 1,15%. Menurut Wajib Pajak,
nilai bunga yang ditetapkan tersebut telah sesuai dengan tingkat bunga
yang dikenakan oleh bank-bank independen lainnya, sehingga memung-
kinkan pihak Swiss untuk melakukan negosiasi pendanaan dengan pihak
eksternal sehingga nantinya Bombardier Group akan mendapatkan suku
bunga yang lebih rendah.
Selama tahun-tahun awal, Wajib Pajak memiliki surplus kas dan
kemudian menyetorkan kas tersebut ke dalam beberapa perjanjian
jangka pendek dan mendapatkan pendapatan bunga. Namun dikare-
nakan buruknya manajemen likuiditas mengakibatkan Wajib Pajak men-
galami saldo negatif sehingga melakukan pengambilan dana dari cash
pool dan membayar bunga. Pertanyaanya, apakah bunga yang diterima
dan/atau dibayarkan oleh Wajib Pajak tersebut wajar?
Pihak Swiss tidak memiliki peringkat kredit, lain halnya dengan
Bombardier Group yang memiliki kredit rating BB. Wajib Pajak juga tidak
menyediakan dokumen-dokumen yang menjelaskan bagaimana tingkat
suku bunga tersebut ditetapkan. Selanjutnya, dilihat dari sisi risiko, Wajib
Pajak menanggung risiko debitur dengan adanya cash pool deposit.
Akan tetapi, pihak Swiss tidak menanggung risiko apapun terkait penari-
kan dana, walaupun Wajib Pajak sebelumnya telah melakukan deposit.

78
Pihak otoritas pajak Denmark tidak sependapat dengan tingkat
bunga yang ditetapkan pihak Swiss dan menyamakan tingkat suku
bunga baik untuk deposit dan penarikan. Mereka juga menghitung bunga
pada nilai saldo rekening deposit. Namun dikarenakan kurangnya doku-
mentasi, pihak otoritas pajak menetapkan suku bunga melalui analisis
CUP eksternal dengan mempertimbangkan kredit rating dari Bombardir
Group. Walaupun tingkat bunga yang dikenakan saat melakukan deposit
maupun penarikan dana yang dilakukan oleh Wajib Pajak ekuivalen
dengan suku bunga yang ditetapkan oleh bank independen, namun hal
tersebut tidak relevan karena pihak independen tidak mempertim-
bangkan risiko kredit yang ditanggung Wajib Pajak (alasan yang sama
seperti yang diajukan oleh otoritas pajak pada kasus ConocoPhillips).
Oleh sebab itu, otoritas pajak setuju bahwa pihak Swiss seharusnya
memperoleh biaya jasa sebesar 0,25% untuk kegiatan yang dil-
akukannya.
Wajib Pajak mengajukan banding ke Pengadilan Administrasi Den-
mark. Majelis Hakim mempertahankan hampir seluruh pendapat otoritas
pajak Denmark. Majelis Hakim berpendapat bahwa pihak Swiss tidak
seharusnya mendapatkan suku bunga sebagaimana yang diatur dalam
perjanjian cash pooling (-0,5% sampai +1,15%). Hal tersebut disebabkan
fakta bahwa pihak Swiss tersebut tidak menanggung risiko kredit apapun
dalam perjanjian, sehingga tidak layak mendapatkan remunerasi dalam
bentuk pendapatan bunga, melainkan pendapatan jasa.

79
BAB 4
PROSEDUR PEMERIKSAAN

A. Pendahuluan
Proses pemeriksaan atas transaksi perusahaan grup tetap
mengacu pada ketentuan pemeriksaan yang selama ini sudah ada. Pen-
jelasan dalam modul ini hanya berupa panduan ringkas pelaksanaan
pemeriksaan berdasarkan aturan-aturan yang sudah ada.
Beberapa ketentuan yang ada terkait pemeriksaan antara lain:
 PMK 184/PMK.03/2015 Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan;
 PMK 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis
Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan;
 PER-07/PJ/2017 tentang Pedoman Pemeriksaan Lapangan dalam
Rangka Pemeriksaan untuk Tujuan Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan;
 PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pa-
jak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
 PER-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan;
 SE-126/PJ/2010 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pemerik-
saan (Audit Plan) untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan;
 SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan Program Pemerik-
saan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
 SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap
Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
 SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik
Pemeriksaan;
 SE-10/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan da-
lam Rangka Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan.

80
B. Persiapan Pemeriksaan
UU KUP memuat pengertian Pemeriksaan yaitu serangkaian
kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti
yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ke-
tentuan peraturan perundang-undangan. Agar bisa dilakukan dengan
baik, kegiatan Pemeriksaan harus didahului pula dengan persiapan yang
baik. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PMK 184/PMK.03/2015,
kegiatan persiapan pemeriksaan tersebut meliputi mengumpulkan dan
mempelajari data Wajib Pajak, menyusun Rencana Pemeriksaan dan me-
nyusun Program Pemeriksaan.
Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan
yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi
kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun
Rencana Pemeriksaan (audit plan), menyusun Program Pemeriksaan (au-
dit program), dan menyiapkan sarana prasarana Pemeriksaan.
1. Mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak
Pada tahap mempelajari mengumpulkan dan mempelajari data
Wajib Pajak terdapat tiga hal utama yang dapat dilakukan yaitu: mempela-
jari profil Wajib Pajak, menganalisis data Wajib Pajak dan mempelajari
data lain yang relevan.
Pada tahap mempelajari profil Wajib Pajak sebaiknya Pemeriksa
juga melakukan analisis yang mencakup pula pengenalan industri.
Pemeriksa bisa melakukan studi pendahuluan mengenai industri dimana
Wajib Pajak dan afiliasinya berada. Pengenalan ini dimaksudkan untuk
memberi gambaran awal mengenai proses bisnis Wajib Pajak dan afili-
asinya serta proses bisnis pelaku usaha lain di industri yang sama.
Dengan pengenalan industri ini diharapkan dapat diperoleh gambaran
mengenai kondisi industri, proses bisnis umum dalam industri, posisi Wajib
Pajak dan afiliasinya dalam industri, ada tidaknya perbedaan proses bisnis
Wajib Pajak dan pelaku usaha lain serta ketentuan-ketentuan spesifik
yang berlaku dalam industri dan hal-hal lain yang relevan.
Sebagai contoh, apabila Wajib Pajak dan afiliasinya bergerak di indus-
tri kelapa sawit maka diharapkan dapat diperoleh informasi antara lain:
 bagaimana industri kelapa sawit dalam tahun pajak diperiksa,

81
 apakah perusahaan dan afiliasi memiliki lini bisnis dari hulu ke hilir atau
memiliki sama-sama di hulu atau sama-sama di hilir;
 bagaimana proses bisnis umum industri kelapa sawit;
 bagaimana posisi Wajib Pajak dan grupnya dalam industri kelapa
sawit, apakah termasuk pemain utama atau tidak;
 apa saja ketentuan-ketentuan spesifik di industri kelapa sawit dan
turunannya;
 dan lain-lain.
Pada tahap menganalisis data keuangan Wajib Pajak dan data lain
yang relevan Pemeriksa perlu memberi perhatian pada ada tidaknya
transaksi yang melibatkan pihak dengan hubungan istimewa. Proses ini
bisa dilakukan dengan pengumpulan data baik yang ada di internal DJP
maupun data di luar DJP.
Data-data yang bisa dikumpulkan dari internal DJP antara lain:
1. profil Wajib Pajak yang telah disusun oleh Account Representative;
2. SPT Tahunan dan SPT Masa;
3. data pembayaran;
4. Laporan Pemeriksaan Pajak tahun sebelumnya;
5. riwayat keberatan, Putusan Banding dan Putusan MA.
Data-data eksternal DJP bisa didapat dari:
1. prospektus Wajib Pajak;
2. internet;
3. instansi terkait;
4. data lain-lain.
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam analisis data Wajib Pa-
jak dan data relevan lainnya antara lain data transaksi afiliasi dan pihak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak. Data tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 3A/3B atau Lampiran 8 SPT Tahunan PPh
Badan. Apabila Wajib Pajak tidak mengisi Lampiran 3A/3B Pemeriksa
dapat mereviu Catatan Atas Laporan Keuangan sebagaimana diatur da-
lam PSAK 7.
Identifikasi Masalah
Setelah mengetahui gambaran industri dan memperoleh data
Wajib Pajak, Pemeriksa diharapkan bisa menyusun identifikasi potensi

82
permasalahan Wajib Pajak. Identifikasi ini diharapkan dapat mengidentifi-
kasi pos-pos dan akun yang perlu diperhatikan secara khusus dalam
konteks transaksi afiliasi. Identifikasi tersebut antara lain menyangkut:
 ada tidaknya transaksi afiliasi dalam dan luar negeri;
 signifikansi transaksi afiliasi;
 ada tidaknya aksi korporasi yang dilakukan perusahaan;
 ada tidaknya pembebanan berganda dengan perusahaan afiliasi;
 apakah Wajib Pajak mengalami kerugian terus menerus dalam be-
berapa tahun.
Apabila dalam melaksanakan identifikasi masalah Pemeriksa
menemukan risiko penghindaran pajak melalui transaksi perusahaan grup
dan juga restrukturisasi usaha, maka Pemeriksa harus menuangkannya
dalam Audit Plan dan Audit Program. Sedangkan apabila risiko
penghindaran pajak tersebut ditemukan pada saat pengujian, maka
Pemeriksa menuangkan dalam perubahan Audit Plan dan Audit Program.

2. Penyusunan Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan Audit Pro-


gram
Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) adalah rencana kerja Pemeriksaan
yang disusun oleh Supervisor dan harus ditelaah serta mendapat
persetujuan dari Kepala UP2 yang berisi identitas Wajib Pajak, identitas
tim Pemeriksa Pajak, dan uraian rencana pemeriksaan. Sedangkan Pro-
gram Pemeriksaan (Audit Program) adalah pernyataan pilihan Metode
Pemeriksaan, Teknik Pemeriksaan, dan Prosedur Pemeriksaan yang
akan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak dalam melakukan Pemeriksaan
sesuai dengan Rencana Pemeriksaan. Pedoman penyusunan Audit Plan
dapat merujuk pada SE-126/PJ/2010, sedangkan untuk Audit Program
dapat merujuk pada SE-04/PJ/2012.
Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian ber-
dasarkan Metode Pemeriksaan dan Teknik Pemeriksaan sesuai dengan
Program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun. Pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak perusahaan grup dapat dilaksanakan dengan
Metode Pemeriksaan yaitu Teknik Pemeriksaan dan Prosedur Pemerik-
saan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, in-
formasi, dan keterangan lain. Saat ini setidaknya ada dua metode
pemeriksaan yang digunakan, yaitu metode langsung dan metode tidak
langsung. Metode Langsung merupakan teknik pemeriksaan dan prosedur
pemeriksaan untuk menguji kebenaran pos-pos diperiksa yang dilakukan

83
secara langsung terhadap buku, catatan, dan dokumen terkait dengan
pos-pos yang diperiksa. Sedangkan Metode Tidak Langsung merupakan
teknik pemeriksaan dan prosedur pemeriksaan untuk menguji kebenaran
pos-pos diperiksa yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu
pendekatan penghitungan tertentu.
Sebagai contoh apabila pemeriksaan dilakukan untuk transaksi
afiliasi dalam negeri (TPDN) yang berupa penghasilan, maka teknik
pemeriksaan minimal yaitu:
 pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal DJP;
 penelusuran angka-angka (tracing);
 penelusuran bukti;
 pengujian arus uang;
 pengujian arus piutang;
 pengujian kebenaran penghitungan matematis;
 wawancara.
3. Identifikasi kebutuhan sarana dan prasarana
Dalam kegiatan identifikasi sarana dan prasarana ini Pemeriksa di-
harapkan dapat memetakan beberapa kebutuhan penunjang untuk ke-
lancaran proses Pemeriksaan. Kebutuhan tersebut bisa berupa kebutuhan
peralatan maupun kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) dan infor-
masi. Kebutuhan SDM antara lain meliputi perlu tidaknya tenaga ahli da-
lam mendukung pelaksanaan Pemeriksaan. Tenaga ahli tersebut antara
lain fungsional penilai, tenaga ahli teknologi informasi, ahli transfer pricing
dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan informasi antara lain kebutuhan infor-
masi keuangan, data pembanding serta pertukaran data dari otoritas
perpajakan lain.
Sebagai contoh apabila dalam identifikasi permasalahan
ditemukan adanya aksi korporasi berupa akuisisi/merger dengan pihak
afiliasi maka diperlukan keahlian fungsional penilai dalam proses Pemerik-
saan. Contoh lain adalah terdapat transaksi yang membutuhkan per-
tukaran informasi dari negara lain (Exchange of Information/EoI), maka
sedapat mungkin diidentifikasi sejak awal perencanaan Pemeriksaan. Hal
ini perlu dilakukan sejak awal proses pemeriksaan agar proses-proses
pendukung yang biasanya memerlukan durasi waktu tertentu bisa berjalan
secara simultan dengan kegiatan Pemeriksaan.

84
C. Pelaksanaan Pemeriksaan
Pemeriksaan terhadap transaksi perusahaan grup dilakukan
dengan standar yang berlaku umum yaitu sebagaimana ketentuan dalam
PMK 184/PMK.03/2015. Standar yang ada dalam Pemeriksaan tersebut
harus mengacu pada Pemeriksaan transaksi perusahaan grup, baik itu
standar umum Pemeriksaan, standar pelaksanaan Pemeriksaan maupun
standar pelaporan Pemeriksaan. Dalam hal pelaksanaan Pemeriksaan
lapangan Pemeriksa Pajak dapat merujuk pada ketentuan yang dimuat
dalam SE-10/PJ/2017. Petunjuk lebih lanjut Pemeriksaan terhadap Wajib
Pajak yang mempunyai hubungan istimewa terdapat pada SE-
50/PJ/2013.
Modul ini tidak akan membahas seluruh tahapan proses Pemerik-
saan. Modul ini hanya akan membahas beberapa hal krusial dalam proses
Pemeriksaan yang terkait dengan transaksi perusahaan grup dan re-
strukturisasi usaha. Beberapa hal krusial dalam Pemeriksaan terhadap
Wajib Pajak grup antara lain:
1. Peminjaman Dokumen
i. Dalam hal Pemeriksaan terhadap transaksi restrukturisasi usaha
dan transaksi pengalihan saham, beberapa dokumen yang bisa
diminta dalam proses Pemeriksaan antara lain:
a. laporan keuangan;
b. prospektus;
c. perjanjian jual/beli;
d. laporan penilaian dari penilai publik;
e. pembukuan mengenai modal;
f. dokumen pendukung lainnya.
ii. Dalam hal Pemeriksaan terhadap transaksi cash pooling, be-
berapa dokumen yang bisa dimintakan dalam proses Pemeriksaan
antara lain:
a. kontrak/perjanjian;
b. rekening koran/tabungan;
c. TP Documentation;
d. dokumen pendukung lainnya.
2. Permintaan Bukti/Keterangan
Dalam Pemeriksaan, kegiatan permintaan bukti dan keterangan
yang dituangkan dalam Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK)

85
menjadi sangat krusial. Dalam proses ini seringkali didapatkan hal-hal sig-
nifikan yang bisa menjadi bahan temuan pemeriksaan. Demikian pula da-
lam pemeriksaan transaksi perusahaan grup, BAPK menjadi titik krusial
yang penting untuk dicermati. Pada kegiatan permintaan keterangan ini
seringkali bisa dimanfaatkan untuk mengungkap adanya hubungan is-
timewa yang tidak diungkap secara terbuka oleh Wajib Pajak dalam SPT
Tahunan PPh Badan.
Dalam memeriksa transaksi perusahaan grup terkait dengan
transaksi restrukturisasi usaha dan/atau pengalihan saham, beberapa in-
formasi yang bisa diperoleh dari permintaan bukti/keterangan antara lain:
a. pihak-pihak yang melakukan transaksi;
b. pihak mana yang menentukan nilai transaksi;
c. bagaimana nilai transaksi tersebut ditentukan;
d. apa tujuan restrukturisasi;
e. apa manfaat ekonomi yang diperoleh;
f. berapa nilai transaksi;
g. informasi lain yang relevan .
Dalam memeriksa transaksi perusahaan grup terkait dengan
transaksi cash pooling, beberapa informasi yang bisa diperoleh dari per-
mintaan bukti/keterangan antara lain:
a. pihak-pihak yang melakukan transaksi;
b. pihak mana yang menentukan nilai transaksi;
c. bagaimana nilai transaksi tersebut ditentukan;
d. bagaimana tingkat bunga ditentukan;
e. apa tujuan cash pooling;
f. apa manfaat ekonomi yang diperoleh;
g. informasi lain yang relevan;

3. Permintaan Keterangan kepada Pihak Ketiga


Dalam pemeriksaan transaksi perusahaan grup seringkali diper-
lukan adanya keterangan dari pihak selain Wajib Pajak yang diperiksa.
Keterangan tersebut bisa kita dapatkan dari pihak lain seperti instansi
pemerintah atau pihak lainnya. Kewenangan ini dimuat dalam Pasal 35
UU KUP dan aturan turunannya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor
235/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 87/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau
Bukti dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.

86
Secara umum pihak ketiga yang bisa dimintai keterangan sehub-
ungan dengan pemeriksaan meliputi bank, akuntan publik, notaris, konsul-
tan pajak, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, pemasok,
kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang memiliki keterangan
atau bukti yang ada hubungannya dengan tindakan Wajib Pajak, peker-
jaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.
Dalam pemeriksaan transaksi grup informasi-informasi dari pihak
ketiga diperlukan untuk membuktikan beberapa hal antara lain:
a. konstruksi hubungan istimewa antar pihak;
b. nilai transaksi sebenarnya;
c. alasan/ motivasi transaksi;
d. klausul/ persyaratan tertentu transaksi;
e. Informasi lain yang relevan.
4. Pengujian di Tempat Wajib Pajak
Pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak diperlukan untuk
bisa mengetahui kondisi riil proses bisnis Wajib Pajak maupun untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan dalam pemeriksaan. Pemeriksa
Pajak harus mengoptimalkan pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pa-
jak untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksa-
naan pemeriksaan.
Pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak dilakukan oleh Tim
Pemeriksa Pajak. Dalam hal diperlukan, Pemeriksa Pajak dapat dibantu
oleh Pegawai DJP lainnya yang ditunjuk melalui Surat Tugas dari Kepala
UP2 atau oleh Tenaga Ahli yang ditunjuk melalui Surat Tugas Tenaga Ahli
dengan ketentuan bahwa segala tindakan dan/atau kegiatan yang dil-
akukan oleh Pegawai DJP lainnya atau Tenaga Ahli tersebut berada di
bawah kendali Tim Pemeriksa Pajak.
Merujuk pada SE-10/PJ/2017, pada saat pengujian di tempat Wajib
Pajak Pemeriksa melakukan hal-hal antara lain:
a. meminjam pada saat itu juga data yang diperlukan dan ditemukan/di-
peroleh di lapangan dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan seperti
data lawan transaksi (data pelanggan, data pemasok, dll) beserta
dokumen pendukungnya yang berhubungan dengan penjualan barang
dan Harga Pokok Penjualan atau Harga Pokok Produksi, buku, cata-
tan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencata-

87
tan, dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang di-
peroleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak, rekening Koran Wajib Pajak;
b. memperhatikan rekening koran Wajib Pajak yang bersifat transitory ac-
count, yakni akun rekening koran yang memiliki saldo awal dan/atau
saldo akhir nihil akan tetapi sepanjang periode tersebut terdapat
transaksi bank. Dalam hal diketahui adanya transitory account baik
atas nama Wajib Pajak maupun atas nama pihak lain, Pemeriksa Pa-
jak melakukan peminjaman dokumen atau melakukan pembukaan ra-
hasia nasabah penyimpan;
c. meminta keterangan tertulis maupun lisan dari Wajib Pajak, wakil,
kuasa Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa
dari Wajib Pajak dan harus dituangkan dalam BAPK Wajib Pajak yang
ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak, wakil,
kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah de-
wasa dari Wajib Pajak;
d. melakukan inspeksi untuk menguji eksistensi dan pengecekan fisik.
Hal-hal tersebut adalah sedikit dari banyak hal dalam proses pemerik-
saan yang bisa menjadi perhatian. Dengan proses pemeriksaan yang baik
dan benar diharapkan Pemeriksa Pajak dapat menghasilkan temuan
pemeriksaan atas transaksi-transaksi perusahaan grup yang didasarkan
pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

88
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal:


Bernadin, H. John., Russel, Blaine. (1998). Human Resource Manage-
ment : An Experiential Approach. Singapure : McGraw Hill co Inc
Bramantyo Djohanputro, 2004. Restrukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai.
Jakarta. PPM
Chand, V. (2016). Transfer pricing Aspects of Cash Pooling Arrangements
in Light of the BEPS Action Plan. Available at SSRN 2745343.
Darussalam. dkk. (2013). Transfer Pricing:Ide, Strategi, dan Panduan
Praktis Dalam Perspektif Pajak Internasional. Jakarta: PT. Dimensi
Internasional Tax.
Direktorat Jenderal Pajak. (2014) Panduan Penggalian Potensi Pajak Atas
Transaksi Pengalihan Saham
Gouillart, Francis J. and James N. Kelly. (1995). Transforming The
Organization: Reframing Corporate Direction, Restructuring the
Company, Revitalizing the Enterprise and Renewing People. New
York: Mc Graw Hill Inc
Ikatan Akuntansi Indonesia. PSAK No. 22 Tentang Akuntansi Penggabun-
gan Usaha
Ikatan Akuntansi Indonesia. PSAK No. 15 Tentang Investasi Pada Entitas
Asosiasi dan Ventura Bersama
Mahrus, Moh Lutfi dan Biswan, Ali Tafriji (2020). Praktik Akuntansi Keu-
angan Menengah Edisi 3, PKN STAN Publishing Unit.
Perdana, Eka. (2018). RESTRUKTURISASI PERUSASHAAN PADA PT
MERPATI NUSANTARA AIRLINES.
Poskart, R. (2011). Cash Pooling as a State-Of-The-Art Cash Manage-
ment Method in the Capital Group. Prace Naukowe Uniwersytetu
Ekonomicznego we Wrocławiu. Nauki o Finansach, 6(184), 148-
156.
Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh. Ja-
karta: PT Indeks Kelompok Gramedia.

Artikel Internet:
https://www.kppu.go.id/id/merger/merger-dan-akuisisi/
http://mercubuana.ac.id/files/AkuntansiLanjutan/modul_15-ok.pdf
http://nichonotes.blogspot.com/2015/02/jurnal-eliminasi-akuisisi-saham.html
https://books.google.co.id/books?id=b4rgSr6Be2sC&pg=PA234&lpg=PA
234&dq=pemekaran+usaha+akuntansi&source=bl&ots=V0zJcL0
PAg&sig=ACfU3U2eFl8VDvW6XF2VjFvITKreLx3H_A&hl=jv&sa=

89
X&ved=2ahUKEwjH7uPQqoPqAhXUT30KHTlKDNwQ6AEwCX-
oECAkQAQ#v=onep-
age&q=pemekaran%20usaha%20akuntansi&f=false
https://www.hukumonline.com/klinik/de-
tail/ulasan/lt527cf41ce63c6/prosedur-memasukkan-aset-pribadi-
sebagai-aset-pt/
https://pengadilanpajak.com/2018/01/10/keputusan-pengadilan-pajak-no-
mor-put-54245-pp-m-xiia-15-2014/
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html?q=cash+pooling
http://edudelphi.com/ae/finance-courses-dubai/
https://staff.blog.ui.ac.id/martani/dwi-martani/akuntansi-keuangan-2-
materi-dan-silabus/ (Slide Presentasi AK2 Pertemuan 7 Inves-
tasi Stock)
Peraturan:
Undang-undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pe-
rubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Ten-
tang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pe-
rubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan
Undang-undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang
Pajak Penghasilann Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 19/PMK.03/2018 tentang Peru-
bahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
70/PMK.03/2017 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Infor-
masi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-184/PMK.03/2015 Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Ten-
tang Tata Cara Pemeriksaan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 205
/Pmk.010/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keu-
angan Nomor 52/Pmk.010/2017 Tentang Penggunaan Nilai Buku
Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rang Ka Peng-
gabungan, Peleburan, Pemekaran, Atau Menimbang Pengambi-
lalihan Usaha

90
Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 258/PMK.03/2008 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari
Penjualan Atau Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud Da-
lam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.03/2019 tanggal 3
Desember 2019 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pengungkit
Bagi Bank Umum
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk
Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari
Penjualan Saham
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2017 tentang Pe-
doman Pemeriksaan Lapangan Dalam Rangka Pemeriksaan Un-
tuk Tujuan Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pe-
doman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 tentang
Standar Pemeriksaan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pe-
doman Penyusunan Program Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatu-
han Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2017 tentang Pe-
tunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan Dalam Rangka Pemerik-
saan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpa-
jakan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-126/PJ/2010 tentang Pe-
doman Penyusunan Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 tentang Pe-
tunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempu-
nyai Hubungan Istimewa.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pe-
doman Penggunaan Metode Dan Teknik Pemeriksaan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2015 tentang Pe-
tunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/Pmk.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan
Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran
Usaha

91

Anda mungkin juga menyukai